• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHASA DAN PENDIDIKAN DALAM MASYARAKAT S

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAHASA DAN PENDIDIKAN DALAM MASYARAKAT S"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

BAHASA DAN PENDIDIKAN DALAM MASYARAKAT CYBER (SAIBER) (Suatu Catatan Ringkas)

Oleh Aprinus Salam

Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM

Saat ini, kita tahu, karena perkembangan teknologi, masyarakat Indonesia telah menjadi

bagian dari masyarakat cyber. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap praktik berbahasa dan pendidikan. Pengaruh paling signifikan yang bisa dirasakan adalah bahwa

kinerja berbahasa (pada tataran formal dan etik) masyarakat demikian menurun.

Sayangnya, dunia pendidikan kita juga tidak mampu mengatasi persoalan tersebut. Hal

itu disebabkan dunia pendidikan juga bagian dari masalah turunnya kinerja berbahasa

masyarakat Indonesia. Bukan saja dikarenakan pendidikan di Indonesia selalu mengalami

eksperi e tasi e gatasi kegalaua , namun saibersisasi juga bagian penting dari intervensi kerancuan tersebut.

Beberapa gejala turunnya kinerja berbahasa (formal dan etik) masyarakat Indonesia

dapat dilihat dari semakin rendahnya kemampuan menulis masyarakat pada umumnya

dan turunnya etik berbahasa dalam ruang publik. Tentu banyak yang bisa menulis, tetapi

yang terjadi adalah bahasa lisan yang ditulis sehingga tulisan tidak dengan mudah

dipahami, kecuali dilisankan. Sementara itu, kita tahu bahwa kinerja etik berbahasa kita

di ruang publik juga memperlihatkan gejala semakin hilangnya kesantunan dan

kesopanan.

Memang, setiap orang punya sudut pandang dan argumen yang berbeda dalam melihat

persoalan ini. Tidak tertutup kemungkinan bahwa hal tersebut dilihat sebagai proses

demokrasi (demokratisasi) sehingga setiap orang memiliki kebebasan dalam

mengemukakan dan mengepresikan pendapatnya. Berbahasa juga sebagai bagian dari

proses yang bersangkutan. Artinya, saya juga tidak menolak berbagai argumen yang

berbeda, bahwa kita memiliki kebebasan dalam melakukan berbagai praktik dalam

(2)

Namun, persoalan yang perlu dijawab, jika kita tidak memiliki pedoman dan patokan

bersama dalam membangun negara ini, kebebasan seperti apa yang kita perjuangkan?

Kalau kita tidak memiliki pedoman dan patokan bersama dalam membangun bangsa ini,

mau ke mana arah perjalanan bangsa ini?

Intervensi Saiber

Bukan berarti, sebelum dominannya gejala saiber, masyarakat Indonesia tidak

bermasalah dalam kinerja berbahasa dan pendidikannya. Hingga abad ke-19, Indonesia

masih merupakan masyarakat lisan. Memasuki abad ke-20, masyarakat Indonesia baru

mulai sepakat berbahasa Indonesia, dan berusaha belajar mempraktikkannya, dan juga

sedang mulai belajar menulis (dalam bahasa Indonesia). Proses itu berlangsung hingga

tahun 1970-an. Kita tahu, walau begitu, sangat sedikit buku-buku atau tulisan yang ditulis

oleh orang Indonesia hinga tahun-tahun tersebut.

Belu tu tas asyarakat I do esia elajar e ulis da er ahasa I do esia de ga

baik dan benar, pada tahun 1980-an kita mulai diintervensi oleh tele-elektronik,

terutama televisi. Kita tahu, televisi adalah gejala masyarakat lisa ge erasi kedua .

Intervensi kelisanan generasi kedua ini menyebabkan kinerja berbahasa kita kembali

memasuki masyarakat lisan generasi baru (generasi ketiga). Kinerja kita dalam berbahasa

(dalam tataran formal dan etik) kembali dilisankan. Konsekuensinya, formalitas dan

keetikan kita berbahasa tidak kunjung menuju ke satu sistem yang mapan, yang bisa

dijadikan sebagai satu mekanisme berkomunikasi secara formal dan etik dalam keutuhan

gramatikal dan sistemik.

Secara teori, pendidikan seharusnya dapat mengatasi persoalan tersebut. Akan tetapi,

pendidikan juga menjadi bagian dari proses uji coba belajar. Hal itu disebabkan kita pun

hingga hari ini belum menemukan sistem, mekanisme, nilai, dan substansi pengetahuan

seperti apa yang sesuai dengan kebutuhan budaya, politik, dan ekonomi masyarakat

Indonesia. Bahkan pendidikan justru mengarah menyiapkan anak didik untuk dan ke

pasar, bukan menjadikan manusia dalam keutuhannya. Alhasil, hingga hari ini kita tidak

(3)

ketumpangtindihan dan tambal sulam, tidak jelas posisi kulturalnya, tidak tahu harus

berbuat apa.

Dalam kegalauan itu, situasi bertambah runyam karena kita pun diterjang oleh sistem

globalisasi saiber. Beberapa indikasi kesaiberan adalah kita tidak harus memiliki identitas

asli, bisa on/off kapan saja, tidak perlu bertanggung jawab, tidak ada norma-nilai atau

etik yang perlu disepakati, kita bisa menjadi siapa saja atau tidak siapa-siapa. Dalam

kondisi dominannya kesaiberan itu, maka sempurnalah kepalsuan dan kesemuan.

Kondisi itu menyebabkan kita bermain dalam keisengan, pendramaan dan dramatisasi,

pencintraan, simulasi-simulasi (simulacrum), dan berbagai upaya untuk bermain-main

de ga ide titas , apakah itu upaya u tuk e jadi pahla a , ora g sukses , ora g he at , atau bahkan untuk mendapatkan simpatik, dan sebagainya. Tipu muslihat dan manipulasi (dan berbagai bentuk entropi lainnya), semakin membesar, ruang-ruang

keteraturan dan ketertiban semakin mengecil.

Situasi kesemuan itu, bermain-main dengan citra dan cara- ara agar ada dala du ia

semu itulah salah satu faktor penting yang menyebabkan budaya berbahasa kita (sekali

lagi pada tataran formal dan etik) diandaikan sebagai cara dan kebebasan dalam

mengelola keketidakjelasan batas-batas antara dunia nyata dan dunia semu, dunia on off. Terdapat strategi bolak balik, atau mengatasnamakan dunia on atau off, sebagai strategi membela diri atas ketidakmampuan kita dalam formalitas dan etik berbahasa.

Tentu banyak faktor lain yang perlu diperhitungkan sebagai akibat dari rendahnya

kemampuan berbahasa dan buntunya dunia pendidikan dalam mengatasi persoalan

tersebut. Faktor tersebut antara lain karena adanya dualisme bahasa (atau bahkan

(4)

Hal yang perlu diperhitungkan adalah dampak dari situasi kegalauan dan kekacauan

tersebut. Hal yang sudah pasti terjadi adalah kita, tanpa disadari, ketika menjadi bagian

dari masyarakat saiber, kita terlanjur menjadi bagian dari konsumen kelisanan

(audio-visual) tersebut. Menurut sebuah riset, kita telah menghabiskan waktu berhadapan dan

menggunakan tele-elektornik dan gejet tersebut sekitar 4 jam per hari. Bisa dibayangkan

berapa waktu yang kita pakai selama seminggu, sebulan, setahun, dan seterusnya.

Berapa biaya dan keborosan ekonomi yang harus kita keluarkan/bayar.

Artinya, satu persoalan harus dilihat dalam rangkaian dan keterkaitan dengan persoalan

lain. Satu persoalan tidak bisa dilihat sebagai persoalan tersendiri yang lepas dari

persoalan lain. Akan tetapi, kenyataaannya, kita ini sebagai bangsa sering menjadi sangat

ego-sektoral. Ada yang penting ada yang sepele. Sebagai bangsa yang ego-sektoral, maka

secara relatif pembangunan bangsa ini juga bersifat sektoral, tumpang tindih, bahkan

bisa jadi bertabrakan antara satu dan yang lain, atau sekedar menjadi proyek. Tidak heran kemudian pembangunan secara umum berjalan lambat, atau bahkan tidak

memberikan tanda-tanda kemajuan yang signifikan.

Tentu tidak urung, begitu banyak pula upaya untuk mengatasi persoalan tersebut.

Berbagai upaya perbaikan selalu dilakukan. Undang-undang, PP, Kepres, Perda, dan

sebagainya selalu diperbarui agar sesuai dengan perubahan dan semangat zaman,

termasuk PP tentang Bahasa Indonesia. Khusus berkaitan dengan PP tentang Bahasa

I do esia, saya g ya, PP itu tidak le ih e jadi ajaka oral ya g le ah pada tatara pelaksanaan. Kita tahu, bahwa hingga hari ini praktik penggunaan Bahasa Indonesia

belum sesuatu yang perlu dipraktikkan sebagai sarana komunikasi publik dan formal.

Pentingnya Kembali Membangun Masyarakat Tulis

Pentingnya kembali membangun masyarakat tulis bukan suatu tesis baru. Tesis ini sudah

cukup lama diperkenalkan. Sayangnya, konsep, wacana, paradigma pentingnya

membangun masyarakat tulis ini tidak menarik dan tidak laku, di tengah hingar-bingar

intervensi multi-media, tele-elektronik, gejet-gejet, dan berbagai perlengkapan dan

sarana saiber lainnya. Dalam situasi ini, segala hal penghibur lisan yang didukung oleh

(5)

Hal yang dimaksud dengan masyarakat tulis adalah bagaimana mempraktikan secara

konsisten dan sistematis berbagai gagasan dan berbagai substansi informasi (termasuk

ilmu pengetahuan) lainnya dalam bahasa yang tertib dan teratur, bernalar, dan dapat

dipertanggungjawabkan. Untuk mendapatkan hal itu, seseorang (atau masarakat)

dituntut disiplin dalam berbahasa, perlu berpikir secara rasional dan mandiri, perlu ada

se a a i di idualisasi agar tidak e jadi agia dari keru u a lisan, dan tahan terhadap godaan penghiburan lisan (khususnya berbagai perangkat multi-media dan

saiber).

Demikian banyak dimensi dan berbagai aspek yang perlu diteguhkan jika kita secara

konsisten ingin menegakkan kembali bangsa ini untuk menjadi masyarakat tulis. Berbagai

kekuatan kapitalisme yang didukung oleh multi-media dengan penghiburan lisannya dan

berbagai perangkat saiber lainnya perlu diatur dan dikelola sedemikian rupa oleh negara

agar bangsa ini tidak semakin terjerumus menjadi bangsa yang konsumtif dalam berbagai

aras dan dimensinya.

Dunia pendidikan kita tentu perlu membangun basis praktik pendidikan dan basis

kurikulum ke arah hal-hal tersebut. Pelajaran menulis dan mengarang, didukung

pelajaran sejarah (dalam pengertian luas), perlu menjadi prioritas utama agar pelajar dan

mahasiswa memiliki kemampuan menulis dan mengarang secara lebih memadai.

Pernyataan itu terpaksa saya kemukakan, dan saya tahu hal itu bukan sesuatu yang baru,

karena kekecewaan yang mendalam atas kinerja dan dan kemampuan menulis

mahasiswa (sebagai lulusan SD, SMP, dan SMA) yang secara relatif masih sangat buruk.

Ba yak tulisa ya g terlihat agus , ter yata ha ya copy-paste dari dunia on. Banyak mahasiswa sangat tidak menguasai berbagai administrasi penulisan dan, lebih parah lagi,

substansi ilmu pengetahuan yang harus mereka kuasai. Penyebabnya ternyata

sederhana, perlajaran menulis, mengarang, dan termasuk di dalamnya pelajaran Bahasa

(6)

Implikasi dari dominannya masyarakat lisan bahwa kita suka berkurumun, suka yang

ramai dan ramai-ra ai, suka geru pi , suka de at kusir uka diskusi, da

sebagainya. Implikasi lebih lanjut adalah bahwa banyak hal harus dan perlu diselesaikan

secara ramai-ramai dan emosional, bukan rasional dan diskusi, apalagi melalui suatu

polemik pemikiran dalam tulisan. Memang, terdapat beberapa hal yang perlu kita

diskusikan berkaitan dengan kemajuan peradaban. Akan tetapi, jika rasionalitas kita

percaya sebagai atu indikator kemajuan, maka masyarakat tulis adalah faktor penting

yang perlu dan harus diperjuangkan (kembali).

Apakah kemudian bangsa Indonesia perlu melepaskan diri dari dan menjadi bagian dari

masyarakat saiber. Mungkin persoalannya bukan itu. Tidak masalah apakah kita menjadi

bagian dari masyarakat saiber atau tidak. Akan tetapi, kekuatan budaya masyarakat tulis

harus diperkuat sehingga ketika kita menjadi bagian dari masyarakat saiber, kita bukan

cuma bagian dan menjadi konsumen di dalamnya. Kita memiliki basis yang kuat untuk

mengelola dan mendayagunakannya sebagai satu perangkat kehidupan untuk kemajuan

bersama. Di samping itu, diharapkan, kekuatan masyarakat tulis ikut membantu

e egakka keterti a ko u ikasi for al da etik er ahasa di rua g pu lik.

Demikian, catatan ringkas ini hanya untuk bahan diskusi. Saya tidak tahu apakah penting

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti juga melihat dalam penelitian ini bahwa, demam berdarah dengue terjadi bukan hanya karena dari 1 fakror seperti masyarakat yang tidak melakukan

2. Persiapan fisik dan mental supaya dalam melaksanakan praktek mangajar mempunyai rasa percaya diri, emosi dapat dikendalikan sehingga dapat menghadapi kemungkinan rintangan

Kajian yang dilakukan oleh Kantor Diklat dan LPPM-ITB (2003) dan Yuliana (2003) menunjukkan bahwa angkutan umum hanya menjadi alternatif terakhir dalam pilihan pergerakan di

mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang

Pada tahapan ini akan dibuat matrik perbandingan berpasangan dari masing-masing kriteria dan alternatif berdasarkan nilai bobot hasil rekapitulasi kuesioner..

Receiver merubah suhu dan tekanan refrigerant menjadi rendah dalam bentuk kabut lalu dialirkan ke evaporator untuk menguap dan mengambil panas udara sekitarnya.. Sirkulasi

Untuk mengetahui pengaruh kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual terhadap kinerja karyawan pada Rumah Sakit Islam (RSI) Malang

Secara garis besar ada dua kelompok yang layak dan berhak menjadi ahli waris, pertama yaitu kelompok orang-orang yang sudah ditentukan dalam Hukum dan Undang-undang yang