BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP “YAMATO NADESHIKO SHICHI
HENGE” SEBAGAI MANGA DAN PSIKOANALISA SIGMUND FREUD
2.1 Defenisi Manga
‘Manga’ adalah komik pada umumnya, yang merupakan buku cerita
bergambar tetapi berasal dari Jepang. Menurut Raab (dalam Akbar, 2008) komik
adalah media atau format yang memuat tulisan-tulisan dan gambar-gambar yang
berguna untuk menjelaskan garis cerita atau kandungan cerita yang dimaksud
oleh penulis. Pada umumnya berisi panel-panel kotak bergambar untuk
menjelaskan cerita didalamnya. Semakin maju jaman pengertian ‘manga’ bukan
lagi gambar-gambar dengan sedikit panel kotak, tetapi lebih menuntut banyaknya
panel kotak bergambar kartun. Bahkan di era setelah perang dunia ke dua banyak
‘manga’ yang menjadi satu buku penuh dan berseri. Sehingga pengertian ‘manga’
sekarang lebih kearah buku komik asli dari Jepang (Raab dalam Akbar, 2008)
Selain itu ‘manga’ dikondisikan agar dapat mudah disimpannya, bisa masuk
kedalam saku karena luas permukaannya yang tidak terlalu luas. Terakhir yang
menjadi khas dari ‘manga’ yang dapat dibedakan dari komik lainnya adalah
formatnya yang cara membacanya dari kanan ke kiri bukan kiri ke kanan (Poole
dalam Akbar, 2008)
Pada awalnya pengertian ’manga’ adalah media untuk menyindir secara
halus dengan gambar-gambar yang mengandung unsur humor di abad 12, tetapi
pengertian ‘manga’ sekarang berubah menjadi “komik dari Jepang”. (anonymous
dalam Akbar, 2008). ‘Manga’ merefleksikan realitas dari kehidupan sosial di
ritual-ritual tertentu, kebudayaan, fantasi dan cara hidup orang Jepang. ‘Manga’ juga
melukiskan fenomena kehidupan sosial yang lainnya, seperti kelainan hidup
bersosial, hirarki, sexism, racism, ageism, classism dan lainnya (Kinko dalam
Akbar, 2008).
Karena begitu terkenalnya manga di dunia internasional, menurut Raab
(dalam Akbar, 2008) penulisan ’manga’ tidak lagi menggunakan huruf miring
karena ’manga’ sudah termasuk kedalam bahasa internasional dan sudah masuk
kedalam kamus besar Oxford English Dictionary dan Grolier’s Multimedia
Encyclopedia.
Berikut adalah genre-genre yang terdapat di manga, dibagi atas genre
berdasarkan jenis cerita dan jenis pembaca.
1. Aksi akushon (アクション) : Bercerita tentang pertempuran,
perkelahian, atau kekerasan.
Berikut ini, genre berdasarkan jenis cerita:
2. Fantasi fantajī (ファンタジー) : Bercerita tentang benda-benda
aneh atau memiliki kekuatan di luar logika, dunia yang tidak
terlihat atau lain.
3. Historis hisutorikaru (ヒストリカル) : Bercerita tentang sejarah
seseorang, benda, ataupun suatu tempat.
4. Seni bela diri budo (武道) : Bercerita tentang berbagai seni bela
diri.
5. Misteri Nazo (謎} : Bercerita tentang sebuah misteri.
percintaan.
7. Olahraga supotsu (ス ポ ー ツ) : Bercerita tentang berbagai
olahraga.
8. Supernatural cho shizen (超自然) : Orang-orang yang berada
dalam manga tersebut memiliki kekuatan di luar logika.
Genre Berdasarkan jenis pembaca :
1. Manga yang khusus ditujukan untuk anak-anak disebut kodomo
(子供)
2. Manga yang khusus ditujukan untuk wanita dewasa disebut josei
(女性) (atau redikomi)
3. Manga yang khusus ditujukan untuk pria dewasa disebut seinen
(青年)
4. Manga yang khusus ditujukan untuk remaja perempuan disebut
shoujo (少女)
5. Manga yang khusus ditujukan untuk remaja laki-laki disebut
shounen (少年)
2.2 Manga Yamato Nadeshiko Shichi Henge
2.2.1 Unsur Intrinsik
a. Tema
Tema adalah pokok pikiran atau persoalan yang hendak disampaikan oleh
pengarang kepada pembaca melalui jalinan sebuah cerita yang dibuatnya
padahal kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbeda. Topik dalam
suatu tulisan atau karangan berarti pokok pembicaraan, sedangkan tema itu
tercakup persoalan dan tujuan atau amanat pengarang kepada pembaca.
Berdasarkan pengertian di atas, tema yang diangkat dalam manga
“Yamato Nadeshiko Shichi Henge” ini adalah karakter dan kepribadian tokoh
Nakahara Sunako yang unik dan berbahaya.
b. Tokoh
Penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkan tokoh-tokoh
dalam ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh tersebut (Aminuddin, 2000:92).
Tokoh dalam karya fiksi tidak hanya berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi
juga berperan untuk menyampaikan ide, motif, plot dan tema, dan tokoh juga
menempati psosisi strategis sebagai pembawa dan menyampaikan pesan, amanat,
moral atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.
Keberhasilan pengarang menyajikan cerita rekaan atau fiksi tercermin
melalui pengungkapan setiap unsur cerita itu. Salah satu di antaranya adalah
ketepatan pelukisan tokoh cerita. Rupa, pribadi, dan watak sang tokoh harus
tergambar sedemikian rupa sehingga diterima oleh khalayak ramai. Pengarang
melukiskan tokoh melalui imajinasi atau fantasinya dengan cara berikut ini.
1. Pengarang melukiskan secara langsung bentuk lahir tokoh, misalnya raut
muka, kepala, rambut dan ukuran tubuh.
2. Pengarang melukiskan jalan pikiran tokoh atau apa yang terlintas dalam
pikirannya.
memenuhi rasa ingin tahu yang besar si tokoh.
4. Pengarang melukiskan keadaan sekitar tokoh, misalnya keadaan kamar
dan pekarangan rumah tokoh.
5. Pengarang melukiskan pandangan seorang tokoh terhadap tokoh lain,
misalnya tokoh yang dilukiskannya berwatak keras, sabar atau suka meno
long orang yang ditimpa kesusahan.
6. Pengarang melukiskan atau menciptakan percakapan (dialog) antar tokoh
tentang keadaan, watak, atau pribadi tokoh lain, misalnya tokoh utama.
Tokoh utama dalam manga “Yamato Nadeshiko Shichi Henge” adalah
Nakahara Sunako yaitu seorang gadis berumur 15 tahun yang sangat menyukai
hal-hal yang berbau horor, Sedangkan tokoh tambahan adalah empat orang siswa
SMA yang tinggal bersamanya yaitu Kyouhei, Ranmaru, Takenaga dan Yuki.
2.2.2 Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsru yang berada di luar karya sastra itu, tetapi
secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya
sastra (Nurgiyantoro, 1995:23). Unsur ekstrinsik merupakan unsur luar sastra
yang mempengaruhi penciptaan karya sastra. Unsur tersebut meliputi latar
belakang pengarang, keyakinan, dan pandangan hidup pengarang, adat isitiadat
yang berlaku, situasi politik, persoalan sejarah, ekonomi dan pengetahuan agama.
Unsur ekstrinsik untuk setiap karya sastra sama. Unsur ini mencakup berbagai
aspek kehidupan sosial yang tampaknya menjadi latar belakang penyampaian
amanat dan tema. Selain unsur-unsur yang datang dari luar pengarang, hal-hal
yang sudah ada dan melekat pada kehidupan pengarang pun cukup besar
2.3 Setting Manga “Yamato Nadeshiko Shichi Henge”
Menurut Soemardjo (1999:75-76) setting dalam cerita bukan hanya
sekedar background, artinya bukan hanya menunjukkan tempat kejadian dan
kapan terjadinya, tetapi juga sangat erat dengan karakter, tema dan suasana cerita.
Dalam suatu cerita yang baik, setting harus mutlak untuk menggarap tema dan
karakter cerita. Jadi jelas bahwa pemilihan setting dapat membentuk tema dan
plot tertentu.
Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting
untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu
yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca dengan demikian
merasa menjadi dipermudah untuk menggunakan daya imajinasinya, disamping
dimungkinkan untuk berperan serta secara kristis sehubungan dengan
pengetahuan tentang latar. Unsur latar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu latar
tempat dan latar waktu.
Unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda
dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan
saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. (Nurgiantoro, 1995:27)
1. Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi tempat terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya sastra fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan
mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin
tertentu haruslah mencerminkan, atau tidak bertentangan dengan sifat dan
keadaan geografis tempat yang bersangkutan.
Deskripsi tempat secara teliti dan realistis ini penting untuk mengesani
pembaca seolah-olah hal yang diceritakan itu sungguh-sungguh ada dan terjadi
yaitu di tempat dan waktu seperti yang diceritakan itu. Adapun latar tempat
terjadinya peristiwa dalam manga “Yamato Nadeshiko Shichi Henge” adalah
sebagai berikut:
1. Rumah
2. Sekolah
2. Latar Waktu
Menurut Nurgiyantoro (1995: 230), latar waktu berhubungan dengan
masalah kapan terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra
fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual.
Latar waktu juga harus dikaitkan dengan latar tempat dan latar sosial sebab pada
kenyataannya memang saling berkaitan. Latar waktu dalam manga “Yamato
Nadeshiko Shichi Henge” ini dilihat dari tokoh utama Nakahara Sunako saat
berusia 15 tahun.
2.4 Psikoanalisa Sigmund Freud dalam Kajian Sastra
Freud menganggap bahwa kesadaran hanya merupakan sebagian kecil
saja daripada seluruh kehidupan psikis. Freud memisalkan jiwa manusia sebagai
gunung es di tengah lautan, yang ada di atas permukaan air laut menggambarkan
bagian yang menggambarkan ketidaksadaran. Di dalam ketidaksadaran itulah
terdapat kekuatan-kekuatan dasar yang mendorong pribadi. Karena itu untuk
benar-benar memahami kepribadian manusia psikologi kesadaran yang oleh
Freud disebut psikologi permukaan tidak mencukupi.
Freud dalam mendeskripsikan kepribadian menjadi 3 pokok bahasan,
yaitu sistem kepribadian, dinamika kepribadian, dan perkembangan kepribadian.
Dalam hal ini penulis hanya akan membahas tentang sistem kepribadian dan
dinamika kepribadian. Menurut Freud kepribadian terdiri atas tiga sistem atau
aspek, yaitu Id, Ego, dan Super Ego. Kendatipun ketiga aspek itu masing-masing
mempunyai fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja, dinamika sendiri-sendiri,
namun ketiganya berhubungan dengan rapatnya sehingga sukar untuk
memisah-misahkan pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia.
2.4.1 Struktur Kepribadian
Freud merumuskan bahwa kepribadian terdiri dari tiga sistem yang
penting. Jika seseorang dapat bekerja sama dengan harmonis dan teratur, maka
individu tersebut akan mempunyai jiwa yang sehat dan dapat memberikan
kontribusi yang memuaskan terhadap lingkungannya. Sebaliknya, jika ketiga
sistem kepribadian tersebut bertentangan satu sama lain, maka individu tersebut
tidak akan puas dengan hidupnya maupun dengan dunia, dan kontribusi terhadap
lingkungannya akan berkurang. Ketiga sistem tersebut adalah Id, Ego, dan
a. Id
Menurut Freud dalam Koeswara (1991:32), id adalah sistem kepribadian
yang paling dasar, sistem yang di dalamnya terdapat naluri-naluri bawaan. Id
adalah sebuah reservoir atau wadah dalam jiwa seseorang yang berisikan
dorongan-dorongan primitif yang disebut primitif drives atau inner forces.
Dorongan-dorongan primitif ini merupakan dorongan-dorongan yang
menghendaki agar segera dipenuhi atau dilaksanakan. Kalau dorongan ini
dipenuhi dengan segera maka tercapai perasaan senang atau puas. Id adalah
sistem kepribadian yang asli, yang dibawa sejak lahir. Id memiliki tenaga
pendorong yang disebut kateksis.
Fungsi dari id adalah untuk mengusahakan segera tersalurkannya
kumpulan-kumpulan energi atau ketegangan, yang dicurahkan dalam jasad oleh
rangsangan-rangsangan, baik dari dalam maupun dari luar. Id beroperasi
berdasarkan prinsip kenikmatan (pleasure principle), yaitu: berusaha
memperoleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit. Bagi id, kenikmatan adalah
keadaan yang relatif inaktif dan rasa sakit adalah tegangan atau peningkatan
energi yang mendambakan kepuasan. Bagi individu, tegangan itu merupakan
suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Untuk menghilangkan ketegangan
tersebut dan menggantinya dengan kenikmatan, id memiliki perlengkapan berupa
dua macam proses. Proses pertama adalah tindakan-tindakan refleks, yaitu suatu
bentuk tingkah laku atau tindakan yang mekanisme kerjanya otomatis dan segera,
dan adanya pada individu merupakan bawaan dari lahir. Tindakan refleks ini
segera dapat dilakukan, contohnya, refleks mengisap, batuk, bersin, dan
mengedipkan mata.
Proses kedua adalah proses primer, yakni suatu proses yang melibatkan
sejumlah reaksi psikologis yang rumit. Proses primer dilakukan dengan
membayangkan atau mengkhayalkan sesuatu yang dapat mengurangi atau
menghilangkan tegangan, dipakai untuk menangani stimulus kompleks, seperti
bayi yang lapar membayangkan makanan atau putting ibunya. Proses membentuk
gambaran objek yang dapat mengurangi tegangan disebut pemenuhan hasrat
(wish fulfillment), misalnya mimpi, lamunan, dan halusinasi psikotik.
Freud mengakui bahwa id adalah bagian kepribadian yang tersembunyi
dan tak dapat dimasuki, dan sebagian kecil yang diketahui mengenai hal itu
didapat sebagai hasil penyelidikan tentang impian dan gejala-gejala penyakit
syaraf. Karena, bagaimanapun, menurut prinsip realitas yang objektif, proses
primer dengan objek yang dihadirkannya itu tidak akan sungguh-sungguh
mampu mengurangi tegangan. Id hanya mampu membayangkan sesuatu, tanpa
mampu membedakan khayalan dengan kenyataan. Id tidak mampu menilai atau
membedakan benar atau salah, tidak tahu moral. Dengan demikian, individu
membutuhkan sistem lain yang bisa mengarahkannya kepada pengurangan
tegangan secara nyata, yang bisa memberi kepuasan tanpa menimbulkan
ketegangan baru khususnya masalah moral. Sistem yang dibutuhkan itu tidak lain
adalah ego.
b. Ego
Menurut Freud dalam Koeswara (1991:33), ego adalah sistem
kenyataan, dan menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan (reality
principle). Ego berkembang dari id agar individu mampu menangani realita;
sehingga ego beroperasi mengikuti prinsip realita. Ego berusaha memperoleh
kepuasan yang dituntut id dengan mencegah terjadinya tegangan baru atau
menunda kenikmatan sampai ditemukan objek yang nyata-nyata dapat
memuaskan kebutuhan. Menurut Freud, ego indidvidu sebagai hasil kontrak
dengan dunia luar. Ego juga memiliki tenaga penekan yang disebut antikateksis.
Adapun proses yang dimiliki dan dijalankan ego sehubungan dengan
upaya memuaskan kebutuhan atau mengurangi ketegangan individu adalah
proses sekunder. Dengan proses sekundernya ini, ego memformulasikan rencana
bagi pemuasan kebutuhan dan menguji apakah rencana tersebut bisa
dilaksanakan atau tidak. Dengan demikian, ego bagi individu tidak hanya
bertindak sebgai penunjuk kepada kenyataan, tetapi juga berperan sebagai
penguji kenyataan (reality tester). Dalam memainkan peranannya ini ego
melibatkan fungsi psikologis yang tinggi, yakni fungsi kognitif dan intelektual.
Dalam struktur kepribadian, ego mempunyai peranan sebagai eksekutif
(pelaksana) dari kepribadian. Dalam peranannya sebagai eksekutif tersebut, ego
mempunyai dua tugas utama, yaitu pertama, memilih stimuli mana yang hendak
direspon atau insting mana yang hendak dipuaskna sesuai dengan prioritas
kebutuhan. Kedua, menentukan kapan dan bagaimana kebutuhan itu dipuaskan
sesuai dengan tersedianya peluang yang resikonya minimal. Dengan kata lain,
ego seagai eksekutif kepribadian berusaha memenuhi kebutuhan id sekaligus
juga memenuhi kebutuhan moral dari superego. Sekilas akan tampak bahwa
Akan tetapi, menurut Freud ego dalam menjalankan fungsinya tidak
ditujukan untuk menghambat pemuasan kebutuhan-kebutuhan atau naluri-naluri
yang berasal dari id, melainkan justru bertindak sebagai perantara dari
tuntutan-tuntutan naluriah organisme di satu pihak dengan keadaan lingkungan di pihak
lain. Yang dihambat oleh ego adalah pengungkapan naluri-naluri yang tidak
layak atau tidak bisa diterima oleh lingkungan. Jadi, fungsi yang paling dasar dari
ego adalah sebagai pemelihara kelangsungan hidup individu.
c. Superego
Menurut Freud dalam Koeswara (1991: 34), superego adalah sistem
kepribadian yang berisikan nilai-nilai dan aturan yang sifatnya evaluatif
(menyangkut baik buruk). Superego adalah kekuatan moral dan etik dari
kepribadian yang beroperasi memakai prinsip idealistik (Idealistic principle)
sebagai lawan dari prinsip kepuasan id dan prinsip realistik ego. Superego
berkembang dari ego dan seperti ego dia tidak mempunyai energi sendiri. Sama
dengan ego, superego beroperasi di tiga daerah kekuasaan.
Superego terbentuk melalui internalisasi nilai-nilai atau aturan-aturan
oleh individu dari sejumlah figur yang berperan, berpengaruh atau berarti bagi
individu tersebut seperti orang tua dan guru. Adapun fungsi utama dari superego
adalah:
a) sebagai pengendali dari dorongan –dorongan atau impuls-impuls
naluri id agar impuls –impuls tersebut disalurkan dalam cara atau
b) mengarahkan ego pada tujuan-tujuan yang sesuai dengan moral
ketimbang dengan kenyataan,
c) mendorong individu mencapai kesempurnaan. Aktivitas superego
dalam diri individu, terutama apabial aktivitas ini bertentangan
atau terjadi konflik dengan ego, akan muncul dalam bentuk
emosi-emosi tertentu seperti perasaan bersalah dan penyesalan.
Sikap-sikap tertentu dari individu seperti observasi diri, koreksi atau
kritik diri, juga bersumber pada superego. Id, ego dan superego membutuhkan
energi psikis di anatar ketiga sistem kepribadian tersebut hampir selalu terjadi
persaingan dalam penggunaan energi. Apabila ternyata satu sistem memperoleh
energi lebih banyak, dan oleh karenanya menjadi kuat, maka sistem-sistem yang
lain akan kekurangan energi dan menjadi lemah, sampai energi baru ditambahkan
kepada sistem secara keseluruhan.
2.4.2 Dinamika Kepribadian
Konsep kedua yang dibahas dalam psikoanalisa Sigmund Freud adalah
dinamika kepribadian. Dalam dinamika kepribadianFreud membahas insting
(naluri) sebagai komponen penting bagi manusia untuk beraktivitas, kecemasan
dan mekanisme pertahanan ego.
a. Naluri (Insting)
Menurut Freud dalam Alwisol (2009:18), naluri (insting) adalah
motivasi atau dorongan dari insting. Secara kuantitatif adalah energi psikis dan
kumpulan energi dari seluruh insting yang dimiliki seseorang. Energi insting
dapat dijelaskan dari sumber (source), tujuan (aim), objek (object) dan daya
dorong (impuls) yang dimilikinya. Freud menjelaskan bahwa yang menjadi
sumber insting (source) adalah kondisi jasmaniah atau kebutuhan.
Freud membagi isnting menjadi dua jenis, yaitu insting hidup dan
insting mati. Berikut adalah penjelasan tentang kedua insting tersebut.
1. Insting hidup (life instinct)
Menurut Freud dalam Alwisol (2009:19), insting hidup disebut
juga eros adalah insting yang ditujukan pada pemeliharaan ego dan
pemeliharan kelangsungan jenis. Dengan kata lain, insing hidup adalah
insting yang ditujukan kepada pemeliharaan kehidupan manusia sebagai
individu maupun sebagai spesies. Insting hidup adalah dorongan yang
menjamin survival dan reproduksi seperti lapar, haus dan seks. Energi
yang dipakai oleh insting hidup ini disebut libido.
2. Insting mati (dead instinct)
Menurut Freud dalam Alwisol (2009:20), insting mati atau insting
deskrutif (destructive instinct) atau disebut juga thanatos adalah insting
yang ditujukan kepada perusakan atau penghancuran atas apa yang telah
ada. Freud mengajukan gagasan mengenai insting mati berdasarkan
fakta yang ditemukannya bahwa tujuan semua makhluk hidup adalah
kembai kepada anorganis. Freud menjelaskan bahwa naluri kematian itu
pada individu biasanya ditujukan dua arah, yakni kepada dirinya sendiri
Naluri kematian yang diarahkan pada diri sendiri tampil dalam
tindakan bunuh diri, sedangkan naluri kematian yang diarahkan ke luar
atau kepada orang lain dilakukan dengan cara membunuh, menganiaya,
atau menghancurkan orang lain. Insting mati mendorong orang untuk
merusak diri sendiri dan dorongan agresif merupakan bentuk
penyaluran agar orang tidak membunuh dirinya sendiri. Untuk
memelihara diri, insting hidup umunya melawan insting mati dengan
mengarahkan energinya keluar, ditujukan ke orang lain.
b. Kecemasan
Dalam konsep dinamika kepribadian, di sini Freud juga akan membahas
kecemasan. Menurut Freud dalam Alwisol (2009:22), kecemasan adalah variabel
penting dari hampir semua teori kepribadian. Kecemasan adalah suatu
pengalaman perasaan yang menyakitkan yang ditimbulkan oleh
ketegangan-ketegangan dalam alat –alat intern dari tubuh. Ketegangan-ketegangan-ketegangan ini adalah
akibat dari dorongan-dorongan dari dalam atau dari luar dan dikuasai oleh
susunan saraf otonom.
Kecemasan sebagai dampak dari konflik yang menjadi bagian kehidupan
yang tidak terhindarkan, dipandang sebagai komponen dinamika kepribadian
yang utama. Kecemasan adalah fungsi ego untuk memperingatkan individu
tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi
adaptif yang sesuai. Freud membagi kecemasan menjadi tiga jenis kecemasan,
yakni:
2. Kecemasan neurotik
3. Kecemasan moral
Kecemasan realistik adalah kecemasan atau ketakutan individu terhadap
bahaya-bahaya nyata yang berasal dari dunia luar. Sedangkan yang dimaksud
dengan kecemasan neurotik adalah kecemasan atas tidak terkontrolnya
naluri-naluri primitif oleh ego yang kemungkinan mendatangkan hukuman. Adapun
kecemasan moral adalah kecemasan yang timbul akibat tekanan superego atas
ego individu telah atau sedang melakukan tindakan yang melanggar moral.
c. Mekanisme Pertahanan Ego
Ego berusaha sekuat mungkin menjaga kestabilan hubungannya dengan
realitas, id dan superego. Namun, ketika kecemasan begitu menguasai, ego harus
berusaha mempertahankan diri. Secara tidak sadar, dia akan bertahan dengan cara
memblokir seluruh dorongan atau menciutkan dorongan-dorongan tersebut
menjadi wujud yang lebih dapat diterima dan tidak terlalu mengancam. Cara ini
disebut mekanisme pertahanan ego. Beberapa di antara mekanisme ini ditemukan
oleh Freud, putrinya Anna Freud, dan murid-muridnya.
Bentuk-bentuk pertahanan tersebut adalah:
1. Penolakan
Penolakan dilakukan dengan cara memblokir peristiwa-peristiwa
yang datang dari luar kesadaran. Jika dalam situasi tertentu peristiwa ini
terlalu banyak untuk ditanggulangi, seseorang hanya perlu menolak untuk
mengalaminya. Cara ini adalah cara yang paling primitif dan berbahaya,
Penolakan dapat bekerja sendiri atau, biasanya dikombinasikan dengan
bentuk mekanisme pertahanan lain yang lebih kukuh.
Anna Freud (dalam Zaviera, 2007:99) memberi contoh sebagai
berikut. Penolakan ini terjadi ketika anak-anak membayangkan ayahnya
yang “jahat” berubah menjadi seorang boneka lucu dan baik, atau
mengubah seorang bocah yang tidak berdaya menjadi ksatria gagah.
2. Represi
Anna Freud (dalam Zaviera, 2007:99) menyebut hal ini dengan
“melupakan yang bermotivasi”. Karena itu, represi adalah:
ketidakmampuan untuk mengingat kembali situasi, orang, atau peristiwa
yang menakutkan. Represi juga merupakan mekanisme pertahanan ego
yang berbahaya sekaligus menjadi bentuk paling umumnya.
Analisis Freudian menjelaskan fobia ini dengan sangat sederhana.
Seseorang merepresi peristiwa traumatik tapi pengalaman melihat suatu
obejek yang menakutkan bisa menimbulkan perasaan takut dan cemas
kepanjangan tanpa mampu mengingat peristiwanya dengan jelas.
Mekanisme pertahanan ego ini berfungsi secara tidak sadar. Sebagai
contoh, seseorang sangat takut dengan anjing, tapi tidak ada mekanisme
pertahanan ego yang terlibat dalam perasaannya ini. Kemungkinan, dia
pernah digigit anjing dan tentu tidak ingin pengalaman ini terulang lagi.
Biasanya yang kita sebut fobia adalah rasa takut yang rasional dan berasal
dari represi terhadap trauma.
3. Asketisme atau menolak segala kebutuhan
Ini adalah mekanisme pertahanan ego yang paling jarang dikenal
gangguan mental yang disebut anoreksia. Contoh mekanisme pertahanan
ego ini adalah diet yang dilakukan anak-anak remaja putri. Diet yang
mereka lakukan sebenarnya adalah bentuk permukaan dari penolakan
mereka terhadap pertumbuhan seksual yang mereka alami. Padahal
mereka mematok berat badan ideal 10kg lebi rendah dari apa yang ideal
menurut kesehatan.
4. Isolasi (disebut juga intelektualisasi)
Mekanisme ini berjalan dengan cara mengalihkan emosi dari
kenangan yang menakutkan. Contohnya, remaja yang senang film horor
akan sering tampil ke hadapan orang banyak yang tujuan sebenarnya
adalah menghilangkan rasa takut mereka sendiri.
5. Penggantian
Mekanisme ini berjalan dengan cara mengalihkan arah dorongan
ke target pengganti. Jika anda merasa nyaman dengan dorongan, hasrat
dan nafsu yang Anda rasakan, tapi objek yang akan dijadikan sasaran
semua perasaan itu malah membuat anda terancam, maka Anda dapat
mengganti dia dengan orang lain atau benda lain sebagai pelampiasan.
6. Melawan Diri Sendiri
Ini merupakan bentuk penggantian paling khusus di mana
seseorang menjadikan dirinya sendiri sebagai target pengganti, biasanya
untuk melampiaskan rasa benci, marah dan keberingasan, ketimbang
pelampiasan terhadap dorongan-dorongan positif.
7. Proyeksi
Anna Freud (dalam Zaviera, 2007:103) menyebut proyeksi
dari melawan diri sendiri. Mekanisme ini meliputi kecenderungan untuk
melihat hasrat anda yang tidak bisa diterima oleh orang lain. Dengan kata
lain, hasrat masih ada tetapi tidak lagi menjadi hasrat yang anda punyai.
8. Tawanan Altruistik
Tawanan Alturuistik adalah bentuk proyeksi yang awalnya terlihat
berlawanan. Di sini, orang berusaha memenuhi kebutuhannya semaksimal
mungkin, tapi dengan memanfaatkan orang lain.
9. Pembentukan Reaksi
Pembentukan reaksi yang oleh Anna Freud dengan "percaya pada
hal yang sebaliknya". Mekanisme ini adalah mengubah
dorongan-dorongan yang tidak dapat diterima menjadi kebalikannya (dapat
diterima). Contohnya, ketika seorang anak dimarahi ibunya dia berubah
dramatis menjadi sangat baik dan patuh pada ibunya, anak itu mungkin
malah lari dan memeluk ibunya.
10. Penghapusan
Mekanisme ini mencakup gestur atau ritual "magis" yang
bertujuan menghapus pikiran atau perasaan yang tidak mengenakkan.
11. Introjeksi atau Identifikasi
Mekanisme ini bekerja dengan cara membawa kepribadian orang
lain masuk ke dalam diri anda, karena dengan begitu anda dapat
menyelesaikan masalah perasaan yang mengganggu anda. Misalnya,
seorang anak yang sering ditinggal bekerja oleh orang tuanya akan selalu
mencoba menjadi seorang "ibu" untuk menghilangkan rasa takut dan
kesepiannya, bisa saja dia berbicara pada bonekanya seolah-olah boneka
12. Identifikasi dengan Penyerang
Ini adalah bentuk introjeksi yang terfokus pada pengadopsian,
bukan dari segi umum atau positif, tapi dari sisi negatif. Jika anda merasa
takut dengan seseorang, anda akan menaklukan rasa takut itu dengan
pura-pura menjadi orang yang anda takuti.
13. Regresi
Regresi adalah kembali ke masa-masa di maaa seseorang
mengalami tekanan psikologis. Ketika kita mengalami kesulitasn atau
ketakutan, perilaku kita sering menjadi kekanak-kanakan atau primitif.
14. Rasioanlisasi
Rasionalisasi adalah pendistorsian kognitif terhadap "kenyataan"
dengan tujuan kenyataan tersebut tidak lagi memberi kesan menakutkan.
Kita kerap melakukan hal ini secara sadar ketika kita mencoba
memaafkan diri sendiri dari kesalahan dengan cara menyalahkan orang
lain. Bagi orang yang memiliki ego sensitif, menyalahkan orang lain
begitu mudah dilakukan. Dengan kata lain, banyak di antara kita yang
dengan mudah membohongi diri sendiri.
15. Sublimasi
Sublimasi adalah mengubah berbagai rangsangan yang diterima,
apakah itu dalam bentuk seks, kemarahan, ketakutan atau bentuj lainnya,
ke dalam bentuk-bentuk yang bisa diterima secara sosial. Misalnya, orang
yang selalu cemas dalam dunia yang meragukan ini akan menjadi
organisator, pengusaha atau ilmuwan. Ataupun, orang yang memiliki
Walaupun pengikut Freud menganggap bahwa mekanisme
pertahanan ego dapat digunakan secara positif, namun Freud mengatakan