• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Tradisi Berahoi Pada Masyarakat Melayu Langkat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Representasi Tradisi Berahoi Pada Masyarakat Melayu Langkat"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Orang Melayu di Indonesia tersebar di sepanjang pantai Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Mereka terkenal sebagai penganut Islam yang taat (Geertz, H. 1981 : 4). Pada umumnya orang-orang Melayu di kawasan tersebut dinamakan menurut nama kawasannya seperti orang Melayu Betawi di Jakarta, orang Melayu Riau di Riau, orang Melayu Jambi di Jambi dan orang Melayu Palembang di Palembang. Namun, di Sulawesi Selatan mereka bukan dinamakan orang Melayu tetapi sebagai orang Bugis. Begitu juga di Kalimantan Selatan, mereka dikenali sebagai orang Banjar. Hanya orang Melayu di Sumatera Utara yang disebut sebagai orang Melayu.

(2)

Sumatera Utara. Masyarakat Melayu di wilayah Bahorok mempunyai sistem religi, bahasa, pendidikan, organisasi sosial, kesenian, ekonomi dan mata pencaharian. Dalam kehidupan mereka juga menghasilkan budaya yang mencakup berbagai unsurnya, diwujudkan dalam bentuk ide, aktivitas, maupun benda-benda, tradisi dan menggunakan bahasa Melayu dialek dan sosiolek Langkat. Mereka memiliki budaya tradisi kelautan seperti penggunaan perahu menangkap ikan, jaring, sondong, kail, dan sejenisnya, serta kesenian yang dikenal dedeng Langkat, nyanyian mengambil madu lebah, tari dulang, dan tradisi berahoi.

Masyarakat Melayu Langkat dikenal sebagai masyarakat maritim atau sebagai masyarakat nelayan, yang hidupnya secara ekonomis berlandas kepada hasil-hasil di lautan. Selain sebagai pelaut, sifat masyarakat Melayu Langkat ini juga adalah agraris digambarkan melalui tradisi bertanam padi.. Kegiatan komunal berahoi pada masyarakat Bahorok pada masa lampau menggambarkan kehidupan siklus bertani, seperti tajak, semai, tanam, panen, dan lainnya serta melalui karya seni budaya berahoi melibatkan upacara istiadat1. Secara historis masyarakat Melayu umumnya menanam padi dengan cara berladang, meskipun pada beberapa tempat mereka turun ke sawah sesuai dengan wilayah hunian. Orang-orang

1

Dalam kebudayaan masyarakat Melayu Sumatera Timur, upacara-upacara adat ini, dalam konteks adat secara universal termasuk ke dalam stratifikasi adat-istiadat dari empat bidang adat yang mengatur masyarakat Melayu dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Empat stratifikasi adat itu adalah: (a) adat yang sebenar adat, yang merupakan hukum alam yang diciptakan Allah, misalnya adat api membakar, adat matahari terbit dari timur. (b) adat yang diadatkan, yang merupakan sistem kepemerintahan dalam konteks menjaga keutuhan (turai) sosial. (c) adat yang

teradat, yaitu kebiasaan-kebiasaan yang mula-mula bukan menjadi bahagian dari adat, tetapi

(3)

Melayu menamakan bulir-bulir padi (Oryza sativa) dengan nama beras.2 Nama ini adalah bulir padi yang telah dikupas kulitnya dan nasi adalah beras yang sudah dimasak. Jenis-jenis padi diklasifikasikan atas dua bagian yakni padi ladang dan padi sawah. Tradisi berahoi dalam kebudayaan Melayu Bahorok Langkat Sumatera Utara berciri dan bercorak pemikiran masyarakat agraris. Kedua bentuk masyarakat ini, yaitu petani dan nelayan secara umum dikategorikan sebagai masyarakat pedesaan (rural).

Objek penelitian ini adalah tradisi lisan berahoi. Tradisi lisan di sini digunakan sebagai kriteria utama untuk menandai displin ilmu atau kajian tradisi lisan. Tradisi berahoi dapat dikategorikan sebagai tradisi lisan dalam kaitannya dengan suatu proses dan hasil proses komunikasi verbal dan non-verbal yang ditransmisikan secara lisan sesuai pengertian tradisi lisan yang dikatakan Vansina (2014) bahwa ungkapan tradisi lisan mengacu kepada dua hal yaitu sebuah ‘proses’ penyampaian pesan dari mulut ke mulut selama beberapa waktu sampai

pesan tersebut menghilang dan kepada ‘hasil proses’ yang berupa pesan-pesan

lisan terdahulu yang berusia paling tidak satu generasi. Finnegan (1992)

menganggap tradisi lisan sebagai “perkembangan” dan “modernisasi” bahwa proses penganalisisan karya lisan masuk ke dalam “tradisi lisan” terutama

2

(4)

karya mitos-mitos yang dikumpulkan dari orang asing atau folklor yang berdasarkan tradisi-tradisi Eropa, karena fokus perhatian pada originalitas penelitian pada karya sastra lisan dipusatkan pada tahap yang ‘murni’, ‘original’, atau “tradisional” yang ‘tidak terkontaminasi’ oleh ‘pengaruh-pengaruh dari luar’. Cerita-cerita atau lagu-lagu yang dianggap bersifat ‘tradisional’, ‘kerakyatan’, atau ‘tribal/kesukuan’ dapat dianalisis sebagai kelangsungan hidup dari masyarakat beberapa tahapan sebelumnya. Adanya asumsi bentuk-bentuk (tradisi) lisan dari masa lalu yang dikumpulkan orang jajahan/koloni yang bukan orang Eropa pada dasarnya dapat dianalisis sebagai bentuk yang berbeda dari bentuk yang terdapat dalam tradisi lisan yang berasal dari (orang) Eropa, dan lebih dekat kepada ‘alam’ yang sesuai dengan prekonsepsi pada abad ke sembilan belas yang sebagian masih dipakai sekarang ini (Finnegan, 1992: 27).

Dikaitkan dengan penjelasan di atas, komunitas masyarakat Bahorok sejak pada masa dahulu melakukan tradisi upacara-upacara berahoi dan menjadikannya bagian dari kehidupan mereka. Mereka mengirik padi berpartisipasi dalam kegiatan komunalistik bergotong-royong sambil menyanyikan pantun yang diiringi ucapan lisan ahoi-ahoi.3 Yang diketahui pada hasil wawancara bahwa istilah ahoi atau hooi adalah tuturan kebiasaan orang Melayu Langkat memanggil seseorang untuk bergabung atau bekerja bergotong-royong. Pada zaman dahulu, kegiatan ini dilakukan pada malam hari ketika bulan terang menyinari halaman

3

Dalam kajian etnomusikologis, pertunjukan yang sedemikian rupa ini disebut dengan

responsorial atau call and response. Maknanya adalah satu pemimpin penyanyi disahuti (litany)

oleh sekelompok penyanyi lainnya yang dilakukan secara berulang-ulang. Di samping penyajian

call and response dikenal juga penyajian antiphonal (antifonal), yaitu dua kelompok penyanyi

(5)

rumah orang Melayu Langkat. Satu orang menjadi pemimpin lagu, kemudian diikuti oleh kelompok penyaji, sambil mengirik padi. Untuk itu, istilah representasi berarti menampilkan kontruksi fakta sosial tradisi budaya masyarakat komunal dalam hal ini kebersamaan sosial tradisi lisan berahoi adalah tepat menjadi kajian ini.

Masyarakat tradisional Melayu Bahorok mempunyai tradisi kepercayaan terhadap konsep makrokosmos (jagad raya) dan mikrokosmos (dunia manusia) yang direpresentasikan melalui tradisi lisan Berahoi. Menurut kepercayaan masyarakat mereka, manusia itu senantiasa berada di bawah pengaruh tenaga-tenaga yang bersumber pada penjuru mata angin dan bintang-bintang dan planet. Marsden (2008:69) mengatakan pada zaman purba, penduduk pribumi percaya bahwa cuaca diatur oleh bintang baniah atau pleiades. Tenaga-tenaga ini mungkin menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan atau berbuat kehancuran bergantung pada dapat tidaknya individu dan kelompok menyelaraskan kehidupan mereka di jagad raya. Individu bisa mengusahakan keselarasan dengan mengikuti petunjuk yang diberikan astrologi, pengetahuan hari-hari baik dan hari-hari buruk. Setelah masuknya agama Islam ke Sumatera, maka penduduk pribumi Melayu mulai memberlakukan tahun lunar yang disebut tahun Hijriah. Tahun lunar berselisih 11 hari dengan tahun solar (matahari). Cara pemilihan waktu

untuk musim bertanam pun jadi berbeda-beda. Tradisi berahoi dulunya dimulai dengan kebiasaan orang Melayu melihat bintang (kosmos alam) yang disebut sandaran lemang, maka orang-orang Melayu mulai menanam padi untuk turun ke

(6)

Selaras dengan tuntutan perubahan zaman masa kini, sekarang ini terjadi pergeseran pada upacara tradisi berahoi yang mengambil hanya sebagian kecil dari keseluruhan tradisi. Perubahan dan perkembangan sistem bertani dalam dunia modern menandakan terjadi pergeseran dalam sistem bertani tradisional dalam siklus tajak, semai, tanam, rawat, panen dan mengirik padi secara utuh tidak lagi dilakukan di masyarakat Langkat. Selain itu, dampak pergeseran nilai budaya masyarakat Melayu Langkat akibat ketidakseimbangan kekuatan antara masyarakat adat dan pribumi dengan sektor swasta yang dikuasai pengusaha, menyebabkan hilangnya kekuatan primordial masyarakat adat sebagai dampak kebijakan politik dan kekuasaan yang terjadi sampai masa sekarang. Hal ini jelas berdampak kepada masyarakat Melayu langkat ketika mereka kehilangan pengayom adat yaitu sultan. Dampak lain juga dapat dikaitkan dengan krisis perusakan hutan, hutan lindung, mengeringnya air dan sumber energi pangan yang melanda Indonesia mengakibatkan masyarakat penutur yang masih menyimpan memori kolektif tradisi berahoi kehilangan lahan pertanian dan tidak lagi melaksanakan upacara tradisi berahoi pada waktu panen. Bukti-bukti telah menunjukkan dalam dua (2) dekade saja hutan penduduk di Sumatera Utara, dialihfungsikan menjadi permukiman perumahan yang berlabel indah, perubahan kebijakan pertanian padi kepada pertanian sawit dan pertambakan, yang membuat ketidakseimbangan skala kehidupan masyarakat Sumatera Utara4.

Sebagai dampak globalisasi akibat kekuatan homogenisasi barat, berbagai budaya lokal lenyap dan terabaikan oleh pemerintah. Demikian juga tradisi adat,

4

(7)

para sesepuh adat, pelaku tradisi dan masyarakat pendukung adat yang semakin lama semakin berkurang dan telah kehilangan pendukungnya5. Kini muncul lokalisasi sebagai reaksi balik kesadaran individu dan kelompok etnik, sub bentuk atau suku bangsa dalam menghadapi globalisasi. Masalah pewarisan di atas disikapi oleh pemerintah dalam Buku Pedoman Kajian Tradisi Lisan Dikti (2009: 2) yang mengamanatkan pentingnya melakukan dan mengembangkan penelitian tradisi lisan melalui perguruan tinggi sesuai dengan pernyataan berikut.

“Perguruan tinggi mempunyai peran penting menyiapkan program konkret mengubah media pewarisan tradisi lisan tanpa meninggalkan hakikat tradisi lisan itu sendiri, yang tidak dapat dipisahkan dari komunitasnya. Dalam kaitan ini penting juga memperhatikan upaya pengembangan potensi, penyusunan langkah-langkah perlindungan termasuk perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), pengembangan dan pemanfaatan tradisi lisan sebagai kekuatan cultural yang kreatif”.

Sikap dan kesepakatan seperti ini juga dimiliki oleh para seniman Bahorok di Langkat untuk melestarikan tradisi berahoi dan tetap konsisten untuk mencintai upacara tradisi berahoi dan dapat dianggap sebagai modal sosial yang kuat untuk memberdayakan kembali tradisi berahoi Dalam hal ini penelitian, tradisi berahoi bertujuan untuk melakukan revitalisasi agar generasi muda Melayu Bahorok mencintai aset budaya lokal mereka. Usaha melakukan pengkajian diawali dengan meneliti deskripsi dan rekaman tradisi berahoi yang pernah dilakukan oleh

5

(8)

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Kanwil Depdikbud) Propinsi Sumatera Utara tahun 1995 dan upacara tradisi berahoi(tahun2021). Hal ini dimaksudkan untuk menyambung benang kenangan yang terputus selama 17 tahun. Penelitian tahun 1995 hanya mendeskripsikan secara umum tradisi berahoi, belum mencapai ke kajian empiris yang bersifat menyeluruh dan mendalam. Oleh karena itu, deskripsi tradisi berahoi yang sudah didokumentasikan sebelumnya perlu dilanjutkan dalam pengkajian secara mendalam untuk memperoleh pemahaman dan pengembangan terhadap tradisi berahoi Melayu Bahorok Langkat. Tradisi berahoi ini akan dikaji dengan menggunakan pisau analisis kajian tradisi lisan, kajian ilmu hermeneutika dan estetika paradoks dalam konteks disiplin ilmu budaya.

(9)

ditonton, didengar, dan dinikmati sebagai pertunjukan pagelaran tari berahoi, (2) lapisan tengah tradisi berahoi menampilkan makna, berahoi, fungsi berahoi, serta nilai dan norma-norma yang terdapat pada tradisi tersebut, dan (3) lapisan inti memperlihatkan kearifan orang Melayu Bahorok Langkat dalam menyelesaikan persoalan hidup dalam komunitasnya secara bersama-sama berdasar kepercayaan dan keyakinan yang menjadi landasan bermasyarakat dan bernegara.

Selain itu, pentingnya usaha dan upaya revitalisasi tradisi berahoi dilakukan dengan perencanaan yang terorganisasi sebagai seni pertunjukan untuk komoditas pariwisata Kemudian memberdayakan kembali upaya inventarisasi warisan lokal dan advokasi (pembelaan) terhadap tradisi berahoi sebagai budaya lokal Melayu Langkat di masa lampau untuk kepentingan kemanusiaan dalam konteks masyarakat Melayu Langkat di masa sekarang.

Dengan alasan-alasan yang disebutkan di atas, penelitian yang mengangkat fenomena tradisi budaya berahoi dengan melibatkan masyarakat pendukungnya, dan temuan penelitian ini nantinya digunakan sebagai landasan mengajukan kepada pemerintah kabupaten suatu program revitalisasi pengembangan tradisi berahoi untuk dipersembahkan kepada generasi muda masa sekarang dan masa depan.

(10)

waktu tertentu melakukan upacara berahoi yaitu Desa Timbang Lawan dan Desa Timbang Jaya Kecamatan Bahorok. (tahun 2013) Rekaman yang dianalisis juga memanfaatkan data gerak tari dan nyanyi dalam pagelaran tradisi berahoi oleh Sanggar Teater Garis Lurus Langkat pada tahun 2012.

Menurut informan (Awaluddin Sitepu)6 warga Bahorok, jenis-jenis padi yang pernah ditanam di daerah Bahorok ialah padi siraju, sibakul, sipait, sijambu, mayang berinai, pulut, pulut itam, pulut tingkil, sitimun, ranto Manila, sirias,

kukubalam, dan ranggong keling. Jenis-jenis padi seperti terurai ini adalah khas

sebagai sistem etnoklasifikasi masyarakat Melayu Langkat. Dengan demikian, mereka memiliki sistem tersendiri dalam menamakan dan mengklasifikasikan padi. Konsep ini merupakan bahagian dari kebijakan dan kearifan lokal.

Dari latar belakang di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan kegiatan pertunjukan tradisi berahoi masyarakat Melayu Bahorok Langkat menandai adanya kesejarahan masyarakat dan pendukung tradisi lisan yang masih menyimpan pesona gerak, lagu, pantun, ritual penting dan kandungan nilai budaya berahoi. Amanat pemerintah yang dituangkan dalam pedoman Kajian Tradisi Lisan tahun 2009 juga menjelaskan bahwa “Informasi dan data dari sumber utama kajian ini ditranskripsi, direkam, didokumentasi, dan diterjemahkan yang kemudian menjadi teks kajian dan publikasi”. Untuk menindaklanjuti program

6

Awaluddin Sitepu (umur 75 tahun) Di dalam kebudayaan masyarakat Langkat, sejak ratusan tahun telah terbina hubungan sosial yang harmonis antara masyarakat Karo (Jahe) dan Melayu. Bahkan orang-orang Melayu juga menerima orang Karo untuk masuk Melayu, yang artinya masuk Islam dan mengikuti adat Melayu. Orang-orang Karo yang masuk Melayu ini, lazim disebut dengan Mekarlang (akronim dari Melayu Karo Langkat). Sitepu dalam konteks di atas adalah salah satu merga (klen) dalam masyarakat Karo yang masuk ke dalam salah satu dari lima induk marga besar yang diistilahkan dengan merga silima (marga yang lima), terdiri dari: (1)

(11)

pendidikan tinggi (dikti), penelitian ini penting ditelaah dari sudut pandang ilmu pengetahuan ilmiah dan mengusulkan model kegiatan revitalisasi terhadap tradisi berahoi. kemudian merumuskan pertanyaan penelitian: “Bagaimanakah representasi dan kearifan lokal tradisi berahoi masyarakat Melayu Bahorok Langkat ditinjau secara sudut pandang hermeneutika dan estetika paradoks dan bagaimana model revitalisasi tradisi berahoi?”

1.2Identifikasi Masalah

Setelah melaksanakan observasi yang seksama terhadap bahan penelitian ini dapat diidentifikasi enam masalah. Enam masalah yang diidentifikasi dalam tradisi berahoi ini adalah sebagai berikut:

1) Tradisi berahoi sebagai ungkapan sikap masyarakat kolektif telah kehilangan keberadaannya bahkan para pendukung tradisi budaya lokal ini sudah langka ditemukan akibat perubahan ruang dan waktu serta zaman yang berubah seriring perkembangan masyarakat sekarang.

(12)

3) Sikap masyarakat Melayu Bahorok Langkat sekarang yang sebagian besar kebijakan mereka tidak memilih dunia pertanian dalam mempertahankan kehidupan.

4) Seiring pergeseran pada sikap masyarakat yang tidak memilih dunia pertanian berdampak pada lenyapnya seniman berahoi dalam kehidupan masyarakat Melayu Bahorok Langkat.

5) Dalam kaitan upaya pengembangan potensi, penyusunan langkah-langkah perlindungan termasuk perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), pengembangan dan pemanfaatan tradisi lisan sebagai kekuatan kultural yang kreatif yang masih mengalami hambatan dan kendala dalam pelaksanaannya. 6) Tidak adanya penelitian tradisi berahoi sebagai kajian empiris yang mendalam

dengan menggunakan pisau analisis kajian tradisi lisan, kajian ilmu hermeneutika dan estetika paradoks dalam konteks disiplin ilmu budaya.

1.3Batasan Masalah

Masalah dalam penelitian ini direpresentasikan, dideskripsikan, serta dianalisis semua dengan realitas budaya masyarakat Melayu Bahorok Langkat sekarang, yang diperoleh dari penelitian lapangan. Masalah ini kemudian dikaitkan dengan realitas sejarah (historis) dan tradisi masa kini yang terdapat pada tradisi berahoi Melayu Bahorok Langkat.

(13)

makna tradisi berahoi terdiri atas simbol-simbol budaya yang dipakai dalam menyelenggarakan upacara-upacara yang berkaitan dengan lingkaran bertani.

Berdasarkan realitas budaya lokal dan realitas historis tradisi berahoi yang dijadikan sumber data penelitian ini diidentifikasikan dan dianalisis dalam kajian tradisi lisan, dengan menggunakan teori hermeneutika dan pendekatan estetika paradoks.

1.4Rumusan Masalah

Penelitian tradisi berahoi masyarakat Melayu Langkat ini merumuskan empat masalah penelitian sebagai berikut:

(1) Apakah deskripsi etnografi tradisi berahoi pada masyarakat Melayu Bahorok Langkat?

(2) Bagaimanakah representasi tradisi berahoi masyarakat Melayu Bahorok Langkat dari sudut pandang hermeneutika dan estetika paradoks?

(3) Bagaimanakah kearifan lokal tradisi berahoi masyarakat Melayu Bahorok Langkat?

(4) Apakah model strategi revitalisasi tradisi berahoi masyarakat Melayu Bahorok Langkat yang ditawarkan sebagai model pelestarian, pengembangan dan pemanfaatannya?

1.5Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

(14)

2. Untuk menjelaskan representasi tradisi berahoi masyarakat Melayu Bahorok Langkat.

3. Untuk menganalisis representasi kearifan lokal tradisi berahoi masyarakat Melayu Bahorok Langkat.

4. Untuk membuat model strategi revitalisasi pelestarian, pengembangan dan pemanfaatan tradisi berahoi pada masyarakat Melayu Bahorok Langkat sebagai kontribusi dalam bidang pengelolaan ekonomi kreatif.

1.6Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat Teoretis

Manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah hal-hal sebagai berikut:

1. Penerapan dan pengayaan kerangka teoretis hubungan kajian tradisi lisan, teori hermeneutika dan pendekatan estetika paradoks pada tradisi berahoi Melayu Bahorok Langkat.

2. Pemberdayaan kearifan lokal sebagai kekuatan kultural dalam konteks tradisi berahoi Melayu Bahorok Langkat.

3. Penciptaan model revitalisasi seni pertunjukkan berahoi dalam konteks masa kini.

1.6.2 Manfaat Praktis

(15)

Dalam kaitannya dengan pemberdayaan ini, hasil penelitian ini berkontribusi pada tiga aspek sebagai berikut:

1. Pemeliharaan dan cinta budaya lokal oleh masyarakat Bahorok Melayu Langkat dalam pembinaan dan pelestarian tradisi berahoi.

2. Pemberdayaan kesenian tradisi (khususnya tradisi berahoi) dalam bentuk revitalisasi untuk kontribusi kesenian modern.

3. Pendayagunakan sumber tradisi berahoi sebagai salah satu aspek pertunjukan untuk program kebudayaan dan pariwisata di Kabupaten Langkat.

1.7Definisi Istilah

Istilah-istilah penting dalam penelitian ini meliputi istilah yang digunakan dalam penelitian ini.

1) Tradisi lisan adalah proses kelisanan yang tercermin dalam aturan-aturan tidak tertulis yang disimpan dalam dunia ingatan manusia dan diwariskan secara turun-temurun.

2) Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas dalam mengelolah lingkungan kerohanian dan kejas memai dalam menjaga keseimbangan ekologis (lingkungan) untuk mempertahankan kehidupannya. 3) Daerah dalam pengertian etnis kultural adalah suatu unit kesadaran historis

dalam arti bahwa ‘daerah‘ itu masing-masing pada dirinya dan baginya adalah pusat perkisaran sejarah. Tiap daerah bukan saja mengalami kesatuan historis tapi juga mempunyai konsep tentang kelampauan yang khas.

(16)

5) Koteks : unsur-unsur yang mendampingi teks.

6) Konteks : kondisi atau peristiwa, yang berkaitan dengan budaya, sosial, situasi, dan ideologi

7) Nilai : hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. 8) Fungsi : kegunaan suatu hal.

9) Simbol : lambang untuk mengespresikan ide-ide.

10)Norma : aturan yang mengikat warga, kelompok sebagai pengendali tingkah laku yang diterima dan disepakati bersama.

Kosmologi Melayu adalah sistem kepercayaan manusia Melayu dalam suatu peradaban yang memiliki dasar-dasar pemikiran atau kepercayaan tertentu. Dalam sistem tradisi Melayu dikenal pantang dan larang terutama yang berhubungan dengan Tuhan, alam, dan manusia.

11)Mantra adalah kata-kata atau ayat yang diucapkan dapat menimbulkan kuasa gaib atau jampi. Kata-kata atau bunyi diucapkan secara berirama yang wajib dihafal untuk menghindari kekeliruan dalam mengucapkannya.

12)Representasi secara harfiah berarti penampilan atau perwakilan wilayah studi kultural tempat dikontruksi dan ditampilkannya berbagai fakta sosial.

13)Hermeneutika berkaitan dengan teori penafsiran dan penjelasan yang disebut dengan interpretation dan explanation.

(17)

indah, dan ilmu tentang keindahan. Ciri-ciri keindahan antara lain keharmonisan, kesatuan, keseimbangan dan pertentangan (kontradiksi). 15)Estetika paradoks merujuk kepada estetika oposisi dalam masa pramodern

Indonesia yang menyatakan bahwa realitas itu terdiri atas pasangan kembar opsisioner, namun saling melengkapi yang mempercayai sebagai ada itu

terbelah, dan terpisah dalam pasangan kembar masing-masing yang berseberangan.

16)Seni pertunjukan adalah mencakup bidang seni musik, tari teater, atau yang berkaitan dengannya seperti upacara tradisional (adat-istiadat). Dalam konteks budaya Melayu jarang ditemukan pemisahan secara absolut antara musik, tari, dan teater. Ketiga bidang ini selalu berjalan seiring dan selaras. Dalam seni pertunjukan Melayu tradisi berahoi dijumpai fungsi komunikasi seperti pantun (bersifat verbal) dan komunikasi nonverbal yang mencukupi bunyi, nada, tenaga, gerak gerik.

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan yang akan dibicarakan dalam tulisan ini adalah pada intinya membahas nilai-nilai budaya pada masyarakat Melayu Secanggang pada Tradisi Ahoi , dan masyarakat

Dari hasil penelitian ditemukan berdasarkan data yang terkumpul maka peneliti dapat mengetahui keberadaan Musik Tradisi Alas pada Masyarakat Kabupaten Aceh Tenggara masih

Penelitian ini berjudul Nilai-nilai Budaya Masyarakat Melayu Langkat- Secanggang Pada Tradisi Ahoi : Kajian Antropologi Sastra. Ahoi merupakan sebuah lagu yang

Namun bagi sebagian masyarakat Melayu di Kabupaten Batubara khususnya, yang berada di pesisir pantai dan di tempat yang jauh dari perkotaan, tradisi ini masih dipegang teguh

Berdasarkan latar belakang tersebut, pentingnya penelitian ini dilakukan untuk menganalisis ”Prilaku Tradisi Lokal Sebagai Media Komunikasi Sosial Masyarakat

Oleh karena itu pula tulisan ini mendeskripsikan simbol- simbol dalam pantun yang digunakan oleh Muhakam (juru bicara) pihak lelaki dan perempuan dalam tradisi

Dalam penelitian ini, ditemukan beberapa motivasi wisatawan yang mengikuti ritual perkawinan Hindu Bali, seperti adanya keinginan wisatawan untuk mengalami

Apakah tradisi Ahoi dapat merubah kehidupan ke arah yang lebih baik1. Apakah tradisi Ahoi dapat merubah kehidupan ke arah yang