• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Kasus Maternal Near Miss di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2011-2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Kasus Maternal Near Miss di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2011-2013"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Maternal Near Miss 2.1.1. Definisi

Definisi maternal near miss berbeda-beda di setiap negara dan tidak ada yang bisa dipakai secara universal (Tambunan, 2008). Karena itu, pada tahun 2011, WHO menyeragamkan definisi dari maternal near miss.

Menurut WHO dalam “WHO near miss approach for maternal health” (2011), maternal near miss adalah wanita yang hampir mati, tetapi selamat dari komplikasi selama kehamilan, pada saat bersalin, atau dalam 42 hari setelah terminasi kehamilan. Secara praktis, wanita yang dipertimbangkan dalam kasus

maternal near miss adalah wanita yang selamat dari kasus yang mengancam kehidupannya seperti disfungsi organ (WHO, 2012).

2.1.2. Kriteria

Menurut WHO (2012) terdapat tiga kriteria dalam penilaian kasus

maternal near miss, yaitu:

A. Berdasarkan Komplikasi Berat dari Kehamilan

Komplikasi berat dari kehamilan dapat menggambarkan kondisi yang mengancam jiwa bagi ibu yang sedang hamil. Secara luas ini menggambarkan gejala klinis dari pasien, ini termasuk penyakit yang dapat diobati pada wanita pada saat kehamilan dan melahirkan dan setelah terminasi dari kehamilan. Menurut WHO (2012), komplikasi berat dari kehamilan yang termasuk dalam kriteria yaitu:

- Perdarahan pasca salin berat - Preeklamsia berat

- Eklampsia

- Sepsis atau infeksi sistemik berat - Ruptur uterus

(2)

Kriteria ini mudah digunakan oleh klinisi ataupun non-klinisi, terutama kondisi yang ada merupakan cerminan dari penyebab utama penyebab kematian pada ibu hamil. Di banyak negara berkembang, data tentang diagnosis berbagai komplikasi relatif mudah diperoleh (Tambunan, 2008)

B. Berdasarkan Penanganan

Menurut WHO (2012) yang termasuk penilaian dalam kriteria ini adalah: - Dirawatnya pasien di Intensive Care Unit/ICU (tersedia pengawasan

selama 24 jam, terdapat ventilasi mekanik, dan obat vasoaktif yang memadai)

- Intervensi radiologi

- Laparotomi (termasuk histerektomi, tidak termasuk seksio sesarea) - Menggunakan produk dari darah

C. Berdasarkan Kondisi yang Mengancam Jiwa

Menurut WHO (2012) yang termasuk penilaian maternal near miss

apabila pada pasien dijumpai paling sedikit satu atau lebih gejala atau tanda dari kriteria berikut:

1. Disfungsi kardiovaskular - Syok

- Cardiac arrest (tidak ada denyut nadi/denyut jantung dan kehilangan kesadaran)

- Menggunakan obat vasoaktif secara rutin - Cardio pulmonary resuscitation

- Hipoperfusi berat (laktat > 5 mmol/l atau > 45 mg/dl) - Asidosis berat (pH < 7.1)

2. Disfungsi pernafasan - Sianosis akut - Gasping

(3)

- Intubasi dan ventilasi yang tidak terkait oleh anastesi

- Hipoksemia berat (SaO2 < 90% dalam ≥ 60 menit atau PaO2/FiO2 < 200) 3. Disfungsi renal

- Oliguria yang tidak responsif terhadap cairan atau diuretik - Dialisis untuk gagal ginjal akut

- Severe acute azotemia (kreatinin ≥ 300 µmol/ml atau ≥ 3.5 mg/dl) 4. Disfungsi hematologi/ koagulasi

- Kegagalan pembekuan

- Transfusi darah atau sel darah merah (≥ 5 unit)

- Severe acute trombocytopenia (< 50.000 trombosit/ml) 5. Disfungsi hepatik

- Jaundice akibat preeklampsia

- Severe acute hyperbilirubinemia (bilirubin > 100µmol/l atau 6.0 mg/dl) 6. Disfungsi neurologi

- Kehilangan kesadaran dalam waktu yang lama (≥ 12 jam)/koma (termasuk koma metabolik)

- Stroke

- Status epileptikus - Paralisis total 7. Disfungsi uterus

- Perdarahan uterus atau infeksi akibat histerektomi

2.2. Perdarahan Pasca Salin 2.2.1. Definisi

(4)

sesudah melahirkan diikuti perdarahan yang abnormal > 1000 ml atau semua perdarahan dengan hipotensi atau transfusi darah.

2.2.2. Etiologi

Menurut Oxorn dan Forte (1990), perdarahan pasca salin ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

1. Atonia uteri

2. Robekan jalan lahir

3. Retensio plasenta, inversi uterus, dan gangguan pembekuan darah

2.2.3. Gejala Klinis

Menurut WHO (2012) pasien yang dikategorikan sebagai perdarahan pasca salin berat yaitu jika terdapat tanda atau gejala dibawah ini:

- Perkiraan darah yang hilang > 1000 ml atau lebih - Perdarahan diikuti oleh hipotensi atau transfusi darah

2.2.4. Penatalaksanaan

Manajemen perdarahan bergantung pada penyebab dan keparahan dari perdarahan itu sendiri, contohnya perdarahan akibat atonia uteri dapat dihentikan dengan menggunakan uterotonik, ligasi arteri uterina, atau histerektomi serta penggantian dari cairan, faktor pembekuan, dan darah yang hilang pada saat perdarahan. Perdarahan pasca salin akibat atonia uteri dapat dicegah dengan pemberian uterotonik dan melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang bersalin (Goldman et al., 2013).

(5)

2.2.5. Komplikasi

Menurut Mousa et al. (2014) komplikasi yang ditimbulkan oleh perdarahan pasca salin adalah:

- Syok hipovolemik

- DIC (Disseminated intravascular coagulation) - Acute kidney injury

- Liver failure

- Acute respiratory distress syndrome

- Kematian

2.2.6. Prognosis

Perdarahan pasca salin adalah penyebab utama kematian ibu di seluruh dunia dengan tingkat prevalensi sekitar 6%. Afrika memiliki tingkat prevalensi tertinggi sekitar 10,5% . Di Afrika dan Asia, di mana sebagian besar kematian ibu terjadi, perdarahan postpartum menyumbang lebih dari 30% dari semua kematian maternal (WHO, 2012). Di Inggris, risiko kematian karena perdarahan pasca salin diperkirakan sebesar 1 wanita dalam 100.000 kelahiran (Cantwell et al., 2011). Di Amerika Serikat, risiko kematian karena perdarahan pasca salin diperkirakan 7-10 wanita dalam 100.000 kelahiran (Smith, 2012). Menurut Yiadom et al. (2014) insiden perdarahan postpartum adalah sekitar 1 dari 5 kehamilan, tetapi angka ini sangat bervariasi disebabkan perbedaan definisi untuk perdarahan postpartum.

2.3. Preeklampsia Berat

2.3.1. Definisi

(6)

2.3.2. Gejala Klinis

Preeklampsia digolongkan menjadi preeklampsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala sebagai berikut: (Prawirohardjo, 2010)

- Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring

- Proteinuria lebih 5g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif - Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500cc/24 jam

- Kenaikan kadar kratinin plasma

- Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma, dan pandangan kabur

- Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat teregangnya kapsula glisson)

- Edema paru-paru dan sianosis - Hemolisis mikroangiopatik

- Trombositopenia berat < 100.000 sel/mm³ atau penurunan trombosit dengan cepat

- Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular) : peningkatan kadar alanin dan aspartat aminotransferase

- Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat

- Sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes and low platelet)

2.3.3. Penatalaksanaan

Pengelolaan preeklamsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang, pengobatan hipertensi, penggelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan, antara lain : (Prawirohardjo, 2010)

 Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat

(7)

terjadinya edema paru dan oliguria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang sangat menentukan terjadinya edema paru dan oliguria ialah hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, dan penurunan gradien tekanan onkotik koloid/pulmonary capillary wedge pressure. Oleh karena itu, monitoring input cairan (melalui oral ataupun infus) dan output cairan (melalui urin) menjadi sangat penting, artinya harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa (a) 5% ringer-dekstrose atau cairan garam faali jumlah tetesan < 125 cc/jam atau (b) infus dekstrose 5% yang tiap liternya diselingi dengan infus ringer laktat (60-125 cc/jam) 500 cc . Dipasang

foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria terjadi bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam. Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat menghindari aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam.

 Pemberian obat anti kejang

Obat anti kejang diantaranya adalah MgSO4 (magnesium sulfat). Obat ini banyak digunakan di Indonesia sebagai obat anti kejang. Kemudian contoh obat anti kejang lain yaitu diazepam dan fenitoin.

 Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru,

payah jantung kongestif, atau anasarka. Diuretikum yang dipakai adalah furosemid. Pemberian diuretikum dapat merugikan yaitu memperberat hipovolemia, memperburuk perfusi utero-plasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, menimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin.

 Pemberian antihipertensi

(8)

karena efek vasodilatasi sangat cepat sehingga hanya boleh diberikan peroral.

2.3.4. Komplikasi

Menurut Walley et al. (2010) yang termasuk komplikasi dari preeklampsia berat adalah:

- Eklampsia

- Plasentaabruption

- Sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes and low platelet)

- Kejang - Koma - Kematian

2.3.5. Prognosis

Di seluruh dunia, preeklampsia dan eklampsia diperkirakan menjadi penyebab atas sekitar 14% kematian ibu per tahun (50.000-75.000) (WHO, 2004). Pada tahun 2008-2012 di RS dr. Sarjito Yogyakarta, dilaporkan terjadi 48 kematian ibu dari 742 ibu penderita preeklampsia berat, case fatality rate untuk preeklampsia berat di RS. dr.Sarjito Yogyakarta sekitar 6.47 (Handreswari, 2012).

2.4. Eklampsia 2.4.1. Definisi

Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeclampsia yang disertai dengan kejang menyeluruh dan koma. Sama halnya dengan preeklampsia, eklampsia dapat timbul pada antepartum, intrapartum, dan postpartum. Eklampsia postpartum umumnya hanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama setelah persalinan. Pada penderita preeklampsia yang akan kejang, umumnya memberi gejala-gejala atau tanda-tanda yang khas yang dapat dianggap sebagai tanda prodormal akan terjadinya kejang. Preeklampsia yang disertai dengan tanda-tanda prodormal ini disebut sebagai impending eclampsia atau imminent eclampsia

(9)

2.4.2. Gejala Klinis

Dikategorikan sebagai eklampsia yaitu jika pasien mengalami preeklampsia berat yang diikuti kejang tonik dan klonik tanpa adanya riwayat kejang sebelumnya, termasuk koma dalam preeklampsia (WHO, 2012).

2.4.3. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan eklampsia yang utama ialah terapi supportif untuk stabilisasi fungsi vital, yang harus selalu diingat airway, breathing, circulation

(ABC), mengatasi dan mencegah kejang, mengatasi hipoksemia dan asidemia mencegah trauma pada pasien yang kejang, mengendalikan tekanan darah, khususnya pada waktu krisis hipertensi, melahirkan janin pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat. Perawatan medikamentosa meliputi pemberian magnesium sulfat (MgSO4) untuk mencegah dan mengatasi terjadinya kejang (Prawirohardjo, 2010).

2.4.4. Komplikasi A. Edema Paru

Kejang eklampsia dapat menyebabkan edema paru terutama mereka yang dirawat dengan pemberian cairan intravena dalam jumlah besar dan selalu memberikan prognosis yang jelek.

B. Gagal Jantung

Terjadi pada keadaan terminal suatu eklampsia, terutama sianosis, denyut nadi yang cepat dan penurunan tekanan darah.

C.Kematian Mendadak

(10)

2.4.5. Prognosis

Prognosis selalu gawat, meskipun angka kematian maternal pada eklampsia tampak menurun selama tiga dekade terakhir ini, tetapi eklampsia masih merupakan salah satu keadaan yang mengancam jiwa bagi ibu yang sedang hamil. Angka kematian maternal yang dilaporkan berkisar antara 0 sampai 17,5 persen. Pada saat yang sama, kematian perinatal 13 sampai 30 persen (Pritchard et al., 1984).

Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan, maka gejala perbaikan akan tampak jelas setelah kehamilannya diakhiri. Segera setelah persalinan berakhir perubahan patofisiologik akan segera pula mengalami perbaikan. Diuresis terjadi 12 jam kemudian setelah persalinan. Keadaan ini merupakan tanda prognosis yang baik karena hal ini merupakan gejala pertama penyembuhan. Tekanan darah kembali normal dalam beberapa jam kemudian. Eklampsia tidak mempengaruhi kehamilan berikutnya kecuali pada janin dari ibu yang sudah mempunyai hipertensi kronik. Prognosis janin pada penderita eklampsia juga tergolong buruk. Sering kali janin mati intrauterin atau mati pada fase neonatal karena memang kondisi bayi sudah sangat inferior (Prawirohardjo, 2010).

2.5. Sepsis atau Infeksi Sistemik Berat 2.5.1. Definisi

(11)

2.5.2. Gejala Klinis

Dikategorikan sebagai sepsis atau infeksi sistemik berat, yaitu jika pasien mengalami tanda-tanda atau gejala di bawah ini: (WHO, 2012)

- Suhu tubuh > 38°C

- Didiagnosis atau dicurigai infeksi (korionamnionitis, abortus septik, endometritis, pneumonia)

- Diikuti paling sedikit oleh gejala berikut: denyut jantung > 90 per menit, pernapasan > 20 per menit, leukopenia (sel darah putih < 4000/mm³), leukositosis (sel darah putih > 12000/mm³)

2.5.3. Penatalaksanaan

Menurut Taber (1984), prinsip umum penatalaksanaan yaitu infeksi harus dihilangkan dengan terapi antibiotik, dibantu pembedahan bila ada indikasi, homeostasis kardiovaskular dan respirasi harus dipertahankan (kekurangan volume intravaskular harus dikoreksi, oksigenasi harus adekuat, dan perfusi jaringan harus direstorasi).

 Bantuan pernapasan

Oksigen dan jalan napas yang adekuat penting. Pengukuran gas darah yang diulang menilai keperluan oksigen dan perlunya intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik.

 Bantuan sirkulasi

Bila ada sepsis, banyak volume cairan terpisah pada tempat peradangan. Selain itu, kekurangan cairan penting lainnya berasal dari demam, muntah, diare, dan perdarahan. Cairan intravena, biasanya larutan ringer laktat atau larutan garam fisiologis, penting untuk menambah volume plasma. Pengukuran tekanan vena sentralis atau tekanan desakan arteri pulmonalis ditambah dengan keluaran urin merupakan suatu petunjuk untuk penggantian cairan. Transfusi dengan sel darah merah (packed red cell) atau whole blood dapat diindikasikan bila hematokrit kurang dari 30.

 Asidosis terjadi akibat kegagalan perfusi jaringan dan akibat terkumpulnya

(12)

 Antibiotik intravena

Sebelum mengetahui organisme spesifik, pilihan antibiotik dilakukan berdasarkan pada tempat dari infeksi, apakah didapat dari rumah sakit, terapi antibiotik sebelumnya, penyakit penjamu yang mendasarinya, biakan dan tes sensitivitas sebelumnya, dan antibiogram masing-masing rumah sakit. Mikroorganisme yang biasanya bertanggung jawab pada infeksi pelvis yang serius meliputi basil gram-negatif, streptokokus anaerob, bakteroides, dan klostridia.

- Gentamisin (60-80 mg setiap delapan jam) sering dipilih karena bersifat bakteriosidal dan efektif terhadap kebanyakan organisme gram negatif. Dosisnya harus disesuaikan bila ada tanda-tanda gagal ginjal

- Penisilin (3-5 juta unit setiap 4 jam) atau ampisilin (2 g setiap enam jam) dapat diberikan untuk menangani organisme gram positif

- Klindamisin (600 mg setiap delapan jam) sering dianjurkan bila dicurigai ada infeksi bakteroides

 Kortikosteroid dapat mencegah cedera selular nonspesifik dengan

menstabilkan membran lisosom. Selain itu, obat-obat ini dapat memperbaiki perfusi jaringan, meningkatkan curah jantung, dan menurunkan tahanan perifer arteri. Walaupun banyak pendapat yang berbeda akan dosis dan lamanya pengobatan, deksametason (3-5 mg/kg) atau yang sebanding mungkin bermanfaat.

 Obat-obat vasoaktif dapat diindikasikan bila pasien tidak memberikan respon terhadap penambahan volume intravaskular.

 Dopamin (inotropin) cenderung meningkatkan kontraktilitas miokard serta

aliran darah. Dua ratus miligram dopamin dilarutkan dalam 250 ml atau 500 ml larutan garam fisiologis dan diberikan pada dosis 2-5 mcg/kg/menit.

(13)

 Laparatomi dapat dianjurkan bila ada tanda-tanda rupturnya abses tuboovarium, pasien tidak memberi respon terhadap terapi antibiotik, atau ada tanda-tanda viskus yang perforasi atau benda asing dalam kavum peritoneum, histerektomi dengan salpingo-ooforektomi bilateral mungkin diperlukan.

2.5.4. Komplikasi

Menurut Barton dan Sibai (2012), komplikasi yang di timbulkan dari sepsis atau infeksi sistemik berat yaitu:

- Edem paru

- Respiratory distress syndrome

- Gagal ginjal akut

- DIC (Disseminated intravascular coagulation) - Kematian

2.5.5. Prognosis

Di Inggris, angka kematian ibu dilaporkan meningkat dari 0.85 kematian per 100.000 ibu hamil dalam waktu 2003-2005, menjadi 1.13 kematian dalam 2006-2008 (Barton dan Sibai, 2012).

2.6. Ruptur Uterus 2.6.1. Definisi

Ruptur uterus adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau dalam persalinan dengan atau tanpa robeknya peritoneum viseral (POGI, 1991).

2.6.2. Gejala Klinis

Gejala Klinis ruptur uterus yaitu sebagai berikut (POGI, 1991): - Sakit perut mendadak

- Perdarahan pervaginam

(14)

- Adanya penyulit operasi rahim, trauma, partus sulit sebelumnya, dan sebagainya

- Kadang-kadang disertai sesak napas/napas cuping hidung atau sakit karena tekanan napasnya intra abdominal pada diagfragma

- Teraba bagian janin langsung di bawah kulit dinding perut disertai tanda sakit perut mendadak, bunyi jantung janin tidak terdengar

- Kadang–kadang urin hemoragis

2.6.3. Penatalaksanaan

Menurut Taber (1984), penatalaksanaan untuk pasien ruptur uteri meliputi:

 Terapi Suportif

Perbaiki syok dan kehilangan darah. Tindakan ini meliputi pemberian oksigen, aliran intravena, darah pengganti, dan antibiotik untuk infeksi.  Laparotomi segera

Segera setelah diagnosis ditegakan, dilakukan persiapan untuk pembedahan. Pada saat itu, volume darah diperbaiki dengan cairan intravena dan darah. Setelah luasnya perlukaan ditentukan, ahli bedah dapat memilih antara memperbaiki kerusakan uterus dengan melakukan histerektomi. Keputusan tersebut berdasarkan tempat ruptur, sifat robekan, luasnya perdarahan, penyebab ruptur, adanya parut uterus, stadium kehamilan, kondisi umum pasien, dan keinginan pasien untuk mengandung dikemudian hari.

(15)

2.6.4. Komplikasi

Menurut Benson dan Pernoll (1994), komplikasi dari ruptur uterus yaitu: - Perdarahaan

- Syok - Infeksi

- Trauma kandung kemih atau ureter - Tromboflebitis

- DIC (Disseminated intravascular coagulation)

- Hipofungsi hipofisis (misalnya gagal menyusui atau kematian) - Jika pasien tetap hidup dapat terjadi infertilitas atau sterilitas

-2.6.5. Prognosis

Ruptur uteri menyebabkan 10%-40% kematian ibu dan paling sedikit 50% kematian perinatal (Benson dan Pernoll, 1994).

Dari tahun 1976-2012, dilaporkan 2.084 kasus diantara 2.951.297 wanita hamil. Tingkat kejadian ruptur uterus keseluruhan adalah 1 dari 1.146 kehamilan (0.07%). Dilaporkan juga kematian ibu akibat ruptur uterus di negara maju 0-1% dan di negara berkembang 5-10% (Nahum, 2012).

2.7. Komplikasi Berat dari Abortus 2.7.1. Definisi

Komplikasi abortus yang berat, paling sering berkaitan dengan suatu abortus kriminalis. Perdarahan yang hebat, sepsis, syok bakterial, dan gagal ginjal akut semua timbul sehubungan dengan abortus legal, tetapi dengan frekuensi yang jauh lebih rendah (Pritchard et al., 1984).

2.7.2. Gejala Klinis

(16)

2.7.3. Penatalaksanaan

Prinsip umum penatalaksanaan adalah infeksi harus dikendalikan dengan antibiotik yang tepat, volume intravaskuler efektif harus dipertahankan untuk memberikan perfusi jaringan yang adekuat, uterus harus dievakuasi (hasil konsepsi yang tertahan atau alat kontrasepsi dalam rahim disingkirkan). Tindakan spesifik yang harus dilakukan yaitu (Taber, 1984):

 Terapi Antibiotik

Dimulai secara intravena bahkan sebelum organisme spesifik dibiakan. Antibiotik dipilih atas dasar organisme yang terlihat pada perwarnaan gram apusan serviks. Kombinasi penisilin dan gentamisin mencakup semua organisme yang paling mungkin dengan pengecualian untuk bakteroides. Bila dicurigai bakteriodes, maka bisa dipilih klindamisin atau kloramfenikol.

 Cairan Intravena dengan Oksitosin

Dua puluh sampai 40 unit oksitosin diencerkan dalam 1000 ml dekstrosa 5% di dalam larutan ringer laktat membantu dalam pengeluaran isi intrauteri yang terinfeksi. Disamping itu, oksitosin merangsang kontraksi uterus untuk mengurangi perdarahan uterus.

 Transfusi Darah

Diberikan sesuai indikasi, tergantung pada derajat anemia dan perdarahan.

 Kuretase

Uterus dievakuasi secepat kadar antibiotik darah yang adekuat tercapai. Potongan besar jaringan nekrotik dibuang dengan forsep cincin.  Laparotomi eksplorasi

Diperlukan jika ada bukti perdarahan intraperitoneum aktif atau cedera usus yang mengikuti perforasi uterus traumatic atau jika benda asing intraperitoneum terlihat pada foto abdomen. Bila pewarnaan gram mengandung organisme klostridium, maka laparotomi ekplorasi dengan debridemen jaringan nekrotik yang adekuat dilakukan, biasanya histerektomi abdominalis totalis dan salpingo-ooforektomi akan diindikasikan jika tanda-tanda tidak menyenangkan berikut ini timbul:

- Gas dalam jaringan pelvis pada pemeriksaan sinar-X

(17)

- Gagal ginjal

- Tanda kemunduran pasien oleh sepsis.

2.7.4. Komplikasi

Menurut Goldman et al. (2013) dan Gaufberg (2012) komplikasi dari abortus yaitu:

- Emboli

- Komplikasi dari anestesi - Perdarahan

- Trauma servik - Trauma uterus - Infeksi

- Abortus septik - Kematian

2.7.5. Prognosis

Mortalitas dan morbiditas tergantung pada usia kehamilan pada saat keguguran atau aborsi. Di Amerika Serikat, angka kematian per 100.000 aborsi adalah dibawah 8 minggu 0.5% , 11-12 minggu 2,2%, 16-20 minggu 14%, dan lebih dari 21 minggu 18% (Gaufberg, 2012).

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b perlu menetapkan Peraturan Bupati Bantul tentang Ketentuan Pemegang Kendaraan

bahwa berdasarakan pasal 8 ayat (1) Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas

Tugas Belajar Khusus adalah Penugasan Pegawai Negeri Sipil Daerah yang mendapatkan perintah khusus dari Bupati Bantul untuk mengikuti pendidikan

Pokja ULP/Panitia Pengadaan Sarana Pendukung Pelayanan Kontrasepsi pada Satuan Kerja Perwakilan BkkbN Provinsi Jawa Barat akan melaksanakan Pelelangan Sederhana (Lelang

Untuk membuat title yang bagus, selain mengatur secara manual satu persatu property yang dimiliki text, kita dapat pula memanfaatkan style yang disediakan Adobe Title Designer

Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan hubungan hukum antara konsumen pengguna jasa dengan pihak pengelola perparkiran, perlindungan hukum terhadap

Diagram Skema Pengujian Input Tracking Generator Cascade Inductive Series Feedback LNA .... Hasil Input Tracking Generator Cascade Inductive Series Feedback LNA

perjanjian, akibat hukum dari klausula baku dan pengertian dari.. perlindungan konsumen pengguna jasa dan pelaku usaha terhadap. adanya perjanjian klausula