• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

AKIBAT HUKUM TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN HASIL PENAMBANGAN KOMODITAS TAMBANG MINERAL

DI DALAM NEGERI

1. Pembangunan Unit Pengolahan dan Pemurnian Guna Melaksanakan Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian

Semenjak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, menjadi sebuah keharusan yang baru bagi pengusaha komoditas tambang untuk melaksanakan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebelum melakukan penjualan ke luar negeri (ekspor). Khususnya bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Kegiatan pengolahan dan pemurnian tersebut sebagai salah satu upaya yang digalakkan oleh pemerintah agar hasil tambang yang diperoleh dari penambangan di dalam negeri mendapatkan nilai tambah.

Untuk mendapatkan nilai tambah dari hasil tambang dengan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dilakukan dengan menggunakan unit pengolahan dan pemurnian yang dikenal dengan “smelter”. Unit pengolahan dan pemurnian yang disebut

smelter” sebagai fasilitas pengolahan hasil tambang yang berfungsi untuk meningkatkan

kandungan logam, hingga logam tersebut mencapai tingkat yang diinginkan atau yang memenuhi standar sebagai bahan baku akhir.

Dalam industri pertambangan mineral logam, smelter merupakan bagian dari sebuah proses produksi. Dimana mineral yang diperoeh dari hasil penambangan alam yang dilakukan di dalam negeri biasanya masih tercampur dengan kotoran atau mineral

(2)

bawaan. Pada umumnya hasil tambang jarang yang ditemukan dalam keadaan mempunyai kadar mineral atau logam berharga yang tinggi dan siap untuk dijual atau cocok untuk diproses lebih lanjut. Maka dari itu perlu dilakukan pengolahan dan pemurnian untuk memisahkan komoditas tambang mineral yang diinginkan atau yang berharga dan kemudian ditingkatkan kadarnya sesuai batasan yang ditentukan.

Pembangunan unit pengolahan dan pemurnian “smelter” menjadi sebuah

kewajiban bagi pemegang IUP dan IUPK. Dengan membangun unit pengolahan dan pemurnian “smelter” ini, tidak hanya dapat menambah nilai jual dari komoditas tambang

mineral tetapi juga dapat membuka lapangan kerja baru. Dimana tentunya akan dibutuhkan tenaga-tenaga kerja atau bahkan ahli-ahli untuk mengoperasikan unit pengolahan dan pemurnian “smelter” tersebut.

Pembangunan unit pengolahan dan pemurnian “smelter” di dalam negeri harus

dilakukan selambat-lambatnya lima tahun sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009,67 yang berarti bahwa pada tahun 2014 seluruh perusahaan tambang yang telah berproduksi harus sudah membangun unit pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.

1.1. Kerja Sama Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri

Untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, maka pengusaha tambang dapat membangun unit pengolahan dan pemurnian “smelter” sendiri atau

melakukan kerjasama dengan badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang telah

67

(3)

mendapatkan IUP atau IUPK.68 Selain itu, dapat pula melalui kerja sama dengan pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi lainnya, Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi lainnya, dan/atau pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian.69

Bentuk kerja sama untuk melakukan pengolahan dan pemurnian dapat dilakukan dengan:70

1. Jual beli bijih (raw material atau ore) atau konsentrat; atau

2. Kegiatan untuk melakukan proses pengolahan dan/ atau pemurnian.

Rencana untuk melakukan kerja sama pengolahan dan pemurnian tersebut dapat dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari menteri, gubernur, dan bupati / walikota. Dibutuhkan persetujuan dari menteri apabila:71

1. Rencana kerja sama dilakukan antara pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi yang diterbitkan oleh menteri dengan:

a). Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi lainnya atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi lainnya yang diterbitkan oleh Menteri;

b). Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi lainnya yang diterbitkan oleh gubernur atau bupati/walikota;

c). Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian yang diterbitkan oleh Menteri;

2. Rencana kerja sama dilakukan antara pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi yang diterbitkan oleh 2 (dua) gubernur yang berbeda;

3. Rencana kerja sama dilakukan antara oemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi yang diterbitkan oleh 2 (dua) bupati/walikota yang berbeda provinsi;

4. Rencana kerja sama dilakukan antara pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi yang diterbitkan oleh bupati/walikota atau izin Usaha

68

Pasal 104 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009

69

Pasal 5 Peraturan Menteri Energi, dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.

70

Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.

71

(4)

Pertambangan (IUP) Operasi Produksi yang diterbitkan oleh gubernur dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian yang diterbitkan oleh Menteri.

Untuk rencana kerja sama pengolahan dan pemurnian yang dapat dilaksanakan setelah mendapatkan persetujua dari gubernur, apabila:72

c). IUP Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian yang diterbitkan oleh gubernur dalam 1 (satu) provinsi;

2. Rencana kerja sama dilakukan antara pemegang IUP Operasi Produksi yang diterbitkan oleh bupati/walikota dengan IUP Operasi Produksi yang diterbitkan oleh bupati/walikota lainnya dalam 1 (satu) provinsi;

3. Rencana kerja sama dilakukan antara pemegang IUP Operasi produksi yang diterbitan oleh bupati/walikota dengan IUP Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian yang diterbitkan oleh gubernur.

Sedangkan rencana kerja sama yang membutuhkan persetujuan dari bupati/walikota apabila rencana kerja sama dilakukan antara pemegang IUP Operasi Produksi yang diterbitkan oleh bupati/walikota dengan:73

1. IUP Operasi Produksi lainnya yang diterbitkan oleh bupati/walikota dalam 1 (satu) kabupaten/kota;

2. IUP Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian yang diterbitkan oleh bupati/walikota dalam 1 (satu) kabupaten/kota.

Sedangkan bagi pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, dan IUP Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian melakukan pengolahan dan/atau pemurnian bijih (raw material atau ore), konsentrat, atau produk

72

Pasal 6 ayat (2) huruf b Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.

73

(5)

antara mineral yang bersala dari luar negeri, untuk rencana kerja samanya dengan pemasok wajib mendapatkan persetujuan lebih dahulu dari menteri.74

1.2. Larangan Kerja Sama Bagi Penambang Yang Tidak Memiliki Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan Khusus

Pada dasarnya yang dapat melakukan pengolahan dan pemurnian komoditas tambang mineral adalah orang atau pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Dengan kata lain, berati yang boleh melakukan pengolahan dan pemurnian dari hasil penambangan adalah pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Berlaku pula dalam hal dilakukannya kerja sama untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dilarang melakukan pengolahan dan pemurnian dari hasil penambangan yang tidak memiliki IUP, IPR, dan IUPK.75 Menurut Pasal 104 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, yang mengatur larangan melakukan pengolahan dan pemurnian dari hasil penambangan yang tidak memiliki IUP, IPR, atau IUPK. Berarti bahwa yang dapat melakukan pengolahan dan pemurnian adalah pemegang IUP dan IUPK.

Pelanggar ketentuan Pasal 104 ayat (3) tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 161 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian,

74

Pasal 6 ayat (4) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.

75

(6)

pengangkutan, penjualan mineral batubara yang bukan dari pemegang IUP dan IUPK, atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 43 ayat (2), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1), Pasal 81 ayat (2), Pasal 103 ayat (2), Pasal 104 ayat (3), atau Pasal 105 ayat (1).

Sanksi hukum bagi pelanggar ketentuan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, yaitu:

a. Sanksi pidana; dan b. Sanksi denda.

Sanksi pidana bagi pelanggar ketentuan tersebut, yaitu pidana penjara 10 tahun, sedangkan sanksi dendanya paling banyak sejumlah Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Sanksi yang diatur dalam Pasal 161 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 bersifat kumulatif, yang berarti bahwa kedua sanksi tersebut, yaitu sanksi pidana penjara dan denda dapat dijatuhkan secara bersamaan kepada pelaku perbuatan pidana, bukan bersifat alternatif (pilihan antara pidana penjara atau denda).76

2. Sanksi Atas Pelanggaran Ketentuan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri Hukum pertambangan mineral dan batubara merupakan kaidah hukum yang bersifat khusus. Sifatnya yang khusus ini juga nampak dari sifat hubungan para pihak yang bersifat administratif. Hukum pertambangan mineral dan batubara semenjak terbitnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 menjadi bersifat administrative, dimana pemerintah maupun pemerintah daerah mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dalam proses pemberian izin kepada pemegang IPR, IUP, dan IUPK.

Di dalam pemberian izin tersebut didasarkan kepada syarat-syarat yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-perundangan. Apabila syarat-syarat tersebut

76

(7)

dipenuhi oleh calon pemegang izin, maka pemerintah dapat menetapkan izin secara sepihak kepada pemegang IPR, IUP, dan IUPK. Namun, apabila syarat-syarat itu tidak dipenuhi, maka pemerintah dapat menolak izin yang diajukan oleh calon pemegang izin. Pemerintah juga dapat membatalkan segala bentuk izin, baik berupa IPR, IUP, maupun IUPK secara sepihak, apabila pemegang IPR, IUP, dan IUPK tidak mematuhi dan menaati segala ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam substansi izin dan ketentuan perundang-undangan.

Lain halnya dengan sistem yang berlaku sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 ini diterbitkan, yaitu sistem kontrak. Dimana pemerintah tidak dapat membatalkan secara sepihak segala kontrak yang dibuat oleh dan antara pemerintah dengan kontraktor atau pihak lainnya. Untuk membatalkan setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak, maka salah satu pihak dapat mengajukan pembatalan ke pengadilan atau ke lembaga arbitrase internasional. Lembaga inilah nantinya yang akan membatalkan kontrak yang dibuat oleh para pihak.

Mengingat sistem yang kini diberlakukan adalah sistem perizinan yang bersifat administrative, maka bagi pemegang IPR, IUP, dan juga IUPK yang melakukan pelanggaran dapat dijatuhi sanksi yang berupa sanksi administrasi. Penjatuhan sanksi administrasi ini juga diterapkan apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.

(8)

IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara.” Pasal 103 pada ayat (1) yang berbunyi, “Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.”

2.1. Sanksi Administrasi Sebagai Instrumen Penegakan hukum

Sebagaimana pendapat yang ditulis oleh J.B.J.M ten Berge yang menguraikan intrumen penegakan hukum administrasi, meliputi:77

a. Pengawasan; b. Penegakan sanksi.

Sanksi administrasi adalah penerapan sanksi oleh pemerintah terhadap pelanggaran norma hukum administrasi.78 Sanksi administrasi merupakan bagian dari penegakan hukum administrasi yang bersifat represif, karena penerapan sanksi administrasi selalu di dahului oleh adanya pelanggaran norma hukum administrasi yang dalam hal ini adalah pelanggaran terhadap kewajiban bagi pemegang IUP dan IUPK.

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tidak ditemukan rumusan tentang sanksi administrasi. Esensi sanksi administrasi dalam bidang pertambangan merupakan sanksi yang dijatuhkan oleh pemberi izin, apakah itu IPR, IUP, maupun IUPK terhadap pemegang IPR, IUP, maupun IUPK, yang disebabkan karena melakukan pelanggaran terhadap substansi izin dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

77

Tatik Sri Djatmiati, Urip Santoso, dan Lilik Pudjiastuti, Buku ajar hukum perizinan, Fakultas hukum, Universitas Airlangga, Surabaya, 2005. Hlm, 35, dikutip dari Philipus M Hadjon, Penegakan Hukum Administrasi Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Dalam Butir-Butir Gagasan tentang Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintah Yang Layak, Citra Aditya Abadi, Bandung, 1996.

78

(9)

Sasaran sanksi administrasi adalah kegiatan pelanggaran terhadap norma hukum sanksi administrasi bukan kepada pelaku, sehingga tujuan sanksi administrasi adalah untuk menghentikan pelangaran atau memulihkan pada keadaan semula.79 Maka terhadap tujuan tersebut, penerapan sanksi administrasi dapat dilakukan meskipun tanpa didahului oleh prosedur peradilan, mengingat prosedur peradilan membutuhkan waktu yang cukup lama.

Pelaksanaan suatu sanksi administrasi berlaku sebagai suatu keputusan (ketetapan) yang memberi beban (belastende beschikking).80 Hal itu membawa serta hakekat (sifat) dari sanksi.81 Bagi jenis tindakan-tindakan penguasa terkandung secara khusus adanya azaz kecermatan (zorgvuldigheidsbeginsel) dalam makna azaz umum pemerintahan yang layak.82 Dengan cermat harus ditetapkan pada titik-titik mana seorang warga dipandang telah lalai.83 Hampir selalu, seorang warga harus terlebih dahulu diberi kesempatan memberikan pandangannya dan jika perlu menjelaskan mengapa ia lalai (azaz pembelaan).84 Hanya dalam hal-hal tidak ada penangguhan tindakan tata usaha negara yang dapat dipertanggung-jawabkan, tata usaha negara dapat dan harus segera bertindak (tanpa terlebih dahulu memberitahu pada warga dan memberi kesempatan padanya untuk mengajukan pembelaan).85

Mengingat prosedur penerapan sanksi administrasi dapat dilakukan tanpa membutuhkan prosedur peradilan, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan pemerintah

79

Ibid.

80

Philipus M Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi, Gajah Mada University Press, (Yogyakarta, 2008), Hlm. 247.

81

Ibid.

82

Ibid.

83

Ibid.

84

(10)

dalam menjatuhkan sanksi administrasi, maka diperlukan beberapa elemen dalam penerapan sanksi administrasi yang harus dipenuhi, yaitu:86

1. Legitimasi;

2. Instrumen Yuridis;

3. Norma hukum administrasi; 4. Kumulasi sanksi.

2.2. Pejabat Yang Berwenang Menjatuhkan Sanksi

Pejabat yang berwenang menjatuhkan sanksi administrasi kepada pelaku pelanggaran, yaitu:87

1. Menteri; 2. Gubernur; dan

3. Bupati atau Walikota.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menjatuhkan sanksi administrasi terhadap pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Penjatuhan sanksi administrasi oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral hanya terhadap pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) nya berada pada lintas wilayah provinsi dan pejabat yang menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) tersebut adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sendiri. Sedangkan pejabat yang berwenang untuk menjatuhkan sanksi administrasi terhadap pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) hanya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang berwenang menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) nya.

Gubernur hanya berwenang menjatuhkan sanksi adminstrasi terhadap pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), dimana Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP)

86

Tatik Sri Djatmiati, Urip Santoso, dan Lilik Pudjiastuti, Op, cit. Hlm. 41-40.

87

(11)

berada pada lintas wilayah kabupaten atau kota dalam 1 (satu) provinsi. Sedangkan Bupati atau Walikota berwenang menjatuhkan sanksi administrasi terhadap pemegang Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Bupati atau Walikota hanya berwenang menjatuhkan sanksi administrasi apabila Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) nya berada dalam 1 (satu) wilayah kabupaten atau kota.

2.3. Jenis-Jenis Sanksi Administrasi Bagi Pelanggar Ketetntuan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri

Dalam Pasal 151 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 telah ditentukan jenis pelanggaran yang dapat dijatuhkan sanksi administrasi kepada pemegang Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Izin Usaha Pertambangan (IUP), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Yang dapat dijatuhi sanksi administrasi adalah pelanggar ketentuan Pasal 40 ayat (3), Pasal 40 ayat (5), Pasal 41, Pasal 43, Pasal 70, Pasal 71 ayat (1), Pasal 74 ayat (4), Pasal 74 ayat (6), Pasal 81 ayat (1), Pasal 93 ayat (3), Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 105 ayat (3), Pasal 105 ayat (4), Pasal 107, Pasal 108 ayat (1), Pasal 110, Pasal 111 ayat (1), Pasal 112 ayat (1), Pasal 114 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 125 ayat (3), Pasal 126 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), Pasal 129 ayat (1), atau Pasal 130 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.88

Ada 3 (tiga) jenis sanksi administrasi yang dapat dijatuhkan kepada pemegang Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Izin Usaha Pertambangan (IUP), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang telah melakukan pelanggaran terhadap

88

(12)

Undang Nomor 4 Tahun 2009 khususnya pelanggar ketentuan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 151. Jenis-jenis sanksi administrasi tersebut, yaitu:89

1. Peringatan tertulis;

2. Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi; dan/atau

3. Pencabutan IPR, IUP, atau IUPK.

Berdasarkan Pasal 151 tersebut, bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 102 dan Pasal 103 yang mengatur ketentuan pengolahan dan pemurnian atau dengan kata lain bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang tidak melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebelum melakukan penjualan ke luar negeri (ekspor) dapat dijatuhi sanksi administrasi. Sanksi administrasi dapat berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi, dan/atau pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Yang mana sanksi administrasi tersebut dapat dijatuhkan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.

Bagi pembuat peraturan penting untuk tidak hanya melarang tindakan-tindakan yang tanpa disertai izin, tetapi juga terhadap tindakan-tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang dapat dikaitkan dengan suatu izin.90 Sanksi-sanksi administrasi yang khas, antara lain:91

1. Bestuurdwang (paksaan pemerintah);

2. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin, pembayaran, subsidi);

89

Pasal 151 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009

90

Philipus M Hadjon, Op,cit. Hlm. 245.

91

(13)

3. Pengenaan denda administrasi;

4. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom).

Dalam perkembangannya, sanksi administrasi mengalami perkembangan sehingga muncul jenis-jenis sanksi administrasi baru yang dapat diterapkan oleh pemerintah terhadap pelanggar, salah satu jenis sanksi administrasi tersebut adalah penghentian sementara kegiatan yang berkaitan dengan keputusan atau izin yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Pasal 151 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang mengatur tentang pemberian sanksi administrasi hanya menerapkan 3 jenis sanksi administrasi, yaitu peringatan tertulis, penghentian sementara, dan pencabutan izin. Peringatan tertulis sebagai salah satu jenis sanksi administrasi yang mana peringatan tertulis ini dilakukan terlebih dahulu sebelum menerapkan sanksi administrasi lainnya, sebagai pelaksanaan asas perlindungan hukum dan asas kepastian hukum.92 Peringatan tertulis tersebut memuat:93

1. Jenis atau peraturan yang dilanggar; 2. Perintah yang jelas;

3. Waktu pelaksanaan perintah;

4. Ditujukan kepada yang berkepentingan; dan 5. Pembiayaan pelaksanaan perintah tersebut.

Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi memiliki tujuan agar tidak terjadi pelanggaran secara terus-menerus sehingga kegiatan yang berkaitan dengan izin yang diperoleh baik sebagian atau seluruhnya dihentikan secara sementara terlebih dahulu. Pemerintah yang akan menentukan berapa lama jangka waktu penghentian sementara tersebut, dan pemegang izin dapat melakukan kegiatan eksplorasi atau operasi produksi kembali setelah habisnya jangka waktu

92

Tatik Sri Djatmiati, Urip Santoso, dan Lilik Pudjiastuti, Op, cit. Hlm. 44.

93

(14)

penghentian sementara tersebut. Selama penghentian sementara tersebut pemegang izin harus dapat memastikan dan meyakinkan pihak pemerintah bahwa tidak akan terjadi pelanggaran kembali di kemudian hari baik dengan bentuk pelanggaran yang sama atau berbeda.

Pencabutan izin atau penarikan kembali suatu keputusan tidak lain, adalah suatu keputusan baru yang menarik kembali dan menyatakan tidak berlakunya lagi keputusan yang terdahulu.94 Sebagai suatu keputusan, maka keputusan yang memuat penarikan kembali atau pencabutan izin tersebut niscaya menimbulkan akibat hukum yang baru bagi seorang warga atau badan hukum yang dikenakan keputusan tersebut.95 Dalam hal ini adalah pencabutan izin terhadap perusahaan atau pengusaha tambang.

Pencabutan izin merupakan kewenangan instansi yang menetapkan izin tersebut, dan kewenangan ini harus diatur dalam peraturan perundang-undangan.96 maka dalam hal ini yang berwenang adalah menteri ESDM, Gubernur, dan Bupati/Walikota yang menetapakan Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Terdapat dua hal terhadap suatu keputusan (ketetapan) dapat ditarik kembali:97

1. Yang berkepentingan tidak mematuhi pembatasan-pembatasan, syarat-syarat atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikaitkan pada izin, subsidi atau pembayaran;

2. Yang berkepentingan pada waktu mengajukan permohonan untuk mendapat izin, subsidi, atau pembayaran telah memberikan data yang sedemikian tidak benar atau tidak lengkap, hingga apabila data itu diberikan secara benar atau lengkap maka akan berlainan (misalnya: penolakan izin, dsb).

94

Philipus M Hadjon, Op.cit. Hlm. 259.

95

Ibid.

96

Tatik Sri Djatmiati, Urip Santoso, dan Lilik Pudjiastuti, Op.cit. Hlm. 42.

97

Referensi

Dokumen terkait

menurut Fatwa DSN NO. Tidak hanya itu, dalam fatwa tersebut juga disebutkan poin penting lainnya bahwa jumlah besarnya ganti rugi tidak boleh disebutkan dalam akad..

PROGRAM STUDY : Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat ( MIKM) Menyatakan dengan sebenarnya bahwa karya ilmiah tesis saya yang berjudul Hubungan Antara Senam Kesegaran Jasmani

Dari pemaparan mengenai kajian pemerolehan bahasa kedua dapat disimpulkan jika dalam mempelajari bahasa, yang diperlukan seorang pembelajar bukah hanya aptitude (kecerdasan

1) Keberadaan kebijakan mutu pelayanan. 2) Prosedur tentang penanganan spesimen. 3) Prosedur pemeriksaan yang lengkap. 4) Prosedur verifikasi hasil pemeriksaan. 7)

Bawang merah merupakan bumbu dapur yang sering digunakan sebagai.. bahan dasar dari sebuah

Penulis mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala Rahmat yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

Kesimpulan yang didapat dari hasil perancangan ini adalah algoritma bipartite matching dapat diterapkan pada permainan Sudoku.. Kata Kunci : Perancangan, Sudoku, Mobile

Dalam penelitian ini, zat warna yang diolah secara biosorpsi oleh suatu biakan murni jamur mati Rhizopus sp adalah zat warna RGY 6 yang merupakan zat warna reaktif dengan kromofor