• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEJARAH PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA A. Warisan Kolonial

Sebelum kedatangan Belanda, pelaksanaan otonomi daerah masih dapat dikatakan asing dan tidak dilaksanakan di daerah-daerah di Indonesia. Hal ini dikarenakan kekuasaan yang masih bersifat kedaerahan dan terpisah menjadi kerajaan-kerajaan yang lebih kecil. Apalagi ini masih diperkaut dengan system monarki yang dilaksanakan kerajaan-kerajaan di Nusantara yang membuat distribusi atau pembagian kekuasaan dalam bentuk otonomi yang sederhana mungkin masih asing.

Kemudian, seperti dijelaskan oleh Kustiawan pada tulisannya Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pada masa penjajahan Belanda pada awal Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, pelaksanaan otonomi masih bersifat monopolistik dan sentralistis. Semua kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif bertumpu pada Gubernur-Jendral sebagai wakil raja Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda membagi wilayah administratifnya untuk menerapkan dekonsentrasi yang biasa disebut gewesten, afdelingan, onderafdelingan. Pada tahun 1903 pemerintahan Kerajaan Belanda menetapkan suatu Wethoudende Decentralisatie van het bestuur in Nederlandsch Indie atau yang lebih dikenal dengan sebutan Decentralisatiewet 1903. Undang-undang Desentralisasi 1903 yang tersebut di atas memiliki makna bahwa daerah bisa membentuk daerah otonom dan lembaga perwakilan seperti DPRD di luar lembaga otonom yang ada sebelumnya yaitu Swapraja dan desa yang berdasarkan hukum adat. Bersamaan dengan berkembangnya desentralisasi itu pemerintahan Hindia Belanda mengembangkan Politik Etis dalam mengembangkan daerah otonom.1 B. Masa Pendudukan Jepang

Ketika menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil 1 Kustiawan, Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Indonesia) 314-315.

(2)

menaklukkan pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta Belanda di Daerah Hindia Belanda.

Pada masa penjajahan Jepang di Indonesia antara tahun 1942-1945, menerapkan sistem dekonsentrasi dan sentralistik dengan mengadakan perubahanperubahan kecil seperti penamaan daerah dan pejabatnya serta nama lembaga kemiliteran digantikan ke dalam Bahasa Jepang seperti kaigun (pasukan angkatan laut), rikugun (Pasukan angkatan darat), Nippon Banzai (hidup Jepang), Saikosikikan (Gubernur Jendral), Gunseikan (kepala Staff), dan lain-lain. Jepang membagi Hindia Belanda menjadi 3 kekuasaan militer. Petama, Sumatera di bawah Komando Panglima Angkatan Darat XXV (Rikugun) yang berkedudukan di Bukuttinggi. Kedua, Jawa dan Madura di bawah Komando Panglima Angkatan Darat XVI (Rikugun) yang berkedudukan di Jakarta.Keempat, daerah-daerah lainnya di bawah Komando Panglima Angkatan Laut (Kaigun) yang berkedudukan di Makasar. Dengan pembagian wilayah ini, maka pusat pemerintahan berada di bawah kekuasaan militer yang dilaksanakan oleh Komandan Angkatan masing-masing dengan sebutan Gunseikan. Sistem administrasi pemerintahan adopsi dari Jepang ini bisa terlihat ketika kekuasaan berada di bawah satu tangan, yaitu Saikoksikin (Gubernur Jendral).2

C. Masa Kemerdekaan

Praktek pemerintahan daerah pada saat sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Indonesia mengalami pemerintahan dengan bangunan negara federasi. Republik Indonesia tidaklah berumur lama, karena susunan negara memang dirancang oleh Pemerintah Belanda untuk men-fait-a-compli pemerintah Negara Republik Indonesia (NRI) pada saat itu.

Pemulihan kedaulatan Indonesia dilakukan oleh Pemerintah Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, dalam bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai bentuk komitmen kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar. Di dalam RIS, kedudukan NRI 2 Kustiawan, Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Indonesia) 314-315.

(3)

merupakan salah satu negara bagian penyusun RIS. Pemerintahan daerah diatur oleh masing-masing negara atau daerah bagian.

Pada transisi ini, pemerintah daerah mengalami dualisme kebijakan, yaitu pemerintah negara bagian Republik Indonesia (RI), berkedudukan di Yogyakarta, menjalankan pemerintahannya berdasarkan Undang-undang Nomor 22/1948 tentang Pemerintahan Daerah. Sedangkan di akhir masa berlakunya RIS, sebelum penggabungan dengan NRI, Negara bagian yang tergabung dalam Negara Indonesia Timur (NIT) mengeluarkan peraturan pokok tentang pemerintahan daerah yaitu Undang-undang NIT Nomor 44/19503. Peraturan baru tersebut menyebutkan bahwa ada 13 daerah–daerah yang telah terbentuk dengan peraturan yang disebut Regeling tot vorming v/d Staat Oost-Indonesia4.

Pada tanggal 17 Agustus 1950, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dikembalikan, dengan meleburkan antara pemerintah RIS dengan NRI, diawali dengan penggabungan5 negara bagian Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan lainnya. Selain itu, penggabungan diupayakan agar pemberontakan yang muncul untuk memecah belah 3 Pada dasarnya undang NIT Nomor 44/1950 merupakan modifikasi dari Undang-undang Nomor 22/1948 yang menyesuaikan dengan keadaan di Negara Indonesia Timur. 4 Regeling tot vorming v/d Staat Oost-Indonesia, mengatur tentang cara-cara pemerintahan daerah-daerah yang menjadi cikal negara bagian pertama, yaitu Negara Indonesia Timur (Sulawesi Selatan, Minahasa, Kepulauan Sangih dan Talaud, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor dan kepulauan sekiitarnya, Maluku Selatan, dan Maluku Utara), didirikan Pemerintah Belanda pada akhir perang dunia II berdasarkan

penetapan dalam Konferensi Malino di tahun 1946 dengan Stb. 1946-143. Lihat di Mr. Amrah Muslimin., Ichtisar Perkembangan Otonomi Daerah 1903-1958 (Penerbit Djambatan: Jakarta:, 1960), hal. 39.

5 Upaya penggabungan ini mirip dengan redistricting di negara maju seperti Amerika Serikat, yaitu mencari batasan wilayah administratif baru sesuai dengan jumlah konstituen dan

keperluan pemilihan umum (electoral college). Penggabungan datang dari inisiatif negara-negara bagian, bukan dari pemerintah RIS ataupun NRI, yang merasa tidak nyaman berada dalam ketidakstabilan politik akibat pemberontakan di beberapa wilayah Indonesia. Banyak dari negara-negara bagian kemudian memandang bahwa kembali ke negara kesatuan merupakan pemecahan masalah terbaik daripada menjadi negara serikat yang bergejolak.

(4)

persatuan Indonesia seperti peristiwa Westerling di Bandung, Andi Azis di Makassar, dan Soumokil di Maluku Selatan, tidak bermunculan di daerah lainnya.6

1. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitikberatkan pada asas dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND di keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian daerah-daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni:

1) Provinsi

2) Kabupaten/kota besar 3) Desa/kota kecil.

UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki penjelasan.

2. Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948

Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni: a) Propinsi

b) Kabupaten/kota besar c) Desa/kota kecil

d) Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. 3. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957

Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:

6 Ratri Istania, Reformasi Administrasi Negara Lupa Sejarah: Sebuah Pembelajaran Bagi Desentralisasi Indonesia, (Indonesia) 6-7.

(5)

1) Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya 2) Daerah swatantra tingkat II

3) Daerah swatantra tingkat III.

UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.

4. Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959

Penpres No. 6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7 November 1959 menitikberatkan pada kestabilan dan efisiensi pemerintahan daerah, dengan memasukkan elemen-elemen baru. Penyebutan daerah yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri dikenal dangan daerah tingkat I, tingkat II, dan daerah tingkat III. Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada masa ini, bahwa kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat, terutama dari kalangan pamong praja. 5. Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965

Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni: 1) Provinsi (tingkat I)

2) Kabupaten (tingkat II) 3) Kecamatan (tingkat III)

Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.

6. Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974

UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah tangganya berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut tingkatannya menjadi:

(6)

1) Provinsi/ibu kota negara 2) Kabupaten/kotamadya 3) Kecamatan

Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.

Konsep otonomi menurut UU No.5 tahun 1974 dipandang sebagai penyebab dari berbagai kekurangan yang menyertai perjalanan pemerintahan di daerah selama lebih dari dua dekade terakhir. Kenyataan belum diperolehnya pemimpin dan kepemimpinan pemerintahan yang terbaik sesuai dengan aspirasi masyarakat pada masa itu adalah akibat dari pola rekrutmen yang tertuang dalam UU No.5 Tahun 1974 itu. Pola itu telah memberi pembenaran terhadap berlakunya rekayasa pemlihan pemimpin pemerintahan yang tidak transparan dan tidak memliki “sense of public accountability”. Kurangnya kewenangan yang diletakkan di daerah juga telah menjadi penyebab dari lemahnya kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintahan daerah dalam menyelesaikan masalah dan menjawab berbagai tantangan. 7

7. Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut:

1) Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.

2) Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah kabupaten dan daerah kota.

3) Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi. 4) Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.

7 Syamsuddin Haris, Desentralisasi & Otonomi Daerah (Indonesia; Yayasan Obor Indonesia;2005) 4-5

(7)

Dalam konteks ini, pemerintahan daerah terbagi tetap atas dua ruang lingkup, bukan tingkatan, yaitu daerah kabupaten dan kota yang diberi status otonomi penuh, dan provinsi yang diberi otonomi terbatas. Otonomi penuh berarti tidak adanya operasi pemerintah pusat di daerah kabupaten dan kota, kecuali untuk bidang-bidang yang dikecualikan tadi. Otonomi terbatas berarti adanya ruang yang tersedia bagi pemerintah pusat untuk melakukan operasi di daerah provinsi.8

8. Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya UU ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin dipertegas dan diperjelas.

8 Syamsuddin Haris, Desentralisasi & Otonomi Daerah (Indonesia; Yayasan Obor Indonesia;2005) 11

Referensi

Dokumen terkait

Perkembangan ini bukannya tidak mungkin akan melahirkan institusi-institusi ekonomi inter- nasional dan perdagangan multilateral baru yang dipelo- pori oleh negara-negara

Nilai Koefisien regresi variabel Kompensasi sebesar 0,341 dengan tanda positif menunjukan arah hubungan yang searah, Dengan demikian hipotesis ketiga yang menyatakan

Pada stasiun penelitian MT-144 meskipun ditemukan nilai indeks foraminifera (FI) paling rendah akan tetapi masih tergolong dalam perairan yang menunjukan kondisi lingkungan

Sikap ke hati-hatian salah satu prinsip untuk memenuhi kelangsungan agar tidak terjadi hal-hal yang diinginkan atau seperti kecurangan, kekeliruan, maka di dalam

Pada penelitian ini, analisis mengenai peranan suku bunga SBI dalam mentransmisikan kebijakan moneter tersebut diperoleh dengan melakukan analisis mengenai respon inflasi, nilai

Atas dasar perbedaan harga pokok penjualan dan laba yang dihasilkan serta adanya pertimbangan pajak maka variabilitas harga pokok penjualan dapat mempengaruhi pemilihan

Data yang diperoleh dari pengujian ini, ekstrak air umbi bawang tiwai memiliki efek antiinflamasi karena bawang tiwai memiliki kandungan flavonoid terbukti dari hasil skrining

Oleh karena itu penelitian dilakukan untuk membandingkan model scoring yang dibangun oleh nilai asli peubah penjelasnya dengan model scoring yang dibangun oleh