Oleh:
HENDRIKUS TINUS
NIM: 100 500 080
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL HUTAN
JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN
POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA
SAMARINDA
Oleh:
HENDRIKUS TINUS
NIM: 100 500 080
Karya Ilmiah Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Sebutan Ahli Madya
Pada Program Diploma III Politeknik Pertanian Negeri
Samarinda
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL HUTAN
JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN
POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA
SAMARINDA
Letak Pada Batang Dengan Menggunakan
Metode Air Dingin, Air Panas, NaOH 1 %
dan Alkohol Benzena
Nama
: Hendrikus Tinus
NIM
: 100 500 080
Program Studi
: Teknologi Hasil Hutan
Jurusan
: Teknologi Pertanian
Lulus Ujian Pada Tanggal: 23 Juli 2013
Pembimbing,
Ir. Sumiati HK
NIP. 19590612 198903 2 004
Penguji II,
Firna Novari, S. Hut, MP
NIP. 19710717 199702 2 001
Penguji I,
Abdul Rasyid Zarta, S. Hut, MP
NIP. 19750827 199903 1 001
Menyetujui,
Ketua Program Studi Teknologi Hasil Hutan,
Politeknik Pertanian Negeri Samarinda
Ir. H. A. Syafii, MP
NIP. 19680610 199512 1 001
Mengesahkan,
Ketua Jurusan Teknologi Pertanian,
Politeknik Pertanian Negeri Samarinda
Heriad Daud Salusu, S. Hut, MP
NIP. 19700830 199703 1 001
campanulata) Berdasarkan Letak Pada Batang Dengan Menggunakan Metode Air Dingin, Air Panas, NaOH 1 % dan Alkohol Benzena (di bawah bimbingan SUMIATI HK).
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh belum maksimalnya pengetahuan dan pemanfaatan kayu tulip afrika sebagai bahan baku dalam industri pengolahan kayu. Dilihat dari pemanfaatannya selama ini yang hanya digunakan sebagai pohon peneduh dan belum ada yang memanfaatkan dan meneliti tentang kandungan zat ekstraktifnya.
Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kelarutan zat ekstraktif yang terlarut dalam air dingin, air panas, NaOH 1 % dan Alkohol Benzena. Dalam persiapan contoh uji, bagian yang diambil dari batang pohon tulip afrika berupa lempengan yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian pangkal, tengah dan ujung. Selanjutnya lempengan kayu dibuat menjadi serbuk dengan ukuran mesh 50. Kemudian dilakukan penelitian tentang kelarutan zat ekstraktifnya dalam air dingin, air panas, NaOH 1 % dan Alkohol Benzena.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kelarutan zat ekstraktif pada kayu tulip afrika sehingga dapat dipertimbangkan sebagai bahan baku didalam industri perkayuan atau industri pulp dan kertas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kelarutan zat ekstraktif pada NaOH 1% adalah 11,1109 %, Alkohol Benzena 6,0549 %, air panas 5,9476 % dan air dingin 3,5573 % yang tergolong dalam klasifikasi komponen kimia kelas tinggi untuk kayu daun lebar Indonesia.
Keningau Sabah Malaysia. Merupakan anak ke 2 (kedua) dari 2 (dua) bersaudara dari pasangan Martinus Bastianus Saban dan Ibunda tercinta Katarina Beto.
Tahun 1999 memulai pendidikan formal pada SD Negeri 039 Kabupaten Nunukan, Propinsi Kalimantan Timur dan lulus tahun 2004. Kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 2 Kabupaten Nunukan Propinsi Kalimantan Timur, lulus tahun 2007, selanjutnya melanjutkan ke SMA Pancasila Kabupaten Nunukan Propinsi Kalimantan Timur dan lulus tahun 2010 dan pada tahun 2010 melanjutkan pendidikan perguruan tinggi pada Politeknik Pertanian Negeri Samarinda.
Pada tanggal 02 April 2013 sampai 31 Mei 2013 mengikuti program Praktik Kerja Lapang (PKL) di PT. Intracawood Manufacturing Kota Tarakan Propinsi Kalimantan Utara.
Sebagai syarat memperoleh predikat Ahli Madya Kehutanan, penulis mengadakan penelitian dengan judul penelitian "Kelarutan Zat Ekstraktif Kayu Tulip Afrika (Spatodea campanulata) Berdasarkan Letak Pada Batang Dengan Menggunakan Metode Air Dingin, Air Panas, NaOH 1% dan Alkohol Benzena" di bawah bimbingan ibu Ir. Sumiati HK.
yang memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya ilmiah ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Sifat dan Analisis Produk Program Studi Teknologi Hasil Hutan. Penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini dilaksanakan dari bulan Februari - Juni tahun 2013, yang merupakan syarat untuk menyelesaikan tugas akhir di Politeknik Pertanian Negeri Samarinda dan mendapatkan sebutan Ahli Madya.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Dosen Pembimbing, yaitu ibu Ir. Sumiati HK
2. Kepala Laboratorium Sifat dan Analisis Produk, Ibu Eva Numarini, S. Hut. MP 3. Dosen Penguji, yaitu Bapak Abdul Rasyid Zarta S.Hut, MP dan Ibu Firna
Novari, S.Hut, MP
4. Ketua Program Studi Teknologi Hasil Hutan, yaitu Bapak Ir. H.Syafii, MP. 5. Ketua Jurusan Teknologi Pertanian, Yaitu Bapak Heriad Daud Salusu S. Hut,
MP
6. Direktur Politeknik Pertanian Negeri Samarinda, yaitu Bapak Ir. Wartomo. MP 7. Para Staff pengajar, administrasi dan PLP di Program Studi Teknologi Hasil
Hutan.
8. Ayah dan Ibunda tercinta yang telah memberikan dukungan baik secara materil maupun doa.
Walaupun sudah berusaha dengan sungguh-sungguh, penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan dalam penulisan ini, namun semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Amin.
Penulis
HALAMAN PENGESAHAN ……… i
ABSTRAK ……….. ii
RIWAYAT HIDUP……….. iii
KATA PENGANTAR ……… iv
DAFTAR ISI ………. vi
DAFTAR TABEL……… vii
DAFTAR GAMBAR ……… viii
I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Zat Ekstraktif ……… 3
B. Penyebaran Zat Ekstraktif Dalam Kayu ……….. 5
C. Pengaruh Zat Ekstraktif Pada Kayu ………. 7
D. Kimia Ekstraktif Kayu ………. 9
E. Cara Mengekstraksi Zat Ekstraktif ……….. 11
F. Kegunaan Zat Ekstraktif ……… 12
G. Risalah Kayu Tulip Afrika……… 13
III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ……… 16
B. Alat dan Bahan………. 16
C. Prosedur Penelitian………. 18
D. Perhitungan Persentase Zat Ekstraktif………. 23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ……… 24
B. Pembahasan ……… 24
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ……….. 30
B. Saran ………. 31 DAFTAR PUSTAKA
1. Komponen Kimia Kayu Daun Lebar ………... 3 2. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan ……… 16 3. Nilai Rata-rata Kelarutan Zat Ekstraktif Kayu Tulip Afrika Berdasarkan
Letak Pada Batang ………. 24
Lampiran
4. Nilai Rata-rata Moisture Factor Kayu Tulip Afrika Berdasarkan Letak Pada Batang……… 35 5. Nilai Rata-rata Kelarutan Zat Ekstraktif Kayu Tulip Afrika Dengan
Menggunakan Metode Air dingin ……… 35 6. Nilai Rata-rata Kelarutan Zat Ekstraktif Kayu Tulip Afrika Dengan
Menggunakan Metode Air Panas ……… 36 7. Nilai Rata-rata Kelarutan Zat Ekstraktif Kayu Tulip Afrika Dengan
Menggunakan Metode NaOH 1% ……… 36 8. Nilai Rata-rata Kelarutan Zat Ekstraktif Kayu Tulip Afrika Dengan
Menggunakan Metode Alkohol Benzena ……… 37 9. Contoh Perhitungan……….. 38
1. Pohon Tulip Afrika.. ... 15
2. Pengambilan Contoh Uji Pada Batang dan Proses Pembuatan Serbuk ..………..……… 19
3. Rata-Rata Kelarutan Zat Ekstraktif (%) Kayu Tulip Afrika Yang Terlarut Dalam Air Dingin, Air Panas, NaOH 1% dan Alkohol Benzena Berdasarkan Letak Pada Batang ..……….. 25
4. Nilai Rata-Rata Kelarutan Zat Ekstraktif (%) Kayu Tulip Afrika Menggunakan Empat Metode ..……….. 27
Lampiran 5. Lempengan Pangkal, Tengah dan Ujung Kayu Tulip Afrika ..………. 39
6. Proses Pembuatan Chip ..……… 39
7. Proses Pembuatan Serpihan Menggunakan Blender..……….. 40
8. Pengayakan Menggunakan Mesh 50 ..……….. 40
9. Serbuk Hasil Pengayakan……… 41
10. Penimbangan Berat Serbuk Untuk Sampel Uji MF, Kelarutan Dalam Air Dingin, Air Panas, NaOH 1% dan Alkohol Benzena……… 41
11. Proses penambahan Aquadest Setelah Penimbangan Awal Serbuk..…… 42
12. Proses Kelarutan Dalam Air Dingin Selama 48 Jam .……… 42
13. Penambahan Air Aquadest Panas Pada Sampel Uji Kelarutan Dalam Air Panas .……… 43
14. Proses Penyimpanan Sampel Uji Kelarutan dalam Air Panas Dan NaOH 1% Dalam Water Bath ..……….. 43
15. Proses Pembuatan Larutan NaOH 1% ..……….. 44
16. Penambahan Larutan NaOH 1% pada Sampel Uji Setelah Penimbangan Awal Kemudian Dimasukkan Dalam Water Bath ..………… 44
17. Sampel Uji untuk Kelarutan Dalam Alkohol Benzena Yang Dibungkus Dalam Kertas Saring Yang Sudah Ditimbang Terlebih Dahulu ..………….. 45
Alkohol Benzena ..……… 45 19. Proses Penyaringan Untuk Sampel Uji Kelarutan Dalam Air Dingin,
Air Panas, NaOH 1% Dan Alkohol Benzena ..………. 46 20. Proses Pengovenan Sampel Uji MF, Kelarutan Dalam Air Dingin,
Air Panas, NaOH 1% Dan Alkohol Benzena ..………. 46 21. Pengkondisian Sampel Uji MF, Kelarutan Dalam Air Dingin,
Air Panas, NaOH 1% Dan Alkohol Benzena ..………. 47 22. Proses Penimbangan Sampel Uji MF, Kelarutan Dalam Air Dingin,
Air Panas, NaOH 1% Dan Alkohol Benzena untuk Mengetahui Berat
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara dengan potensi hutan paling besar di benua asia dan di dunia. Luas seluruh hutan di Indonesia adalah 133.300.543,98 ha. Ini mencakup kawsan suaka alam, hutan lindung dan hutan produksi di masing-masing provinsi di Indonesia (Anonim, 2010).
Satu diantara hasil hutan yang utama adalah kayu. Kayu sebagai sumber kekayaan alam mempunyai peranan penting dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia, diantaranya adalah sebagai bahan bangunan, alat rumah tangga, jembatan, meubel, bantalan dan dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan pulp dan kertas.
Sejalan dengan meningkatnya pembangunan dan laju pertumbuhan penduduk, maka kebutuhan kayu sebagai bahan bangunan juga semakin meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan kayu tersebut, Indonesia mempunyai sumber daya hutan dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi.
Martawijaya dan Kartasujana (1977) menyatakan bahwa jumlah jenis kayu di Indonesia diperkirakan 4000 jenis. Namun demikian, dari ± 4000 jenis pohon yang tumbuh di Indonesia, hanya 15-20 % yang tergolong kelas awet tinggi (kelas awet I-II), sedangkan 80-85 % termasuk kelas awet rendah (kelas awet III-V) (Djoen, 1964).
Pengenalan sifat kimia kayu yang merupakan salah satu dasar dari penelitian kegunaan kayu sehingga pemanfaatan suatu jenis kayu tersebut perlu dilakukan analisis kimia dengan metode tertentu. Analisis tersebut antara lain
penetapan kadar selulosa, lignin, pentosa, abu, kelarutan zat ekstraktif dalam NaOH 1 % dan alkohol benzena dan air panas serta kelarutan ekstraktif dalam air dingin.
Kandungan zat ekstraktif dalam kayu yang sangat diperlukan guna untuk mengetahui pemanfaatannya. Adanya zat ekstraktif dalam kayu dapat mempengaruhi proses perekatan pada industri kayulapis, papan serat, papan partikel dan pembuatan pulp dan kertas. Zat ekstraktif dapat mempengaruhi keawetan kayu itu sendiri.
Kayu tulip afrika (Spatodea campanulata) adalah salah satu jenis kayu yang belum banyak ditelusuri dan diketahui bentuk pemanfaatannya pada industri perkayuan, tanaman kayu tulip afrika di Indonesia biasanya banyak dijumpai ditanam pada halaman rumah atau halaman perkantoran yang hanya dijadikan sebagai tanaman peneduh. Hal ini mungkin disebabkan karena belum diketahui dan dikenalnya sifat komposisi kimia dari kayu tulip afrika.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui berapa besar jumlah kelarutan zat ekstraktif yang terkandung pada kayu tulip afrika berdasarkan letak pada batang dengan menggunakan metode air panas, air dingin, NaOH 1 % dan alkohol benzena.
Hasil yang diharapkan yaitu dapat memberikan informasi tentang kelarutan zat ekstraktif kayu tulip afrika kepada para pembaca serta masyarakat yang bergerak di dalam industri perkayuan atau industri pulp dan kertas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Zat Ekstraktif
Menurut Rowell (1984), komponen kimia kayu yang utama terdiri dari selulosa (40 - 45 %), hemiselulosa (25 - 35 %) dan lignin (18 - 35 %). Ketiga unsur pokok tersebut merupakan senyawa polimer. Selain komponen-komponen tersebut, menurut Anderson (1963) dalam Ediningtyas (1995), di dalam kayu juga terdapat sejumlah kecil bahan penting yang dapat diekstrak dengan air dingin dan pelarut organik netral seperti alkohol, benzena, dan etil eter. Komponen kayu yang dapat diekstraksi tersebut disebut zat ekstraktif dan tidak merupakan bagian struktur dinding sel tetapi sebagai zat pengisi rongga sel.
Anonim (1976), mengklasifikasikan jenis kayu daun lebar Indonesia atas dasar komponen kimianya, sebagai berikut:
Tabel 1. Komponen Kimia Kayu Daun Lebar
Komponen Kimia Kelas Komponen
Tinggi Sedang Rendah
Selulosa (%) >45 40 - 45 <40
Lignin (%) >33 18 - 33 <18
Pentosa (%) >24 21 - 24 <21
Zat Ekstraktif (%) >4 2 - 4 <2
Abu (%) >6 0,2 - 6 <0,2
Simatupang (1988) menyatakan, zat ekstraktif merupakan bagian kayu atau zat kimia dalam kayu yang dapat diekstraksi dengan bahan pelarut kimia yang netral misalnya benzena, eter, aseton, alkohol dan lain-lain. Dalam kayu zat ekstraktif memiliki kadar yang rendah umumnya berkisar antara 1 % sampai 10 %.
Senyawa kimia berbobot molekul rendah diklasifikasikan menjadi dua yaitu bahan organik dan anorganik. Bahan organik biasa disebut ekstraktif dan bahan anorganik biasa disebut abu (Fengel dan Wegener, 1995).
Sedangkan menurut Panshin dan Zeeuw (1980), zat ekstraktif terdiri dari bermacam-macam zat yang berbeda dalam struktur dan komposisi kimianya seperti tanin, antosianin, flavon, katekin, kinos, lignin, gum, tropolon, lemak, asam lemak dan hidrokarbon yng bersifat mudah menguap. Kandungan dan komposisi zat ekstraktif sangat bervariasi antara jenis kayu, bahkan dalam batang yang sama pada satu jenis kayu dapat berbeda (Sjostorm, 1995).
Sjostorm (1995), menjelaskan bahwa zat ekstraktif adalah komponen kayu yang bukan merupakan komponen struktural, yang hampir semuanya terbentuk dari senyawa-senyawa ekstraseluler dan berbobot molekul rendah. Zat ekstraktif kayu dibagi menjadi 3 sub golongan yaitu senyawa alifatik terutama lemak dan lilin, terpena dan terpenoid serta senyawa fenolik (Achmadi, 1990).
Haygreen dan Bowyer (1996), menyatakan kandungan ekstraktif pada kayu bervariasi dari 3 % sampai 30 %. Bahan-bahan ini pada kayu dapat memberi pengaruh pada kerapatan. Secara umum kekuatan dan kekakuan kayu meningkat seiring dengan naiknya kerapatan pada kayu. Ekstraktif kayu meliputi sejumlah besar senyawa yang berbeda yang dapat diekstraksi dari kayu dengan menggunakan pelarut polar dan non polar. Dalam arti sempit ekstraktif merupakan senyawa-senyawa yang larut dalam pelarut organik (Fengel dan Wegener, 1995).
Menurut Fengel dan Wegener (1995), zat ekstraktif adalah senyawa-senyawa yang larut dalam pelarut organik, dimana zat ekstraktif dapat
digunakan dalam analisa kayu. Tetapi karbohidrat dan senyawa organik yang larut dalam air juga termasuk dalam zat-zat yang dapat diekstraksi. Zat ekstraktif merupakan hal yang perlu dipertimbangkan dalam hal pengolahan kayu. Pengaruh kandungan zat ekstraktif yang paling banyak nyata pada kayu adalah mempengaruhi sifat keawetan kayu itu sendiri (Soenardi, 1976).
Zat ekstraktif dalam kayu terdiri dari dari bahan material yang larut dalam pelarut netral dan bahan yang merupakan substansi kayu (Anonim, 1961).
Brown (1952), menerangkan zat ekstraktif terdiri dari bahan-bahan organik non polimer yang dapat dipisahkan melalui pelarut yang netral seperti ater, benzena, alkohol, aseton, air dan uap air.
Menurut Tsoumis (1976), didalam kayu sering terdapat bermacam -macam endapan (umumnya zat-zat organik) yang semuanya ini disebut zat ekstraktif.
B. Penyebaran Zat Ekstraktif Dalam Kayu
Dumanauw (1990), menyatakan bahwa zat ekstraktif bukan merupakan bagian struktur dinding sel, tetapi tedapat dalam rongga sel. Sedangkan Sjostorm (1995), berpendapat bahwa zat ekstraktif tidak tersebar secara merata dalam batang dan dinding sel serat.
Menurut Anonim (1976), penyebaran zat ekstraktif ini tidak merata baik dalam batang maupun dinding sel, lemak, dan serta terdapat sel parenkim jari-jari, bagian-bagian yang larut dalam air seperti gula terdapat pada kayu gubal batang dan tanin terdapat dalam dinding sel.
Menurut Achmadi (1990), zat ekstraktif kayu daun jarum umumnya terdapat pada saluran resin, baik yang membentuk formasi vertikal maupun horizontal berbeda dengan ekstraktif kayu daun lebar yang berada dalam sel parenkim jari-jari yang terhubung dengan pembuluh. Ekstraktif terkonsentrasi dalam saluran resin dan sel-sel parenkim jari-jari serta terdapat juga jumlah yang rendah dalam lamlea tengah, interseluler, dinding sel trakeid dan serabut libiform (Fengel dan Wegener, 1995).
Menurut Simatupang (1988), kadar zat ekstraktif dalam kayu umumnya rendah, berkisar 1 - 10 %, dimana merupakan zat kerangka dengan persentase kira-kira 90 % dari berat kayu. Konsentrasi zat ekstraktif dari berbagai jenis kayu sangat berbeda. Keadaan iklim yang berbeda juga berpengaruh terhadap kandungan zat ekstraktif dalam kayu, dimana kayu yang berasal dari daerah tropkia (10 %) mengandung lebih banyak zat ekstraktif daripada kayu yang berasal dari daerah beriklim sedang (5 %).
Fengel dan Wegener (1995) menyatakan, kandungan zat ekstraktif dalam jenis kayu yang sama daat berbeda pula. Umumnya dalam kayu teras yang lebih tua memperlihatkan persentase lebih tinggi pula dari umur yang lebih muda. Flavonoid merupakan senyawa yang menyebabkan kayu teras berwarna merah, kuning, coklat atau biru (Hillis, 1987).
Sudrajat (1979) menyatakan bahwa pada bagian pangkal pohon zat ekstraktif banyak diendapkan dan juga disebabkan banyaknya tilosis-tilosis. Kadar ekstraktif suatu pohon mengalami penurunan dari pangkal menuju ujung pohon (Panshin dan De Zeeuw, 1980).
Kayu bagian pangkal pohon mempunyai persentase zat ekstraktif yang lebih tinggi karena bagian pangkal mempunyai persentase kayu teras yang lebih banyak (Prayitno, 1991).
Menurut Rusliana (1985), kandungan zat ekstraktif dari suatu jenis kayu dengan umur yang lebih tua memperlihatkan persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian kayu yang berumur lebih muda.
C. Pengaruh Zat Ekstraktif
Anonim (1976), menyatakan bahwa ekstraktif memiliki pengaruh yang besar dalam menurunkan higroskopis dan permeabilitas serta meningkatkan keawetan kayu.
Tsoumis (1976), mengatakan bahwa warna kayu disebabkan oleh bahan yang dapat diekstrak (tanin dan sebagainya) yang disebut ekstraktif. Ekstraktif pada beberapa spesies bersifat racun dan bahkan dapat menyebabkan kayu tahan terhadap kerusakan oleh mikroba dan serangga dimana keawetan kayu dipengaruhi oleh daya racun dan kadar zat ekstraktifnya (Achmadi, 1990).
Ada dua bentuk pengaruh zari zat ekstraktif yaitu: 1. Pengaruh Positif
Menurut Simatupang (1988), keawetan kayu terhadap serangan seranggga dahulu disangka disebabkan oleh kekerasan kayu dan sekarang telah terbukti bahwa keawetan kayu demikian disebabkan zat ekstaktif kayu. Untuk beberapa jenis kayu telah dapat diketahui senyawa-senyawa yang mengakibatkan keawetan kayu tersebut.
Syafii (1996), menegaskan bahwa yang berperan terhadap sifat keawetan kayu bukan berat jenis melainkan zat ekstraktif.
Selanjutnya Dumanauw (1990), menerangkan bahwa zat ekstraktif pada kayu dapat mempengaruhi keawetan kayu , bau dan rasa suatu jenis kayu juga dapat digunakan untuk mengenal suatu jenis kayu dan dapat digunakan sebagai bahan industri.
Sedangkan Sjostorm (1995), bahwa tipe-tipe ekstraktif yang berbeda adalah perlu untuk mempertahankan fungsi biologis pohon yang bermacam -macam. Lemak merupakan sumber energi sel-sel kayu, sedangkan terpenoi-terpenoid rendah, asam-asam resin dan senyawa fenol melindungi kayu terhadap kerusakan secara mikrobiologi atau serangan serangga.
2. Pengaruh Negatif
Menurut Anonim (1976), keberadaan zat ekstraktif resin pada industri kertas dapat mengganggu penetrasi bahan kimia dalam serpih, menyebabkan bintik-bintik hitam pada kertas dan menyumbat lubang kasa kawat mesin kertas serta senyawa-senyawa fenol menyebabkan warna hitam pada tempat pemakuan. Asam-asam gallik dan ellagik menyebabkan warna hitam kebiru-biruan pada pisau-pisau gergaji. Senyawa lemak dam minyak mengurangi permeabilitas dan higroskopis kayu sehingga mempersulit pengawetan walaupun sifat kembang susut mengecil. Ta nin dan glukosa menyebabkan kesukaran dalam perekatan. Senyawa-senyawa fenol meyebabkan dermatitis pada para pekerja kayu.
Haygreen dan Bowyer (1996), menyebutkan bahwa zat ekstraktif dapat mengganggu penetrasi larutan pemasak dan dapat menyebabkan timbulnya bintik-bintik hitam pada kertas.
Selanjutnya Haygreen dan Bowyer (1996), menjelaskan bahwa kandungan silika berpengaruh terhadap sifat pengolahan kayu utuh karena kandungan silika lebih dari 0,3 % dapat menumpulkan alat-alat pertukangan.
D. Kimia Ekstraktif Kayu
Sjostorm (1995) dan Achmadi (1990), mengatakan bahwa secara kimiawai, zat ekstraktif kayu dapat digolongkan daalm tiga bagian, yaitu:
1. Komponen-kopmonen alifatik (lemak dan lilin)
Berbagai macam senyawa alifatik yang terdapat dalam resin seperti alkohol lemak, asam lemak, lemak (ester gliserol), lilin (ester dari alkohol), suberin (poliestolida). Kelompok alkana dan alkohol relatif sedikit, bersifat lipofilik. Asam lemak umumnya terdapat sebagai ester dan merupakan komponen utama resin parenkim di dalam kayu daun jarum maupun kayu daun lebar. Ester dari alkohol lainnya, biasanya berupa alkohol alifatik atau terpenoid yang dikenal sebagai lilin.
2. Terpena dan terpenoid
Terpena merupakan hasil kondensasi dari dua atau beberapa unit isoprena (2-metilbutadiena) menghasilkan dimer dan oligomer yang lebih tinggi. Menurut jumlah unit isoprena yang menyusunnya, terpena dapat dibagi menjadi monoterpena (n=2), sekuiterpena (n=3), diterpena (n=4), triterpena (n=6), tetraterpena (n=8) dan politerpena (n=8). Terpena adalah hidrokarbon murni, sedangkan terpenoid mengandung gugus fungsi seperti hidroksil,
karbonil dan ester. Zat ekstraktif kayu daun jarum mengandung semua jenis terpena, dari monoterpena sampai tri dan tetraterpena, kecuali seskuiterpena yang tergolong sangat langka. Kayu daun lebar mangandung terpena yang lebih tinggi, monoterpena hanya ditemukan pada kayu tropis (Sanderman, 1996 dalam Fengel dan Wegener, 1995).
3. Senyawa Fenolik
Golongan ini sangat heterogen, penggolongannya dibuat menurut lima kelas yaitu:
a. Tanin terhidrolisis, produk hidrolisisnya adalah asam galat dan elagat serta gula, biasanya glukosa sebagai produk utama.
b. Tanin terkondensasai (flavanoid), merupakan polifenol yang memunyai rantai karbon C6C3C6 contohnya krisin dan taksifolin.
c. Lignan merupakan dimer dari dua unit fenil propana (C6C3), contohnya
konidendrin, pinoresionol dan asam plikata.
d. Stilbena, mempunyai ikatan ganda terkonjugasi sehingga komponen-kompnennya bersifat sangat reaktif, contohnya pinosilvin. e. Tropol, mempunyai kekhasan berupa cincin karbon beranggota tujuh
yang tidak jenuh, contohnya a, ß, dan T-tujaplisin yang disolasi dari Thuja plicata.
Sedangkan Simatupang (1988), membedakan bahan ekstraktif berdasarkan susunan kimianya, misalnya senyawa hidrokarbon, tanin dan lemak serta senyawa-senyawa lainnya.
Menurut Fengel dan Wegener (1995), bahwa senyawa kimia berbobot molekul rendah diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu bahan organik dan
anorganik. Bahan organik biasa disebut ekstraktif dan bahan anorganik biasa disebut abu. Komponen utama abu kayu adalah kalsium, kalium dan magnesium. Dalam banyak kayu, jumlah Ca hingga 50 % atau lebih dari unsur total dalam abu kayu.
E. Cara Mengekstraksi Zat Ekstraktif
Menurut Browning (1967), larutan alkali (NaOH) akan mudah melarutkan zat ekstrakitf yang letaknya jauh di dalam batang. Hal ini disebabkan larutan basa yang heterogen mampu menyusup lebih dalam ke jaringan kayu, sehingga terjadi peristiwa pengembangan (swelling) dan bahan yang tedapat dalam jaringan kayu akan mudah dilarutkan. NaOH juga mampu melarutkan sebagian besar hemiselulosa khususnya rantai cabangnya baik dari pentosa, heksosa maupun asam organik.
Soenardi (1976), menerangkan bahwa air digolongkan dalam pelarut netral, sebab kayu yang direndam ada air dingin pada suhu kamar tidak akan mengalami perubahan atau tidak akan bereaksi, hanya zat warna dan zat ekstraktif yang mempunyai berat molekul rendah akan terlarut. Waktu yang efektif untuk melarutkan adalah 48 jam. Besarnya kelarutan kayu dalam air dipengaruhi oleh proses difusi bahan pelarut dalam kayu, besarnya partikel dan persentase zat ekstraktif.
Komponen yang terlarut dalam air dingin adalah tanin, gum, karbhidrat dan pigmen sedangkan yang terlarut dalam air panas sama dengan yang terlarut dalam dingin ditambah dengan komponen pati dan komponen yang terlarut dalam alkohol benzena adalah lemak, resin dan minyak (Anonim, 1995).
Ekstraksi pelarut dapat dilakukan dengan pelarut yang berbeda seperti eter, aseton, benzena, etanol, atau campuran dari pelarut-pelarut tersebut. Asam lemak, asam resin, lilin, tanin dan senyawa berwarna merupakan senyawa-senyawa yang paling penting yang dapat diekstraksi dengan pelarut. Komponen utama dari bagian kayu yang dapat larut dalam air terdiri atas karbohidrat, protein dan garam-garam an-organik (Fengel dan Wegener 1995).
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan pelarut adalah selektivitas, kapasitas, kemudahan untuk diuapkan dan harga pelarut tersebut. Prinsip kelarutan adalah "like dissolve like", yaitu pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, demikian juga sebaliknya pelarut non-polar akan melarutkan senyawa non-polar dan pelarut organik akan melarutkan senyawa organik (Khopkar 1990 dalam Yunita 2004).
Alkohol merupakan pelarut yang dapat melarutkan senyawa seperti tanin, lemak, lilin, zat pektik dan senyawa lainnya. Alkohol merupakan pelarut umum yang digunakan untuk ekstraksi (Batubara, 2006).
F. Kegunaan Zat Ekstraktif
Anonim (1976), menyebutkan bahwa selain dapat digunakan untuk mengenal suatu jenis kayu juga digunakan sebagai bahan industri antara lain: 1. Damar, digunakan untuk industri plastik, plester, vernis, lak dan lain-lain.
2. Getah, dapat digunakan untuk industri korek api, bahan perekat, bahan pewarna dan pembuatan imulsi.
3. Gondorukem, digunakan untuk industri minyak resin, bahan penolong pada industri sabun, pelitur kayu, bahan cat dan tinta cetak.
kedokteran gigi "Water Proofing Agent" dan pelapis mekanis.
5. Minyak Cebdana, digunakan untuk antispetik, pengikat minyak wangi dan bahan baku sabun.
6. Minyak terpentin, digunakan sebagai pelarut minyak organik dan resin. 7. Kopal, digunakan untuk cat, vernis, spertus, lak merah dan cairan pengering. 8. Kemenyan, merupakan bahan baku asam benzoat dan asam sinamat. Dapat
juga digunakan sebagai bahan obat luka dan sebagai bahan bakar yang digunakan industri vernis dan kosmetik.
9. Kinin, digunakan untuk bahan obat-obatan terutama untuk obat malaria.
G. Risalah Jenis Kayu Tulip Afrika (Spatodea campanulata)
1. Gambaran Umum
Nursalam (2006), Spatodea campanulata atau disebut kayu tulip afrika ini termasuk dalam famili bignoniaceae yang tampilannya berupa pohon yang memiliki daun rimbun. Dalam bahasa asing tanaman ini dikenal dengan nama African tulip tree. Tanaman ini dapat mencapai tinggi sekitar 7 - 23 meter. Daun tanaman ini berwarna hijau yang berupa daun majemuk menyirip ganjil, anak daun berjumlah 9 - 19 atau umumnya 11 - 13 anak daun. Helaian daun berbentuk bulat telur memanjang, bertepi rata, panjang 5 - 13 cm dan lebar 2,5 - 5 cm. Bunga Spatodea berwarna merah jingga yang berupa bunga majemuk dengan tandan yang rapat, terminal. Kelopak bunga menutup sebelum mekar, membengkok, kemudian membelah berbentuk upih, panjangnya 4 - 7 cm. Mahkota bunga setangkup tunggal berbentuk lonceng lebar, panjang tabung bunga 5 - 6 cm, tajuk berjumkah 5 dengan panjang 2,5 - 4 cm dan tepinya keriting. Buah Spatodea termasuk buah kotak berbentuk anset, tegak atau sekurang-kurangnya tidak menggantung, katup buah berbentuk perahu
berwarna coklat tua yang panjangya sekitar 12 - 20 cm, seringkali pecah pada satu sisi. Sekat buah tebal dan mencolok seperti gabus.
2. Ciri Ekologis
Habitat asli Spatodea campanulata adalah berasal dari benua Afrika yang beriklim tropis. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik di tempat-tempat yang terbuka dan kena sinar matahari langsung, baik di dataran rendah maupun dataran tinggi yakni hingga pada ketinggian 1.000 meter dpl. Tanaman ini hampir dapat tumbuh pada semua jenis tanah, terutama tanah yang berdrainase baik. Secara umum untuk mendapatkan tanaman yang tumbuh dengan lebih baik dan sehat, maka perlu diberi perlakuan pada media tanam berupa pemupukan, baik pupuk alami maupun pupuk buatan, dan pemberian air secara teratur yang sesuai dengan tahap pertumbuhannya. Tanaman ini dapat dikembangbiakan dengan cara menanam bijinya atau dengan cara mencangkok karena merupakan tumbuhan dengan ciri biji tertutup oleh daun buah atau yang dikenal dengan istilah angiospermae. Tanaman ini termasuk dalam jenis dikotil dimana memiliki ciri khas seperti batang yang berkambium dan memiliki tulang daun yang menjari atau menyirip serta berakar tunggang dan memiliki bunga-bunga yang indah.
3. Klasifikasi
Menurut Gledhill (2008), tumbuhan tulip afrika dalam klasifikasi botani dapat diuraikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae Divisi : Angiospermae Familia : Bignoniaceae Genus : Spatodea
Spesies : Spatodea campanulata 4. Fungsi Lanskap
Tanaman kayu tulip afrika (Spatodea campanulata) di Indonesia biasanya banyak dijumpai ditanam pada halam rumah atau halaman perkantoran sebagai tanaman peneduh. Juga sering ditanam di pinggir-pinggir jalan sebagai tanaman peneduh.
Gambaran mengenai pohon tulip afrika dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
1. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan sekitar 4 bulan, mulai dari tanggal 14 Februari sampai dengan 01 Juni 2013. Dengan perincian sebagai berikut: Tabel 2. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan
No. Kegiatan Bulan Ke
I II III IV 1 Persiapan 2 Pengambilan Bahan 3 Proses Ekstraksi 4 Pengolahan data 5 Penulisan Laporan 2. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Sifat Kayu dan Analisis Produk Program Studi Teknologi Hasil Hutan Politeknik Pertanian Negeri Samarinda.
B. Alat dan Bahan 1. Alat
Alat yang digunakan selama penelitian ini antara lain: a. Gergaji dan parang
b. Meteran c. Blender
d. Ayakan ukuran 50 mesh e. Batang Pengaduk
f. Benang g. Pipet h. Aluminium voil i. Timbangan elektrik j. Gelas ukur k. Gelas piala l. Kertas saring m. Cawan saring n. Water bath o. Desikator p. Labu erlenmeyer q. Oven r. Hot plate s. Corong t. Kantong plastik u. Alat tulis menulis v. Kamera digital
2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Serbuk kayu tulip afrika (Spatodea campanulata)
b. Air dingin atau air aquades c. Air aquades panas
d. Alkohol benzena e. NaOH 1 %
C. Prosedur Penelitian 1. Pengambilan Contoh Uji
Bahan baku penelitian berupa kayu tulip afrika (Spatodea campanulata) yang diambil di lingkungan Kampus Politeknik Pertanian Negeri Samarinda yang tumbuh tepat di samping laboratorium briket arang Program Studi Teknologi Hasil Hutan yang berdiameter sekitar 40 cm dengan ketinggian 25 m. Kegiatan pembuatan contoh uji yaitu kayu tulip afrika yang dipotong menjadi 3 bagian yaitu: pangkal, tengah dan ujung, kemudian tiap-tiap bagian batang tersebut dipotong menjadi lempengan dengan ketebalan 5 cm, dari setiap lempengan tersebut dibuat serpihan, untuk mempermudah proses kelarutan zat ekstraktif, serpihan tadi dibuat serbuk dan diayak menggunakan mesh 50.
2. Pembuatan Serbuk
Bagian pangkal, tengah dan ujung yang telah berbentuk chip dipisahkan sesuai dengan bagian-bagiannya masing-masing, kemudian dilakukan proses penggilingan serpihan dengan menggunakan mesin mixer (blender) hingga menghasilkan serbuk yang halus. Penggilingan tidak sekaligus karena kapasitas mesin mixer yang terbatas. Serbuk tersebut dipisah dan ditimbang sesuai dengan bagian-bagiannya masing-masing. Dengan menggunakan mesh 50 dilakukan untuk mendapatkan serbuk yang halus. Untuk lebih jelasnya, pembuatan contoh uji ini dan mengenai prosedur ini dapat dilihat pada gambar berikut di bawah ini:
Gambar 2. Pengambilan Contoh Uji pada Batang dan Proses Pembuatan Serbuk
3. Pengeringan
Sebelum dilakukan analisis kimia, serbuk dikering udarakan terlebih dahulu agar didapat kadar air yang konstan selama 1 minggu, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik sesuai dengan bagiannya masing-masing. Sampel yang akan diekstraksi tidak boleh dikering tanurkan karena dapat merusak zat ekstraktif yang akan dianalisa.
4. Analisa Kelembaban Moisture Factor, menggunakan standar TAPPI (Technical Association of Pulp and Paper Industry) T 264 om-88 dengan prosedur sebagai berikut:
1. Cawan yang sudah kering ditimbang, kemudian diisi dengan serbuk sebanyak 2 gram dan masukkan ke dalam oven selama 24 jam dengan suhu 103 ± 2 0 C.
2. Setelah 24 jam, cawan beserta serbuknya dimasukkkan ke dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang untuk mengetahui berat kering tanurnya.
3. Untuk menghitung Moisture Factor digunakan rumus menurut Anonim (1961) sebagai berikut:
0 ) %R %E Dimana: MF = Moisture Factor
Bo = Berat Serbuk Kering Tanur (gr) Bb = Berat Serbuk Mula-mula (gr)
5. Analisa Zat Ekstraktif
a. Analisa zat ekstraktif dengan metode air dingin, digunakan standar TAPPI T 207 om-88 dengan prosedur sebagai berikut:
1. Serbuk ditimbang ± 2 gram sebanyak 3 kali untuk tiap bagian.
2. Serbuk dimasukkan ke dalam gelas piala 400 ml dan tambahkan air suling dingin atau aquades sebanyak 300 ml, kemudian ditutup dengan alumunium voil.
3. Gelas piala tadi dibiarkan selama 48 jam dengan suhu kamar dan diaduk terus dengan alat pengaduk.
4. Isi gelas piala dipindahkan ke dalam cawan saring yang telah dilapis kertas saring.
5. Cuci gelas piala yang telah digunakan dengan air aquades sebanyak 200 ml.
6. Melakukan pengulangan dengan metode yang sama.
7. Masukkan ke dalam oven selama 24 jam dengan suhu 103 ± 2 o C lalu dinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang.
b. Analisa zat ekstraktif dengan metode air panas, digunakan standar TAPPI T 207 om-88 dengan prosedur sebagai berikut:
1. Serbuk ditimbang ± 2 gram sebanyak 3 kali tiap bagian.
2. Serbuk dimasukkan ke dalam gelas piala 300 ml dan tambahkan 100 ml air suling panas, selanjutnya tutup dengan alumunium voil.
3. Selanjutnya gelas piala tersebut dimasukkan ke dalam water bath selama 3 jam sampai airnya mendidih.
4. Gelas piala tadi dikeluarkan dan diaduk perlahan-lahan.
5. Kemudian disaring dan dicuci dengan air aquades panas sampai beberapa kali hingga filtratnya jernih
6. Melakukan pengulangan dengan metode yang sama.
7. Kertas saring dan serbuk dimasukkan ke dalam oven selama 24 jam dengan suhu 103 ± 2 o C lalu dinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang.
c. Analisa zat ekstraktif dengan kelarutan dalam NaOH 1 %, digunakan standar TAPPI T 212 om-88 dengan prosedur sebagai berikut:
1. Serbuk ditimbang ± 2 gram sebanyak 3 kali untuk tiap bagian lalu dimasukkan ke dalam gelas piala.
2. Ditambahkan NaOH 1 % sebanyak 100 ml lalu diaduk hingga homogen.
3. Dimasukkan ke dalam water bath yang airnya telah mendidih dan biarkan selama 1 jam.
4. Isi gelas piala disaring ke dalam gelas filter yang bersih, kemudian bilas dengan air aquades panas sebanyak 100 ml dan asam asetat 10 % sebanyak 25 ml, selanjutnya ditambahkan lagi 25 ml asam asetat 10 % dan terakhir bilas lagi dengan air aquades panas sampai bebas asam (diperiksa dengan menggunakan kertas lakmus).
5. Melakukan pengulangan dengan metode yang sama.
6. Kertas saring dan serbuk ke dalam oven dengan suhu 103 ± 2 o C selama 24 jam lalu dinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang.
d. Analisa zat ekstraktif dengan kelarutan dalam alkohol benzena digunakan standar TAPPI T 204 om-88 dengan prosedur sebagai berikut:
1. Serbuk ditimbang ± 2 gram sebanyak 3 kali untuk tiap bagian.
2. Serbuk dimasukkan ke dalam kertas saring yang sudah ditimbang beratnya kemudian dilipat dan ikat menggunakan benang.
3. Siapkan larutan alkohol benzena dengan perbandingan 1:2. 4. Melakukan destilasi selama 6 jam.
5. Setelah itu uapkan larutan alkohol benzena hingga alkohol dan ekstraktif terpisah.
6. Masukkan kertas saring dan serbuk yang telah didestilasi ke dalam oven dengan suhu 103 ± 2 o C selama 24 jam.
8. Melakukan pendinginan sampel dalam desikator selama 15 menit kemudian melakukan penimbangan sampel untuk mengetahui berat kering tanurnya.
6. Perhitungan Persentase Zat Ekstraktif
Untuk mengetahui persentase kandungan zat ekstraktif maka digunakan rumus dari standar TAPPI T 212 om-88 sebagai berikut:
( NVWUDNWLI? ? $ - %
$ ;
Dimana: A = Berat serbuk mula-mula X MF (gr) B = berat serbuk setelah ekstraksi (gr)
Untuk mengetahui nilai rata-rata kandungan zat ekstraktif pada kayu tulip afrika dapat dihitung pada pengolahan data menurut Sudjana (1975), sebagai berikut:
? [ L Q
Dimana: X = Hasil rata-rata (%)
? [ L = Jumlah zat ekstraktif yang larut (%) n = Banyaknya contoh uji
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Hasil penelitian tentang rata-rata kelarutan zat ekstraktif dari kayu tulip afrika (Spatodea campanulata) berdasarkan letak pada bagian batang yaitu pangkal, tengah dan ujung menggunakan metode air dingin, air panas, NaOH 1 % dan alkohol benzena dapat dilihat pada lampiran dan tabel berikut ini:
Tabel 3. Nilai Rata-Rata Kelarutan Zat Ekstraktif (%) Kayu Tulip Afrika (Spatodea campanulata) Berdasarkan Letak Pada Batang
No Letak Contoh Uji Pada batang
Kelarutan Zat Ekstraktif (%)
Air Dingin Air Panas NaOH 1 % Alkohol Benzena 1 Pangkal 4,2125 7,1106 12,2458 7,4923 2 Tengah 3,5350 6,2285 11,3359 6,1369 3 Ujung 2,9243 4,5036 9,7509 4,5355 Total 10,6718 17,8427 33, 3326 18,1647 Rata-rata (%) 3,5573 5,9476 11,1109 6,0549 B. Pembahasan
Melihat hasil dari tabel 1, kelarutan zat ekstraktif kayu tulip afrika (Spathodea campanulata) pada bagian pangkal, tengah dan ujung dari empat metode yang dilakukan semuanya menunjukkan angka yang berbeda-beda, hal ini dapat dilihat pada histogram berikut ini:
0 2 4 6 8 10 12 14
Air Dingin Air Panas NaOH 1 % Alkohol Benzena
Gambar 3. Rata-Rata Kelarutan Zat Ekstraktif (%) Kayu Tulip Afrika (Spatodea campanulata) yang Terlarut Dalam Air Dingin, Air Panas,
NaOH 1 % dan Alkohol Benzena Berdasarkan Letak Pada Batang
Dari gambar histogram diatas, terlihat adanya penurunan kelarutan zat ekstraktif dari pangkal sampai ke ujung batang, baik dengan menggunakan metode air dingin, air panas, NaOH 1 % maupun dengan metode alkohol benzena, dengan kata lain pada bagian pangkal batang kandungan zat ekstraktif lebih tinggi dari bagian tengah dan menurun sampai ke ujung batang atau dapat pula dikatakan bahwa pangkal batang dan semakin ke ujung semakin berkurang. Hasil dari penelitian ini diperkuat oleh beberapa peneliti diantaranya Panshin dan De Zeeuw (1980), dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa kadar ekstraktif selalu mengalami penurunan dari pangkal menuju ujung pohon. Selanjutnya diperjelas Rusliana (1985), juga menyatakan bahwa kandungan zat ekstraktif dari suatu
Metode Ekstraksi
P
T
U
P
T
U
P
T
U
P
T U
Keterangan: P = Pangkal T = Tengah U = Ujung 4,2125 3,5350 2,9243 7,1106 6,2285 4,5036 12,2458 11,3359 9,7509 7,4293 6,1369 4,5355jenis kayu dengan umur yang lebih tua memperlihatkan persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian kayu yang berumur kebih muda. Demikian pula Simatupang (1988), bahwa kayu dari cabang menunjukkan kadar bahan zat ekstraktif yang umumnya lebih rendah dari pada bagian ini kadar zat ekstraktifnya lebih tinggi.
Terjadinya penurunan ekstraktif kayu dari pangkal sampai ke ujung batang ini diduga disebabkan oleh pertumbuhan sel pada bagian pangkal batang terbentuk lebih awal daripada bagian tengah dan ujung batang atau dapat pula dikatakan bahwa zat ekstraktif pada bagian pangkal ini diduga ada kaitannya dengan terbentuknya kayu teras. Pendapat ini didukung oleh Sudrajat (1979), bahwa pada bagian pangkal pohon zat ekstraktif banyak diendapkan dan juga disebabkan banyak terdapat tilosis-tilosis. Demikian pula menurut pendapat dan penjelasan Prayitno (1991), yang menyatakan bahwa kayu pada bagian pangkal mempunyai persentase zat ekstraktif yang lebih tinggi karena bagian pangkal mempunyai persentase kayu teras yang lebih banyak.
Selanjutnya mengenal kelarutan zat ekstraktif dari keempat metode yang digunakan yaitu kelarutan zat ekstraktif dalam air dingin, air panas, NaOH 1 % dan alkohol benzena dapat dilihat pada gambar berikut:
3,5573 5,9476 11,1109 6,0549 0 2 4 6 8 10 12
Air Dingin Air Panas NaOH 1% Alkohol Benzena
Metode Ekstraktsi
Gambar 4. Nilai Rata-Rata Kelarutan Zat Ekstraktif (%) Kayu Tulip Afrika (Spatodea campanulata) Menggunakan Empat Metode
Berdasarkan gambar histogram diatas, dapat diketahui bahwa nilai rataan kelarutan zat ekstraktif dalam air dingin sebesar 3,5573 %, dalam air panas sebesar 5,9476 %, dalam NaOH 1 % sebesar 11,1109 % dan dalam alkohol benzena sebesar 6,0549 %.
Apabila ditinjau dari segi pelarut yang digunakan, nilai rataan kelarutan zat ekstrakif pada kayu tulip afrika (Spatodea campanulata) yang menggunakan metode NaOH 1 % ternyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan metode kelarutan dalam air dingin, air panas dan alkohol benzena. Hal ini disebabkan karena larutan alkali (NaOH) akan mudah melarutkan zat ekstraktif yang letaknya jauh di dalam batang. Demikian pula menurut pendapat Browning (1967), yang menyatakan bahwa larutan basa yang heterogen mampu menyusup lebih dalam ke jaringan kayu, sehingga terjadi peristiwa pengembangan (swelling) dan bahan yang terdapat dalam jaringan akan mudah dilarutkan. NaOH juga mampu
Kelarutan Zat Ekstraktif (%
melarutkan sebagian besar hemiselulosa khususnya rantai cabangnya baik dari pentosa, heksosa maupun asam organik.
Kemudian kelarutan zat ekstraktif kayu tulip afrika yang menggunakan metode alkohol benzena menunjukkan persentase yang lebih tinggi dibandingkan kelarutan dalam air panas dan air dingin tetapi lebih rendah kelarutannya bila dibandingkan dengan kelarutan dalam NaOH 1 %. Hal ini diduga kemungkinan metode ini tidak dapat melarutkan zat-zat ekstraktif tertentu yang terdapat di dalam jaringan seperti yang dilarutkan oleh pelarut NaOH 1 %. Pendapat ini didukung oleh Anonim (1995), bahwa komponen yang terlarut dalam alkohol benzena adalah lemak, resin dan minyak. Demikian pula Batubara (2006), yang menyatakan bahwa alkohol merupakan pelarut yang dapat melarutkan senyawa seperti tanin, lemak, lilin, zat pektik dan senyawa lainnya.
Demikian pula dengan kelarutan zat ekstraktif dalam air panas lebih tinggi dibandingkan kelarutan dalam air dingin tetapi lebih rendah bila dibandingkan dengan kelarutan dalam alkohol benzena dan NaOH 1 %. Hal ini kemungkinan juga disebabkan oleh zat-zat yang terlarut oleh pelarut air panas tidak sebanyak dengan zat-zat yang terlarut oleh pelarut alkohol benzena dan NaOH 1 %. Pendapat ini didukung oleh Anonim (1995), bahwa zat yang terlarut dalam air panas adalah tanin, gum, karbohidrat, pigmen dan komponen pati. Sedangkan metode kelarutan dengan menggunakan pelarut air dingin lebih rendah persentase kelarutannya dibandingkan dengan kelarutan dalam air panas, alkohol benzena dan NaOH 1 %. Hal ini disebabkan karena bahan ekstraktif yang terlarut dalam air dingin hanya sedikit dibanding dengan pelarut lainnya. Menurut Anonim (1995), bahwa komponen ekstraktif yang larut dalam air dingin
adalah tanin, gum, karbohidrat dan pigmen. Sedangkan menurut pendapat Soenardi (1976), menerangkan bahwa air digolongkan dalam pelarut netral, sebab kayu yang direndam dalam air dingin pada suhu kamar tidak akan mengalami perubahan atau tidak bereaksi, hanya zat warna dan zat ekstraktif yang mempunyai berat molekul rendah yang akan terlarut. Diperjelas oleh Fengel dan Wegener (1995), bahwa komponen utama dari bagian kayu yang dapat larut dalam air terdiri dari atas karbohidrat, protein dan garam-garam an-organik.
Menurut Anonim (1976), bahwa kelarutan zat ekstraktif kayu tulip afrika ini termasuk dalam klasifikasi jenis kayu daun lebar yang memiliki kandungan zat ekstraktif yang tinggi. Mengingat kandungan zat ekstraktifnya yang cukup tinggi, maka apabila dijadikan sebagai bahan baku pulp dan kertas dapat mengganggu penetrasi bahan kimia dalam serpih, menyebabkan bintik-bintik hitam pada kertas dan dapat menyumbat lubang kasa pada kawat mesin kertas.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Dari keempat metode kelarutan zat ekstraktif kayu tulip afrika yang diteliti, nilai rata-rata kelarutannya semua mengalami penurunan dari pangkal batang sampai ke ujung batang berturut-turut, untuk air dingin pada pangkal 4,2125 %, tengah 3,5350 %, ujung 2,9243 % kemudian untuk air panas pada pangkal 7,1106 %, tengah 6,2285 %, ujung 4,5036 % selanjutnya dalam kelarutan NaOH 1 % pada pangkal 12,2458 %, tengah 11,3359 %, ujung 9,7509 % dan Alkohol Benzena pada pangkal 7,4923 %, tengah 6,1369 % dan ujung 4,5355 %.
2. Kelarutan zat ekstraktif kayu tulip afrika yang tertinggi adalah dengan menggunakan pelarut NaOH 1 % yaitu 11,1109 % kemudian untuk ketiga metode yang lain mengalami penurunan berturut-turut, dengan pelarut Alkohol Benzena sebesar 6,0549 %, pelarut air panas sebesar 5,9460 % dan yang terakhir dengan pelarut air dingin sebesar 3,5573 % termasuk hasil kelarutan yang paling rendah.
3. Berdasarkan dari tabel klasifikasi jenis kayu daun lebar Indonesia atas dasar komponen kimianya, kayu tulip afrika termasuk dalam kelas yang mengandung zat ekstraktif tinggi karena lebih dari 4 %.
B. Saran
1. Berdasarkan klasifikasi komponen kimia kayu tulip afrika yang tergolong tinggi maka direkomendasikan agar dapat dijadikan sebagai bahan baku papan serat karena bila dijadikan sebagai bahan baku pulp dan kertas akan dapat menyebabkan bintik-bintik hitam pada kertas, mengingat kandungan zat ekstraktif yang cukup tinggi maka sebaiknya dilakukan penguapan terlebih dahulu pada kayu tulip afrika sebelum dijadikan sebagai bahan baku pulp dan kertas.
2. Untuk menunjang data kelengkapan informasi tentang kayu tulip afrika ini maka perlu diadakan penelitian lanjutan mengenai sifat-sifat kayu tulip afrika lainnya seperti kadar selulosa dan lain-lain.
3. Perlu diadakan penelitian lanjutan dengan menggunakan metode penelitian yang sama tetapi dibedakan antara kayu gubal dan kayu terasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi S. 1990. Kimia Kayu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Pendidikan Tinggi PAU. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Anonim. 1995. Annual Book of ASTM Standards. Volume 04. 10. Wood. Section 4. Philadelpia.
. 2010. Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan. Direktorat Jendral Planologi Kehutanan. Kementrian Kehutanan.
. 2004. Spat_cam.cfm Spathodea campanulata.htm. Available Online at http:// Spathodea campanulata.htm. diakses 12 Januari 2013.
. 1961. Technical Association Of The Pulp And Paper (TAPPI). 360 Lexintion Avenue. New York.
. 1976. Vademecum Kehutanan Indonesia. Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Kehutanan. Jakarta.
Batubara R. 2006. Identifikasi Sifat Ekstrak Kulit Kayu Medang Hitam
(Cinnamomum prorrectum) Sebagai Bahan Pengawet Kayu. Universitas Mulawarman. Samarinda.
Browning BL. 1967. Chemistry of Wood, Interscience Publisher. New York.
Brown HP, Panshin AJ and Forsaith CC. 1952. Text Book Of Wood Technology. Vol. 2. Mc.Graw Hill. New York.
Dumanauw JF. 1990. Mengenal Kayu. Kanisius. Yogyakarta.
Djoen OS. 1964. Berat Jenis Dari Jenis-jenis Kayu Indonesia dan Pengertian Beratnya Kayu Untuk Keperluan Praktek. Pengumuman Lembaga Asli Penelitian Hutan No. 1. Bogor.
Ediningtyas D. 1995. Zat Ekstraktif Tiga Jenis Kayu Awet Indonesia dan Efikasinya Terhadap Rayap Kayu Kering (Cryptotermes cynocephalus Light). Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Fengel D and Wegener G. 1995. Kayu. Kimia dan UltraStruktur, Reaksi-reaksi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Gledhiil. 2008. The Names Of Plants. Cambrigde University Press.p.357.
Haygreen JG and Bowyer JL. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Suatu Pengantar. Terjemahan: Hendrikusumo SA. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Hillis WE. 1987. Heartwood and Tree At Exudates. Spinger-Verlag. Berlin.
Margono S. 1973. Mangrove Sebagai Bahan Baku Pulp Dan Kertas. Barita Selulosa No. 1. Departeman Perindustrian Penelitian Sellulosa. Bandung.
Martawijaya A dan Kartasujana I. 1997. Ciri Umum, Sifat dan Kegunaan Jenis-jenis Kayu Indonesia. Publikasi Khusus No. 41. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Departemen Pertanian Bogor. Bogor.
Nursalam. 2006. Deskripsi Ragam Tanaman Lanskap Famili Bignoceae. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Panshin AJ and de Zeeuw C. 1980. Textbook of Wood Technology. McGraw HillBook Company. Inc. New York.
Prayitno TA. 1991. Bentuk Batang dan Sifat Fisika Kayu Kelapa Sawit. Laporan Penelitian Fakultas Kehutanan. University Gadjah Mada. Yogyakarta. Rowell R. 1995. The Chemistry of Solid Wood. American Chemical Society.
Washington DC. United States of America.
Rusliana LI. 1985. Kimia Kayu Yayasan Pembinaan Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan.
Simatupang MH. 1988. Bahan Ekstraktif Kayu, Kimianya dan Pengaruhnya Pada Sifat-Sifat Kayu. Universitas Hamburg. Hamburg.
Sjostrom E. 1995. Kimia Kayu, Dasar-dasar dan Penggunaan. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Soenardi. 1976. Sifat-sifat Kimia Kayu. Yayasan Pembinaan Fakultas Kehutanan. University Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sudjana. 1975. Metode Statistika Tarsito. Bandung.
Sudrajat. 1979. Analisa Kimia Beberapa Kayu Indonesia. Bagian 111. Laporan No. 39. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Syafii W. 1996. Zat Ekstraktif dan Pengaruhnya Terhadap Keawetan Alami Kayu. Jurnal Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Tsoumis G. 1976. Kayu Sebagai Bahan Baku. Proyek Penterjemahan Literatur Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Yunita FC. 2004. Ekstraksi Daging Biji Picung (Pangium edule) dan Uji Toksitas Terhadap Artemia salina Leach. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tabel 4. Nilai Rataan Moisture Factor Kayu Tulip Afrika (Spatodea campanulata) Berdasarkan Letak Pada Batang
Bagian Batang U Bb (gr) Bo (gr) MF Rata-rata Pangkal 1 2,1042 1,8932 0,8997 0,8998 2 2,0424 1,8370 0,8994 3 2,0692 1,8626 0,9002 Tengah 1 2,1114 1,8930 0,8966 0,8989 2 2,1019 1,8961 0,9021 3 2,0121 1,8069 0,8980 Ujung 1 2,0130 1,8108 0,8996 0,9001 2 2,1387 1,9245 0,8998 3 2,1898 1,9727 0,9009 Keterangan: U : Ulangan
Bb : Berat serbuk mula-mula (gr) Bo : Berat serbuk kering tanur (gr) MF : Moisture Factor (faktor kelembaban)
Tabel 5. Nilai Rata-rata Kelarutan Zat Ekstraktif Kayu Tulip Afrika Dengan Menggunakan Metode Air Dingin
Bagian Pohon U Bb (gr) A (gr) B (gr) Ekstraktif (%) Rata-rata (%) Pangkal 1 2,2822 2,0535 1,9678 4,1734 4,2125 2 2,2688 2,0414 1,9538 4,2912 3 2,2371 2,0129 1,9289 4,1731 Tengah 1 2,2834 2,0525 1,9804 3,5128 3,5350 2 2,2931 2,0612 1,9903 3,4397 3 2,2327 2,0069 1,9336 3,6524 Ujung 1 2,2576 2,0320 1,9740 2,8543 2,9243 2 2,2709 2,0440 1,9839 2,9403 3 2,2458 2,0214 1,9612 2,9781 Rata-rata keseluruhan 3,5573 Keterangan: U : Ulangan
Bb : Berat serbuk mula-mula (gr) A : Berat serbuk mula-mula x MF (gr) B : Berat serbuk Kering tanur (gr)
Tabel 6. Nilai Rata-rata Kelarutan Zat Ekstraktif Kayu Tulip Afrika Dengan Menggunakan Metode Air Panas
Bagian Pohon U Bb (gr) A (gr) B (gr) Ekstraktif (%) Rata-rata (%) Pangkal 1 2,3259 2,0928 1,9437 7,1244 7,1106 2 2,2797 2,0512 1,9039 7,1812 3 2,2936 2,0637 1,9187 7,0262 Tengah 1 2,2592 2,0308 1,9029 6,2980 6,2285 2 2,2669 2,0377 1,9118 6,1785 3 2,2432 2,0164 1,9912 6,2091 Ujung 1 2,3106 2,0797 1,9845 4,5776 4,5036 2 2,2239 2,0017 1,9118 4,4912 3 2,2410 2,0171 1,9275 4,4420 Rata-rata keseluruhan 5,9476 Keterangan: U : Ulangan
Bb : Berat serbuk mula-mula (gr) A : Berat serbuk mula-mula x MF (gr) B : Berat serbuk Kering tanur (gr)
Tabel 7. Nilai Rata-rata Kelarutan Zat Ekstraktif Kayu Tulip Afrika Dengan Menggunakan Metode NaOH 1 %
Bagian Pohon U Bb (gr) A (gr) B (gr) Ekstraktif (%) Rata-rata (%) Pangkal 1 2,2348 2,0108 1,7643 12,2588 12,2458 2 2,2831 2,0543 1,8017 12,2962 3 2,2099 2,0784 1,8252 12,1824 Tengah 1 2,2494 2,0220 1,7926 11,3452 11,3359 2 2,2428 2,0160 1,7879 11,3145 3 2,2705 2,0409 1,8093 11,3479 Ujung 1 2,2820 2,0540 1,8520 9,8345 9,509 2 2,3054 2,0751 1,8741 9,6863 3 2,2661 2,0397 1,8412 9,7318 Rata-rata keseluruhan 11,1109 Keterangan: U : Ulangan
Bb : Berat serbuk mula-mula (gr) A : Berat serbuk mula-mula x MF (gr) B : Berat serbuk Kering tanur (gr)
Tabel 8. Nilai Rata-rata Kelarutan Zat Ekstraktif Kayu Tulip Afrika Dengan Menggunakan Metode Alkohol Benzena
Bagian Pohon U Bb (gr) A (gr) B (gr) Ekstraktif (%) Rata-rata (%) Pangkal 1 2,2458 2,0207 1,869 7,5073 7,4923 2 2,2292 2,0058 1,559 7,4733 3 2,2595 2,0330 1,806 7,4963 Tengah 1 2,2853 2,0542 1,9290 6,0948 6,1369 2 2,2312 2,0056 1,8822 6,1528 3 2,2563 2,0282 1,9032 6,1631 Ujung 1 2,2698 2,0430 1,9517 4,4689 4,5355 2 2,2529 2,0278 1,9354 4,5567 3 2,2458 2,0214 1,9288 4,5810 Rata-rata keseluruhan 6,0549 Keterangan: U : Ulangan
Bb : Berat serbuk mula-mula (gr) A : Berat serbuk mula-mula x MF (gr) B : Berat serbuk Kering tanur (gr)
Lampiran 4. Contoh Perhitungan 1. Moisture Factor = Bb Bo =
1042
,
2
8932
,
1
= 0,8997 ---> (a) =0424
,
2
8370
,
1
= 0,8994 ---> (b) =0692
,
2
8626
,
1
= 0,9002 ---> (c) MF Rata-rata = 3 c b a? ? =3
9002
,
0
8994
,
0
8997
,
0
?
?
= 0,8998 2. Zat Ekstraktif % = A B A? x 100 % =0535
,
2
9678
,
1
0535
,
2
?
x 100 % = 4,1734 % ---> (a) =0414
,
2
9538
,
1
0414
,
2
?
x 100 % = 4,2912 % ---> (b) =0129
,
2
9289
,
1
0129
,
2
?
x 100 % = 4,1731 % ---> (c)Zat Ekstraktif Rata-rata % =
3 c b a? ? = 3 1731 , 4 2912 , 4 1734 , 4 ? ? = 4,2125 %
Gambar 5. Lempengan Pangkal, Tengah dan Ujung Kayu Tulip Afrika
Gambar 7. Proses Pembuatan Serpihan Menggunakan Blender
Gambar 9. Serbuk Hasil Pengayakan
Gambar 10. Penimbangan Berat Serbuk Untuk Sampel Uji MF, Kelarutan Dalam Air Dingin, Air Panas, NaOH 1 % dan Alkohol Benzena
Gambar 11. Proses Penambahan Aquadest Setelah Penimbangan Awal Serbuk
Gambar 13. Penambahan Air Aquadest Panas Pada Sampel Uji Kelarutan Dalam Air Panas
Gambar 14. Proses Penyimpanan Sampel Uji Kelarutan Dalam Air Panas dan NaOH 1 % Dalam Water Bath
Gambar 15. Proses Pembuatan Larutan NaOH 1 %
Gambar 16. Penambahan Larutan NaOH 1 % Pada Sampel Uji Setelah Penimbangan Awal Kemudian Dimasukan Dalam Water Bath
Gambar 17. Sampel Uji Untuk Kelarutan Dalam Alkohol Benzena Yang Dibungkus Dalam Kertas Saring Yang Sudah Ditimbang Terlebih Dahulu
Gambar 18. Proses Destilasi Sampel Dalam Kertas Saring Dengan Larutan Alkohol Benzena
Gambar 19. Proses Penyaringan Untuk Sampel Uji Kelarutan Dalam Air Dingin, Air Panas, NaOH 1 % dan Alkohol Benzena
Gambar 20. Proses Pengovenan Untuk Sampel Uji MF, Kelarutan Dalam Air Dingin, Air Panas, NaOH 1 % dan Alkohol Benzena
Gambar 21. Pengkondisian Sampel Uji MF, Kelarutan Dalam Air Dingin, Air Panas, NaOH 1 % dan Alkohol Benzena
Gambar 22. Proses Penimbangan Sampel Uji MF, Kelarutan Dalam Air Dingin, Air Panas, NaOH 1 % dan Alkohol Benzena Untuk Mengetahui Berat Kering Tanur