• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Deskripsi 2.1.1 Pembangunan

Todaro dalam Rustiadi et al. (2007) berpendapat bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya pembangunan ini harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individu maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spiritual. Pembangunan juga harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembagunan yang paling hakiki yaitu kecukupan (sustenance) memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri atau jatidiri (self-esteem) serta kebebasan (freedom) untuk memilih.

Secara umum dapat dikemukakan bahwa pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang melibatkan berbagai perubahan dalam banyak aspek kehidupan manusia yang bertujuan dan memberi harapan kepada perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik dan lebih merata yang dalam jangka panjang agar dapat berlangsung secara berkelanjutan. Pada dasarnya, dalam pembangunan tersebut memperhatikan bagaimana pertumbuhan ekonomi dan faktor-faktor yang berkaitan dengannya.

Secara filosofi suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai “upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik”.

UNDP dalam Rustiadi et al. (2007) mendefinisikan pembangunan dan khususnya pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi

(2)

penduduk. Dalam konsep ini, penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir (human capital formation) sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu. Pembangunan dapat dikonseptualisasikan suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi, dan pembangunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada.

Meskipun para ahli memberikan pendapat yang berbeda mengenai pembangunan, namun secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan. Sehingga secara sederhana pembangunan pembangunan diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik. Pembangunan sebagai suatu perubahan mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang, sedangkan pembangunan sebagai suatu pertumbuhan menunjukkan kemampuan suatu kelompok untuk terus berkembang, baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan merupakan sesuatu yang mutlak harus terjadi dalam pembangunan.

Sejalan dengan berkembangnya dinamika masyarakat, maka konsep pembangunan telah mengalami pergeseran paradigma pembangunan, menurut Rustiadi

et al. (2007) adalah sebagai berikut:

1. Pergeseran dari situasi harus memilih antara pertumbuhan, pemerataan dan

keberlanjutan sebagai pilihan-pilihan yang tidak saling menenggang (trade-off) ke keharusan untuk mencapai tujuan pembangunan secara berimbang

2. Kecenderungan pendekatan dari cenderung melihat pencapaian tujuan-tujuan pembangunan yang diukur secara makro menjadi pendekatan-pendekatan regional dan lokal.

3. Pergeseran asumsi tentang peranan pemerintah yang dominan menjadi pendekatan pembangunan yang mendorong partisipasi masyarakat di dalam proses pembangunan (perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian)

Sejalan dengan terjadinya pergeseran paradigma dalam pembangunan ekonomi, maka ukuran keberhasilan pembangunan ekonomi juga mengalami pergeseran, tidak hanya dari aspek pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) atau kenaikan pendapatan per kapita penduduknya namun lebih jauh lagi ke arah perkembangan

(3)

masyarakat. Menurut Arsyad (1999), pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang, yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan. Jadi pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses dimana saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pembangunan ekonomi tersebut.

2.1.2 Konsep Wilayah dan Pembangunan Wilayah

Konsep perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dilakukan dengan pendekatan wilayah. Menurut Rustiadi et al. (2007) wilayah didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sedangkan wilayah menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 adalah wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.

Pengembangan konsep wilayah dan penerapannya dalam dunia nyata akan menghasilkan suatu perwilayahan. Dengan demikian, klasifikasi spasial (pewilayahan) merupakan alat (tools) untuk mempermudah menjelaskan keragaman dan berbagai karakteristik fenomena yang ada. Pewilayahan digunakan sebagai alat untuk mengolah dan mencapai tujuan-tujuan pembangunan. Kebijakan pewilayahan digunakan untuk penerapan pengelolaan (manajemen) pengelolaan sumberdaya yang memerlukan pendekatan pengelolaan yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan karakteristik secara spasial.

Klasifikasi konsep wilayah menurut Rustiadi et al. (2006) adalah: (1) wilayah homogen (uniform), (2) wilayah sistem/fungsional, dan (3) wilayah perencanaan atau pengelolaan (planning region atau programming region). Berikut adalah deskripsi sistematik konsep-konsep wilayah.

(4)

Wilayah Homogen Sistem / Fungsional Sistem Sederhana Perencanaan / Pengelolaan Sistem Komplek

Nodal (pusat – hinterland)

Desa - kota

Budidaya - lindung

Sistem ekonomi : agropolitan, kawasan produksi, kawasan industri

Sistem ekologi : DAS, hutan, pesisir

Sistem sosial – politik : Cagar budaya, wilayah etnik

Umumnya disusun / dikembangkan berdasarakan : Konsep homogen / fungsional : KSP, KATING dan sebagainya

Administrasi – politik : propinsi, Kabupaten, Kota

Konsep Alamiah

Konsep Non Alamiah

Wilayah Homogen Sistem / Fungsional Sistem Sederhana Perencanaan / Pengelolaan Sistem Komplek

Nodal (pusat – hinterland)

Desa - kota

Budidaya - lindung

Sistem ekonomi : agropolitan, kawasan produksi, kawasan industri

Sistem ekologi : DAS, hutan, pesisir

Sistem sosial – politik : Cagar budaya, wilayah etnik

Umumnya disusun / dikembangkan berdasarakan : Konsep homogen / fungsional : KSP, KATING dan sebagainya

Administrasi – politik : propinsi, Kabupaten, Kota

Wilayah Homogen Sistem / Fungsional Sistem Sederhana Perencanaan / Pengelolaan Sistem Komplek

Nodal (pusat – hinterland)

Desa - kota

Budidaya - lindung

Sistem ekonomi : agropolitan, kawasan produksi, kawasan industri

Sistem ekologi : DAS, hutan, pesisir

Sistem sosial – politik : Cagar budaya, wilayah etnik

Umumnya disusun / dikembangkan berdasarakan : Konsep homogen / fungsional : KSP, KATING dan sebagainya

Administrasi – politik : propinsi, Kabupaten, Kota

Konsep Alamiah

Konsep Non Alamiah

Gambar 4. Sistematika Konsep-Konsep Wilayah (Rustiadi et al., 2006)

Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, dengan kata lain wilayah homogen adalah wilayah-wilayah yang diidentifikasikan berdasarkan adanya sumber-sumber kesamaan atau faktor perinci yang menonjol di wilayah tersebut.

Konsep wilayah sistem/fungsional menekankan pada perbedaan dua komponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya. Wilayah dapat dipilah atas wilayah sistem sederhana (dikotomis) dan sistem kompleks (non dikotomis). Sistem sederhana adalah sistem yang bertumpu atas konsep ketergantungan atau keterkaitan antara dua bagian atau komponen wilayah. Berbeda dengan konsep wilayah sederhana, konsep wilayah suatu sistem kompleks mendeskripsikan wilayah sebagai suatu sistem yang bagian-bagiannya (komponen-komponen) di dalamnya bersifat kompleks. Sifat kompleks ditujukan dengan banyaknya jumlah dan jenis komponen yang ada serta keragaman bentuk hubungan antara komponen-komponen tersebut. Konsep-konsep wilayah sistem

(5)

kompleks dapat dibagi atas wilayah sebagai (1) sistem ekologi (ekosistem), (2) sistem sosial, (3) sistem ekonomi atau gabungan atas dua atau lebih sistem.

Wilayah perencanaan/pengelola tidak selalu berwujud wilayah administratif tapi wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah baik sifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan/pengelolaan.

Perwilayahan komoditas adalah contoh penetapan wilayah

perencanaan/pengelolaan yang berbasis pada unit-unit wilayah homogen. Suatu perwilayahan komoditas pertanian harus didasarkan pada kehomogenan faktor alamiah dan non alamiah. Adanya sistem perwilayahan diharapkan dapat meningkatkan efiensi sitem produksi dan distribusi komoditas, karena perwilayahan komoditas pada dasarnya adalah suatu upaya memaksimalkan “comparative advantage” setiap wilayah (Rustiadi

et al., 2007).

Pembangunan wilayah adalah proses/tahapan kegiatan pembanguanan di suatu wilayah tertentu yang dalam perwujudannya melibatkan interaksi antara sumberdaya manusia dengan sumberdaya lain termasuk sumberdaya alam dan lingkungan melalui kegiatan investasi pembangunan. Sedangkan tujuan pembangunan wilayah adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dengan memanfaatkan sifat keadaan daerah dan lingkungan yang bersangkutan terutama aspek yang menyangkut sumberdaya fisik dan sosio kultural yang hidup di masing-masing wilayah (Anwar, 2005).

Pengembangan wilayah merupakan program menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan sumberdaya yang ada dan memberikan konstribusi pada pembangunan suatu wilayah. Konsep pengembangan wilayah adalah suatu upaya dalam mewujudkan keterpaduan penggunaan sumberdaya dengan penyeimbangan dan penyerasian pembangunan antar daerah, antar sektor serta pelaku pembangunan dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah.

Strategi pengembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh karakteristik dan potensi yang terdapat di wilayah tersebut. Oleh karena itu, sebelum melakukan perumusan kebijakan yang dilaksanakan perlu mengetahui tipe/jenis wilayahnya. Dengan mengetahui ciri suatu wilayah, maka dapat dirumuskan kebijakan yang tepat dilakukan dalam pengembangan wilayah. Menurut Tukiyat (2002) secara umum terdapat lima tipe wilayah dalam suatu negara:

(6)

1. Wilayah yang telah maju

2. Wilayah netral, yang dicirikan dengan adanya tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi

3. Wilayah sedang, yang dicirikan adanya pola distribusi pendapatan dan

kesempatan kerja yang relatif baik

4. Wilayah yang kurang berkembang atau kurang maju, yang dicirikan adanya

tingkat pertumbuhan yang jauh di bawah tingkat pertumbuhan nasional dan tidak ada tanda-tanda untuk dapat mengejar pertumbuhan dan pengembangan

5. Wilayah tidak berkembang

Sedangkan menurut Anwar (2005) wilayah memiliki beberapa karakteristik yaitu: a. Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya dicirikan

dengan pusat pertumbuhan. Di wilayah ini biasanya ada pemusatan penduduk, industri, pemerintahan dan sekaligus pasar yang potensial. Selain itu juga dicirikan dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi, tingkat pendidikan dan kualitas sumber daya manusia yang juga tinggi. Potensi lokasi yang strategis, sarana pendidikan yang lengkap, dan aksesibilitas yang baik terhadap pasar domestik dan pasar internasional.

b. Wilayah yang sedang berkembang biasanya dicirikan oleh pertumbuhan yang

cepat dan biasanya merupakan wilayah penyangga dari wilayah maju. Potensi SDA yang cukup tinggi, tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi, namun belum terjadi kesesakan dan tekanan biaya sosial. Masih terjadi keseimbangan antara sektor pertanian atau primer lainnya dengan sektor industri. Sektor jasa sudah mulai berkembang, meski perannya mash relatif kecil.

c. Wilayah yang belum berkembang dicirikan oleh tingkat pertumbuhan yang masih rendah baik secara absolut, maupun secara relatif, namun memiliki potensi SDA yang belum dikelola atau dimanfaatkan. Wilayah ini didiami oleh kepadatan penduduk yang masih rendah dengan tingkat pendapatan dan pendidikan yang masih rendah juga. Wilayah ini belum memiliki aksesibilitas yang baik terhadap wilayah lainnya. Sektor ekonomi wilayah ini masih didominasi oleh sektor primer dan biasanya belum mampu membiayai pembangunan secara mandiri.

(7)

d. Wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh dua hal yaitu : (1) Wilayah tersebut memang tidak memiliki potensi baik potensi sumber daya alam atau lokasi sehingga secara alamiah sulit sekali berkembangdan mengalami pertumbuhan; dan (2) Willayah tersebut sebenarnya memiliki potensi, baik sumber daya alam atau lokasi maupun memiliki keduanya, tetapi tidak dapat berkembang dan bertumbuh karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah yang lebih maju. Tingkat kepadatan penduduk yang jarang, kualitas sumber daya manusia yang rendah, tingkat pendapatan yang rendah, tidak memiliki infrastruktur yang lengkap, dan tingkat aksesibilitas yang rendah. Wilayah yang memiliki potensi sumber daya alam yang berlimpah, namun tidak berkembang dicirikan oleh tingkat kebocoran wilayah yang tinggi, dimana manfaat tertinggi dari pemanfaatan sumber daya alam tersebut dinikmati oleh willayah lainnya.

Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pengembangan wilayah adalah menyusun perencanaan wilayah. Menurut Tarigan (2006) perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah (termasuk perencanaan pergerakan di dalam wilayah) dan perencanaan kegiatan dalam wilayah diatur dalam perencanaan pembangunan wilayah. Tata ruang wilayah merupakan landasan dan juga sasaran dari perencanaan pembangunan wilayah. Salah satu pendekatan dalam perencanaan pembangunan adalah pendekatan sektoral. Pendekatan sektoral dilakukan dengan mengelompokkan kegiatan pembangunan ke dalam sektor-sektor. Selanjutnya masing-masing sektor dianalisis satu per satu untuk menentukan apa yang dapat dikembangkan atau ditingkatkan dari sektor-sektor tersebut guna lebih mengembangkan wilayah.

Pada era otonomi daerah saat ini, salah satu konsep pengembangan wilayah yang perlu mendapat perhatian adalah pengembangan ekonomi wilayah. Oleh karena itu menurut Tukiyat (2002), konsep pengembangan ekonomi wilayah harus berorientasi pada pertumbuhan ekonomi wilayah dengan menggali potensi produk unggulan daerah.

Secara teoritis strategi pengembangan wilayah baru dapat digolongkan dalam dua kategori strategi, yaitu demand side strategy dan supply side strategy (Rustiadi et al., 2007). Strategi demand side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui peningkatan barang-barang dan jasa-jasa masyarakat setempat melalui kegiatan produksi lokal, yang bertujuan meningkatkan taraf hidup penduduk.

(8)

Sedangkan strategi supply side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan produksi yang berorientasi keluar. Tujuan penggunaan strategi ini adalah untuk meningkatkan suplai dari komoditi yang pada umumnya diproses dari sumberdaya alam lokal.

Strategi pembanguan wilayah lainnya adalah strategi keterkaitan, yaitu terjadi pada suatu wilayah yang dari sisi supply (penawaran/pasokan) relatif tinggi tetapi terbatas mempunyai keterbatasan dalam sisi demand atau sebaliknya, maka keterbatasan dan kelebihan dari suatu wilayah dapat dipertemukan sehingga perekonomian wilayah secara keseluruhan dapat meningkat. Strategi berbasis keterkaitan antar wilayah pada awalnya dapat diwujudkan dengan pengembangan keterkaitan fisik antar wilayah dengan membangun berbagai infrastruktur fisik, seperti jaringan transportasi jalan, pelabuhan, jaringan komunikasi dan lainnya yang dapat menciptakan keterkaitan sinergis (saling memperkuat) antar wilayah.

Keterkaitan fisik saja tidak cukup, harus disertai dengan pengembangan keterkaitan yang lebih luas, yakni disertai dengan kebijakan-kebijakan yang menciptakan struktur insentif yang mendorong keterkaitan yang sinergis antar wilayah. Pengembangan keterkaitan yang tidak tepat sasaran dapat mendorong backwash yang

lebih masif yang pada akhirnya justru memperparah ketimpangan dan

ketidakberimbangan pembangunan antar wilayah. Oleh karena itu keterkaitan antar wilayah yang diharapkan adalah bentuk-bentuk keterkaitan yang saling memperkuat bukan memperlemah.

2.1.3 Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

Isu utama pembangunan regional dewasa ini selain keberlanjutan (sustainability) adalah disparitas atau ketimpangan yang meliputi: (1) disparitas antar wilayah; (2) disparitas antar sektor ekonomi; (3) disparitas antar golongan masyarakat/individu. Permasalahan ini disebabkan antara lain oleh perencanaan pembangunan yang bersifat sentralistik, top down, dan seragam (uniformity). Konsep pembangunan ekonomi lebih menekankan pertumbuhan dibandingkan redistribusi pendapatan yang adil, sesuai dengan keadaan budaya penguasa (rezim) yang selama ini ternyata menyisakan ketimpangan (Iskandar, 2001).

(9)

Menurut Suhyanto (2005), disparitas antar wilayah berarti perbedaan tingkat pertumbuhan antar wilayah. Perbedaan antar wilayah ini dapat terletak pada perkembangan sektor-sektor pertanian, industri, perdagangan, perbankan, asuransi, transportasi, komunikasi, perkembangan infrastruktur, pendidikan, pelayanan kesehatan, fasilitas perumahan dan sebagainya.

Ada beberapa penyebab utama disparitas dalam Rustiadi et al (2007), yaitu : (1) Faktor Geografis

Apabila suatu wilayah sangat luas, distribusi dari sumberdaya nasional, sumber energi, sumberdaya pertanian, topografi, iklim dan curah hujan tidak akan merata. Apabila faktor-faktor lain sama, maka kondisi geografi yang lebih baik akan menyebabkan suatu wilayah berkembang lebih baik.

(2) Faktor Historis

Perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah tergantung dari kegiatan atau budaya hidup yang talah dilakukan di masa lalu. Bentuk organisasi dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan enterpreneurship. (3) Faktor Politis

Tidak stabilnya suhu politik sangat mempengaruhi perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan orang ragu untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi suatu wilayah tidak akan berkembang. Bahkan terjadi pelarian modal ke luar wilayah, untuk infestasi ke wilayah yang lebih stabil.

(4) Faktor Kebijakan Pemerintah

Terjadinya ketimpangan antar wilayah bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor, dan lebih menekankan pertumbuhan dan membangun pusat-pusat pembangunan di wilayah tertentu menyebabkan ketimpangan yang luar biasa antar daerah.

(5) Faktor Administratif (birokrasi)

Ketimpangan wilayah dapat terjadi karena kemampuan pengelolaan administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju. Wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur, terpelajar, terlatih, dengan sistem administrasi yang efisien.

(10)

(6) Faktor Sosial

Masyarakat dengan kepercayaan-kepercayaan yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung konservatif dan menghambat perkembangan ekonomi. Sebaliknya masyarakat yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang. Perbadaan ini merupakan salah satu penyebab ketimpangan wilayah.

(7) Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi yang menyebabkan ketimpangan antar wilayah yaitu :

a. Faktor ekonomi yang terkait dengan perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti: lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan;

b. Faktor ekonomi yang terkait akumulasi dari berbagai faktor. Salah satunya lingkaran kemiskinan, kemudian kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup rendah, efisiensi rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, dan pengangguran meningkat. Sebaliknya di wilayah yang maju, standar hidup tinggi, pendapatan semakin tinggi, tabungan semakin banyak yang pada akhirnya masyarakat semakin maju;

c. Faktor ekonomi yang terkait dengan pasar bebas dan pengaruhnya terhadap

spread effect dan backwash effect. Kekuatan pasar telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti tenaga kerja, modal, perusahaan dan aktivitas ekonomi seperti industri, perdagangan, perbankan, dan asuransi yang dalam ekonomi maju memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkonsentrasi di wilayah maju;

d. Faktor ekonomi yang terkait dengan distorsi pasar, kebijakan harga,

keterbatasan spesialisasi, keterbatasan keterampilan tenaga kerja dan sebagainya.

Williamson (2002) menyatakan bahwa ketidakmerataan antar wilayah berhubungan dengan proses pembangunan nasional. Berdasarkan hasil penelitiannya secara empiris terhadap sifat-sifat ketidakmerataan secara spasial di dalam suatu batas wilayah secara nasional. Tidak heran jika ada perbedaan yang absolut antara daerah kaya dan daerah yang miskin tetap muncul bahkan bertambah. Walaupun kedua wilayah tumbuh pada tingkat persentase yang sama. Tampaknya keterkaitan ekonomi diantara

(11)

unit-unit regional dengan negara makin kuat dibanding antara daerah-daerah itu sendiri. Mempertahankan asumsi klasik faktor mobilitas internal cenderung menghilangkan perbedaan pendapatan per kapita antar regional, dualisme geografis, dan polarisasi spasial. Dalam kondisi faktor mobilias yang bebas, dan ekstraksi dari biaya transportasi, ketidakmerataan secara spasial dapat terjadi melalui ketiadaan penyesuaian secara dinamis. Ketidakmerataan secara spasial, daerah yang tertekan, dan daerah tertinggal nampaknya tetap ada berkaitan dengan tidak adanya aliran faktor internal dengan kecepatan yang cukup untuk menyeimbangkan kondisi dinamis yang asli yang menyebabkan pertambahan sumberdaya lebih cepat dan perubahan teknologi dalam daerah yang kaya (cenderung meningkatkan ketidakmerataan).

Menurut Murty (2000) bahwa proses penyebab disparitas yang pertama tersebut adalah faktor ekonomis yakni perbedaan faktor produksi secara kualitatif dan kuantitatif seperti tanah, tenaga kerja, modal, organisasi, dan perusahaan. Penyebab kedua adalah proses kumulatif dari berbagai faktor yang menyebabkan ekonomi yang sudah maju terus berkembang dan ekonomi yang tidak berkembang terus memburuk kecuali jika pemerintah turut campur dalam menciptakan skema pemerataan antar regional. Proses kumulatif yang pertama dimulai oleh siklus kemiskinan yang ganas. Ada dua jenis siklus dalam perekonomian yang tertinggal. Siklus yang pertama dibentuk oleh sumberdaya yang belum dikembangkan dan keterbelakangan penduduk yang berpengaruh satu dengan yang lain. Siklus kedua yang ganas meliputi ketertinggalan penduduk, standar hidup yang rendah, efisiensi rendah, produktifitas rendah, pendapatan rendah, konsumsi rendah, tebungan rendah, investasi rendah, tingkat pekerjaan rendah, dan ketertinggalan penduduk. Faktor-faktor ini terjadi dan saling bereaksi satu terhadap yang lain sedemikian rupa sehingga menetap dalam suatu daerah dan menjadi proses penurunan secara kumulatif. Di lain pihak, terjadi siklus kemakmuran di wilayah yang berkembang. Penduduk yang maju, standar hidup yang tinggi, efisiensi yang lebih baik, produktifitas yang tinggi, produksi yang lebih banyak, pendapatan lebih, konsumsi lebih baik, investasi lebih tinggi, penggunaan tenaga kerja lebih banyak, dan lebih lagi penduduk yang progresif memulai proses kemajuan yang kumulatif, dan akhirnya ketimpangan antara dua daerah makin meningkat.

Kekuatan pasar bebas (free play of market forces) dan efek penyebarannya dan

(12)

menyebabkan ketimpangan regional (Murty, 2000). Sehubungan dengan kekuatan pasar yang berlaku secara bebas, lebih mengelompok dan menjamin kepastian ekonomi baik internal maupun eksternal. Faktor ekonomi lain yang menyebabkan ketimpangan adalah pasar yang tidak sempurna (market imperfection) seperti faktor imobilitas, harha yang kaku, pengabaian kondisi pasar, kurangnya spesialisasi, kurangnya pembagian kerja dan sebagainya. Faktor ini menjadi friksi dalam pembangunan wilayah yang tertinggal.

Pembangunan yang seimbang lebih lanjut menurut Murty (2000), berimplikasi pada suatu pertumbuhan yang adil dari wilayah yang berbeda menurut luasnya, keperluan, dan kemampuan pembangunannya masing-masing. Hal ini tidak berarti setiap wilayah harus mengalami tingkat pembangunan yang sama, juga tidak berarti tingkat industrialisasi atau pola perekonomian yang seragam antar wilayah. Secara ringkas artinya kapasitas pembangunan yang penuh berdasarkan potensi daerah sehingga keuntungan dari pertumbuhan ekonominya dapat dinikmati oleh penduduk seluruh wilayah.

Menurut Roden yang dikutip Murty (2000), agar pembangunan berlangsung lancar, sebuah negara memerlukan dorongan yang kuat karena harus mengembangkan semua sektor dan semua wilayah secara bersamaan. Untuk membangun keterkaitan antar wilayah dan mengurangi terjadinya disparitas antar wilayah, maka secara umum ada beberapa upaya yang dapat dilakukan secara simultan, yaitu:

(1) Pemerataan investasi, karena investasi harus dilakukan di semua sektor dan semua wilayah secara bersamaan untuk pengembangan infrastruktur

(2) Mendorong pemerataan permintaan, setiap industri dan wilayah seharusnya

berkembang secara simultan, sehingga mereka dapat menciptakan permintaan untuk setiap produk yang lain

(3) Mendorong pemerataan tabungan, tabungan sangat diperlukan untuk bisa memacu investasi. Apabila jumlah tabungan di suatu wilayah meningkat, maka potensi investasi juga akan meningkat.

Murty (2000) dalam Rustiadi et al. (2007) menganalisa perkembangan wilayah seperti pertumbuhan yang cepat atau lambat dari setiap organ tubuh yang menghasilkan bentuk yang tidak normal, sama halnya ketidakseimbangan pertumbuhan regional menyebabkan banyak masalah ekonomi, sosial dan politik di sebuah negara. Dengan

(13)

demikian timbul kebutuhan untuk mempelajari disparitas regional dan perencanaan bagi pembangunan yang seimbang. Setiap pemerintah ingin menghilangkan atau mengurangi ketidakseimbangan regional karena banyak alasan. Alasan-alasan tersebut adalah: (a) Untuk mengembangkan perekonomian secara simultan dan bertahap

Jika semua wilayah berkembang secara merata, mereka dapat saling menolong satu sama lain. Sebaliknya tingkat pendapatan yang rendah di wilayah yang tertinggal akan menyebabkan kurangnya permintaan dari wilayah yang maju dan akan menghambat kemajuannya. Selain itu, pembangunan regional yang seimbang akan menghindari kendala suplai dan transpor (transport and supply bottlenecks), dan meminimalkan tekanan inflasi dalam perekonomian.

(b) Untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat

Jika kecepatan dari semua anggota kelompok gerak jalan sama, kelompok itu akan jauh lebih cepat. Hal yang sama, kemajuan perekonomian secara keseluruhan tergantung pada pembangunan semua wilayah secara bersama, dengan tetap memperhatikan faktor-faktor endowmentnya.

(c) Untuk mengoptimalkan pengembangan kapasitas dan konservasi sumberdaya Pembangunan yang seimbang dari setiap wilayah membantu mengeksploitasi dan memnafaatkan sumberdaya manusia dan alam sampai pada tingkat yang optimal. Selain itu, jika suatu wilayah mengembangkan sumberdayanya maka berikutnya sumberdaya ini akan mengembangkan daerah tersebut, dengan demikian limbahnya (wastage) yang tidak berguna akibat digunakan secara eksploitatif dan destruktif oleh pihak lain dapat dihentikan.

(d) Untuk Meningkatkan lapangan kerja

Dengan pembangunan infrastruktur, dan penyebaran industri ke wilayah tertinggal, maka ada tingkat kesempatan kerja yang lebih luas di semua wilayah, karena itu meningkatkan pendapatan perkapita dan produk domestik.

(e) Untuk mengurangi beban sektor pertanian

Jika persentase penduduk yang bergantung di sektor pertanian sangat besar dan menyebabkan tambahan beban (extra burden) akan menghasilkan produktivitas rendah dan pengangguran terselubung. Opini Louis bahwa penawaran tenaga kerja yang tidak terbatas dari sektor yang produktivitasnya kurang ke sektor yang produktivitasnya lebih pada tingkat upah subsisten disatu pihak akan

(14)

meningkatkan produktivitas per kapita pada sektor yang pertama dan di lain pihak akan meningkatkan penggunaan tenaga kerja, produksi, dan pembentukan modal di sektor yang lain membawa wilayah secara perlahan ke tahap pembangunan ekonomi yang lebih baik.

(f) Untuk mendorong desentralisasi

Sentralisasi ekonomi bukan masalah yang sebenarnya, namun membangkitkan masalah-masalah lain, seperti lokalisasi, urbanisasi, konflik internal dan sebagainya. Desentralisasi mengatasi masalah sosial akibat lokalisasi, urbanisasi dan polusi.

(g) Untuk menghindari konflik lepas kendali dan instabilitas politik disintegratif Wilayaj yang maju menutupi wilayah yang tertinggal menjadi unsur pokok dari pembangunan ekonomi negara. Hal ini mengakibatkan berkembangnya perasaan inferior dari penduduk di wilayah tertinggal. Mereka menjadi agak liar juga bermusuhan dan membangkang. Hal ini membawa sikap menantang dan marah. Ketimpangan regional dalam pendapatan dan kesejahteraan adalah bahaya yang sangat besar bagi solidaritas bangsa

(h) Untuk meningkatkan Ketahanan Nasional

Pembangunan regional yang seimbang adalah faktor penting bagi keamanan negara dari serangan musuh serta tidak akan memecah belah serta melumpuhkan perekonomian dan kesatuan bangsa.

Meskipun disparitas merupakan antar wilayah merupakan hal yang wajar yang bisa ditemui, baik di negara maju maupun negara berkembang. Namun, ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah akan mengakibatkan suatu kondisi yang tidak stabil. Disparitas pembangunan antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi, dan politik. Untuk itu dibutuhkan pemecahan berupa kebijakan terhadap permasalahan disparitas antar wilayah dan perencanaan yang mampu mewujudkan pembangunan wilayah yang berimbang.

2.1.4 Infrastruktur

Menurut world bank dalam Yanuar (2006), infrastruktur dapat dibagi menjadi tiga penggolongan:

(15)

1. Infrastrukur ekonomi merupakan pembangunan fisik yang menunjang aktivitas ekonomi: public utilities (tenaga, telkom, air, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, kanal, irigasi, dan drainase) dan sektor transportasi (jalan rel, pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya).

2. Infrastruktur sosial merupakan infrastruktur yang mengarah kepada pembangunan manusia dan lingkungannya, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan rekreasi

3. Infrastruktur administrasi merupakan infrastruktur dalam bentuk penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi.

Sedangkan Jan Jacobs et al dalam Sibarani (2002) menggolongkan infrastruktur menjadi dua bagian yaitu :

1. Infrastruktur Dasar (basic infrastructure) mencakup sektor-sektor publik dan keperluan mendasar untuk sektor perekonomian, yang tidak dapat diperjualbelikan

(non tradable) dan tidak dapat dipisah-pisahkan secara teknis maupun spasial, contohnya: jalan raya, kereta api, kanal, pelabuhan laut, drainase, bendungan dsbnya.

2. Infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) seperti gas, listrik dan telepon dan pengadaan air minum.

Secara umum dapat didefinisikan sebagai fasilitas fisik dalam mengembangkanatau membangun kegunaan publik melalui penyediaan barang dan jasa untuk umum. Infrastruktur fasilitas dan jasa biasanya disediakan secara gratis atau dengan harga yang terjangkau dan terkontrol.

2.2 PenelitianTerdahulu

Penelitian mengenai ketimpangan wilayah mulai marak dilakukan sejak tahun 1970-an. Kemudian diikuti oleh penelitian-penelitian dalam negeri mengenai ketimpangan wilayah. Adifa tahun 2005 hingga 2006 di Kabupaten Alor dengan judul “Analisis Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor” dengan menggunakan indeks williamson sebagai salah satu analisis untuk mendeteksi ketimpangan yang terjadi di Kabupaten Alor. Dari indeks Williamson tersebut memberikan indikasi bahwa ketimpangan pendapatan pada kurun waktu

(16)

1999-2004 menunjukkan bahwa rata-rata ketimpangan pendapatan tingkat Kabupaten jauh lebih tinggi dari pada rata-rata ketimpangan pendapatan antar ketiga Satuan Wilayah Pengembangan. Sedangkan ukuran ketimpangan perkembangan wilayah lain juga dilihat dengan penggunaan Indeks Skalogram yang dicirikan oleh ketersediaan penyediaan jumlah sarana dan prasarana yang tersedia di desa-desa antar satuan wilayah pengembangan sehingga dari hasil analisis ini diperoleh kesimpulan bahwa kota-kota hirarki yang ditetapkan berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) Kabupaten Alor Tahun 1991 antar SWP hingga tahun 2003 menunjukkan perkembangan yang tidak signifikan, bahkan pada beberapa hirarki yang berperan sebagai pusat aktivitas Kecamatan menunjukkan indeks perkembangan yang kurang bahkan sangat kurang. Sedangkan untuk melihat ketimpangan proporsi Alokasi APBD Pembangunan antar SWP digunakanlah model indeks entropy yaitu dengan melihat perkembangan wilayah dari sisi investasi, sedangkan untuk melihat mobilitas dan sinergitas interaksi spasial antar wilayah maka menggunakan analisis Interaksi Spasial Antar Hirarki/Pusat Aktivitas Wilayah Pembangunan. Serta penelitian ini juga menggunakan analisis sektor basis/komoditi Unggulan seperti Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA) untuk melihat potensi wilayah dan komoditi unggulan di setiap wilayah.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Hastoto tahun 1999 dengan judul “Analisis Disparitas Pembangunan Regional di Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Gorontalo. Ketimpangan diukur dengan menghitung Indeks entropi relatif untuk provinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo, membandingkan antara kedua provinsi ini maka diperoleh hasil bahwa ketimpangan di Provinsi Sulawesi Utara lebih tinggi atau lebih buruk dibandingkan di Provinsi Gorontalo, hasil ini diperoleh dengan menggunakan PDRB dan PDRB per kapita. Selain penggunaan indikator –indikator tersebut juga digunakan indikator lain seperti IPM, , IKM, IDG. Interaksi Spasial dipakai dengan mengukur hubungan/ interaksi kedua daerah tersebut.Serta menggunakan LQ dan SSA untuk melihat potensi wilayah dan komoditi unggulan, agar pola kebijakan yang diambil tidak terlepas dari tujuan pembangunan yaitu menciptakan pemerataan dengan mengetahui ketimpangan yang terjadi serta pembangunan sesuai kapasitas dan kemampuan daerah tersebut, dan juga terlihat dari pola interaksi yang saling menguntungkan yang saling memperkuat.

(17)

2.3 Kerangka Penelitian

Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi yang berada di Timur Indonesia yang memilki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Perkembangan PDRB Sulawesi Selatan ini berada di peringkat 2 Nasional. Namun, dibalik tingginya pertumbuhan ekonomi, pada kenyataannya terdapat ketimpangan yang terjadi di Sulawesi Selatan yang cenderung makin meningkat. Hal tersebut ditunjukkan dengan perbedaan tingkat pendapatan per kapita, Indeks Pembangunan Manusia yang lebih tinggi untuk beberapa Kabupaten/kota daerah tertentu, tetapi secara keseluruhan IPM Sulawesi Selatan berada di peringkat 21 nasional. Ini disinyalir juga karena buruknya infrasturktur pendidikan dan kesehatan yang ada. Bahkan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) telah menetapkan Jeneponto, Luwu, Selayar, Enrekang, Pangkajene Kep, Luwu Timur, Sinjai, Takalar, Tana Toraja, Bulukumba, Bantaeng, Barru, dan Pinrang. Dengan demikian Sulawesi Selatan memilki 13 Kabupaten dari 23 Kabupaten/kota sebagai daerah tertinggal dan merupakan jumlah yang terbesar di Pulau Sulawesi.

Perbedaan yang besar terhadap proporsi kontribusi yang dimiliki setiap sektor terhadap PDRB Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan belum meratanya penyebaran aktivitas ekonomi di Sulawesi Selatan terlihat dari Pertanian yang menyumbang 39 persen terhadap PDRB Sulawesi Selatan.

Selain melihat dari sisi PDRB setiap Kabupaten/kota, perbedaan yang hadir di setiap daerah bisa juga disebabkan karena kebijakan setiap daerah yang berbeda-beda yang memberikan stimulus bagi setiap sektor untuk berkembang, dan akan mendorong kegiatan pembangunan yang ada. Oleh sebab itu maka selain melihat sumber ketimpangan dari anggaran belanja yang dikeluarkan di Provinsi Sulawesi Selatan untuk meningkatkan kemampuan daerahnya yang terkait belanja infrastruktur umum, urusan/bidang pendidikan, urusan/bidang kesehatan, urusan/bidang sosial, dan urusan/bidang ekonomi.

Selain itu dalam proses pembangunan, diperlukan ketersedian infrastruktur, dimana kekurangan infrastruktur ini akan menjadi penghambat dalam pengembangan ekonomi nasional. Akses terhadap fasilitas serta jasa pelayanan infrastruktur ini merupakan salah satu faktor utama menciptakan kesejahteraan. Buruknya peringkat IPM Provinsi Sulawesi Selatan ini yang berada di posisi 21 nasional ini disinyalir

(18)

merupakan buruknya infrastruktur pendidikan dan kesehatan yang ada di Sulawesi Selatan.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, penduduk dalam wilayah sering kali harus memenuhinya dari wilayah lain, oleh karena itu penduduk harus melakukan perjalanan ke wilayah lain sehingga membentuk hubungan antar wilayah. Hubungan atau kontak ini secara ekonomi dapat digambarkan sebagai proses permintaan (demand) dan penawaran (supply).

Hubungan antar wilayah ini disebut sebagai keterkaitan (linkages) antar wilayah. Kontak atau hubungan antar wilayah tersebut dapat juga diartikan intreraksi. Secara harfiah interaksi dapat diartikan sebagai hal yang saling mempengaruhi.Keterkaitan antar wilayah dalam hal ini Kabupaten/kota tidak dapat bila tidak didukung prasarana dan sarana antar kedua Kabupaten/kota tersebut yang saling berinteraksi. Dukungan dapat berupa sarana dan prasarana transporatasi dapat pula dalam bentuk lain. Serta dapat pula berupa ketersediaan sarana dan prasarana infrastruktur.

Keterkaitan antara Kabupaten/kota yang selama ini terjalin lebih banyak terjadi secara vertikal, dimana wilayah perkotaan melakukan penyapuan sumberdaya

(backwash effect) di wilayah hinterlandnya atau wilayah Kabupatenupatren di sekitarnya, terwujud dimana perkotaan menjadi semakin meluas, perbandingan jumlah penduduk wilayah perkotaan semakin besar dibanding Kabupaten yang lainnya. Apabila keterkaitan antar wilayah saling mendukung atau saling memperkuat maka kedua wilayah tersebut memperoleh keuantungan, tetapi bila ketrkaitan antar wilayah lebih berbentuk eksploitatif maka akan terjadi satu wilayah yang semakin kaya dan ada yang semakin miskin. Aliran alur pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.

(19)

Gambar 5. Alur Kerangka Pikir Penelitian Infrastruktur Kabupaten/Kota Interaksi Kabupaten/Kota Pendidikan Kesehatan Sosial Ekonomi

PROV. SULAWESI SELATAN

KESENJANGAN

Sektoral Perkembangan

Aktivitas Ekonomi Regional (antar Kabupaten/kota) Realisasi Belanja

Terkait Sektor-Sektor

(20)

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Terdapat ketimpangan di Provinsi Sulawesi Selatan yang disebabkan

karena beberapa faktor baik antar Kabupaten/kota yang ada maupun antar sektor yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan

2. Terdapat perbedaan ketersediaan fasilitas sarana dan prasarana terkait fasilitas pendidikan dan kesehatan serta aksesibilitas setiap Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan

3. Terdapat pola hubungan yang eksploitatif dalam interaksi yang terjadi di dalam Provinsi Sulawesi Selatan sehingga berdampak pada ketimpangan yang terjadi

(21)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Cakupan wilayah penelitian adalah seluruh Kabupaten/kota di provinsi Sulawesi Selatan. Meliputi 20 wilayah Kabupaten dan 3 kotamadya. Penelitian berlangsung dari bulan Maret 2010 hingga bulan Mei 2010.

Gambar 6. Peta Administratif Sulawesi Selatan 3.2 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder, yakni melakukan studi kepustakaan dari publikasi data-data statistik Badan Pusat Statistik (BPS) baik Provinsi maupun Pusat, data-data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPEDDA) Provinsi,data-data Departemen Nasional dan dokumen perencanaan dan sumber-sumber pustaka lain yang relevan dengan topik

(22)

penelitian. Hubungan antara tujuan penelitian, metode, jenis dan sumber data serta output yang harapkan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

3.3 Metode Analisis

Untuk memecahkan permasalahan dan menjawab tujuan penelitian sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini memerlukan berbagai metode analisis. Tabel 1 berikut menyajikan informasi mengenai tujuan penelitian, metode, data dan variabel yang digunakan dalam penelitian.

Tabel 1. Tujuan Penelitian, Metode Analisis, Jenis dan Sumber Data serta Output Penelitian

No Tujuan Metode Analisis Jenis dan Sumber Data Output yang diharapkan

1. Mengidentifikasi ketimpangan/ ketimpangan antar Kabupaten/kota dan faktor penyebabnya Indeks Williamson PDRB Kabupaten/kota Tahun 2004-2009, Jumlah Penduduk tahun 2004-2009

Mengetahui

ketimpangan di Prov. Sulawesi Selatan

Indeks Theil

PDRB Per Sektor dan jumlah Tenaga Kerja per Sektor Kabupaten/Kota tahun 2004-2009 Mengetahui proporsi sumbangan ketimpangan antar sektor dan antar Kabupaten/kota Analisis Regresi Linier Berganda Indeks Williamson, Pertumbuhan PDRB, Anggaram Sektor Pendidikan, Anggaran Sektor Kesehatan, Anggaran Sektor Sosial, Anggaran Sektor Ekonomi, Anggaran Infrastruktur Umum Mengetahui faktor-faktor penyebab penyebab ketimpangan Mengidentifikasi perkembangan wilayah dan keseimbangan penyebaran aktivitas ekonomi Indeks Entropi PDRB per Sektor Kabupaten/Kota tahun 2004-2009 Mengetahui perkembangan wilayah dan keseimbangan penyebaran aktivitas ekonomi 2 Mengidentifikasi ketersediaan infrastruktur Kabupaten/kota Skalogram

Data potensi desa Kabupaten/kota 2003,2006,2008 Mengetahui ketersediaan infrastruktur setiap Kabupaten/kota

3 Mengidentifikasi pola interaksi Kabupaten/kota

Analisis interaksi spasial (Model Entropi Kendala Ganda

Data survey Asal Tujuan Transportasi Nasional Provinsi Sulawesi Selatan 2006 Mengetahui pola interaksi Kabupaten/kota

Gambar

Gambar 4. Sistematika Konsep-Konsep Wilayah (Rustiadi et al., 2006)
Gambar 5. Alur Kerangka Pikir Penelitian  Infrastruktur  Kabupaten/Kota Interaksi  Kabupaten/Kota Pendidikan Kesehatan Sosial Ekonomi
Gambar  6. Peta Administratif Sulawesi Selatan  3.2  Metode Pengumpulan Data
Tabel 1. Tujuan Penelitian, Metode Analisis, Jenis dan Sumber Data serta Output  Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Dalam literatur lain, disebutkan pula kompetensi dan keterampilan yang perlu dimiliki konselor untuk melakukan konseling resolusi konflik interpersonal dalam upaya mewujudkan

Sedangkan perubahan budaya lebih menitikberatkan pada perubahan gagasan atau idea yang ada pada setiap pemikiran individu maupun kelompok masyarakat yang

- Solubilisasi pelarut yang bersifat tidak larut dalam air tergantung pada kehadiran micelle surfaktan dalam fasa pelarut, dengan bagian hidrofobik dari micelle surfaktan berada

Siswa menyepakati tugas yang harus dilakukan berkaitan dengan klasifikasi huruf pada tipografi... Media dan

Tetraselmis chuii memiliki potensi untuk dijadikan sebagai bahan baku bioetanol, namun jika akan dimanfaatkan sebagai alternatif bahan bakar minyak perlu dilakukan

Gambar 3.4 Rancangan halaman info dan biaya sms Home Syarat/daftar Info&biaya sms Daftar harga FAQ Live Chat On line Contact Banner Informasi Logo Operator Disclaimer

Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Wamenkes RI) di Hari Osteoporosis Sedunia tahun 2012 mengatakan bahwa upaya pencegahan osteoporosis terutama dengan gaya

(2) Penyaluran laporan hasil penelaahan Pengaduan Masyarakat yang tidak berkadar pengawasan disampaikan dengan surat tertulis oleh Inspektur kepada pimpinan satuan kerja