• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE ABA PADA BANGUNAN TERAPI ANAK AUTIS DI JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "METODE ABA PADA BANGUNAN TERAPI ANAK AUTIS DI JAKARTA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

METODE ABA PADA BANGUNAN TERAPI

ANAK AUTIS DI JAKARTA

Dina Felpin R., Nina Nurdiani, Renhata Katili

Jurusan Arsitektur Universitas Bina Nusantara

Jl. K.H. Syahdan No.9, Kemanggisan, Jakarta Barat 11480 [email protected]

Abstract

Future generation who was born to the world is entitled to earn good education, but not all children are lucky to get an education. Autism children is future generation, while growth that children have an abnormal. So there is needed space or place that can be used for autism children activity, before they can socialize with human community. There need therapy method that can support the process of autism therapy. ABA (Applied Behavior Analysis) methods are the only one method that used to give therapy method for autism children. Therefore, there are needed a therapy methods for designing the therapy building base on the ABA method. By designing for therapy building, it needed a research with qualitative method and analysis process which is done by comparing the positive and negative aspects of the building between the existing buildings. The result of research will become the guide for designing the building for autism children that using ABA methods as therapy methods.

Keywords : Children with autism, Therapy building, ABA method

Abstrak

Generasi penerus bangsa yang lahir ke dunia berhak untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Namun tidak semua anak beruntung untuk mendapatkan pendidikan secara umum. Anak autis merupakan generasi penerus bangsa, yang dalam masa pertumbuhannya mengalami kelainan. Untuk itu, dibutuhkannya tempat atau wadah yang dapat menampung segala kegiatan yang dilakukan oleh anak autis, sebelum mereka bersosialisasi bersama masyarakat pada umumnya. Selain tempat terapi, juga dibutuhkan metode terapi yang mendukung proses kegiatan anak autis, metode ABA merupakan satu-satunya metode terapi yang digunakan untuk memberikan terapi bagi anak autis. Oleh karena itu, perlunya bangunan terapi yang dirancang dengan menerapkan metode ABA dalam rancangannya. Untuk mengetahui bangunan terapi yang sesuai maka perlunya metode penelitian, dengan menggunakan metode penelitian yang bersifat kualitatif yaitu dengan membandingkan bangunan terapi yang sudah ada dan mencari data-data, maka dapat diketahui kekurangan dan kelebihan dari bangunan terapi yang sudah ada. Kemudian hasil dari data yang diperoleh akan menjadi pedoman dalam merancang bangunan terapi bagi anak autis yang menerapkan metode ABA sebagai metode terapi.

(2)

PENDAHULUAN

Manusia dilahirkan ada yang normal dan sehat, dan ada yang memiliki keterbatasan, salah satu keterbatasan dalam perkembangan otak manusia adalah autisme. Autisme adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang yang dialami sejak lahir ataupun saat masa balita. Karakteristik yang menonjol pada seseorang yang mengidap kelainan ini adalah kesulitan membina hubungan sosial, berkomunikasi secara normal maupun memahami emosi serta perasaan orang lain. Generasi penerus bangsa lahir dari potensi yang dimiliki setiap anak manusia yang lahir di dunia ini. Dengan pendidikan dan pembinaan yang baik dan sistematis, kemajuan bangsa sangat mungkin dapat tercapai. Tetapi tidak semua anak bisa mendapat pendidikan secara umum, baik secara fasilitas maupun teknisnya. Hal inilah yang dialami anak autis yaitu anak yang dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya mengalami kelainan atau penyimpangan (mental, intelektual, sosial, emosional). Di Indonesia banyak anak autis yang tidak terdiangnosis secara tepat. Mereka biasanya dianggap sebagai anak yang menderita retardasi mental berat. Oleh karena itu, diperlukannya perhatian dan penanganan yang optimal agar anak autis dapat menghilangkan perilakunya yang aneh dan mengambil alih perilaku yang normal. Selain itu, belum adanya tempat yang dapat mewadahi dengan baik dalam proses penanganan tersebut. Untuk itu diperlukan adanya fasilitas terapi anak autis yang diharapkan dapat menunjang proses pembelajaran dan penanganan dengan segala fasilitas yang menunjang dan mewadahi didalamnya. Sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 Ayat 2 yang menyatakan bahwa, “Warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.

Di Indonesia jumlah anak penderita autism berdasarkan survey oleh Yayasan Autisma Indonesia pada tahun 1997 adalah 40% dari anak-anak yang diperiksa oleh dokter anak, sedangkan berdasarkan Wikipedia pada tahun 2013 diperkirakan terdapat lebih dari 112.000 anak yang menderita autisme dalam usia 5-19 tahun. Menurut hasil wawancara dengan salah satu pengurus Yayasan Autisma Indonesia di wilayah DKI Jakarta jumlah anak autis belum bisa mendapat data yang pasti, karena kebanyakan dari orang tua masih mencari tempat terapi yang sesuai dengan kondisi anak, dan juga ketersediaan tempat terapi yang sangat minim pada penyediaan fasilitas terapi sehingga membuat para orang tua untuk selalu berpindah dan mencari tempat terapi yang memiliki fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan terapi dari si anak.

Pertimbangan atau kriteria dalam mendesain ruang terapi perilaku dilatarbelakangi oleh kondisi atau karakteristik anak autis yang mempunyai gangguan dalam berperilaku, baik perilaku yang berlebihan ataupun perilaku yang berkekurangan. Oleh karena itu anak autis memerlukan terapi perilaku agar anak autis dapat mengurangi perilaku yang tidak wajar. Selain karakteristik anak, ada hal lain yang cukup penting yaitu kurikulum dan metode terapi yang digunakan. (Sriti Mayang Sari, 2011).

Metode ABA (Applied Behavior Analysis) merupakan satu-satunya metode terapi yang digunakan di setiap tempat terapi anak autis. Metode ABA atau Metode Loovas (Ivar Loovas, PhD - 1987) dipelopori oleh B. F Skinner seorang behavioralist. Dasar dari teori Skinner ini adalah pengendalian perilaku melalui manipulasi dari imbalan dan hukuman. Metode ini paling terkenal dan paling banyak diterapkan untuk penyandang autisme yaitu suatu metode yang dilakukan one on one oleh terapis dan anak penyandang autis. Pada metode ini diharapkan adanya suatu modifikasi perilaku (behaviour modification) dan sistem umpan balik ketika anak berhasil menjalankan instruksi dengan baik atau buruk. Pada idealnya, metode ini diberikan pada anak yang berusia 2-5 tahun dengan terapi minimal 40 jam dalam satu minggu yang dilakukan dengan disiplin dan berkelanjutan.

Metode terapi akan berpengaruh besar pada fasilitas perabot dan kriteria ruang yang dibutuhkan dan mencerminkan aktivitas pelakunya dalam hal ini partisipasi antara anak autis dengan terapis. Interior ruang terapi berhubungan erat dengan proses belajar mengajar antara terapis dengan anak autis sebagai aktivitas utama didalamnya. Pemenuhan kebutuhan ruang yang sesuai dengan fungsi, kondisi pengguna dan tujuan metode terapi yang diterapkan memberikan pengaruh positif pada perkembangan anak. Desain merupakan pemecahan masalah dengan satu target yang jelas. Papanek (1983) dalam Sriti Mayang Sari (2011) berpendapat bahwa dalam proses merancang, para desainer juga dituntut mempertimbangkan perilaku sosial. Dalam berkarya, seorang desainer hendaknya menunjukan pertimbangan sosial sebagai sebuah wadah bentuk tanggung jawab. Perilaku sosial sangat penting dipertimbangkan sebagai dasar dari kriteria (Sriti Mayang Sari, 2011).

(3)

Desain perlu mewujudkan perilaku pemakai dalam partisipasi perwujudannya. Artinya selain kebutuhan pengguna, yang harus dipertimbangkan dalam suatu desain adalah kondisi pengguna. Dengan demikian ruang terapi anak autis ini setiap unsur fisik desain diharapkan menjadi cerminan partisipasi dari pelaku aktivitasnya. Anak autis mempunyai karakteristik khusus sehingga membutuhkan pola terapi tersendiri dan kriteria ruang terapi yang sesuai dengan aktivitasnya. Ruang terapi perilaku anak autis harus mampu mewadahi semua aktivitas dan memenuhi kebutuhan anak autis agar hasil terapi dapat berkualitas dan maksimal. Penataan ruang terapi sangat perlu diperhatikan karena ruang terapi adalah tempat kegiatan yang merupakan aktivitas inti dari sebuah pusat terapi autis. Kondisi pengguna harus dipertimbangkan dalam suatu desain dan tujuan perwujudan fasilitas yang ada di ruang terapi harus dapat memenuhi tuntutan anak autis (Sari, 2010).

Untuk mengetahui kondisi bangunan terapi yang sudah ada, maka perlunya dilakukan studi banding, studi banding dilakukakan pada bangunan terapi autis yang menerapkan metode ABA pada kegiatan terapinya agar dapat diketahui kekurangan dan kelebihan dari bangunan terapi yang sudah ada. Sehingga dalam merancang bangunan terapi autis yang baru didapatkan berdasarkan hasil studi banding dan teori yang ada dengan menerapkan metode ABA pada bangunan secara arsitektural yang baik dan disesuaikan dengan kondisi pengguna yaitu anak autis.

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini metode penelitian yang digunakan adalah metode perbandingan, yaitu membandingkan tentang objek-objek yang diteliti dan menjelaskan objek tersebut. Penelitian ini menggunakan data yang bersifat Kualitatif, yaitu penelitian yang datang berdasarkan bentuk verbal dan dianalis tanpa teknik statistik dan cara pengumpulan data digunakan meliputi data primer maupun sekunder.

Hasil dari penelitian kualitatif merupakan data yang diperoleh berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti untuk acuan penentuan bentuk massa dan rancangan ruang dalam yang menyesuaikan dengan metode terapi yang digunakan.

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah :

• Studi Banding

Studi banding dilakukan di 2 tempat, yang pertama dilakukan di Sekolah dan Terapi Cahya Anakku Jakarta, yang kedua dilakukan di Yayasan Surya Kanti Bandung. Peneliti melakukan perbandingan mulai dari tatanan ruang dan juga fasilitas yang terdapat di kedua bangunan tersebut yang sudah menggunakan metode ABA dalam melakukan terapi pada anak autis.

• Observasi

Peneliti melakukan observasi secara langsung, dengan mengamati secara singkat kegiatan yang dilakukan anak autis, tetapi tidak ikut terjun langsung dalam dunia sebenarnya.

• Dokumentasi

Peneliti melakukan pengambilan foto yang digunakan untuk memperjelas kebutuhan ruang yang diperlukan.

Wawancara

Metode wawancara dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat mengenai kebutuhan ruang, dan fasilitas yang terkait. Sumber yang diwawancarai yaitu pengurus Yayasan Autisma Indonesia, pengajar dari Sekolah dan Terapi Autis Cahaya Anakku, dan bagian resepsionis Yayasan Surya Kanti.

Data-data primer yang diperoleh dibandingkan dengan literatur maupun hasil wawancara sebagai tolak ukur dalam peninjauan desain yang sudah ada. Analisis dan pembahasan meliputi pola penataan, elemen pembentuk ruang dan penjabaran karakteristik anak autis memerlukan perlakuan seperti apa, sehingga harus menciptakan ruang dan bangunan seperti apa yang paling sesuai. Data sekunder yang dikumpulkan berupa studi literature, dengan mencari referensi teori yang relevan dengan kasus atau permasalahan yang ditentukan. Referensi menggunakan buku, jurnal, artikel penelitian, dan informasi dari internet.

(4)

HASIL DAN BAHASAN

Hasil Studi Banding Bangunan Terapi Autis

Studi banding dilakukan di dua tempat yang berbeda, pertama di Sekolah dan Terapi Cahya Anakku yang terletak di Jakarta, kedua di Yayasan Surya Kanti yang terletak di Bandung. Metode ABA yang diterapkan dalam kegiatan terapi di kedua tempat tersebut terlihat dari segi fasilitas dan organisasi ruang pada bangunannya, untuk itu perbandingan yang dilakukan yaitu dari melihat fasilitas dan organisasi ruangnya.

Dari segi fasilitas yang terdapat di kedua tempat bangunan terapi, Sekolah dan Terapi Cahya Anakku kurang memenuhi syarat, karena tempat terapi autis berupa bangunan ruko yang kurang sesuai dengn fungsi bangunan terapi sesuai standar, sehingga fasilitas yang tersedia juga kurang fungsional, dan tidak ada memiliki ruang yang cukup besar untuk menampung kegiatan sosialisasi anak autis. (Gambar 1)

Gambar 1 Organisasi Ruang Sekolah dan Terapi Cahya Anakku

Sedangkan di Yayasan Surya Kanti dengan bangunan yang sudah dirancang untuk kegiatan terapi anak autis, fasilitas yang tersedia cukup untuk menampung kegiatan anak autis dan terdapat taman bermain yang berfungsi untuk menampung kegiatan sosialisasi anak autis. Bangunan Sekolah dan Terapi Cahya Anakku adalah bangunan ruko yang mempunyai 3 lantai. Dari hasil survey yang telah dilakukan, maka dapat diketahui organisasi ruang pada Sekolah dan Terapi Cahya Anakku. Di lantai satu yang diberi warna oranye merupakan area publik yang terdiri dari lobi dan resepsionis, dan area semi private yang terdiri dari kelas kecil, kelas besar, dan ruang guru. Dapat disimpulkan bahwa area lantai satu meupakan area untuk sekolah. Kemudian area lantai dua dan tiga yang diberi warna kuning dan hijau, merupakan area terapi. Pada lantai dua terdapat tiga jenis terapi. Area kosong dapat digunakan sebagai area tunggu di lantai dua, sedangkan di lantai tiga terdapat tiga ruang terapi. Organisasi ruang luar menjelaskan tentang tata letak bangunan Surya Kanti yang memiliki bangunan multi massa, dilengkapi enterance pada bangunan, jalur sirkulasi kendaraan dan orang, area parkir, dan taman. Enterance berbatasan langsung dengan jalan. Untuk mengurangi kebisingan yang ada, maka gedung untuk sekolah dan terapi di letakkan pada bagian paling belakang. Sirkulasi kendaraan juga dibuat lebih panjang karena kondisi jalan yang cukup sempit dapat menghambat kegiatan lalu lintas, sehingga dibutuhkan sirkulasi di dalam area bangunan bagi kendaraan yang akan parkir atau drop off. Karena penelitian akan membahas tentang bangunan terapi anak autis, maka organisasi ruang yang akan dibahas yaitu klinik timbuh kembang anak yang diberi warna merah muda. (Gambar 2)

(5)

Gambar 2 Organisasi Ruang Luar Yayasan Surya Kanti

Klinik tumbuh kembang anak di Yayasan Surya Kanti terdiri dari dua lantai. Lantai pertama (warna merah muda) merupakan area semi publik yang berupa lobby, dan semi private yang merupakan ruang pengurus, dan ruang terapi.Sama halnya dengan lantai satu, lantai dua (warna ungu) juga merupakan area semi publik, yaitu resepsionis dan area private ruang pengurus dan ruang terapi.

Untuk kegiatan terapi yang dilakukan di lantai satu, merupakan kegiatan diagnosa, dan juga lantai satu hanya terdapat lobby sehingga aktifitas di lantai satu tidak seramai aktifitas di lantai dua yang mempunyai ruang resepsionis. Kegiatan lebih banyak dilakukan di lantai dua, karena kegiatan terapi lantai dua merupakan tahap observasi. (Gambar 3)

Gambar 3 Organisasi Ruang Dalam Yayasan Surya Kanti

Kesimpulan yang dapat diambil dari analisa organisasi ruang di dua tempat yang menjadi studi banding adalah Yayasan Surya Kanti memiliki organisasi ruang yang terlihat penerapan metode ABA dari segi peletakan ruang-ruang didalamnya dan cukup baik, selain teratur dari segi penataan bangunan, juga mempunyai banyak ruang luar yang hijau untuk membantu kegiatan terapi anak autis saat di luar ruangan.

Penerapan Metode ABA pada Bangunan Terapi Autis di Pejaten

Metode terapi yang digunakan dalam melatih dan melakukan kegiatan terapi pada anak autis yaitu Metode ABA (Applied Behavior Analysis), dimana dalam metode ini dilakukan secara one on one oleh si anak penderita autis dan therapist. Metode ABA ini juga merupakan metode yang sistematik, terukur, dan terstruktur, sehingga dalam proses kegiatan terapi dapat diketahui perkembangan anak. Metode terapi yang digunakan juga dapat mempengaruhi rancangan ruang dalam serta bentuk dari bangunan terapi. Bentuk ruang yang efektif dalam mendukung terjadinya interaksi, adalah gabungan bentuk organisasi ruang yang terpusat dan radial serta memiliki hubungan keterkaitan. Penataan bentuk ruang terkait, terlihat dengan adanya ruang penghubung atau yang disebut juga ruang perantara. Ruang perantara yang cukup besar dapat menjadi ruang yang dominan dalam hubungannya dengan ruang-ruang yang lain dan mampu untuk mengorganisir sejumlah ruang yang terkait. Penataan bentuk ruang berorientasi pada gerakan anak-anak autis yang cenderung bebas dan sesukanya. Untuk menarik minat si anak bersosialisasi diawali dari tempat yang membuat mereka nyaman untuk memasukinya. Umumnya anak autis sangat menyukai bentuk bulat dan lengkung. Sehingga bentuk

(6)

ruang bersama yang digunakan untuk bersosialisasi dibuat dalam skala yang besar dan berbentuk lingkaran yang memiliki komposisi terpusat dan stabil. Pengaturan ruang yang digunakan untuk bersosialisasi diterapkan pada ruang bermain. Karena di ruangan tersebut si anak diharuskan untuk berkomunikasi dan bersosialisasi dengan anak-anak autis lainnya.

Karakter ruang sosial yang digunakan adalah fase dekat (1.20-2.10 m), yang merupakan batas dominasi karena jarak cukup dekat, walaupun cukup dekat tetapi belum masuk ke jarak sentuh pandangan. Anak autis akan merasa lebih nyaman dengan ruangan yang berkarakter sosial dengan dimensi yang disesuaikan, dimana dalam ruangan tersebut memiliki interaksi sosial namun belum memasuki jarak sentuh. Sehingga rancangan pada ruang untuk bersosialisasi, tiap anaknya memiliki jarak 1.20-2.10 m kemudian disesuaikan dengan jumlah anak. (Gambar 4)

Gambar 4 Bentuk Ruang Terpusat

Program Ruang

Standard kapasitas ruang yang digunakan untuk merancang bangunan terapi autis mengacu pada buku data arsitek. Tabel 1 merupakan tabel yang menunjukkan estimasi jumlah orang dan besaran ruang yang dibutuhkan pada bangunan terapi autis.

Tabel 1 Kebutuhan dan Luasan Ruang

KEBUTUHAN RUANG LUASAN RUANG

• Ruang tes perkembangan • Ruang tes dokter • Ruang psikologi

• 4m x 6m = 24 m2

• 4m x 6m = 24 m2

• (6m x 6m) x 3= 36m2 x 3= 108m2 • Ruang terapi wicara

• Ruang terapi interaksi

• Ruang terapi ADL • Ruang fisioterapi

dan okupasi • Ruang terapi musik

• Ruang program fasilitas komunikasi • Ruang terapi medika mentosa • (6m x 6m) x 2= 36m2 x 2= 72m2 • 6m x 6m = 36 m2 • 6m x 12m = 72 m2 • 9.5m x 12 m = 114m2 • 11.5m x 9m =103.5 m2 • 6m x 7m = 42m2 • 6m x 14m = 84m2 • 6m x 14 m = 84m2 • 6m x 7m = 42 m2

(7)

• Ruang pimpinan • Ruang wakil kepala • Ruang sekretaris • Ruang resepsionis/Lobby • Ruang administrasi • Ruang penyimpanan data • 4m x 6m = 24m2 • 4m x 8m = 32 m2 • 3m x 6m = 18m2 • 9m x 10m = 90m2 • 4m x 6m = 24m2 • Ruang volunteer • Ruang konseling • Ruang pantau • Ruang tunggu • 4m x 6m = 24m2 • 6m x 14.5m = 87m2 Perpustakaan : • 9m x 11.5 m = 103.5 m2 •

uang makan dan dapur • 12m x 15 m = 180m2 • usholla • antry • Toilet

6m x 10.30m = 61.8m2

3m x 6m = 18m2

(3m x 7.5 m)x 3= 67.5 m2

Total Luasan Ruang keseluruhan = 1.442m2

Pada bangunan terapi autis ini, ruang-ruang dibagi menjadi lima kelompok ruang, yaitu kelompok kegiatan anak autis tahap awal (diagnosa), kegiatan terapi anak autis (observasi), kelompok kegiatan pengelola dan kelompok staf ahli (kantor), kelompok kegiatan pengunjung dan kelompok kegiatan informasi (lobby), kelompok kegiatan servis. (Gambar 5)

(8)

Aspek Lingkungan

Lokasi tapak berada di Jalan Pejaten Raya, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Tata guna lahan tapak menurut tata kota Jakarta adalah dengan jenis massa tunggal, KDB: 30, KLB: 0,9 dan tinggi bangunan maksimal: 3 Lantai. Total luasan tanah tapak sekitar 7.125 m2. Tapak berbentuk persegi dan terletak di sekitar perumahan, taman kota, area perbelanjaan, dan ruko. Selain dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi yakni motor dan mobil, lokasi tapak dapat ditempuh dengan sarana TransJakarta. Jarak dari halte TransJakarta menuju lokasi dapat ditempuh dengan jalan kaki, karena jarak dari halte TransJakarta menuju lokasi hanya sekitar 200 meter. (Gambar 6).

Gambar 6 Kondisi Sekitar Tapak

Dapat diketahui bahwa bagian depan lokasi tapak merupakan area yang cukup ramai. Dibandingkan dengan bagian timur dan selatan lokasi yang berbatasan langsung dengan area perumahan dan taman kota.

Pada area yang diberi tanda warna merah merupakan area yang cukup bising karena dilalui kendaraan. Sedangkan area yang diberi warna hijau tidak terlalu menimbulkan kebisingan, karena pada bagian kanan merupakan area perumahan, bagian belakang merupakan taman kota, dan pada sisi sebelah kiri tapak berbatasan langsung dengan taman kota dan juga bagian belakang mall, sehingga kebisingan cukup rendah pada ketiga bagian yang diberi warna hijau.

Dari hasil analisis terhadap kondisi lingkungan sekitar tapak, maka dapat ditentukan zoning dalam tapak sebagai berikut. Area private diletakkan pada bagian belakang tapak karena area tersebut tidak memerlukan akses langsung ke pintu masuk atau keluar. Pada tapak dikelilingi oleh penghijauan yang membantu memberikan hawa yang sejuk di sekitar area atau bangunan. (Gambar 7)

(9)

Aspek Bangunan

Gubahan massa yang menggunakan bentuk lingkaran, dibuat berdasarkan analisa bentuk yang disukai oleh anak autis berupa bentuk yang geometris, lingkaran, dan lengkung. Kemudian, pada gubahan massa lingkaran tersebut dibuat titik pusat di area tengah. Pada titik pusat tersebut dibuat taman bermain, yang berfungsi sebagai tempat berkumpul dan bersosialisasi pada saat anak autis selesai melakukan proses terapi, dan setiap ruangan berorientasi pada titik tengah bangunan, yang berfungsi untuk menarik minat si anak dalam bersosialisasi. (Gambar 8)

Gambar 8 Gubahan Massa

Pembagian zona pada bangunan terapi dilakukan berdasarkan hasil dari analisa zoning pada gambar 7, dimana untuk area penghijauan dan parkir diletakkan pada sisi utara , yang merupakan sisi depan bangunan yang langsung berhadapan dengan jalan. Kemudian pada zoning di dalam bangunan, yang pada sisi bagian utara merupakan area publik yang didalamnya terdapat lobby, ruang tunggu, resepsionis, kafetaria. Pada sisi timur dan barat merupakan area semi publik yang didalamnya terdapat kantor administrasi, kantor kepala pimpinan, dan ruang doagnosis. Di sisi selatan bangunan diletakkan area private yang terdapat ruang-ruang terapi, diletakkan pada bagian paling belakang bangunan, karena merupakan area yang paling tenang dan jauh dari kebisingan, sehingga pada proses terapi diharapkan si anak lebih fokus. (Gambar 9)

Gambar 9 Gubahan Massa

Penerapan proses metode ABA pada rancangan ruang dalam bangunan terap sebagai berikut: Pada sisi bagian sebelah kiri gambar merupakan tahap awal sebelum dilakukannya proses terapi yang idsebut tahap diagnosa, pada tahap diagnosa ini si anak akan di periksa oleh dokter umum, dokter khusus, kemudian dilakukan pemeriksaan oleh psikolog. Tahap selanjutnya yaitu tahap observasi, dimana pada tahap inilah proses terapi dilakukan sesuai dengan jenis autis yang diderita oleh si anak. Tahapan ini menyesuaikan dengan metode ABA yang dalam proses terapinya terstruktur dan jelas pada tahapannya. (Gambar 10)

(10)

SIMPULAN DAN SARAN

Metode ABA merupakan satu-satunya metode terapi yang digunakan dalam kegiatan terapi anak autis, karena metode terapi sangat berpengaruh pada organisasi ruang yang ada, maka bangunan terapi anak autis dirancang berdasarkan metode terapi yang digunakan untuk mendukung aktifitas dari anak autis. Dari hasil studi banding yang telah dilakukan di dua tempat terapi yaitu Sekolah dan Terapi Cahya Anakku dan Yayasan Surya Kanti, di kedua tempat terapi ini menggunakan metode ABA sebagai metode terapi yang diberikan pada anak autis. Metode ABA yang digunakan di kedua tempat terapi dapat dilihat dari orgnaisasi ruang dan fasilitas yang ada. Pada Sekolah dan Terapi Cahya Anakku masih minim dalam penataan organisasi ruang dan fasilitas yang tersedia, karena tempat yang digunakan untuk melakukan kegiatan terapi merupakan bangunan ruko yang dibuat fungsional di setiap ruangan, sehingga anak autis kurang bisa mengeksplorasi kegiatan atau aktifitasnya. Kemudian di Yayasan Surya Kanti dalam penataan organisasi ruang dan fasilitas yang ada lebih baik dibandingkan dengan Sekolah dan Terapi Cahya Anakku, karena bangunan terapi Yayasan Surya Kanti memang dirancang untuk kegiatan terapi anak autis, sehingga metode ABA pada Yayasan Surya Kanti lebih terlihat dan anak autis juga lebih dapat mengeksplor kegiatan atau aktifitas bersosialisasi di luar ruangan.

Kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisa yang sudah didapat adalah aktifitas anak autis

merupakan hal yang paling utama dalam kegiatan terapi dengan menggunakan metode terapi yaitu metode ABA, sehingga fasilitas yang diberikan disesuaikan dengan proses terapi yang dilakukan anak autis berupa delapan jenis terapi. Ruang-ruang yang dirancang sesuai dengan jenis terapi dan tingkat kemampuan yang sudah diperoleh oleh anak autis. Zoning pada area bangunan terapi dibagi menjadi empat area, yaitu area publik, area semi private, private, dan area service, dimana dalam pembagian zoning juga menyesuaikan dengan proses terapi yang menggunakan metode ABA yang terstruktur, artinya dalam proses terapi terbagi dalam dua tahap, yaitu tahap diagnosa dan tahap observasi. Dimana dalam tahap diagnosa merupakan tahap awal sebelum proses terapi dilakukan, sehingga tahap diagnosa dimasukkan ke dalam area semi private. Kemudian pada tahap observasi merupakan proses dilakukannya kegiatan terapi, sehingga pada tahap observasi dimasukkan ke dalam area private. Sirkulasi pada bangunan terapi anak autis disesuaikan dengan kondisi anak autis yang susah dalam mengenal arah, sehingga pola sirkulasi dibuat radial untuk mempermudah si anak dalam mengenal ruang.Sehingga bentuk organisasi ruang pada bangunan terapi anak autis disesuaikan dengan metode ABA yang terstruktur dengan ruang-ruang yang tertata didalamnya merupakan proses dari tahapan metode ABA.

REFERENSI

Amazine. (2010). 5 Jenis & 3 Metode Penanganan Autisme. Diakses tanggal 16 April 2014. http://www.amazine.co/22616/5-jenis-3-metode-penanganan-autisme/.

Bimbingan.org . (2009). Teori Perkembangan Sosial Durkheim. Diakses tanggal 19 April 2014.

http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195604121983011-ATANG_SETIAWAN/PERKEMBANGAN_ABK/PERKEMBANGAN_SOSIAL.pdf. E-journal. (2010). Sekolah Khusus Autis di Yogyakarta. Diakses tanggal 2 April 2014. http.//e-journal.uajy.ac.id/2953/6/5Ta11513.pdf.

Ernst., Neufert, Peter. (1970). Architects’ Data Third Edition. Oxford Brookes University. Google docs. (2009). Perkembangan Sosial Anak. Diakses tanggal 19 April 2014.

https://docs.google.com/document/d/1YWC0g8tdQwu89ZvmK2DwTbJHKwi8J4mtBzJyP1vqYJw/pr eview?markAsViewed=false&pli=1.

Kaup, Kristen Henrisken Migette L. (2009). Supportive Learning Environments for Children with Autism Spectrum Disorders. Vol.09.

NYTimesHome. (2013). The Architecture of Autism. Diakses tanggal 2 April 2014. http://www.nytimes.com/2013/10/10/garden/the-architecture-of-autism.html?_r=0.

(11)

Sari, Sriti Mayang. (2011). Implementasi konsep desain partisipasi pada interior ruang terapi perilaku anak autis dengan menggunakan metoda aba/lovas. Dimensi Interior, vol.9,No.1.

Suryawati, I.G.A. alit. (2010). MODEL KOMUNIKASI PENANGANAN ANAK AUTIS MELALUI TERAPI BICARA METODE LOVAAS. Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Social dan Ilmu Politik, Vol.I No. 01.

Sutarno, ST. (2011). Pencahayaan. Diakses tanggal 19 April 2014.

http://tarn2007.blogspot.com/2011/08/sejarah-perkembangan-sumber-cahaya.html. Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. (2013). Diakses tanggal 2 April 2014. http://id.wikipedia.org/wiki/autisme.

Wildes, A.J. Paron. (2009). Sensory Stimulation and Autistic Children. A Newsletter by InformeDesign. Vol.06. No.04.

RIWAYAT PENULIS

Dina Felpin Riwu lahir di kota Kupang pada 27 Mei 1992. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang Arsitektur pada tahun 2015.

Gambar

Gambar 1 Organisasi Ruang Sekolah dan Terapi Cahya Anakku
Gambar 2 Organisasi Ruang Luar Yayasan Surya Kanti
Gambar 4 Bentuk Ruang Terpusat
Gambar 5 Organisasi Ruang Secara Makro
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dalam melakukan kegiatan usaha seperti proses produksi, tenaga kerja harus dilakukan proses pelatihan terlebih dahulu, untuk mengetahui tahapan tata cara proses produksi

Effect of dietary monounsaturated and polyun- saturated fatty acids on the susceptibility of plasma low-density lipoproteins to oxidative modification. Effects of oleate-rich

Dari sisi kinerja keuangan, laba Perseroan pada tahun 2013 lebih rendah dari target laba yang telah ditetapkan sebelumnya karena adanya penurunan nilai efek-efek di pasar modal

In the thickened intimal lesion of balloon-injured rat aorta, in the cuff-induced intimal thickening of rat femoral artery and in the restenotic lesion of human coronary artery

Disamping itu Kantor Akuntan Publik ”Tanubrata Sutanto Fahmi dan Rekan” telah memberikan pendapat bahwa laporan keuangan konsolidasian Perseroan dan Entitas Anak telah

Ada pengaruh pendidikan pranikah terhadap kesiapan dalam menghadapi kehamilan pertama pada calon pengantin putri di KUA Kecamatan Kalasan, Sleman, Yogyakarta yang

Ditinjau dari tuntutan kemampuan yang harus ditampilkan atau dikuasai siswa berkait dengan KD yang bersangkutan, indikator pendukung mencerminkan kemampuan jembatan yang

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perlakuan suhu pengukusan memberikan pengaruh nyata pada sifat fisika kimia tepung ikan rucah.. Tepung ikan yang