9 BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka diperlukan untuk mempertimbangkan dan menentukan variabel serta metode analisis dalam penelitian sehingga penulis memiliki gambaran dan pengetahuan dari penelitian-penelitian sebelumnya yang membahas masalah yang sama namun dalam konteks yang berbeda. Adapun beberapa peneltian yang digunakan sebagai kajian pustaka dalam penulisan ini, diantaranya: Nur Baeti (2013) dalam penelitiannya berjudul “Pengaruh Pengangguran, Pertumbuhan Ekonomi, dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2011”. Penelitian tersebut bertujuan untuk menganalisis pengaruh dari variabel bebas pengangguran, pertumbuhan ekonomi, dan pengeluaran pemerintah terhadap variabel terikat yaitu Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jawa Tengah dimana penelitian ini menggunakan metode analisis data panel yaitu menyatukan data time series dan cross section. Kesimpulan penelitian tersebut adalah Pengangguran berpengaruh negatif signifikan terhadap IPM di Provinsi Jawa Tengah sedangkan Pertumbuhan ekonomi dan Pengeluaran Pemerintah berpengaruh positif signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia sehingga secara simultan seluruh variabel bebas memengaruhi variabel terikat.
Wahyu Febri Dwiatmojo (2017) dalam penelitiannya berjudul “Analisis Tingkat Kemiskinan Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011-2015”. Penelitian tersebut bertujuan untuk menganalisis pengaruh dari beberapa faktor ekonomi
10
terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah dimana penelitian ini menggunakan metode analisis data panel yaitu gabungan time series dan cross section. Penelitian ini menggunakan variabel independen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Jumlah Penduduk, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Pengangguran, dan Inflasi di Jawa Tengah. Sedangkan variabel dependennya adalah tingkat Kemiskian di Jawa Tengah. Hasil penelitian tersebut adalah jumlah penduduk dan pengangguran memengaruhi tingkat kemiskinan dalam pengaruh positif, PDRB dan inflasi berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan, sedangkan nilai Indeks Pembangunan Manusia tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah tahun 2011-2015.
Yoghi Citra Pratama (2014) dalam penelitiannya berjudul “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi kemiskinan di Indonesia”. Bertujuan untuk menjelaskan strategi program kemiskinan dan efektifitas dari kegiatan tersebut dalam menekan angka kemiskinan dengan menggunakan metode deskriptif-korelasional (Kausal). Serta melihat seberapa besar variabel bebas yaitu tingkat pendapatan, konsumsi, pendidikan, inflasi dan IPM memengaruhi variabel terikat yaitu kemiskinan di Indonesia. Kesimpulan dari penelitian ini adalah seluruh variabel bebas tersebut secara simultan memengaruhi Kemiskinan di Indonesia.
Rusdarti dan Resta Katolina (2013) dalam penelitiannya yang membahas tentang faktor kemiskinan di Jawa Tengah, ia mendeskripsikan kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah dan melakukan analisis terhadap pengaruh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Pengangguran, dan Belanja Publik terhadap Kemiskinan. Analisis data menggunakan teknik Ordinary Least Square (OLS).
11
Data independen yang digunakan adalah PDRB, pengangguran, dan APBD. Sedangkan data dependen yang digunakan adalah Kemiskinan. Menyimpulkan bahwa pengangguran tidak memengaruhi signifikan terhadap kemiskinan sedangkan PDRB dan Belanja Publik memengaruhi signifikan terhadap kemiskinan.
Eka Nur Hidayah (2017) dalam penelitiannya berjudul “Pengaruh Jumlah Penduduk, Indeks Pembangunan Manusia, Daya Tarik Wisata, Tenaga Kerja dan UMK terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2010-2014”. Bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel independent yaitu Tenaga kerja, Indeks Pembangunan Manusia, Upah Minimum, Daya Tarik Wisata dan Jumlah Penduduk terhadap variabel dependen yaitu Pertumbuhan Ekonomi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan kuantitatif, yaitu mendeskripsikan suatu permasalahan dengan menganalisis data dan hal-hal yang berhubungan dengan angka-angka atau rumus-rumus perhitungan yang digunakan untuk menganalisis masalah yang sedang diteliti dengan menggunakan regresi data panel. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa hanya IPM yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi secara signifikan sedangkan variabel lainnya tidak memengaruhi pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah secara signifikan.
Sri Mulyati (2009) yang dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia periode 1985-2008: Pendekatan dengan Kurva Phillips”. Bertujuan untuk mengetahui apakah teori kurva Phillips berlaku di Indonesia. Dengan pengujian kuantitatif dan metode OLS serta uji Kausalitas Granger berdasarkan asumsi-asumsi tertentu. Tingkat pengangguran
12
sebagai variabel dependen dan inflasi sebagai variabel independen. Hasil penelitian tersebut menunjukan tidak adanya hubungan negatif antara pengangguran dan inflasi sehingga teori Phillips tidak berlaku di Indonesia. 2.2 Landasan Teori
2.2.1. Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di dunia. Di Amerika Serikat (AS), yang tergolong negara maju dan salah satu negara kaya di dunia, masih terdapat jutaan orang yang tergolong miskin. Sementara itu, mereka yang hidup tidak miskin relatif miskin dibanding penduduk AS yang lainnya.
Dengan kata lain, kemiskinan setidaknya dapat dilihat dari 2 sisi, yaitu:
Pertama, kemiskinan absolut, dimana dengan pendekatan ini diidentifikasi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan tertentu.
Kedua, kemiskinan relatif, yaitu pangsa pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing golongan pendapatan. Dengan kata lain, kemiskinan relatif sangat erat kaitannya dengan masalah pendapatan (Kuncoro, 2006:111).
Perlu ditekankan bahwa masalah kemiskinan tidaklah sama dengan masalah ketimpangan distribusi pendapatan (inequality). Kemiskinan merupakan masalah yang erat hubungannya dengan standar hidup yang absolut dari bagian masyarakat tertentu sehingga kemiskinan bisa dikatakan sebagai sebuah kondisi dimana masyarakat tidak mampu memenuhi standar kebutuhan hidupnya sedangkan masalah ketimpangan berkaitan dengan standar hidup relatif dari
13
masyarakat secara keseluruhan sehingga pada tingkat ketimpangan yang tinggi maka kekayaan dimiliki oleh segelitir orang saja dan sisanya adalah masyarakat dalam kemiskinan yang sangat tinggi.
Kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi merupakan dua istilah yang memiliki makna yang sama. Suatu negara (wilayah) tersebut terbelakang ekonominya. Negara (wilayah) terbelakang ekonominya karena tidak memiliki sumber daya alam yang diperlukan untuk meningkatkan pembangunan (Adisasmita, 2013:108).
Negara-negara (wilayah-wilayah) kurang berkembang (less developed) atau terbelakang (under developed) memiliki (karakteristik) miskin. Kemiskinan mencerminkan rendahnya tingkat pembangunan (pertumbuhan) ekonomi kondisi negara (wilayah) terbelakang berada dalam lilitan lingkaran setan (vicious circle), berada dalam jeratan lingkaran kemiskinan. Kebanyakan negara-negara berkembang merupakan negara yang taraf hidup penduduknya relatif masih sangat rendah.
Yang dimaksud dengan lingkaran perangkap kemiskinan (the vicious circle of poverity) adalah serangkaian kekuatan yang saling mempengaruhi secara demikian rupa sehingga menimbulkan keadaan dimana suatu negara akan tetap miskin dan akan tetap mengalami banyak kesukaran untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi.
Dari segi penawaran modal lingkaran perangkap kemiskinan dapat dinyatakan secara berikut:
14
Rendahnya tingkat pendapatan masyarakat diakibatkan rendahnya produktivitas dari masyarakat sehingga masyarakat tidak bisa menabung/ tingkat tabungan rendah. Dari keadaan tersebut mengakibatkan potensi masyarakat dalam pembentukan modal akan rendah dan berujung pada kondisi dimana suatu negara dihadapkan oleh masalah kekurangan barang dan modal serta produktivitas pun tetap rendah.
Sedangkan dari segi permintaan modal, terdapat perbedaan bentuk pada lingkaran perangkap kemiskinan ini. Kurangnya faktor pendorong di negara-negara terbelakang dalam membentuk penanaman modal diakibatkan oleh besarnya pasar dalam memenuhi beragam jenis barang sangat terbatas. Hal tersebut diakibatkan oleh perolehan pendapatan masyarakat yang sangat kecil yang disebabkan karena rendahnya produktivitas sebagai dampak akibat pembentukan modal yang rendah sebelumnya.
Mierer Dan Baldwin menyatakan pula satu bentuk lingkaran perangkap kemiskinan lain. Lingkaran kemiskinan ini timbul dari hubungan saling memengaruhi antara keadaan masyarakat yang masih terbelakang dan tradisional dengan kekayaan alam yang belum dikembangkan. Diperlukan tenaga kerja yang mempunyai keahlian untuk memimpin dan melaksanaan berbagai macam kegiatan ekonomi dalam mengembangkan kekayaan alam yang dimiliki. Di negara berkembang kekayaan alam belum dikembangkan secara maksimal karena tingkat pendidikan masyarakat masih relatif rendah, tenaga-tenaga ahli yang dibutuhkan terbatas jumlahnya, dan pergerakan sumber daya juga terbatas (Sukirno, 2006).
15
Dengan informasi distribusi pendapatan tertentu, tingkat kemiskinan suatu negara ditentukan dengan menghitung persentase populasi berpendapatan kurang dari $370, dan kemiskinan ekstrim dengan menghitung persentase populasi berpendapatan kurang dari $275. Dengan perhitungan ini (Hakim, 2002) :
31 persen (atau 1,073 miliar) penduduk di negara-negara berkembang, dan 22 persen dari total penduduk dunia, adalah miskin pada tahun 1985.
31 persen (atau 1,116 miliar) penduduk di negara berkembang, dan 22 persen penduduk dunia adalah miskin pada tahun 1990.
30 persen (atau 1,438 miliar) penduduk negara berkembang, dan 25 persen dari dunia, adalah miskin pada tahun 1996.
24 persen (atau 1,210 miliar) penduduk negara berkembang, dan 20 persen dari dunia, adalah miskin pada tahun 2000.
Pada tahun 1985, 18 persen (atau 633 juta jiwa) penduduk di negara-negara maju, (atau 13 persen dari dunia) berada dalam kemiskinan
2.2.2 Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan masal yang banyak terjadi di banyak negara yang baru saja merdeka setelah Perang Dunia II memfokuskan pada keterbelakangan dari perekonomian negara tersebut sebagai akar masalahnya (Hardiman dan Midgley, 1982: 52-54). Penduduk negara tersebut miskin karena menggantungkan diri pada sektor pertanian yang subsisten, metode produksi yang tradisional, yang seringkali dibarengi dengan sikap apatis terhadap lingkungan.
Sharp, et.al (1996: 173-191) mencoba mengidentifikasi penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi. Pertama, secara mikro, kemiskinan
16
muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia yang rendah berarti kualitasnya rendah, yang pada akhirnya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan. Ketiga, kemiskinan akibat perbedaan akses dalam modal.
2.2.3 Pengangguran
Ketersedian lapangan kerja yang lebih kecil dibandingkan dengan angkatan kerja yang tersedia tiap tahunnya merupakan penyebab dan sekaligus akibat dari rendahnya taraf hidup masyarakat di negara berkembang. Hal ini disebabkan karena rendahnya pemanfaatan sumber daya yang ada tersedia. Kecilnya lapangan kerja tersebut akan menimbulkan dua macam pengangguran, yaitu pengangguran terselubung atau pengangguran tidak kentara (underemployment atau disguised unemployment) dan pengangguran penuh.
Menurut Hakim (2002:26), pengangguran terselubung dapat didefinisikan sebagai penduduk yang bekerja namun kontribusinya dalam perekonomian tidaklah besar. Apabila jam kerjanya dikurangkan, jumlah barang dan jasa yang dihasilkanya pun tidak berubah. Sedangkan pengangguran penuh didefinisikan sebagai masyarakat yang telah memasuki usia kerja dan memiliki keinginan untuk bekerja namun tidak mendapat pekerjaan. Jika ditotal pengangguran yang ada di negara-negara berkembang, yaitu baik pengangguran terselubung maupun yang
17
penuh, maka angkanya akan mencapai 35 persen dari angkatan kerja di pedesaan dan perkotaan.
Dalam buku Mankiw (2014:99) menjelaskan bahwa, masalah pengangguran dibagi dalam dua kategori, yaitu jangka panjang dan jangka pendek. Tingkat pengangguran alamiah suatu perekonomian adalah jumlah pengangguran yang biasa terjadi dalam perekonomian tersebut. Pengangguran siklis adalah fluktuasi pengangguran dari tahun – ketahun yang mendekati tingkat alamiahnya dan terkait erat dengan pasang surut kegiatan perekonomian.
Angkatan kerja adalah jumlah orang bekerja dan tidak bekerja: Angkatan kerja = Jumlah orang bekerja + jumlah yang tidak bekerja
Tingkat pengangguran adalah persentase angkatan kerja yang tidak bekerja:
x 100
2.2.4 Inflasi
Menurut Feriyanto (2014), inflasi merupakan suatu kondisi atau proses dimana harga secara umum mengalami kenaikan secara terus-menerus. Kenaikan harga tersebut diukur dengan beberapa indeks yaitu Consumer Price Index (CPI) digunakan sebagai indentifikasi biaya yang dikeluarkan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan hidup, Wholesale Price Index (WPI) digunakan dalam mengidentifikasi harga dari penjumlahan barang pada tingkat perdagangan besar (GNP Deflator). Berikut ini merupakan pembagian jenis-jenis inflasi yakni:
18 Berdasarkan Sifatnya:
Creeping Inflatin/Inflasi Merayap : inflasi < 10%
Galloping Inflation/ Inflasi Menengah : angka inflasi 10%-30%
Hyper Inflatin/Inflasi Tinggi : inflasi > 30% Berdasarkan Asalnya:
Imported Inflation : Suatu kondisi naiknya harga diakibatkan faktor dari luar yaitu harga barang-barang impor.
Domestic Inflation : Suatu kondisi naiknya harga diakibatkan faktor dari dalam negara yaitu harga barang-barang domestik.
Berdasarkan Sebabnya:
a. Demand Pull Inflation merupakan kenaikan harga yang disebabkan oleh tarikan permintaan apabila perusahaan tidak mampu dengan cepat untuk memenuhi kebutuhan permintaan konsumen yang tinggi. Sehingga terjadi kekurangan produk yang menyebabkan perusahaan menaikkan harga-harga barang.
19
Gambar 2.1 Demand – Pull Inflation
Sumber : Feriyanto, 2014
b. Cosh push Inflation merupakan inflasi yang disebabkan adanya dorongan karena kenaikan biaya produksi apabila perusahaan menghadapi masalah naiknya harga bahan baku/input produksi sehingga dengan modal yang sama akan menghasilkan harga yang tinggi dengan kata lain perusahaan menaikkan harga barang karena mengalami kenaikan harga input produksi.
Gambar 2.2 Cost Push Inflation
20
Golongan Monetaris menganggap bahwa inflasi disebabkan oleh kelebihan dalam penawaran uang dan permintaan agregat masyarakat. Pandangan ini sejalan dengan pandangan teori konvensional, yaitu apabila permintaan terus bertambah, sedangkan kapasitas untuk memproduksi barang-barang telah mencapai tingkat maksimal berarti penawaran tidak dapat ditambah lagi, maka inflasi akan terjadi. Menurut golongan Monetaris, inflasi yang terjadi di negara berkembang juga mempunyai sifat yang demikian. Keinginan untuk mempercepat lajunya pembangunan telah mendorong negara berkembang untuk melaksanakan ekspansi moneter yang berlebihan. Ekspansi moneter tersebut terutama ditujukan untuk membiayai anggaran belanja pemerintah. Disamping itu, ekspansi dilakukan untuk menyediakan lebih banyak pinjaman kepada para pengusaha. Kebijakan yang demikian akan memperbesar keseluruhan permintaan masyarakat dan apabila negara yang menjalankannya tidak sanggup memperbesar penawaran barang-barang, kelebihan permintaan akan menaikkan harga dan selanjutnya inflasi akan timbul (Sukirno, 2006:320).
Sedangkan pandangan umum ahli-ahli ekonomi berpendapat bahwa berbagai pengaruh buruk yang akan diakibatkan oleh inflasi terhadap pembangunan ekonomi melebihi sumbangannya. Inflasi akan mengurangi gairah masyarakat untuk menabung, karena nilai riil tabungan akan mengalami penyusutan. Untuk menghindari kerugian yang diakibatkan oleh kenaikan harga-harga mereka akan mempertinggi tingkat konsumsi sehingga dapat membeli dan menyimpan barang-barang yang dapat digunakan di masa yang akan datang. Penurunan tabungan tersebut juga disebabkan karena masyarakat mengubah cara
21
penabungannya, dari tabungan dalam badan-badan keuangan atau dalam bentuk surat-surat berharga menjadi dalam bentuk barang-barang tahan lama yang diharapkan akan mengalami pertambahan nilai yang dapat mengimbangi tingkat kenaikan harga-harga umum.
2.2.5 Kurva Phillips
A.W. Phillips (1958) dalam buku Mankiw (2000) memaparkan penjelasan tentang korelasi antara inflasi dengan tingkat pengangguran dengan asumsi bahwa inflasi merupakan gambaran dari adanya permintaan secara umum. Dengan naiknya permintaan masyarakat secara umum, menyebabkan harga-harga akan naik. Dengan naiknya harga (inflasi) maka produsen melakukan peningkatan kapasitas produksinya dengan penambahan tenaga untuk memenuhi kebutuhan dari naiknya permintaan tersebut. Peningkatan permintaan tenaga kerja tentu membutuhkan modal tambahan untuk membayar pekerja yang mengakibatkan naiknya harga (inflasi) dan di sisi lain kemudian pengangguran pun berkurang.
Gambar 2.3 Kurva Phillips
Inflasi dd Pengangguran Sumber : Mankiw, 2000 Inflasi (π) π² + V
22
Tiga komponen pembentuk kurva Phillips adalah: Ekspektasi in lasi ( )
Pengangguran Siklis (U-Uⁿ) Guncangan Penawaran (v)
Persamaan Kurva Phillips adalah:
- β (U-Uⁿ) v
Di mana adalah in lasi, adalah ekspektasi inflasi, U adalah tingkat pengangguran dan Uⁿ adalah tingkat pengangguran alamiah (NAIRU – Non- Accelerating Inflation Rate of Unemployment). β menunjukkan besarnya respon tingkat in lasi terhadap perubahan tingkat pengangguran siklis. β dapat menunjukkan besarnya rasio pengorbanan (sacrifice ratio) yang terjadi. Tanda negati sebelum parameter β menunjukkan hubungan negati antara in lasi dengan tingkat pengangguran.
2.2.6 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
PDRB didefinisikan sebagai kegiatan perekonomian suatu daerah yang menghasilkan barang dan jasa. Angka PDRB dapat dijadikan pengukur laju pertumbuhan suatu daerah dalam produktivitas berupa barang maupun jasa oleh perusahaan ataupun perorangan.
Menurut Mankiw (2012) Pendekatan dalam menghitung PDRB diantaranya: 1. Pendekatan Produksi
Perhitungan harga produksi yang meliputi harga produsen termasuk biaya transport dan juga biaya pemasaran. Dengan kata lain pendekatan ini
23
merupakan perhitungan netto barang dan jasa yang diproduksi seluruh sektor ekonomi di seluruh wilayah selama satu tahun.
2. Pendekatan Pendapatan
PDRB merupakan penjumlahan seluruh kegiatan yang diterima oleh suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu oleh faktor produksi (gaji/upah, bunga, sewa dan laba).
3. Pendekatan Pengeluaran
Dengan perhitungan seluruh elemen dari pengeluaran akhir yang meliputi pengeluaran konsumsi pemerintah dan swasta yang tidak mencari keuntungan, pembentukan modal domestik bruto, serta pengeluaran pemerintah untuk ekspor netto daerah pertahun.
2.2.7 Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
The United Nations Development Program (UNDP) mendefinisikan Indeks Pembangunan Manusia sebagai sebuah proses memperluas pilihan masyarakat. Indeks Pembangunan Manusia meringkas tiga variabel kesejahteraan dan meringkasnya dalam sebuah indeks komposit tunggal. Variabel-variabel tersebut adalah:
a. Umur panjang ( longevity), sebagai pengukur kesehatan dan nutrisi. Umur panjang diukur dengan merata-rata harapan hidup (dalam tahun) dari tingkat kelahiran, dihitung dari tingkat kelahiran, dihitung dengan mengasumsikan bahwa seorang bayi lahir dalam satu tahun tertentu akan mengalami tingkat kematian seketika dari tiap kelompok umur (tahun
24
pertama, tahun kedua, tahun ketiga, dan seterusnya sampai tahun ke-n) sepanjang hidupnya.
b. Pendidikan, terdiri dari rata-rata terbobot antara :
Tingkat melek huruf dari kaum dewasa dalam persentase (bobot 2/3).
Tahun-tahun utama dari masa sekolah seseorang sepanjang 25 tahun dari umurnya (bobot 1/3).
c. Standar hidup. Indikator strandar kehidupan adalah GDP per kapita riil dalam dolar PPP, dengan tanpa diskon sampai dengan suatu tingkat kemiskinan global dengan dasar kebutuhan pendapatan yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat nutrisi minimal (I$4, 829 pada tahun 1990), dan diskon yang meningkat dengan progresif dengan meningkatnya pendapatan, merefleksikan utilitas marjinal yang semakin menurun dari pendapatan (Hakim, 2002:54).
2.3 Hubungan Antara Variabel Independen dengn Variabel Dependen 2.3.1 Hubungan antara Pengangguran dengan Tingkat Kemiskinan
Pengangguran merupakan persentase tenaga kerja yang tidak bekerja. Jika ditotal di negara berkembang jumlah pengangguran mencapai angka 35% dari seluruh angkatan kerja yang ada baik di desa maupun kota. Kenyataan yang terjadi adalah meskipun banyak negara bisa tumbuh dengan tingkat yang tinggi, sebagian besar masyarakatnya tetap berada dalam kemiskinan. Kemiskinan tersebut diiringi dengan tidak meratanya distribusi pendapatan dan juga tingkat pengangguran yang tinggi di beberapa negara bahkan diikuti dengan kematian
25
akibat kelaparan yang parah (Hakim, 2002). Sehingga tingkat pengangguran yang tinggi mencerminkan kesejahteraan masyarakat yang rendah
2.3.2 Inflasi terhadap Kemiskinan
Inflasi merupakan sebuah proses meningkatnya harga-harga umum atau menurunnya nilai uang secara terus-menerus. Secara umum inflasi dianggap sebagai sebuah penyakit. Inflasi ringan akan mengganggu perekonomian meskipun masih bisa ditoleransi. Inflasi moderat akan bersifat korosif meskipun tidak fatal, dan inflasi berkepanjangan atau hyperinflation akan sangat merusak proses perekonomian. Oleh karena itu inflasi dapat mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat (Hakim, 2002).
2.3.3 PDRB terhadap Tingkat Kemiskinan
Menurut penjelasan Badan Pusat Statistik, Produk Domestik Regional Bruto menurut harga tetap (harga konstan) merupakan penjumlahan nilai tambah bruto yakni jumlah dari kesatuan faktor produksi dan bahan baku dalam produktivitas masyarakat (gross value added) yang dihasilkan suatu daerah dari seluruh kegiatan perekonomiannya.
Nilai tambah bruto disini meliputi elemen-elemen pendapatan faktor (upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan), penyusutan dan pajak tidak langsung neto. Sehingga disimpulkan dengan penjumlahan nilai tambah bruto dari seluruh kegiatan perekonomian maka didapatkan PDRB atas harga konstan. Dengan bertambahnya produksi dalam suatu wilayah berpotensi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan berpengaruh dalam pengentasan kemiskinan wilayah tersebut.
26
2.3.4 Hubungan IPM dengan Tingkat Kemiskinan
Menurut Todaro (1995:65) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan kontribusi dalam pengetahuan yang lebih luas tentang suatu pembangunan. Strategi politik merupakan salah satu faktor pendorong dalam membentuk Indeks Pembangunan Manusia yang dirancang untuk mengambil simpati masyarakat kepada aspek penddikan, kesahatan dan pembangunan. Ketiga komponen tersebut dipercaya sebagai komponen yang baik namun bukan ideal.
Sedangkan menurut Kuncoro (2006:34) menyatakan bahwa nilai IPM dalam suatu negara bisa jadi akan memberikan efek yang pada pengalihan perhatian terhadap masalah ketimpangan atau tidak meratanya situasi dalam negara tersebut. Opsi pendekatan yang melihat persentase pendapatan perkapita dan dilengkapi dengan komponen sosial lainnya masih dianggap pantas. Perlu diingat bahwa indikator IPM ini merupakan komponen yang “relative” bukan “absolute”. Walaupun demikian IPM tetap memiliki man aat setidaknya dalam perbandingan kinerja.
2.4 Kerangka Pemikiran
Dalam rangka mempercepat upaya pembangunan di negara-negara berkembang, para ahli ekonomi mencoba mengidentifikasi masalah-masalah utama pembangunan. Didapatkan kenyataan bahwa meskipun banyak negara bisa tumbuh dengan tingkat yang tinggi, sebagian besar masyarakatnya tetap berada dalam kemiskinan. Kemiskinan tersebut diiringi tidak meratanya distribusi
27
pendapatan dan juga tingkat pengangguran yang tinggi, di beberapa negara bahkan diikuti dengan kematian akibat kelaparan yang parah (Hakim, 2002:210).
Kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari tingkat kemiskinan pada daerah tersebut. Wilayah Jawa Tengah merupakan daerah/wilayah yang memiliki potensi yang cukup besar dalam mengembangkan daerahnya dan mensejahterakan masyarakatnya, namun dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) masih terdapat angka kemiskinan pada daerah Jawa Tengah dan angka tersebut tergolong tinggi dibandingkan dengan beberapa Provinsi lain di Indonesia. Maka dalam upaya mengentaskan angka kemiskinan tersebut diperlukan penelitian yang berkaitan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah.
Untuk dapat menganalisis tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah, perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhnya. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan, dari faktor-faktor yang merupakan faktor yang memiliki pengaruh besar sampai faktor-faktor pendamping yang juga mempengaruhi tingkat kemiskinan di suatu wilayah.
Peran pemerintah sangat penting dalam meningkatkan perekonomian, dengan kebijakan-kebijakan yang sesuai dan tepat sasaran maka akan tercipta pula kesejahterahaan masyarakat secara merata. Pemerintah harus pandai dalam mengelola aset yang dimiliki suatu daerah. Disini faktor-faktor yang mempengaruhi seperti Pengangguran, Inflasi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
28
Tingkat Kemiskinan (Y) Berdasarkan urain diatas maka dapat digambarkan kerangka pemikiran tentang variabel-variabel yang digunakan sebagai berikut :
Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran IPM (X4)
PDRB (X3) Inflasi (X2) Pengangguran
29 2.5 Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara atas suatu persoalan yang perlu dibuktikan kebenarannya dan bersifat logis, jelas dan dapat diuji. Hipotesis tentang penelitian ini sebagai berikut :
a. Pengangguran berpengaruh signifikan dan positif terhadap tingkat Kemiskinan. Artinya peningkatan pengangguran akan meningkatkan tingkat kemiskinan.
b. Inflasi berpengaruh signifikan dan positif terhadap tingkat Kemiskinan. Artinya peningkatan Inflasi akan meningkatkan tingkat kemiskinan,
c. PDRB berpengaruh signifikan dan negatif terhadap tingkat Kemiskinan. Artinya peningkatan PDRB akan menurunkan tingkat kemiskinan.
d. IPM berpengaruh signifikan dan negatif terhadap tingkat kemiskinan. Artinya peningkatan IPM akan menurunkan tingkat kemiskinan.