• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 12 Peta Lokasi penelitian perbatasan negara Indonesia dan Filipina

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambar 12 Peta Lokasi penelitian perbatasan negara Indonesia dan Filipina"

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pulau-pulau kecil terluar di Indonesia sangat kompleks keberadaannya ditinjau dari aspek pengelolaan sumberdaya alam, apabila dihubungkan dengan kegiatan pengembangan pembangunan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara. Potensi-potensi yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil terluar sangatlah baik, unik, sehingga apabila tidak mengikuti prosedur pengelolaan dan tidak dilindungi, maka sangat berpotensi terjadinya degradasi lingkungan dan konflik antar masyarakat, kabupaten/kota, provinsi dan bahkan antar negara.

Penatataguna dan kelola penyusunan suatu pola rancangbangun hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di wilayah Indonesia menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu penelitian yang dilakukan di wilayah perbatasan Negara Indonesia bagian utara, yang secara geografis berbatasan langsung antara Negara Indonesia dan Negara Filipina, di Provinsi Sulawesi Utara, Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud, seperti dilihat dalam Gambar 12 di bawah ini.

(2)

5.1 Kejahatan di Perbatasan Negara

Isu tentang global warming (pemanasan global), climate change (perubahan cuaca), drug trafficking (Peraturan Daerahgangan obat terlarang), political violence out control (kekerasan politik), illegal fishing (pencurian ikan). Kerugian akibat dari aktivitas illegal fishing di Indonesia diperkirakan mengalami kerugian hingga USD 2 miliar atau sekitar Rp19 triliun per tahun. Dengan kata lain, 22 % produksi illegal fishing di seluruh dunia berasal dari Indonesia. Bahkan, menurut sumber lainnya menyebutkan kerugian Indonesia jauh lebih besar, yakni antara Rp. 30 - 40 triliun setiap tahunnya akibat illegal fishing tersebut.

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Secara geografis, hampir 70 persen (5,8 juta km persegi) wilayah Indonesia merupakan perairan dengan potensi kekayaan laut yang sangat potensial. Menurut data, sumber perikanan laut Indonesia diperkirakan mencapai 6.167.940 ton per tahunnya. Namun akibat letak posisi silang Indonesia yang terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua Samudera (Pasifik dan Hindia), menyebabkan wilayah Indonesia rawan terjadinya illegal fishing. Adapun, daerah yang menjadi titik rawan tersebut terletak di Laut Arafuru, Laut Natuna, sebelah Utara Sulawesi Utara (Samudra Pasifik), Selat Makassar, dan Barat Sumatera (Samudera Hindia).

Illegal fishing sejak tahun 1970-an sampai sekarang masih terus berlanjut, begitu marak terjadi di Indonesia dan sulit diberantas, bahkan ada kecenderungan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan modus operandi yang semakin beragam pula. Kegiatan illegal fishing masih berlangsung dapat diakibatkan karena :

(1) Terdapatnya celah pada aturan (hukum) yang ada, sehingga memberikan peluang bagi pelakunya untuk memasuki wilayah perairan Indonesia. Hal ini bisa dilihat pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang memungkinkan nelayan asing mempunyai kesempatan luas untuk mengeksploitasi sumber daya perikanan Indonesia, khususnya di Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pada Pasal 29 ayat (1), misalnya, dinyatakan bahwa usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan, hanya boleh

(3)

dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Namun, pada ayat (2), kecuali terdapat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEE, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum intenasional.

(2) Kurang tegasnya penanganan para pelaku illegal fishing. Hal ini bisa dilihat pada banyak kasus illegal fishing, namun para pelakunya dihukum ringan, padahal berdasarkan Pasal 85 jo Pasal 101 UU No 31 tahun 2004 tentang Perikanan, dinyatakan secara tegas bahwa pelaku illegal fishing dapat dikenakan ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun. Di samping itu, adanya indikasi para aparat kurang serius dalam penanganan pelaku illegal fishing, misalnya pada tahun 2007 terdapat 103 kasus tindak pidana di bidang perikanan dengan berbagai bentuk pelanggaran. Ironisnya, hanya 77 kasus yang telah diajukan ke proses pengadilan, sehingga menimbulkan kesan kurang profesionalnya para aparat dalam penanganannya.

(3) Pemerintah tidak mengagendakan secara serius untuk mengatasi illegal fishing secara komprehensif. Sehingga, masalah yang menyangkut laut dan potensi yang dimilikinya tidak ditangani secara profesional. Hal ini bisa dilihat pada kasus pelangaran berupa operasi perizinan kapal, misalnya kapal yang dilaporkan sebagai milik perusahaan Indonesia (7.000 kapal), namun ternyata sekitar 70 persen atau 5000 di antaranya, lebih dimiliki oleh pihak asing terutama Taiwan, Philipina, Thailand, RRC. Di wilayah Timur Indonesia, dari 5.088 kapal yang beroperasi, banyak di antaranya yang tidak memiliki izin. (4) Banyaknya oknum petugas yang terkait (sipil dan militer) menjadi backing

para pelaku illegal fishing. Kasus pelepasan 181 nelayan Thailand di Pontianak, misalnya, padahal kasus tersebut belum ada proses hukumnya dan masih adanya oknum yang melakukan pelanggaran dengan modus memberi izin para pelaku dengan cara membelotkan aturan yang ada misalnya penangkapan ikan dan ekspor hasil laut tidak melalui pelabuhan, padahal menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, setiap kapal harus merapat dulu ke pelabuhan Indonesia untuk diolah ikannya.

(4)

(5) Kasus illegal fishing tidak mendapat tempat secara proporsional di media massa. Hal ini bisa dilihat kurangnya media massa mempublikasikan kasus illegal fishing, sehingga masyarakat tidak mendapat informasi yang berimbang (balance). Sebenarnya media massa dapat dijadikan alat penekan bagi pemerintah untuk lebih serius menanganinya. Sebagai gambaran kita bisa lihat pada periode November-Desember 2007, Mabes Polri telah menangkap 16 kapal penangkap ikan dan 20 warga asing pelaku illegal fishing, di mana kerugian negara mencapai Rp13 triliun. Ironisnya, media massa tidak memberi ruang yang memadai dalam memberitakannya.

(6) Kurangnya koordinasi antar-Kementerian yang terkait dalam mengatasi masalah yang menyangkut illegal fishing di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari tumpang tindihnya dalam penanganan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, dan Pemerintah Daerah. Di samping itu, Indonesia tidak memaksimalkan kerja sama antarnegara dalam mengatasi masalah illegal fishing, terutama dalam menangani pelaku illegal fishing asal Philipina, Thailand, Taiwan, dan RRC. Akibatnya, bila terjadi kasus illegal fishing pihak-pihak terkait saling melempar tanggung jawab.

(7) Kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki dalam penanganan illegal fishing. Sampai tahun 2007 Indonesia hanya memiliki kapal pengawas sejumlah 16 buah. Dengan luas wilayah laut yang begitu besar, seharusnya Indonesia membutuhkan paling sedikitnya 90 kapal untuk mengawasi perairan Indonesia. Hanya dengan begitu, kasus illegal fishing yang tidak terkendali dapat diminimalkan.

Belum tertanganinya masalah illegal fishing secara proporsional oleh pemerintah menjadikan masalahnya menjadi komplek dan rumit seperti benang kusut. Kondisi ini pun dimanfaatkan pelaku illegal fishing dari negara lain. Sebagai gambaran, dapat di lihat negara Filipina yang merupakan negara mengekspor tuna terbesar di dunia. Ironisnya, 70 persen tuna yang mereka ekspor itu berasal dari Indonesia. Demikian pula dengan Thailand sebagai negara

(5)

mengekspor ikan kaleng, ikannya juga berasal dari perairan Indonesia yang ditangkap secara ilegal. Hasil illegal fishing seperti pada Gambar 13

Gambar 13 Pelaku dan hasil kejahatan di wilayah laut perbatasan negara Pelaku illegal fishing menggunakan BBM bersubsidi, di mana kerugian negara akibat menggunakan BBM bersubsidi mencapai Rp. 500 miliar. Untuk meminimalkan illegal fishing, sudah saatnya pemerintah membuat Undang-Undang Anti Illegal fishing karena Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, Pasal 29 dan 30, masih kurang memperhatikan nasib nelayan dan kepentingan nasional terhadap pengelolaan sumber daya laut, bahkan UU terebut memberi kesempatan sangat besar kepada pihak asing, mengeksploitasi sumber daya ikan di perairan Indonesia, khususnya ZEEI (Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia).

Pelaksanaan kegiatan tentang Penangkapan Ikan Berbasis Industri harus dilaksanakan secara konsekuen untuk melindungi hasil laut, melindungi nelayan tradisional, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan negara dari devisa dan pajak. Mempercepat terbentuknya pengadilan perikanan yang berwenang menentukan, menyelidiki dan memutuskan tindak pidana setiap kasus illegal fishing dengan tidak melakukan tebang pilih pelakunya. Dari gambaran di atas, dilihat bagaimana potensi laut Indonesia tidak dikelola secara bijaksana yang mengakibatkan kerugian dari kasus illegal fishing.

Hal ini bukan saja berimplikasi pada ekonomi berupa kurangnya pendapatan (devisa) negara dari hasil perikanan yang mencapai triliunan rupiah,

(6)

tetapi juga dapat merusak ekosistem laut, termasuk terumbu karang. Luas trumbu karang Indonesia yang telah mengalami kerusakan mencapai 61 persen dan 15 persen dikategorikan sudah kritis. Untuk itu perlu adanya political will dari pemerintah dalam penangganan dan mengelola kekayaan laut secara bijaksana yang tetap berpihak kepada lingkungan dan masyarakat Indonesia secara luas.

5.2 Batas Maritim Negara Indonesia dan Filipina belum disepakati

Batas maritim Indonesia – Filipina sampai saat ini belum ditetapkan, pertemuan-pertemuan bilateral yang melibatkan kedua negara dalam rangka batas maritim masih terus dilakukan, dengan agenda-agenda yang resmi untuk mecapai kesepakatan bersama. Kedudukan geografis negara Indonesia dan Filipina masih bermasalah, sehingga perjanjian perbatasan yang harus di buat adalah Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen. Hal ini disebabkan jarak pulau terluar kedua negara lebih dari 24 mil laut. Pada umumnya batas maritim antara Indonesia dan Filipina hampir seluruhnya terletak di Laut Sulawesi dan hanya sebagian terletak di Laut Mindanao dan Laut Maluku Utara. Panjang garis batas landas kontinen maupun garis batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia - Filipina di Laut Sulawesi lebih kurang 510 mil laut, dan luas Zona Ekonomi Eksklusifnya sekitar 81.980 mil laut persegi. Jarak terlebar antara pantai yang berhadapan sekitar 315 mil laut dan jarak terpendek 39 mil laut antara Pulau Marore di Indonesia dan Pulau Sarangani di Filipina.

(7)

Pulau Marore merupakan salah satu pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Sangihe Provinsi Sulawesi Utara, dengan luas 3.12 Km² dimasukkan dalam anggota gugusan pulau-pulau perbatasan yang langsung dengan negara Filipina. Pulau Marore merupakan pulau terluar yang tercatat dalam nomor urut 61 pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar, tercatat pada nomor urut 26.

Pulau Miangas merupakan salah satu pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Talaud Provinsi Sulawesi Utara. Pulau seluas 3.20 Km² ini dimasukkan dalam anggota gugusan Kepulauan Nanusa, yang merupakan daerah perbatasan langsung dengan negara Filipina. Pulau Miangas merupakan pulau terluar yang tercatat dalam nomor urut 63 pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar tercatat pada nomor urut 28.

Gambar 15 Pulau Miangas

Pemerintah Indonesia terus menunjukkan juridiksi teritorial di kawasan perbatasan Pulau Miangas di Kabupaten Kepulauan Talaud, dan Pulau Marore di Kepulauan Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara, terutama dilakukan melalui pembangunan ekonomi (prosperity aproach). Perhatian yang serius dicurahkan

(8)

oleh Pemerintah Pusat sehinga tidak menjadi persoalan krusial di kemudian hari. Selain itu, di wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe juga terdapat beberapa pulau kecil terluar yang memerlukan perhatian khusus karena berbatasan langsung dengan negara lain antara lain Pulau Miangas (05°34'02"U 126°34'54"T / TD.056 TR.056 antara TD.056-TD.056A Garis Pangkal Biasa dan / TD.056A TR.056 Jarak TD.056A-TD.057A = 57.91 nm Garis Pangkal Lurus Kepulauan), Pulau Marore (04°44'14"U 125°28'42"T / TD.055 TR.055 antara TD.O55-TD.O55A Garis Pangkal Biasa dan TD.055A TR.055 Jarak TD.055A-'TD.055B=0.5 nm Garis Pangkal Lurus Kepulauan), Pulau Batubawaikang (04°44'46"U 125o29'24"T TD.055B TR.055 Jarak TD.055B-TD.056=81.75 nm Garis Pangkal Lurus Kepulauan), Pulau Kawio, Pulau Lipang, Pulau Kawaluso, Pulau Matutuang dan Makalehi.

Konvensi PBB tentang hukum laut yang dikenal dengan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS) pada tahun 2010 telah berumur 28 tahun. Orang menyebutnya Constitution of the Oceans karena dipandang sebagai bentuk kodifikasi hukum laut yang paling komprehensif sepanjang sejarah peradaban manusia. Konferensi untuk mewujukan konvensi tersebut berlangsung tidak kurang dari sembilan tahun sebelum akhirnya disetujui dan diratifikasi oleh sebagian besar negara pantai (coastal states) di dunia. Kini ada 155 negara yang meratifikasinya termasuk Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Salah satu hal penting yang diatur dalam UNCLOS 1982 dan terkait erat dengan Indonesia adalah yurisdiksi dan Batas Maritim Internasional. UNCLOS mengatur kewenangan sebuah negara pantai terhadap wilayah laut (laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi ekskluif, dan landas kontinen). Selain itu diatur juga tatacara penarikan garis batas maritim jika terjadi tumpang tindih klaim antara dua atau lebih negara bertetangga, baik yang bersebelahan (adjacent) maupun berseberangan (opposite).

Dalam merancangbangun hukum di pulau-pulau terluar perlu menganalisis dengan peraturan perUndang-Undangan dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia berdasrkan permasalahan yang terjadi di wilayah tersebut. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982 dan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, merupakan landasan hukum untuk melakukan rancangbangun hukum di perbatasan negara.

(9)

Gambar 16 Peta Garis pangkal di perbatasan Indonesia dan Filipina Penetapan batas terluar wilayah Negara Indonesia yang berbatasan langsung di darat yaitu Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan Timor Leste, sedangkan wilayah maritim yang berbatasan langsung yaitu (1) India, (2) Malaysia, (3) Singapura, (4) Thailand, (5) Vietnam, (6) Filipina, (7) Republik Palau, (8) Australia, (9) Timor Leste, dan (10) Papua New Guinea (PNG).

Adapun permasalah yang terjadi di wilayah perbatasan Indonesia dan 10 negara antara lain :

(1) Perbatasan Indonesia-India.

Perbatasan kedua negara terletak antara pulau Rondo di Aceh dan pulau Nicobar di India. Batas maritim dengan landas kontinen yang terletak pada titik-titik koordinat tertentu di kawasan perairan Samudera Hindia dan Laut Andaman, sudah disepakati oleh kedua negara. Permasalahan di antara kedua negara masih timbul karena sering terjadi pelanggaran wilayah oleh kedua belah pihak, terutama yang dilakukan para nelayan.

(10)

(2) Perbatasan Indonesia-Malaysia.

Penentuan batas maritim Indonesia-Malaysia di beberapa bagian wilayah perairan Selat Malaka masih belum disepakati kedua negara. Ketidakjelasan batas maritim tersebut sering menimbulkan friksi di lapangan antara petugas lapangan dan nelayan Indonesia dengan pihak Malaysia.

Demikian pula dengan perbatasan darat di Kalimantan, beberapa titik batas belum tuntas disepakati oleh kedua belah pihak. Permasalahan lain antar kedua negara adalah masalah pelintas batas, penebangan kayu ilegal, dan penyelundupan. Forum General Border Committee (GBC) dan Joint Indonesia Malaysia Boundary Committee (JIMBC), merupakan badan formal bilateral dalam menyelesaikan masalah perbatasan kedua negara yang dapat dioptimalkan.

(3) Perbatasan Indonesia-Singapura.

Penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulauan Riau yakni wilayah yang berbatasan langsung dengan Singapura, telah berlangsung sejak tahun 1970. Kegiatan tersebut telah mengeruk jutaan ton pasir setiap hari dan mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir pantai yang cukup parah. Selain itu mata pencaharian nelayan yang semula menyandarkan hidupnya di laut, terganggu oleh akibat penambangan pasir laut. Kerusakan ekosistem yang diakibatkan oleh penambangan pasir laut telah menghilangkan sejumlah mata pencaharian para nelayan.

Penambangan pasir laut juga mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil karena dapat menenggelamkannya, misalnya kasus Pulau Nipah. Tenggelamnya pulau-pulau kecil tersebut menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia, karena dengan perubahan pada kondisi geografis pantai akan berdampak pada penentuan batas maritim dengan Singapura di kemudian hari.

(2) Perbatasan Indonesia-Thailand.

Ditinjau dari segi geografis, kemungkinan timbulnya masalah perbatasan antara RI dengan Thailand tidak begitu kompleks, karena jarak antara ujung pulau Sumatera dengan Thailand cukup jauh, RI-Thailand sudah memiliki perjanjian Landas Kontinen yang terletak di dua titik koordinat tertentu di kawasan perairan Selat Malaka bagian utara dan Laut Andaman. Penangkapan ikan oleh nelayan

(11)

Thailand yang mencapai wilayah perairan Indonesia, merupakan masalah keamanan di laut. Di samping itu, penangkapan ikan oleh nelayan asing merupakan masalah sosio-ekonomi karena keberadaan masyarakat pantai Indonesia.

(3) Perbatasan Indonesia-Vietnam.

Wilayah perbatasan antara Pulau Sekatung di Kepulauan Natuna dan Pulau Condore di Vietnam yang berjarak tidak lebih dari 245 mil, memiliki kontur landas kontinen tanpa batas benua, masih menimbulkan perbedaan pemahaman di antara ke dua negara. Pada saat ini kedua belah pihak sedang melanjutkan perundingan guna menentukan batas landas kontinen di kawasan tersebut.

(4) Perbatasan Indonesia-Filipina.

Belum adanya kesepakatan tentang batas maritim antara Indonesia dengan Filipina di perairan utara dan selatan Pulau Miangas, menjadi salah satu isu yang harus dicermati. Forum RI-Filipina yakni Joint Border Committee (JBC) dan Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC) yang memiliki agenda sidang secara berkala, dapat dioptimalkan menjembatani permasalahan perbatasan kedua negara secara bilateral.

(5) Perbatasan Indonesia-Republik Palau.

Sejauh ini kedua negara belum sepakat mengenal batas perairan ZEE Palau dengan ZEE Indonesia yang terletak di utara Papua. Akibat hal ini, sering timbul perbedaan pendapat tentang pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh para nelayan kedua pihak.

(6) Perbatasan Indonesia-Australia.

Perjanjian perbatasan RI-Australia yang meliputi perjanjian batas landas kontinen dan batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) mengacu pada Perjanjian RI-Australia yang ditandatangani pada tanggal 14 Maret 1997. Penentuan batas yang baru RI-Australia, di sekitar wilayah Celah Timor perlu dibicarakan secara trilateral bersama Timor Leste

(12)

(7) Perbatasan Indonesia-Timor Leste.

Saat ini sejumlah masyarakat Timor Leste yang berada di perbatasan masih menggunakan mata uang rupiah, bahasa Indonesia, serta berinteraksi secara sosial dan budaya dengan masyarakat Indonesia. Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antarwarga desa yang terdapat di kedua sisi perbatasan, dapat menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional, dapat berkembang menjadi masalah yang lebih kompleks. Disamping itu, keberadaan pengungsi Timor Leste yang masih berada di wilayah Indonesia dalam jumlah yang cukup besar potensial menjadi permasalahan perbatasan di kemudian hari.

(8) Perbatasan Indonesia-Papua Nugini.

Indonesia dan PNG telah menyepakati batas-batas wilayah darat dan maritim. Meskipun demikian, ada beberapa kendala kultur yang dapat menyebabkan timbulnya salah pengertian. Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antar penduduk yang terdapat di kedua sisi perbatasan, menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional dapat berkembang menjadi masalah kompleks di kemudian hari.

5.3 Hak Berdaulat Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen Indonesia

Nilai dasar dan landasan konstitusional dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara serta kebijakan pembangunan nasional mengacu kepada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dalam UUD 1945 tersebut dijabarkan dalam pasal demi pasal. Indonesia sebagai Negara kepulauan yang bercirikan nusantara dinyatakan secara eksplisit dalam Pasal 25A (UUD 1945 hasil amandemen) merupakan landasan sekaligus acuan pemikiran dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Demikian pula dengan Pasal 33 yang secara eksplisit mengamanatkan bahwa sumber kekayaan alam yang dimiliki pulau-pulau terluar harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu pengelolaan pulau-pulau kecil terluar harus menjamin bahwa

Dalam Pasal 25a Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amandemen) disebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hal ini semakin mengukuhkan

(13)

eksistensi Negara Indonesia sebagai Negara maritim yang terdiri dari beberapa pulau besar dan kecil yang tersebar di garis khatulistiwa.

Pengaturan tentang wilayah negara seperti yang tertian dalam Bab IXA, Pasal 25A yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 25A, telah diimplementasikan dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008, dimana dalam undang undang tersebut disebutkan bahwa wilayah negara adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.

Dengan demikian maka pengaturan wilayah negara mempunyai tujuan tertentu, dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Pasal 3 menyebutkan bahwaPengaturan Wilayah Negara bertujuan:

(1) menjamin keutuhan Wilayah Negara, kedaulatan negara, dan ketertiban di Kawasan Perbatasan demi kepentingan kesejahteraan segenap bangsa;

(2) menegakkan kedaulatan dan hak-hak berdaulat; dan

(3) mengatur pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, termasuk pengawasan batas-batasnya.

Secara jelas dan tegas disebutkan dalam angka (1) dan angka (2), bahwa perlunya ketertiban di kawasan perbatasan dan pengelolaan pemanfaatan wilayah negara dan kawasan perbatasan termasuk batas-batasnya untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33 Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pengelolaan sumberdaya di pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara merupakan bagian dari kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang harus di kelola dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat, dimana pemanfaatannya harus juga mempertimbangkan akan keberlanjutan dari sumberdaya.

(14)

Sejak lama Pemerintah Republik Indonesia merasakan pentingnya arti zona ekonomi eksklusif untuk mendukung perwujudan Wawasan Nusantara dalam rangka meningkatkan kesejahteraan Bangsa Indonesia dengan memanfaatkan segenap sumber daya alam baik hayati maupun non hayati yang terdapat di zona ekonomi eksklusifnya. Dengan demikian maka untuk melindungi kepentingan nasional, khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi rakyat Indonesia serta kepentingan nasional di bidang pemanfaatan sumber daya alam non hayati, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut serta penelitian ilmiah kelautan penting untuk dilaksanakan pengaturannya di zona ekonomi eksklusif yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eklsklusif dan disahkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 1983.

Sebelum ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif, maka pemerintah telah mengeluarkan pengumuman pada tanggal 21 Maret 1980 telah mengeluarkan Pengumuman Pemerintah tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Pengumuman tersebut menegaskan tentang rezim hukum internasional yaitu penetapan zona ekonomi eksklusif yang telah dikembangkan oleh masyarakat internasional melalui Konperensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut Ketiga dan praktek negara (state practice) dimana dimaksudkan untuk melindungi kepentingan negara pantai dari bahaya dihabiskannya sumber daya alam hayati di dekat pantainya oleh kegiatan-kegiatan perikanan berdasarkan rezim laut bebas. Di samping itu zona ekonomi eksklusif juga dimaksud untuk melindungi kepentingan-kepentingan negara pantai di bidang pelestarian lingkungan laut serta penelitian ilmiah kelautan dalam rangka menopang pemanfaatan sumber daya alam di zona tersebut. Melalui konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut telah memberikan rekomendasi hukum kepada Republik Indonesia sebagai negara pantai hak berdaulat untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang terdapat di zona ekonomi eksklusif dan yurisdiksi yang berkaitan dengan pelaksanaan hak berdaulat tersebut.

Ketentuan dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia berkewajiban pula untuk menghormati hak-hak negara lain di zona ekonomi eksklusifnya antara lain

(15)

kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan untuk pemasangan kabel dan pipa bawah laut di zona ekonomi eksklusif. Khusus yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, maka sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut negara lain dapat ikut serta memanfaatkan sumber daya alam hayati, sepanjang Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan seluruh sumber daya alam hayati tersebut.

Di samping asas-asas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan di atas yang terutama ditunjukan kepada dunia luar, asas-asas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan tersebut perlu pula dituangkan dalam peraturan pelaksanaannya agar supaya terdapat dasar yang kokoh bagi pelaksanaan hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban dalam zona ekonomi eksklusif dan dengan demikian tercapai pula kepastian hukum.

Berhubung dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang menetapkan hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Republik Indonesia maka kebijakan lain yang berhubungan dengan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara dalam. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa sumberdaya alam hayati adalah semua jenis binatang dan tumbuhan termasuk bagian-bagiannya yang terdapat di dasar laut dan ruang air Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Selanjutnya sumber daya alam non hayati adalah unsur alam bukan sumber daya alam hayati yang terdapat di dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang air Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; Sumberdaya alam perlu di konservasi sebagai upaya yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; sedangkan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut adalah segala upaya yang bertujuan untuk menjaga dan memelihara keutuhan ekosistem laut di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Substansi Pasal 1 tersebut mensyaratkan akan tujuan dari Undang-Undang Zona Ekonomi Eksklusif untuk menjaga dan memelihara ekosistem, dalam hal ini ekosistem pulau-pulau kecil di perbatasan negara, apabila berdampingan atau berdekatan dengan zona ekonomi eksklusif.

(16)

Penentuan batas zona ekonomi eksklusif diatur dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.

Apabila terjadi tumpang tindih maka diatur dalam Pasal 3 ayat (1) yaitu : Apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan.

Dalam menentukan batas maka dalam Pasal 3 ayat (2) disebutkan bahwa : Selama persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ada dan tidak terdapat keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis tengah atau garis sama jarak antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik terluar Indonesia dan garis-garis pangkal laut wilayah atau titik-titik terluar negara tersebut, kecuali jika dengan negara tersebut telah tercapai persetujuan tentang pengaturan sementara yang berkaitan dengan batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia termaksud.

Hak berdaulat Indonesia dalam zona ekonomi eksklusif yaitu Hak berdaulat Indonesia yang dimaksud oleh undang-undang ini tidak sama atau tidak dapat disamakan dengan kedaulatan penuh yang dimiliki dan dilaksanakan oleh Indonesia atas laut wilayah, perairan Nusantara dan perairan pedalaman Indonesia. Berdasarkan hal tersebut diatas maka sanksi-sanksi yang diancam di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia berbeda dengan sanksi-sanksi yang diancam di perairan yang berada dibawah kedaulatan Republik Indonesia tersebut.

Hak-hak lain berdasarkan hukum internasional adalah hak Republik Indonesia untuk melaksanakan penegakan hukum dan hot pursuit terhadap

(17)

kapal-kapal asing yang melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia mengenai zona ekonomi eksklusif. Kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional adalah kewajiban Republik Indonesia untuk menghormati hak-hak negara lain, misalnya kebebasan pelayaran dan penerbangan (freedom of navigation and overflight) dan kebebasan pemasangan kabel-kabel dan pipa-pipa bawah laut (freedom of the laying of submarine cables and pipelines).

Bahwa sepanjang menyangkut sumber daya alam hayati dan non hayati di dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di dalam batas-batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia hak berdaulat Indonesia dilaksanakan dan diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia yang berlaku di bidang landas kontinen serta persetujuan- persetujuan internasional tentang landas kontinen yang menentukan batas-batas landas kontinen antara Indonesia dengan negara-negara tetangga yang pantainya saling berhadapan atau saling berdampingan dengan Indonesia.

Sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku seperti yang tumbuh dari praktek negara dan dituangkan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut yang dihasilkan oleh Konperensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut Ketiga di zona ekonomi eksklusif setiap negara, baik negara pantai maupun negara tak berpantai, menikmati kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut, serta penggunaan laut yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan tersebut seperti pengoperasian kapal-kapal, pesawat udara dan pemeliharaan kabel dan pipa bawah laut.

Kegiatan untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber daya alam atau kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi ekonomis seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia harus berdasarkan izin dari Pemerintah Republik Indonesia. Sedangkan kegiatan-kegiatan tersebut di atas yang dilakukan oleh negara asing, orang atau

(18)

badan hukum asing harus berdasarkan persetujuan internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dengan negara asing yang bersangkutan.

Dalam syarat-syarat perjanjian atau persetujuan internasional dicantumkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh mereka yang melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di zona tersebut, antara lain kewajiban untuk membayar pungutan kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Dengan adanya sifat-sifat dalam melaksanakan pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan tingkat pemanfaatan baik di sebagian atau keseluruhan daerah di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Dimana dalam rangka konservasi sumber daya alam hayati, Indonesia berkewajiban untuk menjamin batas panen lestari (maximum sustainable yield) sumber daya alam hayatinya di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Dengan memperhatikan batas panen lestari tersebut, Indonesia berkewajiban pula menetapkan jumlah tangkapan sumber daya alam hayati yang diperbolehkan (allowable catch). Dalam hal usaha perikanan Indonesia belum dapat sepenuhnya memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan tersebut, maka selisih antara jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan jumlah kemampuan tangkap (capacity to harvest).

Indonesia, boleh dimanfaatkan oleh negara lain dengan izin Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional. Misalnya jumlah tangkapan yang diperbolehkan ada 1.000 (seribu) ton sedangkan jumlah kemampuan tangkap Indonesia baru mencapai 600 (enam ratus) ton maka negara lain boleh ikut memanfaatkan dari sisa 400 (empat ratus) ton tersebut dengan izin Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional.

Di samping itu Indonesia mempunyai yurisdiksi eksklusif atas pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan tersebut termasuk yurisdiksi yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang bea cukai, fiskal, kesehatan, keselamatan dan imigrasi. Demikian juga Indonesia mempunyai yurisdiksi eksklusif tetapi pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan-bangunan tersebut tidak memiliki status sebagai pulau dalam arti

(19)

wilayah negara dan oleh karena itu tidak memiliki laut teritorial sendiri dan kehadirannya tidaklah mempengaruhi batas laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia atau Landas Kontinen Indonesia.

Sejak beberapa waktu telah dilakukan kegiatan mencari sumbersumber kekayaan alam baru antara lain berupa eksplorasi minyak dan gas bumi dilandas kontinen. Kegiatan ini merupakan akibat daripada bertambah pentingnya dasar laut dan tanah di bawah landas kontinen sebagai sumber kekayaan alam dan kemajuan tehnik pengambilan kekayaan alam yang kian hari kian meningkat. Untuk mengamankan kepentingan rakyat Indonesia dalam landas kontinen yang berbatasan dengan negaranya, Pemerintah Indonesia pada tanggal 17 Pebruari 1969 telah mengeluarkan suatu Pengumuman tentang Landas Kontinen yang membuat azas-azas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan Pemerintah tentang Landas Kontinen Indonesia.

Disamping pengumuman azas-azas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan diatas yang terutama ditujukan kepada dunia luar, dirasakan pula perlunya untuk menuangkan azas-azas dan dasar-dasar pokok kebijaksanaan itu dalam suatu Undang-Undang agar supaya terdapat dasar yang kokoh bagi pelaksanaan hak-hak atas kekayaan yang diperoleh dari landas kontinen dan demi kepastian hukum.

Disamping hal-hal yang bersifat umum seperti sifat dan ruang lingkup kekuasaan Negara atas landas kontinen, Undang-Undang ini juga memberikan dasar-dasar bagi pengaturan eksplorasi dan eksploitasi serta penyelidikan jumlah atas kekayaan alam di landas kontinen dan masalahmasalah yang ditimbulkan olehnya.

Dalam hal landas kontinen Indonesia, termasuk depresi-depresi yang terdapat di landas Kontinen Indonesia, berbatasan dengan negara lain, penetapan garis batas landas kontinen dengan negara lain dapat dilakukan dengan cara mengadakan perundingan untuk mencapai suatu persetujuan. Landas Kontinen Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973.

Dalam ketentuan umum, Pasal 1 huruf a sampai huruf c bahwa Landas Kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya di luar perairan

(20)

wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 sampai kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Selanjutnya kekayaan alam adalah mineral dan sumber yang tak bernyawa lainnya di dasar laut dan/atau di dalam lapisan tanah di bawahnya bersama-sama dengan organisme hidup yang termasuk dalam jenis sedinter yaitu organisme yang pada masa perkembangannya tidak bergerak baik diatas maupun dibawah dasar laut atau tak dapat bergerak kecuali dengan cara selalu menempel pada dasar laut atau lapisan tanah di bawahnya. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi adalah usaha-usaha pemanfaatan kekayaan alam dilandas kontinen.

Dengan demikian maka pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara termasuk yang diatur dalam Undang-Undang Landas Kontinen, dalam Pasal 3 disebutkan bahwa, dalam hal landas kontinen Indonesia, termasuk depresi-depresi yang terdapat di landas Kontinen Indonesia, termasuk berbatasan dengan negara lain, dimana penetapan garis batas landas kontinen dengan negara lain dapat dan sudah dilakukan dengan cara mengadakan perundingan untuk mencapai suatu persetujuan, maka pengelolaan dapat dilakukan untuk kepentingan negara.

Ketentuan lain yang menyangkut eksploitasi kekayaan diatur dalam Pasal 10 ayat (1) yaitu Dalam melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di landas kontinen harus diindahkan dan dilindungi kepentingan-kepentingan:

(1) Pertahanan dan keamanan nasional; (2) Perhubungan;

(3) Telekomunikasi dan transmisi listrik dibawah laut; (4) Perikanan;

(5) Penyelidikan oceanografi dan penyelidikan ilmiah lainnya; (6) Cagar alam.

Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa dalam hal-hal terdapat perselisihan-perselisihan antara kepentingan kepentingan tersebut dalam ayat (1) pasal ini mengenai pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alam di landas kontinen

(21)

Indonesia,akan diselesaikan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Syarat lain diatur dalam ayat (3) yaitu apabila terjadi hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini, Pemerintah dapat menghentikan untuk sementara waktu pengusahaannya atau dapat mencabut lain usaha yang bersangkutan.

5.4 Perbandingan antara ketentuan Undang-Undang tentang Zona Ekonomi Eksklusif dengan Undang-Undang tentang Pengesahan United Nation

Convention on the Law of The Sea 1982

Secara historis, bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eklsklusif (UU ZEE) umurnya satu tahun lebih muda dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982. Dalam artian, bisa saja ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU ZEE Indonesia adalah mengadopsi ketentuan yang ada dalam UNCLOS 1982. Dengan mengenyampingkan bahwa Indonesia barulah meratifikasi UNCLOS 1982 pada tahun 1985, yakni 2 tahun setelah UU ZEE lahir. Namun patutlah kiranya dapat disinkronkan antara UNCLOS 1982 dan UU ZEE dalam pengambilan kebijakan penentuan wilayah negara di daerah perbatasan.

Dari segi struktur, UU ZEE terdiri dari 9 Bab dan 21 Pasal. Dengan masing-masing bab mengatur ketentuan tertentu. Sedangkan dalam UNCLOS

1982, ketentuan tentang ZEE diatur dalam Bab tersendiri yaitu Bab V UNCLOS 1982 mulai Pasal 55 sampai Pasal 75 UNCLOS 1982. Meskipun pengaturannya hanya dalam 1 Bab, namun ketentuan tentang ZEE dalam UNCLOS 1982 dibedakan dalam beberapa sub Bab. Yaitu terdiri dari 21 sub Bab.

Dari segi substansi, ketentuan yang ada di dalam UU ZEE lebih mengkhususkan pengaturannya pada hal-hal yang konkrit ada dan terimplementasikan dalam wilayah Indonesia, sedangkan ketentuan dalam UNCLOS 1982 lebih mengatur hal yang sifatnya umum dan universal bisa diterapkan di berbagai negara yng meratifikasi. Meskipun UNCLOS 1982 tidaklah secara tegas dinyatakan sebagai bahan rujukan penyusunan UU ZEE, dengan tidak memasukkanya pada konsiderans menimbang UU ZEE, namun

(22)

substansinya terlihat tidak mutlak ada perbedaan dengan UNCLOS 1982. Bahkan dalam beberapa hal bisa terdapat kesamaan, dan seakan-akan UU ZEE adalah lex specialis dari UNCLOS 1982 sebagai lex generalisnya. Oleh karena itu berikut beberapa perbandingan antara ketentuan dalam UU ZEE dengan ketentuan dalam UNCLOS 1982 khususnya Bab V yang mengatur tentang ZEE.

5.5 Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

Selaras dengan ketentuan pasal 2 UU ZEE yang menyatakan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia, maka pada pasal 55 UNCLOS 1982, tidak secara menonjol terdapat perbedaan. Bahkan terlihat bahwa konsepsi yang ada dalam UU ZEE merupakan konkretisasi dari ketentuan pasal 55 UNCLOS 1982. disamping itu telah tercakup pula ketentuan lebar laut tertitorial yang diatur pasal 57 UNCLOS 1982 dalam ketentuan Pasal 2 UU ZEE ini.

Secara umum dalam UU ZEE dan UNCLOS 1982 menganut prinsip hukum yang sama yakni terdiri dari:

(1) Hak berdaulat negara pantai

(2) Hak partisipasif bagi negara tak berpantai dan negara lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam hayati

(3) Prinsip Keadilan

Ketentuan secara konkret dari prinsip hukum tersebut di atas terlihat dalam Pasal 4 UU ZEE.

Hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Coastal States mempunyai hak berdaulat untuk tujuan:

(1) Explorasi dan exploitasi, konservasi dan mengelola SDA (2) Aktivitas lain untuk exploitasi ekonomi spt energy production Coastal States mempunyai jurisdiction yang berkaitan dengan:

(23)

(2) Hak untuk melaksanakan hot porsuit terhadap kapal-kapal asing yang melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan di ZEE

(3) Pendirian dan penggunaan artificial islands installations and structures (4) Riset ilmiah kelautan (marine scientific research)

Coastal States mempunyai hak dan kewajiban lain yang diatur dalam konvensi (Ketentuan Pasal 56 UNCLOS 1982). Ketentuan tersebut di atas, teratur pula dalam pasal 4 UU ZEE.

UU ZEE telah mengatur secara tegas dan rinci dalam hal penggunaan wilayah ZEE Indonesia untuk kegiatan-kegiatan tertentu seperti pembuatan pulau buatan, riset ilmiah dan konservasi alam dengan menerapkan ketentuan kewajiban memohon izin dari Indonesia. Secara implisit dinyatakan dalam Bab IV UU ZEE mulai Pasal 5 sampai Pasal 8, hal tersebut adalah implementasi jurisdiksi negara di wilayah ZEE. Adapun ketentuan kegiatan ini dalam UNCLOS 1982 dinyatakan dalam ketentuan pada Pasal 60 dan Pasal 61.

Mengenai mekanisme kegiatan ganti rugi yang di diatur dalam UNCLOS 1982 memberikan kewenangan bagi negara pantai untuk mengturnya lebih lanjut melalui per Undang-Undangan yang berlaku. Dalam konteks UU ZEE, ketentun mengenai ganti rugi ditentukan dalam Pasal 9 sampai Pasal 12. terhadap mekanisme ganti rugi ini diberlakukan pula penentuan jumlah maksimum ganti rugi tnpa mengesmpingkan ketentuan pasal 8 UU ZEE.

Terdapat perbedaan mekanisme penyelesain antara UNCLOS 1982 dengan UU ZEE. Dalam UU ZEE mekanisme penentuan batas ZEE Indonesia dengan negara yang saling berdampingan pertama-tama dilakukan melalui jalur perundingan. Dan bila tidak terdapat kesepakatan maka diterapkan mekanisme penentuan berdasarkan garis tengah antara kedua negara.

Adapun dalam UNCLOS 1982, bila suatu negara yang saling berhadapan wilayah pantainya, mekanisme penyelesaiannya pertama kali adalah jalur perundingan jika hal tersebut tidak tercapai kesepakatan, maka dilakukan mekanisme berdasarkan yang diatur dalam UNCLOS 1982.

Penegakan hukum berdasarkan UU ZEE dilakukan dengan mengacu ketentuan Hukum Acara Indonesia yang diatur dalam KUHAP. Dalam mekanisme ini tidak dikenal adanya mekanisme pembebasan dengan penjaminan. Sedangkan

(24)

ketentuan Pasal 73 UNCLOS 1982 terdapat ketentuan pembebasan dengan jaminan. Di samping itu terdapat ketentuan larangan untuk melakukan hukuman badan dalam UNCLOS 1982. sedangkan pada UU ZEE, ketentuan ini tidak diterapkan secara tegas.

5.6 Keterpaduan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil

Kompleksitas sistem pada wilayah pesisir dan laut, yaitu sumberdaya alam dan masyarakat, mutlak memerlukan pengelolaan yang tepat dan terpadu bagi keberlanjutan pembangunan pesisir dan laut. Berdasarkan karakteristik dan dinamika dari kawasan pesisir dan laut, potensi dan permasalahan pembangunan, serta banyaknya tumpang tindih kepentingan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut, baik dari masyarakat maupun pemerintah, sehingga untuk pencapaian pembangunan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan dapat dilakukan melalui pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu berbasis konservasi, masyarakat dan pemerintah.

Kegiatan pembangunan pesisir dan laut khususnya pulau-pulau kecil di daerah perbatasan negara, dinyatakan berkelanjutan, jika kegiatan tersebut mencapai tiga tujuan pembangunan berkelanjutan, yakni berkelanjutan secara ekonomis, ekologis, dan sosial politik. Pulau-pulau kecil terluar dalam pencapaian pembangunan dapat ditinjau dari 5 (lima) aspek yaitu : Sumberdaya Alam, Sosial Budaya, Sosial Politik, Sosial Ekonomi dan Pertahanan Keamanan, yang merupakan bagian dari pembangunan berlanjutanan.

Pencapaian keterpaduan pengelolaan pulau-pulau kecil harus mengetahui karakteristik pulau kecil yaitu karakteristik pulau-pulau kecil yang biogeofisiknya menonjol menurut Bengen dan Retraubun (2006) yaitu :

(1) Terpisah dari habitat atau pulau induk (main land), sehingga bersifat insuler,

(2) Sumberdaya air tawar yang terbatas, dimana daerah tangkapan airnya relatif kecil,

(3) Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar serta pencemaran, (4) Memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi,

(25)

(5) Area perairan yang lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan utama (benua atau pulau besar). Jika pulau tersebut berada di batas suatu negara, maka keberadaan pulau tersebut mempunyai nilai yang sangat strategis untuk penentuan teritorial suatu negara,

(6) Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai.

Berdasarkan karakteristik pulau-pulau kecil di atas maka pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, yang merupakan bagian dan tidak terpisahkan dari pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga perlu dilakukan zonasi oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten kota dalam wilayah hukum dan administrasi. Penyusunan rencana zonasi harus diserasikan, diselaraskan dan diseimbangkan dengan rencana tata ruang wilayah.

Perencanaan dilakukan dengan mempertimbangkan :

(1) keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan; (2) keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika

lingkungan, dan kualitas lahan pesisir; dan

(3) kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses masyarakat dalam pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi.

Pencapaian keterpaduan fungsi dari pulau-pulau kecil terluar harus dituangkan dalam rencana zonasi dalam kurun waktu berlakunya yaitu selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun, dan dituangkan dalam Peraturan Daerah. Fungsi keterpaduan pulau-pulau kecil terluar terdiri dari fungsi (1) sumberdaya alam, (2) sosial budaya, (3) fungsi sosial politik (4) fungsi sosial ekonomi, dan (5) fungsi pertahanan keamanan yaitu :

(1) Fungsi Sumberdaya Alam,

Sumberdaya Alam merupakan satuan kehidupan (organisme hidup/biotik) saling berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan nir-hayati (fisik/abiotik). Sumberdaya yang terdapat di pulau-pulau kecil terluar mencakup sumber daya hayati, meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun,

(26)

mangrove dan biota laut lain; Adapun sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral. dasar laut, jasa lingkungan.

Potensi yang terkandung dalam pulau kecil terluar sangat bernilai ekonomi tinggi, hal tersebut tercermin dari kondisi geofisik dengan keaneka ragaman hayatinya yang tersebar di sekitar pulau-pulau kecil. Dengan mengetahui fungsi sumberdaya alam pulau kecil, maka secara rinci dapat mengetahui data dasar keseluruhan kekayaan sumberdaya alam dan sistem pengamanannya. Pengelolaan Sumberdaya Alam pulau-pulau kecil di daerah perbatasan masing-masing negara dengan mengikutsertakan sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat lokal.

(2) Fungsi Sosial Budaya

Sosial budaya masyarakat pulau kecil adalah masyarakat yang masih mengakui nilai-nilai luhur kearifan lokal yang berlaku dalam tatanan kehidupan masyarakat setempat, sedangkan kegiatan perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya, dan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional. Fungsi Sosial dan budaya meliputi peningkatan pendidikan, kesehatan, kesejahteraan yang memadai, serta meningkatkan ketahanan budaya untuk membendung masuknya budaya asing.

(3) Fungsi Sosial Politik.

Sosial politik yang merupakan bagian dari sistem politik nasional, sehingga pemerintah dalam pengembangan dan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar melakukan pemahaman politik dan ideologi yang berkaitan dengan pembinaan dan penghayatan untuk menangkal ideologi asing, sebagai bagian dalam upaya menjaga stabilitas politik yang dinamis bersama aparat pemerintah sebagai mitra pembinaan teritorial.

(4) Fungsi Sosial Ekonomi

Pulau kecil yang mempunyai potensi besar karena didukung oleh ekosistem dan produktifitas hayati tinggi, sehingga kegiatan pembangunan harus diarahkan mampu meningkatkan perekonomian dan memberikan pengaruh ganda pada masyarakat dengan investasi yang berwawasan lingkungan

(27)

dengan memperhatikan hak-hak atas tanah dan perairan. Pembangunan sarana dan prasarana penunjang yang memperkuat ekonomi daerah, dan mendorong kegiatan-kegiatan ekonomi rakyat sehingga merupakan pilihan utama yang harus diperhatikan oleh pemerintah pusat maupun daerah.

Dengan pembangunan sosial ekonomi dapat berfungsi sebagai pendukung logistik wilayah pertahanan keamanan dan pemberdayaan masyarakat sekaligus kebijakan mengembangkan jalur kerja sama dengan negara tetangga yang dapat mengkoordinasikan kegiatan ekonomi, politik, dan pertahanan keamanan.

(5) Fungsi Pertahanan Keamanan

Secara geografis, pulau-pulau kecil di perbatasan negara sangat terisolasi, juga mempunyai kepentingan geopolitis tinggi dalam menjaga keutuhan kedaulatan negara Kesatuan Republik Indonesia. Pulau terluar ditetapkan sebagai titik pangkal batas negara Indonesia dengan negara lain sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Saat ini teridentifikasi berjumlah 92 pulau terluar, dengan 67 pulau berbatasan langsung dengan 10 negara tetangga.

Pelaksanaan pertahanan dan keamanan, dengan pembuatan pos-pos perbatasan, pembentukan sabuk pengaman dan kekuatan pembinaan teritorial yang memadai dan pengendalian yang cukup baik oleh aparat keamanan maupun swakarsa masyarakat dan meningkatkan patroli perbatasan.

Sebagai fungsi pertahanan dan keamanan maka peranan effective occupation (penguasaan secara efektif) pemerintah pada aspek administrasi, dengan melakukan kegiatan. Dengan demikian keberadaannya dapat berlangsung terus menerus (continous presence). Upaya melindungi dan melestarikan ekologi (maintenance and ecology preservation) juga bisa dilakukan sehingga menjadikan pulau-pulau kecil sebagai beranda depan negara.

(28)

5.7 Pengesahan United Nation Convention on the Law of The Sea / UNCLOS Tahun 1982

Masyarakat internasional yang tergabung alam Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui forum Konperensi Hukum Laut III, telah berhasil merumuskan dan menandatangani suatu konvensi hukum laut yang baru, pada tanggal 10 Desember tahun 1982 yaitu Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982.

Selain penting sebagai suatu perangkat hukum laut yang baru, Konvensi ini juga sangat penting karena di samping mencerminkan hasil usaha masyarakat internasional untuk mengkodifikasikan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang telah ada, juga menggambarkan suatu perkembangan yang progresif (progressive development) dalam hukum internasional.

Perkembangan ini disebabkan oleh bertambah pentingnya laut bagi kehidupan dan kelangsungan hidup manusia. Meningkatnya peranan yang demikian itu pula disebabkan oleh bertambahnya kemampuan manusia di dalam usaha memanfaatkan laut sebagai salah satu sumber kehidupan.

Laut yang merupakan bagian terbesar dari permukaan bumi memiliki manfaat yang besar dan fungsi penting bagi kehidupan suatu bangsa, baik untuk memenuhi kebutuhan makanan dan energi, sarana transportasi, maupun sebagai sarana pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam termasuk penelitian ilmiah, bahkan terlebih menyangkut kepentingan pertahanan dan keamanan.

Sejak dahulu laut digunakan sebagai alat dan sarana untuk melakukan ekspansi kekuasaan sehingga dapat menjadi sumber pertentangan dan pertikaian antar bangsa dan karena itu pula laut merupakan salah satu objek pengaturan hukum internasional. Hukum dalam hal ini hukum (laut) internasional, berperan sebagai alat untuk mengatasi hubungan-hubungan atau persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pemanfaatan laut oleh berbagai negara.Perkembangan hukum laut internasional sangatlah cepat dan besar pengaruhnya bagi masyarakat internasional karena negara-negara saling berlomba satu sama lain untuk memperluas wilayah laut ke dalam kedaulatan maupun yuridiksinya sendiri, sehingga timbul antara lain tindakan-tindakan perluasan wilayah secara sepihak oleh negara-negara yang merasa perlu untuk melindungi kepentingan nasionalnya.

(29)

Kondisi yang demikian mengakibatkan munculnya potensi kerawanan pada perbatasan antar negara yang bersumber dari masalah-masalah kelautan, mengingat klaim-klaim dari sejumlah negara yang tentunya tidak selamanya berdasarkan pada aturan-aturan yang berlaku, dan kadangkala timbul klaim sepihak seperti Proklamasi Truman 28 September 1945. Tindakan-tindakan seperti itu akan mendapat reaksi dari sejumlah negara, khususnya negara-negara yang berkepentingan atas laut maupun perbatasannya. Sebagai negara kepulauan juga dihadapkan pada masalah yang sama, mengingat Indonesia memiliki pantai yang terbentang panjang dan luas, yang juga dikelilingi oleh negara-negara lain baik yang berbatasan dengan daratan maupun dengan lautan. Demikian pula dari segi geografis Indonesia yang berada pada posisi silang yang sangat strategis dalam pelayaran internasional, dapat menjadi potensi sengketa tentang masalah-masalah kelautan.

5.8 Perairan Indonesia

Sejak diumumkannya Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Indonesia terus memperjuangkan agar konsepsi hukum negara kepulauan diterima dan diakui masyarakat internasional. Perjuangan tersebut akhirnya telah menghasilkan pengakuan masyarakat internasional secara universal (semesta) yaitu dengan diterimanya pengaturan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan (Archipelagic State) dalam Bab IV Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982. Konvensi tersebut telah diratifikasi oleh Pemerintah dengan Undang- undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut).

Perubahan kedudukan Negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan membawa implikasi yang sangat luas tidak saja terhadap kepentingan nasional, tetapi juga terhadap kepentingan internasional di perairan Indonesia. Pengakuan dunia internasional terhadap asas negara kepulauan sebagai penjelmaan aspirasi bangsa Indonesia, membawa konsekuensi bahwa Indonesia juga harus menghormati hak-hak masyarakat internasional di perairan yang kini menjadi perairan nasional, terutama hak lintas damai dan hak lintas alur laut kepulauan bagi kapal-kapal asing.

(30)

Setelah masyarakat dunia yakin bahwa dengan tindakannya ini Indonesia tidak ber-maksud mengurangi hak-hak dunia pelayaran yang sah dan tercapai suatu keseimbangan antara keinginan Indonesia untuk mengamankan keutuhan wilayahnya dan menguasai sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di satu pihak, dan kepentingan dunia pelayaran internasional di pihak lain, asas negara kepulauan ini akhirnya diterima dunia internasional.

Ditinjau dari segi ketatanegaraan, Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 dan Undang-Undang Nomor 4/Prp./Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia merupakan tonggak sejarah dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang kemudian diakui oleh dunia internasional dengan dimuatnya asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam BAB IV Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982.

Ketentuan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam Konvensi ter-sebut mengandung berbagai pengembangan dari konsepsi negara kepulauan sebagai-mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4/Prp./ Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Salah satu pengembangan tersebut adalah dengan diakuinya garis pangkal lurus kepulauan, di samping garis pangkal biasa dan garis pangkal lurus sebagai cara pengukuran garis pangkal kepulauan Indonesia. Berdasarkan cara pengukuran tersebut, maka dalam wilayah perairan Indonesia terdapat lebih kurang 17.480 pulau yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia.

Dengan demikian, alasan yang mendorong bangsa Indonesia untuk mencetuskan asas negara kepulauan kemudian mengundangkannya, sampai saat ini masih tetap relevan. Akan tetapi dengan berkembangnya berbagai kepentingan dan kegiatan di perairan Indonesia, maka kepentingan nasional dan internasional di perairan Indonesia perlu ditata, diamankan dan dikembangkan secara terarah dan bijaksana sesuai dengan tujuan pembangunan nasional. Selain kepentingan pertahanan-keamanan, persatuan- kesatuan, dan ekonomi, juga perlindungan lingkungan terhadap bahaya pencemaran dan pelestariannya serta kepentingan pengelolaan dan pemanfaatan di perairan Indonesia, dirasakan semakin mendesak.

(31)

5.8.1 Perikanan

Selanjutnya sebagai konsekuensi hukum atas diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of the Sea 1982 menempatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki hak untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.

Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudi daya-ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumber daya ikan.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan sudah tidak dapat mengantisipasi perkembangan pembangunan perikanan saat ini dan masa yang akan datang, karena di bidang perikanan telah terjadi perubahan yang sangat besar, baik yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern, sehingga pengelolaan perikanan perlu dilakukan secara berhati-hati dengan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan.

Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas perikanan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan di bidang perikanan secara berdaya guna dan berhasil guna.

Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian

(32)

hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan. Undang-Undang ini lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan demikian perlu diatur secara khusus mengenai kewenangan penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menangani tindak pidana di bidang perikanan.

5.8.2 Pemerintahan daerah

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.

Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di daerah otonom untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan untuk kepentingan nasional/berskala nasional, misalnya dalam bentuk kawasan cagar budaya, taman nasional, pengembangan industri strategis, pengembangan

(33)

teknologi tinggi seperti pengembangan tenaga nuklir, peluncuran peluru kendali, pengembangan prasarana komunikasi, telekomunikasi, transportasi, pelabuhan dan daerah Peraturan Daerahgangan bebas, pangkalan militer, serta wilayah eksploitasi, konservasi bahan galian strategis, penelitian dan pengembangan sumber daya nasional, laboratorium sosial, lembaga pemasyarakatan spesifik. Pemerintah wajib mengikutsertakan pemerintah daerah dalam pembentukan kawasan khusus tersebut.

Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintahan yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah. Dengan demikian setiap urusan pemerintahan yang bersifat concurrent senantiasa ada urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, ada urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Provinsi, dan ada urusan yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota.

Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi: eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan.

Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar; sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.

Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan Pemerintah.

(34)

Selain itu yang dimaksud dengan keserasian hubungan yakni bahwa pengelolaan urusan pemerintahan yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan koneksi), saling tergantung (inter-dependensi), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan.

Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan keikutsertaan Daerah atau Desa termasuk masyarakatnya atas penugasan atau kuasa dari Pemerintah atau pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah di bidang tertentu.

5.8.3 Penataan ruang

Secara geografis, letak Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berada di antara dua benua dan dua samudera sangat strategis, baik bagi kepentingan nasional maupun internasional. Secara ekosistem, kondisi alamiah Indonesia sangat khas karena posisinya yang berada di dekat khatulistiwa dengan cuaca, musim, dan iklim tropis, yang merupakan aset atau sumber daya yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Di samping keberadaan yang bernilai sangat strategis tersebut, Indonesia berada pula pada kawasan rawan bencana, yang secara alamiah dapat mengancam keselamatan bangsa. Dengan keberadaan tersebut, penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional harus dilakukan secara komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu, efektif, dan efisien dengan memperhatikan faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan kelestarian lingkungan hidup.

Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, sebagai tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya, pada dasarnya ketersediaannya tidak tak terbatas. Berkaitan dengan hal tersebut, dan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan

Wawasan nusantara dan ketahanan nasional dalam Undang-Undang tata ruang mengamanatkan perlunya dilakukan penataan ruang yang dapat mengharmoniskan lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan, serta yang dapat memberikan pelindungan terhadap fungsi ruang dan

Gambar

Gambar 12 Peta Lokasi penelitian perbatasan negara Indonesia dan Filipina
Gambar 13 Pelaku dan hasil kejahatan di wilayah laut perbatasan negara Pelaku  illegal  fishing  menggunakan  BBM  bersubsidi,  di  mana  kerugian  negara  akibat  menggunakan  BBM  bersubsidi  mencapai  Rp
Gambar 14 Pulau Marore
Gambar 15 Pulau Miangas
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penyuluhan kesehatan adalah penambahan pengetahuan dan kemampuan seseorang melalui teknik praktik belajar atau instruksi dengan tujuan mengubah atau mempengaruhi

Kerugian penurunan nilai yang diakui dalam periode sebelumnya akan dipulihkan apabila nilai tercatat aset tidak melebihi jumlah terpulihkannya maupun nilai

Dari penjelasan diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis variabel Pelatihan, Kepuasan Kerja, dan Teamwork terhadap Kinerja Karyawan, dan

the seeds of entrepreneurship. Small industries have a system that is relatively simple,uncomplicated, and easlly digested by the student. Students can study a

Dari sekelumit pro dan kontra mengenai ACFTA memang pada keadaan di lapangan memang lebih banyak merugikan para pengusaha kecil, karena barang-barang yang berasal dari China dengan

Menimbang, bahwa setelah Hakim tingkat banding mempelajari dengan seksama berkas perkara yang dimohonkan banding oleh Jaksa Penuntut Umum yang terdiri dari Berita

[r]

Lampau waktu, musnahnya barang atau tlh diselesaikannya usaha yg mjd pokok persekutuan perdata, kehendak dr seorang atau bbrp org sekutu, salah seorang sekutu meninggal