• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Adsorben Zeolit Preparasi zeolit alam Aktivasi zeolit alam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN Adsorben Zeolit Preparasi zeolit alam Aktivasi zeolit alam"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Adsorben Zeolit Preparasi zeolit alam

Penelitian ini diawali dengan preparasi adsorben zeolit. Preparasi awal dilakukan dengan menghaluskan zeolit asal Sukabumi dan Lampung sehingga lolos ayakan 40 mesh, yang diukur dengan SEM mempunyai kisaran ukuran butir 0.003-0.425 mm baik untuk zeolit asal Sukabumi maupun Lampung. Pencucian dilakukan dengan akuades untuk menghilangkan kotoran pada permukaan zeolit. Untuk menghilangkan air dilakukan pemanasan dalam oven pada suhu 110°C selama 24 jam. Pemanasan pada suhu 105°C sampai kurang lebih 250°C akan menyebabkan air yang terkandung di dalam rongga kristal zeolit menguap. Fungsi dari dehidrasi tersebut adalah untuk mempertinggi keaktifan zeolit, yang disebabkan terbukanya pori-pori atau saluran pada kristal. Sedikit banyaknya air yang dapat dikeluarkan tergantung dari tingkat suhu dan lamanya waktu pemanasan (Sastiono 1993). Zeolit hasil preparasi awal kemudian disimpan dalam eksikator sebelum pemakaian selanjutnya, hal ini untuk menghindari penyerapan air kembali oleh zeolit.

Aktivasi zeolit alam

Zeolit alam umumnya masih mempunyai kemampuan rendah baik sebagai penjerap maupun penukar ion. Untuk meningkatkan mutu zeolit alam diperlukan proses aktivasi. Aktivasi kimia dapat dilakukan dengan penambahan asam. Pada penelitian ini untuk proses aktivasi digunakan HCl 1N. Penggunaan konsentrasi ini sesuai hasil yang dilaporkan Sastiono (1993), yang melakukan aktivasi zeolit jenis mordenit dan klinoptilolit dan diperoleh hasil KTK dari zeolit tersebut meningkat. Tapi penggunaan HCl lebih dari 1N telah menurunkan nilai KTK.

Perlakuan pengasaman terhadap zeolit bertujuan untuk menghilangkan senyawa pengotor yang menutupi rongga dan permukaan pori-pori, sehingga lebih porous dan permukaan pertukaran menjadi lebih luas. Luas permukaan yang bertambah diharapkan meningkatkan kemampuan zeolit dalam proses penjerapan. Selama proses perlakuan dengan asam, ion H+ akan menggantikan kation-kation

(2)

20

yang tidak terikat secara kuat di dalam kerangka zeolit dan mengatur kembali letak atom yang dapat dipertukarkan (Tarlan-Yel & Onen 2010; Wang et al. 2010; Pentrak et al. 2009).

Zeolit modifikasi asam fosfat

Zeolit yang telah diaktivasi, menjadi bentuk H-zeolit kemudian dimodifikasi dengan asam fosfat (Pannerselvam et al. 2008). Pada modifikasi ini gugus fosfat yang memiliki empat atom oksigen diharapkan mampu meningkatkan muatan negatif total pada zeolit sehingga mampu meningkatkan kapasitas adsorpsinya terhadap ion logam. Selain itu, penggunaan asam fosfat ini mempunyai beberapa alasan, yaitu (1) fosfat merupakan pengelat yang paling banyak di alam, (2) bisa bersifat asam keras maupun asam lunak tergantung kondisi reaksi, (3) pada adsorben yang dimodifikasi dengan asam fosfat, anion-anion fosfat pada permukaan adsorben menjadi bersifat basa lunak dibandingkan dengan anion sulfat dan flourida, sehingga anion fosfat memiliki afinitas yang tinggi terhadap kation-kation lunak (Wang et al. 2010).

Beberapa penelitian modifikasi adsorben dengan asam fosfat dalam suasana asam mampu mengikat kation-kation lunak. Hal ini diduga adanya media asam mampu mengubah sifat basa keras pada asam fosfat menjadi basa lunak. Olu-Owolabi & Unuabonah (2010) memodifikasi bentonit dengan asam fosfat untuk mengadsorpsi Zn(II) dan Cu(II). Unuabonah et al. (2007) memodifikasi kaolinit untuk mengadsorpsi Pb(II). Menurut teori HSAB (Hard and Soft Acid Bases) bahwa Zn(II), Cu(II) dan Pb(II) merupakan kelompok asam lunak (Lippard & Berg 1994). Oleh karena itu, modifikasi zeolit dengan asam fosfat diharapkan akan mempunyai afinitas yang tinggi terhadap ion Pb(II). Modifikasi montmorillonit dengan asam fosfat juga dapat meningkatkan afinitasnya terhadap unsur radioaktif cesium (Cs) (Wang et al. 2010).

Penambahan NaHCO3 juga untuk menghindari terjadinya ikatan hidrogen

pada zeolit termodifikasi. Adanya ikatan hidrogen akan membuat atom H terikat kuat sehingga akan sulit untuk dipertukarkan dengan ion logam. Mekanisme reaksi diilustrasikan pada Gambar 4.

(3)

21

Gambar 4 Skema reaksi modifikasi zeolit PNa2 (Panneerselvam et al. 2008)

Keberhasilan dari modifikasi dapat dilihat dari kapasitas adsorpsi zeolit terhadap asam fosfat yang digunakan. Hasil perhitungan menunjukkan kapasitas adsorpsi zeolit Sukabumi dan Lampung terhadap asam fosfat berturut-turut adalah 127.80 mg/g dan 128.16 mg/g. (Lampiran 7). Hasil analisis unsur dengan EDS menunjukkan adanya unsur P pada zeolit termodifikasi yaitu kadar unsur P dalam Z-PNa2-S dan Z-PNa2-L berturut-turut 0.07% dan 0.02%.

Karakterisasi adsorben

Hasil analisis XRD yang dilakukan terhadap zeolit alam Sukabumi maupun Lampung sebelum modifikasi diperoleh hasil bahwa zeolit asal Sukabumi merupakan jenis mordenit dan zeolit asal Lampung merupakan jenis klinoptilolit. Hasil ini sesuai dengan yang telah dilaporkan Rohaeti (2007). Mordenit dicirikan oleh puncak 6.55, 6.02, 5.78, 4.49, 4.03, 3.44, 3.39, 3.19, 2.88, 2.53 dan 2.52 Å, sedangkan klinoptilolit mempunyai puncak pada 5.20, 4.63, 4.31, 4.11, 3.97, 3.94, 3.89, 3.40, 3.16, 3.11, 2.96, 2.72, dan 2.42 Å. Hasil difraktogram menunjukkan

(4)

22

bahwa sampel zeolit tersebut tidak hanya mengandung mineral zeolit, akan tetapi juga diikuti oleh mineral silikat lainnya yaitu kuarsa, plagioklas, mika serta mineral liat montmorillonit. Gambar 5 dan Gambar 6, berturut-turut menunjukkan difraktogram zeolit Sukabumi dan Lampung. Identifikasi mineral kuarsa pada difraktogram sinar-x dicirikan oleh puncak 4.23 dan 3.31 Å, sedangkan plagioklas pada puncak 3.79, 3.72 dan 2.79Å. Golongan mineral liat montmorillonit dapat dikenali pada puncak 5.15, 5.08, 3.06, 2.58, dan 2.56 Å, sedangkan mika memiliki puncak pada 4.23 dan 3.31 Å.

Keterangan: M: mordenit; K: klinoptilolit; Mn: montmorillonit; Mk: mika; P: plagioklas Gambar 5 Difraktogram XRD zeolit Sukabumi

Keterangan: K: klinoptilolit; M: mordenit; Mn: montmorillonit; Ku:Kuarsa; P: plagioklas Gambar 6 Difraktogram XRD zeolit Lampung

Hasil analisis BET dengan menggunakan gas nitrogen menghasilkan luas permukaan, volume pori total dan rata-rata diameter pori yang disajikan dalam

(5)

23 Tabel 3. Luas permukaan dan volume pori total mengalami kenaikan, hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya aktivasi dan modifikasi telah menghilangkan pengotor yang ada pada zeolit. Sedangkan untuk rata-rata diameter pori mengalami penurunan, hal ini diduga bahwa gugus fosfat terjerap dalam rongga zeolit sehingga ukuran pori menjadi lebih kecil dari sebelum modifikasi.

Tabel 3 Hasil pengukuran luas permukaan, volume pori dan diameter pori sebelum dan sesudah modifikasi zeolit Sukabumi dan Lampung

Parameter

Zeolit Sukabumi Zeolit Lampung Sebelum modifikasi Sesudah modifikasi Sebelum modifikasi Sesudah modifikasi Luas permukaan (m2/g) 1.68 1.80 1.63 1.79

Volume pori total (L/g) 1.47 1.48 1.47 1.48

Rata-rata diameter pori (Å) 35.05 32.95 36.28 33.12

Kristalinitas

XRD digunakan untuk menganalisis kristalinitas zeolit sebelum dan sesudah perlakuan. Hal ini dapat membantu mengidentifikasi kerusakan struktur zeolit setelah diaktivasi dengan HCl 1N dan dimodifikasi dengan asam fosfat serta mengubahnya dalam bentuk Na-zeolit. Difraktogram zeolit Sukabumi dan Lampung sebelum dan sesudah perlakuan ditunjukkan pada Gambar 7 dan Gambar 8, berturut-turut. Hasil difraktogram yang diperoleh pada zeolit Sukabumi terlihat tidak terjadi perubahan puncak-puncak difaktogram yang signifikan, hanya terjadi perubahan intensitas.

Perhitungan kristalinitas menunjukkan bahwa zeolit Sukabumi tanpa perlakuan mempunyai kristalinitas sebesar 90.77%, setelah perlakuan aktivasi nilai tersebut turun menjadi 63.42%. Hal tersebut diduga karena hilangnya senyawa-senyawa pengotor yang mempengaruhi kristalinitas zeolit tersebut dan rusaknya struktur zeolit. Turunnya nilai kristalinitas tersebut juga diduga karena ada beberapa puncak utama penciri mordenit yang mengalami perubahan intensitas dan pergeseran sudut 2θ, bahkan puncak pada 2θ = 14.68° (d = 6.02Å) dan 2θ = 35.59° (d = 2.52Å) menjadi hilang. Setelah dilakukan modifikasi menjadi Z-PNa2-S kristalinitas meningkat kembali menjadi 74.51%. Hal ini

(6)

24

menunjukkan bahwa perlakuan dengan asam fosfat pada zeolit jenis mordenit dapat meningkatkan struktur kristalin dibandingkan yang amorf. Mordenit tergolong sangat tahan terhadap asam, dengan terjerapnya fosfat dalam zeolit yang membentuk ikatan baru Si-O-P-O-Al (Gambar 4) sehingga jarak Si-Al menjadi lebih jauh yang memungkinkan struktur zeolit menjadi fleksibel dan bentuk kristalnya menjadi lebih teratur. Perlakuan dengan basa NaHCO3 setelah

modifikasi asam fosfat beberapa puncak mordenit intensitasnya meningkat sesuai yang dilaporkan oleh Sastiono (1993) yang memberikan perlakuan terhadap mordenit dengan basa.

Gambar 7 yang menunjukkan difraktogram zeolit Lampung terlihat ada perubahan intensitas untuk puncak-puncak penciri klinoptilolit. Kristalinitas zeolit Lampung tanpa perlakuan adalah 84.70% dan meningkat setelah dilakukan aktivasi dengan HCl 1N menjadi 90.42%. Hal ini diduga karena jumlah beberapa senyawa pengotor yang mengalami penurunan intensitas dan bahkan ada yang hilang. Senyawa pengotor seperti kuarsa (2θ = 20.95°, d = 4.23Å) dan montmorillonit (2θ = 20.10°, d = 3.06Å dan 2θ = 34.69°, d = 2.58Å) menjadi hilang. Senyawa pengotor lain seperti plagioklas (2θ = 32.02°, d = 2.79Å; (2θ = 23.85°, d = 3.72Å) mengalami penurunan intensitas. Tetapi salah satu puncak penciri utama klinoptilolit (2θ = 28.19°, d = 3.16Å) mengalami kenaikan intensitas yang signifikan yaitu dari 39% menjadi 100%.

Perlakuaan dengan asam fosfat pada zeolit Lampung menghasilkan nilai kristalinitasnya turun dari 90.42% menjadi 81.00%. Hal ini diduga klinoptilolit yang kurang tahan terhadap asam, mengakibatkan sejumlah Al dalam struktur zeolit menjadi hilang, sehingga ikatan –Si-O-P-O-Al- yang terbentuk tidak sebanyak pada mordenit. Selain itu, adanya asam fosfat dapat menyebabkan kerusakan struktur pada pengotor montmorillonit (Wang et al. 2010). Penambahan NaHCO3 juga mengakibatkan turunnya intensitas puncak

klinoptilolit, seperti yang telah dilaporkan Sastiono (1993) bahwa dengan perlakuan basa mengakibatkan beberapa puncak klinoptilolit mengalami penurunan intensitas.

(7)

25

Gambar 7 Difraktogram XRD zeolit Sukabumi A. tanpa perlakuan; B. setelah aktivasi; C. setelah modifikasi.

Gambar 8 Difraktogram XRD zeolit Lampung A. tanpa perlakuan; B. setelah aktivasi; C. setelah modifikasi.

Morfologi

Gambar hasil SEM untuk zeolit Sukabumi dan Lampung sebelum dan sesudah modifikasi ditunjukkan pada Gambar 9 dan Gambar 10, berturut-turut. Berdasarkan kedua gambar tersebut, baik zeolit Sukabumi maupun Lampung sebelum perlakuan terlihat lebih kasar dan terdapat banyak serpihan kecil-kecil yang diduga adalah pengotor. Setelah dilakukan aktivasi dengan HCl, kedua zeolit tampak lebih bersih dari serpihan dan bentuk kristalnya lebih nyata. Setelah dilakukan modifikasi dengan asam fosfat dan mengubahnya dalam bentuk Na-zeolit, terlihat bahwa permukaannya lebih bersih dan bentuk morfologi kristalnya lebih tampak. Berdasarkan pengamatan perlakuan aktivasi dan modifikasi tidak menghasilkan perubahan bentuk stuktur. Hal serupa juga dilaporkan oleh

(8)

26 Pann meng Gam Gam Pene dari b dari deng larut dari t peng meng yang a a nerselvam ( ggunakan a mbar 9 SEM aktivas mbar 10 SEM aktivas entuan kap Zeolit berp besaran kap zeolit terika gan mudah a an kation-k tingkat subt ggantian ak gakibatkan g diperlukan (2008) yang sam fosfat. M zeolit Suka i; c. setelah M zeolit Lam i; c. setelah pasitas tuka potensi dala pasits tukar at secara tid akan dilepa kation yang titusi Al ter kan semak semakin ba n untuk men g melakuka abumi perb h modifikasi mpung perb h modifikasi ar kation am menuka kation (KT dak kuat di askan ataupu lain. Kema rhadap Si p kin besar anyak pula j netralkannya b b an modifika esaran 1000 i. besaran 100 i. arkan kation TK). Kation dalam kera un dipertuk ampuan per ada struktur pula keku jumlah kati a (Sastiono asi zeolit s 0x: a. tanpa 0x: a. tanpa n yang param -kation yan angka tetrah karkan mela rtukaran zeo r bangun ze urangan m on-kation a 1993). c c sintetik Na-a perlNa-akuNa-an; a perlakuan meternya da ng dapat dip hedral zeolit alui pencuci olit merupa eolit. Semak muatan pos alkali atau a -Y dengan ; b. setelah ; b. setelah apat dilihat pertukarkan t, sehingga ian dengan akan fungsi kin banyak sitif yang alkali tanah

(9)

27 Dalam penelitian digunakan metode ammonium asetat (Olu-Owolabi & Unuabonah, 2010) dengan amberlit sebagai kontrolnya (Lampiran 8). Hasil pengukuran KTK disajikan dalam Tabel 4. Hasil pengukuran KTK diperoleh bahwa aktivasi dengan pencucian menggunakan HCl 1N telah meningkatkan nilai KTK baik untuk zeolit Sukabumi maupun Lampung. Perlakuan dengan HCl 1N dengan waktu pengocokan yang berbeda dapat meningkatkan KTK zeolit asal Sukabumi dari 74.90-90.34 mek/100g telah dilaporkan oleh Sastiono (1993).

Tabel 4 Hasil pengukuran KTK

Jenis Sampel KTK (mek/100g)

Zeolit Lampung 93.03

Zeolit Sukabumi 92.60

Zeolit Lampung teraktivasi 125.23 Zeolit Sukabumi teraktivasi 126.10

Z-PNa2- L 149.62

Z-PNa2-S 179.90

Modifikasi zeolit yang telah diaktivasi dengan asam fosfat juga telah meningkatkan nilai KTK. Z-PNa2-S memiliki nilai KTK lebih besar dibandingkan

Z-PNa2-L, diduga bahwa zeolit jenis mordenit lebih tahan terhadap asam

dibandingkan jenis klinoptilolit (Sastiono 1993). Kenaikan nilai KTK ini diduga karena adanya gugus fosfat yang memiliki empat atom oksigen diharapkan mampu meningkatkan muatan negatif total pada zeolit sehingga mampu meningkatkan kapasitas adsorpsinya terhadap ion logam. Pada modifikasi zeolit dengan asam fosfat, setiap mol asam fosfat yang teradsorpsi dalam zeolit menyediakan dua mol proton yang dapat dipertukarkan dengan Na+ dengan basa lemah seperti NaHCO3 (Panneerselvam et al.2008). Bentuk Na-zeolit mempunyai

dua Na+ yang dapat dipertukarkan dengan ion NH4+ pada penentuan KTK dengan

metode ammonium asetat dibandingkan zeolit tanpa modifikasi, dan semakin banyak ion Na+ yang dipertukarkan maka makin besar nilai KTKnya (Gambar 4).

(10)

28

Percobaan Adsorpsi Efek variasi bobot adsorben

Jumlah ion Pb(II) yang teradsorpsi per satuan massa dari zeolit menurun dengan naiknya massa zeolit PNa2 yang ditunjukkan oleh kapasitas

adsorpsinya (Gambar 11). Hasil serupa juga telah dilaporkan oleh Gupta & Bhattacharyya (2008) yang mempelajari adsorpsi Pb(II) menggunakan kaolinit dan montmorillonit. Hal ini disebabkan oleh dua alasan: (i) jumlah adsorben yang besar secara efektif mengurangi kejenuhan sisi aktif adsorpsi per satuan massa sehingga kapasitas adsorpsi berkurang dengan naiknya jumlah adsorben, dan (ii) jumlah adsorben yang besar menimbulkan agregasi partikel, mengakibatkan penurunan area permukaan total sehingga interaksi adsorben dan adsorbat menurun (Gupta & Bhattacharyya 2008).

Hasil perhitungan kapasitas adsorpsi untuk Z-PNa2-S dan Z-PNa2-L tidak

menunjukkan perbedaan yang signifikan (Lampiran 9 dan 10). Pada bobot adsorben 0.2 g diperoleh kapasitas adsorpsi sebesar 12.28 mg/g (%adsorpsi = 99.67%) untuk Z-PNa2-S dan 12.24 (%adsorpsi = 99.29%) untuk Z-PNa2-L. Oleh

sebab itu untuk percobaan selanjutnya digunakan bobot adsorben sebesar 0.2 g.

Efek pH

Efek dari pH larutan adsorbat terhadap kapasitas adsorpsi dari Z-PNa2-S dan

Z-PNa2-L ditunjukkan pada Gambar 12. pH larutan merupakan parameter

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00 0 0,2 0,4 0,6 qe (mg/g) Bobot adsorben (g) Z-PNa2-S Z-PNa2-L

(11)

29 operasional penting dalam proses adsorpsi karena akan berpengaruh pada kelarutan ion logam, konsentrasi kounter ion pada gugus fungsional adsorben (karboksilat, fosfat dan asam amino) dan derajat ionisasi dari adsorben selama reaksi serta kompetisi ion logam dalam pengikatan (Jiang et al. 2009, Fan et al. 2008). Gambar 12 menunjukkan bahwa kenaikan pH sampai dengan pH 5 menghasilkan peningkatan kapasitas adsorpsi baik untuk Z-PNa2-S maupun

Z-PNa2-L. Pada pH 6 kapasitas adsorpsi kedua adsorben menurun, hal ini

dimungkinkan pada pH 6 telah terjadi proses desorpsi. Hal serupa juga dilaporkan oleh Fan et al. (2008) yang menggunakan Penicillium simplicissimum sebagai adsorben ion Pb(II).

Kapasitas adsorpsi baik Z-PNa2-S maupun Z-PNa2-L terbesar pada pH 5

yaitu berturut-turut 12.78 mg/g dan 12.80 mg/g dengan efisiensi adsorpsi sebesar 99.47% dan 99.40%. Pada pH yang sama menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi untuk Z-PNa2-L lebih besar dari Z-PNa2-S walaupun perbedaannya hanya sedikit.

Sisi aktif pada zeolit termodifikasi bersifat asam keras, dengan adanya media yang dibuat asam maka sisi aktif fosfat menjadi bersifat asam lunak sehingga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap ion Pb(II) yang bersifat basa lunak. Pada pH 5 zeolit termodifikasi mempunyai kapasitas adsorpsi yang stabil, hal ini diduga terjadinya reaksi kompotitif antara proton dan pembentuka kompleks fosfat (Xie et al. 2011). Kapasitas dan efisiensi adsorpsi dari kedua adsorben pada saat kesetimbangan tidak berubah secara signifikan dengan kenaikan pH (Lampiran 11 dan 12). Bahkan pada nilai pH yang rendah efisiensi adsorpsi masih

12,64 12,66 12,68 12,7 12,72 12,74 12,76 12,78 12,8 12,82 0 2 4 6 8 qe (mg/g) pH Z-PNa2-S Z-PNa2-L

(12)

30

tinggi, hal ini menyebabkan nilai pH larutan meningkat selama percobaan karena hidrolisis dari adsorben (Bektas & Kara 2004). Hasil serupa dilaporkan oleh Bektas & Kara (2004) yang menggunakan Na-klinoptilolit untuk mengadsorpsi Pb(II).

Efek waktu kontak dan penentuan kinetika adsorpsi

Efek waktu kontak terhadap adsorpsi Pb(II) dengan kedua adsorben Z-PNa2-S maupun Z-PNa2-L dapat terlihat pada Gambar 13. Lamanya waktu

kontak ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kapasitas dan efisiensi adsorpsi dari adsorben. Kedua adsorben tersebut memiliki perbedaaan kapasitas dan efisiensi adsorpsi yang tidak begitu signifikan pula (Lampiran 13 dan 14). Dari waktu 10 sampai 120 menit kapasitas adsorpsi untuk Z-PNa2-S meningkat dari 12.62 menjadi 12.74 mg/g dan efisiensi adsorpsi dari

98.44 menjadi 98.94%, dan setelah 120 menit kapasitas adsorpsinya menjadi konstan. Untuk Z-PNa2-L kapasitas adsorpsi dari waktu 10 menit sampai 150

menit meningkat dari 12.61 menjadi 12.73 mg/g dengan efisiensi adsorpsi 98.02 menjadi 98.87% dan setelah 150 menit kapasitas adsorpsinya menjadi konstan. Hal ini disebabkan karena permukaan adsorben yang telah jenuh atau terjadi kesetimbangan.

Pencapaian kesetimbangan dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk sifat adsorben dan adsorbat, serta interaksi antara keduanya (Gupta & Bhattacharyya 2008). Buasri et al. (2008) melaporkan bahwa adsorpsi Pb(II) dengan klinoptilolit

12,6 12,62 12,64 12,66 12,68 12,7 12,72 12,74 12,76 0 50 100 150 200 250 300 qe (mg/g) waktu (menit) Z-PNa2-S Z-PNa2-L

(13)

31 mencapai kesetimbangan setelah 120 menit untuk konsentrasi awal 800 mg/L. Adsorpsi Pb(II) dengan montmorillonit mencapai kesetimbangan setelah 180 menit untuk konsentrasi awal 50 mg/L (Gupta & Bhattacharyya 2008).

Kinetika adsorpsi menjelaskan laju pengambilan zat terlarut oleh adsorben selama waktu kontak reaksi penjerapan. Mekanisme kinetika yang mengendalikan proses adsorpsi Pb(II) oleh Z-PNa2-S dan Z-PNa2-L dianalisis dengan model

kinetika orde pertama dan kedua semu (Lampiran 15). Model kinetika adsorpsi Pb(II) oleh Z-PNa2-S dan Z-PNa2-L ditunjukkan pada Gambar 14 dan 15,

berturut-turut serta parameter kinetika yang ditentukan dari kemiringan dan intersepnya berdasarkan persamaan 6 dan 9 (Lampiran 16) disajikan pada Tabel 5.

-8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 0 50 100 150 200 ln(qe-qt) Waktu (menit) Z-PNa2-S Z-PNa2-L 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 0 50 100 150 200 250 300 t/qt t (menit) Z-PNa2-S Z-PNa2-L

Gambar 14 Plot kinetika orde pertama semu adsorpsi Pb(II) oleh Z-PNa2-S

dan Z-PNa2-L

Gambar 15 Plot kinetika orde kedua semu adsorpsi Pb(II) oleh Z-PNa2-S

(14)

32

Tabel 5 Perbandingan konstanta laju orde pertama dan kedua semu

Adsorben

qe

percobaan (mg/g)

Orde pertama semu Orde kedua semu k1 (menit-1) qe hitung (mg/g) R2 k2 (g/mg menit) qe hitung (mg/g) R2 Z-PNa2-S 12.74 0.02 0.20 0.83 0.30 12.75 0.999 Z-PNa2-L 12.73 0.03 0.31 0.83 0.30 12.75 0.999

Keterangan: qe: kapasitas adsorpsi; k1: konstanta laju orde pertama semu; k2: konstanta laju kedua

semu

Tabel 5 menunjukkan bahwa koefisien korelasi orde kedua semu lebih besar daripada orde pertama semu untuk kedua adsorben. Dengan menggunakan persamaan kinetika adsorpsi model orde kedua semu, parameter yang akan didapat adalah konstanta adsorpsi (k2) dan kapasitas adsorpsi hitung (qeh). Nilai

qeh (teoritis) model orde kedua semu lebih mendekati nilai qe percobaan. Sehingga

pada penelitian ini adsorpsi Pb(II) dengan Z-PNa2-S dan Z-PNa2-L mengikuti

model kinetika orde kedua semu. Hasil serupa juga dilaporkan oleh oleh Sprynskyy et al. (2006) dan Bektas & Kara (2004) yang menggunakan klinoptiolit dan Na-klinoptilolit untuk menjerap Pb(II). Model kinetika orde kedua semu berdasarkan asumsi bahwa pembatas laju adalah adsorpsi kimia antara adsorben dan adsorbat (Mohan et.al 2006). Persamaan orde kedua semu juga diasumsikan sebagai jenis khusus dari kinetika Langmuir, bahwa (i) konsentrasi adsorbat konstan dalam selang waktu tertentu dan (ii) jumlah sisi aktif tergantung pada jumlah adsorbat yang teradsorpsi pada saat kesetimbangan (Gupta & Bhattacharyya 2011).

Efek konsentrasi awal dan isoterm adsorpsi

Kenaikan konsentrasi awal Pb(II) menghasilkan kenaikan jumlah Pb(II) yang teradsorpsi (kapasitas adsorpsi) baik untuk Z-PNa2-S maupun Z-PNa2-L.

Jumlah Pb(II) yang teradsorpsi meningkat dari 6.72-57.49 mg/g untuk Z-PNa2-S

dan 6.72-58.70 mg/g untuk Z-PNa2-L dengan konsentrasi awal 30-300 mg/L

(Lampiran 17 dan 18). Hal ini disebabkan karena makin tingi konsentrasi adsorbat, maka makin banyak pula jumlah ion logam Pb (II) dalam larutan yang dapat diadsorpsi. Selain itu, makin tinggi konsentrasi maka makin tinggi pula

(15)

33

driving force yang dimiliki untuk mengatasi hambatan transfer massa dari ion

logam dari fasa larutan ke fasa padatan sehingga mengakibatkan makin tingginya probabilitas tumbukan antara ion Pb(II) dan sisi aktif adsorben (Jiang, et al 2009). Isoterm adsorpsi mengungkapkan hubungan khusus antara konsentrasi adsorbat, tingkat penyerapannya ke permukaan adsorben pada suhu konstan, sifat serta afinitas adsorben (Jiang et al. 2010; Ghassabzadeh et al. 2010). Kesetimbangan adsorpsi isoterm adsorpsi pada pH 5 dan suhu kamar diperlihatkan pada Gambar 16.

Pada penelitian ini, data hasil percobaan adsorpsi isotermal Pb(II) dengan Z-PNa2-S maupun Z-PNa2-L dianalisis dengan dua model isoterm adsorpsi yaitu

model Langmuir dan Freundlich (Lampiran 19). Isoterm Langmuir berdasarkan adsorpsi monolayer pada sisi aktif adsorben yang homogen, sebaliknya isoterm Freundlich menggambarkan adsorpsi pada permukaan multilayer (heterogen) dengan energi adsorpsi seragam. Kedua isoterm adsorpsi Pb(II) dengan Z-PNa2-S

dan Z-PNa2-L disajikan dalam Gambar 17 dan 18, berturut-turut. Parameter

isoterm adsorpsi disajikan pada Tabel 6.

Pada adsorpsi Pb(II) dengan Z-PNa2-S maupun Z-PNa2-L nilai korelasi

model Langmuir lebih besar dibandingkan model Freundlich, menunjukkan bahwa proses adsorpsi didominasi oleh adsorpsi monolayer (homogen). Isoterm Langmuir pada awalnya dikembangkan untuk menggambarkan adsorpsi kimia pada satu sisi aktif adsorpsi yang berbeda. Model ini didasarkan pada asumsi yang

0 10 20 30 40 50 60 70 0 20 40 60 80 qe (mg/g) Ce (mg/L) Z-PNa2-S Z-PNa2-L

(16)

34

mengabaikan kekuatan intraksi antara molekul yang diserap, dan sekali molekul menempati sebuah sisi aktif tidak terjadi penyerapan lebih lanjut (membentuk lapisan monolayer pada permukaan adsorben) (Wang & Aryanto 2007; Gupta & Bhattacharyya 2008). Hasil serupa juga dilaporkan oleh Gunay et al (2007), Bektas & Kara (2004) yang menggunakan Na-klinoptilolit untuk menjerap Pb(II) serta Buasri et al (2008) menggunakan klinoptilolit alam.

Tabel 6 Parameter isoterm Langmuir dan Freunlich

Adsorben Langmuir Freundlich qm (mg/g) b RL R2 KF n R2 Z-PNa2-S 58.81 0.34 0.0096-0.0956 0.98 15.57 2. 94 0.82 Z-PNa2-L 57.14 0.35 0.0093-0.0932 0.98 16.30 2.95 0.80 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 0 20 40 60 80 Ce/qe (g/L) Ce (mg/L) Z-PNa2-S Z-PNa2-L 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 1,8 2 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5 2 Log qe Log Ce Z-PNa2-S Z-PNa2-L Gambar 17 Isoterm Langmuir adsorpsi Pb(II) oleh Z-PNa2-S dan Z-PNa2-L

(17)

35

Dengan menggunakan persamaan isoterm Langmuir, parameter yang sangat penting yang biasa didapat adalah kapasitas adsorpsi maksimum (qm) teoritik.

Tabel 6 menunjukkan bahwa Z-PNa2-S dan Z-PNa2-L memiliki qm yang tidak

jauh berbeda untuk konsentrasi awal 30-50 mg/L.

Parameter lain yang dapat diperoleh dari persamaan Langmuir adalah nilai

RL yang merupakan parameter kesetimbangan atau dimensi adsorpsi. Jika RL>1 proses

adsorpsi bersifat unfavorable sebab adsorpsi pada zat padat relatif rendah; RL = 1 proses

adsorpsi linear, yang mengandung arti jumlah adsorbat sebanding dengan konsentrasinya dalam fluida; 0< RL<1 proses adsorpsi favorable, adsorpsi relatif tinggi pada adsorben

terjadi pada konsentrasi rendah, dan RL = 0 proses adsorpsi tidak dapat balik

(irreversible) (Ghassabzadeh et al. 2010). Dalam isoterm Freundlich, nilai n dalam rentang 1-10 menunjukkan bahwa proses adsorpsi favorable (Fan et al. 2008). Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai RL adsorpsi Pb(II) dengan Z-PNa2-S dan Z-PNa2-L

memiliki rentang nilai 0< RL<1 serta nilai n dari isoterm Freundlich lebih besar dari 1

yang menunjukkan bahwa proses adsorpsi relatif tinggi pada adsorben terjadi pada konsentrasi rendah. Adsorpsi Pb(II) dengan perlit dan kitosan terimmobilisasi pada bentonit juga memberikan hasil yang serupa dengan nilai RL 0.26-0.95 dan

0.0002–0.0020 serta nilai n>1 (Ghassabzadeh et al. 2010; Futalan et al. 2011). Efek suhu dan parameter termodinamika

Efek suhu pada adsorpsi Pb(II) menurun dengan kenaikan suhu dari 303 sampai 318 K (Gambar 19) baik pada Z-PNa2-S maupun Z-PNa2-L, hal ini

menunjukkan bahwa proses adsorpsi secara eksotermis dan ion logam meninggalkan fase padat pada temperatur yang lebih tinggi. Dengan peningkatan suhu, kelarutan ion logam pada fase air kemungkinan akan meningkat sehingga konsentrasi ion logam di fase padat menurun (Gupta & Bhattacharyya 2008). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi Z-PNa2-S terhadap

Pb(II) lebih besar dibandingkan Z-PNa2-L walaupun perbedaannya tidak terlalu

(18)

36

Parameter termodinamika ∆H, ∆S dan ∆G untuk proses adsorpsi ditentukan dengan memplot ln Kd vs 1/T (Gambar 20, Tabel 7 dan Lampiran 22). Untuk kedua adsorben nilai ∆H negatif menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi bersifat eksotermik. Nilai ∆H untuk interaksi Pb(II)-Z-PNa2-S adalah -40 kJ/mol

dan Pb(II)-Z-PNa2-L adalah -47.08 kJ/mol. Entalpi adsorpsi fisika berkisar 5-40

kJ/mol dan adsorpsi kimia berkisar 40-800 kJ/mol (Chang et al. 2006). Oleh karena itu adsorpsi Pb(II) baik dengan Z-PNa2-S maupun Z-PNa2-L termasuk

dalam kategori adsorpsi kimia. Besarnya ∆S untuk adsorpsi Pb(II) dengan Z-PNa2-S dan Z-PNa2-L berturut-turut adalah -0.10 kJ/mol dan -0.12 kJ/mol. Hal ini

menunjukkan bahwa distribusi Pb(II) dalam fase air jauh lebih tidak teratur dibandingkan pada fase padat (permukaan adsorben), sehingga Pb(II) memiliki afinitas kuat terhadap adsorben (Gupta & Bhattacharyya 2008; Jiang et al. 2009).

12,62 12,64 12,66 12,68 12,7 12,72 12,74 12,76 12,78 300 305 310 315 320 qe (mg/g) T (K) Z-PNa2-S Z-PNa2-L 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 4,00 0,0031 0,00315 0,0032 0,00325 0,0033 0,00335 ln Kc 1/T (1/K) Z-PNa2-S Z-PNa2-L

Gambar 19 Efek variasi suhu pada adsorpsi Pb(II) oleh Z-PNa2-S dan Z-PNa2-L

(19)

37 Tabel 7 Data parameter termodinamika adsorpsi Pb(II) dengan Z-PNa2-S dan

Z-PNa2-L

Adsorben (kJ/mol) ∆H (kJ/mol) ∆S ∆G (kJ/mol)

303 K 308 K 313 K 318 K Rata-rata Z-PNa2-S -40.00 -0.10 -8.70 -8.18 -7.66 -7.15 -7.92

Z-PNa2-L -47.08 -0.12 -8.86 -8.23 -7.60 -6.97 -7.92

Tabel 7 menunjukkan proses adsorpsi Pb(II) oleh Z-PNa2-S maupun

Z-PNa2-L memberikan nilai ∆G negatif yang menunjukkan bahwa adsorpsi terjadi

secara spontan di lingkungan. Pada suhu yang meningkat kespontanan adsorpsi menurun (proses desorpsi terjadi), ditunjukkan dengan nilai ∆G yang meningkat, yang menunjukkan bahwa energi yang menggerakkan proses adsorpsi (driving

force) rendah sehingga menyebabkan kapasitas adsorpsi menurun (Jiang et al.

2009). Nilai parameter termodinamika antara Z-PNa2-S maupun Z-PNa2-L

memiliki perbedaan yang tidak begitu jauh, yang menunjukkan kedua adsorben memiliki sifat yang sama.

Gambar

Gambar 4 Skema reaksi modifikasi zeolit PNa 2  (Panneerselvam et al. 2008)
Gambar 5 Difraktogram XRD zeolit Sukabumi
Gambar 7 Difraktogram XRD zeolit Sukabumi A. tanpa perlakuan; B. setelah  aktivasi; C
Tabel 4 Hasil pengukuran KTK
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasill dari pemberdayaan yang dilakukan adalah masyarakat memiliki kesadaran untuk mengkonsumsi produk dari kelapa walaupun masih belum terbiasa dengan rasanya,

Karakteristik tumbuhan hiperakumulator adalah: (i) Tahan terhadap logam dalam konsentrasi tinggi pada jaringan akar dan tajuknya; (ii) Tingkat laju penyerapan logam dari tanah yang

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Ika Wiji Sulastri (2015) dengan hasil validasi media dan materi oleh beberapa validator dapat dikategorikan layak dengan

a) Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan (Pasal 33 ayat (1)

Perjanjian tersebut berisi antara lain menentukan sebagian dari jumlah yang masih terutang kepada CIC akan ditukar (swap) dengan kepemilikan saham BUMI sebesar 42% di dalam

Semakin baik budaya organisasi, maka semakin tinggi prestasi kerja pegawai, dengan demikian hasil penelitian ini mendukung teori yang dikemukakan (Poerwanto, 2008: 15), yang

Diperlukan bimbingan karir untuk mengarah ke hal tersebut (Bimo Walgito, 2010:201). Berdasarkan definisi tersebut, dapat diambil kesimpulan, bahwa bimbingan karir adalah

Untuk memperoleh suatu informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan cara