• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Kualitatif Deskriptif di Yogyakarta SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Studi Kualitatif Deskriptif di Yogyakarta SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

i

Pengalaman Wanita Karir Menghadapi Status Kelajangan serta

Alasan-alasan Mereka Menunda Pernikahan

Sampai Usia 35 Tahun

Studi Kualitatif Deskriptif di Yogyakarta

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Yohanes Dody Mulyaindah NIM : 029114080

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

Love is patient, love is kind.

It does not envy, it does not boast, it is not proud.

(1 Corinthians 13:4)

And now these three remain

Faith, hope and love.

But the greatest of these is

Love.

(Corinthians 13:13)

There can be miracle, when you believe…

Kupersembahkan karya ini untuk :

Yesus Kristus dan Bunda Mariaku atas berkat, rahmat serta penyertaan-Nya

Mama dan Papa terkasih, yang oleh mereka aku dibimbing

Mbah Yut, Mbah Kung dan Mbah Ti, karena selalu mendukungku

Adikku tercinta, yang selalu buat hariku cerah ceria

(5)
(6)

vi

Pengalaman Wanita Karir Menghadapi Status Kelajangan serta Alasan-alasan Menunda Pernikahan sampai Usia 35 Tahun Studi Kualitatif Deskriptif pada 3 Wanita Karir Lajang di Yogyakarta

Yohanes Dody Mulyaindah

ABSTRAK

Penelitian ini membicarakan wanita karir lajang. Pembahasan mengenai interpretasi subjek terhadap status kelajangan dan alasannya. Subjek adalah 3 wanita yang bekerja di Yogyakarta. Peneliti menggunakan metode analisis tematik untuk menginterpretasikan data. Data menyatakan pengalaman subjek adalah tertekan untuk segera menikah, perceraian orang-tua, menikmati karir dan mampu mandiri secara finansial. Peneliti melihat bahwa alasan menunda pernikahan adalah terlalu menikmati hidupnya sekarang dan terlalu fokus pada karir. Walaupun demikian, peneliti menyimpulkan bahwa status lajang yang dipilih subjek hanya bersifat sementara sehingga dapat dikategorikan sebagai temporary voluntary. Hal ini dikarenakan subjek masih berkeinginan untuk menikah dan memiliki keturunan.

(7)

vii

The Experience of Unmarried Career Women and The Reason To Delay Their Marriage Until 35 Year Old

Descriptive Qualitative Study with Three Unmarried Career Women in Yogyakarta

Yohanes Dody Mulyaindah

ABSTRAC

This research intends to discuss the experience of unmarried career women and their interpretation to delay their marriage until 35 year old. The subjects are three working women in Yogyakarta. The researcher used thematic analytic method to interpret data. Data show that subjects experience stress to marriage soon, their parents’ divorce, the joy of their career, and sufficiency of their financial needs. The reasons to remain unmarried are to enjoy to their life and to focus to their careers. However, the researcher concludes that their status is temporary voluntary. The subjects are willing to marry and to have children.

(8)
(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat, rahmat dan penyertaanNya yang telah mengatur setiap langkah penulisan skripsi ini sehingga akhirnya dapat terselesaikan dengan baik.

Skripsi yang berjudul Pengalaman Wanita Karir Menghadapi Status Kelajangan serta Alasan-alasan Menunda Pernikahan sampai Usia 35 Tahun’ ini diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma untuk memenuhi sebagian dari syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang turut memberikan dukungan, semangat dan bantuan hingga selesainya skripsi ini :

1. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi atas ijin yang telah diberikan kepada penulis dalam melakukan penelitian.

2. Bapak V. Didik Suryo. H. S.Psi. Msi selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dengan segala kesabaran dan perhatiannya. Terima kasih ya Pak atas masukan dan koreksiannya.

3. Ibu Sylvia Carolina MYM, S.Psi.,M.Si, selaku Ketua Program Studi yang telah memberikan kelancaran penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Psikologi.

(10)

x

5. Ibu Dr. Tjipto Susana. M.Si dan Rm. Dr. A. Priyono Marwan S.J selaku dosen penguji skripsi, terimakasih banyak ya Romo dan Ibu atas kesabarannya merevisi skripsi ini.

6. Dosen-dosen Psikologi yang telah mendidik dan mengajar penulis selama menempuh bangku perkuliahan.

7. Seluruh Staff Fakultas Psikologi : Mas Gandung, Mbak Naniek, Mas Muji, Pak Giek, Mas Doni…. atas keramahan dan bantuan selama mengikuti studi di Fakultas Psikologi….Matur thank you ya……

8. Bapak dan Ibu yang tercinta, buat perhatian, kasih sayang dan support yang diberikan selama ini. Besar rasa hormat, terima kasih dan sayang penulis untuk mereka...

9. Adik-adikku, Bosil dan Kudel, terima kasih atas dukungan dan dorongan yang tiada henti-hentinya selama ini.……

10.Yus P. Pratomo… yang selalu memberikan semangat dan bimbingan...Makaci ya ....

11.Tyas Kristiani…. atas dukungan, motivasi dan bantuannya. Makasih Dok…….

12.SYP… yang sangat memberikan motivasi dan dorongan yang begitu besar hingga bisa lulus…ASBAK…

(11)

xi

14.Teman-teman angkatan 02 yang senasib dan seperjuangan…ayo cepet dikerjain skripsinya, gak usah saling menunggu….semua punya jatahnya sendiri2 kok....ayo kalian pasti bisa…semangat ya temen-temen…

15.My Bravo… makasih buat gonggongan dan kelucuan yang selalu menemaniku sampai pagi…

16.Semua subjek penelitian….terimakasih atas kesediaan teman-teman membantu kelancaran penelitian ini…..

17.Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dan dukungan, baik secara moril maupun materiil kepada penulis.

Akhir kata, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada semua pihak, apabila dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah membebani dan merepotkan. Harapan dan doa penulis, semoga Tuhan Yesus Kristus senantiasa membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini. Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan ini, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk kemudian hari. Penulis berharap karya penulisan ini dapat digunakan bagi kebaikan dan kepentingan bersama.

(12)

xii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..………. ii

HALAMAN PENGESAHAN ……….... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ………. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………. v

ABSTRAK ………... vi

ABSTRACT ……… vii

PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ………... viii

KATA PENGANTAR ……… ix

DAFTAR ISI ………... xii

DAFTAR TABEL ………... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ………... xviii

BAB I PENDAHULUAN ………... 1

A. LATAR BELAKANG MASALAH ………. 1

B. RUMUSAN MASALAH ………. 7

C. TUJUAN PENELITIAN ……….. 7

D. MANFAAT PENELITIAN ………... 7

1. Manfaat Teoritis ……… 7

(13)

xiii BAB II

TINJAUAN PUSTAKA ………. 9

A. Pengertian Wanita Lajang ……… 9

B. Kategori Hidup Melajang……….. 9

C. Alasan-alasan Penyebab Wanita Melajang ………. 11

D. Pandangan Umum tentang Wanita Melajang………... 13

E. Batasan Masa Dewasa Awal…..………... 14

F. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal……… 17

G. Pertanyaaan Penelitian ……….. 19

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……… 20

A. JENIS PENELITIAN ………..……….. 20

B. SUBJEK PENELITIAN……….. ………. 20

C. METODE PENGUMPULAN DATA ……… 21

D. KEABSAHAN DATA PENELITIAN ……….. 22

1. Kredibilitas ………..…….. 22

a. Validitas argumuntatif ………. 23

b. Validitas ekologis ……….. 23

2. Dependability ………..………… 23

a. Kohersi ……… 24

b. Keterbukaan ………... 24

c. Diskursus ……… 24

(14)

xiv

4. Transferability ……….. 25

E. METODE ANALISIS DATA ………. 25

1. Organisasi Data ……….. 26

2. Kategori dan Analisis Data ………. 26

3. Interpretasi ……….. 26

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 28

A. PENGAMBILAN DATA ……….. 28

B. HASIL PENELITIAN ……… ……… 30

1. Gambaran Diri Subjek I ………... 30

2. Gambaran Diri Subjek II ……….. 34

3. Gambaran Diri Subjek III ……… 39

4. Hasil ……….. 44

C. PEMBAHASAN ………. 44

BAB V PENUTUP ……….. 46

A. KESIMPULAN ……….. 46

B. KELEMAHAN PENELITIAN ……….. 47

C. SARAN ………... 47

(15)

xv

DAFTAR TABEL

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

1. Transkrip Wawancara Subjek I ..……. ……….…… 52

2. Transkrip Wawancara Subjek II ……… 61

3. Transkrip Wawancara Subjek III ………. 66

4. Kategorisasi Data Wawancara ……… ……… 74

5. Analisis Data Wawancara ……….. 91

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada saat ini, kita menyaksikan mulai memudarnya universalitas pernikahan sebagai karakteristik tradisional masyarakat Asia Tenggara dan Asia Timur, seperti Malaysia, Indonesia, Singapura, dan bagian selatan Thailand (Jones, 2005). Peneliti berpendapat bahwa universalitas pernikahan adalah hukum atau norma yang disepakati suatu kelompok masyarakat yang mewajibkan setiap orang, khususnya wanita, untuk menikah. Keharusan tersebut merupakan hukum atau norma yang ditetapkan oleh masyarakat. Dalam hukum atau norma tersebut, yang melanggar akan mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat.

Universalitas pernikahan pada masyarakat tradisional yang mulai memudar ini menimbulkan salah satu fenomena sosial yang sekarang semakin bertambah, yaitu wanita karir lajang. Rata-rata usia pernikahan wanita karir yang masih melajang terus meningkat dan terus berkembang dalam masyarakat saat ini. Data statistik menunjukkan angka yang terus meningkat, yaitu rata-rata usia pernikahan perempuan di Yogyakarta adalah 24 tahun pada tahun 1971 dan pada tahun 2000 rata-rata usia pernikahannya menjadi 26 tahun (Badan Statistik Nasional, 2010).

Rata-rata usia pernikahan perempuan di Yogyakarta pada usia 30-40 tahun semakin meningkat. Hal itu semakin terlihat jelas jika melihat fenomena

(18)

itu di kota-kota besar. Taraf hidup dan tingkat pendidikan serta perkembangan yang pesat memberikan kebebasan yang seluas-luasnya pada setiap orang untuk berkarya dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Pria dan wanita memiliki hak yang sama untuk menentukan jalan hidupnya. Sedangkan, Jones (2005) berpendapat bahwa pada masa universilitas pernikahan masih sangat kokoh dan tidak terbantahkan, wanita yang berusia 30-40 tahun, belum menikah atau masih melajang dipandang sebagai penyimpangan dari kehidupan yang berfokus pada keluarga.

Dari hasil penelitian Jacoby dan Bernard (1972), dibandingkan dengan pria, setelah usia tertentu, umumnya sekitar usia 30 tahun, wanita mendapat tekanan yang lebih besar untuk menikah dari orang-tua, sahabat, dan bahkan teman kerjanya. Bila hingga usia 30 tahun sang wanita tidak kunjung mendapatkan pasangan, maka biasanya orang-tua, sahabat, dan teman kerjanya mulai merancang suatu pertemuan dengan seorang pria atau mencarikan jodoh melalui rubrik biro jodoh di surat kabar untuk individu yang belum memiliki pasangan. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan mendapat perhatian yang besar dari masyarakat dan diharapkan setiap individu dewasa muda mengalaminya.

(19)

Penelitian Cockrum dan White (dalam Gordon, 2003) mencatat terdapat standar yang berbeda yang digunakan masyarakat dalam memandang laki-laki yang hidup melajang dengan wanita yang hidup melajang. Pria yang hidup melajang cenderung lebih dapat diterima dibandingkan dengan wanita melajang. Wanita melajang sering dilihat sebagai pribadi yang kurang feminin, kurang mampu mencintai dan merawat, kurang menarik secara seksual, dan lebih egois.

Baik pada budaya individualistik maupun kolektivistik, masyarakat masih belum siap menerima status atau gaya hidup melajang (Gordon, 2003). Sejak usia dini anak-anak perempuan didorong untuk berpikir bahwa hidup sebagai wanita dewasa adalah hidup dalam wadah pernikahan dan menjadi ibu. Lewis (1997) menunjukkan bahwa dalam masyarakat Indonesia tidak ada model perkembangan yang mengakomodasi menjadi matang dan lanjut usia dalam kondisi melajang.

Wanita yang dibesarkan dalam budaya kolektivistik percaya bahwa kewajiban mereka untuk berkontribusi pada keluarga merupakan peran penting mereka sebagai anggota keluarga. Pernikahan dipandang sebagai suatu cara untuk memaksimalkan sumber daya (resources) rumah tangga dan keturunan (Gordon, 2003).

(20)

stereotipnya melekat dalam diri wanita usia dewasa muda di Indonesia. Bagaimana mereka bersikap terhadap hidup melajang dipengaruhi oleh sikap masyarakat terhadap hidup melajang ini, mengingat sikap terbentuk oleh karena adanya karakteristik permintaan, yaitu tanda-tanda perseptual, baik implisit maupun eksplisit, tentang sikap yang diharapkan dalam suatu situasi tertentu yang coba dikomunikasikan (Deaux, 1981). Dengan demikian, dapat diperkirakan sikap wanita dewasa muda terhadap hidup melajang akan cenderung negatif.

Hasil penelitian Blakemore, Lawton, dan Vartanian (dalam Gordon, 2003) menunjukkan bahwa dibandingkan dengan pria, wanita memiliki keinginan yang lebih tinggi untuk menikah. Dorongan ini muncul karena hingga saat ini wanita masih ingin memenuhi tuntutan tradisional mereka, yaitu menjadi istri dan ibu.

(21)

perempuan tertua memiliki makna melayani para pria dalam keluarga dan merawat saudara-saudara yang lebih muda atau bekerja untuk menyokong perekonomian keluarga. Alasan terakhir, yakni kurangnya peminang yang sesuai dengan harapan mereka, menunjukkan bahwa kebanyakan pria keturunan Asia menginginkan wanita yang penurut dan submissive seperti ibu mereka, sementara para wanitanya menginginkan pria yang mau berbagi tanggungjawab dalam mengelola rumah tangga dan merawat anak.

Penelitian yang dilakukan Craig (dalam Doris, 2000) menunjukkan bahwa keputusan untuk tidak menikah merupakan hasil pertimbangan yang matang antara kebebasan dan kekangan yang akan dicapai dengan hidup melajang. Di lain pihak, juga merupakan pertimbangan antara kemandirian dan ketergantunganyang akan diperoleh dengan hidup menikah. Mereka yang tidak menikah akan memiliki kebebasan dan mampu memenuhi kebutuhan serta keinginannya. Sedangkan bagi mereka yang menikah akan terikat dalam sebuah perkawinan dan bergantung satu sama lain dan pihak-pihak yang terlibat sebagai keluarganya. Pilihan untuk menikah atau tidak menikah sama-sama memberikan keuntungan, tergantung pada nilai apa yang ingin dicapai individu. Namun, karena tidak mungkin baginya memiliki semuanya itu sekaligus, maka individu harus memilih, kebebasan dan kemandirian atau kekangandan ketergantungan.

(22)

kebutuhannya. Sedangkan kekangan dan ketergantungan membuat individu yang terkait didalamnya untuk saling memberi dan menerima serta saling mendukung dalam wadah pernikahan.

Alasan-alasan tersebut menunjukkan bahwa hidup melajang bukanlah suatu pilihan yang negatif, nilai hidup yang hendak dipenuhi dengan hidup melajang sama berharganya dengan nilai hidup yang hendak dipenuhi dengan menikah. Namun demikian, tidak dapat dihindari bahwa sampai saat ini norma sosial yang menuntut wanita untuk menikah masih berlaku. Berdasarkan norma tersebut, saat seseorang memutuskan untuk tidak menikah maka ia akan dinilai telah melanggar suatu hukum, dan kemudian masyarakat akan memandang orang tersebut secara negatif bahkan memperlakukannya secara diskriminatif (Gordon, 2003).

(23)

untuk hidup melajang tidak lagi hanya merupakan dominasi kaum laki-laki. Sehingga fenomena ini kemudian dapat diinterpretasikan sebagai patut untuk dilihat dan diteliti.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka pertanyaan penelitian yang diajukan sebagai berikut:

Bagaimana pengalaman wanita karir dalam menghadapi status kelajangan serta alasan-alasan yang mempengaruhinya?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat alasan-alasan wanita karier dewasa dalam memilih hidup melajang atau menunda pernikahannya. Selain itu, penelitian ini juga ingin menginterpretasikan fenomena sosial tentang wanita karier lajang sebagai gaya hidup terkini yang lebih bersifat temporary

atau sementara.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

(24)

melajang atau menunda pernikahan pada wanita karier dewasa dengan melihat kompleksitas dari fenomena yang terjadi saat ini. Serta melihat fenomena sebagai gaya hidup yang akan terus berubah sesuai perkembangan jaman.

2. Manfaat Praktis

(25)

BAB II LANDASAN TEORI

Pada bab II ini membahas perihal landasan teori sebagai acuan penelitian. Hal-hal yang akan dibahas adalah pengertian tentang wanita lajang, kategori hidup melajang, alasan-alasan penyebab wanita melajang serta pandangan umum tentang wanita lajang. Selain itu, batasan serta tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa awal dibahas guna memberikan acuan dalam menentukan subjek penelitian. Akhir bab ini berisi pertanyaan-pertanyaan penelitian yang akan dijawab sebagai hasil penelitian.

A. Pengertian Wanita lajang

Orthner (1981) mendefinisikan lajang sebagai gaya hidup yang berorientasi pada tidak berpasangan, tidak berkaitan atau menjauhi suatu hubungan. Sedangkan wanita adalah berjenis kelamin wanita, bukan laki-laki. Jadi wanita lajang adalah wanita yang memiliki gaya hidup tidak berpasangan, tidak terkait atau menjauhi suatu hubungan.

B. Kategori Hidup Melajang

Orthner (1981) berpendapat bahwa hidup melajang memiliki 2 kategori. Kategori pertama meliputi mereka yang belum menikah dan pernah menikah tetapi kemudian berpisah. Melajang pada kategori pertama bersifat sementara. Ketegori kedua meliputi mereka yang memang memilih melajang dengan

(26)

keinginannya sendiri dan lebih bersifat tetap.

M. Laswell dan T. Laswell (1987) berpendapat bahwa melajang hanya sebagai suatu masa yang sifatnya temporary (sementara) yang biasanya berlangsung sebelum menikah, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Namun Saxton (1986) membagi kategori melajang tidak hanya bersifat

temporary tapi juga yang bersifat stabil. Stein (1981) membagi hidup

melajang menjadi empat kategori, yakni: (1) temporary voluntary, (2)

temporary involuntary, (3) stable voluntary, dan (4) stable involuntary.

Ketegori menurut Stein (1981) dipandang paling lengkap sehingga kategori inilah yang digunakan dalam penelitian ini.

Tabel 1

Kategori Melajang

Voluntary Involuntary

Temporary Stable Temporary Stable

Tidak pernah menikah dan pada awalnya ingin menikah tapi tidak secara aklif mencari atau mereka yang memenuhi dan sedang aktif mencari pasangan yang lebih cerah. Menyetujui konsep

Tidak pernah menikah dan berharap untuk menikah tapi lebih menyerahkan pada kemungkinan dan penerimaan

singlehood sebagai kehidupan yang memungkinkan baginya.

(27)

Voluntary Involuntary

Temporary Stable Temporary Stable

Termasuk mereka yang samen laven

→ tapi berharap untuk menikah suatu hari nanti (bisa dengan pasangan saat ini bisa juga dengan orang lain) yang janda dan cerai tapi masih ingin menikah lagi (single parents). yang sangat kecil, misalnya gila, cacat.

(Stein, 1981)

C. Alasan-alasan Penyebab Wanita Melajang

(28)

untuk meningkatkan jenjang karier, kebebasan untuk mengubah dan melakukan percobaan dalam pekerjaan dan gaya hidup, mempunyai kepercayaan bahwa mobilitas sosial akan lebih mudah diperoleh apabila dalam keadaan lajang daripada sudah menikah, persahabatan dengan anggota kelompok seks yang sejenis dan yang begitu kuat serta memuaskan, dan alasan homoseksual atau lesbian.

Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh Stein (1981) dikemukakan beberapa alasan yang mendorong seseorang untuk melajang, antara lain: memiliki kesempatan berkarir, kebebasan untuk berubah dan mobilitas, otonomi secara psikologis dan sosial, serta ketidaktergantungan secara ekonomi.

(29)

atau tidak menikah. Sehingga keputusan menikah atau tidak menikah adalah suatu pilihan. Penelitian lain lagi tentang wanita lajang didapatkan bahwa sikap terhadap hidup melajang menimbulkan kecemasan akan ketidakhadiran pasangan. Hidup melajang bagi seorang wanita dalam penelitian di atas dipandang sebagai sikap yang negatif dan akan menimbulkan kecemasan. Beberapa penelitian tentang wanita lajang yang dilakukan di Indonesia ini dapat dilihat beberapa alasan yang dapat membentuk wanita untuk memilih hidup melajang, antara lain persepsi tentang perkawinan, norma yang berlaku, tekanan sosial.

D. Pandangan Umum tentang Wanita Lajang

Bell (1978) mengungkapkan beberapa stereotip negatif dari wanita melajang. Stereotip itu antara lain adalah individu yang tidak mempunyai pasangan, sendirian, dan tidak lengkap, seseorang yang bergerak melawan kekuatan norma perkawinan yang diharapkan dicapai oleh orang dewasa pada umumnya. Hal ini menyebabkan wanita melajang dipandang sebagai individu yang tidak pantas tinggal dalam masyarakat.

(30)

masyarakat terdapat pandangan bahwa wanita yang melajang adalah wanita yang tidak berhasil dipilih atau "tidak laku", karena itu sering terdengar julukan "perawan tua" untuk wanita yang tetap melajang. Wanita melajang adalah orang yang tidak menarik karena ia gagal memikat pria untuk dijadikan pelindungnya, seperti yang dipaparkan oleh Stein (1981). Tidak mengherankan jika wanita lajang lebih dipandang negatif daripada pria lajang karena wanita harus menikah dan dapat hidup layak dengan diberi nafkah oleh pria yang mendominasi bidang ekonomi. Sehingga wanita yang tidak atau belum menikah akan dipandang tidak menarik, tidap sepadan atau tidak berkompeten. Wanita tersebut dipandang sebagai makhluk yang rendah atau tidak patut dihargai.

E. Batasan Masa Dewasa Awal

(31)

Pada umumnya, penentuan kedewasaan seseorang akan didasarkan pada perubahan-perubahan fisik dan psikologis tertentu. Dalam hal ini, Hurlock (1990) membagi masa dewasa menjadi 3 periode: (a) Masa Dewasa Awal (18 - 40 tahun). Pada masa ini, perubahan-perubahan yang tampak antara lain perubahan dalam hal penampilan, fungsi-fungsi tubuh, minat, sikap serta tingkah laku sosial; (b) Masa Dewasa Madya (40 - 60 tahun). Pada masa ini, kemampuan fisik dan psikologis seseorang terlihat mulai menurun. Usia dewasa madya merupakan usia transisi dari masa dewasa ke masa tua. Transisi itu terjadi baik pada fungsi fisik maupun psikisnya; (c) Masa Dewasa Lanjut (60 -meninggal). Pada masa dewasa lanjut, kemampuan fisik maupun psikologis menurun drastis.

Menurut Hurlock (1990) ciri-ciri masa dewasa awal adalah sebagai berikut :

1. Masa dewasa awal sebagai masa bermasalah. Sejak awal masa dewasa, individu dihadapkan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan penyesuaian diri dalam pelbagai aspek utama kehidupan orang dewasa. Masalah-masalah yang dihadapi orang muda sangatlah rumit dan memerlukan proses sehingga pelbagai penyesuaian diri tidak dapat dilakukan dalam waktu yang bersamaan dan proses penyelesaiannya. 2. Masa dewasa awal sebagai masa ketegangan emosional. Kekhawatiran

(32)

mampu mengatasi masalah-masalah utama dalam kchidupan tersebut rnaka akan terganggu secara emosional.

3. Masa dewasa awal sebagai masa keterasingan mental. Pada masa dewasa awal, individu diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan pola kehidupan baru, yaitu: karier, perkawinan dan rumah tangga. Ketika individu menempuh hidup baru, maka hubungan dengan teman-terman sebaya menjadi renggang. Bersamaan dengan hal tersebut, keterlibatan dengan kegiatan kelompok diluar menjadi berkurang. Akibatnya adalah muncul rasa kesepian.

4. Masa dewasa awal sebagai masa untuk membangun komitmen. Memasuki masa dewasa awal, individu mulai membuat pola-pola kehidupan baru dan membuat komitmen-komitmen baru. Pada masa ini, individu memutuskan membangun komitmen untuk selamanya. Individu yang telah memutuskan untuk menikah dan menjadi orang-tua maka akan menjadi orang-tua untuk selamanya.

(33)

6. Masa dewasa awal sebagai masa perubahan nilai. Pada masa ini, individu akan mengadakan perubahan nilai. Perubahan ini dilakukan agar individu dapat diterima oleh individu dewasa lainnya.

7. Masa dewasa awal sebagai masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru. Di antara pelbagai penyesuaian diri yang dilakukan orang muda terhadap gaya hidup baru yang paling umum dilakukan adalah penyesuaian terhadap pola peran seks atas dasar persamaan derajat yang menggantikan pola tradisional dan pola baru dalam kehidupan berkeluarga, yaitu: perceraian, orang-tua tunggal dan pelbagai masalah pekerjaan.

8. Masa dewasa awal sebagai masa kreatif. Pada masa ini tergantung pada minat dan kemampuan individu, kesempatan untuk mewujudkan keinginan dan kegiatan-kegiatan yang memberikan kepuasan sebesar-besarnya.

F. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal

Havighurst (1972) menunjukan tugas-tugas perkembangan masa dewasa awal adalah sebagai berikut:

(34)

2. Belajar hidup bersama dengan suami atau istri. Masing-masing individu mulai menyesuaikan pendapat, keinginan dan minat dengan pasangan hidupnya.

3. Mulai hidup dalam keluarga atau hidup berkeluarga. Dalam hal ini, masing-masing individu sudah mulai mengabaikan keinginan atau hak-hak pribadi. Kebutuhan atau kepentingan yang utama adalah keluarga.

4. Dituntut adanya kesamaan cara dan faham. Anak tidak merasa bingung harus memlih mcngikuti cara ayah atau ibunya. Oleh karena itu, suami istri harus menentukan cara mendidik anak-anaknya.

5. Mengelola rumah tangga. Pengelolaan rumah tangga menuntut ada keterbukaan antara dua pihak, yaitu suami dan istri. Hal ini untuk menghindari konflik dalam rumah tangga.

6. Mulai bekerja dalam suatu jabatan. individu yang sudah memasuki masa dewasa dituntut untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Dalam pekerjaannya tersebut, individu dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

7. Mulai bertanggungjawab sebagai warga negara yang baik. Individu yang dewasa berhak untuk menentukan cara hidupnya sendiri, memilih wakil-wakilnya dalam pemerintahan dan menjalankan kewajibannya sebagai warga negara.

(35)

G. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan teori-teori yang telah dipaparkan sebelumnya maka peneliti ingin melihat :

1. Bagaimanakah pengalaman wanita karir terhadap status kelajangannya hingga usia di atas 35 tahun?

2. Apa saja alasan yang mempengaruhi wanita karir untuk tetap melajang hingga usia di atas 35 tahun?

(36)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Peneliti menggunakan metode kualitatif deskriptif sebagai upaya untuk mendapatkan data-data yang rinci dan komprehensif untuk mengetahui pengalaman wanita karir dalam menghadapi status lajang serta alasan-alasan yang mempengaruhinya. Poerwandari (2001) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkrip wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini, data yang diperoleh berupa transkrip wawancara.

B. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah 3 orang wanita yang telah bekerja atau sedang meniti karir, masih melajang dan belum pernah menikah sebelumnya. Ketiga subjek dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan teknik snowball atau

chain sampling. Antara subjek satu dengan berikutnya masih terkait satu sama lain sebagai teman yang direferensikan oleh subjek sebelumnya. Penentuan subjek ini dilakukan dengan berdasarkan pada pertimbangan akan ketersediaan subjek untuk berpartisipasi dan bekerja sama dalam penelitian ini. Teknik ini digunakkan berdasarkan pertimbangan bahwa tidak semua wanita karir yang melajang dapat berpartisipasi secara aktif dan kooperatif

(37)

dalam penelitian ini. Mereka belum tentu dapat menceritakan tentang pengalaman melajang yang dialami secara bebas dan terbuka.

Tabel 2

Data Subjek Penelitian

Subjek Inisial Pekerjaan Usia Status

1. El Bidang jasa, Swasta 35 tahun Lajang 2. Nv Bidang jasa, Swasta 37 tahun Lajang 3. CM Guru play-group, Swasta 35 tahun Lajang

C. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Metode yang relevan digunakan dalam pengambilan data ialah wawancara. Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab untuk memperoleh informasi tertentu. Wawancara dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu terkait dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut (Banister 1994).

(38)

Pedoman wawancara yang dipakai dalam penelitian ini adalah pertanyaan penelitian no 1 dan no 2 pada akhir bab II. Dalam proses wawancara, subjek akan diminta untuk bercerita dan peneliti hanya akan menanggapi dan meminta konfirmasi atas apa yang telah diceritakan oleh subjek. Pertanyaan-pertanyaan diajukan hanya untuk mempertegas dan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini.

D. Keabsahan Data Penelitian

1. Kredibilitas

Dalam penelitian kualitatif, kredibilitas, sebagai ganti dari istilah validitas, merujuk pada kualitas penelitian kualitatif. Kredibilitas dalam penelitian kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks. Deskripsi yang mendalam menjelaskan kemajemukan atau kompleksitas aspek-aspek yang terkait dan interaksi dari pelbagai aspek, itulah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif (Poerwandari, 2001).

(39)

a) Validitas argumentatif

Validitas argumentatif tercapai bila presentasi temuan dan kesimpulan dapat diikuti dengan baik rasionalnya, serta dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah.

Sedangkan untuk mencapai validitas argumentatif, peneliti mendiskusikan hasil penelitian ini dengan orang lain, terutama dosen pembimbing.

b) Validitas ekologis

Validitas ekologis menunjukkan sejauh mana studi dilakukan pada kondisi alamiah subjek yang diteliti sehingga justru kondisi ‘apa adanya’ dan kehidupan sehari-hari menjadi konteks penting dalam penelitian.

Dalam penelitian ini, pengambilan data melalui wawancara dilakukan sealami mungkin. Peneliti tidak menciptakan kondisi atau mengkondisikan suasana penelitian sesuai dengan yang diharapkan peneliti, tetapi peneliti membiarkan suasana penelitian itu berjalan apa adanya. Hal ini dilakukan untuk mencapai validitas ekologis, karena validitas ekologis menunjukkan sejauh mana studi dilakukan pada kondisi alamiah dari subjek yang diteliti.

2. Dependability

(40)

a. Koherensi adalah metode yang dipilih untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

b. Keterbukaan adalah sejauh mana peneliti membuka diri dengan memanfaatkan metode-metode yang berbeda untuk mencapai tujuan. c. Diskursus adalah sejauh mana dan sesensitif apa peneliti

mendiskusikan temuan dan analisisnya dengan orang lain.

Dependability dalam penelitian ini diperoleh dengan melakukan beberapa cara. Salah satunya adalah dengan menentukan metode dalam pengambilan data. Peneliti yakin bahwa metode pengambilan data yakni wawancara dengan cara bercerita dapat mencapai tujuan dalam penelitian ini. Metode wawancara sangat tepat digunakan karena penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif yang mengolah data transkrip wawancara.

3. Conformability

Conformability atau konformabilitas menggantikan konsep

objektivitas. Dalam hal ini, penekanannya adalah temuan penelitian dapat dikonfirmasikan. Poerwandari (2001) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif yang lebih penting adalah objektivitas dalam pengertian transparansi, yaitu kesediaan peneliti mengungkapkan secara terbuka proses dan elemen-elemen penelitiannya sehingga memungkinkan pihak lain melakukan penilaian.

(41)

pihak lain untuk melakukan penelitian serupa. Tahap ini dilakukan untuk mencapai conformability karena conformability atau konformabilitas sebagai pengganti istilah objektivitas dapat dicapai jika hasil dari penelitian dapat dikonfirmasikan.

4. Transferability

Dalam penelitian kualitatif transferability menggantikan konsep generalisasi. Poerwandari (2001) menjelaskan bahwa transferability

menjelaskan sejauh mana suatu penelitian yang dilakukan pada suatu kelompok tertentu dapat diaplikasikan pada kelompok lain. Yang perlu diperhatikan adalah setting dan konteks penerapan hasil studi haruslah relevan, atau memiliki banyak kesamaan dengan setting penelitian dilakukan. Oleh karena itu upaya untuk menerapkan hasil penelitian pada kelompok yang berbeda lebih merupakan tanggung jawab peneliti lain yang ingin mencoba membuktikannya.

E. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan untuk analisis data verbatim hasil wawancara adalah analisis isi atau content analysis. Suryabarata (1988) mengatakan bahwa data deskriptif dianalisis menurut isinya. Oleh karena itu analisis macam ini disebut analisis isi.

(42)

1. Organisasi Data

Pada dasarnya, organisasi data merupakan tahap awal dari pengolahan dan analisis data. Organisasi data dilakukan agar peneliti dapat memperoleh kualitas data yang baik, dapat mendokumentasikan analisis yang dilakukan serta dapat menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian ini. Data yang diorganisasikan antara lain data mentah berupa verbatim hasil wawancara, yang pada awalnya berupa file rekaman. Kemudian diubah menjadi data verbatim. Dan setelah itu data-data yang sudah dikategorisasikan.

2. Kategorisasi dan Analisis Tematik

Setelah data verbatim tersebut siap dalam kolom yang terbagi menjadi ringkasan kategorisasi data wawancara, pengalaman/alasan dan tema, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis tematik. Analisis ini digunakan untuk mencari pola dari data yang ada. Poerwandari (2001) mengatakan bahwa analisis tematik merupakan proses mengkode informasi atau data yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema atau indikator yang komplek, kualifikasi yang biasanya terlihat dengan itu, atau hal-hal diantara/gabungan dari yang telah disebutkan. Tema ini diharapkan dapat mendeskripsikan fenomena data hasil penelitian ini, maupun digunakan untuk menginterpretasikan data hasil penelitian ini.

3. Interpretasi

(43)
(44)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Pengambilan data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan cara bercerita sehingga data yang diperoleh dari subjek penelitian berupa hasil wawancara. Subjek dari penelitian ini berjumlah tiga orang wanita lajang yang sudah bekerja dan sedang meniti karir. Ketiga orang subjek bekerja pada perusahaan swasta yang terdiri dari dua orang pada bidang jasa dan satu orang pada bidang pendidikan sebagai guru taman kanak-kanak

Wawancara dilakukan pada sore atau malam hari. Hal ini dilakukan karena subjek adalah wanita yang bekerja dan hanya memiliki waktu luang pada sore atau malam hari. Tempat yang dipilih oleh peneliti untuk memperoleh data dari subjek penelitian ditentukan oleh subjek penelitian. Hal ini dilakukan agar subjek memilih tempat yang paling nyaman baginya sehingga tidak merasa canggung dan dapat bercerita dengan leluasa serta bebas. Tempat yang dipilih subjek penelitian adalah tempat kost atau rumah tinggal.

Pengambilan data wawancara diperoleh dengan menggunakan alat perekam berupa mp3 sehingga hasil suara yang didapatkan dapat diinput ke dalam dan didengarkan melalui komputer. Selanjutnya data suara tersebut akan diverbatimkan untuk kemudian data dapat dianalisa.

(45)

Wawancara berlangsung satu kali pada setiap subjek dengan durasi antara 20 sampai 30 menit. Wawancara dimulai dengan raport yang dilakukan oleh peneliti. Raport ini berfungsi untuk menciptakan suasanya yang nyaman dan tidak tegang. Peneliti mengungkapkan tujuan serta maksud dari wawancara yang akan dilakukan pada setiap awal mulai dan pada ketiga subjek penelitian. Setelah itu peneliti meminta subjek untuk menceritakan pengalaman ataupun alasan-alasan yang menyebabkan subjek memilih untuk melajang hingga sekarang.

Peneliti juga mencatat bahasa tubuh yang muncul pada diri subjek. Hal ini digunakan peneliti untuk melihat reaksi subjek ketika mereka bercerita atau menanggapi pertanyaan peneliti. Dari hasil catatan peneliti didapatkan bahwa subjek dapat bercerita dengan santai dan bebas. Subjek tidak merasa tertekan dan tegang. Didapatkan pula beberapa tindakan ekspresif yang dilakukan subjek dalam mengungkapkan atau menceritakan pengalamannya. Tindakan ekspresif ini lebih dominan pada kejadian-kejadian yang dialami atau ungkapan-ungkapan yang mengecewakan atau menekan subjek secara psikologis. Peneliti melihat bahwa tindakan ekspresif ini sebagai bentuk penegasan dari subjek akan pengalaman yang ia ceritakan tersebut.

(46)

peneliti dan subjek. Dengan hubungan personal yang positif ini, subjek akan dapat lebih bercerita secara bebas dab terbuka.

B. Hasil Penelitian

Hasil wawancara yang telah dilakukan dalam penelitian ini terhadap tiga orang subjek didapatkan hasil sebagai berikut :

1. Gambaran Diri Subjek I

Subjek adalah wanita karir yang bekerja pada perusahaan jasa swasta di Yogyakarta. Usia subjek saat wawancara adalah 35 tahun. Subjek adalah orang jawa keturunan cina. Ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara dan semuanya wanita. Kedua kakaknya telah menikah dan telah memiliki anak.

Subjek merasa tuntutan pekerjaan yang berat, banyak menyita waktunya. Hampir seluruh waktu dihabiskan oleh subjek untuk meniti karir. Subjek I merasa bahwa tuntutan pekerjaannya mengakibatkan ia sedikit sekali memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Untuk memikirkan mencari pasangan dan untuk menikah saja subjek sampai merasa tidak memiliki waktu yang cukup.

“kalo sebenarnya sich karena keadaan ya…keadaan…mungkin karena

…pertama karena saya sudah bekerja. Dengan kondisi pekerjaan yang full

jadi yah aku jadi g sempat mikir ..gini karena apalagi mikir pernikahan

(47)

Walaupun subjek sudah mencoba untuk mencari pasangan hidup tetapi masih seringkali mengalami kegagalan. Subjek merasa bahwa mencari pasangan hidup tidak mudah.

“Iya…beberapa kali sich sudah mencoba…tapi masih susah sepertinya

ya”

Mencari pasangan hidup tidak semudah membalikkan telapak tangan. Hal tersebut membutuhkan waktu. Dan suatu hubungan tidaklah seperti sebuah barang, yang setelah didapatkan harus disimpan. Hubungan dengan pasangan adalah suatu proses bersama yang membutuhkan waktu. Waktu untuk bersama guna proses saling mengenal dan memahami.

“untuk membina..butuh untuk membina sebuah hubungan itu..jadi bukan

seperti…memiliki sebuah barang…sudah punya trus disimpen…kalau

hubungan itu khan harus countinue…entah itu countinue

berkomunikasi…countinue untuk bertemu”

(48)

untuk segera menikah. Orang-tuanya cukup sering menanyakan perihal pernikahan.

“kamu sudah menikah..eh…sudah bekerja…trus kapan menikah…harapan

orang-tua. Saya juga….oh ya…. Saya sudah mulai bekerja”

Kakaknya yang telah menikah dan memiliki dua orang anak juga sering menanyakan hal yang sama dengan orangtuanya perihal menikah.

“dia juga…ee…mengutarakan alasan dia kenapa saya harus cepat

menikah…sehubungan sama kakak saya itu khan masalah…apa

namanya…segi medislah…sudah umur 35, nanti kakau tidak punya anak

gimana”

Subjek merasa bahwa pada awalnya pertanyaan-pertanyaan dari orang-tua dan kakaknya sebagai bentuk perhatian akan dirinya. Subjek belum menunjukkan tanda-tanda akan menikah sehingga pertanyaan-pertanyaan yang muncul sebagai bentuk perhatian dan kekuatiran mereka. Tetapi lama kelamaan hal tersebut dirasakan subjek sebagai tuntutan. Subjek merasa demikian karena pertanyaan tersebut menjadi semakin sering ditanyakan dan berulang-ulang.

“Tapi lama kelamaan jadi sepertinya menuntut…ya mungkin perkiraan

(49)

bertambah…kok belum ada tanda-tanda saya akan menikah…mungkin

jadi sering ditanyakan…yah dari biasa itu…yah jadi sebel…sebel…”

Subjek merasa bahwa dalam budaya Jawa, menikah merupakan kewajiban bagi anak perempuan dan orang-tuanya. Orang-tua dalam budaya jawa dikatakan berhasil atau selesai tugas dan tanggung jawabnya terhadap anak perempuannya jika telah menikahkannya. Sehingga walaupun anak perempuannya telah bekerja dan mandiri, tanggung jawab orang-tua masih tetaplah ada.

“istilahnya khan…kalo budaya Jawa sich…pikirannya orang-tua

merasa…merasa…merasa anaknya sudah mentas…mentas itu ternyata

tidak dalam artian sudah bekerja…sudah mandiri tapi ternyata…setelah

menikah”

Subjek juga memiliki keinginan untuk menikah dan memiliki anak. Hanya saja tuntutan pekerjaan dan sulitnya memperoleh pasangan yang mengakibatkan subjek menunda pernikahan.

“siapa sich yang tidak pengen nikah…nggak pengen punya anak. Tapi

(50)

Sehingga subjek lebih memilih untuk menghindari perdebatan dengan orang-tua dan kakaknya dengan diam atau pergi untuk sementara waktu mencari hiburan sendiri atau bersama teman-teman..

“karena ditanyain seperti itu…biasanya saya sering…sering

keluar…sering saya mencari hiburan…yang terutama habis…setelah

ditanyain, ditanyain tentang hal itu…pasti bisa…ee…1 hari, 2 hari atau 3

hari…saya pulang kerja langsung mampir kemana…cari hiburan sama

teman-teman…ntar pulang malem…langsung tidur…besok pagi,

berangkat pagi…jadi…ee…saya menghindari untuk…untuk berbicara

langsung dengan ibu saya…itu…mungkin yah…saya…bayangan saya

…kalau …kalau nanti…ada kesempatan berbicara…mesti ibu saya tanya

itu lagi. Untuk menghindar paling…beberapa hari…saya…menyibukkan

diri…”

2. Gambaran Diri Subjek II

Subjek adalah seorang wanita karir yang bekerja pada perusahaan swasta di Yogyakarta. Saat wawancara subjek berusia 37 tahun. Ia merupakan anak tunggal. Subjek harus kost karena subjek tidak berasal dari Yogyakarta dan dapat dekat dengan tempat ia bekerja..

(51)

“sekarang,,mm ngomongin juga ya..di sekarang ya ga jelek2 banget ya

ga bagus-bagus amat...”

Dalam kehidupan karirnya, subjek merasa banyak waktu yang dicurahkan untuk fokus pada dunia karir. Sehingga menjadi sangat sulit atau tidak memiliki waktu lagi untuk berpikir untuk menikah atau segera menikah.

“waktunya waktu dlm hdp sekarang sudah habis di juga... waktu dalam

24 jam itu brp ya dod..berapa ya 10 jam lebih itu sudah untuk

pekerjaan…jadi untuk berpikir ke situ jadi ya ga ada waktu”

Selain dunia karir subjek yang memakan banyak waktu dalam hidupnya, ia merasa bahwa dirinya masih menikmati hidup sendiri. Subjek belum memiliki keinginan yang kuat untuk menikah atau berkeluarga.

“mmm..apa ya..alesannya satu…memang belum berkeinginan banget gitu

untuk berkeluarga...”

(52)

“ya tekanan-tekanan itu ya ada, normal pasti ada apalagi dari orangtua

tapi ya ga terlalu memaksakan untuk apa ya cepet-cepet gitu... tekanan itu

pasti ada tapi ya itu bagaimana kita mengolah tekanan itu menjadi tidak

menjadi tekanan yang bener2 bikin stress, bikin orang berpikir gimana

gitu…”

Subjek merasa bahwa menikah tidak dapat menjamin hidupnya akan bahagia. Subjek tidak melihat bahwa dengan menikah hidupnya akan lebih baik atau bahagia dari kehidupannya saat ini. Subjek sudah sangat menikmati hidupnya saat ini. Dalam karir maupun kehidupan pribadi sehari-hari, subjek sudah sangat senang dan bahagia.

“apakah ketika saya menikah nanti saya akan lebih bahagia dibanding

dengan saya melajang sekarang... sekarang dengan saya seperti ini saya

sudah senang…dalam arti saya sudah bisa mencukupi kebutuhan saya

sekarang, dalam artian saya senang bisa menikmati hidup saya sekarang,

intinya saya sudah menikmati..hidup saya tidak penuh tekanan..jadi

sekarang saya berpikirnya apakah dengan saya menikah nanti hidup saya

akan lebih baik, dalam arti bahagia daripada sekarang?”

(53)

“kemudian orangtua tanya kenapa kamu belum mau menikah, apa

alasannya, sampai kapan kamu mau sendiri terus..kamu ga boleh dong

selamanya kamu hanya memikirkan diri kamu sendiri...kamu ga boleh

dong seperti itu…mau sampai kapan seperti itu? Kamu juga harus

memikirkan suatu hubungan, kamu juga harus memikirkan umur kamu

sekarang sudah berapa? Sampai kapan kamu bisa produktif mencari uang

sampai umur berapa? Kamu juga harus memikirkan itu dong…”

Subjek juga tidak merasa bahwa nasihat orang-tuanya sebagi tekanan untu segera menikah. Hal tersebut memang hanya menjadi bahan pemikiran dan permenungan diri subjek sendiri.

“kalo saya hal itu tidak menjadikan itu tekanan bagi saya..hanya bahan

pemikiran memang saya sudah harus menikah...saya harus merubah pola

pikir saya kalau saya sekarang sudah menikmati hidup saya, itu yang

harus pelan-pelan saya rubah dari sekarang karena ya itu tadi saya butuh

keturunan, butuh membahagiakan orang-tua juga…”

(54)

menjadi pengaruh besar dalam diri subjek untuk memutuskan hidup melajang hingga saat ini.

“Ya itu backgroundnya intinya gini…keluarga saya tidak bahagia…dalam

artian ibu saya ditinggalkan.. nah itu karena..ya 75…80% lah bisa

dipengaruhi dari background keluarga...”

Latar belakang keluarga seperti itu membuat diri subjek berpikiran bahwa menikah bukanlah jaminan kebahagiaan. Menikah belum tentu dapat membahagiakan dirinya. Sehingga keputusan untuk menikah adalah keputusan juga untuk siap sakit dan tidak bahagia.

“mmm suatu saat saya pernah berpikir begini...suatu saat ketika saya

menikah nanti..saya harus menyiapkan diri saya untuk sakit, beda dengan

bahagia...semua orang siap kan untuk bahagia, tapi tidak dengan sakit

kan? orang kan ga siap untuk sakit? Jadi kalo pun saya bersedia untuk

menikah saya harus sudah siap dengan itu..”

Sehingga saat ini subjek masih tetap memutuskan untuk hidup melajang dan sudah bahagia dengan hidupnya sekarang.

“mungkin itu yang membuat saya sampai sekarang masih menikmati

(55)

3. Gambaran Diri Subjek III

Subjek adalah seorang guru play-group swasta di Yogyakarta. Saat wawancara subjek berusia 35 tahun. Subjek adalah anak sulung dari tiga bersaudara karena subjek berasal dari luar Yogyakarta maka ia memilih untuk kost.

Subjek terlihat memiliki kepribadian yang bebas dan santai. Sehingga ia tidak merasa pekerjaannya banyak menyita waktu. Sehingga pekerjaan subjek sebagai guru tidak mempengaruhinya dalam keputusan hidup melajang hingga saat ini. Keputusan melajang subjek dikarenakan dirinya masih sangat menikmati kehidupannya sekarang.

“ga..ga ada..ga ada hubungannya dengan pekerjaan. Masih enjoy dengan

semuanya, ya semua hal lah. Di pekerjaan masih enjoy, di keluarga juga

enjoy, hubunganm dengan teman2 juga masih enjoy...”

Tekanan-tekanan untuk segera menikah tidak dirasakan subjek bahkan dapat dikatakan tidak ada tekanan dari luar agar dirinya segera menikah.

“Tekanan? Mmm.. belum sih..soalnya juga ni sih kebetulan juga mungkin

karena orang-tua juga santai ga terlalu maksa jadi gini kalau dari

anaknya juga ga mulai untuk membahas orangtua juga ga

(56)

Subjek belum ingin untuk segera menikah hingga saat ini dikarenakan dirinya merasa belum siap menghadapi pernikahan.

“yang pertama sih emang belum pengen..persiapan mental belum ada,

persiapan material..eh apa namanya persiapan materi juga belum

ada..secara materi juga belum ada...”

Kegagalan dalam menjalin suatu hubungan juga pernah dialami subjek. Walaupun hal ini tidak banyak mempengaruhi keputusan subjek untuk tetap melajang. Kegagalan dalam hubungan ini lebih dikarenakan dirinya yang belum siap dan merasa belum yakin.

“kebetulan juga kemarin itu kemarin juga dalam hubungan gagal..tapi

..ya sebenernya bukan masalah itu aja sih..bukan masalah itu..sebenernya

bukan masalah komitmen..kemarin itu juga sebenernya dia udah mau

serius, Cuma karena satu dan lain hal, saya yang memutuskan untuk

..ini..untuk..berpisah...”

(57)

“tapi ya sebenernya ada juga cowak yang menantikan saya, tapi gimana

lagi..dari sayanya..saya belum siap..belum pengen...”

Subjek memiliki ketakutan akan faktor biologis seorang wanita sehingga dirinya merasa juga harus segera menikah. Sebenarnya ada keinginan untuk segera menikah dalam diri subjek tetapi ia masih terlalu menikmati dan belum menginginkan untuk segera menikah. Subjek merasa dirinya terlalu santai dan tidak ingin memikirkan hal pernikahan terlalu berat.

“Kalo dari saya ketakutan Cuma satu,…ketakutan biologis..perempuan

kan punya umur biologis..kita kan perempuan beda sama laki2

ya..beda..kita punya umur biologis, misalnya untuk punya anak…

Ya…mungkin seperti itulah…tapi mungkin dari saya sendiri, pembawaan

saya ya emang santai, ya emang enjoy gini lah...”

Keputusan subjek untuk menunda pernikahan juga didukung oleh ayahnya. Subjek memang memiliki kedekatan yang lebih kepada ayah dibandingkan ibunya.

“ya…itu juga karena saya kan lebih dekat dengan ayah saya ya..dia juga

(58)

kalo misalnya kamu belum siap..ya its ok..jangan dipaksakan..jangan

terlalu jadi beban juga...”

Walaupun subjek memiliki latar belakang keluarga yang bercerai tetapi hal tersebut tidak mempengaruhinya. Karena walaupun ayah dan ibunya telah berpisah, mereka tetap dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik. Ketika awal-awal perceraian orang-tuanya, subjek tidak dapat menerima hal tersebut dan marah dengan keputusan orang-tuanya. Tetapi setelah melihat mereka baik-baik saja, hal tersebut lambat laun berangsur-angsur hilang. Sehingga subjek merasa keputusannya untuk hidup melajang hingga saat ini adalah murni keputusan pribadinya yang dipilih secara sadar.

“Ya sebenernya gini ya mas..dari keluarga gitu ya mas..sebenernya

gini..sebenernya ayah sama ibu saya sudah divorce gitu ..ya sebenernya

sudah ga cocok dr jaman saya sma...ga cocok..saya sih sebenernya juga

lagi berpikir..sebenernya ada ga sih hubungan antara kegagalan orangtua

saya dengan keengganan saya sekarang ini Cuma dulu…dulu…saya

pernah berpikir apa karena kegagalan orangrya saya ini saya jadi trauma

atau apa gitu, saya jadi ga pengen salah pilih atau gimana…tapi setelah

saya pikir2 lagi ini ga ada hubungannya..ini murni dari saya sendiri yang

belum ada keinginan belum siap..mama sama papa saya juga ga

(59)

on..masing2 dengan kehidupan sendiri, papa sudah punya keluarga

sendiri,.kalau mama ya…masih sedniri..belum punya pengganti br tapi

mereka masih baik2 aja..tapi kehadiran mereka sih sudah cukup buat

saya..ga sampe buat saya merasa kecewa...”

Pertimbangan lain yang dipikirkan oleh subjek adalah masalah kesiapan dirinya dan calon suaminya. Subjek merasa bahwa dirinya dan calon suaminya harus sudah siap segala hal guna menjalani kehidupan berumah tangga. Sehingga mereka dapat menjalani hidup berumah tangga dengan baik. Walaupun subjek juga berpikir bahwa jika tidak memberanikan diri maka tidak akan menikah-menikah tepai ia tidak mau terlalu berani. Sehingga semua harus dipikirkan matang-matang untuk mereka benar-benar siap menikah.

“Tapi ya itu mas, apa memang sesantai2nya saya, saya juga masih punya

pemikiran, bahwa ga bisa seperti ini terus,karena kalo ga nekat ga

kelakon gitu…orang Jawa bilangnya kalau ga dinekati ra kelakon nek ora

di…apa dilakoni..kalo ga gitu ya kalo sy tll nekat juga buat apa gitu kan

istilahnya nikah itu kan apa2 disanggah berdua lebih ke saya…nunggu

waktu yang tepat gitu ya..kalo yang kemarin itu kan belum mantap secara

finansial…kalo masalah nyaman ya mas.dengan posisi..seperti itu ya

harusnya sudah nyaman..tapi saya mikirnya nyaman tapi tidak aman

(60)

4. Hasil

Hasil dari ketiga subjek penelitian, didapatkan bahwa pengalaman-pengalaman menghadapi status kelajangan yang dialami adalah mendapat tekanan berupa pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan untuk segera menikah, pengalaman akan kondisi keluarga setelah kegagalan pernikahan orang-tua, gagal dalam mencari pasangan hidup yang cocok dan mendapat dukungan teman-teman yang juga masih melajang.

Sedangkan alasan-alasan subjek memilih hidup melajang yang muncul adalah terlalu menikmati hidup sendiri dan terlalu fokus akan karir.

Walaupun demikian, status kelajangan yang dipilih subjek sampai saat wawancara hanya bersifat sementara. Ketiga subjek penelitian tetap memiliki keinginan untuk menikah dan memiliki keturunan. Sehingga mereka dapat dikategorikan sebagai temporary voluntary.

C. Pembahasan

(61)

Menikah dipandang sebagai penghambat bagi aktualisasi diri mereka meniti karir. Karir seringkali dijadikan alasan untuk memilih tetap melajang.

Pengalaman-pengalaman yang dialami wanita karir dalam penelitian ini serta alasan-alasan yang muncul dapat dilihat suatu hubungan yang logis guna menjawab pilihan hidup untuk tetap melajang. Tekanan untuk segera menikah membuat mereka memberontak dan memilih untuk tetap melajang sementara. Pilihan untuk tetap melajang dipandang sudah tepat melihat latar belakang orang-tua mereka yang bercerai. Selain itu, hidup melajang juga banyak dilakukan oleh teman-teman yang lain, sehingga mereka tidak merasa sendiri. Semakin jelas hubungan antara perilaku melajang dengan pengalaman yang dialami dan alasan-alasan yang muncul kemudian.

(62)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diungkapkan dalam penelitian ini adalah pengalaman akan kegagalan dalam menjalin suatu hubungan menjadi pengalaman yang paling sering dialami wanita karir yang melajang. Pengalaman lain yang juga dialami oleh para wanita karir adalah pengalaman mendapat tekanan dari keluarga untuk segera menikah serta pengalaman untuk dijodohkan oleh orang-tua sebagai hasil dari status anak mereka yang masih tetap melajang hingga usia di atas 35 tahun.

Urutan alasan-alasan mereka memilih untuk menunda pernikahan atau hidup melajang adalah (1) perasaan bahwa mereka sudah sangat menikmati hidup yang sekarang ini, (2) perasaan bahwa mereka sudah mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri, (3) karir, (4) perceraian orang-tua, (5) tekanan sosial, (6) pandangan bahwa menikah tidak selalu berarti bahagia serta (7) kegagalan mencari pasangan yang sesuai.

Pengalaman-pengalaman dilematis sebelumnya serta pertimbangan-pertimbangan logis yang dijadikan alasan mereka tetap melajang menggambarkan perilaku yang wajar dan normal karena pada akhirnya mereka tetap berkeinginnan untuk menikah dan memiliki keturunan.

(63)

B. Kelemahan Penelitian

Beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan selama melakukan penelitian kualitatif studi diskriptif dengan judul “Pengalaman Wanita Karir Menghadapi Status Kelajangannya serta Alasan-alasan Mereka Menunda Pernikahan Sampai Usia 35 tahun di Yogyakarta” yaitu:

1. Subjek penelitian hanya terdiri dari 3 orang sehingga data yang diperoleh kurang bervariatif.

2. Pengambilan data yang kurang mendalam; dilakukan hanya satu kali dengan durasi 20-30 menit.

3. Pedoman wawancara yang singkat dan kurang mendetail sehingga data yang didapatkan kurang lengkap.

C. Saran

Beberapa hal yang dapat peneliti sarankan antara lain:

1. Penelitian ini diharapkan dikembangkan dengan menambah jumlah subjek dengan pembatasan kriteria yang lebih khusus agar pengalaman serta alasannya dapat lebih variatif dan memberikan gambaran yang lebih luas. 2. Penelitian ini akan menggambarkan pengalaman serta alasan-alasan wanita

karir tetap melajang maka dibutuhkan waktu dan jumlah wawancara yang lebih dari satu kali guna memperoleh data yang mendalam.

(64)

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, AAMA. (2001). Ketika menikah menjadi pilihan. Jakarta: Penerbit Almahira

Badan Statistik Nasional. (2010). Rata-rata umur perkawinan perempuan menurut daerah dan provinsi

Banister, P., Burman, E., & Parker, I. (1994). Qualitative methods in psychology. A research guide. Buckingham: Open University Press.

Bell, P.A., Fisher, J.A. dan Loomis, R.J. (1978). Enviromental psychology.

Philadelphia: WB Sanders Co.

Bernard, J. (1972). The future of marriage. New York: Bantam

Craford, M. dan Rhoda, U. (1992). Women and Gender, A feminist psychology.

New York: McGraw Hill, Inc.

Dagun, S.M. (1990). Filsafat eksistensilisme. Jakarta: PT. Melton Putra.

Deaux, K. (1981). Social psychology in the 80’s, (3rd ed.). Pasific Grove: Brooks Cole Publishing Company.

Doris. (2000). Faktor-faktor yang mempengaruhi wanita untuk tidak menikah (studi kasus pada 3 wanita melajang) (Skripsi tidak diterbitkan).

Fakulatas Psikologi Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta.

Ferguson, G.A. (1981). Statistical analysis in psychology and education. (5th ed.). New York: McGraw-Hill International Book Company.

Gordon, P.A. (2003). The decision of remain single: Implication for women across culture. Journal of Mental Helth Counseling, 25 (1), 33-34.

Havighurst, R.J. (1972). Development tasks and education (ed. Ke-3). New York: McKay.

Hurlock, E.B. (1980). Developmental psychology: A life span approach. (5th ed.). New York: Tata Mcgraw Hill, Co.

(65)

Jones, G.W. (2005). The “flight from marriage” in South East and East Asia.

Journal of Comparative Family Studies, 36, 93.

Kartono, K. (1989). Psikologi wanita I. Mengenal gadis remaja dan wanita dewasa. Bandung: Penerbit Maju.

Laswell, M. & Laswell, T. (1987). Marriage and the family. (2nd ed.). Belmont: Wadworth, Inc.

Levine, R.A., Solomon, M.A., HellStern, G.M, et al. (1981). Evaluation research and practice: Comparative and international prespectives. Beverly Hills: Sage Publications.

Lewis, R. (1997). Scales and checklist: Evaluating behavior, personality, and attitudes. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Mappiare, A. (1983). Psikologi orang dewasa. Jakarta: Penerbit Usaha Nasional. Meiyuntariningsih, T., Sarwendah, D., & Astutiek, D.P. (2001). Hubungan antara

persepsi terhadap perkawinan dengan kecenderungan menjadi wanita lajang. Fenomena. Jurnal Psikologi. Volume VI. Nomer 01. Agustus. Hal 26-34.

Murniati, A.P. (1992). Perempuan Indonesia dan Pola Ketergantungan dalam Budi Susanto (et. El. Ed.) Citra wanita dan kekuasaan (Jawa).

Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Orthner, D.K. (1981). Intimate relationship: An introduction to marriage and the family. Boston: Addison – Wesley Publishing Co.

Patton, M. (1990). Qualitative evaluation and Research method. Thousand Oaks: Sage Publication.

Poerwandari, K. (2001). Pendidikan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia.

Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

(66)

Saleh, K.W. (1980). Hukum perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Stein, P.J. (1981). Single life: Unmarried adult in social context. New York: St.

Mortin Press.

(67)
(68)

Transkrip Wawancara

Subjek I

P : Halo, selamat malam… Ehm…yak, seperti yang sudah kita bicarakan sebelumnya… Saya…kedatangan saya disini…ee..untuk mengadakan ..ee…saya ingin mewawancari anda…sehubungan dengan penelitian saya mengenai ee…wanita lajang. Dan kebetulan ee…anda sebagai wanita lajang dan anda bersedia untuk menjadi subjek saya. Mungkin ada beberapa hal yang akan saya tanyakan berhubungan dengan ee.. anda saat ini masih melajang. Mungkin bisa diceritakan dulu ee…mengapa sampai saat ini anda masih melajang? Mungkin bias diceritakan…

S : ee…kalo sebenarnya sich karena keadaan ya…keadaan…mungkin karena …pertama karena saya sudah bekerja. Dengan kondisi pekerjaan yang full jadi yah aku jadi g sempat mikir ..gini karena apalagi mikir pernikahan gitu yah…mikir bagaimana cari pasangannya juga bingung. Hahaha..yah gitu…

P : Hmmm…jadi lebih pada keadaan yang memaksa anda sebenarnya hingga saat ini anda masih melajang…karena pekerjaan di kantor

S : Ya benar…

P : Sehingga anda mungkin merasa menjadi tidak punya waktu..tidak sempat mencari pasangan gitu…

(69)

sudah berpasangan tetap butuh waktu ya…untuk membina..butuh untuk membina sebuah hubungan itu..jadi bukan seperti…memiliki sebuah barang…sudah punya trus disimpen…kalau hubungan itu khan harus countinue…entah itu countinue berkomunikasi…countinue untuk bertemu…ya..tapi yah sampai saat ini ya mungkin karena…masalah…ya lebih sering masalah kerjaan ya…saya juga mengalami kesusahan sich…siapa sich sebenarnya yang tidak ingin nikah..gitu khan…apalagi wanita…

P : Trus..ee…selama ini…dari status anda yang masih melajang ini….apakah anda pernah mengalami..desakan atau apa ya…mungkin..ee..tuntutan… entah dari orang-tua untuk…entah dari orang-tua, keluarga mungkin…atau teman-teman itu yang…ayo cepatlah…cepatlah menikah…begitu mungkin…apakah anda pernah mengalami desakan atau tuntutan-tuntutan seperti itu?

S : Hehehe…jelas dong saya juga sempat stress…hehe.. P : Ohh…lalu…

(70)
(71)

kamu?...udah anak terakhir….wes gek ndhang cepetan…kalau saya…kakak saya seringnya sich pas….yah karena dia diluar kota…yah pas lagi liburan kesini aja sich….kumpul…ya udah…kena…tapi kadang juga…nggak hanya pas ketemu…pas telpon juga…pas sms juga…awalnya sich ya…judhek juga…kalo sms ya nggak saya bales…kalo pas telpon…ngomong kayak gitu…udah…telpon saya taruh, saya tinggal…

P : ee…gitu…itu anda…jadi merasa sangat tertekan gitu ya…maksudnya…sebenarnya…

S : Iyalah…he’eh. Gimana nggak tertekan tiap hari denger kayak gitu terus khan ya…seakan-akan tiap hari…karena ya sering baget kali yah… P : Jadi sebenarnya tekanan itu malah lebih sering dari keluarga inti

(72)
(73)

tunggu besok…dapetnya sama siapa…yah besok deh…yah paling saya…biasalah…

P : Jadi…ya awalnya mungkin anda merasa itu wajar ya…berarti…mungkin anda menggambarkan perasaan anda itu…awalnya anda merasa itu wajar tapi lama kelamaan kok sepertinya…seperti yang anda utarakan tadi…itu menjadi tuntutan gitu….

S : Ya…hal itu membebankan…tuntutan yang menurut saya tidak segampang membalik tangan untuk memenuhi tuntutan itu. Beda seperti kalau tuntutan…ayo cepet selesai sekolah…itu bias…ayo cepet menikah…nah itu saya susah.

P : Hmmm

S : Buat saya…mungkin untuk beberapa orang itu gampang…untuk mencari pasangan hidup….tapi saya merasa susah…terkadang malah..ee…ibu saya mengusulkan…bagaimana kalau saya jodohkan…di…ibu jodohkan sama teman bapak…anaknya teman bapak…waduh…udah deh…saya udah…kalau ada temannya bapak dating…wah saya mendingan…saya pergi…hahaha…

(74)

gitu…terutama dari ibu…terutama dari ibu…kemudian…ee…dari perasaan anda itu…dimana anda merasa…mungkin…sampai jenuh ya…sampai jenuh…sampai bosan…dank ok masalahnya itu-itu aja… S : Yah pada saat puncak-puncaknya stress…karena ditanyain seperti

itu…biasanya saya sering…sering keluar…sering saya mencari hiburan…yang terutama habis…setelah ditanyain, ditanyain tentang hal itu…pasti bias…ee…1 hari, 2 hari atau 3 hari…saya pulang kerja langsung mampir kemana…cari hiburan sama teman-teman…ntar pulang malem…langsung tidur…besok pagi, berangkat pagi…jadi…ee…saya menghindari untuk…untuk berbicara langsung dengan ibu saya…itu…mungkin yah…saya…bayangan saya …kalau …kalau nanti…ada kesempatan berbicara…mesti ibu saya tanya itu lagi. Untuk menghindar paling…beberapa hari…saya…menyibukkan diri…

(75)

S : Kebanyakan sich saya memang sering keluar…ya…mungkin karena tekanannya dari orang-tua…saya merasa itu…bener-bener member…membebani…karena dari…ibu saya…yak arena satu rumah ya…saya lebih sering…pokoknya istilahnya berusaha tidak ada dirumah dalam waktu yang lama, jadi ya…paling dirumah ya hanya…Cuma tidur, makan, mandi…wes dah, itu aja…ya kalau dari…pokoknya yang lebih…saya merasa lebih…lebih menekan ya…dari ibu saya ya…kakau kakak saya khan karena jarang ketemu ya…kakau lagi pas ketemu…pas lagi dia berbicara tentang hal itu…ya…saya cumin…kalau tidak saya tinggal…kalau saya nggak bias pergi…ya…paling ya…mainnya ya…perang mulut. Dalam artian saya mempertahankan konsep…konsep keadaan saya…diam…dia juga…ee…mengutarakan alas an dia kenapa saya harus cepat menikah…sehubungan sama kakak saya itu khan masalah…apa namanya…segi medislah…sudah umur 35, nanti kakau tidak punya anak gimana…ya…orang…siapa sich yang tidak pengen nikah…nggak pengen punya anak. Tapi kalau kebentur pasangan mau bagaimana ya…paling…seringnya kalau kakak saya ya…saya tinggal juga…intinya ya…saya sering pergilah jadinya.

(76)

guyonan ya…guyonan bagi anda. Kalau dari saudara-saudara anda merasa kurang ini ya…apa namanya…kurang…ee…hanya sekedar basa-basi begitu…ya…dalam pertemuan-pertemuan keluarga.

S : Ya..karena jarang ketemu ya…jarang ketemu dengan keluarga besar…mungkin seperti…kalau basa-basi mungkin…terlalu meremehkan…kayak perhatian merekalah…perhatian…ya…bagi saya itu juga perhatian sich. Dia memperhatikan saya belum menikah…mereka bertanya…kenapa?...tapi ya…tidak lebihlah dari itu. Tidak lebih dari itu…sekedar perhatian mereka. Jadi saya tidak menganggap itu tekanan…berbeda dari…ee…orang-tua saya atau kakak saya…berbedalah…

P : Oke…mungkin masih ada lagi yang…yang bias mungkin anda diceritakan gitu…

S : Apa ya…kelihatannya sudah nggak tuh…apa mau ditanya apa lagi…hahaha….

P : Yah…ya…mungkin masih ada yang tertinggal…ee…mungkin anda lupa atau anda tidak bias mengingat, mungkin punya pengalaman lain…kalau menurut anda itu sudah cukup…ya…karena saya juga merasa itu sudah cukup bagi saya…ee…mungkin saya terima kasih karena anda…sudah…mau menjadi subjek saya, trus kemudian terima kasih atas kerjasamanya…mungkin cukup…terima kasih

Gambar

Tabel 1 Kategori Hidup Melajang……………………………………….. 10
Tabel 1 Kategori Melajang
Tabel 2 Data Subjek Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Pada event mouse, condition on object clicked pada sisi kiri mouse untuk Button cerita 3.. System akan melakukan animasi Button tiap 1,5 detik setelah Button

Suatu ruang vektor adalah suatu himpunan objek yang dapat dijumlahkan satu sama lain dan dikalikan dengan suatu bilangan, yang masing-masing menghasilkan anggota lain

Direksi memuji reformasi penentu atas subsidi energi di tahun 2015, termasuk rencana untuk subsidi listrik sebagai sasaran subsidi yang lebih baik, dan penggunaan ruang fiskal

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Harga sangat berhubungan dengan nilai dasar dari persepsi konsumen berdasarkan dari keseluruhan unsur bauran ritel dalam menciptakan suatu gambaran dan pengalaman

Belu No.8 Th.2005 Tentang Perubahan Kedua Atas Perda No.5 Th.2001 Tentang Retribusi Izin Trayek. Penyelenggaraan Dan Pengujian Kendaraan Angkutan Darat Dan