• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran teater lenong betawi dalam pembentukan identitas budaya masyarakat betawi (studi kultural historis: teater lenong marong group di Ciater, Tangerang Selatan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran teater lenong betawi dalam pembentukan identitas budaya masyarakat betawi (studi kultural historis: teater lenong marong group di Ciater, Tangerang Selatan)"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh:

Putri Cellia

NIM: 1110015000099

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

i

Marong Group di Ciater). Skripsi, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran teater lenong Marong dalam pembentukan identitas Betawi di Kelurahan Ciater. Penelitian ini dilaksanakan di perkumpulan teater lenong Marong yang berlokasi di kelurahan Ciater. Penelitian ini merupakan suatu studi yang menggunakan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan meliputi observasi, wawancara, dan studi pustaka terhadap masyarakat Betawi pada umumnya dan perkumpulan teater lenong Marong pada khususnya untuk mengungkapkan aspek historis dan fungsional teater lenong. Hasil analisis atas temuan di lapangan menunjukan bahwa perkumpulan teater lenong Marong berperan dalam pembentukan identitas Betawi dengan cara menunjukan bahwa masyarakat Betawi sangat mencintai Islam dan sangat memegang teguh pedoman hidup tersebut, penggunaan dialek Betawi dalam pementasan, menampilkan karakter-karakter masyarakat Betawi, pakaian khas Betawi, alat tradisional Betawi yaitu golok, dan kesenian Betawi lainnya seperti silat, gambang kromong, tarian Betawi dan lagu-lagu Betawi.

(6)

ii

Putri Cellia (1110015000099). The Role of Marong Lenong Theater in Identity

Formation Of Betawinesse (Study Analsis: Bevy Marong Lenong Theater

Group in Ciater, South Tanggerang). Essay. Jakarta : Department of

Education Social Science The Faculty of Tarbiyah and Teaching Science The

State Islamic of Syarifhidayatullah University.

This study aims to determine how the role of theater lenong Marong in identity

formation in the village of Btawinesse in Ciater, South Tangerang. The research

was conducted in association Marong lenong theater located in Ciater, South

Tangerang. This research is a study using a qualitative approach. The methods

used include observation, interviews, and literature on society in general and

associations Betawi, lenong Marong theater in particular. The result of analysis

of the findings in the field showed that the association of theater lenong Marong

role in the formation of identity in a way shows that Betawi communities loves

Islam and so uphold the rule of life, Betawi dialec use in staging, typical clothing,

Betawi traditional tools are machetes, and other Betawi arts such a martial arts,

xylophone kromong, Betawi dance and songs of Betawi.

(7)

iii

dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peran Teater Lenong Marong dalam Pembentukan Identitas Betawi (Studi Analisis: Perkumpulan Teater

Lenong Marong Group di Ciater, Tangerang Selatan)”. Shalawat serta salam

tercurahkan kepada Rasullah SAW, keluarga dan sahabatnya.

Skripsi ini tidak mungkin selesai sebagaimana mestinya tanpa ada bantuan dari semua pihak baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu peneliti menghaturkan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Ibu Nurlena Rifa’I, MA, Ph.D serta para pembantu dekan.

2. Ketua jurusan Pendidikan IPS, Bapak Dr. Iwan Purwanto, M.Pd beserta seluruh staf.

3. Dosen pebimbing, Ibu Dr. Ulfah Fajarini, M.Si dan Ibu Cut Dhien Nourwahida, MA yang telah sabar mebimbing dan memberikan ilmu dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan ilmunya kepada peneliti, semoga Bapak dan Ibu dosen selalu dalam rahmat dan lindungan Allah SWT. Sehingga ilmu yang telah diajarkan dapat bermanfaat di kemudian hari.

5. Bapak Marong dan para pemain lenong Marong Group yang telah memberikan izin dan membantu peneliti dalam proses penelitian skripsi ini. Semoga sukses selalu untuk Bapak Marong da para pemain Marong Group.

6. Staf kelurahan Ciater yang telah memberikan bantuan pada peneliti

(8)

iv

embah, om, tante, sepupu dan seluruh anggota yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Keluarga besar SosioAntro 2010 terimakasih untuk semua pengalaman yang tak terlupakan semoga kita selalu dilindungi oleh Allah SWT

10.Sahabat-sahabat di kampus (Ines, Rya, Cabi, Ninna, Tuti, Nesa, Dara, Deli, Epi, Nadia, Embong, Putri)

11.Terimakasih untuk sahabat sosialita (Ewin, Lita, Ajeng, Anggi, Dicha dan Gabo) yang telah memberikan peneliti semangat untuk menyelesaikan skripsi ini

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang memerlukan bahan referensi khususnya dibidang pendidikan sosiologi-antropologi. Namun, pada akhirnya peneliti ingin mengingatkan bahwa penelitian yang tersaji ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun peneliti butuhkan dan akan ditindaklanjuti demi kesempurnaan penelitian di masa yang akan datang. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua yang telah membacanya.

Jakarta, Desember 2014

(9)

v LEMBAR PENGESAHAN

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Pembatasan Masalah ... 8

D. Perumusan Masalah ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 9

F. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II: KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teoritik ... 12

1. Teater Rakyat Lenong Betawi ... 12

a. Teater ... 13

b. Lenong Betawi ... 15

2. Identitas Budaya Masyarakat Betawi ... 21

a. Identitas ... 21

(10)

vi

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 35

B. Metode Penelitian ... 35

C. Populasi dan Sampling ... 36

D. Teknik Sampling ... 36

E. Teknik Pengumpulan Data ... 37

F. Instrumen Penelitian ... 39

G. Teknik Analisis Data ... 40

H. Pemeriksaan Keabsahan Data ... 41

I. Refleksi Penelitian ... 43

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Deskripsi Data ... 45

1. Struktur Sosial Kelurahan Ciater ... 45

2. Konteks Sejarah Teater Lenong Betawi Marong Group ... 49

B.Pembahasan Hasil Penelitian ... 70

1. Peran Teater Lenong Marong Sebagai Arena Pembentukan Identitas Kultural Masyarakat Betawi ... 70

2. Teater Lenong dalam Semangat Kultural ... 87

3. Langkah Strategis Revitalisasi Budaya Betawi ... 89

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 91

B. Saran ... 93

(11)

vii

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kelurahan Ciater berdasarkan jenis kelamin Tabel 4.2 Komposisi Penduduk Ciater Menurut Tingkat Pendidikan Tabel 4.3 Jenis Mata Pencaharian Masyarakat Ciater

[image:11.595.110.519.172.590.2]
(12)

viii Lampiran 2 Pedoman Observasi Lampiran 3 Pedoman Wawancara Lampiran 4 Transkip Hasil Wawancara Lampiran 5 Dokumentasi

Lampiran 6 Data Responden

Lampiran 7 Surat Bimbingan Skripsi

(13)

1

A.

Latar Belakang

Setiap kelompok masyarakat memiliki kebudayaan dan tradisi tertentu sesuai dengan ciri khas masyarakat setempat, kebudayaan tersebut merupakan hasil dari karya, karsa, dan rasa. Dari sinilah sebuah kaum menghasilkan perangkat-perangkat kehidupan untuk memudahkan mereka mengatasi dan menguasai alam semesta serta mengatur kehidupan dengan menyusun norma, etika, dan hukum yang menjadi acuan ketertiban. Beradab atau tidaknya sebuah bangsa bisa diukur dari sini, ketika kita membicarakan budaya cakupannya sangat luas dimulai dari ilmu pengetahuan sampai kesenian yang merupakan simbol dari bentuk pengungkapan atau pesan.

Bila seseorang melihat kesenian ada yang menganggap sebagai hiburan dan ada pula yang menjadikan sebagai instrumen untuk melakukan pencerahan pada masyarakat seperti penggunaan wayang oleh para wali untuk melakukan syi’ar. Pada konteks masyarakat Betawi banyak lahir seni kerakyatan dan jika kita telusuri garis sejarah terciptanya kesenian-kesenian tersebut tidak terlepas dari proses akulturasi. Menurut Kusumohamidjojo, “akulturasi merupakan proses penerimaan dan pengolahan unsur-unsur kebudayaan asing menjadi bagian dari kebudayaan suatu kelompok, tanpa meninggalkan unsur kebudayaan asli”.1

Sehingga realitas ini mempunyai peran untuk membentuk kesadaran masyarakat yang lebih terbuka terhadap budaya yang datang dari luar, sebab masyarakat yang berada pada jalur perdagangan lebih mudah tejadi penyerapan budaya yang prosesnya nanti akan terjadi proses pembentukan

1

(14)

kesenian, ini terjadi pada masyarakat Indonesia secara umum khususnya Betawi.

Suku Betawi adalah salah satu etnis di Indonesia yag dikenal sebagai penduduk asli kota Jakarta. Secara geografis suku Betawi tinggal di pulau Jawa, namun secara sosiokultural, mereka kelihatannya lebih dekat dengan budaya Melayu Islam.2 Dilihat dari segi kesukubangsaan, orang Betawi yang berdiam di Jakarta memiliki latar belakang sejarah yang telah melewati rentang waktu yang cukup panjang. Sejak lebih dari 400 tahun yang lalu, masyarakat Betawi yang kemudian menjadi masyarakat seperti yang dikenal sekarang merupakan hasil dari suatu proses asimilasi. Masyarakat Betawi dengan budayanya merupakan hasil pembauran berbagai bangsa dan suku-suku yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

Jakarta sebagai satu tempat yang terletak di pinggir pantai, dalam proses perjalanan sejarahnya, menjadi kota pelabuhan dan kota dagang. Kota ini kemudian menjadi pusat kota administrasi, politik, dan bahkan menjadi salah satu pusat untuk memperoleh pendidikan di Indonesia. Sifat dan ciri kota Jakarta yang demikian itu telah memungkinkan menjadi arena pembauran berbagai etnik yang ada di Indonesia, dan bahkan berbagai bangsa yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Mereka datang dengan beragam kepentingan dan dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda pula. Pembauran itu telah melahirkan suatu masyarakat dan kebudayaan baru bagi penghuni kota Jakarta tadi, yang kemudian dikenal sebagai Orang Betawi.

Faktor lain yang menyebabkan terbentuknya kelompok itu adalah karena adanya perkawinan campuran antara anggota berbagai suku bangsa tadi. Akhirnya kelompok ini memiliki suatu identitas sendiri. Identitas ini diperkuat misalnya adanya kesatuan kesenian, yang bisa dinikmati oleh

2

(15)

keseluruhan anggota kelompok baru ini, seperti kesenian lenong,topeng, gambang kromong, qasidah, rebana, dan lain-lain. Kesenian-kesenian itu merupakan kesenian baru yang berkembang atau diramu dari kesenian berbagai suku bangsa tadi.

Pembauran dengan kawin campur antar golongan atau suku bangsa tadi diikat pula oleh adanya kesatuan agama. Orang Betawi dapat dikatakan hampir semuanya memeluk agama Islam. mereka juga umumnya merupakan pemeluk-pemeluk agama yang taat. Kehidupan mereka banyak dipengaruhi oleh norma-norma agama Islam3.

Salah satu kesenian masyarakat Betawi adalah lenong. lenong merupakan salah satu bentuk teater peran di Betawi, dan merupakan salah satu kesenian rakyat yang mengalami akulturasi pada dasarnya dari sudut pandang seni pertunjukan, lenong sangat mirip dengan wayang dermuluk, wayang senggol, dan wayang sumedar. Perbedaan terbesar terlihat pada tema yang diangkat dalam pertunjukan. Lenong bukan hanya bercerita tentang bangsawan, namun juga bercerita tentang kisah-kisah rakyat jelata. Lenong termasuk folklor karena ia bersifat tradisional dalam arti keberadaanya beberapa turunan. Ciri lain yang juga penting dari folklor yang dimiliki oleh seni lenong adalah sudah tidak diketahaui lagi siapa penciptanya (anonim), karena ia sudah menjadi milik suatu kolektif, yakni suku bangsa Betawi. Sehingga jika salah satu lakonnya mau dipertunjukan tidak perlu membayar hak ciptanya.

Lenong sebagai hiburan orang Betawi, yang pada umumnya adalah petani pedesaan atau perkampungan, sehingga bahasa pengantarnya adalah bahasa Melayu Betawi, yang dipergunakan oleh orang dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Sehubungan dengan itu maka kata-kata yang dipergunakan pun bersifat blak-blakan jika tidak mau dikatakan kasar. Sebagai salah satu pertunjukan rakyat, skenario pertunjukan lenong

3

(16)

juga bersifat garis besarnya saja. Detailnya diserahkan kepada para pemain (panjak) untuk mengimprovisasikannya sendiri dengan seleranya masing-masing serta kondisi yang dihadapi pada waktu pementasan.

Seperti yang telah diuraikan di awal kelompok masyarakat memiliki kebudayaan dan tradisi tertentu sesuai dengan ciri khas masyarakat setempat. Dan ini terjadi pada masyarakat Betawi di Ciater pada umumnya dan komunitas teater lenong Betawi Marong pada khususnya yang terkenal dengan kemampuan ngelenong. Lenong pernah merajai jagad panggung hiburan pada tahun 1970-an sampai 1980-an akhir, meski akhirnya harus rela tersingkir dengan berbagai alasan baik secara kultural maupun ekonomi. Tetapi hal tersebut tidak menyurutkan masyarakat Betawi Ciater untuk terus berusaha melestarikan warisan kesenian leluhurnya dengan berbagai cara. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan identitas mereka. Lenong seperti halnya upacara adat Betawi lainnya seperti ’nujuh bulanan’ tetap dijalankan. Ada nilai tersendiri yang dilihat sebagai ukuran perwujudan kecintaan dan keaslian orang Betawi terhadap teater lenong.

Teater lenong tidak hanya mengajarkan seseorang untuk belajar bermain peran atau lakon (bersandiwara) didalamnya juga terdapat berbagai macam instrumen musik yang mengiringi yang berasal dari akulturasi budaya yang berbaur di Jakarta yakni gambang kromong. Dari susunan alat musiknya terlihat, bahwa orkes gambang kromong merupakan perpaduan antara unsur musik pribumi ditambah dengan unsur Cina.

Unsur pribumi terdiri dari alat-alat perkusi: gambang, kromong, gendang, kecrek, dan gong. Unsur Cinanya terdiri dari alat perkusi:

(17)

perkembangannya lagu-lagu yang biasa dibawakan dengan iringan gambang kromong adalah lagu-lagu Cina.4

Perkembangan masyarakat Jakarta yang semakin bergaya hidup global secara langsung berdampak pada gaya hidup masyarakat Betawi yang notabene berada di wilayah megapolitan Jakarta dan sekitarnya. Banyak hal dari aspek kehidupan masyarakat Betawi tidak lagi dapat ditemukan saat ini, terutama dalam hal kesenian salah satunya yaitu lenong. Faktor utama hilangnya kesenian tradisional Betawi adalah hadirnya kompetitor kesenian yang sesuai dengan kebutuhan dan gaya hidup masyarakat modern.

Masyarakat Betawi pun mulai terkikis identitas Betawi mereka. Sebenarnya pemodernan terhadap kesenian tradisioanal bukan suatu usaha yang haram, justru dengan pemodernan itu terkandung suatu upaya mengembangkan kesenian itu sejalan dengan pola pikir dan kebutuhan masyarakat Betawi yang semakin modern.

Kompetensi kesenian tradisional dengan kesenian modern yang datang kemudian sangat perlu karena salah satu ciri dari masyarakat modern adalah bergerak dalam kompetisi menciptakan inovasi-inovasi yang berorientasi pasar, tetapi ketika masyarakat dan lingkungan perkotaan menuntut pasar, maka kreativitas seniman tradisional harus pula mempertimbangkannya.

Produk-produk budaya modern (budaya popular) dikemas sedemikian rupa sehingga masyarakat berada dalam situasi demam secara terus-menerus. Pengemasan produk kesenian yang disesuaikan dengan target pasar menjadi andalan, sehingga semua kelas masyarakat dapat menikmati dan mengapresiasi produk-produk kesenian itu. Selera pasar terbentuk sejalan dengan tawaran produk budaya popular yang dikemas, tidak saja dengan teknologi tinggi tetapi juga dengan variasi yang tinggi.

4

(18)

Kesenian yang berfungsi tidak saja sebagai hiburan tetapi didalamnya terkandung berbagai kegunaan adalah representasi dan mendapat salurannya melalui kesenian, artinya, kesenian akan hidup dan berkembang manakala masyarakatnya memelihara, mengembangkan, melakukan secara aktif, dan mengapresiasi.

Dalam konteks itulah, secara kritis perlu dilihat bagaimana kesenian tradisional Betawi pada era globalisasi ini. Di sisi lain, kesenian tradisional Betawi, seperti lenong sedikit demi sedikit terlupakan dan tidak dilihat lagi sebagai media hiburan. Kesan bahwa kesenian tradisional semakin ditinggalkan terlihat dari frekuensi kemunculannya jika ditinjau dari aspek kuantitatif.

Dari aspek kualitas, kesenian-kesenian tersebut dapat dikatakan tidak mengalami perubahan yang berarti. Hal itu, boleh jadi sebagai upaya pemeliharaan terhadap kekayaan budaya tradisi dan menjaga identitas adat istiadat Betawi. Persoalan identitas bagi Indonesia memang semakin perlu untuk mendapat perhatian lebih di era reformasi sekarang ini.

(19)

yaitu dirasakan adanya kebutuhan akan adanya satu badan yang menangani masalah keseniaan Betawi.5

Dengan adanya dua hal penting tersebut, kini orang-orang Betawi telah kembali bangkit mengenai identitas budaya mereka dengan berusaha menunjukkan kembali eksistensi dan identitas orang Betawi. Salah satunya yaitu dapat dilihat dari peran para pemuda, dan organisasi yang kini berlabel masyarakat Betawi dalam membangun ikatan eksistensinya agar identitas yang sudah ada tidak pudar. Sebelumnya organisasi tersebut menyandang kata Jakarta daripada kata Betawi. Bergantinya label Jakarta dengan Betawi secara perlahan-lahan mengangkat Betawi kembali ke permukaan.6

Dampak dari dibentuknya Lembaga Kebudayaan Betawi, yaitu memiliki wadah komunikasi berupa macam-macam organisasi, adalah terorganisirnya usaha-usaha dan perhatian yang diberikan kepada kebudayaan Betawi, khususnya kesenian Betawi dalam arti penggalian, pengembangan, dan pelestarian. Pada periode ini munculah banyak hasil rekacipta tradisi Betawi, seperti busana, upacara, teater rakyat, musik, dan seterusnya yang berhasil memuculkan Betawi dengan wajah baru, wajah dengan tradisi asli dan tradisi rekacipta.7 Dengan teroganisirnya usaha-usaha tersebut tak heran bila kini mulai bermunculan sanggar kesenian Betawi. Salah satunya yaitu sanggar kesenian Marong Group yang didirikan dan dipimpin oleh Bapak Mochtar atau yang lebih dikenal masyarakat yaitu bang Marong.

Penonjolan kembali dengan bangkitnya identitas budaya Betawi yaitu salah satunya dengan berusaha menunjukkan kembali eksistensi dan

5

Yasmine Zaki Shahab, Identitas dan Otoritas : Rekonstruksi Tradisi Betawi, (Depok: Laboratorium Antropologi FISIP UI, 2004) h 22-23

6

Ibid,. h. 23

7

(20)

identitas orang Betawi di Jakarta dan sekitarnya. Sesuai dengan yang telah dijelaskan oleh penulis sebelumnya mengenai seni pertunjukan teater lenong dan masyarakat Betawi. Penjelasan bahwa teater lenong tidak hanya sekedar perwujudan dari pelestarian budaya Betawi namun juga pembentukan identitas etnis Betawi maka penulis mengambil judul penelitian ini yaitu “Peran Teater Lenong Marong dalam Pembentukan Identitas Betawi (Studi Analisis: Perkumpulan Teater Lenong Marong Group di Ciater”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi permasalahan pada penelitian ini sebagai berikut:

1. Masyarakat Betawi krisis kesadaran untuk menguatkan identitas budaya Betawi di tengah-tengah budaya megapolitan hal ini berdasarkan dengan buku yang ditulis oleh Yasmine Zaki Shahab yang berjudul Identitas dan otoritas (rekonstruksi Tradisi Betawi).

2. Tranformasi budaya asing mempunyai dampak yang luar biasa sehingga mempengaruhi kecintaan pada kebudayaan daerah, sehingga masyarakat enggan mempelajari budayanya sendiri hal ini berdasarkan dengan buku yang ditulis oleh Yasmine Zaki Shahab yang berjudul Identitas dan otoritas (rekonstruksi Tradisi Betawi).

3. Jumlah masyarakat yang menaruh perhatian dan memberikan apresiasinya terhadap Lenong Betawi sangat sedikit hal ini merupakan asumsi peneliti berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan.

(21)

5. Intensitas pembinaan Pemerintah daerah terhadap sanggar-sanggar kesenian Betawi masih sangat minim. Hal ini merupakan asumsi peneliti berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah di atas, maka dalam penelitian ini perlu adanya pembatasan masalah agar pengkajian masalah dalam penelitian ini dapat lebih terfokus dan terarah. Karena keterbatasan yang dimiliki peneliti baik dalam hal kemampuan, dana, waktu dan tenaga maka penelitian ini hanya membatasi masalah pada upaya yang dilakukan lenong Betawi Marong Group dalam pembentukan identitas budaya masyarakat Betawi.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan pembatasan masalah di dalam penelitian ini, maka hal yang dapat dijadikan permasalahan penelitian yang dituangkan ke dalam bentuk pertanyaan penelitian adalah bagaimana peran teater lenong Betawi Marong Group dalam pembentukan identitas budaya masyarakat Betawi?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, dan rumusan masalah di dalam penelitian ini, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran teater lenong Betawi Marong Group dalam pembentukan identitas budaya masyarakat Betawi.

F. Manfaat Penelitian

1. Untuk Pendidikan atau Akademis

(22)

penelitian sejenis pada waktu dan lokasi yang berbeda. Penelitian ini diharpakan bermanfaat untuk menjadi bahan bacaan atau sumber referensi ilmiah khususnya mengenai lenong betawi dan identitas budaya. Selain itu, penelitian ini bermanfaat untuk memperluas pengetahuan masyarakat tentang lenong Betawi dan identias budaya Betawi.

2. Untuk Masyarakat

Memberikan informasi tentang berbagai potensi yang dimiliki generasi muda terlatih dan kemungkinan besar dapat meningkatkan kemampuan mereka bersaing dan mempertinggi posisi teater lenong di tengah-tengah budaya popular di Tangerang. Dapat pula dijumpai informasi tentang pelaku kesenian lenong yang dapat menyumbang revitalisasi budaya Betawi.

3. Untuk Peneliti

Untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama menempuh pendidikan di UIN Syarifhidayatullah dengan membuat skripsi ini secara ilmiah dan sistematis. Selain itu penelitian ini juga dapat menambah pengetahuan dan wawasan peneliti mengenai kesenian Betawi yaitu teater lenong

4. Untuk pembangunan

(23)
(24)

12

A. Deskripsi Teoritik

1. Teater Rakyat Lenong Betawi

Kebudayaan Betawi dapat dikatakan sebagai potret miniatur kebudayaan Indonesia. Percampuran antar suku, proses akulturasi kebudayaan, penduduk asli Batavia dan daerah-daerah sekitarnya merupakan prototipe bangsa Indonesia dewasa ini. Percampuran antar suku tersebut, terbentuklah suatu tipe masyrakat baru yang kemudian dikenal sebagai kaum Betawi. Kesenian dari masa ke masa masyarakat Betawi terus berkembang dengan ciri-ciri budayanya yang makin lama semakin mantap sehingga mudah dibedakan dengan kelompok etnis lain. Meskipun bila dikaji pada permukaan wajahnya sering tampak unsur-unsur kebudayaan yang menjadi sumber asalnya. Jadi tidaklah mustahil jika kesenian Betawi itu sering menunjukan persamaan dengan kesenian daerah atau kesenian bangsa lain. Bagi masyarakat Betawi sendiri segala yang tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan seni budayanya dirasakan sebagai miliknya sendiri seutuhnya, tanpa mempermasalahkan dari mana asal unsur-unsur yang telah membentuk kebudayaannya itu.

(25)

a. Teater

Teater berasal dari kata Yunani, theatron, yang artinya tempat atau gedung pertunjukan. Dalam perkembangannya, kata teater memiliki arti yang lebih luas dan diartikan sebagai segala hal yang dipertunjukan di depan orang banyak. Karena luasnya cakupan arti teater, orang ingin kembali memberi batasan. Dalam batasan yang lebih sempit, teater diartikan sebagai drama, yaitu lakon atau kisah hidup manusia yang dipertunjukan di atas pentas dan disaksikan orang banyak. Kata drama sendiri sesungguhnya berasal dari kata Yunanai, dran, yang artinya berbuat, berlaku, atau beraksi. Karena itulah, tindak-tanduk para pemain drama di atas pentas biasanya disebut akting. Adapun para pemainnya disebut aktor dan khusus pemain wanita dikenal sebagai aktris. Media ungkap yang utama dalam seni teater memang gerak laku para pemain yang disebut akting. Di samping itu, didukung oleh unsur percakapan atau dialog. Unsur pendukung lainnya yang bisa ada bisa pula tidak ada adalah dekor, kostum, rias, musik pengiring, nyanyian, dan tarian.1

Dengan mempelajari teater, kita bisa bereksplorasi dengan ruang gerak kita secara bebas dan bisa memahami karakter orang lain dengan cara memerankan karakter yang berbeda dengan diri kita sendiri. Teater merupakan bagian kehidupan masyarakat Indonesia, dan hampir seluruh kegiatan masyarakat diikuti dengan pertunjukan teater. Teater memiliki banyak fungsi, seperti pengungkapan sejarah, keindahan, kesenangan, pendidikan, dan hiburan. Untungnya, sampai sekarang masih bisa dijumpai contoh dari teater daerah di Indonesia yang berkembang dari zaman yang berbeda-beda. Ada kemungkinan bentuk asli teater Indonsia berasal

1

(26)

dari zaman pra-Hindu, ketika kebudayaan bangsa Indonesia masih dipelihara dari mulut ke mulut dan disebarkan secara lisan.

Mangidung atau menyanyi adalah salah satu cara untuk menyebarluaskan kebudayaan Indonesia saat itu. 2

Teater rakyat bukan semata-mata merupakan hiburan masyarakat. Dengan mudah masih bisa ditemukan bagaimana teater memiliki fungsi yang amat penting dalam upacara, seperti Topeng Pajegan di Bali misalnya, dipentaskan siang maupun malam hari, dikaitkan dengan upacara keagamaan, dan berlangsung antara satu sampai dua jam. Selama itu, penonton tidak menyaksikan pertunjukan secara menyeluruh dan terkonsentrasi, tetapi melihatnya sepotong-sepotong, serta hanya memusatkan perhatian pada bagian-bagian yang disukai saja. Mereka menonton sambil mengobrol ataupun menikmati kue. Masyarakat memandang Indonesia (Bali dalam contoh ini) sudah menyadari bahwa Topeng Pajegan adalah persembahan ritual. Teater ini dipersembahkan untuk leluhur, dan sepanjang ada minat, orang diperbolehkan menontonnya.

Media peraga seni teater pada umumnya manusia namun dapat juga benda-benda yang dibentuk dalam wujud tertentu sehingga dapat diragakan dengan cara tertentu. Unsur utama seni teater adalah manusia itu sendiri, manusia mempunyai kesanggupan untuk berekspresi. Dalam kegiatan berperan di samping harus cakap di dalam perannya, pemeran juga harus mampu menguasai medan ruang panggung sebagai permainan dan tidak boleh canggung memanfaatkan setiap pelososk ruang dalam membentuk karakteristik.

2

(27)

Dalam masyarakat Betawi ditemukan tiga golongan teater. Pertama, teater tanpa tutur, seperti pertunjukan ondel-ondel dan gemblokan. Kedua, teater tutur yang ceritanya dibawakan dengan tutur kata sebagai media utamanya, seperti sahibulhikayat, buleng, dan rancak. Sedang yang ketiga, teater peran yang ceritanya dilakonkan oleh para pemegang peran. Dan pemeran yang menggambarkan tokoh-tokoh cerita, bisa manusia, seperti teater topeng atau lenong.3

Teater lenong sendiri dalam berbagai segi tata pentasnya mengikuti pola opera Barat, dilengkapi dekor dan properti lainnya, sebagai pengaruh komedi stambul. Lenong adalah teater tradisional rakyat Betawi. Kesenian tradisional ini diiringi musik gambang kromong. Lakon dan skenario lenong umumnya mengandung pesan moral.

b. Lenong Betawi

Teater lenong merupakan salah satu bentuk teater peran di Betawi yang mulai berkembang di akhir abad ke-19. Sebelumnya masyarakat Betawi mengenal komedi stambul dan tetaer bangsawan. Komedi stambul dan teater bangsawan dimainkan oleh bermacam suku bangsa dengan menggunakan bahasa melayu. Orang Betawi meniru perunjukan itu dan hasil pertunjukan mereka kemudian disebut lenong.4 Lenong lahir dan berkembang di Betawi Tengah. Menurut Shahab dalam Ragam Seni Budaya Betawi :

Lenong baru muncul sekitar tahun 1930-an. Pada dasarnya dari sudut pandang seni pertunjukan, lenong sangat mirip dengan

wayang dermuluk, wayang senggol, dan wayang sumedar. Perbedaan terbesar terlihat pada tema yang diangkat dalam

3

Muhadjir, dkk., Peta Seni Budaya Betawi, (Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta) h.161

4

(28)

pertunjukan. Lenong bukan hanya bercerita tentang bangsawan, namun juga bercerita tentang kisah-kisah rakyat jelata.5

Lenong merupakan teater rakyat yang mencampurkan berbagai cabang seni lain, yakni musik dan lawakan. “Pertunjukan biasanya dimulai dengan permainan musik gambang kromong yang membawakan lagu-lagu khas gambang kromong. Setelah itu, dilanjutkan dengan semacam upacara pembukaan yang disebut spik.

Spik adalah penjelasan lakon yang akan dimainkan dalam pertunjukan”.6

Asal mula kehadiran lenong memiliki dua versi. Pertama, Soemantri yang menyebutkan bahwa lenong berasal dari teater rakyat yang lebih tua, yakni wayang dermuluk, wayang senggol, dan wayang sumedar. Pendapat ini didasarkan pada sejumlah argument bahwa pementasan lenong sama dan sebangun dengan pementasan ketiga teater tersebut, baik dalam hal kostum, cerita, dekorasi, maupun musik. Kedua, Halim Nasir dalam seminar penggalian kesenian dan kebudayaan Betawi menyebutkan bahwa asal-mula teater lenong hanyalah kebetulan dan tidak ada persiapan khusus. Lenong berasal dari kumpulan para pedagang yang melewatkan malam yang sepi dan membosankan dengan saling bercerita mengenai pengalaman sehari-hari ataupun kejadian yang sedang booming saat itu. Pesertanya terdiri atas orang-orang multietnis. Lama-kelamaan cerita tersebut dibawa ke atas pentas agar para pedagang tersebut terhibur7. Pada awal tahun 1960-an, keberadaan lenong sebagai sebuah seni pertunjukan tradisional Betawi nyaris punah. Akan tetapi, tahun 1968 Soemantri menghadirkan modifikasi lenong. Pada tahun 1970-an. Lenong dibangkitkan kembali oleh tokoh-tokoh lenong, antara lain Djaduk Djajakusuma, Sumantri Sostrosuwondo, dan SM. Ardan. Grup-grup lenong mulai bangkit kembali dengan binaan

5

Dina Nawangningrum (ed.), Ragam Seni Budaya Betawi, (Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,2012), hlm. 91

6

Muhadjir, dkk., Peta Seni Budaya Betawi, (Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta) h.168

7

(29)

tokoh-tokoh lenong tersebut. Selain itu, ada pula dukungan dari pemerintah melalui kesempatan yang diberikan Taman Ismail Marzuki (TIM) seluas-luasnya untuk mengadakan pementasan lenong. Cerita yang dipilih adalah cerita Nyai Dasima. Hal itu dimaksudkan agar lenong dapat diterima di ranah Nasional. Di luar TIM sendiri, lenong pada tahun 1960-an dan 1970-an itu berkembang semakin baik. Selain di TIM, lenong ditanggap juga di TVRI dan radio siaran swasta. Setelah itu banyak pemain atau seniman lenong menjadi terkenal. Ada yang menjadi bintang film, misalnya, Bu Siti, H. Tile, H. Nasir T, H. Bokir, Nirin, Naserin, Markum, Anen, dan M. Toha.8

Pada akhir 1973, hasil evaluasi menunjukan bahwa banyak unsur lenong seperti tari, nyanyian, dan pantun hampir hilang dari pementasan lenong, terutama di TIM. Hal ini sangat disayangkan mengingat unsur tersebut justru pengikat yang kuat dan merupakan satu kesatuan. Akhirnya, pada 3-4 Mei 1974 dipersiapkan sebuah pementasan yang berpijak pada bentuk dan cara pementasan lenong pada periode transisi (dari wayang sumedar ke lenong denes). Pada 27 April 1975 dipentaskan modifikasi baru lagi sebagai hasil evaluasi tersebut. Pementasan yang mengangkat kisah Mat Pelor

mendapat sambutan yang luar biasa dari publik. Untuk melengkapi tuntutan evaluasi tahun 1973, kendala tari, nyanyi, dan pantun disiasati dengan menggandeng kelompok dari Radio Republik Indonesia Jakarta dan kelompok tari Institut Kesenian Jakarta untuk pementasan lenong. Yulianti Parani yang masuk dalam kelompok tari bahkan melakukan riset mengenai tari Betawi untuk pementasan lenong. Pakar lain yang dilibatkan adalah Azhar, penyusun lagu. Hasilnya, pementasan ulang lakon Mat Pelor pada 26 juni 1975

8

(30)

tidak hanya sukses besar, tetapi juga memanggil kembali penonton kalangan menengah ke atas untuk menonton lenong.9

Jenis lenong terdapat dua jenis yaitu lenong denes dan lenong preman. Untuk lebih jelasnya penulis menunjukan lewat bagan di bawah ini.

Bagan 2.1 Jenis Lenong Betawi

Sumber: penelusuran penulis berdasarkan hasil penelitian di lapangan dan kajian pustaka

1) Lenong Denes

Lenong denes merupakan kesenian yang berkembang dari kalangan bangsawan. Oleh karena itu, pesebarannya terpusat di tengah kota. Jenis lenong ini dapat ditemukan di wilayah Cakung, Pekayon, Ceger, dan Babelan. Namun lenong denes kini dianggap sebagai perkembangan dari beberapa bentuk teater rakyat Betawi yang dewasa ini sudah punah, seperti Wayang Sumedar, Wayang

9

Ibid,. h.92

Teater Lenong

Lenong Denes

(31)

Senggol, Wayang Dermuluk. Lenong denes mementaskan cerita-cerita kerajaan seperti Indra Bangsawan, Danur Wulan, dan sebagainya, yang diambil dari khazanah cerita klasik Seribu Satu Malam. Karena memainkan cerita kerajaan, maka busana yang dipakai oleh tokoh-tokohnya sangat gemerlapan, seperti halnya raja, bangsawan, pangeran, dan putrid. Maka kata denes (dinas) melekat pada cerita dan busana yang dipakai. Maksudnya untuk menyebut orang-orang yang berkedudukan tinggi, orang berpangkat-pangkat atau orang yang dinas.

Bahasa yang digunakan dalam pementasan lenong denes adalah bahasa melayu tinggi. Contohnya kata-kata yang sering digunakan antara lain: tuanku, baginda, kakanda, adinda, beliau, daulat tuanku,hamba. Dialog dalam lenong denes sebagian dinyanyikan. Dengan cerita kerajaan dan berbahasa melayu tinggi, para pemain lenong denes tidak leluasa melakukan humor. Agar pertunjukan bisa lucu, maka ditampilkan tokoh dayang atau khadam (pembantu) yang menggunakan bahasa Betawi. Adegan-adegan perkelahian dalam lenong denes tidak menampilkan silat, tetapi tinju, gulat, dan main anggar (pedang).

(32)

ngungkup dengan menyediakan sesajen lengkap dan membakar kemenyan.10

Tokoh utama yang dikenal mengembangkan lenong adalah Jali Jalut alias Rojali. Di samping itu tokoh yang pernah mengembangkan lenong denes adalah Rais pimpinan lenong denes di Cakung, Samad Modo di Pekayon, Tohir di Ceger, dan Mis Bulet di Babelan. Adapun LKB (2012) mendata bahwa yang masih mengembangkan lenong denes adalah Minin (pimpinan Grup Baru di Jakarta Utara), Agus Aseni (pimpinan Grup Bang Pitung di Jakarta Barat), Abd. Rachman (pimpinan Grup Jayakarta di Jakarta Barat), Jamaludin ( pimpinan Grup Naga Putih di Jakarta Selatan), Mamit (pimpinan Harapan Jaya di Jakarta Timur), Hj. Tonah (pimpinan Sinar Jaya), Yamin (pimpinan Theater Pangkeng), Hj. Norry (pimpinan Sinar Norray), dan Burhanudin (pimpinan Grup Jali Putra).11

2) Lenong Preman

Berbeda dari lenong denes, lenong preman berkembang di kalangan rakyat miskin. Pesebarannya terpusat di pinggiran kota Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Tangerang. Cerita yang dibawakan oleh lenong preman yaitu cerita-cerita dari kehidupan sehari-hari, yaitu dunia jagoan, tuan tanah, drama rumah tangga, dan sebagainya. lenong preman biasa juga disebut sebagai lenong jago. Disebut demikian karena cerita yang dibawakan umumnya kisah para jagoan, seperti Si Pitung, Jampang Jago Betawi, Mirah Dari Marunda, Si Gobang, Pendekar Sambuk Wasiat, dan Sabeni Jago Tenabang. Karena cerita yang dibawakan

10

Yahya Andi Saputra,Profil Seni Budaya Betawi,(Jakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta,2009), hlm.73-74

11

(33)

adalah cerita sehari-hari maka kostum atau pakaian yang digunakan adalah pakaian sehari-hari.

Lenong preman menggunakan bahasa Betawi dalam pementasannya. Dengan menggunankan bahasa Betawi, terjadi keakraban antara pemain dan penonton. Banyak penonton yang member respon spontan dan pemain menanggapi. Terjadilah komuniksi yang akrab antara pemain dan penonton. Dialog dalam lakon lenong umumnya bersifat polos dan spontan. Sehingga menimbulkan kesan kasar, terlalu spontan dan bahkan porno.

Beberapa rombongan lenong yang pernah ada dan masih ada sekarang ini adalah rombongan Gaya Baru yang dipimpn oleh Liem Kim Song alias Bapak Sarkim dari Gunung Sindur, Bogor, Setia Kawan dipimpin oleh Nio Hok San dari Teluk Gong,Tiga Saudara dipimpin oleh Pak Ayon dari Mauk, Tangerang, dan Sinar Subur yang dipimpin oleh Bapak Asmin dari Bojongsari. Sanggar-sanggar lenong yang didata oleh LKB (2012) antara lain adalah Grup Baru Jaya pimpinan Minin di Jakarta Pusat, Grup Bang Pitung pimpinan Agus Aseni di Jakarta Barat, Grup Jayakarta pimpinan Abd. Rachman di Jakarta Barta, Grup Naga Putih pimpinan Jamaludin di Jakarta Selatan, di Jakarta Timur ada Harapan Jaya pimpinan Mamit.12

2. Identitas Budaya Masyarakat Betawi a. Identitas Budaya

Konsepsi lenong mencerminkan bahwa lenong menjadi sebuah kesenian teater yang berasal dari rakyat dan dekat dengan kehidupan rakyat pada umumnya. Sebuah kesenian teater yang bukan hanya sekedar tradisi, melainkan untuk mempersentasikan identitas budaya Betawi. Dalam praktik komunikasi, identitas acapkali tidak hanya memberikan makna tentang pribadi seseorang,

12

(34)

tetapi lebih jauh dari itu, menjadi ciri khas sebuah kebudayaan yang melatarbelakanginya.13

Mengacu kepada pengertian identitas sendiri yang mengandung pengertian sebagai kondisi yang subjektif dan objektif. Menurut Liliweri “konsep identitas terbagi kedalam tiga bentuk, yakni: identitas sosial, identitas kultural dan identitas personal”.14

Identitas sosial terbentuk sebagai akibat dari keanggotaan kita dalam suatu kelompok kebudayaan (umur, gender, kerja, agama, kelas sosial, tempat, dan sebagainya) maupun berbentuk pengakuan yang berasal dari ego (misalnya saya seorang muslim, saya orang Betawi). Dalam konteks ini proses identifikasi dibentuk melalui konsepsi mengenai diri yang berhubungan dengan keanggotaan individu terhadap kelompok atau kategori sosialnya tersebut. Di dalam skripsi ini akan dilihat bagaimana identitas budaya direpresentasikan di dalam konteks seni pertunjukan kesenian, sekaligus keanggotaan individu ke dalam sebuah kelompok etnis tertentu yang meliputi tradisi, bahasa, dan sifat bawaan dari suatu kebudayaan.

Identitas pribadi atau personal seperti yang dikatakan Ritzer didasarkan pada keunikan karakteristik pribadi seorang individu. Hal ini disebabkan oleh faktor biografi dan pengalaman hidup masing-masing orang yang berbeda-beda. Individu dapat menolak identitas sosialnya, ketika ia merasa bahwa peran atau kategori sosial yang diberikan kepadanya tidak sesuai dengan konsepsi diri individu.15 Komitmen tertinggi individu terhadap suatu identitas menggambarkan bahwa identitas itulah yang menempati posisi paling penting bagi dirinya.

13

Alo Liliweri M.S, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: Lkis, 2007), h. 68

14

Ibid., h.96

15 George Ritzer (Ed), Encyclopedia Of Sosial Theory, Vol

(35)

Menurut Ensiklopedia Sosiologi yang ditulis oleh Ritzer:

Identitas terpenting selain identitas personal dan identitas sosial, adalah identitas kolektif. Identitas kolektif disini dimaksudkan adalah identitas kultural. Identitas kultural ini timbul dari perasaan ke-kami-an ataupun menjadi satu kelompok, yang berasal dari hubungan sosial, kepemilikan status dan atribut yang sama. Misalnya kesamaan menjadi etnis minoritas, memiliki kelompok tandingan, atau terdapat keadaan yang mengancam, sehingga timbul solidaritas kolektif pada akhirnya membentuk identitas kultural.16

Dalam hal ini faktor kebudayaan megambil peran penting karena kebudayaan dipandang sebagai suatu faktor yang paling penting untuk menujukan identitas masyarakat. Sehingga suatu masyarakat agar dapat mempertahankan identitasnya harus dapat pula mempertahankan kebudayaannya, yaitu dengan cara mewariskan dari generasi ke generasi berikutnya melalui suatu proses yang disebut dengan proses sosialisasi. Tanpa melalui proses sosialisasi maka kebudayaan suatu masyarakat akan hilang sehingga identitasnya sebagai masyarakat yang memiliki kebudayaan tertentu akan hilang pula. Kenneth Burke menjelaskan bahwa untuk menentukan identitas budaya itu sangat tergantung pada bahasa (bahasa sebagai unsur kebudayaan nonmaterial), bagaimana representasi bahasa menjelaskan sebuah kenyataan atas semua identitas yang dirinci kemudian dibandingkan.17

Identitas dapat diperoleh melalui proses sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Identitas yang diperoleh dari sosialisasi primer disebut identitas primer, sedangkan identitas yang diperoleh dari sosialisasi sekunder disebut identitas sekunder.18

Identitas primer bersifat sejak lahir, misalnya gender, etnisitas, nama keluarga.

16

Ibid,. hlm. 390

17

Alo Liliwei M.S, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: Lkis, 2007), h. 72

18

(36)

Identitas keluarga diperoleh seorang anak sejak kecil ketika dibesarkan oleh keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya. Identitas etnis dibentuk melalui proses pembelajaran seorang anak terhadap kebiasaan, sistem kepercayaan dan nilai-nilai kelompok sosialnya.

Identitas sekunder diperoleh ketika individu mengalami proses sosialisasi sekunder. Misalnya, status pekerjaan, kelompok penggemar dan lain sebagainya. Identitas primer dan sekunder individu selalu mengalami proses perubahan sepanjang hayat guna menghasilkan keseimbangan berdasarkan hidup yang dimilikinya.

Dari konsep-konsep yang telah diuraikan mengenai arti identitas penulis dapat mengatakan bahwa identitas sebagai suatu fenomena sosial dapat diartikan sebagai sesuatu yang mengarah pada realitas subyektif yang mempunyai hubungan yang bersifat dialektik antara individu dengan masyarakat. Hubungan yang dialektik antara individu dan masyarakat dapat merupakan hubungan yang tidak ada ujung pangkalnya, suatu hubungan yang terus berlanjut dan tidak ada habisnya selama masyarakat itu tetap ada. Artinya identitas dibentuk oleh suatu proses sosial yang dipertahankan dan identitas juga merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh kesadaran individu yang merupakan reaksi terhadap struktur sosial yang ada.

(37)

b. Budaya

“Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa, dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa Sanskerta budhayah yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal.”19 Kebudayaan merupakan posisi penting dalam kehidupan manusia. Dengan begitu, tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan begitupun sebaliknya, tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat, dimana masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya, sehingga fungsi kebudayaan itu sendiri dapat dijadikan sebagai faktor pendorong dalam perubahan sosial yang terjadi di masyarakat atau masyarakat dapat menentukan sikapnya sendiri terhadap dunia berdasarkan pada pengetahuan yang ada pada kebudayaan.

Budaya atau kebudayaan menurut para tokoh antara lain: 1) E. B. Tylor, budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

2) Koentjaraningrat, mengartikan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia dengan belajar.

3) Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, mengatakan bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat20

Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan dibagi atau digolongkan dalam tiga wujud, yaitu:

1) Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan.

19

Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar,(Jakarta: Kencana, 2008) h. 27

20

(38)

Wujud tersebut menunjukan wujud ide dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tak dapat diraba, dipegang, ataupun difoto, dan tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup.

2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.

Wujud tersebut dinamakan sistem sosial, karena menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri.

3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya

manusia.

Wujud ini disebut wujud fisik. Di mana wujud budaya ini hampir seluruhnya merupakan hasil fisik (aktivitas perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat)21

Koentjaraningrat berpendapat bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat kita sebut sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah:

1) Bahasa

2) Sistem pengetahuan 3) Organisasi sosial

4) Sistem peralatan hidup dan teknologi 5) Sistem mata pencaharian hidup 6) Sistem religi

7) Kesenian22

Masing-masing unsur kebudayaan sudah tentu juga menjelma dalam ketiga wujud kebudayan terurai di atas, yaitu wujudnya yang berupa sistem budaya, yang berupa sistem sosial, dan yang berupa

21

Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar,(Jakarta: Kencana, 2008), H. 28-30

22

(39)

unsur-unsur kebudayaan fisik. Dalam penelitian ini penulis akan mencoba meneliti salah satu unsur kebudayaan Betawi yaitu kesenian lenong Betawi yang merupakan teater peran yang cukup menjadi primadona masyarakat Betawi.

c. Masyarakat Betawi

“Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama.”23 Definisi itu menyerupai suatu definisi yang diajukan oleh J.L. Gillin dan J.P. Gillin dalam buku mereka Cultural Sociology yang merumuskan bahwa masyarakat atau society adalah the largest grouping in which common customs, traditions, attitudes and

feelings of unity are operative.24

Ketika kota Jakarta secara resmi dinyatakan sebagai ibukota negara, konon mulai muncul dan mengemukakan berbagai komunitas yang menamakan diri sebagai komunitas yang menamakan diri sebagai masyarakat Betawi. Diduga masyarakat Betawi sudah cukup lama bermukim di Jakarta, dan mereka diperkirakan sudah tinggal di Jakarta semenjak zaman prasejarah, yaitu zaman batu bara atau neolitikum. Diperkirakan mereka mulai tinggal di Jakarta tahun 2500 SM.25

“Suku Betawi adalah salah satu etnis di Indonesia yag dikenal sebagai penduduk asli kota Jakarta. Secara geografis suku Betawi tinggal di pulau Jawa, namun secara sosiokultural, mereka kelihatannya lebih dekat dengan budaya Melayu Islam”.26 Terdapat beberapa pendapat seputar suku Betawi ini. Pertama yaitu Dr.

23

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta : Fa. Aksara baru, 1983) cet . 4, h. 149

24

Ibid,. h. 150

25

Eni Setiati dkk, Ensiklopedia Jakarta 6, ( Jakarta: PT. Lentera Abadi, 2009), h. 4.

26

(40)

Yasmine Zaki Shahab, M.A., seorang antropolog Universitas Indonesia, beliau memperkirakan bahwa etnis Betawi baru terbentuk sekitar tahun 1815-1893.

Kedua yaitu Prof. Dr. Parsudi Suparlan mengemukakan bahwa kesadaran mereka itu sebagai orang Betawi pada awal pembentukan etnis ini tampaknya belum mengakar. Ketiga yaitu Ridwan Saidi seorang sejarawan, budayawan, dan sekaligus seorang politikus asal Betawi beliau membantah pendapat kedua antropolog tersebut. Ia mengatakan bahwa orang-orang Betawi sudah ada jauh sebelum J.P Coen membakar Jayakarta tahun 1619 dan menjadikan Jayakarta menjadi Batavia. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan menunjukan keberadaan orang-orang Betawi secara geografis, arkeologis serta sejarah perkembangan bahasa dan budayanya.

Ada berbagai anggapan mengenai seseorang layak disebut orang Betawi atau masyarakat Betawi. Pertama seseorang layak disebut orang Betawi atau masyarakat Betawi kalau orang tersebut merupakan keturunan generasi ke-3, yang semuanya hidup di Jakarta. Kedua, yang dapat disebut sebaga orang Betawi atau masyarakat Betawi adalah orang yang lahir di Jakarta dan hidup persis seperti orang Betawi asli, entah bahasa maupun budayanya. Ada juga yang mengatakan bahwa seseorang itu lahir di Jakarta, tinggal di Jakarta, makan dan minum di bumi Jakarta.

(41)

Bagi mereka, kualitas manusia tidak ditentukan oleh keturunan siapa, tetapi oleh isi hati, da perilakunya. Itulah sebabnya walaupun secara geografis mayoritas wilayahnya telah diambil orang lain sehingga mereka semakin tergsur, namun orang Betawi masih tetap eksis. Mereka tidak pernah merasa diri tergusur dari Jakarta sebagai kampong halaman mereka. Mereka beranggapan bahwa selama Jakarta masih ada, maka selama itu pula akan muncul orang-orang Betawi.27

Masyarakat Betawi dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok besar, yaitu: Betawi Tengah, Betawi Pinggir, dan Betawi Udik. Kelompok Betawi Tengah adalah penduduk Betawi yang bermukim daerah kota. Kebanyakan dari mereka tinggal secara berkelompok berdasarkan keturunan. Ada dua kelompok besar orang yang tinggal di kota, yaitu Betawi gedong dan Betawi Kampung. Betawi gedong adalah mereka yang secara ekonomi tergolong mampu atau orang kaya dan tinggal di rumah-rumah mewah yang disebut gedong. Sedangkan Betawi kampung adalah mereka yang hidup sederhana dan tidak memiliki kekayaan yang dapat dibanggkan.

Betawi Pinggir memiliki nilai Islami yang sangat tinggi dibandingkan dengan kedua kelompok Betawi lainnya, cara pandang mereka adalah cara pandang Islam. Orang Betawi Pinggir menolak bila mereka dianggap tertinggal dalam bidang pendidikan, sebab mereka mempunyai prioritas pendidikan tersendiri, yaitu pesantren.

Terakhir yaitu Betawi Udik, kelompok Betawi Udik terbagi dalam dua kelompok, yaitu orang Betawi yang tinggal di Jakarta bagian utara, bagian barat Jakarta, dan Tangerang. Budaya mereka sangat dipengaruhi oleh budaya tionghoa. Kelompok kedua yaitu

27

(42)

mereka yang tinggal di sebelah timur dan selatan Jakarta yang terpengaruhi oleh budaya Jawa Barat.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Peneliti melakukan penelitian pada suatu kajian ilmiah yang memiliki fokus pembahasan penelitian serupa atau juga memiliki sebuah kesamaan dalam konsep penelitiannya. Studi lain sejenis telah banyak dilakukan di Indonesia, salah satunya adalah penelitian skripsi dari Purwosanti yang berjudul Eksistensi Lenong Betawi di Era Globalisasi. Skripsi ini menjelaskan mengenai keberadaan lenong Betawi di era globalisasi saat ini masih sangat diperlukan oleh sebagian masyarakat Betawi di pinggir kota Jakarta seperti Condet, Jagakarsa, Bekasi dan Setu Babakan, namun keberadaanya tidak lagi sebagai bagian integral dari kehidupan masyrakat Betawi seperti tahun 1980-an. Latar belakang penelitian ini karena adanya fakta bahwa lenong Betawi saat ini kurang diminati oleh masyarakat dan hanya dimanfaatkan sebagai sarana hiburan dalam acara perkawinan dan sunatan oleh sebagian kecil kelompok. Keberadaan lenong Betawi bagi masyarakat Betawi adalah untuk memeriahkan acara hajatan. Sedangkan bagi sebagian seniman, lenong Betawi sebagai mata pencaharian walaupun hanya mata pencaharian sampingan. 28

Menurut Purwosanti, dari 2 jenis lenong Betawi, masyarakat cenderung memilih lenong preman sebagai hiburan karena dari segi kostum lenong ini lebih sederhana, bahasa yang digunakan adalah bahasa Betawi sehari-hari dan ceritanya pun tentang kehidupan masyrakat sehari-hari. Sedangkan untuk lenong dines diperlukan biaya yang cukup mahal hanya untuk memenuhi kostum pemainnya karena pemainnya harus seragam sesuai dengan tuntutan cerita.29

Selanjutnya yaitu penelitian dari Ninuk Klenden yang berjudul Teater Lenong Betawi Studi Perbandingan Diakronik. Skripsi yang

28

Purwosanti, “Eksistensi Lenong Betawi di era globalisasi”, skripsi pada Universitas Negeri Jakarta,Jakarta 2010, tidak dipublikasikan

29

(43)

dibukukan ini membandingkan 5 perkumpulan tetaer lenong dalam hal hubungan antara lenong dengan komunitasnya dalam hal ini adalah orang Betawi. Penelitian ini menunjukan adanya perbedaan di 5 perkumpulan teater lenong (perkumpulan tater lenong Setia Kawan, Sinar Subur, Subur Jaya, Bolot, dan perkumpulan teater lenong Bintang Berlian dalam hal hubungan antara seniman teater lenong dengan orang Betawi pada umumnya. Selain itu penelitian ini juga menghasilkan suatu bentuk deskripsi utuh dari teater lenong yang memperhatikan baik teater lenong itu sendiri, organisasi dalam teater lenong, dan komunitas teater lenong termasuk seniman, penonton, dan penanggapnya.30

Yudho Winiarto yang berjudul Tambeng : Proses Penafsiran Kembali Tanda budaya Betawi. Skiripsi ini mendeskripsikan penafsiran terhadap tari kreasi yaitu tari tambeng sebagai sebuah identitas budaya, yang dalam proses pembentukannya tidak dapat dilepaskan dari konteks pertunjukannya. Tari tambeng muncul sebagai hasil kreasi tari Betawi dengan wajah dan fungsi yang baru, melalui penafsiran terhadap tanda budaya Betawi yang melekat dan membentuk tari tersebut. Tari tambeng

pada konteks perlombaan diterima sebagai suatu identitas Betawi. Namun, penafsiran terhadap tanda budaya Betawi dalam tari Tambeng akan berbeda pada konteks yang lainnya. Setiap konteks pertunjukan terdapat sistem tandanya sendiri yang digunakan sebagai acuan menandai sebuah identitas. Oleh karena itu, hal ini yang kemudian melatarbelakangi tari

tambeng untuk dikembalikan pada konteks masyarakat pendukungnya. Penelitian ini mendeskripsikan pemahaman kreator (koreografer) terhadap sistem tanda budaya Betawi yang diwujudkan dalam karya tarinya dan pemahaman ini terlihat melalui proses dan bentuk karya tari tersebut (tambeng). Selain itu, pada skripsi ini juga mendeskripsikan mengenai

30

(44)

apresiasi dan pandangan orang Betawi terhadap tari tambeng sebagai hasil kreasi tari Betawi.31

Penelitian lainnya yang menjadi bahan bagi peneliti yaitu penelitian dari Nina Farlina yang berjudul Representasi Identitas Betawi dalam Forum Betawi Rempug (FBR). Konteks penelitiannya berupa organisasi FBR sebagai pergerakan masyarakat Betawi. Alasan utama ketertarikan anggotanya adalah ingin mempertahankan wilayahnya yang selama ini mereka tinggal agar tidak tergusur oleh para pendatang. Identitas Betawi yang dipersentasikan dalam organisasi ini merupakan identitas Betawi yang shaleh atau beragama Islam. Di dalam penelitian ini ditemukan mengenani identitas Betawi yang shaleh yang terpengruh oleh ideologi Islam yang mengedepankan ketaatan. Representasi identitas jawara dan jagoan yang pernah dipopulerkan oleh si pitung, juga ditemukan dalam penelitian ini. Representasi jawara adalah ketika mereka mnegenakan pakaian khas Betawi untuk mengungkapkan identitas Betawi.32

Dari rujukan penelitian sejenis di atas tentang identitas budaya yang telah dipaparkan maka dapat ditarik benang merah yang dapat mengikat kesemuanya sebagai pendukung dari penelitian peneliti mengenai Teater Lenong Sebagai Penanda Identitas Kebetawian. Di mana rujukan skripsi di atas merujuk pada eksistensi seni Betawi yang masing-masing mereka teliti mengacu terhadap tema yang peneliti angkat. Adapun tulisan mereka mengenai seni budaya Betawi menjadi bahan acuan dan pembelajaran dalam penelitian ini.

Selain itu terdapat poin-poin penting dari temuan mereka menjadi bahan perbandingan dengan skripsi yang peneliti kerjakan. Sedangkan untuk rujukan dari beberapa buku untuk mendukung tulisan ini sebagai wawasan tambahan untuk menunjang dan memperkaya penelitian sebagai

31

Yudho Winiarto, Tambeng : Proses Penafsiran Kembali Tanda budaya Betawi, Skripsi pada Universitas Indonesia, Depok, 2008. tidak dipublikasikan

32

Nina Farlina, “Representasi Identitas Betawi dalam Forum Betawi Rempug (FBR)”,

(45)

bahan tambahan penelitian. Adapun buku tersebut erat kaitanya dengan penelitian ini. Oleh karena itu, kesemuanya terkait satu sama lain untuk menjadi bahan pendukung dalam penelitian ini. Di bawah ini adalah tabel penelitian sejenis yang sesuai dengan peneliti.

[image:45.595.52.544.202.740.2]

Tabel 2.1 Penelitian Sejenis No. Penelitian Sejenis Tinjauan

Pustaka Jenis

persamaan perbedaan

1. Eksistensi Lenong Betawi di Era Globalisasi

Oleh : Purwosanti,

Universitas Negeri Jakarta, 2010.

Skripsi Penelitian ini mengkaji adanya fakta bahwa lenong Betawi saat ini kurang diminati oleh masyarakat dan hanya dimanfaatkan sebagai sarana hiburan dalam acara perkawinan dan Sunatan.

Penelitian ini lebih mengarah kepada keuntungan

komersil dalam setiap

pertunjukkannya

2. Teater Lenong Betawi Studi Perbandingan Diakronik

Oleh : Ninuk Klenden, Yayasan Obor Indonesia, 1996.

Skripsi Penelitian ini mengkaji deskripsi utuh dari teater lenong yang memperhatikan baik teater lenong itu sendiri, organisasi dalam teater lenong, dan komunitas teater lenong termasuk

Penelitian ini lebih mengarah kepada membandingkan beberapa

(46)

seniman, dan penonton.

3. Tambeng: Proses Penafsiran Kembali Tanda budaya Betawi

Oleh : Yudho Winiarto, Universitas Indonesia, Jakarta, 2008.

skripsi Penelitian ini mendeskripsikan penafsiran terhadap tari kreasi yaitu tari tambeng sebagai sebuah identitas budaya.

Penelitian ini lebih mengarah kepada pemahaman kreator (koreografer) terhadap sistem tanda budaya Betawi

4. Representasi Identitas Betawi dalam Forum Betawi Rempug (FBR)

Oleh : Nina Farlina,

Universitas Indonesia, 2012

Tesis Penelitian ini mengkaji adanya usaha suatu organisasi untuk mempertahankan kebudayaan Betawi dan

mempersentasikan identitas Betawi

Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah sebuah organisasi

(47)

35

A.

Subjek dan Waktu Penlitian

1. Subjek Penelitian : Perkumpulan teater lenong pimpinan Bapak Marong di Kelurahan Ciater RT 06/10 Kecamatan Serpong

2. Waktu Penelitian : 30 Desember 2013 – 28 November 2014 Agar penelitian ini sesuai dengan target yang telah ditetapkan, maka peneliti membuat jadwal sebagai berikut:

No. Kegiatan BULAN

DES 2013 MEI 2014 JUNI 2014 JULI 2014 SEPT 2014 OKT 2014 NOV 2014 1. Penyusunan proposal √

2. Observasi √ √

3. Menentukan dan menyusun instrument penelitian √ 4. Pengumpulan data √ √

5. Analisis data dan pengolahan data

√ √

6. Penyusunan laporan

(48)

7. Bimbingan akhir skripsi

B.

Metode Penelitian

Pada penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif. Metode penelitian deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif yang dimaksud mengacu kepada prosedur penelitian yang menghasilkan data-data deksriptif.

Menurut Suparlan “pendekatan kualitatif yaitu pendekatan yang digunakan untuk memahami prinsip-prinsip umum yang mendasari suatu gejala yang menjadi pusat perhatian penulis dan hubungan antara gejala-gejala yang terlibat di dalamnya”.1 Menurut Natzir “metode penelitian deskriptif yang dipergunakan adalah metode studi kasus yang berarti penelitian tentang subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas, subjek penelitian dapat saja individu, kelompok, lembaga maupun masyarakat”.2

Penelitian deskriptif dilakukan peneliti dengan mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, tata cara yang berlaku dalam masyarakat, tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu termasuk hubungan, kegiatan-kegiatan, pandangan, proses-proses yang sedang berlangsung beserta pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena

.

C.

Populasi

“Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan

1

Parsudi Suparlan, Pengantar Metode Penulisan: Pendekatan Kualitatif, (Jakarta: Rajawali Press, 1996),hlm.41

2

(49)

oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya”.3

Sedangkan “Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut”.4

Yang menjadi populasi dalam penelitan ini yaitu perkumpulan teater lenong Betawi Marong Group di Ciater, Tangerang Selatan.

D.

Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi”. Telah dijelaskan bahwa yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah perkumpulan teater lenong Betawi Marong Group di Ciater, Tangerang Selatan. Oleh karena itu, yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah ketua pimpinan dan 9 anggota lenong Betawi Marong Group.

E.

Teknik Sampling

Teknik sampling adalah merupakan teknik pengambilan sampel”.5 Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling. Purposive sampling adalah “teknik pengambilan sampel sumber data dngan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan”.6

Karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran teater lenong Betawi Marong Group dalam pembentukan identitas Budaya Betawi maka yang menjadi sampel adalah Bapak Marong selaku pimpinan teater lenong Betawi Marong Group dan 9 pemain teater lenong Betawi Marong Group.

Pertimbangan peneliti memilih Bapak Marong sebagai sampel adalah karna beliau merupakan pimpinan perkumpulan tersebut sehingga penulis meyakini bahwa beliau dapat memberikan jawaban yang dapat dipercaya.

3

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung : Alfabeta, 2008) cet, 4 h. 80

4

Ibid,. h.80

5

Ibid,.h. 81

6

(50)

Responden kedua yaitu Bapak Ita, pertimbangan peneliti memilih Bapak Ita sebagai responden adalah karena beliau merupakan penasehat perkumpulan tersebut, responden ketiga dan keempat adalah Bapak Katong dan Bapak Maceng. Pertimbangan peneliti memilih mereka sebagai sampel adalah yaitu karena mereka adalah pemain atau bodor utama dalam perkumpulan lenong Betawi Marong Group.

Responden kelima yaitu bapak Agus. Pertimbangan peneliti memilih Bapak Agus sebagai sampel adalah karna beliau merupakan pemain gambang kromong yang paling lama ikut dalam perkumpulan lenong Betawi Marong Group. Responden selanjutnya adalah Bapak Rudi, Ibu Ati, Dini. Ongkih, dan Maceng. Pertimbangan peneliti memilih mereka sebagai sampel adalah saran dari beberapa responden lainnya.

F.

Teknik Pengumpulan Data

Keingintahuan peneliti terhadap teater lenong mengantarkan penulis melakukan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan sosial manusia. Dalam pendekatan kualitatif pengukuran makna dari gejala tidak hanya dilihat dalam satu konteks saja, tetapi juga dapat dilihat dari banyak konteks yang tidak terkontrol. Pendekatan kualitatif yang menjadi sasaran penelitan, adalah kehidupan sosial atau masyarakat sebagai sebuah sistem, atau sebuah kesatuan yang menyeluruh.7 Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam pendekatan kualitatif adalah dengan metode observasi, wawancara, dan studi pustaka.

1. Observasi

Observasi dilakukan untuk melihat gambaran perilaku dan kejadian dengan cara peneliti mengamati langsung ke lapangan. Ini dilakukan agar peneliti mengerti perilaku orang-orang setempat, dan peneliti bisa mengukur

7

(51)

aspek tertentu sebagai acuan dari apa yang ingin diteliti. Dengan melakukan observasi peneliti akan lebih mudah dalam mendapatkan data dari informan, karena dengan melakukan observasi peneliti akan mudah mengenal karakter dan perilaku informan. Obeservasi yang dilakukan peneliti yaitu obeservasi partisipasi pasif. Dalam hal ini peneliti datang di tempat kegiatan orang yang diamati, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut.8

Observasi pertama dilakukan peneliti pada bulan Januari 2014 di Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan. Setelah sampai di objek lokasi penelitian dan bertanya kepada pengelola, peneliti mendapat informasi ternyata di Setu Babakan sanggar teater lenong sudah tidak ada. Kemudian peneliti akhirnya mencoba observasi di teater lenong yang berlokasi di Kelurahan Ciater, observasi dilakukan pada bulan Mei 2014, ketika sampai di objek lokasi penelitian, peneliti mulai mengamati hal-hal dan seluk beluk yang terkait dengan kebutuhan penelitian.

2. Wawancara

“Wawancara adalah cara memperoleh informasi atau keterangan dengan menanyakan masalah yang diteliti kepada narasumber atau informan”.9 Teknik wawancara yang digunakan pada penelitian kualitatif ini adalah wawancara secara mendalam. Proses dalam wawancara mendalam ini dilakukan secara tatap muka, antara pewawancara dengan informan. Dalam wawancara mendalam ini digunakan pula pedoman wawancara, recorder, alat tulis, dan kamera. Dalam melakukan wawancara peneliti harus mengetahui etika dalam penelitian kualitatif.

3. Studi pustaka

Studi kepustakaan dengan teknik ini segala usaha yang dilakukan oleh penulis bertujuan untuk mengumpulkan informasi-informasi yang lebih khusus tentang masalah yang sedang diteliti. Memanfaatkan informasi yang

8

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung : Alfabeta, 2008) cet, 4 h. 227

9

(52)

ada kaitannya dengan teori-teori yang relevan dengan penelitian yang sedang dilakukan. Mengumpulkan dan memanfaatkan informasi-informasi yang berkaitan dengan materi dan metodologi penelitian tersebut serta menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang berkaitan dengan teater lenong. Informasi tersebut diperoleh dari buku-buku ilmiah, jurnal, skripsi, tesis dan buku-buku Dinas Kebudyaan DKI Jakarta, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain.

4. Dokumentasi

“Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya”.10 Hasil penelitian dari observasi, wawancara akan lebih kredibel atau dapat dipercaya kalau didukung oleh dokumentasi. Dokumentasi dalam penelitian yaitu data-data pemain lenong Betawi Marong Group, video ketika lenong Betawi mengadakan pementasan dan juga foto-foto yang berhubungan dengan penelitian.

G.

Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrument penelitian utamanya adalah peneliti. Alasannya ialah bahwa segala sesuatu bel

Gambar

Tabel 2.1
Penelitian SejenisTabel 2.1
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kelurahan Ciater berdasarkan jenis
Tabel 4.2 Komposisi Penduduk Ciater Menurut Tingkat Pendidikan
+5

Referensi

Dokumen terkait