• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengembangan Sumber Daya Manusia

merupakan suatu proses peningkatan kemampuan agar manusia mampu melakukan pilihan-pilahan. Proses pengembangan SDM tersebut harus menyentuh berbagai bidang kehidupan yang tercermin dalam pribadi pimpinan, termasuk pemimpin pendidikan seperti kepala sekolah.

Kepala sekolah merupakan salah satu komponen yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Kepala sekolah merupakan seorang pejabat yang diberi tugas tambahan dalam organisasi sekolah dan bertugas mengatur semua sumber organisasi serta bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan pendidikan.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah/Madrasah pada Bab I pasal 1 bahwa yang dimaksud dengan kepala Sekolah/Madrasah adalah guru yang diberi tugas tambahan untuk memimpin Taman Kanak-Kanak/Raudhotul Athfal (TK/RA),

(2)

2

Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan (SMK/MAK), atau Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) yang bukan sekolah bertaraf internasional (SBI) atau yang tidak dikembangkan menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI).

Seorang kepala sekolah bertanggungjawab terhadap seluruh kegiatan-kegiatan sekolah dan memiliki wewenang penuh untuk menyelenggarakan seluruh kegiatan pendidikan dalam lingkungan sekolah yang dipimpinnya. Selain itu, seorang kepala sekolah tidak hanya bertanggungjawab atas kelancaran jalannya sekolah secara teknis akademis saja, akan tetapi segala kegiatan, keadaan lingkungan sekolah dengan kondisi termasuk berelasi dengan masyarakat sekitarnya. Menurut (Daryanto, 2008) seorang kepala sekolah harus memiliki inisiatif dan kreatif untuk dapat memajukan sekolah dan dapat menanggulangi kesulitan yang dialami sekolah baik yang bersifat material, dan yang berhubungan dengan pendidikan anak-anak, selain itu kepala sekolah juga tidak bisa bekerja sendiri. Kepala sekolah harus dapat bekerja

(3)

3

sama dengan para guru, orang tua murid dan pihak pemerintah.

Kepala sekolah sebagai seorang pemimpin harus menunjukkan eksistensinya dalam memimpin lembaga pendidikan. Menurut (Gardner, 1990) seorang pemimpin harus mampu memimpin dan mengelolah suatu organisasi. Pendapat Gardner tersebut jika dihubungkan dengan kepemimpinan pendidikan maka, para pemimpin pendidikan dalam melaksanakan tugas harus dapat mengalokasikan dan mengelola berbagai sumber yang dimiliki, mempergunakan dengan baik anggaran yang diperoleh dari pemerintah, dan berani memulai usaha baru agar warga sekolah dimampukan untuk bergerak menuju visi yang telah ditentukan. Lebih lanjut (Gardner, 1990) juga menyarankan, agar para pemimpin pendidikan memiliki keterampilan manajerial untuk mengatasi masalah konkrit sehari-hari dalam kehidupan organisasi agar visi organisasi dapat tercapai. Ungkapan yang dipaparkan tersebut, menyimpulkan bahwa kepala sekolah seharusnya berperan dan sekaligus memiliki keterampilan sebagai manajer dan pemimpin.

Berbicara mengenai kepemimpinan dalam hubungannya dengan perspektif gender, Cucchiari, 1981 (dalam Sherry B, at all 1981) mengungkapkan bahwa fenomena gender merupakan realitas universal,

(4)

4

terjadi di semua budaya baik pada masa lampau dan berkesinambungan sampai saat ini. Selanjutnya, diungkapkan bahwa fenomena gender adalah dikonstruksi, merupakan ciri-ciri budaya, dan didukung oleh agen pembuatnya, yang tidak lain adalah manusia itu sendiri.

“a gender system is symbolic or meaning system that consist of two complementary yet mutually exlusive categories into which all human being are placed… associated with each category is a wide range of activities, attitudes, values, objects, symbols, and expectation. Although the categories-man and woman are universal, the content categories varies from culture to culture, and the variation is truly impressive”.

Mengacu pada pendapat Cucchiari itu, maka dapat dikatakan bahwa fenomena gender merupakan sistem bermakna yang ditemukan pada realitas lintas budaya berkaitan dengan berbagai aktivitas, nilai, objek, simbol, dan berbagai harapan, yang selama ini diasumsikan atau dianggap wajar. Realita tersebut mulai dipertanyakan kebenarannya karena diidentifikasi ada perbedaan penafsiran terhadap penerapan kategori antara laki-laki dan perempuan.

Fenomena kurang terwakilinya kepala sekolah perempuan sebagai pemimpin memang mulai disoroti, meskipun demikian belum banyak orang yang tertarik mengkaji secara serius. Sebetulnya kesenjangan dalam representasi atau ketidaknampakan perempuan

(5)

5

dibidang pendidikan, terutama dalam aras sekolah memang sudah selalu dijumpai di mana saja. Banyak orang berpikir, memang sudah seharusnya demikian, tidak ada yang salah atau tidak perlu mempertanyakan fenomena yang telah terjadi selama ini. Namun, salah satu penelitian untuk sekolah setingkat dengan sekolah dasar yaitu Madrasah Ibtidaiyah yang dilakukan oleh (Ulfatin, 2000) di Kabupaten Malang mengungkapkan bahwa jumlah kepala sekolah perempuan sangat sedikit dibanding dengan kepala sekolah laki-laki karena pengaruh dari praktik manajemen sekolah swasta yang berciri Islam. Di sisi lain, ada pengaruh sosio-kultural budaya yang kental. Penelitian lain yang juga dilakukan (Sumiyatiningsing, 2010) di kota Salatiga, Jawa Tengah tentang Kepemimpinan Pendidikan dalam prespektif gender mengungkapkan bahwa kesenjangan dalam bidang pendidikan diakibatkan oleh adanya dinamika kesesuaian antara peran gender dan peran sebagai pemimpin pendidikan.

Sebuah penelitian yang dilakukan untuk kepala sekolah perempuan pada jenjang dasar dan menengah di inggris oleh Jirasinghe dan Lyons (dalam Bush dan Coleman, 2006) mengemukakan bahwa kepala-kepala sekolah perempuan (sekolah dasar dan menengah) mendeskripsikan dirinya sebagai sosok yang lebih supel, demokratis, perhatian, artistik, bersikap baik,

(6)

6

cermat dan teliti, serta berperasaan dan berhati-hati. Para kepala sekolah perempuan memiliki model kepemimpinan yang berdasarkan pada keputusan bersama, melibatkan semua orang yang ada dalam suatu kegiatan, dengan demikian hal itu bisa menjadi komitmen dan motivasi, dan berperilaku sebagai pemimpin yang hangat dan bersahabat. Penelitian yang dilakukan oleh Jirasinghe dan Lyons di Inggris (dalam Bush dan Coleman, 2006), yang melakukan berbagai tes kepribadian, termasuk di sini pemakaian kuesioner model kepemimpinan mengungkapkan hasil yang positif berkaitan dengan kepemimpinan perempuan. Hasil kuesioner kepribadian yang berkaitan dengan pekerjaan terungkap, bahwa para kepala sekolah perempuan sekolah dasar dan menengah menyatakan dirinya sebagai pemimpin yang suka bergaul, demokratis, suka menolong, artistik, antisipatif serta mempertimbangkan perasaan. Sementara hasil kuesioner menurut tim Belbin yang berkaitan dengan peran dalam tim, para kepala sekolah perempuan tersebut cenderung memilih bekerja dalam tim serta berperan sebagai penyempurna atau pelengkap kerja tim. Mereka juga mengidentifikasi diri sebagai pemimpin yang berpartisipatif dan konsultatif.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Claudette,

(7)

7

yang signifikan antara gaya manajemen pemimpin pendidikan laki-laki dan perempuan dan apakah ada ciri khas kepala sekolah laki-laki dan perempuan, dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai perbedaan gender yang terlihat dari gaya manajemen dan pola pendekatan yang dilakukan oleh kepala sekolah laki-laki dan perempuan sangatlah berbeda.

Penelitian lain yang cukup menarik juga dilakukan di Yogyakarta oleh (Sahrah, 2004) mengenai presepsi kepemimpinan perempuan, yang terlibat dalam penelitian sejumlah 104 orang guru SMA dan mahasiswa dengan usia 20-40 tahun. Hasil penelitianya mengungkapkan bahwa ada perbedaan presepsi antara laki-laki dan perempuan mengenai kepemimpinan perempuan. Laki-laki cenderung lebih berpersepsi negatif terhadap kepemimpinan perempuan. Dengan kata lain, hal ini jelas memperkokoh pandangan budaya bahwa laki-laki selalu di tempatkan di tempat teratas dalam segala aspek kehidupan, sehingga menganggap diri mereka lebih layak menjadi pemimpin dibandingkan dengan perempuan. Sementara dilihat dari pihak perempuan, ternyata mereka lebih positif atau dapat menghargai kepemimpinan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan mampu menerima dirinya sendiri sebagai seorang pemimpin di bidang pendidikan.

(8)

8

Apabila kita mencermati keadaan pada saat ini, rupanya masalah kesenjangan gender dalam kepemimpinan pendidikan akan terus berlanjut. Ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender pun rupanya masih akan tetap menjadi masalah diberbagai aspek pendidikan. Beberapa penelitian yang sudah dilakukan memberi peluang untuk sebanyak-banyaknya menemukan informasi yang kita butuhkan untuk memperjelas penyebab kesenjangan yang ada.

Dengan mengacu kepada apa yang diungkapkan diatas, maka data yang diolah dari Dinas Pendidikan Kota Ambon di bawah ini kiranya dapat merefleksikan realita kesenjangan keberadaan perempuan sebagai kepala sekolah.

Tabel 1.1.

Perbedaan Jumlah Guru Dan Jumlah Kepala Sekolah (Laki-Laki Dan Perempuan) Sekolah Menengah Pertama Di Kota Ambon

Jabatan Laki-Laki % Perempuan % Jumlah

Guru 484 25,14 1441 74,86 1925 Kepala

Sekolah

34 62.96 20 37,04 54

Sumber Data : Diknas Kota Ambon Tahun 2011

Berdasarkan data yang terungkap pada tabel 1.1, jelas terlihat adanya dominasi guru perempuan. Secara keseluruhan guru perempuan berjumlah 1441 (74,86%) sedangkan guru laki-laki 484 orang (25,14%).

(9)

9

Meskipun jumlah guru perempuan presentasenya sangat tinggi, tetapi yang berhasil menjadi kapala sekolah ternyata presentasenya sangat rendah. Perempuan yang menjadi kepala sekolah hanya 20 orang atau hanya 37,04% dari keseluruhan jumlah guru, sedangkan laki-laki 34 orang atau 62,96% dari jumlah keseluruhan kepala sekolah laki-laki.

Kepala sekolah adalah suatu jabatan struktural bagi para guru yang berpeluang memperoleh promosi di dalam kariernya. Peraturan maupun perundang-undangan yang mengatur pengangkatan guru menjadi kepala sekolah secara formal tidak dibedakan, dalam artian tidak ada perbedaan terhadap hak yang berkaitan dengan akses, proses dan dalam menikmati manfaat hasil pengembangan pendidikan, termasuk kepemimpinan pendidikan antara laki-laki dan perempuan.

Data di lapangan menunjukkan bahwa kesempatan guru laki-laki untuk menjadi kepala sekolah lebih terbuka dibandingkan dengan guru perempuan. Dari hasil pengamatan awal yang dilakukan oleh peneliti, kesenjangan yang terjadi dalam kepemimpinan kepala sekolah pada satuan pendidikan menengah pertama di kota Ambon diakibatkan oleh beberapa hal: Pertama, faktor budaya yang masih melekat pada sebagian besar guru-guru perempuan SMP di kota Ambon. Penyebab tersebut diperjelas

(10)

10

dengan pernyataan beberapa guru perempuan yang menganggap bahwa guru laki-laki lebih layak untuk menjadi kepala sekolah, pernyataan tersebut kemudian memberi kesan bahwa guru perempuan masih menganggap bahwa mereka adalah kaum “kelas dua” sesudah laki-laki. Kedua, adanya ketakutan akan beratnya tanggungjawab sebagai kepala sekolah, mereka merasa akan terbebani dengan tanggungjawab ganda sebagai seorang kepala sekolah.

Penyebab kesenjangan ini jika tidak di tindaklanjuti maka perempuan akan tetap ada dalam pola pemikiran yang salah dan akan menjadi orang-orang yang keterbelakangan dan tidak akan pernah menjadi seorang pemimpin. Sekarang ini adalah masa dimana perempuan juga memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri dan karirnya, masa dimana perempuan bisa lebih berkembang dari laki-laki.

Hasil penelitian sebelumnya dan juga dari data yang ada maka, penulis mencoba untuk menggali apa yang menyebabkan terjadinya kesenjangan keberadaan kepala sekolah perempuan SMP di kota Ambon. Memang penelitian yang dilakukan di sini hanya dalam lingkup kecil tetapi kiranya dapat sedikit memberikan gambaran tentang Kesenjangan Keberadaan Perempuan Dalam Kepemimpinan Kepala Sekolah SMP di Kota Ambon.

(11)

11

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang dari konteks penelitian yang diungkapkan di atas maka fokus penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana Kesenjangan keberadaan Perempuan dalam Kepemimpinan Kepala Sekolah?

b. Bagaimana Kesenjangan dalam proses pemilihan kepala sekolah?

c. Bagaimana kesenjangan Kompetensi Seorang Kepala Sekolah?

d. Bagaimana kesenjangan keberadaan kepemimpinan perempuan sebagai kepala sekolah berkaitan dengan budaya patriakhi?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan yang hendak dicapai yaitu:

a. Mendiskripsikan kesenjangan keberadaan Perempuan dalam Kepemimpinan Kepala Sekolah.

b. Mendiskripsikan kesenjangan dalam proses pemilihan kepala sekolah.

c. Mendiskripsikan kesenjangan Kompetensi Seorang Kepala Sekolah.

(12)

12

d. Mendiskripsikan kesenjangan keberadaan kepemimpinan perempuan sebagai kepala sekolah berkaitan dengan budaya patriakhi.

1.4. Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini bisa memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat Teoretis

a. Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan dan memberikan wawasan dan pengetahuan tentang penyebab kesenjangan keberadaan perempuan dalam kepemimpinan kepala sekolah.

b. Dengan melaksanakan penelitian ini, kiranya aspek-aspek penting lainnya dari pendidikan juga dapat diteliti dan dikoreksi dengan perspektif yang sama. Upaya ini diharapkan dapat semakin memperbaiki sekaligus mengembangkan bidang pendidikan.

1.4.2. Manfaat Praktis

a. Bagi para kepala sekolah agar dapat memberikan kesempatan kepada para guru untuk meningkatkan kompetensi sebagai seorang guru serta memberikan peluang

(13)

13

untuk para guru perempuan dapat memiliki akses menjadi kepala sekolah.

b. Bagi para pengambil kebijakan (pemerintah) agar dapat mengambil keputusan untuk menentukan arah pembangunan bagi peningkatan mutu pendidikan, sekaligus mampu mewujudnyatakan keadilan dan kesetaraan dalam kepemimpinan pendidikan. c. Bagi para guru sekolah. sebagai masukan

agar dapat mengembangkan dan

melaksanakan proses pengkaderan bagi guru-guru, secara khusus guru perempuan. Hal ini perlu dilakukan agar dapat mengembangkan kualitas, supaya pada gilirannya dapat memanfaatkan akses dan memiliki peluang yang setara dengan laki-laki dalam kepemimpinan pendidikan.

1.5.

Sistematika Penulisan

Sistematika Penulisan tesis ini sebagai berikut: BAB I : Berisi tentang latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

(14)

14

BAB II :Kajian Pustaka berisi kajian tentang (1) Kepemimpinan (2). Manajemen Pendidikan kaitannya dengan kesenjangan gender (3).Teori Pembagian kerja berbasis gender dan (4) Model-model kesenjangan gender dan dampaknya.

BAB III : Metode penelitian meliputi: Jenis penelitian, Tempat penelitian, Sumber data, Teknik pengumpulan data, Teknik analisis data dan Validitas Data/Keabsahan Data.

BAB IV : Hasil Penelitian dan pembahasan berisi: Profil Pendidikan di Ambon, Kesenjangan Keberadaan Guru Perempuan Dalam Kepemimpinan Sebagai Kepala Sekolah, Kesenjangan Keberadaan Kepala Sekolah Perempuan Dalam Proses Pemilihan Kepala Sekolah, Kesenjangan Keberadaan Kepala Sekolah Perempuan Dalam Kompetensi Kepala Sekolah, dan Kesenjangan Keberadaan Kepala Sekolah Perempuan yang Disebabkan Oleh Budaya Patriakhal. BAB V : Kesimpulan dan Saran: memaparkan tentang

(15)

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari isi paper ini adalah untuk menganalisa unjuk kerja sistem kompresi citra grayscale asli, apakah informasi data citra hasil rekonstruksi benar-benar dapat

Menimbang, bahwa berdasarkan pemeriksaan setempat, Majelis Hakim berpendapat gambar lokasi tanah dalam surat ukur ketiga Sertipikat Hak Milik milik Penggugat tidak

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut: (1) Gaya Kepemimpinan, dan Motivasi Kerja secara bersama-sama tidak berpengaruh dan tidak

Posted at the Zurich Open Repository and Archive, University of Zurich. Horunā, anbēru, soshite sonogo jinruigakuteki shiten ni okeru Suisu jin no Nihon zō. Nihon to Suisu no kōryū

PSEKP selain merupakan institusi penelitian dan kebijakan di Indonesia yang sangat responsif dalam melakukan kajian sosial ekonomi dan kebijakan pertanian dan telah banyak

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Ekstrak Etanolik Herba Ciplukan memberi- kan efek sitotoksik dan mampu meng- induksi apoptosis pada sel kanker payudara MCF-7

anita usia subur - cakupan yang tinggi untuk semua kelompok sasaran sulit dicapai ;aksinasi rnasai bnntuk - cukup potensial menghambat h-ansmisi - rnenyisakan kelompok

Penyerapan tenaga kerja merupakan jumlah tertentu dari tenaga kerja yang digunakan dalam suatu unit usaha tertentu atau dengan kata lain penyerapan tenaga kerja