• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Konstipasi

Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi

dibandingkan dengan pola defekasi individu yang bersangkutan, yaitu

frekuensi defekasi kurang dari tiga kali per minggu dan konsistensi tinja

lebih keras dari biasanya. Konstipasi fungsional didasarkan atas tidak

dijumpainya kelainan organik ataupun patologis yang mendasarinya walau

telah dilakukan pemeriksaan objektif yang menyeluruh.

Pasien yang mengalami konstipasi memiliki persepsi gejala yang

berbeda-beda. Menurut World Gastroenterology Organization (WGO)

beberapa pasien (52%) mendefinisikan konstipasi sebagai defekasi keras,

tinja seperti pil atau butir obat (44%), ketidakmampuan defekasi saat

diinginkan (34%), atau defekasi yang jarang (33%).

4,7

Menurut North American Society of Gastroenterology and Nutrition,

konstipasi didefinisikan dengan kesulitan atau lamanya defekasi, timbul

selama 2 minggu atau lebih, dan menyebabkan ketidaknyamanan pada

pasien. Paris Consensus on Childhood Constipation Terminology

menjelaskan definisi konstipasi sebagai defekasi yang terganggu selama

8 minggu dengan mengikuti minimal dua gejala sebagai berikut: defekasi

kurang dari 3 kali per minggu, inkontinensia, frekuensi tinja lebih besar

dari satu kali per minggu, massa tinja yang keras yang dapat mengetuk

(2)

kloset, massa tinja teraba di abdomen, perilaku menahan defekasi, nyeri

saat defekasi.9

2.2. Epidemiologi Konstipasi

Konstipasi sering terjadi pada anak. Loening-Baucke melaporkan

prevalensi konstipasi pada anak usia 4 sampai 17 tahun adalah 22,6%10 sedangkan untuk usia di bawah 4 tahun hanya memiliki prevalensi

kejadian konstipasi sebesar 16%.11 Pada studi longitudinal, Saps dkk melaporkan 16% anak usia 9 sampai 11 tahun menderita konstipasi.

Konstipasi yang tersering adalah konstipasi fungsional. Didapati

90% sampai 97% kasus konstipasi yang terjadi pada anak merupakan

suatu konstipasi fungsional.

12

6,13

2.3. Patogenesis

Ada beberapa faktor penyebab yang dijumpai untuk terjadinya konstipasi.

Penyebab terjadinya konstipasi dapat dibedakan berdasarkan struktur

atau gangguan motilitas dan fungsi atau gangguan bentuk pelvik.

Gangguan motilitas dapat disebabkan oleh nutrisi tidak adekuat, motilitas

kolon melemah, dan faktor psikiatri. Gangguan bentuk pelvik dapat berupa

fungsi pelvik dan sfingter melemah, obstruksi pelvik, prolapsus rektum,

(3)

2.4. Istilah- istilah yang berkaitan dengan konstipasi

Menurut kriteria Paris Consensus on Childhood Constipation Terminology

(PaCCT), ada beberapa istilah yang berhubungan dengan konstipasi

yaitu, sebagai berikut :

1. Konstipasi kronik

14

Dalam 8 minggu memenuhi dua atau lebih dari kriteria berikut :

frekuensi defekasi kurang dari 3 kali per minggu, lebih dari satu kali

episode inkontinensia feses per minggu, tinja yang banyak di

rektum atau abdomen dan teraba pada pemeriksaan fisik, feses

yang melewati rektum terlalu banyak sehingga dapat menyebabkan

obstruksi di kloset, perilaku menahan defekasi, dan nyeri defekasi.

2. Inkontinensia fekal yaitu aliran feses pada tempat yang tidak

seharusnya.

3. Inkontinensia fekal organik yaitu inkotinensia fekal yang didapat

dari kelainan organik.

4. Inkontinensia fekal fungsional yaitu inkontinensia fekal yang didapat

dari penyakit non organik, dapat berupa konstipasi yang

berhubungan dengan inkontinensia fekal, dan inkontinensia fekal

non retensi.

5. Konstipasi berhubungan dengan inkontinensia fekal yaitu

inkontinensia fekal fungsional yang berhubungan dengan kehadiran

(4)

6. Fekal inkontinensia non retensi yaitu aliran feses tidak sesuai

tempat, terjadi pada anak usia empat tahun atau lebih tanpa ada

riwayat dan gejala klinis konstipasi.

7. Feses keras yaitu massa feses mengeras dan membatu pada

rektum atau abdomen yang tak dapat bergerak. Massa feses dapat

terlihat dan dipalpasi di abdomen.

8. Disinergi pelvik yaitu ketidakmampuan pelvik relaksasi ketika

defekasi.

2.5. Patofisiologi

Proses normal defekasi diawali dengan teregangnya dinding rektum.

Regangan tersebut menimbulkan refleks relaksasi dari sfingter anus

interna yang akan direspon dengan kontraksi sfingter anus eksterna. Saat

proses defekasi, sfingter anus eksterna dan muskulus puborektalis

mengadakan relaksasi sedemikian rupa sehingga sudut antara kanal anus

dan rektum terbuka, membentuk jalan lurus bagi tinja untuk keluar melalui

anus. Kemudian dengan mengedan, yaitu meningkatnya tekanan

abdomen dan kontraksi rektum, akan mendorong tinja keluar melalui

anus.4,6 Pada posisi jongkok, sudut antara anus dan rektum ini akan menjadi lurus akibat fleksi maksimal dari paha. Hal ini akan memudahkan

proses defekasi dan tidak memerlukan tenaga mengedan yang kuat. Pada

posisi duduk, sudut antara anus dan rektum ini menjadi tidak cukup lurus

(5)

semakin kuat tenaga mengedan yang dibutuhkan, lama - kelamaan dapat

menimbulkan kerusakan pada daerah rektoanal yang dapat menimbulkan

konstipasi dan hemorrhoid.4,6

Gambar 2.1. Anatomi daerah anorektal

Keuntungan posisi jongkok dibandingkan posisi duduk yaitu:

15

1. Posisi jongkok memanfaatkan gravitasi di mana berat tubuh yang

ditopang paha memudahkan kompresi kolon sehingga mengurangi

ketegangan saat defekasi. Defekasi menjadi lebih cepat, lebih

mudah, dan lancar.

4,6

2. Posisi jongkok mencegah kontaminasi pada usus halus akibat

kebocoran pada katup ileosekal

3. Posisi jongkok mengangkat kolon sigmoid untuk mengurangi

(6)

4. Posisi jongkok melindungi saraf yang mengontrol prostat, kandung

kemih, dan uterus.

2.6. Diagnosis Konstipasi

Pada umumnya, gejala klinis dari konstipasi adalah frekuensi defekasi

kurang dari 3 kali per minggu, feses keras dan kesulitan untuk defekasi.

Anak sering menunjukkan perilaku tersendiri untuk menghindari proses

defekasi. Pada bayi, nyeri ketika akan defekasi ditunjukkan dengan

menarik lengan dan menekan anus dan otot-otot bokong untuk mencegah

pengeluaran feses. Balita menunjukkan perilaku menahan defekasi

dengan menaikkan ke atas ibu jari-ibu jari dan mengeraskan bokongnya.

Sesuai dengan Kriteria Rome III, diagnosis konstipasi fungsional

berdasarkan beberapa kriteria sebagai berikut:

4

Kriteria diagnostik harus memenuhi dua atau lebih dari kriteria di bawah

ini, dengan usia minimal 4 tahun:

16

1. Kurang atau sama dengan 2 kali defekasi per minggu.

2. Minimal satu episode inkontinensia per minggu.

3. Riwayat retensi tinja yang berlebihan.

4. Riwayat nyeri atau susah untuk defekasi.

5. Teraba massa fekal yang besar di rektum.

6. Riwayat tinja yang besar sampai dapat menghambat kloset.

Kriteria dipenuhi sedikitnya 1 kali dalam seminggu dan minimal terjadi 2

(7)

2.7. Faktor risiko konstipasi

Pengenalan dini faktor-faktor risiko pencetus konstipasi dapat membantu

untuk mencegah konstipasi itu sendiri. Pengembangan faktor-faktor risiko

yang dapat mencetus konstipasi mencakup berbagai segi studi

penelitian.

Tabel 2.1. Faktor-fator risiko konstipasi pada anak

17

Faktor risiko konstipasi pada anak 17

A. Jenis kelamin B. Tingkat pergerakan C. Asupan serat harian D. Asupan cairan harian E. Penggunaan kamar mandi

F. Kondisi fisiologis: 1. Gangguan metabolik 2. Gangguan bentuk panggul 3. Gangguan neuromuskular 4. Gangguan endokrin 5. Gangguan abdominal 6. Kolorektal

G. Kondisi psikologis: 1. Gangguan psikiatri

2. Gangguan belajar atau demensia H. Medikasi: 1. Anti emetik:

2. Obat-obatan penghambat saluran kalsium 3. Suplemen besi

4. Analgetik: analgetik non-opioid, opioid

5. Antikolinergik: anti kejang, anti depresi, anti Parkinson, anti spasmodik 6. Kemoterapi sitotoksik: agen sitotoksik, agen alkaloid Vinca

2.8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan konstipasi fungsional melibatkan faktor non farmakologi

dan faktor farmakologi.18 Secara umum tatalaksana konstipasi fungsional meliputi:

(8)

1. Evakuasi tinja

Evakuasi tinja adalah proses yang dilakukan untuk mengeluarkan massa

tinja atau skibala yang teraba pada pada palpasi regio abdomen bawah.

Evakuasi skibala ini perlu dilakukan sebelum terapi rumatan. Evakuasi

tinja dapat dilakukan dengan obat oral atau rektal.4,19-21

Tabel 2.2. Anjuran obat yang diberikan untuk evakuasi tinja pada anak

Obat-obatan

20

1. Bayi ( di bawah 1 tahun)

Gliserin supositoria

Enema: 6 ml/kgBB, maksimal 135 ml

2. Anak – anak ( di atas 1 tahun) Evakuasi tinja secara cepat

Enema: 6 ml/kg (maksimal 135 ml) setiap 12 sampai 24 jam  1 sampai 3 kali Minyak mineral

Fosfat

Pengobatan kombinasi: enema,supositoria, dan pencahar Hari 1: enema setiap 12 sampai 24 jam

Hari 2: Bisakodil supositoria (10 mg) setiap 12 sampai 24 jam Hari 3: Bisakodil tablet setiap 12 sampai 24 jam

PEG secara oral atau NGT: 25 ml/kgBB/jam (maksimal 1000 ml/jam)  selama 4 jam perhari

Evakuasi tinja secara lebih lambat

Minyak mineral secara oral: 15 sampai 30 ml/tahun usia/hari untuk 3 atau 4 hari Senna oral: 15 ml setiap 12 jam untuk 3 dosis

Magnesium sitrat (maksimal 300 ml)

2. Terapi rumatan

Segera setelah berhasil melakukan evakuasi tinja, terapi ditujukan untuk

mencegah kekambuhan. Terapi rumatan meliputi intervensi diet,

(9)

obat- obatan untuk menjamin interval defekasi yang normal dengan

evakuasi tinja yang sempurna.4,23-25Terapi rumatan mungkin diperlukan selama beberapa bulan. Bila defekasi telah normal, terapi rumatan dapat

dikurangi untuk kemudian dihentikan. Pengamatan perlu dilakukan karena

angka kekambuhan tinggi, dan pada pengamatan jangka panjang banyak

anak yang masih memerlukan terapi rumatan sampai dewasa.

Tabel 2.3. Anjuran obat untuk terapi rumatan pada anak.

2,7,26,27

2

Obat- obatan

0

Lubrikan: minyak mineral: 1 sampai 3 ml/kgBB/hari Laksatif osmotik:

Laktulosa

Mg hidroksida (konsentrasi 400 mg/5ml)  1 sampai 3 ml/kgBB/hari  dosis terbagi Mg hidroksida (konsentrasi 800 mg/5ml)  0,5 ml/kgBB/hari  dosis terbagi

PEG (17 gr/240 ml air)  1 gr/kgBB/hari  dosis terbagi Sorbitol: 1 sampai 3 ml/kgBB/hari  dosis terbagi

Laksatif stimulan:

Sirup senna

Bisakodil tablet: 1 sampai 3 tab/hari

Pemberian melalui rektal:

Gliserin supositoria Bisakodil supositoria

(10)

2.9. Kerangka Konseptual

: yang diamati dalam penelitian

Gambar 2.2. Kerangka konsep penelitian Posisi BAB

- Jongkok - Duduk

Edukasi

Perubahan tingkah laku Pencahar Obat-obatan Penderita

Konstipasi Rome III Kriteria

Asupan serat harian Asupan cairan harian

Feses keras& Frekuensi ≤ 2

x/minggu 3 episode dalam satu

periode waktu selama 3 bulan mempengaruhi aktivitas anak sehari-hari Kondisi fisiologis Kondisi psikologis Medikasi

Gambar

Gambar 2.1. Anatomi daerah anorektal
Gambar 2.2. Kerangka konsep penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Definisi yang lain menyebutkan, diare adalah keadaan buang air besar dengan feses tidak berbentuk ( unformed stools ) atau cair dengan frekuensi lebih dari 3

Buang air besar (biasanya disingkat menjadi BAB) atau defekasi adalah suatu tindakan atau proses makhluk hidup untuk membuang kotoran atau tinja yang padat atau

Dari berbagai pengertian diare diatas dapat disimpulkan bahwa, diare merupakan penyakit yang ditandai dengan peningkatan frekuensi buang air besar lebih dari tiga kali

Diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi buang air besar (BAB) lebih dari 3 kali per hari dan disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan

Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang

Frekuensi pemberian imunisasi BCG adalah satu kali dan pemberian imunisasi BCG pada umur 0-11 bulan, akan tetapi pada umumnya diberikan pada bayi umur 2 atau 3 bulan,

Penelitian Supargo dkk (1981-1985) di FKUI menunjukkan orang yang stress satu setengah kali lebih besar mendapatkan resiko penyakit jantung koroner stress disamping dapat

Pendapat lain juga mengatakan bahwa diare merupakan suatu keadaan dimana frekuensi buang air besar pada balita lebih dari 4 kali dalam sehari sedangkan pada anak lebih dari 3 kali