• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis tokoh mika dalam novel Kapak karya Dewi Linggasari menurut perspektif arketipe Carl Gustav Jung : sebuah kajian psikologi sastra - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Analisis tokoh mika dalam novel Kapak karya Dewi Linggasari menurut perspektif arketipe Carl Gustav Jung : sebuah kajian psikologi sastra - USD Repository"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

i

DEWI LINGGASARI MENURUT PERSPEKTIF ARKETIPE

CARL GUSTAV JUNG

SEBUAH KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA

Disusun Oleh :

Nama : Martina Mas NIM : 014114032 Jurusan : Sastra Indonesia Fakultas : Sastra

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

Hidup kita adalah

Ulangan hari dan harapan

Ulangan pekan dan pekerjaan

Ulangan bulan dan pembelajaran

Ulangan tahun dan pendalaman Tuhan

Maka karya ini kupersembahkan untuk mereka

yang selalu ada di hatiku

Karya ini kupersembahkan untuk:

My King, My Lord, My Father JESUS CHRIST

Yang selalu mendengarkanku, memegangku,

menuntunku

Untuk selama-lamanya aku tidak melupakan

titah-titahMu

Sebab dengan iu Engkau menghidupkan aku

Aku kepunyaan-Mu… Thanks Lord

Ayahku dan ibuku, guruku tercinta dalam

hidupku

Kakak dan adik, keponakan, iparku yang

terus memberiku

(5)

v

Setiap orang yang saya jumpai tentu lebih pandai

dari pada saya dalam sesuatu hal dan dalam hal

itu saya dapat mengambil teladan dan pelajaran

daripadanya.

Jika kita tidak memiliki apa yang kita sukai,

kita mesti menyukai apa yang kita punyai.

Jika Anda memandang pada dunia, Anda akan

menderita

Jika Anda memandang diri sendiri, Anda akan

tertekan

Namun, jika Anda memandang Kristus, Anda akan

tenang!

(Corrie Ten Boom)

Aku hendak memuliakan Tuhan

Selama aku hidup

Dan bermazmur bagi Allahku

Selagi aku ada

(6)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Skripsi yang telah saya tulis ini tidak memuat karya-karya orang lain kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan, daftar pustaka, sebagai layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Penulis Martina Mas

(7)

ABSTRAK

ANALISIS TOKOH MIKA DALAM NOVEL KAPAK KARYA DEWI LINGGASARI MENURUT PERSPEKTIF ARKETIPE CARL GUSTAV JUNG

SEBUAH KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA Martina Mas

Universitas Sanata Dharma 2007

Penelitian ini mengkaji sosok tokoh Mika dalam novel Kapak karya Dewi Linggasari. Tujuan penelitian ini adalah; (1) mendeskripsikan struktur penceritaan yang meliputi alur, latar, tokoh, dan tema; (2) mendeskripsikan tokoh Mika dengan menggunakan teori arketipe Carl Gustav Jung.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan struktural dan pendekatan psikologi sastra. Pendekatan struktural digunakan untuk menelaah karya sastra berdasarkan struktur pembentuknya, sedangkan pendekatan psikologi digunakan untuk menelaah karya sastra yang menekankan segi-segi kejiwaan seseorang. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Melalui metode ini, peneliti mencoba menggambarkan faktor-faktor yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, kemudian mengolah dan menafsirkan.

Hasil analisis struktural menunjukkan bahwa dalam novel Kapak ini, tokoh Mika merupakan tokoh utama. Alur dalam novel ini adalah alur linear atau alur terusan. Sedangkan latar yang dominan dalam novel ini adalah latar kehidupan masyarakat Buetkuar. Tema dalam novel Kapak ini adalah seorang wanita bukanlah manusia yang lemah yang terus berada di bawah laki-laki, melainkan merupakan manusia yang mempunyai pribadi mandiri dengan segala keunikan yang ia miliki.

Hasil analisis psikologi dengan menggunakan teori arketipe dari Carl Gustav Jung menunjukkan bahwa Topeng, Shadow, Anima-animus, dan Self dalam diri tokoh Mika telah menjadi dasar psikologis perilaku Mika dalam menghadapi tantangan hidup. Kekuatan-kekuatan bawah sadar ini membuat tokoh Mika tetap tabah, kokoh, dan berpikir rasional. Ia dapat membuktikan bahwa dirinya mampu bertahan dalam menjalankan setiap tantangan kehidupan yang penuh permasalahan dan kekerasan.

(8)

ABSTRACT

ANALYSIS OF MIKA’S CHARACTER IN NOVEL KAPAK WRITTEN BY DEWI LINGGASARI IN THE ARCHETYPE PERSPECTIVE OF CARL

GUSTAV JUNG including plot, setting, characteristic, and theme; (2) to describe Mika’s character using the archetype theory of Carl Gustav Jung.

In this research, the author used structural approach and literary psychological approach. Structural approach is used to analyze literary works based on the form of the structure, while psychological approach is used to analyze literary works which emphasize one’s psychological sides. The method used in this research is descriptive method. Through this method, researcher tries to describe the factors related to the research object, explore and interpret it.

The result of the structural analysis shows that Mika’s character in novel Kapak

is the main character. This novel uses one direction plot or linear plot while the dominant setting in this novel is the Buetkuar society background. The theme in novel Kapak is that a woman isn’t a weak creature who is always one step behind man, but she is a creature who has independent personality with its uniqueness she possessed.

The result of psychological analysis based on archetype theory of Carl Gustav Jung shows that Topeng, Shadow, Anima-animus, and Self inside Mika’s character have become Mika’s psychological behavior confronting life. This unconsciousness power enables Mika to stay hardy, strong, and think rationally. She can prove that she is able to survive in passing hard times through her life.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih Penulis haturkan kepada Tuhanku Yesus Kristus atas segala cinta dan limpahan-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat akhir menempuh ujian Sarjana pada Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Drs. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., sebagai Pembimbing I dan Drs. B. Rahmanto,

M.Hum., sebagai Pembimbing II, terima kasih untuk saran, ide-ide dan semangat serta kesabaran dan ketulusan dalam membimbing Penulis sampai akhirnya Penulis menyelesaikan Skripsi ini.

2. Drs. B. Rahmanto, M.Hum., Drs. FX. Santoso, M.Hum., Drs. P. Ari Subagyo, M.Hum., Drs. Heri Antono, M.Hum., Dr. Alex Sudewa, Dr. Praptomo Baryadi, M.Hum., S.E., Peni Adjie, S.S, M.Hum., Dra. Tjandrasih, M.Hum., terima kasih atas pengabdiannya dan semua jasa-jasanya yang sungguh mulia sebagai dosen Sastra Indonesia.

3. Mba Erna dan Mas Tri, terima kasih atas keramahan dan pelayanannya di Sekretariat Sastra.

4. Segenap Staf Perpustakaan yang dengan terbuka berbagi senyum, terima kasih atas buku-bukunya.

(10)

5. Ayahku dan ibuku (Yohanes Rane dan Maria Ludvina), terima kasih untuk nasehat, doa dan sentuhan kasih sayang yang luar biasa berarti untuk langkah hidupku.

6. Mami-ku Lucia Letta dan Babe-ku Wisma Florianus, terima kasih kuhaturkan untuk semangat, nasehat-nasehat yang selalu membuatku untuk tetap bertahan. 7. Kakakku sayang: Kak Misir, Kak Johny, Kak Gita, Kak Cici, Kak Jefry, adikku

Alexander, iparku Kak Endy, Kak Tilde, Kak Shinta, terima kasih untuk nasehat dan kasih sayangnya untukku.

8. Keponakan-keponakanku: Fariz, Santos, Rista, Jon, Anjel, Tin, kembar “Nana-Nani”, serta yang paling imoet ‘Maya Djereng’, terima kasih untuk canda dan keceriannya; kepolosan kalian membuatku bersemangat untuk belajar mencintai hidup.

9. Dua sahabatku, saudariku yang paling baik Yuliana Erna Sari “NE”, Natalia “hay guys”, terima kasih telah menjadi bagian terindah dalam lembaran-lembaran hidupku, dalam suka dan duka. Selalu ada canda dan ceria, kebersamaan kita tidak akan hilang.

10.Romo Baskara T. Wardaya, terima kasih atas semangatnya dan senyum hangatnya. Penulis banyak berburu dari yang membingungkan menjadi cerah, terima kasih untuk hasil yang cemerlang tentang SEJARAH.

11.Teman-temanku: Erty, Vita “dung”, Shita, Kenas, Kingkin, Nopex, Kristin, Gesta, Triani, Oky,Atiek, Sherly, Agi, Dwi, Indah, Yuni, Nancy serta teman-teman lain yang tidak tertera dalam karya ini, terima kasih untuk kebersamaan kita.

(11)

12.Teman-teman gerejaku: Pak Im, Pak Evan, Ibu Diah, Olla, Nancy, Rike, Rini, Neneng, Nitha, Tiwo, Yoyo, terima kasih untuk dorongan dan kelembutan yang kudapatkan, kita tetap menikmati kasih-Nya.

13.Teman-teman kos Gatot Kaca 3D: I’in, k’Dian, k’Uwie, Lusi, Lina-Xna, k’Lucie, Paul, Sandri, Agus, Eva, Eka, Natha, Nuning, Yantie, Grace, Chris, Ita “Menjeng” Tiur, Indah, Ony, Nancy “Imoet”, Vera, Leni, Antris, Arum, Berlin, terima kasih kebersamaan dan kekompakannya.

14.Teman-teman KKN Angkatan 32, Jhony, Toa “item”, Tono “Ndut”, Tata, Ditha, Sarie, Ida “nguap-nguap”, Petra “upiek”, Niken Ambarsari, I Love U All ...

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu segala kritik dan saran di harapkan penulis demi penyempurnaan Skripsi ini, penulis menerima dengan senang hati. Akhir kata, semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang mencintai penelitian sastra.

Yogyakarta, Penulis

(12)

DAFTAR ISI

1.6.1. Teori Struktural Karya Sastra ... 5

1.6.1.1. Tokoh... 6

1.6.1.2. Latar ... 8

1.6.1.3. Alur ... 10

1.6.2. Psikologi Sastra ... 11

1.6.2.1. Teori Psikoanalisis dari Carl Gustav Jung ... 13

(13)

1.7.4. Sumber Data ... 17

1.7.5. Sistematika Penyajian ... 17

BAB II ANALISIS STRUKTUR NOVEL KAPAK... 18

BAB III ANALISIS TOKOH MIKA DALAM PERSPEKTIF CARL GUSTAV JUNG .. ... 41

3.1. Topeng dalam Diri Mika... 41

3.1.1.1. Topeng Mika sebagai Ibu menurut Adat ... 42

3.1.1.2. Topeng Mika sebagai Ibu yang Penurut ... 43

3.1.1.3. Topeng Mika sebagai Ibu yang Mandiri... 45

3.2. Shadow Mika yang Berhubungan dengan Taraf Tak Sadar Personal .. ... 46

3.2.2.1. Shadow Mika terhadap Mundus... 46

3.2.2.2. Shadow Mika Terhadap Upra ... 47

3.2.2.3. Shadow Mika Terhadap Ero ... 48

3.3. Shadow Mika yang Berhubungan dengan Taraf

(14)

Tak Sadar Kolektif... ... 49

3.4. Anima dan Animus .. ... 51

3.4.4.1. Anima Positif dalam Diri Mika... 51

3.4.4.2. Anima Negatif dalam Diri Mika ... 53

3.4.4.3. Animus Negatif dalam Diri Mika... 54

3.4.4.4. Animus Positif dalam Diri Mika ... 55

3.5. Self……….. ... 56

3.5.1. Self dalam Diri Mika... 56

3.6. Rangkuman …………... 58

BAB IV PENUTUP………... 59

4.1. Kesimpulan …………... 59

4.2. Saran……… ... 61

DAFTAR PUSTAKA……… ... 62

BIODATA PENUTUP………... 63

(15)

1 I.1 Latar Belakang

Sastra di samping merupakan kutub tertentu dari garis lurus suatu kehidupan juga merupakan tuangan wadah jiwani manusia secara utuh. Sastra mencakup hal-hal yang indah, memikat, tragik, dan menyedihkan. Sastra berisi hal-hal yang menyangkut baik buruk manusia. Sastra penuh dengan konflik-konflik batin, dan merupakan terjemahan menawan perjalanan manusia ketika mengalami dan bersentuhan dengan peristiwa hidup dan kehidupan (Suyitno, 1986 : 5).

Sastra tidak saja lahir karena fenomena logis, tetapi juga karena kesadaran penulisnya bahwa sastra merupakan sesuatu yang imajinatif, fiktif, juga melayani misi-misi yang dapat dipertanggungjawabkan serta bertendensi. Sastrawan ketika menciptakan karyanya tidak saja didorong oleh hasrat untuk menciptakan, tetapi juga berkehendak untuk menyampaikan pikiran-pikiran, pendapatnya, kesan-kesan, perasaannya terhadap sesuatu. Sastra dapat membina dan mengembangkan kepekaan terhadap nilai-nilai, apakah nilai nalar, afektif, sosial atau gabungan keseluruhannya (Oemarjati, 1970 : 153-154).

(16)

jenis tersebut mudah untuk dipahami dan dinikmati (Sumardjono dan Saini, 1986 : 32).

Karya sastra menyajikan situasi yang ada kalanya tidak masuk akal dan motif-motif yang fantastis. Seperti halnya tuntutan situasi yang tidak masuk akal menggambarkan realisme sosial dalam karya sastra, pemikiran psikologi menambah nilai artistik karena menunjang koherensi dan kompleksitas karya, untuk kasus tertentu. Pemikiran psikologi dalam karya sastra tidak hanya dicapai melalui pengetahuan psikologi saja. Pengetahuan teori psikologi yang sadar dan sistematis mengenai pemikiran manusia, tidak penting untuk seni dan tidak dapat membantu mengentalkan kepekaan mereka pada kenyataan, mempertajam kemampuan pengamatan dan memberi kesempatan untuk menjajahi pola-pola yang belum terjamah sebelumnya (Wellek dan Waren via Melani Budianta, 1993 : 107).

Novel Kapak karya Dewi Linggasari merupakan novel yang menarik terutama pelukisan tempat dan peristiwa yang fungsional. Mika dalam novel

Kapak ini dapat dikatakan sebagai tokoh yang memegang peranan penting

karena Mika banyak terlibat dalam setiap bagian novel Kapak. Mika dilukiskan sebagai istri seorang kepala perang. Mereka tinggal di Buetkuar, tempat paling terpencil di wilayah Asmat. Tempat yang nyaris tidak pernah dikunjungi. Perubahan terjadi di ibukota wilayah Asmat, seakan tidak bisa mencapai kampung ini.

(17)

anak yang dilahirkan meninggal karena bermacam penyakit pada usia kanak-kanak. Anak yang masih hidup tinggal lima orang. Lingkungan yang keras membuatnya harus bekerja, mengurus dan membesarkan anak-anaknya. Mika selalu mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya. Ia berani menolak dan menentang keras ketika Mundus suaminya membawa Upra untuk dijadikan istri keduanya. Bukan suatu hal yang baru di kampung itu. Mundus adalah kepala perang, ia berhak memiliki dua, bahkan empat istri sekaligus. Hal yang menjadi sangat menonjol dan mampu menjadi daya tarik utama dalam novel Kapak

yakni konfliknya kian mulai melebur, yaitu pergaulan orang desa dengan lingkungannya, keluarganya, dan kehadiran orang kota dengan kehidupan kotanya.

Pada Kapak tokoh Mika tidak lagi menerima nasibnya begitu saja. Ia memberontak, ia berusaha menempatkan diri, memposisikan diri, mempertahankan jati diri dan harga diri dalam situasi yang seburuk apa pun. Di sini faktor yang memperjuangkan adanya kesadaran eksistensi yang lebih tinggi dalam diri tokoh utama dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya modern yang melukiskannya. Faktor tersebut secara konkrit dilukiskan melalui perjuangan tokoh utama.

(18)

mempunyai arti sebagai suatu endapan masa lampau yang digunakan manusia dalam setiap pengalaman hidup sehari-harinya, dan pengalaman itu telah dipengaruhi oleh bentuk kebudayaan dan kehidupan nenek moyang pada masa lampau, dan semua itu berlangsung dalam alam tak sadar. Empat arketipe penting yang menjadi bahan penelitian dalam skripsi ini adalah Topeng,

Shadow, Anima dan Animus, serta Self.

I.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas permasalahan yang akan dikemukakan penulis adalah sebagai berikut.

I.2.1 Bagaimanakah tokoh, latar, alur, dan tema dalam novel Kapak karya Dewi Linggasari ?

I.2.2 Bagaimanakah gambaran tokoh Mika dalam Perspektif arketipe Carl Gustav Jung ?

I.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

(19)

I.3.2 Mendeskripsikan tokoh Mika dalam Perspektif arketipe Carl Gustav Jung dalam novel Kapak karya Dewi Linggasari.

I.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas dapat disimpulkan manfaat penelitian sebagai berikut:

I.4.1 Menambah khasanah kajian sastra, khususnya kajian sastra dengan pendekatan psikologi.

I.4.2 Mengembangkan apresiasi sastra karya Dewi Linggasari khususnya novel Kapak.

I.5 Tinjauan Pustaka

Sejauh pengamatan peneliti belum ada yang mengkaji secara khusus novel Kapak karya Dewi Linggasari dalam bentuk penelitian ilmiah.

Namun novel Kapak telah di singgung dalam sebuah resensi yang di tulis oleh Arwan Tuti Artha yang mengatakan bahwa novel Kapak merupakan novel menarik di garap dengan bahasa populer. Kajian berlanjut pada realitas seni ukir suku Asmat di era global sampai pada kendala pembangunan di wilayah Asmat, serta perjuangan kaum perempuan dalam mewujudkan eksistensinya di tengah keluarga, adat, dan keluarganya (www.kompas.com).

Dalam penelitian ini, penulis mengkaji novel ini dengan menggunakan teori arketipe Carl Gustav Jung mencakup Topeng, Shadow, Anima dan Animus

(20)

Positif Tokoh Wisanggeni Pada Sosok Upi Sebagai Ungkapan Pembelaan Bagi

Kaum Tertindas Dalam Novel Saman Pada Tahun 2001. Dalam skripsinya,

penokohan Wisanggeni di dasarkan pada telaah psikologi dengan menggunakan teori arketipe Carl Gustav Jung khusus Anima dan Animus.

I.6 Landasan Teori

I.6.1 Teori Struktural Karya Sastra

Mursal Esten (1990) menyebutkan bahwa struktur karya sastra terdiri dari unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik karya sastra terdiri dari tema, alur, latar, tokoh dan gaya, sedangkan unsur ekstrinsik karya sastra meliputi faktor politik, ekonomi, sosiologi, dan psikologi.

Untuk memudahkan pemahaman terhadap sebuah karya sastra khususnya novel dapat dilakukan dengan memaparkan struktur novel tersebut. Tujuan pemaparan adalah mengetahui fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghadirkan keseluruhan (Nurgiyantoro, 1995 : 37). Adapun struktur yang akan dipaparkan adalah sebagai berikut.

I.6.1.1 Tokoh

(21)
(22)

Selanjutnya berdasarkan fungsi penampilan tokoh, tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara populer sering disebut hero, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai ideal bagi kita. (Nurgiyantoro, 1995 : 178). Tokoh antagonis dapat dikatakan sebagai tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik (Nurgiyantoro, 1995 : 79).

Konflik yang dialami oleh tokoh protagonis tidak harus dibedakan oleh tokoh antagonis seseorang atau beberapa orang individu yang dapat ditujukkan secara jelas. Ia dapat disebabkan oleh hal-hal lain yang di luar individualitas seseorang. Misalnya bencana alam, kecelakaan, lingkungan sosial ataupun nilai-nilai sosial, nilai-nilai moral dan kekuasaan yang lebih tinggi (Nurgiyantoro, 1995 : 181). Penganalisaan tokoh tidak dapat terlepas dari watak yang dimiliki. Watak adalah kualitas tokoh, nalar, dan jiwanya yang membedakannya dengan tokoh lain (Sudjiman, 1991: 16).

I.6.1.2 Latar

(23)

hubungan waktu dan tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Nurgiyantoro, 1995 :216).

Latar memberi pijakan secara konkret. Hal ini penting untuk memberi kesan realistis kepada pembaca. Menceritakan suasana memberi kesan realistis kepada pembaca. Menceritakan suasana tertentu seolah-olah ada dan terjadi (Nurgiyantoro, 1995 :217). Dengan demikian pendeskripsian unsur latar belakang sebuah novel semakin memperjelas maksud yang ingin disampaikan pengarang pada pembaca. Latar memberi gambaran kepada pembaca mengenai tempat tokoh berada kapan kejadian berlangsung, dan bagaimana kondisi sosial tokoh. Latar dalam sebuah novel dibagi tiga bagian yakni latar tempat, latar waktu dan latar sosial.

1. Latar Tempat

Latar tempat menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin beberapa tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, lokasi tertentu, tanpa nama jelas (Nurgiyantoro, 1995 : 227).

2. Latar Waktu

(24)

dihubungkan dengan fakta faktual waktu yang ada ceritanya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah merupakan peristiwa yang terjadi pada kurun waktu tertentu dan memberi kekhasan sebuah cerita. Kekhasan latar waktu dalam cerita akan memudahkan pembaca untuk mengenali dan memahami suatu cerita (Nurgiyantoro, 1995 : 230).

3. Latar Sosial

Latar sosial lebih mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup cara hidup, dan sikap (Nurgiyantoro, 1995 : 233).

(25)

I.6.1.3 Alur

Alur atau plot merupakan unsur fiksi yang penting. Di dalam sebuah cerita rekaan berbagai peristiwa disajikan dengan urutan tertentu. Peristiwa yang diurutkan itu membangun tulang punggung cerita. Alur atau plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu dihubungkan secara sebab akibat. Peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain (Nurgiyantoro, 1995 : 113).

Sebuah cerita fiksi atau plot mengandung unsur urut-urutan waktu. Oleh karena itu, dalam sebuah cerita tentu ada awal kejadian, kejadian-kejadian berikutnya dan ada pula akhirnya. Kejadian-kejadian yang berlangsung tidak harus disusun secara berurutan. Dengan demikian tahap awal cerita tidak harus berada diawal cerita atau di bagian awal teks, melainkan dapat terletak di bagian manapun (Nurgiyantoro, 1995 : 142).

(26)

I.6.2 Psikologi Sastra

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari gejala-gejala jiwa dan tingkah laku manusia (Dirgagunarsa, 1985 : 9). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan psikologi sebagai pendekatan sastra. Pendekatan sastra dari sudut psikologi diarahkan kepada karya sastra atau teks itu sendiri. Karya sastra merupakan struktur yang terdiri dari bagian-bagian yang bermakna. Pendekatan psikologi sastra dalam novel Kapak tidak dapat dipisahkan dari analisis struktural. Analisis struktural dalam novel Kapak meliputi tokoh, latar, alur, dan tema. Hasil analisis tokoh, latar, alur, dan tema membantu penelitian memahami jiwa tokoh utama yang selanjutnya digunakan dalam menganalisis batin tokoh utama.

Unsur kejiwaan seorang tokoh dalam novel merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji. Psikologi merupakan ilmu yang membantu memecahkan masalah-masalah kejiwaan. Sastra dan psikologi merupakan dua wajah satu hati dan sama-sama menyentuh manusia dalam persoalan yang diungkapkan (Sukada, 1987 : 102). Dengan demikian, psikologi pada dasarnya mempelajari proses-proses kejiwaan yang dapat di ikut sertakan dalam studi sastra. Dalam aliran psikologis seseorang akan mengungkapkan suatu kisah berdasarkan gerak-gerik jiwa para tokohnya (Tjahyono, 1988 : 230).

(27)

gejolak kejiwaan yang dialami seorang tokoh, termasuk adanya konflik yang dialami oleh tokohnya.

1.6.2.1 Teori Psikoanalisis dari Carl Gustav Jung

Jung memperluas alam tak sadar yang semula dikemukakan Freud dengan menambahkan alam tak sadar kolektif antara lain dalam alam sadar terletak ego dengan fungsi utama menjadi penyaring berbagai pengalaman hidup dan dengan demikian juga menjadi pengatur dan penjaga keutuhan kepribadian. Berkat ego kita masing-masing walaupun mengalami berbagai perubahan juga sekaligus memiliki kesinambungan diri dan identitas diri.

1.6.2.2 Arketipe Menurut Jung

(28)

Menurut Jung manusia yang sehat berhubungan dengan alam

tak sadar pribadi dan alam tak sadar kolektifnya, agar tidak

mengalami berbagai gangguan jiwa. Di antara berbagai citra primordial yang dimiliki manusia, Jung mengatakan terdapat empat arketipe terpenting yaitu: Topeng (persona), Anima-animus, Bayang-bayang (shadow), dan Diri (self).

1. Topeng (Persona), dapat dikatakan sebagai bentuk kompromi

antara lingkungan dan kepentingan norma-norma batiniah seorang individu dan ras atau bangsa. Topeng itu sungguh melekat pada kodrat manusia. Dia diperlukan dalam pergolakan hidup manusia. Dia membantu kita dalam pergaulan, terutama dalam menyesuaikan diri dengan orang lain, walaupun orang-orang itu tidak kita senangi (Jung via Sebatu Alfons, 1994 : 63).

2. Shadow, menurut Jung, menunjukkan sisi gelap atau sisi yang

jahat dalam diri kita. Shadow berbeda dengan persona yang erat hubungannya dengan ego yang bersifat sadar. Dia berhubungan dengan taraf tak sadar personal, Shadow merupakan personifikasi yang universal dari bentuk kejahatan psike.

3. Anima (wanita dalam diri pria), dan Animus (pria dalam diri

(29)

negatif. Anima bekerja positif pada pria bila dia membangkitkan inspirasi, kemampuan intuitif, dapat memberikan peringatan, dan sebagainya. Sedangkan aspek negatifnya berupa perangai yang buruk atau suasana hati yang tidak menentu. Sedangkan Animus pada wanita beraspek positif bila menampakkan diri dalam argumentasi yang berdasarkan pemikiran yang logis dan masuk akal. Aspek negatifnya bila wanita bermulut tajam, tanpa perasaan dan sebagainya.

4. Self atau Diri adalah bagian sadar dari kepribadian kita. Aku

adalah tujuan akhir dari perkembangan kepribadian setiap manusia, yang oleh Jung juga disebut sebagai jalan menuju individuasi (individuation). Dengan adanya aku, terciptalah ego

yang baru (Jung via Sebatu Alfons, 1994 : 64-65).

I.7 Metode Penelitian 1.7.1. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan penulis untuk meneliti novel

Kapak karya Dewi Linggasari adalah pendekatan psikologi sastra. Namun

demikian, penulis akan memulai dengan analisis struktural terlebih dahulu. Psikologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati karya sastra dengan sudut pandang psikologi, sedangkan analisis struktural merupakan analisis yang mengkaji unsur-unsur pembangun karya sastra.

(30)

pembaca, dan teks sendiri (karya). Dalam kritiknya terhadap karya sastra dan teks, pengkritik psikologi boleh menggunakan cara yang bisa digunakan dalam kritikan formal. Pengkritik boleh mengambil cara ini terutama untuk meneliti perwatakan dalam karya, aspek yang biasa diberi perhatian adalah pemikiran atau mind watak, terutama pemikiran pada tahap bawah sadarnya (Awang dalam Mohd Saman, 1985 : 33).

1.7.2. Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data-data yang digunakan dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis studi pustaka (library research). Hal ini dilakukan untuk menemukan faktor-faktor pendukung yang berkaitan dengan objek penelitian. Novel yang diteliti diidentifikasi, dianalisis, dan diklasifikasikan berdasarkan kesamaan masalah yang akan dibahas, yaitu tokoh Mika dalam perspektif Carl Gustav Jung.

1.7.3. Metode Penelitian

(31)

Berdasarkan metode tersebut, peneliti akan menggali setiap permasalahan yang dialami tokoh Mika yang akan diperjelas dan didukung oleh latar yang digambarkan dalam novel Kapak tersebut.

1.7.4. Sumber Data

Judul buku : Kapak

Pengarang : Dewi Linggasari Penerbit : Kunci Ilmu Kota Terbit : Yogyakarta Tahun Terbit : 2005 Tebal buku : 136 Cetakan : Pertama

1.7.5. Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. Bab satu, pendahuluan, bab ini berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tinjauan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, sumber data, dan sistematika penyajian. Bab dua Analisis Struktural dalam novel Kapak. Dalam bab ini penulis menganalisis novel

Kapak secara struktural yang meliputi alur, tokoh, latar, dan tema dalam

(32)

18

Dalam bab ini akan dilakukan analisis struktur terhadap novel Kapak yang mencakup tokoh, alur, latar, dan tema. Untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai novel Kapak, terlebih dahulu akan dikemukakan sinopsis novel tersebut.

2.1. Sinopsis

Buetkuar adalah tempat paling terpencil di wilayah Asmat. Kampung itu berada pada suatu tempat yang sangat jauh, nyaris tak pernah dikunjungi masyarakat luar. Keterisolasian telah menjadi dinding kasat mata yang mematahkan hubungan dengan dunia luar sehingga mereka tidak merasa perlu untuk menggunakan penanggalan. Di dalamnya hidup sekelompok warga Buetkuar yang sangat patuh pada tradisi nenek moyang yang turun temurun. Dengan tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, tidak heran jika kemajuan pembangunan desa itu berjalan lamban. Ketidakmengertian pada teknologi dan kegigihan untuk mempertahankan adat, akhirnya menggiring masyarakat Buetkuar pada sebuah pemikiran yang skeptis dan penuh curiga pada setiap orang yang datang dari luar Buetkuar.

(33)

Mika melahirkan anaknya di bawah pohon besar. Orang Asmat percaya bahwa darah yang mengalir dari bagian yang paling rahasia seorang wanita yang melahirkan, akan menimbulkan penyakit atau kematian. Sebab itu seorang wanita tidak diperkenankan untuk melahirkan di dalam rumah. Darah itu akan mendatangkan bencana bagi orang yang tinggal di dalamnya. Adalah suatu keharusan, bahwa seorang wanita yang hendak melahirkan mesti pergi ke tengah hutan.

Mika adalah sosok wanita yang penyayang, tegas dan mampu menempatkan diri, memposisikan diri, mempertahankan jati diri, harga diri, dalam situasi yang seburuk apa pun, mengambil keputusan, dan dengan penuh tekad mengukuhi keputusannya, berencana dan mewujudkan rencananya, dan keluar sebagai pemenang.

Lalu datanglah masa ketika Mika menolak keras suaminya yang ingin menikah lagi. “Kalau perempuan itu tinggal di sini, aku akan pergi”, demikian suara Mika disela-sela isak tangisnya (hlm. 21). Mundus adalah kepala perang, ia berhak memiliki dua, bahkan empat istri sekaligus. Penolakan Mika ini membawanya pada penderitaan yang sangat panjang. Kekerasan demi kekerasan yang dilakukan Mundus tidak mematahkan semangat Mika untuk mempertahan-kan dirinya di depan suami dan anak-anaknya.

(34)

Untuk mempertahankan jati diri dan harga dirinya ia mengambil keputusan dan dengan penuh tekad mengukuhi keputusannya. Ia memberi peringatan yang keras terhadap Ero dan Berti( wanita-wanita pencari Gaharu). Dengan penuh kebencian Mika membuang ludah, tepat di muka Ero. Sekali sepak, Mika menghamburkan satu kilo gaharu yang diberikan Mundus kepada wanita itu sebagai alat pembayaran. (hlm. 80).

Kedatangan para pencari gaharu ke kampung Buetkuar membawa sedikit perubahan terhadap Mika dan keluarganya. “Ini menguntungkan kita ayah”, ujar Yowero yang telah banyak mendapatkan uang dari hasil penjualan gaharu. Demikian pula dengan Mundus dan Mika. Mundus kini memiliki satu tromol penuh pakaian baru, jam tangan, dan satu kardus persediaan rokok. Sementara Mika sedikit demi sedikit mulai mengikuti kegenitan Ero. Setelah pakaian-pakaian baru, ia memiliki pula bedak, sisir dan gincu. Ero membujuk dan menukarkan barang-barang itu dengan satu kilo gaharu seharga Rp150.000,00. Buetkuar yang semula lengang dan terpencil itu pun seketika terpengaruh. Sesuatu telah terjadi dan akan terus berlangsung.

(35)

tanah telah menghukummu, Mundus”. Mika bersuara pelan mencoba menenangkan suaminya. Cerita ini diakhiri dengan kematian tokoh Mundus dan pernikahan Mika yang tidak bahagia.

2.2. Analisis Struktur 2.2.1. Tokoh

Dalam sebuah karya sastra, tokoh memegang peranan penting dalam pembentukan cerita. Sebuah cerita tidak akan mungkin terbentuk tanpa tokoh. Dalam hal ini, tokoh diperlukan untuk mendukung terjadinya sebuah peristiwa sehingga terbentuklah cerita yang memadai.

Dalam Kapak, terdapat sejumlah tokoh yang mendukung terjadinya peristiwa-peristiwa yang membangun cerita. Tokoh-tokoh dalam Kapak digambarkan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh-tokoh dalam Kapak pun tidak lepas dari usaha pengungkapan makna niatan pengarang, gagasan yang oleh pengarang dimaksudkan sebagai tema cerita.

Bertitik tolak dari hal itu, analisis tokoh yang dilakukan terhadap Kapak ini bertujuan untuk memaparkan watak, perilaku dan peran tokoh dalam pembentukan cerita. Analisis tokoh dilakukan untuk menemukan gagasan sentral dalam Kapak. Dalam hal ini Mundus, Upra, Ero adalah tokoh-tokoh yang dianggap memegang peranan penting dalam mengungkapkan gagasan sentral novel Kapak.

(36)

Lebih jauh kita dapat melihat bahwa penyelesaian yang disajikan pada akhir cerita adalah penyelesaian bagi Mika. Hal ini menyiratkan informasi bahwa pada dasarnya Mikalah tokoh utama yang memegang peranan dalam Kapak. Di sisi lain, keberadaan atau kehadiran Mundus, Upra, Ero sangat diperlukan untuk mendukung tokoh Mika. Oleh karena itu, tokoh-tokoh itu dikategorikan sebagai tokoh bawahan. Secara rinci analisis tokoh dalam Kapak adalah sebagai berikut.

2.2.1.1. Tokoh Utama Mika

Mika dikatakan sebagai tokoh utama protagonis, menjadi pusat cerita, menjadi sentral pengisahan, menjadi sorotan pembaca dalam keseluruhan isi novel. Hal ini dapat dilihat dari awal hingga akhir cerita. Untuk melihat keterlibatan Mika dalam novel Kapak, tentu saja tidak terlepas dari kemunculan tokoh-tokoh lain.

Dalam novel Kapak ini, Mika berhadapan dengan keadaan lingkungan yang keras, terisolasi serta masih kuat kepercayaannya akan roh nenek moyang. Mika tengah berjuang melawan maut demi anak yang hendak dillahirkan. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

(1) Akan tetapi di bawah pohon mangi-mangi yang amat besar telah terbentang selembar tapih. Di atas tapih tampak seorang wanita tengah mengerang kesakitan. Perutnya yang mengembung tampak bergerak-gerak. Wanita itu terus mengerang sambil menyebut-nyebut roh nenek moyang yang menjadi sumber dari segala kekuatan. (hlm. 9).

Begitu kental kepercayaan orang Asmat terhadap roh nenek moyang sehingga mereka mengharuskan setiap wanita Asmat untuk melahirkan di hutan. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

(37)

melahirkan di dalam rumah, darah itu akan mendatangkan bencana bagi orang yang tinggal di dalamnya. Adalah suatu keharusan, bahwa seorang wanita yang hendak melahirkan harus pergi ke tengah hutan. (hlm. 10). Secara fisiologis, Mika dilukiskan sebagai perempuan muda yang bersuamikan seorang kepala perang. Ia tidak menarik lagi di mata suaminya karena sering melahirkan, terdapat dalam kutipan berikut:

(3) Wanita itu tengah merasakan kelelahan yang luar biasa setelah berulang kali melahirkan. Wajahnya tampak sepuluh tahun lebih tua dari usia yang sebenarnya. (hlm. 12).

(4) Ia memang telah tua kini, perutnya telah menggelambir, pinggangnya tidak lagi bersisa. Tidak ada lagi yang menarik dalam dirinya. Usia dan kekerasan hidup telah merampas segala-galanya. Suaminya sudah tidak bergairah lagi jika berhubungan dengannya. (hlm. 23).

Di samping tidak menarik di mata suaminya, Mika selalu mendapat perlakuan yang kasar dari suaminya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

(5) Keesokan harinya terdengar suara bentakan, sumpah serapah, bunyi tamparan dan isak tangis dari mulut Mika. Hiruk-pikuk itu bukan untuk pertama kalinya, tetapi sudah berulang kali, bahkan sudah menjadi bagian dari kehidupan di rumah ini. (hlm. 21).

Di sisi lain pertengkaran memuncak. Mika menolak suaminya yang ingin menikah lagi. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan berikut:

(6) “Kalau perempuan itu tinggal di sini, aku akan pergi”, demikian suara Mika di sela-sela isak tangisnya.

“Kau mau pergi kemana?” Mundus membentak dengan suaranya yang berat.

“Kemana saja”, suara Mika terbata-bata.

“Orang tuamu sudah mati!” Mundus kembali membentak. “Aku bisa tinggal di hutan dengan anak-anak”.

“Tidak seorang pun bisa membawa anak-anak pergi tanpa melangkahi mayat saya. Mengerti kamu!” teriak Mundus (hlm. 21).

(38)

(7) Tidak berapa lama kemudian Mundus datang dengan seorang wanita mengekor di belakangnya (hlm. 22).

(8) Raungan Mika telah berubah menjadi rintihan ketika Mundus dan Upra memasuki rumah secara beriringan. Mika tertunduk tak bergeming. Ia tidak memandang wajah Upra. Senyum sinis di bibir tebal wanita itu telah membuat hatinya bengkak. (hlm. 23).

Mika adalah sosok wanita yang mampu mempertahankan jati diri dan harga diri dalam situasi yang seburuk apa pun. Hal ini terlukis ketika ia mengetahui suaminya menyeleweng. Ia tidak mau dimadu. Ia kemudian berusaha melawan setiap wanita yang mendekati suaminya. Sikap Mika ini terdapat dalam kutipan berikut:

(9) Hati Mika seketika terbakar api cemburu. Ia segera menjadi nyalang, ia menatap Upra dengan bara dendam yang menyala-nyala. Keduanya kemudian berguling-guling di lantai papan, saling memukul, mencakar dan mencaci-maki. (hlm. 23-24).

(10) Dengan penuh kebencian Mika membuang ludah, tepat di hadapan Ero dan Berti. Ia tidak pernah lepas memperhatikan wanita-wanita itu sambil menunggu kesempatan untuk memperdayakannya. (hlm. 87).

Hal yang sama pula terlihat ketika Mika mengetahui kalau suaminya masih suka menyeleweng. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan berikut:

(11) “Mundus, kamu masih suka bermain dengan perempuan-perempuan itu! Kamu mengira saya tidak tahu perempuan-perempuan itu?” demikian Mika bersungut-sungut sambil terus memandangi bayang-bayang long boat itu menjauh dari lingkungan rumahnya. (hlm. 75-76).

Mika adalah sosok wanita yang setia terhadap suami. Kesetiaan ini dapat dilihat ketika Mika dengan setia merawat suaminya setelah tertembak panah beracun. Kesetiaan Mika ini ditunjukkan dalam kutipan berikut:

(12) Mika segera memberikan segelas air putih yang tersisa. Beberapa detik Mundus merasa demikian segar. (hlm. 99).

(39)

Sifat Mika yang lain adalah sifat yang jujur. Sifat ini ditunjukkan melalui pelukisan tokoh Mika yang tidak mau menerima tuduhan suaminya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

(14) “Kita tidak bermain gila, Mundus, kita hanya pergi menjaring. Donatus itu sepupuku. Untuk apa saya berbohong sama kamu.” (hlm. 33).

Selain mempunyai harga diri, sikap setia, jujur yang dimiliki Mika, sebagai manusia biasa Mika menyimpan perasaan sakit hati. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

(15) Kelak, pada pesta setan, Mika akan berkesempatan untuk membalas sakit hati, seperti halnya istri yang lain. Bahwa keadilan bagi istri-istri yang lemah pasti akan tiba. Mika menyimpan bara dendam itu rapat-rapat dalam hatinya sampai tiba saat yang tepat untuk mengobarkannya. (hlm. 23).

Sikap Mika yang keibuan juga ditunjukkan saat ia yakin bahwa apa yang dialaminya tidak akan terjadi pada kedua anak perempuannya, karena status mereka adalah anak kepala perang. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

(16) Tiba-tiba terbersit seulas senyum di bibir wanita itu. Ia teringat kepada kedua anak perempuannya, mereka adalah anak kepala perang. Kelak suami-suami mereka tidak akan dapat memperbudaknya, karena kedudukan itu. (hlm. 30).

Tokoh Bawahan atau Tokoh Tambahan

Tokoh bawahan atau tokoh tambahan adalah tokoh yang pemunculannya dalam keseluruhan cerita lebih sedikit. Ia hadir apabila ada kaitannya dengan tokoh utama baik secara langsung maupun tidak langsung. Tokoh bawahan dalam novel

Kapak adalah sebagai berikut:

(40)

2.2.1.2. Mundus

Mundus dilukiskan sebagai seorang kepala perang dan suami Mika. Mundus tumbuh dan berkembang dengan lingkungan yang membentuknya. Statusnya sebagai seorang kepala perang telah dijalaninya secara turun-temurun. Secara fisiologis, Mundus adalah pemuda yang kuat dan mempunyai perototan yang kuat. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut:

(17) Badan tegap dengan perototan yang kuat, rambut ikal, kulit hitam dan sorot mata yang dalam, khas seorang kepala perang. (hlm. 23).

Mundus adalah sosok suami yang memiliki sikap yang dingin, cepat cemburu dan mudah marah. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut:

(18) Laki-laki itu menerima bayinya yang baru lahir dengan seulas senyum yang amat tipis, nyaris tidak kentara. (hlm. 10-11).

(19) “Hei, bangun Mika, saya membawa kasuari”. Mundus menyepak kaki Mika kemudian menghempaskan tubuhnya yang basah kuyup ke atas tikar. (hlm. 14).

(20) Api cemburu membuat langkah kakinya bergerak cepat dari biasanya, ketika ia mendengar Mika dan sepupunya Donatus pergi ke sungai menjaring ikan. (hlm. 32).

Sikap Mundus yang lain adalah tidak setia terhadap istrinya. Hal ini ditunjukkan melalui sikap Mundus yang mengkhianati Mika. Terlihat dalam kutipan berikut:

(21) Tidak berapa lama kemudian Mundus datang dengan seorang wanita mengekor di belakangnya. Mereka berdua memasuki rumah secara beriringan. (hlm. 22).

(22) Mundus bergegas meninggalkan Ero sambil membetulkan letak celananya. Ia merasa puas dengan rasa wanita itu, semua kepuasan itu karena gaharu. (hlm. 79).

(41)

(23) Samar-samar ia melihat Mika. Sungguh kasihan wanita itu. Apa kesalahannya. Diam-diam Mundus menyesal, ia telah banyak menyengsarakan wanita itu. Rasa itulah yang mendesak Mundus pada sebuah penyesalan yang amat dalam. “Oh ... tetel manis ...” Mundus mengeluh. (hlm. 100).

Kepercayaannya kepada roh nenek moyang dan posisinya sebagai kepala perang juga tercermin pada sikap Mundus dalam menghadapi kenyataan hidup. Sikap Mundus dalam menghadapi kenyataan hidup dilukiskan sebagai orang yang kuat. Sikap ini terlihat pada saat penyakit menyerangnya, terdapat dalam kutipan berikut:

(24) “Tuan tanah telah menghukum saya ...” Mundus mengeluh. Sekali lagi Mundus cukup membuktikan kekuatannya sebagai kepala perang. (hlm. 101).

(25) Kesadarannya semakin menjauh, menembus dinding pemisah antara kehidupan di dunia kini dan sebuah alam yang lain sama sekali. Kematian telah mengakhiri segala rasa sakit dan penderitaan. Mundus kemudian membawanya dalam damai. (hlm. 102).

2.2.1.3. Upra

Secara fisiologis Upra dilukiskan sebagai seorang gadis yang masih berusia belia, dengan tubuh yang berisi dan menarik. Ia dipersunting oleh Mundus untuk menjadi istri keduanya. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut:

(26) Upra adalah gadis belia, dengan bentuk pinggang yang ramping, pinggul indah mengembang dan dada yang ranum. Usianya tidak terpaut jauh dari Yomhen. Ia dan keluarganya begitu senang ketika Mundus mempersuntingnya (hlm. 22).

Sikap Upra yang sinis dan angkuh membuat orang-orang dalam rumah itu tidak menyukainya. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut:

(42)

Sikap Upra yang lain adalah baik, ini terlihat ketika ia dengan sabar merawat Mika karena perlakuan kasar yang dilakukan Mundus, terdapat dalam kutipan berikut:

(28) Ia tidak berdaya melihat Mika yang terkapar berlumuran darah akibat tebasan pedang Mundus. Upra segera menerobos masuk untuk memberikan pertolongan bagi Mika (hlm. 34-35).

Upra juga dilukiskan sebagai wanita yang sakit-sakitan. Mundus merasa terbeban sehingga ia segera dipulangkan ke rumah orang tuanya. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut:

(29) Upra tidak tinggal lagi di rumah itu bersama Mundus. Karena istri mudanya itu sering sakit-sakitan kemudian ia dipulangkan ke rumah orang tuanya (hlm. 100).

2.2.1.4. Ero

Ero adalah seorang wanita penghibur yang datang ke Buetkuar dengan beberapa teman laki-lakinya. Kedatangan mereka ke kampung itu hanya mencari kayu gaharu. Ero dilukiskan sebagai wanita yang memiliki mata yang berkilat-kilat dan wajah yang riang. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut:

(30) Selama mendengarkan penjelasan Mundus, sesekali ia mengedipkan matanya dengan nakal. Kemudian ia kembali menatap Mika yang datang membawa gaharu itu dengan mata berkilat-kilat dan wajah yang riang. (hlm. 70).

(43)

2.2.2. Latar

Sebuah karya fiksi dibangun oleh unsur-unsur latar. Latar merupakan landasan bagi peristiwa yang diceritakan. Latar terdiri dari tiga bagian, yakni latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat mengarah pada lokasi peristiwa. Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa. Adanya persamaan perkembangan dan kesejalanan waktu juga dimanfaatkan untuk memberi kesan pembaca seolah-olah sungguh-sungguh terjadi. Latar sosial mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat.

2.2.2.1. Latar tempat novel Kapak

Latar desa yang dipaparkan dalam Kapak adalah dusun Buetkuar. Buetkuar adalah tempat terpencil dan terisolasi di wilayah Asmat. Rumah penduduk Buetkuar sebagian besar terbuat dari rumah panggung dengan dinding gaba-gaba dan beratap ilalang, terdapat dalam kutipan berikut:

(31) Buetkuar merupakan tempat terpencil di wilayah Asmat. Kampung Buetkuar hanyalah sekelompok rumah panggung berdinding gaba-gaba, beratap ilalang. Kampung ini berada pada suatu tempat yang sangat jauh dan nyaris tidak pernah dikunjungi. Keterisolasian telah menjadi dinding kasat mata yang mematahkan hubungan dengan dunia luar. (hlm. 7-8). Alam yang murni, indah dan belum terkotori oleh polusi membuat pedusunan Buetkuar menjadi rindang dan tenteram. Pelukisan tempat yang lain adalah sebuah rumah yaitu milik Mika yang sederhana, terdapat dalam kutipan berikut:

(44)

(33) halSejenak Mika termangu, ia memandang ke satu-satunya ruangan yang ada di dalam rumah itu. Tidak ada yang berubah. Dinding dari jalinan ilalang itu masih cukup kuat melindungi keluarganya dari gemuruh air yang tiada henti (hlm. 10).

Penyesalan Mika atas kekasaran suaminya membuatnya sering menyendiri di sungai dan menghibur diri dengan pergi memancing. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut:

(34) Mika memandangi wajahnya yang memar di atas permukaan air. Sorot matanya tidak dapat menyembunyikan kepedihan hatinya. Ia segera beranjak dari tempatnya berdiam diri lalu segera menjaring untuk sekedar menghibur diri. (hlm. 30-31).

Latar tempat yang dilukiskan ikut merasakan kepedihan dan penyesalan Mundus adalah rumahnya, terdapat dalam kutipan berikut:

(35) Banyak kenangan pahit dan manis tersimpan dalam rumah panggung ini. Diam-diam Mundus menyesal. Ia telah banyak menyengsarakan Mika. Rasa sakit itu mendesak Mundus pada sebuah penyesalan yang amat dalam. (hlm. 100).

2.2.2.2. Latar Waktu

Latar waktu adalah waktu kapan terjadinya peristiwa dalam cerita. Pengertian waktu di sini tidak terbatas pada waktu pagi, siang, sore, ataupun malam hari, serta musim hujan. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut:

Mika membereskan tikar dari darah yang meleleh. Di atas langit diliputi mendung tebal. Sesaat lagi hujan deras akan segera tertumpahkan. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.

(45)

Latar waktu terlihat ketika setiap malam Mundus memegang pahatan dan ukiran wajah nenek moyang. Benda keramat yang selalu mengingatkan sang empu pada roh leluhurnya. Terdapat dalam kutipan berikut.

(37) Malam terus berlanjut, dingin dan sepi. Suara satwa liar adalah irama abadi yang sesekali terdengar memecah sunyi. Di dalam rumah panggung yang tegak berdiri, Mundus baru saja meletakkan piring sagu dengan ukiran wajah nenek moyang pada kedua sisinya. (hlm. 18). Sore harinya Yowero telah menunggu ibunya di tepi sungai, mereka ingin membawa Mundus ke Puskesmas. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.

(38) Sore harinya Mika bermaksud membawa Mundus ke Puskesmas Pembantu, tetapi bidan desa yang bertugas di tempat itu sedang cuti melahirkan. (hlm. 98).

Latar waktu terlihat ketika Mundus menyesal telah memperlakukan Mika dengan kasar. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

(39) Dalam kegelapan itulah dengan perlahan tetapi pasti, kesadaran Mundus muncul, betapa ia telah berbuat semena-mena terhadap Mika dan betapa sudah amat terlambat kesadaran itu. (hlm. 101).

2.2.2.3. Latar Sosial

2.2.2.3.1. Kehidupan Masyarakat Buetkuar

Masyarakat Buetkuar didominasi oleh masyarakat asli di wilayah Asmat yang mempunyai mata pencaharian meramah sagu dan memancing. Mereka menekuni pekerjaan ini secara turun temurun. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut:

(40) Pohon sagu merupakan satu-satunya makanan pokok penduduk Buetkuar. (hlm. 17).

(41) Dalam sehari-hari mereka bahkan harus bersimbah keringat memagut sagu untuk mendapatkan bahan makanan. (hlm. 30).

(46)

Buetkuar merupakan bumi yang sangat subur dan menjanjikan kehidupan, namun penduduknya tidak mau mengusahakan dengan baik. Mereka menerima apa adanya warisan nenek moyang mereka dan menggantungkan hidup sepenuhnya pada alam. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut:

(43) Alam sangat memanjakan kampung itu dengan memberinya cukup air dan kesuburan. Lalu mengapa para peramah sagu di Buetkuar hidup miskin, adalah kenyataan ironik, yang anehnya tidak pernah dipermasalahkan apalagi dipertanyakan di sana. (hlm. 35).

(44) Tidak ada yang mengeluh, tidak ada yang punya greget, misalnya mencapai kemungkinan memperoleh mata pencaharian lain karena meramah sagu merupakan pekerjaan berat dengan hasil yang sangat rendah. (hlm. 63).

Masyarakat Buetkuar didominasi oleh masyarakat yang masih percaya pada ukiran patung-patung dan roh nenek moyang yang diyakini sebagai sumber kekuatan. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut:

(45) Mundus baru saja meletakkan piring sagu dengan ukiran wajah nenek moyang pada kedua sisinya. Benda keramat yang selalu mengingatkan sang empu pada roh leluhur. (hlm. 18).

(46) Masyarakat Buetkuar masih menjalin ikatan dengan arwah nenek moyang yang diyakini sebagai sumber dari segala sumber kekuatan. (hlm. 19).

Masyarakat Buetkuar mempunyai tradisi yang khas yaitu berkumpul di rumah adat (jew) untuk mengadakan pesta patung bis. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut:

(47) Seisi kampung Buetkuar kini tengah berkumpul di rumah adat yang merupakan pusat lingkaran konsentris dan sebagai basis kekuatan yang mengembangkan pengaruh bagi seisi kampung. (hlm. 35).

(47)

Kekhasan yang menonjol dari upacara ini adalah balas dendam kaum istri terhadap suami-suami yang telah memperlakukan kekasaran atau kekerasan dalam rumah tangga mereka. Adat memberikan pembenaran sebagai pembelaan bagi kaum wanita yang teraniaya. Dan kaum suami tidak diperbolehkan melawan. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut:

(49) Istri-istri itupun segera berlari mengejar suami masing-masing dengan senjata di tangan sebagai suatu ancaman, tanpa adanya perlawanan. (hlm. 40).

(50) Ada diantara mereka yang dapat melukai dengan senjata tajam, hingga darah segar pun mengucur, tergenang di atas tanah berlumpur. (hlm. 41). (51) Mika tengah mengejar Mundus dengan parang teracung. Ekspresi

mengerikan yang tergurat di muka wanita itu adalah kemarahan yang telah melarut bersama dendam. Wanita itu telah mengambil haknya untuk memelihara keseimbangan, setelah penganiayaan yang dilakukan Mundus. (hlm. 41).

Pola hidup masyarakat Buetkuar tidak hanya terlihat dalam hal pekerjaan, agama, dan adat-istiadat saja, tetapi dapat juga dilihat dari bahasa yang merupakan warna lokal (local colour) daerah Irian yang tampak dari pembicaraan sehari-hari mereka, terdapat dalam kutipan berikut:

(52) Diamlah mamak. Begini sudah kitorang Pu adat” (adat kita), Yomhen mencoba menghibur mamaknya. (hlm. 22).

(53) Dikau Pu rumah (rumahmu), ada apakah?

(54) Dorang su (mereka sudah) dewasa. Su (sudah) tahu mesti berbuat apa”,

kata Mika.

(55) Setan koe (kamu), mestinya kamu orang tahu dimana anak itu!” teriak Mundus.

(56) “Perempuan, jangan kamu mengira, bahwa kitorang (kita) tidak tahu siapa koe (kamu) dan apa yang engkau lakukan dengan Sa Pu laki (suamiku). Kitorang taramau (kita tidak mau) lagi melihat kamu orang punya muka di hutan ini”. Mika menatap Berti dengan marah kemudian pergi menjauh. (hlm. 97).

2.2.2.3.2. Latar Sosial Kota

(48)

zaman yang terus melaju menuntut orang untuk kreatif dan serba cepat. Ero dan Arben merupakan cermin masyarakat kota yang kreatif. Mereka menjalankan niaga barang-barang elektronik serta minuman-minuman beralkohol bahkan tidak segan-segan memperjual-belikan kayu gaharu yang bermakna sakral bagi masyarakat Asmat. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut:

(57) Akan tetapi, tidak jauh dari kampung ini, tepatnya di ibukota kecamatan Agats, suatu perubahan telah terjadi. Aroma harum kayu gaharu, telah menyengat sedemikian rupa. (hlm. 63).

(58) Ero dan Arben bersemangat menawarkan uang, tape recorder, Wisky, Vodka kepada Mundus. Para pencari kayu gaharu ini sengaja membawanya untuk mengeruk keuntungan dari penjualan gaharu. (hlm. 66).

Kehadiran orang-orang kota dengan kehidupan kotanya telah menyeret masyarakat Buetkuar mengikuti pola hidup mereka. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut:

(59) Suasana di seputar hutan Buetkuar tidak lagi sunyi. Suara musik meraung-raung dari tape recorder yang diputar dengan suara maksimal. (hlm. 67).

(60) Sejak kehadiran para pencari gaharu yang berlomba membeli kayu harum itu dengan harga mahal, barang-barang industri terus membanjir. Baik Mundus, Mika dan Yowero terbiasa memanfaatkan dan menjadi konsumtif. (hlm. 69).

(49)

2.2.3. Alur

Peristiwa yang diurutkan membangun tulang punggung cerita yaitu alur. Alur merupakan urutan kejadian yang dihubungkan secara sebab akibat. Peristiwa yang satu disebabkan oleh peristiwa yang lain (Stanotor via Nurgiyantoro, 1995: 113). Alur dalam Kapak adalah alur linear atau alur terusan. Alur linear atau alur terusan adalah alur yang tersusun berdasarkan kronologis cerita. Dari pembacaan novel ini, alur dalam novel Kapak dibagi menjadi tujuh bagian yaitu: (1) kehidupan pasangan Mika dan Mundus yang bahagia, (2) Duka mendalam Mika akibat kekerasan suaminya, (3) Balas dendam Mika terhadap suaminya, (4) kedatangan para pencari gaharu dari kota Agats, (5) penyesalan Mundus akibat penyelewengannya, (6) kesedihan Mika karena meninggalnya Mundus, dan (7) pernikahan Mika yang tidak bahagia dengan Jirimo.

Novel Kapak disusun oleh Dewi Linggasari dengan menggunakan alur terusan. Alur terusan tampak pada bagian pertama yaitu kisah pasangan Mika dan Mundus yang bahagia. Namun kebahagiaan itu tidak belangsung lama akibat perlakuan kasar Mundus terhadap Mika. Kebahagiaan Mika dan Mundus yang hanya berlangsung sesaat digambarkan Dewi Linggasari pada bagian kisah bahagia yang terdapat dalam kutipan berikut:

(62) Mundus dan anak-anaknya tampak begitu girang ketika Mika memberikan bayi itu kepada Mundus. (hlm. 11).

(63) Mundus meninggalkan rumah panggung itu dengan anak panah dan gendewa di tangan. Ia hendak berburu binatang. Hari ini anaknya lahir, ia ingin memberikan hidangan istimewa bagi keluarganya. (hlm. 13). Kebahagiaan pasangan itu hanya berlangsung sesaat karena sikap Mundus yang kasar terhadap Mika. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut:

(50)

(65) Tubuh Mika bergetar, Mika belum bisa berkata apa pun. Dan ketika sadar Mika benar-benar tahu apa yang terjadi, tangisnya pecah. Bayangan Mundus berkelebat menjauh dari rumah panggung meninggalkan seisi rumah yang terpaku dalam gamang. (hlm. 21). Alur terusan juga tampak pada bagian dua, yaitu memaparkan kisah duka dan derita Mika akibat kekerasan suaminya. Penderitaan Mika menimbulkan malapetaka baru. Setelah Mundus menyeleweng dengan perempuan lain. Pada bagian ini cerita disusun secara kronologis berdasarkan waktu kejadian (hlm. 21-102).

Bagian selanjutnya adalah bagian tiga, yaitu balas dendam Mika terhadap suaminya. Pada bagian ini diceritakan pula kisah Mika ketika ia mengingat setiap kekerasan yang dilakukan suaminya. Dengan penuh tekad Mika mengukuhi keputusannya, yakni ia akan membalas sakit hatinya pada pesta setan yang sudah menjadi tradisi di kampung itu. (hlm. 35 – 47).

Bagian keempat mengisahkan kedatangan para pencri gaharu dari Agats (hlm. 63-65). Bagian ini ditampilkan pula kisah bahagia Mundus dengan keluarganya karena banyak perubahan kehidupan mereka karena gaharu (hlm. 70-72). Cerita dilanjutkan dengan perselingkuhan Mundus dengan wanita-wanita pencari gaharu dan keresahan serta rasa cemburu Mika akan tindakan suaminya (hlm. 75-98). Pada bagian ini Dewi Linggasari juga menggunakan alur terusan karena cerita disusun berdasarkan kronologis peristiwa.

(51)

Bagian selanjutnya adalah bagian keenam yakni kesedihan Mika karena meninggalnya Mundus. Pada bagian ini diceritakan pula kesetiaan Mika mendampingi dan merawat suaminya yang menderita sakit parah. Meskipun ia sering diperlakukan kasar oleh suaminya, Mika tetap menghargai dan mencintai suaminya sampai ajal menjemputnya (hlm. 100-102). Bagian ini juga menggunakan alur terusan karena cerita disusun berdasarkan kronologis peristiwa.

Bagian ketujuh, yakni bagian pernikahan Mika yang tidak bahagia. Bagian ini mengisahkan pernikahan Mika dan Jirimo yang tidak bahagia di pihak Mika. Pernikahan itu memberatkan Mika karena ia masih mencintai almarhum suaminya. Ia tidak ingin membagi cintanya dengan laki-laki lain, namun adat suku Asmat membenarkan Jirimo mengambil Mika yang adalah janda kepala perang sebagai istrinya. Masyarakat setempat setuju dan menobatkan Jirimo sebagai kepala perang menggantikan Mundus (hlm. 103 – 131). Bagian ini juga masih menggunakan alur terusan karena cerita disusun berdasarkan kronologis peristiwa.

2.2.4 Tema

(52)

Tokoh Mika dalam novel Kapak digambarkan sebagai seorang wanita yang sederhana dan bersuamikan seorang kepala perang. Ia juga seorang istri dan ibu yang baik bagi kelima anaknya. Meskipun seorang istri, Mika tidak berpangku tangan. Ia bekerja membantu mencari nafkah. Ia tidak menggantungkan seluruh hidupnya pada laki-laki (suaminya). Mika menjadi berani mempertahankan diri dan harga dirinya dan berani mengambil sikap dalam menentukan jalan hidupnya, ketika kekerasan dan penyelewengan yang dilakukan suaminya.

Latar yang dominan dalam novel ini adalah latar kehidupan masyarakat Buetkuar. Latar ini menceritakan kehidupan masyarakat Buetkuar yang sederhana, kaya akan alam, dan masih percaya sepenuhnya pada roh nenek moyang. Latar yang lain adalah kota kecamatan Agats. Agats merupakan kota yang dinamis. Aroma harum kayu gaharu telah menyengat sedemikian rupa, sehingga para pencari mulai berdatangan ke kampung Buetkuar untuk mengeruk keuntungan atasnya.

Alur yang digunakan adalah alur linear atau alur terusan. Pengarang alur terusan sesuai dengan perkembangan cerita yang disusun berdasarkan kronologis cerita.

(53)

Dia merupakan wanita yang mampu menempatkan diri, memposisikan diri, mempertahankan jati diri dan harga diri dalam situasi yang seburuk apa pun, mengambil keputusan dan dengan penuh tekad mengukuhi keputusannya. Meskipun terkadang juga dia jatuh ingin melarikan diri dari kenyataan, namun akhirnya dia pun sadar dan menerima kenyataan-kenyataan yang harus dihadapinya. Sosok Mika oleh pengarang sangat ditonjolkan, hal ini yang menjadi perhatian.

Wanita tidak hanya berpangku tangan hanya menerima belas kasihan laki-laki. Wanita harus mempunyai sikap tegas. Tema dalam novel Kapak ini adalah seorang wanita bukanlah manusia yang lemah yang terus berada di bawah laki-laki, melainkan merupakan manusia yang mempunyai pribadi mandiri dengan segala keunikan yang ia miliki.

2.2.5 Rangkuman

Demikianlah hasil analisis struktur novel Kapak yang terbangun dengan baik dan teratur. Ini terlihat dari hasil analisis latar, alur, tokoh serta tema. Warna lokal

(local colour) yang menonjol dalam setiap pembicaraan antar tokoh menjadi ciri

dalam novel ini.

(54)

dan lingkungannya. Penulis akan mengkaji karakteristik tokoh Mika ini ditinjau dari sudut psikologi arketipe Carl Gustav Jung yang mencakup Topeng, Shadow, Anima

(55)

41

PERSPEKTIF CARL GUSTAV JUNG

Berdasarkan hasil analisis struktur novel Kapak diketahui Mika sebagai tokoh utama tidak lagi menerima nasibnya begitu saja. Ia memberontak, ia berusaha menempatkan diri, memposisikan diri, mempertahankan jati diri, dan harga diri dalam situasi seburuk apapun. Analisis yang digunakan dalam bab ini adalah analisis psikologis. Analisis ini akan menjawab permasalahan yang dialami tokoh Mika dalam menghadapi permasalahan hidupnya. Dengan menggunakan pendekatan psikologis ini, peneliti akan menganalisis dan menyimpulkan aspek-aspek psikologis yang tercermin dalam diri tokoh Mika dengan menggunakan teori arketipe Carl Gustav Jung.

Sesuai dengan teori arketipe Carl Gustav Jung, berikut ini akan dikaji strategi yang digunakan tokoh Mika dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup. Analisis Psikologis model Carl Gustav Jung disini akan mencakup : Topeng, Shadow, Anima

dan Animus serta Self.

3.1 Topeng dalam diri Mika

(56)

Secara keseluruhan topeng membantu manusia untuk menyesuaikan diri dalam situasi yang berbeda-beda. Topeng adalah arketipe yang dibawa sejak lahir. Semua manusia memilikinya.

Melalui peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh Mika dalam kehidupan keluarganya dan perannya sebagai seorang istri kepala perang sepanjang alur novel

Kapak, membuatnya harus pasrah dan tabah dalam menanggung kehidupan yang

dihadapinya.

Mika menggunakan topeng agar ia bergaul sepantasnya dengan orang lain. Topeng membantu Mika terutama dalam menempatkan diri dengan orang-orang bahkan dengan lingkungan yang tidak dia senangi. Maka melalui topeng ini, Mika dapat menyesuaikan diri dengan orang lain bahkan dengan suaminya Mundus. Berikut ini penulis akan mengidentifikasikan macam-macam topeng yang tercermin dalam diri Mika dalam novel Kapak, karya Dewi Linggasari.

3.1.1.1 Topeng Mika sebagai Ibu menurut Adat

Sebagai seorang ibu, Mika mengikuti peraturan adat yang mengharuskan setiap wanita yang hendak melahirkan harus pergi ke tengah hutan. Padahal Mika sendiri tidak menyukai peraturan tersebut. Hal ini terlalu berat bagi Mika karena ia melahirkan anaknya seorang diri di tengah hutan, terdapat dalam kutipan berikut:

(66) Berat hati Mika menuju ke hutan untuk melahirkan anaknya. Peluh telah membasahi seluruh tubuh wanita itu, nafasnya yang terengah cukup sebagai isyarat bahwa ia tengah berjuang melawan maut demi janin yang hendak dilahirkan. Adat tidak memperkenankan seorang wanita melahirkan di rumah (hlm. 9).

(57)

naluri keibuan ia pun memeluk anaknya. Ini menunjukkan ketulusan seorang ibu yang menanggung derita. Kesadaran akan permasalahan hidup dan tuntutan adat yang dihadapinya mendorong Mika untuk selalu sabar. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut:

(67) Dengan penuh kasih sayang, bayi yang terlampaui kecil untuk sebuah ukuran normal itu dipeluknya. Setelah bersusah payah melahirkan, maka masih ada satu hal yang lebih penting yaitu membesarkan (hlm. 10). Peraturan adat suku Asmat tidak hanya berlaku bagi seorang wanita yang hendak melahirkan, tetapi terlihat ketika adat mengijinkan seseorang yang memiliki kedudukan penting dalam adat berhak memiliki dua bahkan empat istri sekaligus. Mika menyadari posisinya sebagai istri seorang kepala perang. Padahal sebagai seorang istri ia berani melawan dan menolak peraturan itu dihadapkan suaminya. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut :

(71) Adat mengijinkan seorang laki-laki yang memiliki kedudukan penting dalam adat untuk memiliki istri lebih dari satu. Mika melawan ketika Mundus ingin menikah lagi. “Begini sudah Kitorang Pu adat, “ Yamnen mencoba menghibur ibunya. Kata-kata itu bukan membuat Mika terdiam, bahkan pecah sudah tangisnya. (hlm. 22).

3.1.1.2 Topeng Mika sebagai Istri yang Penurut

Sebagai istri kepala perang, Mika sangat patuh akan apa yang dikatakan suaminya. Setiap pekerjaan yang diinginkan suaminya selalu ia turuti. Padahal Mika sendiri kadang tidak menyukai keinginan suaminya, Mika selalu menghindar dengan menyendiri menjaring ikan hanya untuk melepaskan lelah. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut :

(58)

pekerjaannya. Di sela-sela pekerjaannya itu, Mika menyempatkan diri untuk menjaring untuk melepaskan kepenatannya. (hlm. 17).

Selain sebagai istri yang rajin, Mika kadang diperlakukan kasar oleh suaminya. Ia berusaha untuk tabah. Bahkan ketika Mundus ingin menikah lagi. Ego dalam dirinya menolak, namun ia tidak sanggup melawan Mundus. Ego dalam dirinya mendorong dia untuk tetap bertahan dalam menghadapi keinginan suaminya tersebut. Terdapat dalam kutipan berikut:

(73) Hei, bangun Mika, saya membawa kasuari. Mundus menyepak kaki Mika kemudian menghempaskan tubuhnya yang basah kuyup ke atas tikar (hlm. 14).

(74) Raungan Mika telah berubah menjadi rintihan ketika Mundus dan Upra memasuki rumah secara beriringan. Mika tertunduk tak bergeming. Ia telah kehilangan daya. Ia takut kepada Mundus karena suaminya itu terlalu ringan tangan (hlm.. 22-23).

Kejujuran dan ketidakberdayaan Mika di hadapan Mundus terlihat ketika Mundus menuduhnya berselingkuh. Mika berusaha mempertahankan harga dirinya meski dalam situasi seburuk apapun. Terdapat dalam kutipan berikut:

(75) Sepanjang jalan Mundus mencaci Mika dan menghajar Mika dengan membabi-buta. Kita tidak bermain gila Mundus, hanya pergi menjaring. Donatus itu sepupuku, untuk apa bermain gila (hlm. 33).

Meskipun selalu mendapat perlakuan kasar, Mika selalu menunjukkan keberadaannya di depan suami dan anaknya. Melindungi dan menjaga anak-anaknya selalu ia utamakan. Mika selalu berdoa agar apa yang menimpa dirinya tidak akan terjadi pada anak-anaknya. Terdapat dalam kutipan berikut:

(76) Tiba-tiba membersit seulas senyum di bibir wanita itu. Mika teringat kepada dua anak perempuannya. Mereka adalah anak kepala perang, ia percaya kelak, suami-suami mereka tidak akan dapat memperbudaknya karena kedudukan itu. Perlahan-lahan hatinya menjadi damai. Ia memang tidak bisa melindungi diri dari perkawinannya dengan Mundus. Tetapi perkawinan itu telah menjadi jaring pengaman bagi anak perempuannya (hlm. 30).

Referensi

Dokumen terkait