Jurnal Reusam
ISSN 2302-6219
E-ISSN 27225100
Volume IV Nomor 2 (November 2020) Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh
Abstract
This research examines the legal protection of people who are victims of the B3 madical waste. This research is a qualitative research with literature study. The main sources in this research are written sources in the form of books, research results, and laws which related to the issue. The results showed that the law provides protection to people who are exposed to the B3 madical waste, both criminal and civil law. When a dispute happening between the community and the company, the solution can be done in two ways, litigation and non-litigation. Settlement of environmental disputes through channels outside the court according to Article 85 paragraph (3) can only be done by using the services of a mediator and / or arbitrator to help resolve the dispute. Active community participation can be carried out by referring to Article 86 of the PPLH Law by establishing a free and impartial environmental dispute resolution institution facilitated by the government and local governments.
Key Words: Legal Protection, Community, Hazardous Waste
Abstrak
Penelitian ini mengkaji tentang perlindungan hukum kepada masyarakat yang menjadi korban dari limbah B3. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan studi kepustakaan. Sumber utama dalam penelitian ini adalah sumber tertulis berupa buku-buku, hasil penelitian, dan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dasarnya hukum memberikan perlindungan kepada masyarakat yang terpapar limbah B3, baik secara pidana maupun perdata. Apabila terjadi sengketa antara masyarakat dengan perusahaan penyebab limbah maka penyelesaiaanya dapat dilakukan melalui dua cara yaitu secara litigasi dan non litigasi. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui jalur di luar pengadilan menurut Pasal 85 ayat (3) hanya dapat dilakukan dengan menggunakan jasa mediator dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaikan sengketa. Partisipasi aktif masyarakat dapat dilakukan dengan merujuk Pasal 86 Undang-undang PPLH dengan membentuk lembaga penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak memihak dengan difasilitasi oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
Kata Kunci:
Perlindungan Hukum, Masyarakat, Limbah B3
Perlindungan
Hukum
Terhadap
Masyarakat yang Terpapar Limbah B3
Zainal Abidin
1, Zul Akli
2, Johari
3ISSN 2338-4735 Perlindungan Hukum… - Zainal (28-39)
A. PENDAHULUAN
Permasalahan lingkungan hidup pada hakikatnya adalah
permasalahan ekologi. Inti
permasalahan lingkungan hidup ialah hubungan timbal balik antara
makhluk hidup dengan
lingkungannya. Menurut Munadjat Danusaputro, lingkungan atau lingkungan hidup adalah semua benda dan daya serta kondisi, termasuk didalamnya manusia dan tingkah perbuatannya, yang terdapat dalam ruang dimana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad-jasad hidup lainnya. (Munadjat : 1985) Apabila hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya berjalan secara teratur dan merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi, maka terbentuklah suatu sistem ekologi yang lazim disebut ekosistem. Karena lingkungan terdiri dari komponen hidup dan tak hidup, maka ekosistempun terbentuk oleh komponen hidup dan tak hidup yang berinteraksi secara teratur sebagai
suatu kesatuan dan saling
mempengaruhi satu sama lain (interdependence). (Akib, 2014)
Bertalian dengan hal tersebut
di atas, maka peningkatan
pembangunan mengandung risiko
pencemaran dan perusakan
lingkungan yang berakibat pada rusaknya struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan. Hal semacam itu merupakan beban sosial, karena pada
akhirnya masyarakat dan
pemerintahlah yang harus
menanggung beban pemulihannya. Terpeliharanya ekosistem yang baik dan sehat merupakan tanggung jawab yang menuntut peranserta setiap
anggota masyarakat untuk
meningkatkan daya dukung
lingkungan.
Oleh karena itu, pembangunan (khususnya di bidang lingkungan) yang bijaksana harus dilandasi adanya wawasan lingkungan sebagai
sarana untuk mencapai
kesinambungan dan menjadi jaminan bagi kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang. Kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan suatu modal
penting dalam proses
penyelenggaraan pembangunan
ISSN 2338-4735 Perlindungan Hukum… - Zainal (20-39)
Perkembangan teknologi
khususnya dalam bidang industri berkembang sangat pesat. Setiap
negara selalu mendambakan
pembangunan industri yang tangguh karena alasan-alasan sebagai berikut : (1) industri dianggap lebih mampu membuka lapangan kerja; (2) memproduksi barang-barang yang semula diimpor; (3) mendorong perkembangan teknologi; (4) menumbuhkan berbagai kegiatan yang saling berkaitan dalam jaringan industri sehingga mampu berfungsi sebagai pendorong pembangunan; dan (5) pembangunan industri merupakan bagian dari ikhtiar menuju ke struktur ekonomi yang lebih baik lagi. (Emil, 1992)
Sebagai reaksi dari akibat pembangunan dan indutrialisasi telah menyebabkan berbagai kerusakan dan pencemaran lingkungan. (Deni, 2014) Pembangunan industri yang
dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan atau badan hukum di samping membawa pengaruh positif, juga dapat membawapengaruh negatif seperti pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Namun demikian,
salah satu dampak dari
pengembangan sektor industri adalah timbulnya limbah, termasuk limbah
bahan berbahaya dan beracun, baik limbah padat, cair maupun gas.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dari sejumlah perusahaan PT. Bahroni, Desa Krueng Simpo, Kecamatan Juli (Bireun), PT. Blang Ketumba, Desa Blang Gunci, Kecamatan Paya Bakong ( Aceh Utara), PT. Aceh Loka Makmur Sentosa, Desa Seuneubok Lapang, Kecamatan Peureulak Timur (Aceh Timur), PT. Perta Arun Gas dan sebagai contoh perusahaan PT. Pupuk
Iskandar Muda (PT.PIM
Lhokseumawe). namun dalam
pelaksanaannya terdapat ketidak sesuaian karena tempat pengolahan limbah cair (bak penampung limbah cair/IPAL) ukurannya pas-pasan sehingga pada saat hujan turun deras bak penampungan air limbah tidak mampu menampung limbah cair yang sudah tercampur dengan air hujan sehingga meluap dan airnya langsung masuk kelaut tampa melalui proses pengolahan terlebih dahulu, hal ini sangat di sayangkan terhadap kehidupan biota laut juga berdampak pada nelayan. Lain halnya dilokasi lain yakni tempat pengumpulan limbah cair yang terdapat di Claster I milik Exxon Mobil Oil yang sudah tidak terpakai lagi.
ISSN 2338-4735 Perlindungan Hukum… - Zainal (28-39)
PT Exxon Mobil membuang limbah mercury (Hg) atau logam raksa ke sawah dan sungai di Cluster I Syamtalira Aron, di Desa Hueng, Kecamatan Tanah Luas, Aceh Utara. Akibatnya areal sawah warga rusak dan sungai tercemar. Bagi warga yang menggunakan air sungai untuk mandi dan mencuci atau sebagianya, mengalami gatal-gatal, bahkan didapati banyak ikan yang mati karena limbah mercury milik PT Exxon Mobil. Merkuri merupakan produk samping yang dihasilkan dalam proses pemurnian gas alam dan tentu saja jumlahnya sudah puluhan ton sejak proses pengolahan gas berlangsung. rentang waktu mulai tahun 1977 sampai sekarang perusahaan itu telah memproduksi bahan B3 alias zat kimia berbahaya termasuk mercury dalam jumlah besar. Namun sampai saat ini, perusahaan Amerika itu masih merahasiakan keberadaan limbah kimia yang diproduksinya, apakah ditanam dalam tanah atau dibuang ke daerah lain. Sesuai dengan Permen LH No 18/2009 tentang Tata Cara Perizinan Pengelolaan Limbah B3 pasal 2 ayat (2) disebutkan, penghasil limbah B3 tidak dapat melakukan kegiatan penggumpalan limbah B3
sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) huruf c. Dengan demikian, pihak Exxon Mobile sebagai penghasil
limbah tidak diperkenankan
mengelola limbah merkurinya sendiri, tetapi harus menyerahkannya kepada pihak lain.
Limbah cair dibiarkan begitu saja tampa ada pengawasan ataupun usaha pengolahan hanya dibiarkan begitu saja sehingga dampat yang ditimbulkan sangat riskan sekali terhadap kelangsungan hidup
makhuk hidup. Seyogyanya
penimbunan limbah B3 harus
mengutamakan perlindungan
terhadap kehidupan dan kesehatan manusia serta perlindungan terhadap lingkungan.
Dari uraian tersebut diatas adapun yang menjadi permasalahan adalah Bagaimanakah Perlindungan Hukum Terhadap Masyarakat Akibat Kelalaian Yang Dilakukan Oleh
Perusahaan Penerima Kerja
Pengelolaan Limbah B3dalam Hal Terjadinya Pencemaran Lingkungan. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang akan melihat dasar hukum dari permasalahan tersebut dan juga kesesuaian aturan
ISSN 2338-4735 Perlindungan Hukum… - Zainal (20-39)
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan studi pustaka sebagai primer.
B. PEMBAHASAN
1. Perlindungan Hukum Terhadap Masyarakat Akibat Kelalaian Yang Dilakukan Oleh Perusahaan Penerima Kerja Pengelolaan Limbah B3dalam Hal Terjadinya Pencemaran Lingkungan
Perumusan Draf Akademik Rancangan Undang-Undang (Draf Akademik RUU) Pengelolaan Sumber Daya Genetika 2012 telah dijalankan pada tahun 2000 yang dinamai dengan Draf Akademik Rancangan Undang Undang Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetika. Draf tersebut diketuai oleh Kementerian Pertanian dan telah menghasilkan Draf Akademik RUU Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetika 2003 dan RUU Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetika 2003. Namun semasa itu, Draf Akademik RUU Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetika 2003 belum dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional.
Sesuai dengan Pasal 1 ayat 23 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang memberikan penjelasan tentang
pengelolaan limbah B3. Penjelasan tersebut menjadikan dasar terhadap kegiatan-kegiatan dalam melakukan pengelolaan oli bekas yang meliputi hal-hal yang mencakup penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan,
pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan.
Memperhatikan ketentuan-ketentuan mengenai pengelolaan limbah B3 tersebut, maka dapat di sebutkan bahwa pengaturan terhadap pengelolaan limbah B3 dapat didasarkan juga di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu sebagai berikut:
1. Melakukan perbuatan pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas tanpa izin dan sanksi pidana yang diberikan ialah dipidana penjara dengan pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 3 tahun serta denda paling sedikit 1 miliar rupiah dan paling banyak 3 miliar rupiah (Pasal 102 UUPPLH);
2. Melakukan perbuatan menghasilkan limbah B3 jenis oli
bekas dan tidak melakukan
pengelolaannya dan sanksi pidana yang diberikan ialah dipidana penjara
ISSN 2338-4735 Perlindungan Hukum… - Zainal (28-39)
dengan pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 3 tahun serta denda paling sedikit 1 miliar rupiah dan paling banyak 3 miliar rupiah (Pasal 103 UUPPLH);
3. Melakukan perbuatan dumping limbah B3 jenis oli bekas dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin dan sanksi pidana yang diberikan ialah dipidana penjara paling lama 3 tahun serta denda paling banyak 3 miliar rupiah (Pasal 104 UUPPLH);
4. Melakukan perbuatan memasukkan limbah B3 jenis oli bekas ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sanksi pidana yang diberikan ialah dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling sedikit 5 miliar rupiah dan paling banyak 15 miliar rupiah (Pasal 106 UUPPLH);
5. Melakukan perbuatan memasukkan B3 jenis oli bekas yang
dilarang menurut peraturan
perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sanksi pidana yang diberikan ialah pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling sedikit 5
miliar rupiah dan paling banyak 15 miliar rupiah (Pasal 107 UUPPLH). 2. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Oli Bekas) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dijadikan sebagai payung hukum (umbrella act) dari undang-undang lain (sektoral) di bidang pelestarian lingkungan hidup, rumusan yang umum dan abstrak
tersebut diharapkan dapat
menjangkau perbuatan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan yang diatur atau yang akan diatur dalam undang-undang sektoral lainnya.
Dalam UUPPLH, mengenai ketentuan pertanggungjawaban pidana yang berkaitan dengan badan usaha yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum diatur dalam Pasal 116 sampai dengan Pasal 120.
Mengenai pertanggungjawaban
pidana korporasi terhadap tindak pidana pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas dapat di terapkan beberapa prinsip atau teori. Seperti berdasarkan prinsip “vicarious liability” dalam sistem hukum Anglo Saxon, suatu pertanggungjawaban
ISSN 2338-4735 Perlindungan Hukum… - Zainal (20-39)
pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another).
Maksudnya ialah pimpinan korporasi atau siapa saja memberi
tugas atau perintah
bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahan atau karyawannya. Tanggungjawab ini
diperluas hingga mencakup
perbuatan- perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain. Dengan demikian siapa saja yang bekerja dan dalam hubungan apa saja pekerja itu dilakukan, selama hal
tersebut dilakukan dalam
hubungannya dengan korporasi, menjadi tanggungjawab korporasi. (Alvi, 2011)
Selain prinsip “vicarious liability” dalam pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi juga dikenal dengan Teori Identifikasi atau Doktrin Direct Liability. Doktrin direct
liability merupakan dasar
pertanggungjawaban korporasi terhadap tindak pidana. Oleh karena itu korporasi bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat senior di dalam korporasi,
sepanjang ia melakukannya dalam ruang lingkup kewenangan atau dalam urusan transaksi korporasi.
Doktrin identifikasi atau direct liability doctrine ini di samping
dapat digunakan untuk
mempertanggungjawabkan korporasi di bidang hukum pidana, pada sisi lain
juga dapat membatasi
pertanggungjawaban korporasi. Apabila kejahatan dilakukan oleh karyawan atau agen yang tidak mempunyai status sebagai pejabat senior, korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan, kecuali undang-undang menetapkan dasar pertanggungjawaban yang lain. Doktrin direct liability, secara khusus dikembangkan demi menerapkan tanggung jawab korporasi, dan pada dasarnya bertujuan untuk meniru
pembebanan tanggung jawab
terhadap manusia. Doktrin direct liability ini bergantung pada personifikasi badan hukum.
Doktrin ini mengidentifikasi pola tindakan dan pikiran dari individu tertentu dalam korporasi - yang disebut dengan istilah organ korporasi - yang bertindak dalam ruang lingkup kewenangan mereka dan atas nama badan korporasi,
ISSN 2338-4735 Perlindungan Hukum… - Zainal (28-39)
sebagai tindakan dari korporasi itu sendiri. Di dalam pokok pemikiran tentang pertanggungjawaban pidana juga terdapat konsep kesalahan Gen Starf Zonder Schuld (Tiada Pidana Tanpa Kesalahan) sebagai dasar untuk meminta pertanggungjawaban terhadap seseorang dan sesuatu badan hukum yang dikenal di Indonesia. (Erdianto, 2010) Kesalahan itu mengandung unsur pencelaan terhadap si pelaku karena telah melakukan tindak pidana (yang telah dirumuskan di dalam peraturan
perundang-undangan) dan
mengandung unsur pertanggungan
jawab dalam hukum pidana.
(Hamdan, 2000) Mengenai kesalahan terhadap suatu badan hukum dalam hal pengelolaan lingkungan hidup
dilihat dari konsep
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi tersebut itu sendiri.
Mengenai penerapan
pertanggungjawaban pidana
berdasarkan kesalahan (liability based on fault) dalam UUPPLH dapat dilihat dalam beberapa pasal, seperti Pasal 101 UUPPLH tentang perbuatan melepaskan atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan, dan yang berhubungan dengan pengelolaan limbah B3 dalam
Pasal 102 UUPPLH mengenai
pengelolaan limbah B3 tanpa izin, dan
Pasal 103 UUPPLH tentang
menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan, Pasal 106
UUPPLH mengenai memasukkan
limbah B3 ke wilayah Indonesia. Berdasarkan pasal tersebut dapat dilihat bahwa kesalahan dalam melakukan pengelolaan lingkungan hidup khususnya pengelolaan limbah B3, yang menyebabkan rusak atau tercemarnya lingkungan hidup. Dari penerapan pertanggungjawaban
pidana dalam UUPPLH dapat
dijelaskan bahwa konsep kesalahan mempunyai hubungan erat dengan pengelolaan lingkungan hidup termasuk juga pengelolaan limbah B3. Oleh karena itu, Korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam UUPPLH dapat dipersalahkan dan dimintai pertanggungjawaban pidananya atas kesalahan dalam melakukan tindak pidana pengelolaan limbah B3.
Ketentuan pidana terhadap direksi diatur dalam Pasal 155 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Pasal tersebut menjelaskan bahwa tanggung jawab direksi atas kesalahan dan kelalaiannya yang
ISSN 2338-4735 Perlindungan Hukum… - Zainal (20-39)
diatur dalam undang-undang ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam KUHPidana maupun di luar
KUHPidana. Perseroan yang
menjalankan usahanya di bidang lingkungan hidup yang berkaitan dengan pengelolaan limbah B3 setiap kegiatannya harus sesuai dengan
UUPPLH. kewajiban setiap
penanggungjawab usaha (Direksi) untuk melakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatannya, termasuk pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas.
Direksi dalam hal mengurus
perseroan mempunyai
tanggungjawab yang besar terhadap pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas tersebut, oleh karena itu setiap tindak pidana pengelolaan limbah B3 dapat
dimintai pertanggungjawaban
terhadap direksi sesuai dengan ketentuan hukum lingkungan yang berlaku. Dengan demikian, direktur tidak dapat melepaskan diri dari pertanggungjawaban pidana dalam hal terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan dari akibat pengelolaan limbah B3 hal ini disebabkan karena direksi memiliki “kemampuan” dan “kewajiban” untuk mengawasi kegiatan korporasi
termasuk kewajiban untuk melakukan pelestarian lingkungan hidup.
2. Penyelesaian Sengketa Secara
Perdata terhadap Pelanggaran
Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) dalam Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Pelanggaran tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun sangat merugikan semua kalangan, baik masyarakat maupun
pemerintah. Kehidupan dan
kesehatan masyarakat akan sangat terganggu dengan pencemaran yang
terjadi. Program-program
pembangunan oleh pemerintah akan terkendala pula dengan adanya pencemaran limbah B3. Menilik embrio persoalan demikian,
Undang-undang PPLH mengakomodasi
penyelesaian sengketa dengan memberikan hak gugat kepada pemerintah, pemerintah daerah,
masyarakat dan organisasi
lingkungan hidup.
Hak gugat pemerintah dan pemerintah daerah diatur pada Pasal 90, instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap
ISSN 2338-4735 Perlindungan Hukum… - Zainal (28-39)
usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. Hak gugat masyarakat diatur pada Pasal 91 dimana masyarakat berhak mengajukan gugatan perakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Hak gugat organisasi lingkungan hidup diatur pada Pasal 92, hak gugat tersebut guna kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan
gugatan apabila memenuhi
persyaratan diantaranya : berbentuk badan hukum, menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan telah melaksanakan kegiatan
nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.
Sebagai langkah tindak lanjut terhadap hak gugat yang diberikan kepada pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dan organisasi lingkungan hidup, maka penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat dilaksanakan melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Pada Pasal 84 Undang-undang PPLH menyebutkan pada pokoknya:
1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. 2. Pilihan pengelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa.
3. Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian segketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.
Ganti kerugian dan pemulihan lingkungan diatur dalam Pasal 87 dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Setiap penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang
ISSN 2338-4735 Perlindungan Hukum… - Zainal (20-39)
menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. 2. Setiap orang yang melakukan
pemindah tanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
3. Pengasilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan. 4. Besarnya uang paksa diputuskan
berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Penyelesaian sengketa
lingkungan hidup melalui jalur di luar pengadilan menurut Pasal 85 ayat (3) hanya dapat dilakukan dengan menggunakan jasa mediator dan/atau
arbiter untuk membantu
menyelesaikan sengketa. Partisipasi aktif masyarakat dapat dilakukan dengan merujuk Pasal 86 Undang-undang PPLH dengan membentuk lembaga penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak memihak dengan difasilitasi
oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
Supaya sengketa lingkungan hidup dapat diselesaikan dengan baik dan pelaku usaha juga mau melaksanakan tanggung jawab mutlak sebagaimana diatur dalam Pasal 88
Undang-Undang PPLH, maka
pemerintah pusat, pemerintah daerah, organisasi masyarakat dan seluruh lapisan masyarakat harus bersinergi melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan tanggung jawab
terhadap lingkungan oleh pelaku usaha. Sinergi dan kepedulian terhadap pelaksanaan tanggung jawab lingkungan dan kerjasama yang baik dengan pelaku usaha untuk
mengingatkan peningkatan
kepedulian terhadap lingkungan hidup akan meminimalkan terjadinya
pencemaran limbah B3 pada
lingkungan.
C. KESIMPULAN
Pada dasarnya hukum
memberikan perlindungan kepada masyarakat yang terpapar limbah B3, baik secara pidana maupun perdata. Apabila terjadi sengketa antara masyarakat dengan perusahaan
penyebab limbah maka
penyelesaiaanya dapat dilakukan melalui dua cara yaitu secara litigasi
ISSN 2338-4735 Perlindungan Hukum… - Zainal (28-39)
dan non litigasi. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui jalur di luar pengadilan menurut Pasal 85 ayat (3) hanya dapat dilakukan dengan menggunakan jasa mediator dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaikan sengketa. Partisipasi aktif masyarakat dapat dilakukan dengan merujuk Pasal 86 Undang-undang PPLH dengan membentuk lembaga penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak memihak dengan difasilitasi oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Oguamanam, 2011. ‘Genetic resources & access and benefit sharing:
politics, prospects and
opportunities for canada after nagoya’, 22(2), Journal of Environmental Law and Practice, 87-201.
Danusaputro, M. 1986. Hukum Lingkungan, Buku I Umum, Binacipta, Jakarta.
Akib, M. 2014. Hukum Lingkungan Perspektif Global dan Nasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Bram, D. 2014, Hukum Lingkungan
Hidup: Homo Ethic Menuju Eco Ethic, Gramata Publishing, Bekasi. Syahrin, A. 2011. Ketentuan Pidana Dalam UU No.32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Sofmedia. Jakarta.
Danusaputro, M. 1985. Hukum Lingkungan, Buku I Umum, Binacipta, Jakarta.
Salim, E. 1992. Lingkungan Hidup Dan Pembangunan, Mutiara Sumber Widya, Jakarta.
Dirdjosisworo, S. 1983.
Pengamanan Hukum Terhadap
Pencemaran Lingkungan Akibat
Industri, Alumni, Bandung.
Erdianto, 2010/ Pokok-Pokok Hukum Pidana,:Alaf Riau, Pekan Baru.
Hamdan, M. 2000. Tindak Pidana
Pencemaran Lingkungan Hidup,