PRAMESTI NUGRAHENI
EVALUASI EFEK KOMBINASI
MEDETOMIDIN-ACEPROMAZIN SEBAGAI AGEN ANESTESI GENERAL
PADA KUCING LOKAL
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Efek Kombinasi Medetomidin-Acepromazin sebagai Agen Anestesi General pada Kucing Lokal adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015 Pramesti Nugraheni NIM B04110132
ABSTRAK
PRAMESTI NUGRAHENI. Evaluasi Efek Kombinasi Medetomidin-Acepromazin sebagai Agen Anestesi General pada Kucing Lokal Indonesia. Dibimbing oleh Drh ANDRIYANTO, MSi dan Drh ABADI SOETISNA, MSi
Kucing lokal merupakan salah satu hewan kesayangan yang banyak dipelihara masyarakat Indonesia. Berbagai penyakit sering muncul pada pemeliharaan kucing lokal dan tidak jarang membutuhkan tindakan bedah. Pada kasus yang memerlukan tindakan pembedahan, anestesi mutlak diperlukan sebagai sediaan penghilang rasa sakit. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi efek kombinasi sediaan anestesi acepromazin dan medetomidin terhadap onset, durasi, dan kondisi fisologis pada kucing lokal. Dua puluh empat kucing lokal jantan, berumur sekitar 1,5 sampai dengan 2,5 tahun, dengan bobot badan berkisar antara 3 kg sampai dengan 5 kg dibagi menjadi empat perlakuan dan enam ulangan. Perlakuan tersebut ialah kucing percobaan yang tidak diberikan anestesi (kontrol), kucing percobaan yang disuntik acepromazin 0.75 mg/kg BB (perlakuan I), kucing percobaan yang disuntik medetomidin 0.05 mg/kg BB (perlakuan II), dan kucing percobaan yang disuntik acepromazin 0.75 mg/kg BB dan sesaat setelahnya disuntik dengan medetomidin 0.05 mg/kg BB (perlakuan III). Sediaan tersebut diberikan secara intramuskuler pada perlakuan I, II, dan III. Parameter yang diamati terdiri atas onset (rasa nyeri, tonus otot, sedasi, kesadaran, emetik, refleks pedal dan pupil), durasi (rasa nyeri, tonus otot, sedasi, kesadaran, refleks pedal, dan pupil), dan kondisi fisiologis (frekuensi napas, frekuensi jantung, dan suhu rektal). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kucing percobaan yang disuntik kombinasi acepromazin-medetomidin memiliki onset yang lebih cepat dibandingkan medetomidin dan mempunyai durasi yang sama dengan sediaan tunggal (acepromazin dan medetomidin). Kombinasi medetomidin acepromazin dapat mengurangi penurunan frekuensi jantung yang disebabkan oleh medetomidin. Pemberian acepromazin dan medetomidin secara tunggal maupun dikombinasi secara signifikan menurunkan frekuensi pernapasan dan suhu retal. Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini ialah kombinasi acepromazin dan medetomidin efektif digunakan sebagai alternatif sediaan sedatif pada kucing lokal Indonesia.
ABSTRACT
PRAMESTI NUGRAHENI. Evaluation of medetomidine-acepromazine combination effect as a general anesthetics agent in Indonesia domestic cat. Supervised by Drh ANDRIYANTO, MSi and Drh ABADI SOETISNA, MSi
Domestic cat are very popular cat in today’s society. Many diseases often appear and require surgical actions that need anesthesia as sedation and pain relief. The onset (pain, muscle tone, sedation, consciousness, emetic, reflexes pedals and pupil), duration (pain, sedation, muscle tone, consciousness, reflexes pedals, and pupil), and physiological conditions (frequency of breath, heart rate, and rectal temperature) of domestic cat were evaluate to see the effects of the combination of acepromazine and medetomidine. This research used 24 male cats, about 1.5-2.5 years old and 3 kg up to 5 kg. divided into four groups and six repititions. The groups are experimental cats were not given anesthesia (control), experimental cats that injected acepromazine 0.75 mg/kg (group I), experimental cats that injected medetomidine 0.05 mg/kg (group II), and experimental cats that injected acepromazine 0.75 mg/kg and shortly afterwards injected by 0.05 mg/kg medetomidine (group III). The dosage given via intramuscular. This study shows combination of acepromazine-medetomidine has a faster onset than medetomidine and has equal duration as acepromazine and medetomidin in single dose. The combination can reduce the decrease of heart rate caused by medetomidine. Acepromazine, medetomidine, dan the combination of acepromazine and medetomidine significanly decrase frequency of breath and rectal temperature. The conclusions is combination of acepromazine and medetomidine can be use effetively as an altenative sedative agent in Indonesian domestic cat.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
EVALUASI EFEK KOMBINASI
MEDETOMIDIN-ACEPROMAZIN SEBAGAI AGEN ANESTESI GENERAL
PADA KUCING LOKAL INDONESIA
PRAMESTI NUGRAHENI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2015
PRAKATA
Segala puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan berkah berlimpah bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan tepat waktu. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Maret 2015 di Unit Pengelola Hewan Laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Sembah sujud dan terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Minggir Junaidi dan Ibu Sri Murtining atas segala kasih sayang, pengorbanan, perjuangan, dan motivasi yang diberikan sehingga penulis dapat menuntut ilmu hingga memperoleh gelar sarjana. Rasa terima kasih tidak lupa penulis ucapkan kepada Drh Andriyanto, MSi dan Drh Abadi Soetisna, MSi selaku pembimbing karya ilmiah yang dengan teliti dan sabar mau membimbing penulis dari awal pencarian judul proposal hingga akhir penulisan skripsi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drh Mokh. Fakhrudin, Ph.D selaku pembimbing akademik yang selalu mendukung dan menyokong penulis dalam 4 tahun ini,
Terima kasih kepada Drh Aulia Andi Mustika, MSi, Drh Ridi, Drh Krido, Pak Dikdik, Mas Angga, seluruh staf Unit Pengelolaan Hewan Laboratorium serta rekan-rekan satu tim penelitian (Gusti dan Dedi) yang telah membantu serta mendukung dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan tugas akhir. Tak lupa rasa terima kasih kepada keluarga besar Ganglion 48 yang bersama-sama berjuang dalam menempuh pendidikan di FKH IPB. Selanjutnya rasa terimakasih penulis ucapkan kepada sahabat-sahabat seperjuangan Ristia, Erdina, Reinilda, Raguel dan penghuni Cempaka 13 yang selalu memberikan dukungan dan semangat, serta semua individu dan pribadi di IPB yang telah berkontribusi atas terbentuknya diri penulis sekarang ini. Tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari kekurangan dalam penulisan karya ilmiah ini dan mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penelitian selanjutnya. Terlepas dari kekurangan yang ada, penulis berharap karya tulis ini dapat bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 METODE 4Waktu dan Tempat Penelitian 4
Alat dan Bahan 4
Prosedur Penelitian 4
HASIL DAN PEMBAHASAN 6
Onset anestesi 6
Durasi anestesi 7
Denyut jantung 8
Frekuensi pernapasan 9
Suhu Rektal 10
SIMPULAN DAN SARAN 11
Simpulan 11
Saran 11
DAFTAR PUSTAKA 11
DAFTAR TABEL
1 Rataan onset hilangnya rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, refleks pupil, timbulnya sedasi, emetik, dan onset sempurna (menit ke-) 6 2 Rataan durasi rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, refleks
pupil, sedasi dan durasi umum) 7
DAFTAR GAMBAR
1 Struktur kimia medetomidine 4
2 Hubungan antara frekuensi jantung per menit pada kucing perlakuan
pada berbagai waktu pengamatan 8
3 Hubungan antara frekuensi jantung per menit pada kucing perlakuan
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kucing lokal (Felis domestica) merupakan salah satu dari sekian banyak hewan yang dapat dijadikan hewan kesayangan oleh masyarakat Indonesia. Berbagai masalah sering mucul pada pemeliharaan kucing lokal, di antaranya adalah timbulnya penyakit-penyakit yang dalam penangannya memerlukan tindakan bedah sehingga sediaan anestesi mutlak diperlukan. Anestesi dapat didefinisikan sebagai hilangnya sensasi rasa nyeri dari sebagian tubuh (anestesi lokal) dan seluruh tubuh (anestesi umum) sebagai akibat dari kerja obat yang mendepres aktivitas sebagian atau seluruh sistem saraf (Cornick 1994). Banyak sediaan telah diketahui memiliki efek anestesi, namun hanya beberapa yang aman digunakan dalam tindakan operasi.
Salah satu sediaan yang banyak digunakan sebagai agen sedatif dan analgesik adalah medetomidin. Medetomidin merupakan sediaan agonis α2
-adrenoreceptor yang banyak digunakan pada kucing (Granholm et al. 2006). Sediaan ini telah dipasarkan secara luas beberapa tahun belakangan sebagai sedatifa dan analgesia pada hewan kecil di Eropa (Cullen 1996). Medetomidin dapat menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah, bradikardi, dan cardiac arrest (Vaisanen et al. 2002). Selain itu, medetomidin memiliki efek samping muntah.
Sampai saat ini sediaan medetomidin belum banyak digunakan di Indonesia. Medetomidin menjadi pilihan utama sebagai sediaan anestesi sebab sediaan ini memiliki antidota atipamezol. Atipamezol merupakan antagonis α2
-adrenoreceptor yang dapat dengan cepat mengembalikan kondisi fisiologis normal kembali pasca penyuntikan medetomidin (Hall 1996).
Sediaan lain yang banyak digunakan sebagai agen sedatif pada hewan kecil adalah acepromazin. Acepromazin merupakan derivat dari phenothiazine, yang dapat menginduksi ketenangan ringan hingga sedang, relaksasi otot, dan mengurangi aktivitas spontan terutama diakibatkan oleh antagonis pusat dopaminergik (Lemke 2007). Acepromazin banyak digunakan untuk restrain hewan kecil, namun tidak cocok digunakan pada hewan agresif karena hanya menghasilkan sedatif ringan, yaitu dengan durasi yang relatif cepat dan onset yang relatif lama (Vaisanen et al. 2002; Vesal et al. 2011). Acepromazin memiliki efek antiaritmia (Dyson dan Petiffer 1997) dan antiemetik (Valverde et al. 2004).
Penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan efektivitas anestesi medetomidin dan acepromazin dengan mengkombinasikan sediaan tersebut. Penyuntikan kombinasi medetomidin dan acepromazin diharapkan dapat memperbaiki onset, durasi, dan kondisi fisiologis.
Perumusan Masalah
Sediaan anestesi mutlak diperlukan dalam tindakan pembedahan. Aman merupakan syarat utama dari sediaan anestesi, aman bagi hewan, manusia, maupun lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai keamanan sediaan anestesi. Medetomidin dan acepromazin merupakan sediaan yang banyak
2
digunakan sebagai sediaan sedasi. Kombinasi medetomidin dan acepromazin memiliki potensi sebagai sediaan sedasi yang lebih baik dibandingkan dengan sediaan tersebut digunakan tunggal apabila digunakan pada kucing lokal Indonesia.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas penyuntikam sediaan acepromazin dan medetomidin dalam memperbaiki onset, durasi, dan kondisi fisologis dengan menggunakan hewan percobaan kucing lokal Indonesia.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil melalui penelitian ini adalah menambah data mengenai efek anestesi kombinasi acepromazin dan medetomidin pada kucing lokal Indonesia. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat berguna bagi dokter hewan dan pendidikan kedokteran hewan dalam menggunakan sediaan acepromazin dan medetomidin serta menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut.
TINJAUAN PUSTAKA
Kucing Lokal
Kucing lokal adalah satu dari sekian banyak hewan yang dijadikan sebagai hewan kesayangan untuk pemenuhan kesenangan ataupun hobi. Selain karena mudah ditemukan di lingkungan sekitar kita, kepemilikan kucing lokal yang banyak di Indonesia dipengaruhi oleh perawatannya yang tidak telalu mahal dan jinak, daya adaptasi serta kemampuan reproduksi dan mempertahankan diri yang baik dalam lingkungan hidupnya (Noviana et al. 2009).
Kucing digolongkan ke dalam Kelas Mamalia, Ordo Karnivora, Superfamili Feloidea, dan Famili Felidae. Seluruh Ordo Karnivora hampir semuanya merupakan pemakan daging (Aditya 2006). Kucing yang dipelihara sekarang merupakan kucing domestik dengan nama Felis catus atau Felis dometicus. Kucing memiliki panjang tubuh 76 cm, berat tubuh pada betina 2 – 3 kg, yang jantan 3 – 4 kg dan lama hidup berkisar 13 – 17 tahun. Gen yang berperan dalam penampakan bulu panjang ditentukan oleh gen resesif (ll), sedangkan kucing berbulu pendek memiliki sepasang gen dominan (LL) (Noor 1996).
Anestesi
Anestesi adalah hilangnya seluruh rasa nyeri dari bagian tubuh (anestesi lokal) atau seluruh tubuh (anestesi umum) sebagai akibat dari kerja obat yang mendepres aktivitas sebagian atau seluruh sistem saraf (Cornick 1994). Anestesi
3
general terdiri dari beberapa tahapan atau periode, yaitu tahap preanestesi, induksi, pemeliharaan, dan pemulihan (recovery) (McKelvey & Hollingshead 2003). Anestesi general dapat meliputi ketidaksadaran, hilangnya rasa nyeri, dan relaksasi otot. Indikasi dari penggunaan sediaan anestesi yaitu pada operasi atau prosedur diagnostik yang menyakitkan, untuk mengurangi rasa sakit pasien dan risiko operator, juga pada prosedur melumpuhkan pasien (Pawson & Forsyth 2008).
Acepromazin
Acepromazin merupakan derivat dari phenothiazine, sediaan ini merupakan agen neuroleptik yang poten dan toksisitasnya rendah. Acepromazin menginduksi ketenangan ringan hingga sedang, relaksasi otot, dan mengurangi aktivitas spontan terutama diakibatkan oleh antagonis pusat dopaminergik. Acepromazin juga memiliki efek antiemetik, antikonvulsan, antispasmodik, hipotensi, dan hipotermik (Lemke 2007). Menurut Gross (2001), phenothiazine dapat mencegah terjadinya muntah yang disebabkan oleh obat lain meskipun dalam jumlah yang sangat kecil. Pada hewan kecil acepromazin banyak digunakan untuk restrain (Vaisanen et al. 2002). Namun, sediaan ini tidak cocok digunakan pada hewan yang agresif karena phenotiazine hanya menghasilkan sedatif ringan, semakin tinggi dosis acepromazin tidak meningkatkan efek sedasinya, namun memperpanjang efek sampingnya (Vesal et al. 2011).
Medetomidin
Medetomidin [±4-(1-(2,3-dimethylphenyl)ethyl)-1H-imidazole] merupakan sediaan yang poten dan spesifik agonis α2-adrenoreceptor dan telah dipasarkan
secara luas beberapa tahun belakangan sebagai sedatifa dan analgesia pada hewan kecil (Cullen 1996). Gambar 1 menunjukkan struktur kimia dari medetomidin. Sediaan ini memiliki efek analgesik, sedatif, hipnosis, dan muscle relaxan tergantung dosis yang diberikan, efek yang dihasilkan mirip dengan xylazin dan detomidin (Mpanduji et al. 2001; Murell dan Hellbekers 2005). Reseptor α1/ α2
yang selektif untuk medetomindin adalah 1620 sedangkan untuk xylazin adalah 160, detomidin 260, dan clonidin 220 (Virtanen 1989). Medetomidin juga dilaporkan lebih lipofilik dibandingkan dengan xylazin, detomidin atau clonidin (Savola et al 1986). Mekanisme kerjanya adalah stimulasi dari α2 presinaptik tipe
A adrenoreceptor yang menyebabkan terhambatnya pelepasan norepinefrin (Scheinin et al. 1989). Mekanisme ini, di tingkat “locus coeruleus, menghasilkan efek sedasi. Pada saraf perifer, medetomidin menstimulasi post dan extrasinaptik α2-adrenoreceptor tipe B yang berlokasi di otot halus dari arteriol, yang
menyebabkan vasokonstriksi serta peningkatan tekanan darah (Dugdale 2010). Medetomidin menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah, bradikardi dan cardiac arrest (Vaisanen 2002). Selain itu, medetomidin menyebabkan muntah sebagai efek sampingnya. Medetomidin menjadi populer digunakan karena ketersediaan atipamezol yang merupakan antagonis α2-adrenoreceptor, atipamezol
4
Gambar 1 Struktur kimia medetomidine (Vainio et al. 1989)
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan bulan Maret 2015. Penelitian dilakukan di kandang Unit Pengelola Hewan Laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian adalah kandang kucing, tempat pakan kucing, litter box, kantong plastik, dysposable syring, kapas, stetoskop, termometer digital elastik, pinset syrurgis, penlight, sarung tangan, dan masker. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kucing jantan sebanyak 24 ekor; pakan kucing kering (Whiskas®, Mars Inc., US) dengan komposisi nutrisi
protein kasar (min. 31.5%), lemak kasar (min 9.5%, max 11.5%), serat kasar (max 6%), kelembaban (max 12%), asam linoleat (min 1.4%), magnesium (min. 0.1%), zinc (min. 150 mg/kg), vitamin A (min. 11,000 IU/kg), vitamin E (min. 150 IU/kg), dan taurin (min 0.1%); air minum (Aqua®, Danone, FR) diberikan ad
libitum; litter kucing; obat cacing pirantel pamoat (Combantrin®, Pfizer, CA); disinfektan; sediaan anestesi per-injeksi acepromazin meleate (Castran®, Interchemie, NL) dan sediaan medetomidin (Medetin®, Dong Bang, KR); dan
alkohol 70%.
Prosedur Penelitian
Tahap Persiapan
Dua puluh empat kucing lokal berjenis kelamin jantan, berumur sekitar 1,5 sampai dengan 2,5 tahun, dengan bobot badan berkisar antara 3 kg sampai dengan 5 kg disiapkan dan diaklimatisasi selama dua minggu. Selama
5
aklimatisasi, kucing ditempatkan di kandang baterai yang telah didesinfeksi. Kucing percobaan diberi pakan kering dan air minum disediakan ad libitum. Kucing juga diberi obat cacing dengan dosis 25mg/kg BB peroral pada masa ini untuk mengeliminasi parasit cacing dari tubuh kucing.
Tahap perlakukan
Dua puluh empat kucing pada pada penelitian ini dibagi menjadi empat perlakuan dan setiap perlakuan tersebut diulang sebanyak enam kali. Perlakuan tersebut ialah kucing percobaan yang tidak diberikan anestesi (kontrol), kucing percobaan yang disuntik acepromazin dosis 0.75 mg/kg BB secara IM (perlakuan I), kucing percobaan yang disuntik medetomidin dosis 0.05 mg/kg BB secara IM (perlakuan II), dan kucing percobaan yang disuntik acepromazin dosis 0.75 mg/kg BB secara IM dan sesaat setelahnya disuntik dengan medetomidin dosis 0.05 mg/kg BB secara IM (perlakuan III). Sebelum diberikan perlakuan, kucing percobaan dipuasakan selama 12 jam.
Pengambilan data
Data dalam penelitian ini diperoleh melalui pengamatan terhadap rasa nyeri, tonus otot, efek sedatif, kesadaran, refleks pedal, refleks pupil, frekuensi jantung, frekuensi napas, dan suhu rektal. Pengamatan terhadap rasa nyeri, tonus otot, efek sedatif, kesadaran, refleks pedal, refleks pupil dilakukan setiap 3 menit yang dimulai pada saat sebelum pemberian perlakuan sampai dengan kucing sadar (recovery kembali). Sementara itu, pengamatan terhadap frekuensi jantung, frekuensi napas, dan suhu rektal dilakukan setiap 10 menit yang dimulai sebelum perlakuan sampai dengan kucing sadar (recovery kembali).
Pengamatan rasa nyeri dilakukan dengan mencubit telinga kucing menggunakan pinset syrurgis dan tonus otot diamati dengan melihat kemampuan otot kucing dalam menopang tubuhnya. Sementar itu, efek sedatif dan hilangnya kesadaran diamati dengan melihat perilaku dan kesadaran kucing dalam merespon rangsangan dari luar. Pengamatan refleks pedal dilakukan dengan mencubit ujung jari kucing dengan pinset kemudian diamati reaksinya dan pengamatan refleks pupil mata dilakukan dengan melihat reaksi pupil mata terhadap rangsangan cahaya.
Pengukuran frekuensi napas dilakukan dengan menghitung jumlah napas selama satu menit. Pengukuran frekuensi jantung dilakukan secara auskultasi dengan menggunakan stetoskop, bunyi sistol dan diastol yang terdengar dihitung sebagai satu detak jantung dan diukur jumlahnya selama satu menit. Suhu rektal diukur dengan termometer digital yang dimasukkan ujungnya ke dalam rektum kucing. Suhu rektal dinyatakan stabil ketika termometer mengeluarkan bunyi.
Parameter percobaan
Parameter yang diamati terdiri atas onset (rasa nyeri, tonus otot, efek sedatif, kesadaran, refleks pedal, dan refleks pupil), durasi (rasa nyeri, tonus otot, efek sedatif, kesadaran, refleks pedal, dan refleks pupil), dan kondisi fisiologis hewan (frekuensi napas per menit, frekuensi jantung per menit, dan suhu rektal).
6
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan one way ANOVA kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat perbedaan pada setiap perlakuan. Analisis data dilakukan menggunakan program Microsoft Excel 2010 dan IBM SPSS Statistics 19.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Onset anestesi
Onset anestesi dapat diartikan sebagai waktu yang diperlukan sejak penyuntikan obat sampai dengan hewan kehilangan kesadarannya (Mckelvey dan Hollingshead 2003). Selanjutnya, data onset dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa kucing percobaan yang disuntik kombinasi acepromazin-medetomidin memiliki onset yang lebih cepat lima belas menit dibandingkan kucing percobaan yang disuntik medetomidin (P<0.05). Penelitian sebelumnya pada anjing yang dilakukan oleh Saponaro et al. (2013) dengan menggunakan dosis 0.002 mg/kg BB medetomidin dan 0.02 mg/kg BB acepromazin diadministasikan secara intravena menyatakan bahwa pada waktu 10-20 menit pascapenyuntikan, nilai sedasi pada perlakuan dengan kombinasi acepromazin dan medetomidin lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan medetomidin saja atau acepromazin saja. Kombinasi medetomidin dan acepromazin (Tabel 1) efektif untuk diterapkan pada tindakan pembedahan sebab kombinasi ini bekerja secara sinergis mempercepat onset dari medetomidin.
Salah satu efek samping dari medetomidin adalah terjadinya muntah setelah diadministrasikan. Pada penelitian ini emetik terjadi pada kucing yang disuntik Tabel 1 Rataan onset hilangnya rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, refleks pupil, timbulnya sedasi, emetik, dan onset sempurna (menit ke-)
Kontrol Medetomidin Acepromazin Acepromazin-Medetomidin P<0.05 Rasa nyeri 90.0±0.0a 87.5±28.1a 90.0±0.0a 75.5±15.8a 0.003 Tonus otot 90.0±0.0c 24.0±13.0b 90.0±0.0c 9.0±3.8a 0.000 Kesadaran 90.0±0.0c 24.0±13.0b 90.0±0.0 c 9.0±3.8 a 0.000 Refleks pedal 90.0±0.0c 23.0±13.5b 90.0±0.0c 9.0±3.8a 0.000 Refleks pupil 90.0±0.0a 87.5±28.1a 90.0±0.0a 75.5±15.8a 0.003 Sedasi 90.0±0.0c 24.0±13.0b 14.5±2.2 a 9.0±3.8 a 0.001 Emetik 0.0±0.0 a 10.50±6.7 b 0.0±0.0 a 3.2±1.5 a 0.000 Onset sempurna 90.0±0.0c 24.5±13.2b 14.5±2.3a 9.0±2.79a 0.000
Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada P<0.05
7
medetomidin dan kombinasi acepromazin-medetomidin. Waktu setelah penyuntikan sampai dengan terjadinya muntah kelompok kucing yang disuntik kombinasi medetomidin-acepromazin lebih cepat dibandingkan dengan kelompok kucing yang disuntik medetomidin. Golongan phenotiazine, termasuk acepromazin dapat mencegah terjadinya muntah yang disebabkan oleh kombinasi dengan sediaan lain walaupun dalam jumlah yang sangat kecil (Gross 2011). Pada penelitian ini, kelompok kucing yang disuntik kombinasi acepromazin dan medetomidin masih menunjukkan efek muntah. Ini berarti bahwa pemberian acepromazin tidak dapat mencegah muntah yang diakibatkan oleh medetomidin pada kucing lokal Indonesia. Penghambatan muntah pada kelompok yang disuntik dengan acepromazin ditentukan oleh waktu penyuntikan (Valverde et al. 2004).
Durasi Anestesi
Durasi adalah keadaan lamanya hewan teranestesi sampai menunjukkan tanda-tanda kesadaran kembali (recovery). Stadium ini dimulai ketika stadium anestesi berakhir dan konsentrasi zat anastetikum yang terdapat di otak berkurang (McKelvey & Hollingshead 2003). Durasi anestesi pada penelitian ini diamati sejak mulai hilangnya rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, dan muculnya efek sedasi sampai dengan tanda-tanda tersebut teramati kembali.
Berdasarkan Tabel 2 durasi kucing yang disuntik medetomidin, aceproamazin, dan kombinasi acepromazin medetomidin memiliki nilai yang sama, hal ini diduga berkaitan dengan dosis. Dilaporkan bahwa efek sedasi dari agonis α2-adrenoreseptor bergantung terhadap dosis yang diadministrasikan
sedangkan semakin tinggi dosis acepromazin tidak meningkatkan efek sedasinya (Pypendrop dan Verstegen 1998; Vesal et al. 2011) sehingga dapat dikatakan bahwa sediaan acepromazin tidak mempengaruhi durasi kucing yang disuntik dengan kombinasi acepromazin medetomindin.
Medetomidin merupakan sediaan yang banyak digunakan pada kucing karena efeknya sebagai agen sedatif, analgesia, dan relaksasi otot ( Mpanduji et al 2001). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada kelompok kucing yang
Tabel 2 Rataan durasi rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, refleks pupil, sedasi dan durasi umum
Kontrol Medetomidin Acepromazin Acepromazin-Medetomidin P<0.05 Rasa nyeri 0.0±0.0a 0.0±0.0a 0.0±0.0a 0.0±0.0a 0.000 Tonus otot 0.0±0.0a 63.0±23.8b 0.0±0.0a 66.5±18.4b 0.001 Kesadaran 0.0±0.0a 62.5±22.7b 0.0±0.0a 66.0±19.1b 0.001 Refleks pedal 0.0±0.0a 63.0±25.4b 0.0±0.0a 55.5±19.9b 0.001 Refleks Pupil 0.0±0.0a 0.0±0.0a 0.0±0.0a 0.0±0.0a 0.000 Sedasi 0.0±0.0a 63.5±23.6b 75.5±2.2b 66.5±18.4b 0.002 Durasi umum 0.0±0.0a 63.0±63.0b 75.5±2.2b 66.5±18.4b 0.002
Keterangan : Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada P<0.05
8
disuntik kombinasi medetomidin tidak menunjukkan efek analgesia, hal ini diduga berkaitan dengan dosis medetomidin yang diadministrasikan (Murrel dan Hellbekers 2005, Vainio et al 1989).
Denyut Jantung
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan anestesi adalah mempertahankan fungsi fisiologis penting terutama denyut jantung, frekuensi napas, dan suhu tubuh. Grafik garis pada Gambar 2 menunjukkan hubungan antara frekuensi jantung terhadap waktu selama berlangsungnya anestesi.
Gambar 2 Hubungan antara frekuensi jantung per menit pada kucing perlakuan pada berbagai waktu pengamatan ( kucing kontrol, kucing yang disuntik acepromazin, kucing yang disuntik medetomdin, kucing yang disuntik kombinasi acepromazin dan medetomidin)
Gambar 2 menunjukkan bahwa penyuntikan medetomidin pada kucing lokal menyebabkan penurunan frekuensi jantung dan mencapai titik terendah pada menit ke-100 sedangkan kucing yang disuntik dengan acepromazin miliki pola hubungan frekuensi jantung dan waktu yang hampir sama dengan kelompok kucing kontrol. Kucing yang disuntik dengan kombinasi acepromazin dan medetomidin memiliki pola penuruan frekuensi jantung yang signifikan pada 10 menit pertama namun berangsur naik dan stabil pada menit-menit berikutnya. Frekuensi jantung kucing yang mendekati kelompok kontrol secara berurutan ialah kelompok kucing yang disuntik acepromazin, kelompok kucing yang disuntik kombinasi medetomidin dan acepromazin, dan kelompok kucing yang disuntik medetomidin.
Medetomidin menyebabkan peningkatan systemic afterload dan subsequent bradycardia, sinus arrest dan hambatan atriovetrikular (AV), bradiaritmia dan gangguan konduksi sebagai akibat dari meningkatnya tonus vagus yang dihasilkan
9
dari stimulasi baroreseptor dan penurunan fungsi saraf simpatis (Sinclair 2003).Sedangkan acepromazin merupakan sediaan yang memblokade α1
-adrenoreseptor di pembuluh darah perifer menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah, sehingga mengurangi hambatan vaskular dan meningkatkan frekuensi denyut jantung (Paddleford 2000; Monteiro et al. 2007). Kombinasi medetomidin dengan acepromazin dapat mengurangi dampak kardiovaskular yang disebabkan oleh penggunaan medetomidin dan efektif apabila digunakan dalam praktik klinik (Saponaro et al. 2013).
Frekuensi Pernapasan
Salah satu fungsi fisiologis yang perlu diamati adalah frekuensi pernapasan. Hubungan antara nilai rata-rata frekuensi pernapasan per menit dengan waktu ditunjukan oleh grafik garis pada Gambar 3.
Gambar 3 Hubungan antara frekuensi napas per menit pada kucing perlakuan pada berbagai waktu pengamatan ( kucing
kontrol, kucing yang disuntik acepromazin , kucing yang disuntik medetomdin, kucing yang disuntik kombinasi acepromazin dan medetomidin
Gambar 3 menunjukkan bahwa frekuensi napas pada semua perlakuan mengalami penurunan dibandingkan kontrol. Pola penurunan frekuensi respirasi antara kucing yang disuntik dengan acepromazin dan kucing yang disuntik medetomidin hampir sama sedangkan pola frekuensi respirasi pada kucing yang disuntik dengan kombinasi aceproamazin dan medetomidin cenderung fluktuatif. Monteiro et al. (2008) menyebutkan bahwa obat dalam golongan phenothiazine dan agonis α2-adrenoreceptor menyebabkan penurunan
fungsi paru-paru pada anjing namun tidak secara signifikan sehingga kombinasi acepromazin-medetomidin tidak menyebabkan penurunan fungsi pernapasan yang
10
drastis dan obat bekerja secara sinergis. Efek kedua sediaan ini terhadap fungsi respirasi dipengaruhi oleh agen, dosis, dan rute administrasi. Selain itu, efek kombinasi dipengaruhi oleh jenis obat yang dikombinasikan.
Suhu Rektal
Gambar 4 menunjukan grafik garis yang merupakan hubungan antara suhu rektal pada kucing perlakuan pada berbagi waktu pengamatan.
Gambar 4 Hubungan antara suhu rektal pada kucing perlakuan pada berbagi waktu pengamatan.( Kucing Kontrol, Kucing yang disuntik acepromazin , Kucing yang disuntik medetomdin, Kucing yang disuntik kombinasi acepromazin dan medetomidin)
Berdasarkan Gambar 4 menunjukkan bahwa terjadi penurunan suhu rektal kucing pada semua perlakuan dengan pola penurunan yang hampir sama, sedangkan suhu rektal kelompok kucing kontrol cenderung lebih tinggi. Hal ini diduga disebabkan oleh peningkatan aktivitas hewan dan peningkatan suhu lingkungan. Penurunan suhu rektal akibat medetomidin terjadi karena penurunan aktivitas otot dan produksi panas tubuh oleh adanya gangguan pada mekanisme termoregulator (Virtenen 1989). Sementara itu, penurunan suhu akibat acepromazin dipengaruhi oleh gangguan pada mekanisme termoregulator, selain itu vasodilatasi pada pembuluh darah di kulit juga menyebabkan tubuh kehilangan panas lebih banyak (Hall et al. 2001). Pada kelompok kucing yang disuntik dengan kombinasi acepromazin dan medetomidin diduga kedua obat bekerja secara sinergis sehingga penurunan suhu rektal selama anestesi memiliki pola yang sama dengan pola kedua obat apabila tidak dikombinasikan.
11
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kombinasi acepromazin dan medetomidin efektif digunakan sebagai alternatif sediaan sedatif pada kucing lokal Indonesia. Kombinasi medetomin dan acepromazin dapat mempercepat onset meskipun tidak mempengaruhi durasi secara signifikan. Acepromazin sebagai antiemetikum tidak mampu mencegah terjadinya emetikum pada perlakuan kombinasi. Kombinasi medetomidin-acepromazin dapat mencegah bradikardia yang merupakan efek samping dari penggunaan medetomidin. Kombinasi ini juga menyebabkan penurunan frekuensi pernapasan dan suhu rektal dengan pola penurunan suhu yang hampir sama dengan kedua obat ini diadministrasikan tunggal.
Saran
Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui dosis kombinasi medetomidin-acepromazin yang paling tepat untuk diaplikasikan pada kucing lokal. Perlu juga dilakukan studi lebih lanjut mengenai efek samping interaksi kedua obat ini terhadap kucing lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Aditya N. 2006. Keragaman Kucing (Felis domesticus) di Kecamatan Bogor Tengah Berdasarkan Karakter Morfologi [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.
Cornick JL. 1994. Veterinary Anesthesia. Di dalam: Dennis MM, editor. Clinical Textbook for Veterinary Technicians. Ed ke-3. Philadelphia(US): WB Saunders.
Cullen LK. 1996. Medetomidine sedation ini dogs and cats: a review of its pharmacology, antagonism, and dose. Br.vet J. 152(5):519-535.
Dugdale. 2010. A Dugdale Veterinary Anaethesia, Principle to Practice. Oxford (UK) : Willey Blacwell
Dyson D, Pettifer G. 1997. Evaluation of the arrythmogeniciry of alow dose of acepromazine : comparison with xylazine. Can J Vet Res. 61(4):241-245 Granholm M, McKusick BC, Westerhol FC, Aspergen JC. 2006. Evaluation of the
clinical efficacy and safety of dexmedetomidine or medetomidine ini cats and their reversal with atipamezole. Vet Anaesth Analg. 33(4):214-223
12
Gross ME. 2001. Tranquillizer, alpha adrenergic agonists and related agents. Di dalam : Adam HR, editor. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Ed ke-8. Ames(US): Iowa State University Pr.
Hall LW. 1996. Medeteomidine, alpha2 adrenoreceptors and small animal practice. Br.vet.J. 152(5):493-495
Hall LW, Clarke KW, Trim CM, editor. 2001.Principle of sedation, analgesia and premedication. Di dalam : Veterinary Anaethesia. Ed Ke-10. London (UK): WB Saunders.
Lemke KA. 2007. Anticholinergics and sedatives. Di dalam : Tranquili WJ, Thurmon JC, Grimm KA, editor. Lumb and Jones Veterinary Anesthesia and Analgesia. Ed Ke-4. Iowa (US): Blackwell Pub.
McKelvey D, Hollingshead KW. 2003. Veterinary Anesthesia and Analgesia. Ed Ke-3. Missouri (US): Mosby.
Monteiro ER, Teixeira NFJ, Castro VB, Campagnol D. 2007. Effect of acepromazine on cardiovascular actions of dopamine in anesthetized dogs. Vet. Anaesth. Analg. 34(5):312-321.
Monteiro ER, Figueroa CDN, Choma JC, Campagnol D, Bettini CM. 2008. Effects of methadone, alon or in combination with acerpromazine or xylazine, on sedation and physiologic values in dogs. Vet. Anaesth. Analg. 35(6):519-527.
Mpanduji DG, Bittegeko SBP, Batamuzi EK, Mgasa MN, Shami CL. 2001. Comparison of the effects of atipamezole and tolazoline on anagesia, cardiopulmonary, and rectal temperature changes induced by lumbosacral epidural injection of medetomidine in goats. Small Ruminant Research. 40: 117-122
Murrell JC, Hellebrekers LJ. 2005. Medetomidine dan dexmedotomidine: a review of cardiovascular effects and antinociceptive proprieties in the dog. Vet. Anaesth. Analg. 32:117-127.
Noor RR. 1996. Genetika Ternak. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Noviana D, Esrawati M, Soedjono G. 2009. Pengaruh anestesi terhadap saturasi oksigen (spo2) selama enterotomi pada kucing lokal (Felis domestica). Hemera Zoa. 1(1):1-5.
Paddleford RR, editor. 2000. Manual of Small Animal Anesthesia. Ed Ke-2. Philadelphia(US): W.B. Saunders.
Pawson P & Forsyth S. 2008. Anesthetic agents. Di dalam : Maddison J. Farmacologia Animalelor Mici. Ed ke-2. Philadelphia : Electrocardiograph evaluation of the cardiovascular effects of medetomidine, acepromazine, and their combination in healthy dogs. Research in Veterinary Science : 95 (2):687-699
Pypendop BH, Verstegen JP. 1998. Hemodynamic effects of medetomidine in the dog: ad ose titration study. Vet Surg. 27:612-622.
Saponaro C, Crovace A, De Marzo L, Centoze P, Stafferi F. 2013. Echocardiographic evaluation of the cardiovascular effects of medetomidine, acepromazine and their combination in healthy dogs. Research in Veterinary Science. 95(2):687-698.
13
Savola JM, Ruskoaho H, Puurunen J, Salonen JS, Karki NT. 1986. Evidence for medetomidine as selective and potent agonists at a2-adrenoceptors. J. Auton. Pharmacol. 5:275-284.
Scheinin H, Virtanen R, Macdonald E, Lammintausta R, Scheinin M. 1989. Medetomidin-a novel α2-adrenoreceptor agonist: A review if its
pharmacodinamic effects. Prog. Neuro-Psychopharmacol. & Biol. Psychiat. 13(5):635-651
Sinclair, MD. 2003. A review og physiologica effects of α2-agonists related to clinical use of medetomidine in small animal practice. Can. Vet. J. 44(11):885-897.
Vainio O, Väha-vahe T, Palmu L. 1989. Sedative and analgesic effects of medetomidine in dogs. J. Vet. Pharmacol. Therap. 12:225-231
Vaisanen M, Reikallio M, Kuusela E, Huttumen P, Leppaluoto J, Kives P, Vainio O. 2002. Evaluatiom of the peroperative strss reponse in dogs administered medetomidine or acepromazine as part of the preanaesthetic medication. AJVR. 63(7):769-975.
Valverde A et al. 2004. Effects of acepromazine on the incidence of vomiting associated with opioid administration in dogs. Vet. Anaesth. Analg. 3(1):40-45.
Vesal N, Sarchahi AA, Nikahval B, Karampour A. 2011. Clinical evaluatiom of the sedative properties of acepromazine-xylazine combinations or without atropine and their effects on physiologic values in dogs. Veterinarski Arhiv. 81(4):485-498.
Virtanen R. 1989. Pharmalogical profiles of medetomidine and its antagonist, atipamezole. Acta Vet Scand. 85:29-37.
14
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Temanggung, Jawa Tengah pada tanggal 28 Juli 1993 dari Ayahanda Minggir Junaidi dan Ibunda Sri Murtining. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD N Prajuritan Kutoarjo, lalu melanjutkan ke SMP N 3 Purworejo dan lulus pada tahun 2008, setelah itu penulis melanjutkan pendidikan ke SMAN 1 Purworejo dan lulus pada tahun 2011 dan pada tahun yang sama melanjutkan ke Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Tulis. Selama berada di bangku perkuliahan penulis aktif di beberapa organisasi diantaranya Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan (BEM B) Divisi PSDM, Himpunan Profesi (HIMPRO) Ruminansia Divisi Pendidikan, serta Keluarga Mahasiswa Purworejo di IPB. Penulis juga pernah menjadi Asisten di Laboratorium Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Insitut Pertanian Bogor.