BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang majemuk atau heterogen.
Bangsa Indonesia mempunyai beraneka ragam suku bangsa, budaya, agama, dan
adat istiadat (tradisi). Semua itu tercermin dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Indonesia, misalnya dalam upacara adat, rumah adat, baju adat,
nyanyian dan tarian daerah, alat musik, ataupun makanan khas. Di Indonesia ada
berbagai macam suku bangsa yang merupakan sumber kebudayaan nasional. Suku
bangsa adalah suatu kelompok masyarakat yang terikat kesatuan budaya, bahasa,
dan tempat tinggal. Oleh karena itu, setiap suku bangsa memiliki bahasa yang
berbeda, tradisi dan kebudayaannya juga berbeda. Jumlah suku bangsa di
Indonesia kurang lebih 300 suku bangsa dan setiap masing-masing suku menyebar
di seluruh penjuru Indonesia. Salah satunya adalah suku Jawa.
Suku Jawa adalah salah satu suku yang terdapat di Indonesia dan
merupakan suku yang memiliki populasi terbesar di pulau Jawa, bahkan di
Indonesia. Populasi suku Jawa diperkirakan lebih dari 40% dari total jumlah
penduduk Indonesia, yaitu sekitar 100 juta orang. Suku Jawa hampir ada di segala
penjuru Indonesia, mulai dari daerah provinsi Sumatra Utara hingga ke wilayah
paling timur Indonesia, yaitu provinsi Papua.
Suku Jawa pada awalnya bukanlah suku perantau, tapi sejak masa
ditempatkan di beberapa daerah, seperti pertama kali di Sumatra Utara, sebagai
buruh-buruh kontrak di perkebunan, yang dilanjutkan ke daerah-daerah lain
(http://deutromalayan.blogspot.com/2012/10/suku-jawa.html/diakses pada tanggal
01 Juli 2013).
Suku Jawa merupakan penduduk asli pulau Jawa bagian tengah dan timur,
kecuali pulau Madura. Mereka yang menggunakan bahasa Jawa dalam
kesehariannya untuk berkomunikasi juga termasuk dalam suku Jawa, meskipun
tidak secara langsung berasal dari pulau Jawa. Di zaman sekarang banyak suku
Jawa hidup di pulau-pulau lain sebagai pegawai, anggota ABRI, ahli teknik, guru,
dan juga sebagai transmigran. (Franz Magnis-Suseno, 1984:11-12)
Dalam masyarakat Jawa terdapat penggolongan sosial yang pernah
dibahas oleh seorang antropolog dari Amerika Serikat bernama Clifford Geertz di
dalam bukunya yang berjudul The religion of Java, Ia membagi suku Jawa dalam tiga golongan, yaitu:
1. Kaum santri
Golongan ini adalah mereka yang memeluk agama Islam dan menganut
agama Islam sebagai jalan hidupnya.
2. Kaum Abangan
Kaum abangan adalah mereka yang masih berpegang pada adat istiadat
Jawa, meskipun mereka memeluk berbagai agama. Kaum ini sering disebut
dengan Kejawen, maka ada istilah Islam Kejawen, Kristen Kejawen dan lain
diantara mereka beragama islam, namun demikian kewajiban-kewajiban yang
terdapat di dalam rukun islam tidak dijalankan secara utuh.
3. Kaum Priyayi
Kaum priyayi adalah mereka yang bekerja sebagai pegawai atau para
cendikiawan. Mereka pada umumnya bekerja untuk pemerintah atau swasta
dengan status sosial yang lebih tinggi dari orang kebanyakan.
Suku Jawa terkenal karena keramahan dan sopan santun apabila berbicara
dengan orang lain. Mereka juga tidak mudah tersinggung dalam menghadapi
orang lain, mereka juga suka bercanda dan periang, serta bisa menempatkan diri
dihadapan kelompok etnis lain. Karena sifat dan karakter seperti inilah yang
membuat mereka bisa hidup dan berbaur dengan suku bangsa dari mana saja.
Selain itu, sifat gotong-royongatau saling membantu sesama orang di lingkungan
hidupnya akan selalu terlihat di dalam setiap sendi kehidupannya baik itu suasana
suka maupun duka.
Pola kehidupan orang jawa memang telah tertata sejak nenek moyang.
Berbagai nilai luhur kehidupan adalah warisan nenek moyang yang adi luhung
dan semua itu dapat kita ketahui wujud nyatanya. Bagaimana eksistensi orang
jawa terjaga begitu kuat sehingga sampai detik ini pola-pola tersebut tetap
diterapkan dalam kehidupan. Pola hidup kerjasama ini dapat kita temukan pada
kerja gotong royong yang banyak diterapkan dalam masyarakat Jawa. Orang Jawa
dan tanggung jawab. Kita harus mengakui bahwa kehidupan orang jawa memang
begitu spesifik. Dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia, bahkan yang ada di
dunia, orang Jawa mempunyai pola hidup yang berbeda. Kebiasaan hidup secara
berkelompok menyebabkan rasa diri mereka sedemikian dekat satu dengan
lainnya, sehingga saling menolong merupakan sebuah kebutuhan. Mereka selalu
memberikan pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan.
Bahkan dengan segala cara mereka ikut membantu seseorang keluar dari
permasalahan, apalagi jika sesaudara atau sudah menjadi teman
(http://ihwan42.blogspot.com/2013/01/sifat-dan-karakter-orang-jawa.html/diaksespada tanggal 01 Juli 2013)
Dengan pernyataan demikian, lalu muncul semacam tradisi. Menurut
Ougburn and Nimkoff (dalam Sismudjito:40) menunjukkan bahwa tradisi adalah
suatu bentuk collective habits (customs) yang telah menempuh usia yang panjang.
Menurut Soebadio (dalam Mursal-Esten, 1992:14) Tradisi adalah
kebiasaan turun-temurun sekelompok masyarakat berdasarkan nilai budaya
masyarakat yang bersangkutan. Tradisi memperlihatkan bagaimana anggota
masyarakat bertingkah laku, baik dalam kehidupan yang bersifat duniawi maupun
terhadap hal-hal yang bersifat gaib atau keagamaan. Didalam tradisi diatur
bagaimana manusia berhubungan dengan manusia yang lain atau satu kelompok
manusia dengan kelompok manusia yang lain, bagaimana manusia bertindak
terhadap lingkungannya, dan bagaimana perilaku manusia terhadap alam yang
sekaligus juga mengatur penggunaan sanksi dan ancaman terhadap pelanggaran
dan penyimpangan.
Sebagai sistem budaya, tradisi akan menyediakan seperangkat model
untuk bertingkah laku yang bersumber dari sistem nilai dan gagasan utama (vital).
Sistem nilai dan gagasan utama ini akan terwujud dalam sistem ideologi, sistem
sosial, dan sistem teknologi. Sistem ideologi meliputi etika, norma, dan adat
istiadat. Ia berfungsi memberikan pengarahan atau landasan terhadap sistem
sosial, yang meliputi hubungan dan kegiatan sosial masyarakatnya. Perkembangan
suatu tradisi yang ada didalam masyarakat biasanya berkembang mengikuti
zaman. Dan itu semua tergantung dengan masyarakat yang ada didalamnya,
apakah mereka tetap akan mempertahankan tradisi yang sejak dahulu pernah ada,
atau memperbahuruinya dengan memasukkan nilai dan norma yang baru ke dalam
tradisi tersebut dengan mengikuti batasan-batasan ataupun aturan-aturan yang
sesuai dengan tradisi tersebut.
Tradisi suku Jawa yaitu sikap saling kerja sama dan tolong menolong
masih sering kita lihat di kalangan suku Jawa khususnya masyarakat suku Jawa
yang tinggal di pedesaan melalui beberapa kegiatan sosial. Misalnya di dalam
suku Jawa ada tradisi yang namanya Rewang. Rewang adalah wujud keharmonisan dalam kekerabatan antara masyarakat satu dengan yang lain.
Tradisi rewang merupakan kesadaran sosial dalam bentuk bantuan terhadap orang
lain agar bebannya menjadi lebih ringan. Selain itu, juga bertujuan untuk
bersosialisasi dan menjaga hubungan komunikasi di dalam masyarakat. Tradisi
ada di sekitarnya dengan cara membantu menyumbangkan tenaga bagi tetangga
untuk urusan memasak dan menyiapkan pesta adat atau jamuan makan pernikahan
(http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/kejawen/2013/01/15/622/Korel
asi-Tradisi-Rewang-dengan-Kesadaran-Sosial/diakses pada tanggal 01 Juli 2013). Selain tradisi Rewang, di Sumatera Utara banyak juga kita temukan
masyarakat suku Jawa yang masih menjalankan tradisi-tradisi lain yang ada di
dalam masyarakat Suku Jawa, salah satunya yaitu di desa Urung Pane Kabupaten
Asahan, Kisaran. Desa Urung Pane merupakan salah satu desa yang terletak di
Kecamatan Setia Janji, Kisaran. Jumlah penduduk yang ada di desa tersebut
sebesar 3.304 jiwa. Mayoritas masyarakatnya adalah suku Jawa, karena Sekitar
2.202 jiwa masyarakatnya adalah suku Jawa. Mata pencaharian masyarakat yang
ada disana mayoritas bertani dan berdagang. Di dalam masyarakat Suku Jawa
tersebut ada semacam tradisi yang dikenal yaitu Tradisi Rantangan atau bisa juga
disebut tonjokan. Rantangan adalah suatu hantaran berupa makanan seperti nasi
dan lauk pauk yang di isi di dalam rantang yang diberikan kepada tetangga,
saudara, kerabat dan orang tua ketika mengadakan suatu acara. Maksud dari
adanya rantangan yang diberikan tersebut adalah merupakan suatu sedekah untuk
orang lain karena bentuk rasa syukur dan berbagi rasa kebahagiaan dari acara
yang telah dilakukan, serta si perantang juga mohon didoakan kepada orang yang
dirantang agar acara yang dilakukan menjadi berkah. Biasanya rantangan ini
diberikan pada saat mengadakan suatu acara seperti syukuran dan pesta. Baik
pesta pernikahan, khitanan ataupun mengayunkan (menabalkan nama) anak.
Seiring berkembangnya zaman, rantangan sudah dijadikan sebagai alat
pengharapan doa kepada orang yang dirantang, tetapi kini sudah menjadi ajang
atau wadah untuk mencari materi. Semua orang berlomba-lomba untuk
mengadakan suatu acara dan melakukan rantangan. Agar mendapatkan
keuntungan dari orang yang dirantang. Karena biasanya apabila seseorang
melakukan rantangan berharap untuk mendapatkan balasan berupa sumbangan
amplop (uang) sebagai bentuk rasa ucapan terima kasih karena sudah dirantang.
Bagi orang yang sudah mendapatkan rantangan juga mau tidak mau untuk bisa
hadir dalam acara tersebut. Karena rantangan tersebut juga merupakan
penggantinya surat undangan.
Fungsi rantangan tersebut sudah bergeser menjadi sebagai modal sosial.
Berubahnya fungsi tersebut awalnya karena timbul rasa ingin kerja sama dan
saling percaya yang terjadi diantara orang yang merantang dan yang dirantang.
Modal sosial yang berupa kepercayaan yang berasal dari sebuah jaringan di dalam
masyarakat yang memungkinkan masyarakat saling bersatu dengan yang lain dan
memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial. Adapun bentuk
kepercayaan diatas dapat diartikan sebagai bentuk saling percaya antara anggota
kelompok yang didasari dengan pengharapan melalui interaksi sosial dimana
antara Suku Jawa tersebut akan saling menguntungkan dalam hal ini baik moril
maupun materil. Harapan yang dimaksud menunjuk pada suatu yang akan terjadi
dimasa yang akan datang melalui tindakan resiprositas yang dilakukan oleh Suku
Jawa tersebut yang sedang membutuhkan pertolongan, sehingga hal ini akan
memperkuat rasa saling percaya antara Suku Jawa.
Jaringan sosial dalam suku Jawa yang didasari oleh hubungan sosial antar
kepercayaan yang kuat mampu membentuk kerja sama dan saling percaya. Nilai
dan norma tidak dapat dipisahkan dari jaringan dan kepercayaan. Nilai merupakan
suatu ide yang telah turun temurun dan dipatuhi serta dianggap penting untuk
dilaksanakan oleh kelompok masyarakat. Pada suku Jawa, norma dan nilai yang
menyangkut adalah sikap saling menghormati kepada sesamanya terutama kepada
orang tua.
Melihat elemen-elemen yang mendasari lahirnya tradisi rantangan sebagai
modal sosial, yaitu adanya kepercayaan, jaringan sosial, dan nilai-nilai atau norma
maka rantangan dapat dikatakan sebagai salah satu potensi modal sosial, dimana
kita dapat melihat modal sosial bekerja secara efektif. Elemen-elemen modal
sosial yang bekerja dengan baik akan melahirkan bentuk-bentuk modal sosial.
Kajian modal-modal sosial tersebut yaitu:
1. Saling percaya (trust), yang meliputi adanya kejujuran (honesty), kewajaran (fairness), sikap egaliter (egaliterianisme), toleransi (tolerance) dan kemurahan hati (generosity).
2. Jaringan sosial (network), yang meliputi adanya partisipasi (participation), pertukaran timbal balik (resiprocity), solidaritas (solidarity), kerja sama (cooperation), keadilan (equity).
3. Pranata (institution), yang meliputi nilai-nilai yang dimiliki bersama (shared value), norma-norma dan sanksi-sanksi (norms and sanctions) dan aturan-aturan (rules). Elemen-elemen pokok modal sosial tersebut bukanlah sesuatu yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya melainkan harus dikreasikan dan
unit sosial, seperti keluarga, komunitas, asosiasi sukarela, Negara, dan lain
sebagainya (Badaruddin, 2005:31)
Dengan demikian di dalam tradisi rantangan terdapat modal sosial berupa
kerja sama, jaringan sosial, kepercayaan, nilai dan norma yang saling berkaitan
satu dengan yang lainnya. Karena pada dasarnya tradisi rantangan tersebut
dibangun atas dasar saling kerja sama yang nantinya bisa saling menguntungkan
baik moril maupun materil.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang di atas,
maka yang menjadi pokok permasalahan yang diteliti adalah “Bagaimana tradisi
rantangan sebagai modal sosial dikalangan suku Jawa di desa Urung Pane
Kabupaten Asahan”?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
menganalisis serta melihat tradisi rantangan sebagai modal sosial dikalangan suku
Jawa.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Manfaat teoritis : Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan informasi
dan sumbangan kepada peneliti lain sebagai bahan perbandingan referensi dalam
meneliti masalah yang mirip dengan penelitian ini dalam bidang Ilmu Sosiologi
menambah rujukan bagi mahasiswa Sosiologi Fisip USU mengenai penelitian
yang berkaitan dengan penelitian ini.
b. Manfaat praktis : Bagi penulis, penelitian ini dapat mengasah penulis dalam
membuat karya tulis ilmiah serta menambah pengetahuan penulis mengenai
masalah yang diteliti.
1. 5 Definisi Konsep
Dalam sebuah penelitian ilmiah, definisi konsep sangat diperlukan untuk
memfokuskan penelitian sehingga memudahkan penelitian. Konsep adalah
definisi, abstraksi mengenai gejala atau realita ataupun suatu pengertian yang
nantinya akan menjelaskan suatu gejala (Meleong, 2006:67). Disamping berfungsi
untuk memfokuskan dan mempermudah penelitian, konsep ini juga berfungsi
sebagai panduan yang nantinya digunakan peneliti untuk menindak lanjuti sebuah
kasus yang diteliti dan menghindari terjadinya kekacauan akibat kesalahan
penafsiran dalam sebuah penelitian. Adapun konsep yang digunakan sesuai
dengan konteks penelitian ini antara lain adalah:
1. Menurut Ougburn and Nimkoff menunjukkan bahwa tradisi adalah suatu bentuk
collective habits (customs) yang telah menempuh usia yang panjang.
2. Rantangan (Tonjokan) adalah hantaran berupa makanan yang diberikan ketika
akan mengadakan pesta baik itu pesta pernikahan, sunnatan rasul, ataupun
mengayunkan kepada tetangga ataupun kerabatnya.
3. Modal sosial menurut Fukuyama (2002:37) adalah kapabilitas yang muncul dari
kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau di bagian-bagian tertentu
4. Suku Jawa adalah merupakan penduduk asli pulau Jawa bagian tengah dan timur,
kecuali pulau Madura. Selain itu, mereka yang menggunakan bahasa Jawa dalam
kesehariannya untuk berkomunikasi juga termasuk dalam suku Jawa, meskipun
tidak secara langsung berasal dari pulau Jawa.
5. Jaringan sosial menurut George Ritzer dalam Ritzer dan goodman (2004:382)
merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antara banyak individu dalam suatu
kelompok dengan kelompok ataupun antar suatu kelompok dengan kelompok
lainnya.
6. Solidaritas sosial menurut Soerjono Soekanto (2002: 68-69) solidaritas sosial
merupakan kohesi yang ada antara anggota suatu asosiasi, kelompok, kelas sosial
atau kasta, dan diantara berbagai pribadi, kelompok maupun kelas-kelas
membentuk masyarakat dan bagian-bagiannya. Solidaritas ini menghasilkan
persamaaan, saling ketergantungan, dan pengalaman yang sama, merupakan unsur
pengikat bagi unit-unit kolektif seperti keluarga, kelompok atau komunitas
tertentu.
7. Trust (Kepercayaan) menurut Fukuyama (2002:37) adalah unsur penting dalam
modal sosial yang merupakan perekat bagi langgengnya hubungan dalam
kelompok masyarakat. Dengan menjaga suatu kepercayaan, orang-orang bisa