Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Hapsari Retno Dewi NIM : 049114054
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2008
MOTTO
Lord didn’t promise that life would become easy…
but
He promises to go with you in every step of your way and don’t
be afraid in everything problem..
‘cause
There is nothing impossible with God..
Karena masa depan sungguh ada dan harapanmu tidak
akan hilang
Ams 23:18
so..
When you weak, try to up
When you hopeless, try to hope again
When you badmood, try to change it to good
When you alone, believe GOD always with you
Kupersembahkan Karya ini untuk :
♥
Tuhan Yesus, tumpuan hidupku
♥
Bapak dan Ibu tercinta
♥
Mas Pandu tercinta
♥
Kandaku…Mas Nando yang kucintai
ABSTRAK
Hapsari Retno Dewi (2008). Hubungan Antara Stres Kerja Pada Prajurit TNI-AD di Yonif 400/Raider dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Penelitian ini bertujan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara stres kerja pada prajurit TNI-AD di Yonif 400/Raider dan kekerasan dalam rumah tangga. Pada penelitian ini terdapat hipotesis yang berbunyi ada hubungan antara stres kerja pada prajurit TNI-AD di Yonif 400/Raider dan kekerasan dalam rumah tangga. Subjek dalam penelitian ini adalah prajurit bergolongan tamtama yang sudah menikah di Yonif 400/Raider. Adapun jumlah subjek dalam penelitian ini berjumlah 104 orang dengan menggunakan teknik purposive sampling.
Metode pengunpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua skala pengukuran model Likert, yaitu skala stres kerja dan skala kekerasan dalam rumah tangga. Uji coba skala dilakukan pada 80 prajurit tamtama yang sudah menikah di Yonif 203/AK. Koefisien reliabilitas pada skala stres kerja sebesar 0,907 dan pada skala kekerasan dalam rumah tangga sebesar 0,899. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Carl Pearson, hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan antara stres kerja pada prajurit TNI-AD di Yonif 400/Raider dan kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini dapat dilihat dari koefisien korelasi yang bernilai 0,497 (p < 0,05).
Kata kunci : stres kerja, kekerasan dalam rumah tangga
ABSTACT
Hapsari Retno Dewi (2008). The correlation between stress in the workplace at soldier of TNI-AD in Yonif 400/Raider and domestic violence. Yogyakarta : Faculty of Psychology, Sanata Dharma University.
This objective of this research was to find out the correlation between stress in the workplace at soldier of TNI-AD in Yonif 400/Raider and domestic violence. The hypothesis proposed in this research was that there was a correlation between stress in the workplace at soldier of TNI-AD in Yonif 400/Raider and domestic violence. The subjects in this research were tamtama soldiers of Yonif 400/Raider who have been married. The sample of this research was included 104 soldiers that acquired by purposive sampling technique.
Data gathering method used in this research was used Likert rating scales, which were divided into stress in the workplaces scale and domestic violence scale. The try out scale had been done to 80 tamtama soldiers who have been married. The reliability coefficient on stress in the workplace scale was 0,907 and 0,899 on domestic violence scale. The data was analyzed by using correlational Product Moment technique, and the result showed that there was a correlation between stress in the workplace at soldier of TNI-AD in Yonif 400/Raider and domestic violence. This result can be seen from the correlation coefficient in the amount of 0,497 (p <0,05).
Keyword : stress in the workplace, domestic violence
KATA PENGANTAR
Puji Tuhan kepada Tuhan Yesus,akhirnya selesai juga karya ilmiah ini. Rasa
syukur yang tak henti-hentinya penulis ungkapkan karena berkat dan
bimbingan-Nya sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan.
Pada proses penyelesaian karya ilmiah ini, banyak pihak yang memberikan
bantuan, doa, dukungan semangat, dan motivasi tiada hentinya kepada penulis
sehingga sampai pada tahap ini dengan baik.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih dengan ketulusan dan hati yang paling dalam pada :
1. Ibu M.L.Anantasari,S.Psi.,M.Si. Terima kasih ya bu atas semangat yang telah diberikan sehingga penulis menjadi yakin bahwa skripsi ini bisa cepat selesai. Terima kasih juga atas saran dan bimbingan yang telah diberikan selama ini sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan lancar.
2. Bapak P. Eddy Suhartanto,S.Psi.,M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan ijn untuk mengadakan penelitian ini.
3. Bapak V.Didik Suryo Hartoko,S.Psi.,M.Si. Terima kasih telah memberikan semangat dan bantuan konsultasi sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.
4. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing akademik dan penguji skripsi. Terima kasih atas bimbingan dan semangat yang diberikan. Terima kasih juga atas bantuan konsultasi penelitian ini. 5. Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., Psi., M.Si selaku dosen penguji skripsi.
Terima kasih atas bimbingan dan konsultasi yang diberikan pada penelitian ini.
6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi. Terima kasih karena telah memberikan ilmu, wawasan, pengetahuan, dan membuat pola pikir peneliti menjadi lebih dewasa dan bijaksana sehingga menjadi seseorang yang lebih baik.
7. Pak Giyanto, Mas Gandung, Mas Muji dan Mba Nanik atas semua bantuan, kesabaran dan keramahan sikap dalam melayani kepentingan akademik. 8. Bapak, Ibu, Mas Pandu. Terima kasih buat dukungan semangat, perhatian
dan kebaikan hati membantu penelitianku. Terima kasih sekali karena telah membantu penelitianku semaksimal mungkin dan selalu mendampingiku hingga keluar kota. Tanpa kalian, penelitianku ini ga bisa selesai. Aku sayang banget sama kalian, aku ingin membuat kalian bangga.
9. My lovely Lettu.Inf Fernando Batubara. Terima kasih ya nda atas dukungan doa, semangat yang tiada henti-hentinya. Terima kasih juga buat bantuannya memecahkan tiap permasalahan skripsiku.
10. Lettu.Inf Leo Abi Melek Sibuea, Kapt.Inf Faisal Akbar Yunus dan rekan yang lain. Terima kasih atas bantuan informasi yang diberikan pada penulis sehingga penelitian berjalan dengan lancar.
11. Letk.Inf Masduki Yonif 203/AK Tangerang. Terima kasih karena telah menyediakan waktu khusus untuk membantu menyebarkan kuisioner try-out. Bagi prajurit di Yonif 203/AK, terima kasih atas kesediaan waktu di tengah kesibukan untuk mengisi kuisioner penelitian sehingga penelitian berjalan dengan lancar.
12. Letk.Inf Sachono Yonif 400/Raider. Terima kasih karena telah membantu, memberikan ijin serta kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di Yonif 400/Raider Semarang.
13. Kapt.Inf Amrul Huda. Terima kasih ya Bang atas kebaikannya karena telah membantu kelancaran penelitian. Terima kasih telah membantu mengumpulkan anggota-anggotanya dan memberikan informasi mengenai Yonif 400/Raider. Terima kasih juga buat prajurit di Yonif 400/Raider ini atas ketulusan hati dan kebaikannya membantu mengisi kuisioner ini.
14. Cratz Family. Jenk Ndul tengkiu ya selalu mendukung dan memberi semangat, temenin aku mencari bahan-bahan penelitian. Jadi wanita jalanan ya kita jenk kemaren. Buat Jenk Munz, tengkiu ya atas semangat dan dukungannya. Juga buat Jenk Tya...terima kasih selalu dengerin curhatanku..Jenk Mae..tengkiu ya atas semangatnya..Tak tunggu lo kalian..Semangat !!!
15. Buat Canna Exclusive. Funz, Jegeg, M’Nur, Weni, Lia, Nana, Cahya, Tinul dan exclusive lainnya. Tengkiu buat perhatian dan pengertiannya. Maaf ya jadi jarang ngumpul n pegi bareng tiap malem..Tengkiu mao dengerin keluhan skripsiku...tengkiu buat dukungan dan bantuannya...tengkiu...
16. Buat Humas. Pak Tatang. Terima kasih ya Pak atas kebaikan hatinya membantu kelancaran penelitianku. Buat anak-anak Humas. Intan, Oneng, Oon, Sheila, Berta, Lita, Rahma, Feri, Mbak Bunga, Mbak Ratih. Terima kasih ya buat semangatnya, perhatian dan dukungannya. Fiuh...akhirnya...ayo, kalian juga harus semangat.
17. Buat anak-anak psikologi 2004. Terima kasih telah membantu kelancaranku dalam SPSS. Betty, tengkiu buat sharingnya sehingga bisa saling bertukar informasi penting. Buat temen-temen yang lain, terima kasih buat dukungan dan semangatnya. Ayo, kita harus mengharumkan angkatan kita, semangat !! 18. Miss Luci di Lembaga Bahasa USD. Makasih ya Miss buat bantuannya
sehingga skripsiku dapat berjalan dengan lancar.
19. Bagi semua pihak yang belum disebutkan satu persatu. Penulis mengucapkan terima kasih atas semua dukungan dan bantuannya.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa hasil karya ini belum dapat dikatakan sempurna. Oleh karena itu, dengan penuh kerendahan hati penulis menerima semua saran dan kritikan dari semua pihak. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja.
Hormat Penulis,
Hapsari Retno Dewi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiv
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
DAFTAR GAMBAR ... xix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 8
1. Manfaat Teoretis ... 8
2. Manfaat Praktis ... 8
BAB II LANDASAN TEORI ... 10
A. TNI-AD... 10
1. Pengertian TNI ... 10
2. Peraturan Disiplin Militer pada TNI-AD... 10
B. Stres Kerja... 11
1. Pengertian Stres Kerja... 11
2. Jenis-Jenis Stres... 12
3. Respon-Respon Stres ... 13
4. Faktor-Faktor yang Dapat Membangkitkan Stres ... 15
C. Agresi yang dialihkan ... 22
D. Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 24
1. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 24
2. Dimensi Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 25
3. Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 28
E. Hubungan Antara Stres Kerja dan Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 34
F. Hipotesis Penelitian ... 39
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 41
A. Jenis Penelitian ... 41
B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 41
C. Definisi Operasional ... 41
1. Stres Kerja ... 41
2. Kekerasan dalam Rumah Tangga... 43
D. Subjek Penelitian ... 45
E. Metode Pengumpulan Data ... 46
1. Skala Stres Kerja ... 46
2. Skala Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 46
F. Uji Coba Alat Ukur ... 49
G. Validitas dan Reliabilitas ... 49
1. Validitas ... 49
2. Seleksi Item ... 51
a. Stres Kerja ... 50
b. Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 52
3. Reliabilitas ... 58
H. Metode Analisis Data ... 58
BAB IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 60
A. Orientasi Kancah Penelitian ... 60
1. Profil Yonif 400/Raider ... 60
B. Pelaksanaan Penelitian ... 61
C. Deskripsi Subjek Penelitian ... 63
D. Uji Asumsi Hasil Penelitian ... 64
1. Uji Normalitas ... 65
a. Sebaran Data Variabel Stres Kerja ... 65
b. Sebaran Data Variabel KDRT ... 65
2. Deskripsi Data Penelitian ... 66
3. Uji Linearitas ... 66
E. Uji Hipotesis ... 69
F. Pembahasan ... 70
BAB V KESIMPULAN, SARAN... 79
A. Kesimpulan ... 79
B. Saran ... 79
1. Bagi Pihak Satuan ... 79
2. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 80
DAFTAR PUSTAKA ... 81
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 : Blue Print Skala Stres Kerja (sebelum uji coba) ... 47
Tabel 3.2 : Blue Print Skala KDRT (sebelum uji coba) ... 48
Tabel 3.3 : Hasil Korelasi Item Total Skala Stres Kerja ... 52
Tabel 3.4 : Item yang Sahih dan Gugur pada Skala Stres Kerja ... 52
Tabel 3.5 : Distribusi Item Skala Stres Kerja untuk Penelitian ... 53
Tabel 3.6 : Hasil Korelasi Item Total Skala KDRT ... 54
Tabel 3.7 : Item yang Sahih dan Gugur pada Skala KDRT ... 54
Tabel 3.8 : Distribusi Item Skala KDRT untuk Penelitian ... 57
Tabel 4.1 : Deskripsi Suku Bangsa Subjek Penelitian... 63
Tabel 4.2 : Deskripsi Lama Bekerja Subjek Penelitian... 64
Tabel 4.3 : Deskripsi Lama Menikah Subjek Penelitian ... 64
Tabel 4.4 : Data Hasil Penelitian ... 66
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Skala Try Out ………... 86
Lampiran Skala Penelitian ...…….…….. 102
Lampiran Koefisien Reliabilitas Skala Try Out Stres Kerja …….………..…... 114
Lampiran Koefisien Reliabilitas Skala Try Out KDRT ………..…... 121
Lampiran Hasil Uji Normalitas Data Hasil Penelitian ... 127
Lampiran Hasil Uji Linearitas Data Hasil Penelitian ... 128
Lampiran Hasil Uji Hipotesis dan Mean Kekerasan Fisik ...129
Lampiran Hasil Uji Hipotesis dan Mean Kekerasan Psikologis ...132
Lampiran Hasil Uji Hipotesis dan Mean Kekerasan Seksual...135
Lampiran Hasil Uji Hipotesis dan Mean Kekerasan Finansial...138
Lampiran Verbatim Subjek Penelitian ...141
Lampiran Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian ... 162
Lampiran Surat Keterangan Penelitian ... 163
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Hubungan Antara Stres Kerja dan KDRT ... 39
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fenomena yang akhir-akhir ini marak terjadi dalam kehidupan sehari-hari adalah kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh lapisan masyarakat manapun. Kekerasan dalam rumah tangga yaitu pola perilaku yang bersifat menyerang sehingga menciptakan ancaman atau melukai yang dilakukan oleh pasangannya (Kyriacou dalam Luhulima, 2000:54-55). Berdasarkan hasil penelitian dan kasus yang banyak terjadi, Tamtiari (2005 : 14) menjelaskan bahwa fenomena kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri terbukti paling banyak terjadi. Maka, pada penelitian ini, fenomena kekerasan dalam rumah tangga dibatasi berdasarkan relasi gender antara suami dengan istri. Poerwandari menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga tersebut dapat dipilah ke dalam berbagai bentuk, yaitu kekerasan fisik, psikologis, seksual, finansial dan spiritual (Luhulima, 2000 : 11-12).
Menurut psikolog Jari, Ida Hidayat dan Endang Sukawati (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/042007/21/0105.htm), dari tahun ke tahun, KDRT dengan korban wanita cenderung meningkat. Pada bulan April 2002 hingga bulan Maret 2007, Jari telah menangani 134 kasus kekerasan dalam rumah tangga. Bentuk kekerasan yang banyak dialami oleh perempuan adalah kekerasan psikis dan fisik.
Kekerasan dalam rumah tangga ini juga dapat terjadi dimanapun, termasuk dalam satuan militer, salah satunya TNI-AD. Adib & Muttaqin (2005 : 17) juga menjelaskan bahwa di daerah militer banyak terjadi kekerasan terhadap perempuan. Pelaku kekerasan tersebut berasal dari kalangan militer. Bentuk kekerasan yang dilakukan berupa kekerasan fisik, seksual dan psikologis. Lebih lanjut lagi, berdasarkan data kasus yang dimiliki LSM Rifka Annisa pada tahun 2006, terdapat 17 kekerasan yang dilakukan oleh TNI/Polri. Kekerasan tersebut terdiri dari 12 kekerasan terhadap istri, 4 kekerasan dalam pacaran, dan 1 perkosaan. Lettu Inf. Leo.A.S yang merupakan Pasi Intel Yonif 726/Tamalatea juga mengatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga terjadi di Kompi-C pada Yonif 726/Tamalatea (wawancara pribadi, 21 Februari 2008). Lettu Inf. Leo.A.S menjelaskan bahwa istri prajurit TNI-AD yang memiliki golongan Tamtama tersebut mengalami kekerasan fisik yaitu dipukul oleh suaminya. Namun demikian, prajurit itu membela diri dengan mengatakan bahwa yang salah adalah istrinya. Kesalahan istrinya ialah berhutang uang di berbagai tempat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi (wawancara pribadi, 21 Februari 2008).
seberapa besar dan seberapa banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang sedang terjadi.
Kekerasan dalam rumah tangga ini dapat terjadi karena berbagai faktor. Langley, dkk (dalam Prastyowati, 2003 : 62-63) menyatakan bahwa budaya patriarki menempatkan laki-laki untuk memegang kekuasaan dalam keluarga Pernyataan tersebut juga didukung oleh Poerwandari (dalam Luhulima, 2000 : 14-16) mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Struktur sosial dan pembagian kekuasaan masyarakat juga mempengaruhi kekerasan dalam rumah tangga. Struktur sosial ini memberikan hak istimewa dengan mengutamakan laki-laki. Selain itu, faktor psikis dapat membuat suami melakukan kekerasan pada istri. Faktor psikis tersebut antara lain penyelewengan seks, citra diri yang rendah, frustrasi, perubahan situasi dan kondisi, dan kekerasan sebagai sumber daya untuk menyelesaikan masalah (Langley dalam Djannah, 2003 :20).
besar, dan sebagainya (Handoyo, 2001 : 65-66). Respon psikologis seperti marah, cemas, frustrasi, dan sebagainya.
Pada saat individu mengalami stres kerja maka salah satu respon psikologis yang muncul yaitu frustrasi (Spector, 1994 : 419). Frustrasi ialah suatu situasi pada individu saat tidak tercapainya tujuan karena ada rintangan yang menghalangi individu tersebut (Rukminto, 1994 : 165). Hal ini didukung oleh Mulyati (1999) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara stres kerja dengan perilaku agresi pada anggota ABRI. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu manifestasi dari agresi. Selain itu, juga ada penelitian dari berbagai peneliti (Utami, 2005:18 ; Salmah, 2004:63 ; Prastyowati, 2003:63) yang menjelaskan bahwa salah satu faktor penyebab timbulnya kekerasan dalam rumah tangga yaitu stres pekerjaan.
mengeluarkan kata-kata berupa ancaman dan dendam karena tidak terpenuhinya kebutuhan pribadi sehingga menghambat karir anggota-anggotanya.
Heriyono (dalam Gema Infanteri 2005 : 18) juga menjelaskan bahwa terkadang perintah atasan sering berubah, tidak jelas dan berlebihan di luar jam dinas. Selanjutnya, terkadangpun terjadi pemaksaan kehendak dan tanpa memikirkan kepentingan bawahannya. Lebih lanjut lagi, kondisi fisik juga mempengaruhi stres kerja. Ada indikasi bahwa pekerjaan sebagai TNI-AD mempunyai resiko kematian yang tinggi.
Selanjutnya, perintah komandan bersifat mutlak (prerogatif). Schultz & Schultz (2006:368) mengungkapkan bahwa pola kepemimpinan merupakan salah satu pembangkit stres. Pembangkit stres yang terakhir adalah ciri-ciri individu. Individu yang berada pada suatu lingkungan kerja harus dapat beradaptasi dan menginternalisasi nilai-nilai yang dianggap penting bagi organisasi tersebut. Jika individu tidak dapat beradaptasi maka dapat menimbulkan stres.
sebagai suatu tantangan yang dapat memotivasi dirinya (Schultz & Schultz, 2006:358 ; Munandar, 2001:399-400). Individu yang mengalami stres akan muncul gejala-gejala seperti fisiologis, psikologis, kognitif dan perilaku.
Ada indikasi bahwa ketidakberanian individu untuk mengungkapkan perasaan ini membuat perasaan menjadi tertekan terutama yang bersifat negatif sehingga dialihkan ke anggota keluarga yang mempunyai kedudukan lebih lemah dari dirinya (Sears, 2005:23-24). Salah satu bentuk pengalihan perasaannya tersebut ialah kekerasan dalam rumah tangga yang merupakan manifestasi dari agresi.
Kekerasan juga dipengaruhi oleh karakteristik individu. Sejak masa anak-anak ada yang diberi pelajaran mengenai perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan dengan memberikan hukuman fisik. Hal ini menjadi proses belajar sosial pada masa anak-anak bahwa kekerasan merupakan hal yang wajar dilakukan. Proses belajar pada anak-anak tersebut berkembang menjadi karakter kepribadian individu.
pernikahan minimal 6 bulan dan bertempat tinggal di rumah dinas Yonif 400/Raider Semarang.
Peneliti ingin membahas mengenai stres kerja yang dialami prajurit TNI-AD dengan kekerasan dalam rumah tangga pada istrinya. Diharapkan dengan adanya penelitian ini akan menambah pemahaman dan kesadaran di lingkungan bahwa masalah ini merupakan tanggung jawab bersama baik di keluarga, masyarakat, pemuka agama, dan lain sebagainya.
A. Rumusan Masalah
Penelitian ini ingin meneliti “Apakah ada hubungan antara stres kerja pada prajurit TNI-AD di Yonif 400/Raider dan kekerasan dalam rumah tangga yang terdiri dari dimensi kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual dan kekerasan finansial.
B. Tujuan Penelitian
C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan khasanah ilmu psikologi khususnya psikologi klinis mengenai hubungan antara stres kerja pada prajurit TNI-AD di Yonif 400/Raider dan kekerasan dalam rumah tangga.
2. Manfaat Praktis
a. Manfaat untuk satuan militer
Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi satuan yang diteliti agar dapat menjadi bahan evaluasi mengenai hubungan antara stres kerja dan kekerasan dalam rumah tangga secara menyeluruh dan mendalam.
b. Manfaat bagi Pimpinan-Pimpinan Militer
c. Manfaat bagi Prajurit TNI-AD
BAB II DASAR TEORI
A. TNI-AD
1. Pengertian TNI
Berdasarkan UU RI No.34 tahun 2004 tentara adalah warga negara yang dipersiapkan dan dipersenjatai untuk tugas-tugas pertahanan negara guna menghadapi ancaman militer maupun ancaman bersenjata. Sedangkan TNI merupakan alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tentara merupakan prajurit yang lulus dari pendidikan untuk membentuk prajurit siswa menjadi prajurit TNI. Pasal 29 pada UU RI No.34 Tahun 2004 ayat 1 mengatakan bahwa pendidikan untuk pengangkatan prajurit terdiri atas pendidikan perwira, bintara, dan tamtama.
Pasal 32 pada UU RI No.34 Tahun 2004 menjelaskan bahwa Tamtama dibentuk dari pendidikan pertama tamtama yang berasal langsung dari masyarakat dengan lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.
Pimpinan berhak untuk memberi perintah dan hukuman apabila melanggar disiplin militer yang telah ditetapkan. Hukuman disiplin diberikan apabila prajurit melakukan pelanggaran yang ringan,
sedangkan pelanggaran yang berat diserahkan bagian Mahkamah Militer Penyidik (peraturan disiplin prajurit TNI, 2005:2).
Pada penelitian ini, peneliti mengambil subjek penelitian pada golongan tamtama. Alasannya adalah karena tamtama termasuk pangkat terendah yang mempunyai banyak pemimpin sehingga ruang lingkup geraknya menjadi terbatas.
1. Peraturan Disiplin Militer pada TNI-AD
Pada Bab 1 Pasal 1 (peraturan disiplin prajurit TNI, 2005:1), Peraturan Disiplin Prajurit Tentara Indonesia menyatakan bahwa Peraturan Disiplin Prajurit TNI yang selanjutnya disebut peraturan disiplin adalah segala bentuk peraturan dan ketentuan-ketentuan tentang ketaatan dan kepatuhan terhadap semua perintah kedinasan dari tiap-tiap atasan dengan seksama dan bertanggung jawab, yang berlaku bagi para prajurit TNI, baik dalam melaksanakan tugas dan kewajiban kedinasan maupun dalam kehidupan sehari-hari.
B. Stres Kerja
1. Pengertian Stres Kerja
Stres yaitu respon adaptif dari karakter individu atau proses psikologis yang merupakan konsekuensi dari berbagai perilaku/situasi eksternal/tuntutan fisik, psikologis individu (Thomas & Wadsworth, 2005 : 130).
Taylor (dalam Douglas, 2002 : 378) mendefinisikan stres sebagai emosi negatif dan proses fisiologis yang terjadi saat individu mencoba untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan.
Westen (1996 : 426) mendefinisikan stres sebagai kesempatan individu untuk menyanggupi beradaptasi pada tuntutan internal maupun eksternal sehingga akan terjaga secara fisiologis dan membebani secara emosional. Proses adaptasi tersebut akhirnya akan menimbulkan respon kognitif atau perilaku.
Pada penelitian ini, stres yang diteliti adalah stres di tempat kerja. Stres kerja merupakan ancaman yang berasal dari tuntutan pekerjaan atau kurang terpenuhinya kebutuhan individu di tempat kerja (Diahsari, 2001 : 363).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa stres kerja adalah pola respon individu secara fisiologis, perilaku, kognitif dan psikologis saat beradaptasi pada tuntutan pekerjaan.
2. Jenis – Jenis Stres
kekuatan yang positif dimana individu melihat situasi stres sebagai suatu tantangan sehingga memotivasi individu untuk bekerja keras dan dapat mencapai tujuannya. Distress yaitu melihat situasi stres sebagai suatu hal yang sangat berlebihan sehingga dapat mengurangi kapasitas kerja dan dapat mengalami berbagai penyakit yang berat (Thomas & Wadsworth, 2005 : 131).
3. Respon – Respon Stres
Stres di tempat kerja mempunyai ancaman yang serius bagi kesehatan individu di suatu organisasi. Spector (1996 : 283) menjelaskan bahwa ancaman tersebut disebabkan karena adanya tuntutan kerja sehingga menimbulkan berbagai respon stres seperti respon psikologis, respon fisik dan respon perilaku. Pendapat ini dilengkapi lagi oleh Wadsworth (2005 : 132) yang menambahkan respon kognitif pada respon-respon stres yang telah dijelaskan sebelumnya. Respon – respon stres, yaitu :
a. Respon Psikologis
pada stres yaitu kelelahan secara psikologis, dan rendahnya harga diri.
b. Respon Fisiologis
Sagrestano (dalam Thomas & Wadsworth, 2005 : 132) berpendapat respon stres yang muncul yaitu meningkatnya tekanan darah dan meningkatnya aktivitas hormon. Spector (1996 : 283) menambahkan respon stres seperti sakit kepala, pusing, keringat dingin, gangguan tidur dan gangguan perut. Hawari (2006 : 41) juga menjelaskan respon stres seperti lambung terasa mual, mulas, kembung, pedih dan diare.
c. Respon Perilaku
Spector (1996 : 283) menjelaskan bahwa respon perilaku yang muncul pada individu adalah menggunakan zat-zat kimia yang dapat mengganggu kesehatan, merokok berlebihan dan kecelakaan. Thomas & Wadsworth (2005 : 133) menambahkan juga respon perilaku saat stres seperti kekerasan di tempat kerja, gangguan makan, adanya permasalahan dalam keluarga, minum-minuman alkohol yang berlebihan.
d. Respon Kognitif
133). Selain itu, individu juga sulit untuk membuat keputusan, terutama jika berada dalam tekanan (Landy & Conte, 2004 : 361).
Jadi, ada 4 respon pada individu saat menghadapi tuntutan yang berasal dari lingkungan yaitu respon psikologis, fisiologis, perilaku dan kognitif. Respon psikologis seperti marah, kecewa, sedih, bingung, dan sebagainya. Respon fisiologis seperti keringat dingin, sakit kepala, gangguan tidur, gangguan perut, dan sebagainya. Respon perilaku seperti tidak ada nafsu makan atau makan berlebihan, kesulitan komunikasi, menunda pekerjaan, dan sebagainya. Respon yang terakhir yaitu respon kognitif seperti sulit berkonsentrasi, sulit membuat keputusan.
5. Faktor-Faktor yang dapat Membangkitkan Stres Kerja
a. Intrinsik dalam Pekerjaan
Pada faktor ini, Munandar (2001 : 381) memilahnya lagi menjadi dua tuntutan, yaitu :
1). Tuntutan Fisik
Munandar dan Schultz & Schultz (1994 : 416) menjelaskan bahwa suatu kondisi kerja tertentu dapat menghasilkan prestasi kerja yang optimal. Lebih lanjut lagi, Menurut Munandar (2001 : 382), tuntutan fisik tersebut seperti lingkungan yang berdebu, kotor, tempat beristirahat yang kurang baik, toilet yang kurang memadai dapat dikatakan sebagai faktor yang tinggi pembangkit stres.
2). Tuntutan Tugas
Pembangkit stres pada tuntutan tugas lainnya ialah paparan terhadap resiko dan bahaya. Resiko dan bahaya ini tergantung pada profesi yang dimiliki individu. Munandar (2001 : 389-390) menjelaskan bahwa profesi yang memiliki resiko dan bahaya, salah satunya adalah tentara. Makin besar kesadaran akan bahaya dan akibat dari pembuatan kesalahan maka makin besar depresi dan kecemasan. Anggota TNI mempunyai resiko kematian yang tinggi saat melakukan tugas operasi.
b. Peran dalam Organisasi
1). Konflik Peran (Role Conflict)
Konflik peran terjadi ketika prosedur yang ditetapkan tersebut sulit, tidak dapat diterima atau tidak mungkin untuk disetujui dengan prosedur lain yang sudah ditetapkan (Ivancevich & Matteson ; Sagrestano dalam Thomas & Wadsworth, 2005 : 136). Selanjutnya, Schultz & Schultz (1994 : 415) mendefinisikan konflik peran muncul saat ada perbedaan antara kebutuhan kerja atau antara tuntutan kerja dengan nilai dan harapan individu.
Munandar (2001 : 390) menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang mempengaruhi individu sehingga mengalami konflik peran, yaitu :
b). Tugas-tugas yang harus dilakukan, menurut pandangan individu bukan merupakan bagian dari pekerjaannya.
c). Tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahan atau orang lain yang dinilai penting bagi individu.
d). Pertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadi sewaktu melakukan tugas pekerjaannya.
2). Peran yang Ambigu
Thomas & Wadsworth (2005 : 136) berpendapat ketaksaan peran ada saat individu tidak memberikan informasi yang cukup atau menjelaskan kepentingan perannya, pekerjaan yang obyektif dan kemampuan untuk mengerti mengenai tanggung jawab dari pekerjaannya. Munandar (2001 : 392) menjelaskan faktor-faktor yang dapat menimbulkan ketaksaan peran, yaitu, ketidakjelasan dari tujuan-tujuan kerja, kesamaran tentang tanggung jawab, ketidakjelasan tentang prosedur kerja, kesamaran tentang apa yang diharapkan oleh orang lain, kurang adanya timbal balik kerja
c. Hubungan dalam Pekerjaan
satu kelompok kerja merupakan faktor utama dalam kesehatan individu dan organisasi. Selain itu, adanya ketegangan psikologikal dalam bentuk kepuasan kerja yang rendah, penurunan kondisi kesehatan dan rasa diancam oleh atasan dan rekan kerjanya (Kahn dalam Munandar, 2001 : 395).
Mayor Siswono (2005 : 28) mengungkapkan bahwa cukup banyak perwira yang sering mengeluarkan kata-kata ancaman serta dendam karena tidak terpenuhinya kebutuhan pribadi. Hal tersebut pada akhirnya dapat menghambat karir anggotanya. d. Struktur dan Iklim Organisasi
Struktur dan iklim organisasi ini tergantung dari cara individu mempersepsikan kebudayaan, iklim dan kebiasaan organisasi.
Perilaku kepemimpinan yang kurang merupakan salah satu faktor pembangkit stres. Pola kepemimpinan dimana seorang pemimpin tidak menerima bawahan untuk mengambil bagian dalam membuat keputusan (Schultz & Schultz, 2006 : 368).
segala-galanya dan mutlak. Heriyono (dalam Gema Infanteri 2005 : 18) juga menambahkan bahwa perintah atasan seringkali berubah-ubah dan tidak jelas, adanya perintah yang berlebihan di luar jam dinas, pemaksaan kehendak dan tanpa memikirkan kepentingan bawahannya.
e. Tuntutan dari Luar Organisasi/Pekerjaan
Munandar (2001 : 397) menjelaskan tuntutan di luar organisasi melingkupi segala unsur kehidupan seseorang yang berkaitan dengan kejadian dalam kehidupan dan kerja pada suatu organisasi sehingga dapat memberikan tekanan pada individu. Permasalahan tersebut seperti isu tentang keluarga, krisis kehidupan, keuangan, dan sebagainya. Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa stres dalam pekerjaan mempunyai dampak yang negatif pada kehidupan keluarga dan pribadi.
f. Ciri-Ciri Individu
1). Nilai dan Kebutuhan
pertentangan kebutuhan dan mengalami stres (Munandar, 2001 : 401).
2). Kecakapan
Individu yang sedang mengalami masalah dan merasa tidak mampu memecahkan masalah tersebut, padahal masalah tersebut dianggap penting baginya akan merasa terancam dan mengalami stres. Di sisi lain, individu yang merasa mampu menghadapi permasalahannya akan merasa tertantang dan motivasi meningkat. Individu tersebut mengalami eustress.
Kecakapan tersebut dapat juga diistilahkan dengan kata lain, yaitu cognitive appraisal, artinya bagaimana interpretasi kognitif dan penilaian individu terhadap stressor. Penilaian kognitif ini merupakan pusat untuk mendefinisikan situasi seperti seberapa besar ancamannya dan dapat mengatasi ancaman atau tidak. Selain itu juga untuk mengukur diri apakah memiliki kemampuan untuk mengatasi ancaman tersebut (Gerrig&Zimbardo, 2008 : 397).
pekerjaan, resiko dan bahaya pekerjaan, pengembangan karir, hubungan dalam pekerjaan, struktur dan iklim organisasi, tuntutan dari luar organisasi, dan ciri-ciri individu. Respon tersebut dipengaruhi oleh penilaian kognitif individu. Individu yang melihat tuntutan tersebut sebagai suatu tantangan sehingga lebih termotivasi akan mengalami eustress. Sedangkan individu yang melihat tuntutan sebagai suatu ancaman maka akan mengalami distress. Respon stres individu terhadap lingkungannya terdiri dari 4 aspek. Pertama, respon psikologis seperti cemas, depresi, kelelahan, dan sebagainya. Kedua, respon fisiologis seperti keringat dingin, jantung berdebar, gangguan perut dan sebagainya. Ketiga, respon perilaku dimana individu akan merokok berlebihan, terjadi kekerasan di tempat kerja, dan sebagainya. Aspek yang terakhir yaitu respon kognitif, konsentrasi dan perhatian yang menurun pada individu, sulit membuat keputusan, dan sebagainya.
C. Agresi yang Dialihkan (Displacement Agression)
mediator penting antara frustrasi dan agresi. Frustrasi merupakan salah satu kejadian aversif yang dapat menimbulkan afek negatif dalam bentuk marah. Kejadian aversif tersebut seperti ketakutan, kesakitan fisik, atau ketidaknyamanan secara psikologis.
C. Kekerasan dalam Rumah Tangga
1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Berdasarkan UU No.34 Tahun 2004 (http://www.kowani.or.id/ main/index.asp?lang=id&p=101&f=apr012005001), kekerasan dalam rumah tangga yang biasa disingkat menjadi KDRT ialah :
Setiap perbuatan terhadap perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Kyriacou, dkk (dalam Luhulima, 2000) menjelaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah pola perilaku yang bersifat menyerang sehingga menciptakan ancaman atau melukai yang dilakukan oleh pasangannya.
Kekerasan ini terjadi pada area domestik dalam bentuk intimate violence atau private violence. Yuarsi (dalam Tursilarini, 2004 : 63) menyatakan intimate violence ini terjadi antara suami-istri yang berupa perbuatan kekerasan secara seksual pada istri oleh suami. Selanjutnya, Poerwandari (dalam Luhulima, 2000 : 13) menyatakan bahwa pelaku dan korban memiliki hubungan keluarga atau kedekatan seperti istri, pacar atau anak.
dalam rumah tangga ini khususnya pada istri. Tamtiari (2005 : 14) menjelaskan berdasar pada hasil penelitian dan kasus yang banyak terjadi, bahwa fenomena kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri terbukti paling banyak terjadi.
2. Dimensi Kekerasan dalam Rumah Tangga
Poerwandari (dalam Luhulima, 2000 : 11) menyatakan ada 4 dimensi dari kekerasan dalam rumah tangga. Dimensi-dimensi tersebut yaitu :
a. Kekerasan Fisik
b. Kekerasan Psikologis
Kekerasan psikologis adalah segala perbuatan atau ucapan yang dapat mengakibatkan ketakutan atau hilangnya kepercayaan diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak serta perasaan tidak berdaya pada korban (Adib & Muttaqin,2005 : 12-13). Kekerasan psikologis ini tidak menimbulkan bekas seperti kekerasan fisik namun demikian dapat meruntuhkan harga diri bahkan menimbulkan dendam di hati istri kepada suami. Kekerasan ini bahkan lebih sulit di atasi daripada kekerasan fisik (Djannah, dkk, 2003 : 34-35).
kemasyarakatan dan memisahkan istri dengan anak-anak bila tidak menuruti keinginan suami.
c. Kekerasan Seksual
Budi Sampurna (dalam Luhulima, 2000 : 56) mengatakan bahwa kekerasan seksual ini adalah segala sesuatu yang bersifat penyerangan terhadap perempuan dalam konteks seksual. Kekerasan ini berupa ajakan ke arah seksual seperti gurauan, melecehkan atau merendahkan yang mengarah kepada seksual, menyentuh, meraba, mencium, memaksa berhubungan seksual saat istri sedang tidak menginginkannya (mungkin karena sedang haid atau sakit). Hayati (1999 : 2) menambahkan bentuk kekerasan antara lain tidak memenuhi kebutuhan seksual istri, memaksa istri melakukan hubungan seksual dengan cara yang tidak disukai istri, menggugurkan kandungan istri, dan memaksa istri melakukan hubungan seksual dengan orang lain.
d. Kekerasan Finansial
Jadi, ada 4 dimensi kekerasan dalam rumah tangga. Pertama, kekerasan fisik yaitu kekerasan yang menyebabkan rasa sakit atau luka pada tubuh istri. Kekerasan tersebut seperti menampar, menarik rambut, memukul, dan sebagainya. Kedua, kekerasan psikologis ialah segala ucapan yang menyebabkan rasa takut, kehilangan kepercayaan diri atau tidak berdaya pada istri. Misalnya berteriak, mengatur, menguntit, mengancam, dan sebagainya. Ketiga, kekerasan seksual yang menyerang atau menyakiti dalam konteks seksual. Misalnya, meraba, menyentuh atau melakukan tindakan yang bersifat memaksa karena istri tidak menginginkannya. Kekerasan yang terakhir yaitu kekerasan finansial yang menyakiti istri dalam konteks finansial. Contohnya adalah menahan, mengawasi atau mengendalikan pengeluaran uang, menghambat karir istri, dan sebagainya.
3. Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan Dalam Rumah Tangga Djannah, dkk (2003 : 21) mengungkapkan bahwa ada beberapa hal yang dapat menjelaskan mengapa tindakan kekerasan terjadi. Faktor-faktor tersebut ialah :
a. Faktor Internal
dirasakan dan keluarga adalah tempat pembenaran normatif kekerasan terjadi pada masa kanak-kanak. Hukuman (kekerasan fisik) tersebut digunakan untuk mengajarkan jenis-jenis perilaku apa saja yang boleh dan tidak diperbolehkan, di sisi lain juga sebagai proses belajar sosial pada anak yang membenarkan penggunaan kekerasan.
Hayati, dkk (2000 : 5) juga menambahkan bahwa perilaku meniru mempengaruhi individu dalam melakukan tindak kekerasan. Seorang anak yang hidup dengan orang tua yang senang memukul sebagai cara berkomunikasi untuk menyelesaikan masalah maka akan meniru perilaku orang tuanya dan diterapkan pada pasangannya. Tindak kekerasan sebagai hasil belajar sosial tersebut akan terinternalisasi ke hubungan sosial lain terutama dalam hubungan yang dekat seperti suami dan istri. Perilaku meniru ini juga bisa diperoleh melalui media lain, misalnya lingkungan masyarakat, televisi atau yang lain. Selain itu, tanpa mendapatkan kekerasan pada masa kanak-kanak dapat juga dengan mengamati kekerasan yang terjadi pada orang tuanya. Semakin sering anak mendapatkan hukuman fisik maka semakin tinggi juga kemungkinan pemukulan terhadap pasangan (Straus dalam Purnianti & Kolibonso, 2003 : 4).
sumber daya untuk menyelesaikan masalah kebiasaan turunan dari keluarga atau orang tua. Utami (2002 : 18) mendukung pernyataan tersebut dengan mengungkapkan bahwa suami melakukan kekerasan terhadap istri karena frustrasi atau stres pekerjaan.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal ini berasal dari luar diri individu. Faktor ini terdiri dari dua hal, yaitu :
1). Persepsi tentang kekerasan pada masyarakat
Kekerasan dalam rumah tangga dianggap tabu yang harus ditutup agar tidak diketahui oleh lingkungan masyarakat karena merupakan permasalahan intern. Tamtiari (2005 : 11) menjelaskan juga bahwa struktur sosial budaya menjunjung tinggi kehormatan suatu rumah tangga sehingga apabila terjadi kekerasan akan disembunyikan. Ia pun menambahkan bahwa perempuan mempunyai tugas untuk menjaga keharmonisan rumah tangganya sehingga perempuan cenderung untuk menutupi tindak kekerasan yang dialaminya.
2). Struktur Sosial dalam Masyarakat (Budaya Patriarki)
yang meletakkan laki-laki sebagai makhluk yang istimewa, memiliki nilai yang lebih unggul, diutamakan. Sedangkan perempuan sebagai makhluk yang memiliki kekurangan, lemah, dinomorduakan dan berperan di belakang (Hayati, dkk, 1999 : 5).
Budaya patriarki tersebut sudah disosialisasikan dalam lingkup keluarga sejak masa kanak-kanak. Poerwandari (dalam Luhulima, 2000 : 16-17) berpendapat bahwa sejak usia dini, laki-laki telah disosialisasikan untuk menyukai kekerasan. Hal tersebut dilakukan melalui bentuk permainan yang keras, olah raga yang keras, program televisi yang menyajikan kekerasan sebagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan dan menyelesaikan masalah.
pada suami sehingga istri mungkin akan direndahkan oleh suaminya.
Budaya patriarki yang telah di pupuk sejak dini ini akhirnya terinternalisasi pada individu masing-masing sehingga dikembangkan menjadi karakteristik kepribadian dan pola adaptasi tertentu pada hidupnya (Poerwandari dalam Luhulima, 2000 : 16). Laki-laki yang lebih diutamakan tersebut merasa diri mampu dan mengendalikan anak sehingga istri dan anak harus tunduk pada dirinya (Poerwandari, 2000 : 16). Tamtiari (2005 : 15-16) menambahkan bahwa pernikahan mencerminkan kepemilikan istri menjadi milik suami (men’s property), sehingga suami dianggap pantas jika melakukan kekerasan dengan alasan mendidik istrinya. Didikan tersebut sebagai wujud rasa sayang dan perhatian suami terhadap istrinya. Pernyataan tersebut juga di dukung Suparno (dalam Tamtiari, 2005 : 16) yang mengemukakan bahwa suami dianggap sah dan berhak memperlakukan istri sekehendak hatinya.
sebagainya. Selanjutnya secara seksual seperti meraba, menyentuh, atau melakukan tindakan yang bersifat memaksa. Bentuk yang terakhir adalah secara finansial seperti menghambat karir istri, menahan dan mengawasi pengeluaran uang.
Ada 2 faktor yang dapat mempengaruhi kekerasan dalam rumah tangga yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari diri individu seperti kondisi psikis (misalnya penerimaan masyarakat terhadap kekerasan, frustrasi, kurangnya komunikasi, dan sebagainya) dan proses belajar pada masa kanak-kanak. Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri individu seperti persepsi tentang kekerasan pada masyarakat dan budaya patriarki.
Perasaan diancam baik oleh atasan maupun oleh rekan kerjanya tersebut juga dapat mempengaruhi kesehatan individu dan organisasi sehingga memunculkan stres kerja (Kahn dalam Munandar, 2001 : 395).
Lebih lanjut lagi, Heriyono (dalam Gema Infanteri 2005 : 18) mengungkapkan bahwa perintah atasan seringkali berubah-ubah dan tidak jelas, ada perintah yang berlebihan di luar jam dinas, pemaksaan kehendak dan tidak memikirkan kepentingan bawahannya. Kapt. Inf. Faisal A.Y menjelaskan bahwa golongan tamtama merupakan golongan pelaksana yang melaksanakan perintah atasan sehingga tidak ada job desk yang jelas (wawancara pribadi, 3 April 2008). Hal ini membuat prajurit TNI mengalami role ambiguity. Selanjutnya, kondisi fisik juga mempengaruhi stres kerja. Pekerjaan sebagai TNI-AD mempunyai resiko kematian yang tinggi. Mayjen. TNI Agus Soeyitno (dalam Gema Diponegoro, 2007 : 52) menyatakan bahwa tentara bersumpah sebelum dilantik untuk setia mengabdi kepada negara apapun resikonya. Tentara bertugas untuk menjaga keamanan negara sehingga sering dikirim untuk operasi militer pada wilayah-wilayah yang membutuhkan keamanan.
Kapt. Inf Faisal A.Y mengungkapkan bahwa pola kepemimpinan pada militer cenderung otoriter (wawancara pribadi, 10 April 2008). Bagi pimpinan, perintah adalah segala-galanya dan bersifat mutlak, bawahan juga jarang ikut ambil bagian dalam membuat keputusan. Schultz & Schultz (2006 : 368) menyatakan bahwa pola kepemimpinan merupakan salah satu pembangkit stres. Pembangkit stres yang terakhir adalah ciri-ciri individu. Individu yang berada pada suatu lingkungan kerja harus dapat beradaptasi dan menginternalisasi nilai-nilai yang dianggap penting bagi organisasi tersebut. Jika individu tidak dapat beradaptasi maka dapat menimbulkan stres.
Individu yang mengalami stres kemudian muncul gejala-gejala seperti fisiologis, psikologis, kognitif dan perilaku. Gejala fisiologis yang dialami prajurit TNI seperti keringat dingin dan gangguan perut saat dipanggil untuk menghadap atasan. Selain itu juga merasa ada gangguan tidur karena terbayang-bayang dengan tugas yang sedang diberikan dan bayangan mengenai atasannya. Sedangkan gejala psikologis seperti kesal, kecewa dan bosan karena atasan terkadang tidak puas dengan hasil dari tugas yang diberikan (wawancara pribadi, 10 April 2008).
Pada gejala kognitif, prajurit TNI merasa sulit berkonsentrasi dalam bekerja, berkurangnya nafsu makan sehingga berat badan menurun (wawancara pribadi, 10 April 2008). Selanjutnya, ketidakberanian prajurit mengutarakan perasaan ini dapat membuat perasaannya tertekan terutama yang bersifat negatif sehingga dialihkan ke anggota keluarga yang mempunyai kedudukan lebih lemah dari dirinya. Salah satu pengalihan perasaannya tersebut ialah kekerasan dalam rumah tangga.
Kekerasan juga dipengaruhi oleh karakteristik individu. Keluarga merupakan tempat awal yang mengenalkan bahwa kekerasan merupakan hal yang wajar (Purnianti & Kolibonso, 2003 : 3-4). Sejak individu masih anak-anak ada yang diberi pelajaran mengenai perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan dengan memberikan hukuman fisik. Hal ini menjadi proses belajar sosial pada masa anak-anak bahwa kekerasan merupakan hal yang wajar dilakukan. Selain itu, perilaku meniru juga mempengaruhi tindak kekerasan (Hayati, dkk, 2000 : 5). Orang tua ada yang melakukan kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah. Hal ini akan ditiru oleh anak-anak dan diterapkan pada pasangannya. Proses belajar pada anak-anak-anak-anak tersebut berkembang menjadi karakter kepribadian individu.
Gambar 1
Hubungan Stres Kerja dan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Faktor Eksternal :
1. Persepsi masyarakat mengenai kekerasan
2. Budaya Patriarki 3. Perilaku Meniru
Faktor Internal : 1. Perilaku Meniru
2. Pengalaman kekerasan pada masa kanak-kanak 3. Kondisi Psikis
Pembangkit Stres :
1. Penyimpangan disiplin militer oleh atasan 4. Konflik Peran 2. Beban kerja berlebih 5. Ciri-Ciri Individu
3. Resiko kematian yang tinggi 6. Struktur organisasi yang kaku
Penilaian Kognitif
Merasa lebih tidak mampu mengatasi, memandang Rumah Tangga : Fisik,
D. Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini yaitu :
1. Ada hubungan antara stres kerja pada kekerasan fisik pada anggota di Yonif 400/Raider.
2. Ada hubungan antara stres kerja pada kekerasan psikologis pada anggota di Yonif 400/Raider
3. Ada hubungan antara stres kerja pada kekerasan seksual pada anggota di Yonif 400/Raider
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini ialah penelitian kuantitatif. Penelitian korelasional ini bertujuan melihat hubungan antara stres kerja dengan kekerasan dalam rumah tangga.Penelitian korelasional yaitu penelitian yang berusaha untuk memastikan bagaimana dua atau lebih variabel saling berhubungan satu dengan yang lainnya (Clark, 2004 : 287 ; Elmes et al, 1995 : 172).
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Pada penelitian diteliti hubungan antara dua variabel, yaitu : 1. Variabel Bebas : Stres Kerja
2. Variabel Tergantung : Kekerasan dalam Rumah Tangga
C. Definisi Operasional 1. Stres Kerja
Stres kerja yaitu respon fisiologis, psikologis, perilaku, dan kognitif individu terhadap situasi yang disebabkan oleh stressor yang muncul pada pekerjaan yang sedang dijalaninya. Respon stres kerja diukur menggunakan skala stres kerja dengan metode skala Likert. Skala tersebut merupakan skala psikologis sehingga mengukur respon stres kerja melalui jawaban yang diberikan subjek pada kuisioner.
Penelitian ini tidak menggunakan alat yang lain untuk mengukur
stres kerja karena keterbatasan peneliti pada waktu, tenaga dan dana.
Stres kerja yang tinggi akan ditunjukkan melalui perolehan hasil
skor total dari skala yang telah dibuat. Semakin tinggi hasil skor total
yang diperoleh dari skala tersebut, maka semakin tinggi stres kerja
yang dimiliki individu. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah hasil
skor total yang diperoleh berdasarkan skala, maka semakin rendah
stres kerja yang dimiliki oleh individu tersebut.
Skala stres kerja dibatasi dengan aspek-aspek yang dimiliki.
Aspek-aspek tersebut berupa respon yang diberikan individu, yaitu:
a. Respon Psikologis
Respon tersebut meliputi rasa cemas, depresi, marah,
frustrasi, bingung, tidak adanya kepuasan kerja, kelelahan secara
psikologis, dan apatis.
b. Respon Fisiologis
Respon tersebut yaitu sulit tidur atau tidur tidak tenang,
jantung berdebar, keringat dingin, sakit perut, dan sakit kepala.
c. Respon Perilaku
Respon individu seperti makan yang berlebihan atau tidak
ada nafsu makan, meningkatnya frekuensi absensi, kesulitan
komunikasi, kurang dapat menyesuaikan diri pada lingkungan,
d. Respon Kognitif
Respon individu seperti kurangnya konsentrasi dan
perhatian, sulit membuat keputusan.
1. Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan yang dilakukan
oleh suami untuk melukai atau menyakiti istrinya baik secara fisik,
psikologis, seksual mau pun ekonomi. Variabel ini akan diukur
menggunakan skala kekerasan dalam rumah tangga untuk mengungkap
sikap individu dengan metode skala Likert.
Kekerasan dalam rumah tangga yang tinggi ditunjukkan melalui
perolehan skor pada skala yang telah dibuat. Semakin tinggi skor yang
dihasilkan oleh subjek maka semakin tinggi juga kekerasan dalam
rumah tangga yang dilakukan oleh individu. Demikian pula
sebaliknya, perolehan skor yang rendah menunjukkan rendahnya
kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh individu.
Sikap ini akan dibatasi dengan menggunakan aspek-aspek
kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan yang dilakukan suami
untuk melukai atau menyakiti istrinya tersebut meliputi :
a. Kekerasan Fisik
Perbuatan tersebut seperti menampar, memukul (dengan
tangan ataupun benda), mencekik, menarik rambut,
memutar-mutarkan, meludahi, menyundut dengan rokok,
penganiayaan, pengurungan (dikurung di dalam rumah)
b. Kekerasan Psikologis
Kekerasan yang meliputi berteriak, menguntit, mengancam
(misalnya dicerai, dipukul, dibunuh), melecehkan atau
merendahkan dengan kata-kata, menyumpah, mengatur,
memata-matai, pengabaian, tuduhan, penolakan, perbuatan, pembatasan,
pemutusan hubungan dengan masyarakat maupun dengan
keluarga, melarang istri bekerja, melarang istri untuk ikut terlibat
kegiatan sosial kemasyarakatan, memisahkan istri dengan
anak-anak bila tidak menuruti keinginan suami sering meninggalkan
rumah tanpa alasan dan teror.
c. Kekerasan Seksual
Perbuatan berupa menyentuh, meraba, mencium, memaksa
berhubungan seksual saat istri sedang tidak menginginkannya
(mungkin karena sedang haid atau sakit), tidak memenuhi
kebutuhan seksual istri, memaksa istri melakukan hubungan
seksual dengan cara yang tidak disukai istri, menggugurkan
kandungan istri. Selain itu seperti gurauan, melecehkan atau
merendahkan yang mengarah kepada seksual.
d. Kekerasan Finansial
Perilaku melukai tersebut berupa mengambil uang,
dan mengawasi pengeluaran uang sampai sekecil-kecilnya, serta
menghambat karir pasangannya.
B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian diperoleh dari tempat dimana penelitian akan
dilaksanakan. Namun demikian, tidak semua individu yang berada di tempat
penelitian akan dijadikan sebagai subjek, melainkan hanya sebagian orang
atau kelompok yang akan digeneralisasi sebagai hasil penelitian. Kelompok
yang akan digeneralisasikan sebagai hasil penelitian disebut dengan sampel
(Arikunto, 2002 & 109).
Namun, peneliti mempertimbangkan waktu, tenaga, dan dana
sehingga peneliti harus menentukan sampel untuk mempermudah dalam
pengambilan data. Tehnik yang digunakan untuk memilih subjek yaitu
purposive sampling. Maksudnya ialah teknik pemilihan sekelompok subjek
berdasarkan ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang mempunyai sangkut paut
erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui
sebelumnya. Sampel yang digunakan pada penelitian ini ialah prajurit
TNI-AD yang sedang bertugas di Yonif 400/Raider Semarang dengan kriteria
sebagai berikut :
1. Prajurit pada golongan tamtama yang memiliki pangkat minimal
Prajurit Satu. Alasan memilih tamtama yaitu karena tamtama
merupakan tingkat yang paling rendah sehingga memiliki banyak
2. Prajurit yang telah menikah dengan usia pernikahan minimal 6 bulan.
Pada usia pernikahan minimal 6 bulan tersebut, pasangan sedang
beradaptasi dengan kehidupan barunya.
C. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ialah
penyebaran skala dengan menyebar 2 skala, yaitu :
1. Skala Stres Kerja
Skala stres kerja ini mencakup 58 item yang terdiri dari 30 item
favorabel dan 28 item unfavorabel. Penyusunan skala dibuat
berdasarkan pada definisi operasional yang mencakup beberapa
bentuk, yaitu respon psikologis, respon fisiologis, respon perilaku dan
respon kognitif. Skala ini disusun menggunakan metode skala Likert
yang memiliki 4 pilihan jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S),
Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Pilihan jawaban
tersebut tersedia pada setiap item yang disajikan dan responden
diminta untuk menyatakan kesetujuan atau ketidaksetujuan terhadap isi
pernyataan (Azwar, 2005 : 140). Tidak ada jawaban Netral (N) pada
pilihan jawaban. Alasannya, jika ada pilihan tengah maka responden
cenderung untuk menjawab pilihan tersebut sehingga peneliti tidak
mendapatkan informasi yang diinginkan (Azwar, 2005 : 34).
Pada skala ini, bobot tertinggi diberikan pada kategori jawaban
jawaban yang tidak favorabel. Maksudnya, jawaban yang favorabel
yaitu respon setuju terhadap pernyataan favorabel dan respon tidak
setuju terhadap pernyataan yang tidak favorabel.
Namun demikian, jawaban yang tidak favorabel adalah respon
tidak setuju terhadap pernyataan yang favorabel dan respon setuju
terhadap pernyataan yang tidak favorabel. Skor pada skala yaitu
Sangat Sesuai, Sesuai, Tidak Sesuai, Sangat Tidak Sesuai bergerak
dari 1 hingga 4 pada skala unfavorabel dan dari 4 hingga 1 pada skala
favorabel.
Sebaran nomer item dan jumlahnya dapat dilihat pada tabel 3.2
berikut ini :
Tabel 3.1
Blue Print Skala Stres Kerja (sebelum uji coba)
Item Aspek
Favourabel Unfavourabel
Total
Reaksi Psikologis 1,9,10,24,25,39,45 5,16,21,28,34,48, 42 14
Reaksi Fisiologis 4,11,23, ,29,49,44,47,55 8,15,20,35, 52,51 14
Reaksi Perilaku 3,12,13,27,36,43,54,57 7,18,19,30,40,41,50,58 16
Reaksi Kognitif 6,17,22,26,33,46,37 2,14,31,32,38,53,56 14
Jumlah 30 28 58
2. Skala Kekerasan dalam Rumah Tangga
Skala ini terdiri dari 54 item yang terdiri dari 27 item favorabel
dan 27 item tidak favourabel. Penyusunan skala berdasarkan definisi
seperti kekerasan psikis, kekerasan fisiologis, kekerasan seksual dan
kekerasan ekonomi. Skala disusun menggunakan Metode Skala Likert
yang memiliki 4 pilihan jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S),
Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Pilihan jawaban
tersebut tersedia pada setiap item yang disajikan dan responden
diminta untuk menyatakan kesetujuan atau ketidaksetujuan terhadap isi
pernyataan (Azwar, 2005 : 140). Tidak ada jawaban Netral (N) pada
pilihan jawaban. Alasannya, jika ada pilihan tengah maka responden
cenderung untuk menjawab pilihan tersebut sehingga peneliti tidak
mendapatkan informasi yang diinginkan. Skor pada skala yaitu Sangat
Sesuai, Sesuai, Tidak Sesuai, Sangat Tidak Sesuai bergerak dari 1
hingga 4 pada skala unfavorabel dan dari 4 hingga 1 pada skala
favorabel. Selanjutnya, berikut ini disajikan sebaran nomer item dan
jumlahnya pada tabel 3.2 berikut ini:
Tabel 3.2
Blue Print Skala Kekerasan dalam Rumah Tangga (sebelum uji coba)
Item Aspek
Favourabel Unfavourabel
Total
Kekerasan Fisik 7,9,17,27,33,41 4,15,20,24,37,53 12
Kekerasan Psikologis
1,11,21,25,35,
43,46,49,52
8,13,18,29,34,
42,47,50, 39 18
Item Aspek
Favourabel Unfavorabel
Total
Kekerasan Finansial 5,12,19,28,36,48 2,10,31,32,38,44 12
Total 27 27 54
D. Uji Coba Alat Ukur
Sebelum melaksanakan penelitian, peneliti menguji coba alat ukur
dengan tujuan agar skala yang digunakan benar-benar mewakili
variabel-variabel yang akan diukur.
Skala uji coba dilaksanakan di Yonif 203/AK pada tanggal 19 Agustus
2008. Subyek penelitian berjumlah 80 orang, dikumpulkan pada suatu aula
sehingga dapat mengerjakan skala tersebut secara langsung. Seluruh subyek
diberikan satu eksemplar yang terdiri dari dua skala, yaitu skala stres kerja
sebagai skala I dan skala kekekerasan dalam rumah tangga sebagai skala II.
Skala yang telah tersebar tersebut dikembalikan semuanya yaitu 80
eksemplar. Keseluruhan data hasil skala dapat dianalisis karena data diisi
dengan lengkap dengan tidak adanya item yang terlewatkan dan
kelengkapan identitas
E. Validitas dan Reliabilitas 1. Validitas
Validitas alat ukur menunjukkan sejauh mana alat tes tersebut
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu validitas isi.
Validitas isi mengukur sejauh mana seperangkat soal-soal pada alat tes
tersebut mencerminkan ciri atribut yang hendak diukur. Jadi, alat tes
tersebut harus komprehensif isinya dengan memuat isi yang relevan
dan tidak keluar dari batasan tujuan ukur (Azwar, 2004 : 45).
Cara menentukan validitas isi tersebut melalui pendapat
profesional (professional judgment) yang menelaah item-item pada alat
tes atau analisis rasional. Pendapat profesional pada penelitian ini yaitu
dosen pembimbing skripsi. Validitas isi ini terbagi dalam dua tipe,
yaitu :
a. Validitas tampang
Validitas tampang berdasarkan penilaian terhadap format
penampilan tes. Penampilan tes harus meyakinkan dan
memberikan kesan mampu mengungkap apa yang hendak diukur.
Penampilan yang meyakinkan tersebut akan memancing motivasi
individu yang akan dites agar tes dikerjakan dengan
sungguh-sungguh (Azwar, 2004 : 46).
Skala yang dibuat peneliti cukup sederhana. Skala dibuat
dalam bentuk buku dan dikemas secara rapi serta pengetikan yang
jelas. Hal tersebut bertujuan agar individu yang diteliti mempunyai
motivasi untuk mengerjakan skala dengan sungguh-sungguh
b. Validitas Logis
Validitas logis mengukur sejauh mana isi tes
merepresentasikan ciri-ciri atribut yang hendak diukur. Skala
dirancang sedemikian rupa agar tes hanya berisi aitem-aitem yang
relevan saja.
Peneliti dalam membuat alat ukur sebelumnya telah
membuat blue-print. Blue-print dibuat dalam bentuk tabel yang
berisi uraian aspek-aspek atribut yang harus dibuat aitemnya serta
proporsi aitem dalam masing-masing aspek. Hal ini bertujuan
untuk memberikan gambaran mengenai isi skala serta acuan bagi
peneliti untuk tetap berada dalam batasan yang hendak diukur
(Azwar, 2005 : 23).
2. Seleksi Item
Hal penting pada seleksi item suatu alat ukur yaitu daya beda atau
daya diskriminasi item. Artinya untuk mengukur sejauh mana item
tersebut mampu membedakan antara individu atau kelompok individu
yang memiliki atau tidak memiliki atribut untuk diukur.
Semakin tinggi koefisien korelasi positif antara skor item dengan
skor skala berarti semakin tinggi konsistensi item (daya beda) tersebut
dengan skala secara keseluruhan (Azwar, 2005: 59).
a. Stres Kerja
Berikut ini disajikan tabel perhitungan korelasi item total
Tabel 3.3
Hasil Korelasi Item Total Skala Stres Kerja
Rix Item Total
≥ 0.300 1,2,3,4,5,7,9,10,12,13,14,15,18,19,20,23,24,25,26,27,30, 32,33,34,35,36,37,38,39,40,43,44,45,47,48,49,50,51,52,5
3,55,56,57,58
44
0.200 – 0.299 8,11,22,31,42,46, 6 < 0.200 6,16,17,21,28,29,41,54 8
Total 58
Berdasarkan seleksi item yang telah dilaksanakan, diperoleh 44
item yang sahih dan 14 item yang gugur dengan batas kriteria rix ≥
0.300. Sebaran item yang sahih dan gugur tersebut dapat dilihat pada
tabel berikut ini :
Tabel 3.4
Item yang Sahih dan Gugur Pada Skala Stres Kerja
No.Item Valid No.Item Gugur No. Aspek
32,38,53,56 6,17,22,46 31 9
Langkah yang dilakukan oleh peneliti selanjutnya adalah
menyelaraskan jumlah item. Menyetarakan jumlah item dilihat dari
aspek yang mempunyai jumlah item terkecil sehingga jumlahnya
menjadi 36 item.
Peneliti kemudian mengolah lagi 36 item yang akan dipakai
dalam penelitian untuk melihat apakah koefisien korelasi telah diatas
0.30. Hasil menunjukkan bahwa tidak ada lagi item yang memiliki
koefisien korelasi dibawah 0.30. Artinya, 36 item ini yang akan
dipakai pada skala penelitian. Berikut ini disajikan penyebaran
item-item pada skala stres kerja :
Tabel 3.5
Distribusi Item Skala Stres Kerja Untuk Penelitian
No.Item Valid
2 Reaksi Fisiologis 4,20(44),6(47),17(4
9),31(55) 15,35,27(51),22(52) 9
3 Reaksi Perilaku 12,13(13),36,3(43),
28(57) 7,18,19,30 9
4 Reaksi Kognitif 26,33,29(37) 2,14,
32,8(38),9(53),23(56) 9
Total 19 17 36
Keterangan : () no.item pada skala uji coba
b. Kekerasan dalam Rumah Tangga
Skala yang kedua adalah skala kekerasan dalam rumah
Tabel 3.6
Hasil Korelasi Item Total Skala Kekerasan dalam Rumah Tangga
Rix Item Total
≥ 0.30 1,3,4,6,9,10,11,13,14,15,16,17,18,19,22,23,25,26,27,30,3 1,33,35,36,37,38,39,41,43,46,48,49,50,51,52,53,54
37
0,20 – 0,299 24,29 2
< 0.20 2,5,7,8,12,20,21,25,28,232,34,40,42,44,45,47 15
Total 54
Berdasarkan hasil seleksi item, terdapat 17 item yang gugur
dan 37 item yang sahih dengan rix ≥ 0.30. Pada keempat aspek
kekerasan dalam rumah tangga, tidak aspek yang hilang. Pada tabel
3.7 dapat dilihat sebaran item-item yang sahih dan yang gugur.
Tabel 3.7
Item yang Sahih dan Gugur Pada Skala Kekerasan dalam Rumah Tangga
Langkah selanjutnya yang dilakukan peneliti adalah menyelaraskan
jumlah item per aspek. Namun, jumlah item tiap aspek berbeda cukup jauh
sehingga menyelaraskan jumlah item tersebut dengan cara menyamakan
bobot respon. Tujuannya agar aspek yang satu dengan yang lain mempunyai
bobot yang sama walaupun jumlah item per aspeknya berbeda cukup jauh.
Langkah awal ialah menghitung mean tiap item kemudian dijumlahkan
sesuai dengan item pada tiap aspek. Selanjutnya, hasil mean dibagi dengan
jumlah item pada aspek tersebut.
1) Kekerasan dalam Rumah Tangga
a) Kekerasan Fisik
Item : 9, 17, 27, 33, 39, 4, 15, 37, 34
: ∑ item 9+∑ item 17+∑ item 27+∑ item 33+∑ item 39+∑ item
4+∑ item 15+∑ item 37+∑ item 34
9
:2,03+2,17+1,96+2,07+2,08+2,92+2,01+2,08+2,11
9
: 24,77
9
: 2,15 2
b)Kekerasan Psikologis
Item : 1+5+7+11+21+25+32+35+13+18+28+12
: ∑ item 1+∑ item 5+∑ item 7+∑ item 11+∑ item 21+∑ item
25+∑ item 32+∑ item 35+∑ item 13+∑ item 18+∑ item 28+∑
item 12
9
:1,92+2,07+1,72+2,06+2,15+2,04+2,28+2,36+1,97+2,15+2,01+
2,04
12
: 24,77
12
: 2,06 2
c) Kekerasan Seksual
Item : 3, 14, 23, 30, 20, 16, 6, 22, 26, 8
: ∑ item 3+∑ item 14+∑ item 23+∑ item 30+∑ item 20+∑ item
16+∑ item 6+∑ item 22+∑ item 26+∑ item 8
9
: 2,75+2,11+2,07+1,95+1,91+2,07+1,75+2,06+2,08+1,73
10
: 20,48
10
: 2,05 2
d)Kekerasan Finansial
Item : 19, 36, 24, 10, 31, 2
: ∑ item 19+∑ item 36+∑ item 24+∑ item 10+∑ item 31+∑item 2
Berdasarkan hasil di atas, maka bobot tiap aspek telah sama,yaitu
bernilai 2. Selanjutnya, pada tabel 3.8 disajikan sebaran item-item skala
kekerasan dalam rumah tangga yang akan digunakan untuk penelitian.
Tabel 3.8
Distribusi Item Skala Kekerasan dalam Rumah Tangga Untuk Skala Penelitian 1. Kekerasan Fisik 9,17,27,33,29(41) 4,15 ,37,34(53) 9
2. Kekerasan Psikologis
1,5(46),7(49),11, 21(52),25,32(43),35
13,18,28(50), 12(39)
12
3. Kekerasan Seksual 3,14,23,30,20(54) 6,16,22,26,8(51) 10 4. Kekerasan Finansial 19,36,24(48) 10,31,2(38) 6
3. Reliabilitas
Reliabilitas pada alat ukur menunjukkan sejauh mana alat ukur
tersebut dapat dipercaya atau konsisten. Reliabilitas tersebut diperoleh
melalui konsistensi skor subjek yang diukur dengan cara yang sama
atau di ukur dengan alat setara pada kondisi yang berbeda (Suryabrata,
1998 : 41).
Reliabilitas dinyatakan dengan rxx’ yang memiliki rentang dari 0
hingga 1.00. Artinya, semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati
angka 1.00 maka semakin tinggi juga reliabilitasnya. Begitu juga
sebaliknya, semakin rendah koefisien reliabilitas mendekati 0 maka
semakin rendah juga reliabilitasnya (Azwar, 2005 : 83). Reliabilitas
pada skala stres kerja sebesar 0,907 dan pada skala kekerasan dalam
rumah tangga sebesar 0,899.
F. Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data
statistik kuantitatif.Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik korelasi
Product Moment Pearson dengan bantuan SPSS for Windows versi 12.0
yang bertujuan untuk menunjukkan hubungan antara variabel bebas dengan
variabel tergantung. Pada penelitian ini akan dilihat apakah ada hubungan
antara stres kerja dan kekerasan dalam rumah tangga. Akan tetapi, uji
korelasi yang akan dilakukan adalah dengan mengkorelasikan stres kerja
fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual dan kekerasan finansial. Hal
ini dilakukan karena dimensi-dimensi kekerasan dalam rumah tangga tidak
dapat dijumlahkan secara keseluruhan.
Nilai koefisien korelasi (rxy) pada dua variabel tersebut berkisar antara
-1.00 hingga +1.00. Koefisien korelasi yang minus menunjukkan hubungan
terbalik, artinya kenaikan suatu variabel akan menyebabkan penurunan
variabel yang lain. Koefisien korelasi yang positif menggambarkan
hubungan yang searah. Artinya kenaikan suatu variabel akan diikuti dengan
kenaikan variabel yang lain, atau penurunan suatu variabel akan diikuti
dengan penurunan variabel lainnya. Sedangkan koefisien korelasi sebesar
nol menunjukkan tidak adanya hubungan antara dua variabel (Ashari &