• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI POTENSI HUTAN MANGROVE SEBAGAI EKO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "STUDI POTENSI HUTAN MANGROVE SEBAGAI EKO"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI POTENSI HUTAN MANGROVE SEBAGAI EKOWISATA BERBASIS EDUKASI, KONSERVASI, DAN ESTETIKA DI INDONESIA

MAKALAH TATA GUNA BIOLOGI

Oleh:

KELOMPOK 8

Irina Anindya M. 140410120013

Aufa Aulia Kanza 140410120019

Firda Latifatul Aulia 140410120033

Noviyanti Soleha 140410120059

Cynthia Rizka R. 140410120078

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

(2)

STUDI POTENSI HUTAN MANGROVE SEBAGAI EKOWISATA BERBASIS EDUKASI, KONSERVASI, DAN ESTETIKA DI INDONESIA

Oleh: Kelompok 8

ABSTRAK

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia mencapai 25 % dari total luas hutan mangrove di seluruh dunia (18 juta hektar) yaitu seluas 4,5 juta hektar atau sebanyak 3,8 % dari total luas hutan di Indonesia secara keseluruhan. Hal tersebutlah yang mendorong kawasan mangrove untuk dimanfaatkan sebagai ekowisata. Ekowisata merupakan perjalanan wisata ke suatu lingkungan, baik alam yang alami maupun buatan serta budaya yang ada yang bersifat informatif dan partisipatif yang bertujuan untuk menjamin kelestarian alam dan sosial-budaya. Metode yang digunakan adalah studi literatur. Hutan mangrove dapat dijadikan ekowisata apabila memenuhi kriteria penilaian seperti ketebalan dan kerapatan pohon, jenis flora atau fauna mangrove, dan kisaran pasang surut. Diketahui area ekowisata hutan mangrove yang telah dikembangkan di Indonesia, di antaranya Wisata Anyar Mangrove (WAM) dan Ekowisata Mangrove Wonorejo, Wisata Mangrove Probolinggo, Taman Wisata Alam Angke Kapuk, Mangrove Forest Bali, dan lainnya. Produk-produk yang ditawarkan ekowisata hutan mangrove dapat beragam tergantung pada lokasi dan keadaan hutan mangrove yang akan dijadikan area ekowisata serta memiliki nilai edukasi, konservasi, dan estetika bagi wisatawan.

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL

ABSTRAK ...………... i

DAFTAR ISI ………...… ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Maksud dan Tujuan ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Ekowisata ……... 3

2.2 Hutan Mangrove ... 5

2.3 Ekowisata Hutan Mangrove ... 7

BAB III PEMBAHASAN ... 10

3.1 Studi Potensi Hutan Mangrove sebagai Ekowisata ... 10

3.2 Beberapa Ekowisata Hutan Mangrove di Indonesia... 14

BAB IV KESIMPULAN ... 17

DAFTAR PUSTAKA ………... 18

(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pola hidup kembali ke alam (back to nature) telah mendorong masyarakat untuk melakukan perjalanan ke daerah-daerah alami, serta memiliki sejumlah besar potensi sumberdaya yang bernilai. Pola perjalanan ini telah mendorong berkembangnya paradigma baru dalam pariwisata berbasis alam atau dikenal dengan ekowisata yang merupakan bentuk pariwisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi. Konsep ekowisata merupakan pariwisata yang memadukan antara kegiatan konservasi alam, pendidikan, rekreasi, dan kegiatan perekonomian masyarakat lokal.

Wilayah pantai dan pesisir mempunyai sifat atau ciri yang unik, merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut; mengandung kekayaan sumberdaya alam yang beragam seperti ekosistem hutan mangrove. Ekosistem hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat penting secara ekologi dan ekonomi, baik untuk masyarakat lokal, regional, nasional maupun global. Menurut Kusmana et al. (2003) dalam Fahriansyah dan Dessy (2012), ekosistem hutan mangrove yaitu suatu sistem yang terdiri atas berbagai organisme (seperti tumbuhan dan hewan), berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan sesamanya dalam habitat mangrove.

(5)

Sektor pariwisata pesisir perlu mendapat perhatian dan dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan daerah, termasuk mempertahankan keberadaan hutan mangrove dari pengikisan dan kepunahan. Pembangunan ekowisata berperan untuk konservasi sumberdaya alam dan membantu masyarakat lokal dalam memenuhi kesejahteraan hidup. Pembangunan ekowisata memberikan perubahan terhadap kualitas hidup, struktur sosio-ekonomi, dan organisasi sosial dalam masyarakat lokal. Menurut Pender dan Sharpley (2005) dalam Fahriansyah dan Dessy (2012), masyarakat lokal dapat memutuskan jika masyarakat ingin atau tidak ingin untuk terlibat dalam pembangunan pariwisata. Masyarakat lokal yang terlibat dalam pengelolaan ekowisata adalah dengan cara menyediakan berbagai fasilitas untuk wisatawan, meningkatkan jumlah wisatawan, dan mengendalikan dampak terhadap lingkungan hidup. Oleh sebab itu, penataan dan perencanaan yang baik sangat diperlukan untuk mengatasi keterbatasan sumberdaya alam hutan mangrove di perairan suatu pantai.

1.2 Maksud dan Tujuan

(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekowisata

Ekowisata merupakan perjalanan wisata ke suatu lingkungan, baik alam yang alami maupun buatan serta budaya yang ada yang bersifat informatif dan partisipatif yang bertujuan untuk menjamin kelestarian alam dan sosial-budaya. Ekowisata menitikberatkan pada tiga hal utama yaitu keberlangsungan alam atau ekologi, memberikan manfaat ekonomi, dan secara psikologi dapat diterima dalam kehidupan sosial masyarakat. Jadi, kegiatan ekowisata secara langsung memberi akses kepada semua orang untuk melihat, mengetahui, dan menikmati pengalaman alam, intelektual dan budaya masyarakat lokal (Khan, 2003 dalam Sudiarta, 2006). Ekowisata memberikan kesempatan bagi para wisatawan untuk menikmati keindahan alam dan budaya untuk mempelajari lebih jauh tentang pantingnya berbagai ragam mahluk hidup yang ada di dalamnya dan budaya lokal yang berkembang di kawasan tersebut. Kegiatan ekowisata dapat meningkatkan pendapatan untuk pelestarian alam yang dijadikan sebagai obyek wisata ekowisata dan menghasilkan keuntungan ekonomi bagi kehidupan masyarakat setempat.

Kesuksesan pengembangan ekowisata sangat ditentukan oleh peran dari masing-masing pelaku ekowisata yaitu industri pariwisata, wisatawan, masyarakat lokal, pemerintah dan instansi non-pemerintah, dan akademisi. Pembangunan ekowisata yang berkelanjutan dapat berhasil apabila karakter atau peran yang dimiliki oleh masing-masing pelaku ekowisata dimainkan sesuai dengan perannya, bekerjasama secara holistik di antara para stakeholders, memperdalam pengertian dan kesadaran terhadap pelestarian alam, dan menjamin keberlanjutan kegiatan ekowisata tersebut. Dalam mendukung kesuksesan pengembangan ekowisata maka para pelaku ekowisata harus mempunyai peran dan karakter tersendiri yaitu (France, 1997 dalam Sudiarta, 2006):

(7)

2. wisatawannya merupakan wisatawan yang peduli terhadap lingkungan;

3. masyarakat lokal dilibatkan dalam perencanaan, penerapan dan pengawasan pembangunan, dan pengevaluasian pembangunan;

4. pemerintah berperan dalam pembuatan peraturan-peraturan yang mengatur tentang pembangunan fasilitas ekowisata agar tidak terjadi eksploitasi terhadap lingkungan yang berlebihan;

5. akademisi bertugas untuk mengkaji tentang pengertian ekowisata dan mengadakan penelitian untuk menguji apakah prinsip-prinsip yang dituangkan dalam pengertian ekowisata sudah diterapkan dalam prakteknya.

Pengembangan obyek ekowisata harus selalu berpedoman pada prinsip-prinsip ekowisata dan pariwisata berkelanjutan agar tercapai tujuan pengembangan ekowisata yakni ekowisata yang berkelanjutan (sutainable ecotourism). Menurut Wood (2002) dalam Sudiarta (2006), prinsip-prinsip dasar pengembangan ekowisata adalah sebagai berikut :

1. meminimalisasi dampak-dampak negatif terhadap alam dan budaya yang dapat merusak destinasi ekowisata;

2. mendidik wisatawan terhadap pentingnya pelestarian (conservation) alam dan budaya;

3. mengutamakan pada kepentingan bisnis yang peduli lingkungan yang bekerjasama dengan pihak berwenang dan masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan lokal dan mendapatkan keuntungan untuk konservasi; 4. menghasilkan pendapatan yang dipergunakan untuk pelestarian dan

pengelolaan lingkungan dan daerah-daerah yang dilindungi;

5. mengutamakan kebutuhan zonasi pariwisata daerah dan perencanaan penanganan wisatawan yang didesain untuk wilayah atau daerah yang masih alami yang dijadikan sebagai destinasi ekowisata;

6. mengutamakan kepentingan untuk studi yang berkaitan dengan sosial-budaya dan lingkungan, begitu juga pemantauan jangka panjang terhadap obyek ekowisata untuk mengkaji dan mengevaluasi kegiatannya serta meminimalisasi dampak-dampak negatif;

(8)

8. menjamin bahwa pembangunan ekowisata tidak mengakibatkan perubahan lingkungan dan sosial-budaya yang berlebihan sebagaimana ditentukan oleh para ahli dan peneliti;

9. membangun infrastruktur yang harus ramah lingkungan dan menyatu dengan budaya masyarakat setempat, tidak menggunakan bahan bakar yang terbuat dari fosil, dan tidak menggangu ekosistem flora dan fauna.

WTO (2002) dalam Sudiarta (2006), memberikan batasan mengenai pengembangan obyek dan daya tarik ekowisata sebagai berikut :

1. semua jenis pariwisata yang berbasiskan alam yang mana tujuan utama dari wisatawan adalah untuk mengamati dan memberikan apresiasi terhadap alam, tradisi, dan budaya yang ada di kawasan tersebut;

2. mengandung unsur pendidikan dan enterpretasi;

3. dikelola oleh pelaku pariwisata lokal dan pangsa pasarnya adalah kelompok-kelompok kecil;

4. meminimalisasi dampak negatif terhadap lingkungan alam dan kehidupan sosial budaya;

5. membantu pelestarian atau konservasi alam;

6. memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal, organisasi terkait, dan pihak berwenang;

7. memberikan lapangan pekerjaan dan pendapatan alternatif kepada masyarakat lokal;

8. meningkatkan kesadaran terhadap pelestarian aset-aset alam dan budaya bagi para wisatwan dan masyarakat lokal.

2.2 Hutan Mangrove

(9)

estuaria, delta, dan daerah pantai yang terlindung (Bengen, 2001 dalam Muahaerin, 2008).

Santoso (2006) dalam Muahaerin (2008), menyatakan bahwa ruang lingkup mangrove secara keseluruhan meliputi ekosistem mangrove yang terdiri atas:

1. satu atau lebih spesies pohon dan semak belukar yang hidupnya terbatas di habitat mangrove (exclusive mangrove).

2. spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat hidup di habitat non-mangrove (non-exclusive mangrove).

3. biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain) baik yang hidupnya menetap, sementara, sekali-sekali, biasa ditemukan, kebetulan maupun khusus hidup di habitat mangrove.

4. proses-proses dalam mempertahankan ekosistem ini, baik yang berada di daerah bervegetasi maupun di luarnya.

5. daratan terbuka atau hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut.

6. masyarakat yang hidupnya bertempat tinggal dan tergantung pada mangrove.

Menurut Wibisono (2005) dalam Muahaerin (2008), secara ekologis ekosistem mangrove mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, di antaranya:

1. sebagai tempat peralihan dan penghubung antara lingkungan darat dan lingkungan laut.

2. sebagai penahan erosi pantai karena hempasan ombak dan angin serta sebagai pembentuk daratan baru.

3. merupakan tempat ideal untuk berpijah (spawning ground) dari berbagai jenis larva udang dan ikan.

4. sebagai cadangan sumber alam (bahan mentah) untuk dapat diolah menjadi komoditi perdagangan yang bisa menambah kesejahteraan penduduk setempat.

(10)

tempat rekreasi (Hamilton dan Snedaker, 1994; Dahuri, 1996 dalam Muahaerin, 2008).

Data sementara tingkat kerusakan hutan mangrove pada 15 provinsi di Indonesia menunjukan bahwa: luas hutan mangrove yang tidak rusak (2.432.418 ha) yang terdapat pada kawasan hutan (2.268.033 ha) dan yang berada diluar kawasan hutan (623.136 ha). Sedangkan luas hutan mangrove yang rusak (5.901.975 ha) yang terdapat dalam kawasan hutan (1.712.462 ha) dan yang berada di luar kawasan hutan (4.189.512 ha) (Ditjen RLPS Dephutbun, 1999; Santoso, 2006 dalam Muahaerin, 2008).

2.3 Ekowisata Hutan Mangrove

Letak Indonesia yang berada di daerah tropis sangat kaya dengan beranekaragam flora, fauna, dan biodiversitas lainnya. Kekayaan alam yang berlimpah ini dapat dijadikan sebagai obyek dan daya tarik wisata khususnya ekowisata. Menurut Sudarto (1999) dalam Sudiarta (2006), secara umum kekayaan alam yang dapat dijadikan obyek dan daya tarik ekowisata adalah hutan hujan tropis, hutan mangrove, hutan sagu, pegunungan es, dan fauna langka seperti gajah, komodo, orang utan, harimau, badak, burung cendrawasih, jalak putih, dan lain-lain (Sudiarta, 2006).

(11)

wisatawan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat lokal (Fennell, 2008 dalam Fahriansyah dan Yoswaty, 2012).

Pada tahun 1992 dibentuk Pusat Informasi Mangrove (Mangrove Information Center). Mangrove Information Center (MIC) merupakan proyek kerjasama antara Pemerintah Indonesia melalui Proyek Pengembangan Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari dan Pemerintah Jepang melalui Lembaga Kerjasama Internasional Pemerintah Jepang melalui Japan International Corporation Agency (JICA) (Sudiarta, 2006)..

Proyek ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengekplorasi teknik-teknik reboisasi yang bisa dilakukan untuk pemulihan (recovery) kondisi hutan mangrove yang sudah mengalami kerusakan. Teknik yang ditemukan adalah tentang bagaimana cara persemaian bibit dan penanaman mangrove. Tingginya biaya operasional proyek yang dilaksanakan di Mangrove Information Center (MIC) mengakibatkan terjadinya kekhawatiran terhadap kurangnya dana proyek dan pemeliharaan dan pelatihan hutan mangrove di Kawasan Taman Hutan Raya Ngurah Rai khususnya di Kawasan Mangrove Information Center (MIC) melahirkan ide dan terobosan baru yang diharapkan bisa membantu menutupi kekurangan dana tersebut. Ide cemerlang tersebut selanjutnya diimplementasikan dengan pengembangan obyek ekowisata di Kawasan Mangrove Information Center (MIC) (Sudiarta, 2006).

(12)

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Studi Potensi Hutan Mangrove sebagai Ekowisata

Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob. Dalam dua dekade ini keberadaan ekosistem mangrove mengalami penurunan kualitas secara drastis. Saat ini mangrove yang tersisa hanyalah berupa komunitas-komunitas mangrove yang ada di sekitar muara-muara sungai dengan ketebalan 10-100 meter, didominasi oleh Avicennia Marina, Rhizophora Mucronata, Sonneratia Caseolaris yang semuanya memiliki manfaat sendiri. Misalkan pohon Avicennia memiliki kemampuan dalam mengakumulasi (menyerap dan menyimpan dalam organ daun, akar, dan batang) logam berat pencemar sehingga keberadaan mangrove dapat berperan untuk menyaring dan mereduksi tingkat pencemaran diperairan laut, dan manfaat ekonomis seperti hasil kayu serta bermanfaat sebagai pelindung bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan (Wijayanti, 2007).

(13)

baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki karakteristik hidup di daerah pantai.

Mangrove adalah individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Hutan mangrove sering disebut hutan bakau atau hutan payau. Dinamakan hutan bakau karena sebagian besar vegetasinya didominasi oleh jenis bakau, dan disebut hutan payau karena hutannya tumbuh di atas tanah yang selalu tergenang oleh air payau. Arti mangrove dalam ekologi tumbuhan digunakan untuk semak dan pohon yang tumbuh di daerah intertidal dan subtidal dangkal di rawa pasang tropika dan subtropika. Tumbuhan ini selalu hijau dan terdiri dari bermacam-macam campuran apa yang mempunyai nilai ekonomis baik untuk kepentingan rumah tangga (rumah, perabot) dan industri (pakan ternak, kertas, arang).

Kusmana et al. (2003) menyatakan bahwa ekosistem hutan mangrove yaitu suatu sistem yang terdiri atas berbagai organisme (seperti tumbuhan dan hewan), berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan sesamanya dalam habitat mangrove. Sumberdaya ekosistem mangrove mempunyai beberapa peranan, baik secara fisik, kimia maupun biologi, sangat menunjang untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan sebagai penyangga keseimbangan ekosistem di wilayah pesisir. Ekosistem mangrove berperan sebagai pelindung dan penahan pantai, penghasil bahan organik, habitat fauna mangrove, pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industri dan kapal-kapal di lautan, sumber bahan baku industri dan obat-obatan, kawasan pariwisata, pendidikan, penelitian dan konservasi (Saparinto, 2007). Kegiatan ekowisata secara langsung memberi akses kepada semua orang untuk melihat, mengetahui, dan menikmati pengalaman alam, intelektual dan budaya masyarakat lokal (Khan, 2003).

(14)

terjaga apabila keberadaan mangrove dipertahankan karena mangrove dapat berfungsi sebagai biofilter, agen pengikat dan perangkap polusi. Mangrove juga merupakan tempat hidup berbagai jenis gastropoda, kepiting pemakan detritus, dan bivalvia pemakan plankton sehingga akan memperkuat fungsi mangrove sebagai biofilter alami (Mulyadi dkk., 2010).

Perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan diakibatkan karena pertambahan penduduk yang semakin cepat dan luas kawasan yang terbangun. Hutan mangrove di beberapa kawasan, salah satunya Sungai Wain Balikpapan dengan cepat menjadi semakin menipis dan berakibat pada menurunnya kualitas lingkungan kawasan tersebut (Mulyadi dkk., 2010).

Permasalahan utama adalah pengaruh dan tekanan habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengonversi areal hutan mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, industri dan perdagangan, kegiatan-kegiatan komersial maupun pergudangan. Dalam situasi seperti ini habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini disertai dengan hilangnya ruang terbuka hijau yang jauh lebih besar dari nilai penggantinya (Mulyadi dkk., 2010).

Mengingat beberapa fungsi dan manfaat penting kawasan mangrove, perlu diterapkan atau digalakKan prinsip save it (lindungi), study it (pelajari), dan use it (manfaatkan). Semua itu tentu memerlukan koordinasi antara stakeholders dan masyarakat di sekitar kawasan tersebut maupun para pencita lingkungan, terutama kalangan akademisi. Untuk itu, diperlukan faktor-faktor pendukung agar pemanfaatan kawasan mangrove berjalan sesuai dengan tujuan pengelolaan mangrove yang lestari yaitu teknologi, diversifikasi pemanfaatan upaya sustainable, dan pengelolaan terpadu (Anonim, 2014).

Mangrove dapat dijadikan area pariwisata apabila (Drumm, 2002):

1. memberikan nilai ekonomi dalam kegiatan ekosistem di dalam lingkungan yang dijadikan sebagai obyek wisata;

2. menghasilkan keuntungan secara langsung untuk pelestarian lingkungan; 3. memberikan keuntungan secara langsung dan tidak langsung bagi para

(15)

4. membangun konstituensi untuk konservasi secara lokal, nasional dan internasional;

5. mempromosikan penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan;

6. mengurangi ancaman terhadap kenekaragaman hayati yang ada di obyek wisata tersebut.

Mangrove sangat berpotensi sebagai tempat berpariwisata di pinggir pantai. Mangrove dapat dijadikan sarana edukatif dan sarana pariwisata melalui fungsinya selain menahan ombak namun juga dapat menjadi habitat para hewan perairan. Mangrove berpotensi menjadi sarana ekowisata dimana pada wisata ini bertujuan untuk melestarikan mangrove itu sendiri yang berupa konservasi lingkungan juga terdapat manfaat secara ekonomi. Salah satu pemanfaatan mangrove sebagai sarana pariwisata:

1. Sumber informasi yang dimaksud adalah informasi mengenai hutan mangrove, bagaimana membudidayakan hutan mangrove, cara penyemaian mangrove agar anak-anak maupun masyarakat luar dapat berinteraksi langsung bagaimana cara pembibitan dan bagaimana perawatannya, manfaat-manfaat apa saja yang dapat didapatkan dari mangrove

2. Dapat dibangun berupa kolam sentuh yang berada di pohon mangrove yang dapat didesain sesuai areanya agar masyarakat pengunjung dapat mengetahui habitat asli fauna yang menempati mangrove

3. Dapat melihat burung-burung pantai yang singgah di mangrove karena burung-burung pantai akan berbeda dengan burung-burung darat. Burung-burungnya merupakan burung lepas dan memiliki karakteristik burung laut yang alami yang memiliki keterikatan dengan ekologi hutan mangrove. Artinya, walaupun burung tersebut tidak dikurung namun burung-burung tersebut akan terus berada di dalam hutan mangrove.

4. Sebagai sarana memancing karena terdapat berbagai macam ikan, kepiting dan hewan air lainnya.

(16)

ketebalan dan kerapatan pohon, jenis flora atau fauna mangrove dan kisaran pasang surut.

Pembangunan ekowisata berperanan untuk konservasi sumberdaya alam (hutan mangrove) dan membantu masyarakat lokal dalam memenuhi kesejahteraan hidup. Pembangunan ekowisata memberikan perubahan terhadap kualitas hidup, struktur sosio-ekonomi, dan organisasi sosial dalam masyarakat lokal.

3.2 Beberapa Ekowisata Hutan Mangrove yang Ada di Indonesia

Di Indonesia sendiri sudah banyak ekowisata hutan mangrove yang tersebar di beberapa kota besar, di antaranya:

1. Wisata Anyar Mangrove (WAM), Surabaya

Objek wisata yang masih tergolong baru ini berada di daerah Gunung Anyar, sekitar 2 km arah timur kampus UPN Veteran. Itu sebabnya, kawasan wisata ini juga sering disebut Mangrove Gunung Anyar. Tempat ini bisa menjadi obyek wisata alam, wahana pendidikan lingkungan, serta menjadi alternatif wisata bahari alami di Surabaya (Panduan Wisata Surabaya, 2015).

WAM Surabaya diresmikan pada tanggal 1 Januari 2010 oleh Walikota Surabaya waktu itu yakni Bambang D. H. Objek wisata ini mempunya nilai eksotis, di antaranya karena menggunakan perahu nelayan yang asli untuk menuju area mangrove. Begitu masuk ke area ini, pengunjung dapat melihat hutan mangrove, laut, serta flora fauna yang menarik (Panduan Wisata Surabaya, 2015).

2. Ekowisata Mangrove Wonorejo, Surabaya

(17)

Wisata ini dikembangkan sedemikian rupa untuk memanfaatkan waduk sehingga bisa mengendalikan banjir. Keberadaan hutan mangrove ini pun menjadi habitat bagi berbagai jenis burung termasuk burung migran dan burung yang dilindungi seperti Bubut Jawa, Raja Udang, Kuntul, dan lain sebagainya. Pengunjung juga dimanjakan dengan keindahan pemandangan panorama pantai dan eksotisnya flora dan fauna yang dapat dilihat secara langsung di joglo yang berada di tengah pantai (Jawa Timuran, 2013).

3. Wisata Mangrove Probolinggo, Jawa Timur

Di Kota Probolinggo, terdapat wisata kawasan hutan mangrove (mangroveforest) merupakan kawasan konservasi, dan sudah menjadi kawasan hutan lindung yang dipenuhi pohon bakau ini mulai dikembangkan untuk digunakan sebagai objek wisata alternatif yang menarik bagi wisatawan dengan nuansa yang berbeda. Kawasan wisata ini terdapat di Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Mayangan, yang menyajikan pemandangan hutan mangrove dan pesisir pantai yang indah dan sejuk tak jauh dengan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) serta Pelabuhan Tanjung Tembaga. Bahkan Pemkot Probolinggo telah memasukkan program wisata ini dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPMJD) tahun 2006 – 2009 (Jawa Timuran, 2013).

4. Taman Wisata Alam Angke Kapuk, Jakarta

Taman Wisata Alam Angke Kapuk merupakan salah satu contoh hutan mangrove yang telah dikembangkan dan dimanfaatkan menjadi kawasan ekowisata. Berlokasi di Kapuk Muara, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Taman Wisata Alam Angke Kapuk ini memiliki luas 99,82 ha. Kawasan ini didominasi lahan basah (danau) dengan vegetasi utama mangrove. Kawasan ini dulunya tambak dan telah direhabilitasi tanaman mangrove seluas 40% (Zamroni, 2014).

(18)

5. Mangrove Forest Bali, Bali

Obyek Wisata Hutan Mangrove Bali ini merupakan obyek wisata yang alami yang terletak di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai di pinggiran Denpasar, berbatasan langsung dengan Kabupaten Badung. Kawasan hutan mangrove terluas di Bali ini berlokasi hanya beberapa ratus meter dari Simpang Dewa Ruci, Kuta, pusat kemacetan terparah di Bali saat ini (Almarogi, 2014).

(19)

BAB IV KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Hutan mangrove dapat dijadikan ekowisata apabila memenuhi beberapa syarat, kriteria penilaian dapat dijadikan pedoman dalam ekowisata seperti ketebalan dan kerapatan pohon, jenis flora atau fauna mangrove, dan kisaran pasang surut. Selain itu juga harus memberik nilai ekonomi dalam kegiatan ekosistem di lingkungan obyek wisata; menghasilkan keuntungan secara langsung untuk pelestarian lingkungan dan tidak langsung bagi para stakeholders; membangun konstituensi untuk konservasi secara lokal, nasional dan internasional; mempromosikan penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan; dan mengurangi ancaman terhadap kenekaragaman hayati yang ada di obyek wisata tersebut.

2. Area ekowisata hutan mangrove yang telah dikembangkan di Indonesia, di antaranya Wisata Anyar Mangrove (WAM) dan Ekowisata Mangrove Wonorejo di Surabaya, Wisata Mangrove Probolinggo di Jawa Timur, Taman Wisata Alam Angke Kapuk di Jakarta, Mangrove Forest Bali di Bali, dan lainnya.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Alamrogi, Sumarna. 2014. Obyek Wisata Hutan Mangrove di Bali. http://www.indowisata.co.id/2014/12/obyek-wisata-hutan-mangrove-di-bali.html. Diakses Tanggal 27 Februari 2015 Pukul 09.58 WIB.

Anonim. 2014. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove. http://hutan mangrove jakarta.com/2014/02/04/fungsi-dan-manfaat-hutan-mangrove-3/. Diakses tanggal 25 Februari 2015 Pukul 23.01 WIB.

Drumm, Andy and Alan Moore. 2002. Ecotourism Development. An Introduction to Ecotourism Planning. The Nature Conservancy. Arlington, Virginia, USA.

Fahriansyah dan Dessy, Yoswaty. 2012. Pembangunan Ekowisata di Kecamatan Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara : Faktor Ekologis Hutan Mangrove. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 4 (2) : 346-359. Jawa Timuran. 2013. Ekowisata Mangrove Wonorejo Surabaya. https://jawa

timuran1.wordpress.com/2013/12/12/1430/. Diakses Tanggal 27 Februari 2015 Pukul 09.23 WIB.

Jawa Timuran, 2013. Wisata Manrove Kota Probolinggo. https://jawatimuran 1. wordpress.com/2013/06/16/wisata-mangrove-kota-probolinggo/. Diakses Tanggal 27 Februari 2015 Pukul 09.45 WIB.

Khan, Maryam. 2003. Ecoserv. Howard University. USA.

Kusmana, C., S. Wilarso, I. Hilwan, P. Pamoengkas, C. Wibowo, T. Tiryana, A. Triswanto, Yunasfi, dan Hamzah. 2003. Teknik rehabilitasi mangrove. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Muhaerin, Muri. 2008. Kajian Sumberdaya Ekosistem Mangrove untuk Pengelolaan Ekowisata di Estuari Perancak, Jembrana, Bali. Skripsi Dep. Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK IPB. Bogor.

Mulyadi, Edi., Okik Hendriyanto, dan Nur Fitriani. 2010. Konservasi Hutan Mangrove Sebagai Ekowisata. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan. Vol 1. Panduan Wisata Surabaya. 2015. Wisata Anyar Mangrove Alternatif Wisata

(21)

http://surabaya.panduanwisata.id/wisata-alam/wisata-anyar-mangrove-alternatif-wisata-bahari-alami-di-surabaya/. Diakses Tanggal 27 Februari 2015 Pukul 09.10 WIB.

Pender, L. and R. Sharpley. 2005. The Management of Tourism. SAGE Publications Ltd. London.

Saparinto, C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Dahara Prize. Semarang. 236 hal.

Sudiarta, Made. 2006. Ekowisata Hutan Mangrove : Wahana Pelestarian Alam dan Pendidikan Lingkungan. Jurnal Manajemen Pariwisata Vol. 5 No 12. Wijayanti, T. 2007. Konservasi Hutan Mangrove sebagai Wisata Pendidikan.

Universitas Pembangunan Nasional Veteran. Surabaya.

Yulianda, F. 2007. Ekowisata bahari sebagai alternatif pemanfaatan sumberdaya pesisir berbasis konservasi. Makalah Sains Departemen MSP. IPB. Bogor.

(22)

LAMPIRAN

1. Wisata Anyar Mangrove, Surabaya

(23)

3. Wisata Mangrove Probolinggo, Jawa Timur

(24)
(25)

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu fenomena baru dari keragaman Islam yang kini muncul secara relatif meluas di Indonesia ialah gerakan yang memperjuangkan penerapan syari’at Islam

The movement data are provided by the Metropolitan Police Automatic Personnel Location System (APLS), which records officers’ location stamps with the

Pengungkapan potensi geologi untuk kesejahteraan dan perlindungan masyarakat mengandung arti bahwa potensi sumber daya alam Indonesia yang berada di permukaan dan bawah

Hal ini tampak dari berbagai masalah yang ditemukan oleh peneliti seperti sikap pesimis terhadap masa depan terlihat dari banyaknya warga binaan anak yang tidak

Dalam uraian analisis data diatas dan dengan berbagai metode yang dijelaskan dalam bab 3 dapat diketahui bahwa investor sudah mempunyai pengetahuan tentang

Jika kedua ujung plat metal diberi tegangan listrik, maka muatan-muatan positif akan mengumpul pada salah satu kaki (elektroda) metalnya dan pada saat yang sama muatan-muatan

Sinkopasi dapat banyak kita temukan dalam musik Afrika dan Eropa. Sinkopasi juga merupakan ciri utama dari musik drum Afrika yang terdiri dari berbagai macam instrumen