• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN BUTT SHAPE KARKAS SAPI BRAHMAN CROSS TERHADAP PRODUKTIVITAS KARKAS PADA JENIS KELAMIN YANG BERBEDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN BUTT SHAPE KARKAS SAPI BRAHMAN CROSS TERHADAP PRODUKTIVITAS KARKAS PADA JENIS KELAMIN YANG BERBEDA"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN BUTT SHAPE KARKAS SAPI BRAHMAN CROSS

TERHADAP PRODUKTIVITAS KARKAS PADA

JENIS KELAMIN YANG BERBEDA

SKRIPSI

MUHAMMAD NORMAN ISMAIL

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

(2)

RINGKASAN

Muhammad Norman Ismail. D04499025. 2007. Hubungan Butt Shape Karkas sapi Brahman

Cross terhadap Produktivitas Karkas, pada Jenis Kelamin yang Berbeda. Skripsi. Program

Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Henny Nuraini, MSi

Pembimbing Anggota : Bramada Winiar Putra, SPt

Butt shape adalah keselarasan bentuk paha dengan konformasi karkas secara keseluruhan

dengan cara melihat bentuk paha hewan ternak dan memberikan skor tertinggi sampai terendah

(A, B, C, D, E). Walaupun indikasi manfaat penggunaan butt shape dalam estimasi hasil daging

hanya sedikit, namun demikian dalam kenyataannya butt shape mempunyai pengaruh secara

ekonomis dalam pemasaran. Karkas dengan butt shape A, B, dan C mempunyai harga jual yang

lebih mahal daripada karkas dengan butt shape D dan E.

Penelitian menggunakan bangsa sapi Brahman Cross dengan kategori jenis kelamin

betina dewasa (heifer) dan jantan muda kastrasi (steer), masing-masing berjumlah 15 ekor.

Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial, faktor perlakuan yang

pertama adalah jenis kelamin yaitu heifer dan steer, faktor kedua adalah butt shape. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa butt shape memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap

karakteristik karkas kecuali tebal lemak pangkal ekor dan berinteraksi secara nyata dengan jenis

kelamin terhadap bobot karkas dingin, luas otot mata rusuk, dan tebal lemak rusuk 12-13.

Butt shape memberi pengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot potongan komersial yang

bernilai tinggi yaitu loin (tenderloin dan striploin), knuckl, rump, topside dan silverside, serta

berinteraksi secara nyata dengan jenis kelamin pada potongan komersial cuberoll. Kecuali pada

persentase tulang. Butt shape juga memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot dan

persentase komponen karkas (daging, lemak dan tulang), dan interaksi dengan jenis kelamin

memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot lemak, persentase lemak, dan bobot tulang.

Kata – kata kunci : butt shape, karkas, potongan komersial, jenis kelamin

(3)

ABSTRACT

Muhammad Norman Ismail. D04499025. 2007. The Relation Of Brahman Cross Carcass Butt

Shape to Carcass Productivity at Different Sex Cattegories. Thesis. Study Program of Animal

Product, Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University.

Advisor

: Dr. Ir. Henny Nuraini, MSi

Co Advisor : Bramada Winiar Putra, SPt

Butt shape is a profile of hind leg beef cattle related to carcass conformation. Ausmeat

divides butt shape into five cattegorries (score A, B, C, D and E). Eventhough a good butt

shapeis not always associated to high meat yield, the use of butt shape has an economic influence

in marketing. Carcass with butt shape A, B, and C have higher selling price than carcass with

butt shape D and E.

This research used 15 heifers and 15 steers of Brahman Cross cattle. The study was

aimed to examine the relationship of carcass butt shape and saleable beef yield including its

distribution. The experiment was set up in completely randomized factorial design with two

factors as treatment. The first factor was sex cattegory (heifer and steer), and the second factor

was butt shape (A, B and C).

The result of research is indicating that butt shape gave significcant influence (P<0,05) on

carcass characteristic except rump P8 fat thickness. Interaction effect at butt shape and sexwere

found on cold carcass weight, rib eye area, and the amount of adjusted 12

th

rib external fat

thickness. Butt shape had significant influence (P<0,05) on high valuable cuts. Those were loin

(tenderloin and striploin), knuckle, rump, topside and silverside. Simmilarly butt shape

significantly affected (P<0,05) carcass component percentage and weight (meat, bone and fat),

butt shape interaction with sex significantly affected on fat and bone weight, and fat percentage.

Key words : butt shape, sex, carcass, saleable beef yield

(4)

HUBUNGAN BUTT SHAPE KARKAS SAPI BRAHMAN CROSS

TERHADAP PRODUKTIVITAS KARKAS PADA

JENIS KELAMIN YANG BERBEDA

MUHAMMAD NORMAN ISMAIL D04499025

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

(5)

HUBUNGAN BUTT SHAPE KARKAS SAPI BRAHMAN CROSS

TERHADAP PRODUKTIVITAS KARKAS PADA

JENIS KELAMIN YANG BERBEDA

Oleh

MUHAMMAD NORMAN ISMAIL D04499025

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian pada tanggal 27 Februari 2007

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si Bramada Winiar Putra, S.Pt NIP. 131 845 347 NIP. 132 312 035

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Ronny R. Noor, M.Rur.Sc NIP. 131 624 188

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Jakarta pada tanggal 31 Oktober 1980. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Suratman Syafsidinal dan Ibu Bainarwati.

Pendidikan penulis diawali pada tahun 1986 di TK Islam Al Akhyar, kemudian pada tahun 1987 penulis melanjutkan pendidikan di SDN 06 Pagi Cakung dan lulus pada tahun 1993, pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 234 Jakarta dan lulus pada tahun 1996. Kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 89 Jakarta dan lulus pada tahun 1999.

Pada tahun 1999 penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan tercatat sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Selama berkuliah di IPB, penulis aktif dalam kegiatan organisasi Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTER) dan Badan Eksekutif Mahasiswa Peternakan (BEM-D). Penulis pernah mengikuti Pelatihan Penerapan HACCP dalam Industri Pertanian pada tahun 2002.

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan ridho-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir penyusunan skripsi dengan judul ”Hubungan Butt Shape Karkas Sapi Brahman

Cross terhadap Produktivitas Karkas pada Jenis Kelamin yang Berbeda” ini.

Karkas adalah bagian tubuh ternak setelah dikurangi kepala, keempat kaki mulai metacarpus dan metatarsus, kulit, saluran pencernaan, saluran reproduksi dan organ dalam. Estimasi komposisi karkas dilakukan untuk memprediksi jumlah produk yang layak dimakan. Produk yang layak dimakan tersebut terdiri atas proporsi daging, tulang dan lemak. Penilaian konformasi butt shape adalah salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengestimasi komposisi karkas.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan karya ilmiah ini, namun demikian penulis berharap karya ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, Februari 2007

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 1

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Brahman Cross ... 2

Pertumbuhan ... 2

Komposisi Karkas ... 3

Estimasi Komposisi Karkas ... 4

Konformasi Karkas ... 5

Potongan Komersial Karkas ... 7

METODE Lokasi dan Waktu ... 10

Materi ... 10

Rancangan Percobaan ... 10

Prosedur ... 10

Penyembelihan dan Pengkarkasan ... 10

Penilaian Konformasi Karkas ... 11

Peubah yang Diamati ... 12

Konformasi Karkas ... 12

Bobot Potong ... 12

Bobot Karkas Dingin ... 12

Tebal Lemak Pangkal Ekor (TLPE) ... 12

Tebal Lemak Subkutan Rusuk 12-13 (TLR 12) ... 14

Luas Otot Mata Rusuk (rib eye area) ... 14

Persentase Lemak Ginjal, Pelvis dan Jantung (PLGPJ) .... 14

Bobot dan Persentase Potongan Komersial ... 14

(9)

vi HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Jenis Kelamin dan Konformasi Butt Shape terhadap

Karakteristik karkas ... 15

Bobot Potong ... 15

Bobot Karkas Dingin ... 16

Tebal Lemak Pangkal Ekor (TLPE) ... 17

Tebal Lemak Rusuk 12-13 (TLR 12) ... 17

Luas Otot Mata Rusuk (rib eye area) ... 17

Persentase Lemak Ginjal, Pelvis dan Jantung (PLGPJ) .... 19

Pengaruh Jenis Kelamin dan Konformasi Butt Shape terhadap Bobot Potongan Komersial Karkas ... 19

Pengaruh Jenis Kelamin dan Konformasi Butt Shape terhadap Persentase Potongan Komersial Karkas ... 22

Pengaruh Jenis Kelamin dan Konformasi Butt Shape terhadap Komponen Karkas ... 24

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 27

Saran ... 27

UCAPAN TERIMA KASIH ... 28

DAFTAR PUSTAKA ... 30

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Distribusi Potongan Primal Karkas ... 8 2. Pengaruh Jenis Kelamin dan Konformasi Butt Shape terhadap

Karakteristik Karkas ... ... 15 3. Pengaruh Jenis Kelamin dan Konformasi Butt Shape terhadap

Bobot Potongan Komersial Karkas ... ... 20 4. Pengaruh Jenis Kelamin dan Konformasi Butt Shape terhadap

Persentase Potongan Komersial Karkas ... ... 23 5 Pengaruh Jenis Kelamin dan Konformasi Butt Shape terhadap

Komponen Karkas ... ... 24

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Standar Penilaian Konformasi Butt Shape ... ... 7

2. Lokasi Potongan Komersial ... ... 9

4. Lokasi Pengukuran Tebal Lemak Pangkal Ekor ... ... 12

5. Lokasi Pengukuran Tebal Lemak Subkutan pada Rusuk 12-13 ... 13

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Analisis Ragam Karakteristik Karkas dengan Perlakuan Jenis

Kelamin dan Konformasi Butt Shape yang berbeda ... 35 2. Analisis Ragam Bobot Potongan Komersial Karkas dengan

Perlakuan Jenis Kelamin dan Konformasi Butt Shape yang

Berbeda ... ... 37 3. Analisis Ragam Persentase Potongan Komersial Karkas dengan

Perlakuan Jenis Kelamin dan Konformasi Butt Shape yang

Berbeda ... ... 40 4. Analisis Ragam Komponen Karkas dengan Perlakuan Jenis

Kelamin dan Konformasi Butt Shape yang Berbeda ... ... 43

(13)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Kebutuhan daging dalam negeri mencapai 480 ton/tahun, dan hanya sebanyak 340 ton di suplai dari produksi dalam negeri, sisanya yang sebanyak 140 ton dipenuhi dengan mengimpor, yaitu terdiri dari 40 ton daging beku (frozen meat) dan 100 ton sapi bakalan (feeder cattle) (Wasito, 2004). Sapi bakalan yang diimpor umumnya adalah bangsa sapi Brahman Cross, kemudian digemukkan secara feedlot.

Estimasi komposisi karkas perlu dilakukan untuk memprediksi jumlah produk yang layak dimakan. Indikator yang sering digunakan dalam estimasi komposisi karkas diantaranya tebal lemak punggung rusuk 12 dan 13, tebal lemak pangkal ekor

rump P8, luas otot mata rusuk, persentase lemak pelvis, ginjal dan jantung, dan bobot

potong. Dibutuhkan suatu metode yang mudah dan cepat dalam estimasi komposisi karkas, penilaian butt shape merupakan suatu metode penentuan komposisi karkas yang mudah untuk diterapkan. Penilaian dilakukan dengan melihat kemontokkan paha pada karkas dan dibandingkan dengan score sheet. Di Indonesia sapi bakalan yang digemukkan secara feedlot umumnya mempunyai skor konformasi berkisar antara B sampai D.

Produk hasil ternak yang layak dimakan termasuk didalamnya daging, lemak dan tulang. Lemak yang dihasilkan ternak termasuk didalamnya lemak subkutan, lemak intermuskuler dan lemak intra muskuler. Hasil penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa lemak yang dihasilkan karkas sapi dara (heifer) cenderung lebih tinggi dibandingkan lemak yang dihasilkan karkas sapi jantan kastrasi (steer). Alasan diatas menyebabkan perlu diadakan suatu penelitian pengaruh jenis kelamin dan penilaian butt shape karkas dalam kaitannya dengan estimasi komposisi karkas.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis kelamin dan butt

shape karkas terhadap karakteristik karkas, komponen karkas dan

(14)

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Brahman Cross (BX)

Bangsa sapi Brahman merupakan sapi hasil persilangan dibentuk dari tiga bangsa Zebu yang berasal dari India, yaitu Guzaret, Nellore dan Gyr. Bangsa sapi Brahman mengandung 60% darah Guzaret, 20% Nellore dan 20% Gyr (Minish dan Fox, 1979). Bangsa sapi Brahman mempunyai sifat tahan terhadap bermacam-macam kondisi lingkungan dan beberapa penyakit parasit, mempunyai sifat keibuan yang baik, kelemahan sapi ini adalah angka reproduksinya yang rendah dan kecepatan pertumbuhan yang kurang baik (Hardjosubroto dan Astuti, 1994).

Hardjosubroto dan Astuti (1994) kemudian menjelaskan pada tahun 1933 bangsa sapi ini diimport ke Australia, ada yang diternakkan secara murni dan ada yang disilangkan dengan bangsa sapi Hereford-Shorthorn (HS) menjadi bangsa sapi Brahman Cross. Sapi ini mempunyai sifat penyesuaian yang sama dengan bangsa sapi Brahman, dan potensi pertumbuhan yang sama dengan sapi HS (Vercoe dan Frisch, 1980). Bangsa sapi Brahman Cross (BX) mengandung 50% darah Brahman, 25% darah Hereford dan 25% darah Shorthorn (Turner, 1977).

Pertumbuhan

Pertumbuhan didefinisikan sebagai perubahan ukuran yang meliputi perubahan berat hidup, bentuk, dimensi linear dan komposisi tubuh termasuk perubahan jaringan-jaringan tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ serta jaringan-jaringan kimia, terutama air, lemak, protein dan abu pada karkas. Perubahan organ-organ dan jaringan berlangsung secara gradual hingga tercapainya ukuran dan bentuk karakteristik masing-masing organ dan jaringan tersebut (Soeparno, 1994).

Kecepatan pertumbuhan otot, tulang, dan lemak berbeda-beda. Otot dan tulang mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tetap. Sejalan dengan meningkatnya bobot karkas, pertumbuhan tulang berjalan dengan kecepatan lambat, sementara otot tumbuh lebih cepat. Lemak mempunyai pola pertumbuhan yang berbeda, awalnya pertumbuhan lemak sangat lambat tetapi pada saat memasuki fase penggemukan, pertumbuhannya meningkat dengan cepat (Berg dan Butterfield, 1976; Butterfield, 1963). Berg dan Butterfield (1976) menyatakan tulang tumbuh lebih dulu, kemudian diikuti otot dan terakhir lemak. Persentase otot pada awalnya meningkat, kemudian saat fase penggemukan dimulai persentase otot menurun, persentase lemak terus meningkat dan persentase tulang terus menurun.

(15)

3 Disamping pertumbuhan, ternak juga mengalami perkembangan, dimana keduanya saling berkaitan. Dalam hal ini perkembangan dapat didefinisikan sebagai terjadinya perubahan pada komposisi dan struktur (Forrest et al.,1975) . Komposisi utama karkas meliputi daging, lemak dan tulang. Komposisi karkas bervariasi pada karkas-karkas yang beratnya berbeda. Perubahan komposisi dengan meningkatnya berat karkas disebabkan pertumbuhan diferensial jaringan karkas (Berg dan Butterfield, 1976). Pertumbuhan jaringan otot, tulang dan lemak akan dipengaruhi oleh bangsa, bobot tubuh, jenis kelamin dan makanan (Berg dan Butterfield, 1976; Johnson dan Priyanto, 1991). Pertumbuhan yang lebih cepat biasanya terjadi pada saat ternak masih muda. Pertumbuhan akan menurun sampai pada suatu saat dimana tidak terjadi lagi pertumbuhan tulang maupun otot dan selanjutnya pertambahan bobot badan hanya merupakan pertambahan dan penumpukan jaringan lemak (Preston dan Willis, 1974)

Komposisi Karkas

Karkas adalah bagian tubuh ternak setelah dikurangi kepala, keempat kaki mulai

metacarpus dan metatarsus, kulit, saluran pencernaan, saluran reproduksi dan organ

dalam seperti jantung, hati, paru-paru dan limpa (Soeparno, 1994). Komponen utama karkas terdiri atas tulang, daging dan lemak. Tulang merupakan komponen yang tumbuh dan berkembang paling dini, kemudian disusul oleh daging dan terakhir adalah jaringan lemak. Proporsi jaringan tulang, daging dan lemak dipengaruhi oleh umur ternak, bangsa, jenis kelamin serta pakan ternak. Meningkatnya persentase lemak karkas dapat menyebabkan persentase daging dan tulang menurun (Forrest et al., 1975; Berg dan Butterfield, 1976).

Komposisi karkas biasanya bervariasi tergantung pada target bobot tubuh dewasa dan maturitas ternak. Rasio daging, tulang dan lemak dapat menggambarkan proporsi daging tanpa lemak (lean) pada tingkat perlemakan yang sama. Jika terdapat perbedaan dalam hal ini, semata-mata disebabkan deposisi lemak subkutan, intermuskuler, intramuskuler dan lemak ginjal dan pelvis yang berbeda (Koch et al., 1979; Kempster et al, 1982)

(16)

4 Estimasi Komposisi Karkas

Estimasi komposisi karkas dilakukan untuk memprediksi jumlah produk yang layak dimakan. Produk yang layak dimakan tersebut terdiri atas proporsi daging, tulang dan lemak. Daging dalam hal ini merupakan komponen karkas yang terpenting sehingga dalam penerapannya, total daging secara kuantitatif dipergunakan sebagai titik akhir sarana penduga atau pengukur komposisi karkas Komposisi dan proporsi karkas ditentukan oleh bangsa, umur, jenis kelamin dan makanan (Berg dan Butterfield, 1976).

Selanjutnya Berg dan Butterfield (1976) menyatakan bahwa pada banyak percobaan untuk menduga komponen tubuh hewan hidup dilakukan dengan menggunakan bobot hidup. Namun penggunaan bobot hidup sebagai penduga komponen tubuh perlu memperhatikan kondisi ternak yang akan diduga, seperti keragaman ternak dari segi bobot, umur dan kondisi pakan. Keadaan tersebut berpengaruh terhadap ketepatan hasil pendugaan.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan komposisi karkas dari bobot karkas yang berbeda akan dapat diketahui jika pembandingannya dilakukan dalam kelompok jenis kelamin dan kelompok bangsa yang sama, sedangkan rasio dari lemak subkutan dan lemak intermuskuler yang didasarkan pada tebal lemak punggung, pembandingannya dapat dilakukan antar bangsa ternak dan antar jenis kelamin yang berbeda. Pengukuran karkas secara obyektif dapat meningkatkan nilai prediksi komposisi karkas pada ternak sapi (Baas et al., 1982).

Metode pendugaan komposisi tubuh hewan hidup yang sering digunakan adalah menghitung persamaan regresi antara komponen yang diduga (variabel tak bebas) dengan bobot tubuh hidup (variabel bebas), kemudian ditentukan koefisien korelasinya. Nilai koefisien korelasi yang tinggi menunjukkan kuatnya hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikatnya, berdasarkan hal di atas, dapat diartikan bahwa kandungan lemak karkas, protein, air karkas, air tubuh kosong dan lemak tubuh kosong dapat diestimasi berdasarkan bobot tubuh tanpa harus memotong ternak tersebut (Berg dan Butterfield, 1976).

Butterfield (1963) membuat suatu persamaan yang dapat digunakan untuk mengestimasi total lemak, total tulang dan total daging dari diseksi shin menjadi

(17)

5 bagian tulang dan daging, ditambah tebal lemak pada potongan tulang rusuk dalam hubungannya dengan diseksi total karkas, sebagai berukut:

• Total lemak = 23,07.tebal lemak(cm) + 0,184.bobot karkas panas – 18,04 • Total daging = 0,788 + 0,032.daging shin (g) – 7,868.tebal lemak (cm) +

0,38.bobot karkas panas (kg)

• Total tulang = 0,03.radius dan ulna (g) + 0,031.bobot karkas panas (kg) – 0,934

Menurut Minish dan Fox (1979), bobot karkas merupakan salah satu parameter yang penting dalam sistem evaluasi karkas. Bobot karkas bukan merupakan indikator produktivitas karkas yang baik, karena adanya variasi bangsa, nutrisi dan jenis kelamin dalam pertumbuhan jaringan (Johnson dan Priyanto, 1997). Menurut Priyanto et al. (1993), untuk memperkecil sumber keragaman tersebut, bobot karkas perlu dikombinasikan dengan variabel lain seperti tebal lemak sub kutan dan luas urat daging mata rusuk untuk mengestimasi bobot komponen karkas dan hasil daging. Persentase bobot karkas meningkat sesuai dengan peningkatan bobot badan.

Ngadiyono (1995) melaporkan bahwa perbedaan bobot komponen karkas diantara bobot potong yaitu semakin tinggi dengan meningkatnya bobot potong. Selain mempengaruhi bobot komponen karkas, perubahan pada bobot potong juga akan mempengaruhi distribusi komponen karkas (Le Van et al., 1979). Peningkatan bobot potong akan menyebabkan proporsi lemak tubuh tinggi karena deposisinya yang dominan dibanding komponen lainnya dan akan menyebabkan komposisi karkas lainnya yaitu daging dan tulang menurun (Berg dan Butterfield, 1976; Priyanto et al, 1993)

Konformasi Karkas

Menurut Kempster et al. (1982), konformasi atau bentuk karkas (biasanya

dinyatakan sebagai suatu nilai yang ditentukan secara visual) sebagai salah satu alternatif dalam menentukan komposisi karkas. Konformasi karkas atau bentuk rangka tubuh yang umumnya dinilai secara visual dengan ketajaman mata dapat memberikan suatu ukuran atau nilai yang berbeda dalam memprediksi komposisi karkas, meskipun sering juga pengamatan secara visual ini meleset dari perkiraan yang diberikan, karena sifatnya subyektif, jadi kurang akurat dalam memperkirakan komposisi karkas.

(18)

6

Butt shape erat hubungannya dengan lemak dibandingkan dengan otot dari hasil

studi dengan menggunakan karkas yang berat (heavy wheight) dan lemak penutup karkas dalam kisaran luas (Taylor et al., 1996) dalam studi pertumbuhan karkas. Johnson et al. (1996) menyatakan bahwa karkas secara kuantitatif cenderung lebih baik jika kisaran berat karkas diperluas.

Lemak subkutan penting dalam meningkatkan bentuk morfologi sapi di masa datang (Johnson et al., 1996). Lemak subkutan adalah jaringan tubuh yang ditempatkan dengan baik untuk meningkatkan bentuk luar (Butterfield, 1963). Jika bentuk karkas (shape) disamakan dengan perlemakan (fatness) seperti dinyatakan oleh Taylor et al. (1996) yang mempelajari karkas ringan (lightwheight), kurangnya lemak karkas pada pasar pasar domestik Australia menunjukkan perbedaan tingkat hubungan antara skor shape dan komponen karkas.

Sapi dengan tipe otot yang baik menunjukkan pertumbuhan memanjang otot dengan cepat dan mempunyai sedikit lemak, terutamanya lemak subkutan pada pasar domestik yang mempunyai perbedaan hubungan antara bentuk dan komponen karkas. Genotif sapi yang digunakan dalam penelitian ini sama dengan sapi yang digunakan untuk mensuplai pasar domestik Australia (Johnson et al., 1996).

Hasil penelitian dari pengamatan visual ini bervariasi, tapi dalam suatu keadaan tertentu ditunjukkan bahwa konformasi tubuh ternak berhubungan dengan komposisi karkas pada berbagai kondisi, tapi tingkat korelasinya rendah. Satu tipe konformasi mungkin dapat dipertimbangkan lebih baik dari tipe konformasi yang lain dengan berbagai alasan, seperti seberapa besarnya kemungkinan tipe konformasi tersebut dapat menggambarkan dan memprediksi proporsi daging dan lemak karkas. Misalnya karkas dengan konformasi yang lebih baik diharapkan dapat memberikan proporsi yang besar pada bagian-bagian karkas yang bernilai tinggi.

Menurut Wello (2000), konformasi adalah keseimbangan dari perkembangan bagian-bagian karkas, atau perbandingan antara daging dan tulang. Konformasi butt

shape adalah keselararasan bentuk paha dengan konformasi karkas secara

keseluruhan, yang menyangkut kerangka, perototan dan perlemakan. Skor shape digunakan pada banyak sistem deskripsi karkas sapi potong di seluruh dunia.

(19)

7 Menurut Thornton (1991) tidak ada peran bermanfaat dari penggunaan butt

shape dalam estimasi hasil daging yang dipasarkan walaupun butt shape adalah

pilihan saat ini dan digunakan secara luas dalam pemasaran karkas karena berpengaruh secara ekonomis. Skor shape A, B dan C mempunyai harga daging yang lebih mahal dari pada skor D dan E, dan perbedaan harga pada bobot karkas yang sama sekitar A$40. Standar skor butt shape menurut Aus-Meat (1995) dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Standar penilaian konformasi butt shape (Aus-Meat,1995)

Potongan Komersial Karkas

Potongan primal karkas sapi di bagian seperempat depan (forequarter) terdiri atas bahu (chuck), termasuk leher, rusuk, paha depan, dada (breast) dibagi menjadi dua yaitu dada depan (brisket) dan dada belakang (plate), bagian seperempat belakang (hindquarter) terdiri atas paha (round), paha atas (rump), loin terdiri atas sirloin dan short loin, flank dan ginjal beserta lemak yang menyelimutinya (lemak ginjal) (Soeparno, 1994).

Menurut Bahar (2003), secara umum karkas sapi dapat dibagi ke dalam beberapa bagian, yaitu :

1. bagian bahu 2. bagian punggung 3. bagian dada-perut 4. bagian paha belakang 5. bagian betis

(20)

8 Distribusi potongan primal karkas menurut Bahar (2003) dapat dilihat pada Tabel 1. Bagan potongan komersial karkas dapat dilihat pada Gambar 2.

Tabel 1. Distribusi Potongan Primal Karkas

Bagian Potongan Komersial

Bahu Blade Chuck Chucktender Punggung Sirloin Cuberoll Tenderloin Dada-perut Brisket Short rib Flank

Paha belakang Topside

Knuckl Silverside Eye Round Rump Betis Shank Sumber : Bahar (2003)

Tabel diatas memperlihatkan bahwa potongan-potongan komersial yang mempunyai nilai tinggi seperti sirloin, tenderloin dan cuberoll terdapat pada bagian punggung, potongan-potongan mempunyai keempukan yang disukai oleh konsumen. Menurut Bahar (2003), keempukan potongan-potongan komersial tersebut disebabkan pada bagian punggung ternak mengalami lebih sedikit aktivitas dibandingkan pada bagian-bagian lain.

(21)

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan. Pelaksanaannya dimulai dari bulan Mei dan berakhir pada bulan November 2003. Penelitian ini dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH) PT Celmor Perdana Indonesia, Bogor.

Materi

Penelitian ini menggunakan bangsa sapi Brahman Cross, berjanis kelamin betina (heifer) dan jantan kastrasi (steer). Masing-masing jenis kelamin berjumlah 15 ekor dengan kisaran umur satu sampai dua tahun, sapi berasal dari PT Tippindo, Lampung dan PT Santosa Agrindo, Bekasi. Peralatan yang digunakan adalah meteran, timbangan karkas, timbangan daging dan berbagai perlengkapan di RPH.

Rancangan Percobaan

Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial dengan dua faktor. Faktor pertama adalah jenis kelamin yaitu heifer dan steer, dan faktor kedua adalah butt shape dengan tiga tingkatan (B,C,D), dengan lima kali ulangan. Menurut Steel dan Torrie (1991), model matematika rancangan acak lengkap pola faktorial adalah sebagai berikut:

Yijk = µ + τi + τj + τk + єijk Keterangan :

Yijk = hasil pengamatan perlakuan µ = rataan umum

τi = pengaruh perlakuan jenis kelamin ke i τj = pengaruh perlakuan butt shape ke j τj = pengaruh perlakuan ulangan ke k єijk = galat percobaan

Prosedur Penyembelihan dan Pengkarkasan

Sebelum dipotong sapi dipuasakan selama 24 jam untuk mengurangi isi saluran pencernaan. Setelah itu sapi ditimbang untuk menentukan bobot potongnya. Pemotongan dilakukan dengan memotong bagian leher dekat tulang rahang bawah, sehingga semua pembuluh darah, oesophagus dan trakhea terpotong, untuk mendapatkan pendarahan yang sempurna.

(22)

11 Kepala dan kaki bagian depan serta belakang (pada sendi carpo-metacarpal dan

tarso-metatarsal) dilepas, penentuan umur dilakukan dengan melihat gigi. Sapi

kemudian digantung pada kaki belakang di bagian tendo achilles. Selanjutnya dilakukan pengulitan, pengeluaran isi perut dan dada dengan melakukan penyayatan pada dinding abdomen sampai dada, abdomen dibuka dengan irisan sepanjang

ventral, kemudian rongga dada dibuka menggunakan gergaji pada bagian vental

tulang dada atau sternum. Semua organ tubuh yang terdiri atas hati, limpa, ginjal, jantung, paru-paru dan trakea dikeluarkan, ginjal dan jantung dibersihkan dari lemak dan dilakukan penimbangan lemak pelvis, ginjal dan jantung.

Setelah dilakukan proses pemotongan, pengulitan dan evicerasi, kemudian karkas dibelah menjadi karkas bagian kanan dan kiri, pembelahan karkas dilakukan dengan memotong karkas sepanjang tulang belakang. Kemudian karkas ditimbang, baik setengah karkas bagian kanan maupun setengah karkas bagian kiri. Selanjutnya karkas yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam chilling room pada suhu 2-5 ºC selama 24 jam. Setelah 24 jam, karkas ditimbang untuk mendapatkan bobot karkas dingin. Pada karkas dingin dilakukan pengukuran tebal lemak punggung (TLR12) dan luas areal otot mata rusuk pada irisan antara rusuk 12 dan 13 (udamaru).

Tahap pemisahan komponen karkas dilakukan dengan melakukan pemotongan yang dipisahkan menjadi 16 potongan. Potongan daging tersebut lebih dikenal dengan potongan komersial yaitu perempat karkas bagian depan (forequarter) yang terdiri atas big chuck, chuck tender, cube roll, blade, brisket, rib, dan shank depan. Sedangkan perempat karkas bagian belakang (hindquarter) yaitu loin (sirloin), fillet (tenderloin), flank, flank steak, rump, topside, inside silverside, shank belakang dan

oxtail. Hasil samping potongan karkas berupa trim lemak, serpihan daging (tetelan),

dan tulang juga ditimbang dan dicatat sebagai bobot trim lemak, serpihan daging dan tulang.

Penilaian Konformasi Karkas

Pengukuran karkas dilakukan terhadap belahan karkas kiri, sebelum dilakukan pemisahan daging dari karkas dingin (dressing), terlebih dahulu dilakukan penilaian konformasi karkas. Konformasi diukur dengan pengamatan visual dengan melihat kemontokkan paha (plumpness of leg), pengamatan dilakukan pada karkas dingin belahan kiri setelah dikeluarkan dari chilling room, kemudian dibandingkan dengan

(23)

12

score sheet. Hasil pengamatan di lapangan didapatkan karkas heifer dan steer dengan

skor konformasi B, C, D. Kemudian diambil secara acak 15 ekor untuk masing-masing jenis kelamin, dengan komposisi lima ekor untuk masing-masing-masing-masing skor konformasi. Skor konformasi B mempunyai kisaran bobot potong 475-500 kg, C (450-475 kg), dan D (425-450 kg)

Peubah yang Diamati Konformasi Karkas

Ukuran konformasi diperoleh dengan melihat kemontokkan paha (plumpness of leg) dan memberikan nilai skor konformasi, dari yang tertinggi (A) sampai terendah (E), penilaian butt shape dapat dilihat pada Gambar 1. Butt shape E memperlihatkan karkas yang kurus sampai butt shape A memperlihatkan karkas yang semakin gemuk.

Bobot Potong

Bobot potong didapat dengan mengukur berat ternak setelah dipuasakan selama 24 jam.

Bobot Karkas Dingin

Bobot karkas dingin diperoleh dengan penimbangan karkas setelah dikeluarkan dari chilling room.

Tebal Lemak Pangkal Ekor (TLPE)

Pengukuran tebal lemak pangkal ekor atau anal fold dilakukan dengan menggunakan caliper, TLPE terdiri atas kulit dan lemak yang diukur pada lokasi antara titik ischium pada pangkal ekor (Gambar 3).

(24)
(25)

14 Tebal Lemak Subkutan Rusuk 12-13 (TLR12)

Pengukuran tebal lemak subkutan rusuk 12-13 (TLR12) dilakukan pada tiga perempat bagian sumbu otot mata rusuk antara rusuk 12 dan 13 (Gambar 4).

Luas Otot Mata Rusuk (rib eye area)

Pengukuran luas otot mata rusuk (rib eye area) dilakukan pada irisan melintang areal otot mata rusuk diantara rusuk 12 dan 13. Permukaan irisan areal otot mata rusuk ditempeli plastik transparan kemudian digambar menggunakan spidol. Gambar tersebut kemudian dihitung luasannya menggunakan plastik grid (Gambar 5).

Persentase Lemak Ginjal, Pelvis dan Jantung (PLGPJ)

Lemak pelvis, ginjal dan jantung diukur dengan melakukan penimbangan terhadap jumlah lemak pelvis dan lemak disekitar ginjal dan jantung, kemudian dihitung persentasenya menggunakan persamaan berikut :

Persentae LGPJ =

Bobot LGPJ

X 100% Bobot Karkas Panas

Bobot dan Persentase Potongan Komersial

Bobot potongan dihitung dengan cara menimbang potongan komersial yaitu potongan daging tanpa tulang berdasarkan peta potongan-potongan daging yang sesuai dengan abatoir standar. Potongan–potongan tersebut meliputi tenderloin /fillet, sirloin, topside, inside, silverside, rump, flank, flank steak, big chuck, chuck

tender, cube roll, shank, blade, brisket, rib meat, knuckle dan oxtail. Persentase

potongan komersial dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

Persentase Potongan Komersial = Bobot Potongan Komersial x 100% Bobot Karkas Dingin

Bobot dan Persentase Komponen Karkas

Bobot komponen karkas diperoleh dengan menimbang komponen karkas (daging, tulang dan lemak), sedangkan persentase komponen karkas diperoleh dengan persamaan sebagai berikut:

Persentase Komponen Karkas = Bobot Komponen Karkas x 100% Bobot Karkas Dingin

(26)

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Jenis Kelamin dan Butt Shape

terhadap Karakteristik Karkas

Pengaruh jenis kelamin dan butt shape terhadap karakteristik karkas dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh Jenis Kelamin dan Butt Shape terhadap Karakteristik Karkas.

Karakteristik Karkas Jenis Kelamin Butt Shape Rataan D C B Bobot Potong (kg) Heifer 425,6 446,0 492,0 454,5a Steer 406,0 420,4 460,8 429,1b Rataan 415,8c 433,2b 476,4a Bobot Karkas Dingin

(kg)

Heifer 231,6f 252,0cd 284,0a 255,9

Steer 233,4ef 238,6def 255,0bcd 242,3

Rataan 232,5 245,3 269, 5

Tebal Lemak Pangkal Ekor (mm)

Heifer 31,72 33,78 29,24 31,58

Steer 31,61 32,44 31,58 31,88

Rataan 31,66 33,11 30,41

Tebal Lemak Punggung Rusuk 12-13 (mm)

Heifer 16,2f 20,0cd 28,2a 21,5

Steer 17,8ef 18,4def 22,2bc 19,5

Rataan 17,0 19,2 25,2

Luas Otot Mata Rusuk (cm2)

Heifer 94,6ef 99,0cdef 118,2a 103,9

Steer 94,4f 97,8def 103,4bcd 98,5

Rataan 94,5 98,4 110,8

Persentase Lemak Ginjal, Pelvis, dan Jantung (%)

Heifer 1,75 1,85 2,17 1,92a

Steer 1,58 1,58 1,93 1,70b

Rataan 1,66b 1,72b 2,05a

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada karakteristik karkas yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05)

Bobot Potong

Hasil pada Tabel 2 menunjukkan jenis kelamin dan butt shape memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot potong, namun demikian tidak terdapat interaksi antara jenis kelamin dan butt shape terhadap bobot potong.

Butt shape memberikan pengaruh nyata terhadap bobot potong, karkas

dengan butt shape B (476,40 kg) mempunyai bobot potong yang lebih berat dibanding karkas dengan butt shape C (433,20 kg) dan D (415,8 kg). Karkas dengan

butt shape C memiliki bobot potong yang lebih berat dibanding karkas dengan butt shape D.

Jenis kelamin memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot potong ternak dimana bobot potong heifer (454,50 kg) lebih berat bila dibandingkan bobot

(27)

16 potong steer (429,10 kg). Hal ini disebabkan karena pada umur pemotongan yang sama heifer lebih banyak menumpuk lemak. Preston dan Willis (1982) menyatakan bahwa bobot dan persentase karkas dipengaruhi oleh pakan, umur, bobot potong, jenis kelamin, hormon, bangsa sapi dan konformasi.

Bobot potong paling tinggi didapatkan pada kombinasi heifer dengan butt

shape B (492,00 kg), sedangkan bobot potong terendah terdapat pada kombinasi steer dengan butt shape D (406,00 kg).

Bobot Karkas Dingin

Bobot karkas dingin diperoleh dengan penimbangan karkas setelah dikeluarkan dari ruang pendingin. Hasil pada Tabel 2 menjelaskan bahwa interaksi jenis kelamin dengan butt shape memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) pada bobot karkas dingin. Bobot karkas dingin semakin meningkat pada karkas dengan

butt shape yang makin tinggi.

Pada heifer karkas dengan butt shape B (284,00 kg) mempunyai bobot karkas dingin yang lebih berat (P<0,05) bila dibandingkan karkas dengan butt shape C (252,00 kg) dan D (231,6 kg), karkas dengan butt shape C lebih berat bila dibandingkan dengan karkas dengan butt shape D. Sedangkan pada steer karkas dengan butt shape B (255,00 kg) tidak berbeda dibanding karkas dengan butt shape C (238,6 kg ) dan nyata lebih berat dibanding karkas dengan butt shape D (233,40 kg). Karkas dengan butt shape C tidak berbeda dibanding karkas dengan butt shape D. Perbedaan konformasi antar jenis kelamin lebih terlihat pada butt shape B. Heifer mempunyai bobot karkas dingin yang lebih berat dibandingkan pada steer, hal ini kemungkinan disebabkan karena pada heifer jaringan lemak berkembang lebih baik dibandingkan pada steer. Hasil ini didukung oleh hasil penelitian Nurlaila (2005) yang menyatakan bahwa heifer menghasilkan lemak yang lebih banyak bila dibandingkan steer.

Hasil pada Tabel 2 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bobot karkas dingin heifer dan steer pada butt shape C dan D, perbedaan baru terlihat pada

butt shape B. Pada butt shape yang semakin baik perbedaan bobot karkas dingin

semakin terlihat. Pada butt shape B bobot karkas dingin heifer berbeda nyata dibandingkan steer, hal ini disebabkan pada heifer jaringan lemak berkembang lebih cepat dibandingkan steer.

(28)

17 Bobot karkas dingin paling tinggi didapatkan pada kombinasi heifer dengan

butt shape B (284,00 kg), sedangkan bobot potong terendah terdapat pada kombinasi heifer dengan butt shape D (231,6 kg).

Tebal Lemak Pangkal Ekor (TLPE)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tebal lemak pangkal ekor tidak dipengaruhi baik oleh jenis kelamin maupun butt shape. Tebal lemak pangkal ekor yang dihasilkan karkas heifer (31,58 mm), tidak berbeda dengan tebal lemak pangkal ekor karkas steer (31,88 mm). Tebal lemak pangkal ekor karkas dengan butt shape B (30,41 mm), tidak berbeda dengan tebal lemak pangkal ekor karkas dengan butt

shape C (33,11 mm) dan D (31,66 mm). Hasil tidak berbeda ini kemungkinan tidak

terjadi jika digunakan karkas dengan butt shape A sampai E.

Tebal Lemak Subkutan Rusuk 12-13 (TLR12)

Hasil pada Tabel 2 menjelaskan bahwa interaksi jenis kelamin dengan butt

shape memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) pada tebal lemak punggung rusuk

ke-12. Tebal lemak punggung rusuk ke-12 semakin meningkat pada karkas dengan

butt shape yang makin tinggi..

Pada karkas heifer dengan butt shape B (2,82 mm) mempunyai tebal lemak punggung rusuk ke-12 yang lebih tebal (P<0,05) bila dibandingkan dengan karkas dengan butt shape C (2,00 mm) dan D (1,62 mm). Tebal lemak punggung rusuk ke-12 karkas dengan butt shape C lebih tebal bila dibandingkan dengan karkas dengan

butt shape D.

Tebal lemak punggung rusuk ke-12 karkas steer dengan butt shape B (2,22 mm) lebih tebal dibanding karkas dengan butt shape C (1,84 mm ) dan D (1,78 mm). TLR12 karkas dengan butt shape C tidak berbeda dibanding karkas dengan butt

shape D. Pada butt shape yang sama, tebal lemak punggung rusuk ke-12 karkas heifer dan steer belum mengalami perbedaan (karkas dengan butt shape C dan D),

tebal lemak punggung rusuk ke-12 baru mengalami perbedaan pada karkas dengan

butt shape B.

Luas Otot Mata Rusuk (rib eye area)

Pengukuran luas otot mata rusuk (rib eye area) dilakukan pada irisan melintang areal otot mata rusuk diantara rusuk 12 dan 13. Hasil pada Tabel 2

(29)

18 menjelaskan bahwa interaksi jenis kelamin dengan butt shape memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) pada rib eye area. Pada karkas dengan butt shape yang makin tinggi, maka rib eye area semakin luas. Luas otot mata rusuk dari setiap karkas dapat bervariasi, dipengaruhi oleh bobot hidup (Field dan Schoonover, 1967). Semakin tinggi bobot hidup, makin luas areal otot mata rusuknya (Crouse et al., 1985)

Pada karkas heifer dengan butt shape B (118,2 cm2) memiliki rib eye area yang lebih luas (P<0,05) bila dibandingkan karkas dengan butt shape C (99,0 cm2) dan D (94,6 cm2), namun karkas dengan butt shape C mempunyai luas otot mata rusuk yang tidak berbeda dengan karkas dengan butt shape D. Sedangkan pada karkas steer dengan butt shape B (103,4 cm2) mempunyai rib eye area yang sama dengan karkas dengan butt shape C (97,8 cm2) tetapi lebih luas dibanding karkas dengan butt shape D (94,4 cm2). Luas otot mata rusuk karkas dengan butt shape C tidak berbeda dibanding karkas dengan butt shape D.

Pada karkas dengan butt shape yang sama, rib eye area heifer dan steer belum mengalami perbedaan pada karkas dengan butt shape C dan D, rib eye area mengalami perbedaan pada karkas dengan butt shape yang lebih baik (B). Hal ini sesuai dengan Crouse et al. (1985) yang menyatakan bahwa rib eye area dipengaruhi oleh jenis kelamin dan bangsa sapi.

Menurut Whytes dan Ramsay (1994), rib eye area telah digunakan sebagai indikator untuk menduga perlemakkan karkas dan hasil daging. Rib eye area yang mempunyai ukuran lebih luas dapat dipercaya menunjukkan perdagingan yang lebih besar. Meskipun korelasi antara luas otot mata rusuk dan total bobot daging yang didapat relatif rendah, yaitu sebesar 0,19 pada bobot daging dan 0,01 untuk persentase daging. Karkas yang berat dan sangat berlemak hanya memiliki sedikit kelebihan daging dan tulang dibandingkan dengan karkas yang lebih ringan dengan sedikit lemak. Karkas dengan bobot 300 kg dan 35% lemak memiliki 195 kg daging dan tulang, sedangkan untuk karkas yang lebih ringan yaitu bobot 220 kg dengan 20% lemak mempunyai 176 kg daging dan tulang Hal ini berarti bahwa dari perbedaan bobot karkas sebesar 80 kg, hanya terdapat 19 kg perbedaan untuk bobot daging dan tulang. Luas otot mata rusuk terluas didapatkan pada kombinasi heifer dengan butt shape B (118,2 cm2), sedangkan luas otot mata rusuk terkecil terdapat pada kombinasi steer dengan butt shape D (94,4 cm2).

(30)

19 Persentase Lemak Ginjal, Pelvis dan Jantung (PLGPJ)

Hasil pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa jenis kelamin dan butt shape berpengaruh nyata terhadap persentase ginjal, pelvis dan jantung dan tidak terdapat interaksi antara keduanya.

Persentase lemak ginjal, pelvis dan jantung pada karkas dengan butt shape B (2,05 %) lebih tinggi dibandingkan karkas dengan butt shape C (1,72 %) dan D (1,66 %). Persentase lemak ginjal, pelvis dan jantung karkas dengan butt shape C tidak berbeda dibandingkan karkas dengan butt shape D. Persentase lemak ginjal, pelvis dan jantung karkas heifer (1,92 %) lebih tinggi dibandingkan karkas steer (1,70 %). Hal ini disebabkan karena heifer cenderung masak lebih dini dibandingkan

steer sehingga jaringan lemaknya berkembang lebih cepat.

Pengaruh Jenis Kelamin dan Butt Shape terhadap Bobot Potongan Komersial

Pengaruh jenis kelamin dan butt shape terhadap bobot potongan komersial karkas dapat dilihat pada Tabel 3. Ada tiga faktor utama dalam menilai karkas yang dipasarkan yaitu bobot karkas, potongan karkas (Cutability) dan kualitas daging (Swatland, 1984). Beberapa Negara memiliki standard yang berbeda dalam pembagian perempat karkas, di negara Inggris, pembagian perempatan karkas dilakukan dengan memotong rusuk 10-11 dengan tiga rusuk tersisa pada bagian seperempat belakang karkas. Amerika pemotongan dilakukan pada rusuk 12-13 dengan satu rusuk pada seperempat belakang karkas (Yeates et al.,1975). Setelah karkas menjadi seperempat bagian, selanjutnya akan dibagi lagi menjadi potongan-potongan karkas yaitu potongan-potongan primal (primal cuts) dan potongan-potongan eceran (retail cuts).

Tabel 3 menunjukkan pengaruh jenis kelamin dan butt shape terhadap potongan komersial karkas, sedikitnya ada 16 potongan komersial karkas yang dikenal. Potongan primal karkas sapi dari seperempat bagian depan, terdiri atas bahu (chuck), chucktender , blade, paha depan (shin), dada (brisket), knuckl, dan cuberoll. Bagian seperempat belakang terdiri atas paha belakang (round/shank) dan paha atas (rump), topside, silverside, loin (terdiri atas tenderloin dan striploin ) dan flank (Soeparno,1994).

(31)

20 Tabel 3. Pengaruh Jenis Kelamin dan Butt Shape terhadap Bobot Potongan

Komersial Potongan Komersial Jenis

Kelamin Butt shape Rataan D C B A. Forequarter chuck Heifer 12,86 13,97 15,67 14,17 Steer 13,39 14,15 14,55 14,03 Rataan 13,13b 14,06ab 15,11a blade Heifer 7,16 7,91 8,41 7,83 Steer 7,13 7,50 8,06 7,56 Rataan 7,15b 7,71ab 8,24a brisket Heifer 5,18 5,74 6,17 5,70 Steer 5,55 5,85 5,64 5,68 Rataan 5,37 5,80 5,91 knuckl Heifer 4,28 4,64 4,92 4,61 a Steer 4,05 3,98 4,43 4,15b Rataan 4,17b 4,31b 4,68a cuberoll Heifer 2,99 a 2,64bc 3,19a 2,94 Steer 2,17e 2,38d 2,47cde 2,34 Rataan 2,58 2,51 2,83 chucktender Heifer 1,27 1,12 1,31 1,23 a Steer 1,04 1,08 1,18 1,10b Rataan 1.16 1,10 1,25 shin Heifer 2,27 2,33 2,53 2,38 Steer 2,23 2,33 2,40 2,32 Rataan 2,25b 2,33ab 2,47a B. Hindquarter rump Heifer 5,12 5,29 5,68 5,36 Steer 4,81 5,01 5,30 5,04 Rataan 4,97b 5,15ab 5,49a tenderloin Heifer 2,05 2,42 2,26 2,24 a Steer 1,91 1,82 2,06 1,93b Rataan 1,98 2,12 2,16 topside Heifer 7,26 7,71 8,12 7,70 Steer 6,91 7,54 7,72 7,39 Rataan 7,08b 7,63ab 7,92a silverside Heifer 6,39 7,04 7,51 6,98 Steer 6,41 7,02 6,75 6,73 Rataan 6,40c 7,03b 7,13a striploin Heifer 4,92 5,12 5,67 5,24 Steer 4,65 4,57 5,39 4,87 Rataan 4,79b 4,85b 5,53a shank Heifer 3,36 3,60 3,89 3,62 Steer 2,94 3,30 3,28 3,17 Rataan 3.15b 3,45a 3,59a flank Heifer 5,09 4,45 5,15 4,89 Steer 3,49 5,20 4,29 4,33 Rataan 4,29 4,82 4,72

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada potongan komersial yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05)

(32)

21 Hasil analisis menunjukkan bahwa bobot potongan-potongan komersial

chuck, blade, knuckl, shin, rump, topside, silverside, striploin dan shank akan

meningkat pada butt shape yang semakin baik, bobot potongan-potongan komersial tersebut cenderung sama pada jenis kelamin yang berbeda. Jenis kelamin memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) pada potongan komersial knuckl,

chucktender dan tenderloin.

Tabel 3 menunjukkan bahwa jenis kelamin dan butt shape memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada potongan-potongan komersial yang bernilai tinggi, interaksi antara jenis kelamin dan butt shape memberikan pengaruh yang nyata terhadap cuberoll. Sedangkan pada knuckl, jenis kelamin dan butt shape memberikan pengaruh nyata tapi tidak terdapat interaksi diantara keduanya, striploin hanya dipengaruhi oleh butt shape, sedangkan tenderloin hanya dipengaruhi oleh jenis kelamin. Potongan komersial brisket dan flank tidak dipengaruhi baik oleh jenis kelamin maupun butt shape, kedua potongan komersial ini cenderung sama baik pada jenis kelamin maupun butt shape yang berbeda.

Bobot cuberoll kombinasi heifer dengan butt shape B (3,19 kg) nyata lebih berat dibandingkan kombinasi lainnya dan bobot cuberoll terendah didapatkan pada kombinasi steer dengan butt shape D (2,17 kg). Bobot knuckl karkas dengan butt

shape B (4,68 kg) nyata lebih berat dibandingkan karkas dengan butt shape C

(4,31 kg) dan D (4,17 kg), bobot knuckl karkas heifer (4,61 kg) nyata lebih berat dibandingkan karkas steer (4,15 kg).

Bobot tenderloin karkas heifer (2,24 kg) nyata lebih diberat dibandingkan karkas steer (1,93 kg). bobot tenderloin cenderung sama pada butt shape yang berbeda. Bobot striploin karkas dengan butt shape B (5,53 kg) nyata lebih berat dibandingkan karkas dengan butt shape C (4,85 kg) dan D (4,79 kg), bobot knuckl karkas heifer tidak berbeda dibandingkan karkas steer.

Hasil pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa bobot potongan komersial karkas

heifer lebih berat bila dibandingkan bobot potongan komersial karkas steer, hal ini

disebabkan heifer cenderung masak lebih dini, sehingga memiliki perlemakan yang tinggi, termasuk didalamnya lemak-lemak yang tidak dapat di trimming, lemak subkutan, intermuskuler dan intramuskuler

(33)

22 Pengaruh Jenis Kelamin dan Butt Shape

terhadap Persentase Potongan Komersial

Pengaruh jenis kelamin dan butt shape terhadap persentase potongan komersial terlihat pada Tabel 4. Persentase potongan komersial cenderung meningkat pada ternak yang memiliki butt shape semakin tinggi. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa persentase potongan-potongan komersial pada steer cenderung lebih tinggi dibandingkan heifer, hal ini disebabkan potongan komersial yang dihasilkan heifer lebih banyak mengandung lemak interrmuskuler dibandingkan potongan komersial yang dihasilkan steer .

Tabel 4 memperlihatkan bahwa pada karkas heifer seiring meningkatnya butt shape persentase potongan komersial cenderung menurun pada semua potongan

komersial, kecuali cuberoll dan chucktender. Hal ini kemungkinandipengaruhi oleh pertumbuhan dan distribusi lemak selama penggemukan. Kondisi ini didukung oleh hasil penelitian Susilawati (1998) dan Pratiwi (1997) yang melaporkan hubungan peningkatan tebal lemak punggung sebagai indikator karkas dengan perubahan persentase potongan komersial. Meningkatnya tebal lemak punggung akan menurunkan persentase potongan, kemungkinan disebabkan karena perbandingan persentase trim lemak terhadap potongan komersialnya meningkat. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa terjadinya peningkatan bobot tubuh maupun bobot karkas pada ternak dewasa terutama disebabkan oleh pertambahan jaringan lemak. Dalam hubungannya dengan distribusi daging potongan komersial lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa jika bobot karkas semakin meningkat maka penimbunan perlemakan baik lemak subkutis maupun lemak intermuskuler juga akan meningkat, sehingga jika bobot karkas semakin tinggi maka depot-depot lemak pada beberapa lokasi potongan komersial akan meningkat dan menyebabkan persentase potongan komersial tersebut akan mengalami penurunan, demikian pula sebaliknya.

Persentase potongan karkas cenderung tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, maupun butt shape, hal ini dikarenakan persentase bersifat relatif. Pada persentase potongan komersial cuberoll, tenderloin dan chucktender terdapat interaksi antara jenis kelamin dan butt shape (P<0,05).

(34)

23 Tabel 4. Pengaruh Jenis Kelamin dan Butt Shape terhadap Persentase

Potongan Komersial Potongan Komersial Jenis

Kelamin Butt shape Rataan D C B A. Forequarter chuck Heifer 11,06 11,07 10,97 11,03 Steer 11,57 11,86 11,45 11,63 Rataan 11,31 11,47 11,21 blade Heifer 6,18 6,27 5,90 6,12 Steer 6,13 6,28 6,35 6,26 Rataan 6, 16 6,28 6,13 brisket Heifer 4,45 4,55 4,31 4,34 Steer 4,80 4,90 4,45 4,72 Rataan 4,62 4,72 4,37 knuckl Heifer 3,70 3,67 3,45 3,61 Steer 3,49 3,34 3,49 3,44 Rataan 3,59 3,50 3,47

cuberoll Heifer 2,60a 2,10cdef 2,23bcde 2,31

Steer 1,88f 2,00def 1,95ef 1,94

Rataan 2,24 2,05 2,09

chucktender Heifer 1,09a 0,89f 0,92cdef 0,97

Steer 0,90ef 0,91def 0,93bcdef 0,91

Rataan 0,99 0,90 0,93 shin Heifer 1,96 1,84 1,78 1,86 Steer 1,92 1,95 1,89 1,92 Rataan 1,95 1,90 1,84 B. Hindquarter rump Heifer 4,42 4,18 3,98 4,20 Steer 4,13 4,19 4,18 4,17 Rataan 4,28 4,18 4,08

tenderloin Heifer 1,77abcd 1,91a 1,58de 1,76

Steer 1,65bcde 1,52e 1,62cde 1,60

Rataan 1,71 1,72 1,60 topside Heifer 6,25 6,10 5,70 6,02 Steer 5,97 6,31 6,08 6,12 Rataan 6,11 6,21 5,89 silverside Heifer 5,49 5,57 5,27 5,45 Steer 5,52 5,87 5,32 5,57 Rataan 5,51 5,72 5,30 striploin Heifer 4,27 4,06 3,97 4,10 Steer 3,98 3,84 4,25 4,03 Rataan 4,13 3,95 4,11 shank Heifer 2,90 2,85 3,20 2,97 Steer 2,79 2,77 2,71 2,80 Rataan 2,84 2,81 2,95 flank Heifer 3,71 4,83 4,31 4,28 Steer 5,05 4,35 4,96 4,79 Rataan 4,38 4,59 4,64

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada potongan komersial yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05)

(35)

24 Pengaruh Jenis Kelamin dan Butt Shape

terhadap Komponen Karkas

Pengaruh jenis kelamin dan butt shape terhadap karakteristik karkas dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pengaruh Jenis Kelamin dan Butt Shape terhadap Komponen Karkas Komponen karkas Jenis

Kelamin Butt shape Rataan D C B A. Bobot (kg) Daging Heifer 70,30 75,05 81,03 75,5 a Steer 68,73 71,73 75,02 71,8b Rataan 69,51b 73,39b 78,03a Lemak Heifer 19,58 f 22,86bcdef 31,67a 24,70

Steer 19,36ef 21,05def 21,51cdef 20,64

Rataan 19,47 21,96 26,59 Tulang Heifer 17,20 d 18,64bcd 19,71abc 18,52 Steer 20,27ab 18,08cd 20,63a 19,66 Rataan 18,73 18,36 20,17 B. Persentase (%) Daging Heifer 60,61 59,44 56,79 58,95 Steer 59,20 60,10 59,12 59,47 Rataan 59,91a 59,77a 57,96b Lemak Heifer 16,83f 18,00bcdef 22,22a 19,02

Steer 16,64ef 17,63cdef 17,03def 17,10

Rataan 16,73 17,82 19,63

Tulang

Heifer 14,89 14,76 13,83 14,49b

Steer 17,62 15,13 16,27 16,34a

Rataan 16,26 14,94 15,05

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada komponen karkas yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05)

Hasil analisis menunjukkan bahwa total daging secara nyata dipengaruhi oleh

butt shape dan jenis kelamin, namun tidak ada interaksi diantara keduanya. Interaksi

antara jenis kelamin dan butt shape mempengaruhi bobot total lemak, bobot total tulang dan persentase lemak (P<0,05). Faktor butt shape berpengaruh terhadap bobot total dan persentase daging (P<0,05). Sedangkan jenis kelamin memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot total daging dan persentase tulang.

Tabel 5 memperlihatkan bahwa bobot daging dan tulang semakin meningkat dengan meningkatnya butt shape, namun demikian persentase daging dan tulang mengalami penurunan seiring meningkatnya butt shape. Penurunan persentase daging dan tulang diiringi dengan meningkatnya persentase lemak karkas seiring dengan meningkatnya butt shape. Hal ini sesuai dengan Preston dan Willis (1974) yang menjelaskan pertumbuhan akan menurun sampai pada suatu saat dimana tidak

(36)

25 terjadi lagi pertumbuhan tulang ataupun daging dan selanjutnya pertambahan bobot badan hanya merupakan pertambahan dan penumpukan jaringan lemak saja. Setelah otot mencapai pertumbuhan maksimal, pertambahan bobot otot terjadi terutama karena deposisi lemak intramuskular. Lemak akan ditimbun selama pertumbuhan dan perkembangan, sehingga karkas ternak dewasa dapat mengandung lemak sampai sekitar 30 - 40 % (Berg dan Butterfield, 1976).

Bobot daging berbeda nyata dipengaruhi oleh jenis kelamin dan butt shape, dan tidak terdapat interaksi antara keduanya. Bobot daging tertinggi dihasilkan pada kombinasi heifer dengan butt shape B (81,03 kg), sedangkan bobot daging terendah dihasilkan pada kombinasi steer dengan butt shape D (68,73 kg). Bobot lemak tertinggi dihasilkan kombinasi heifer dengan butt shape B (31,67 kg) nyata lebih besar dibandingkan kombinasi lainnya, sedangkan bobot lemak terendah tercatat pada kombinasi steer dengan butt shape D (19,36 kg). Bobot tulang tertinggi dihasilkan pada kombinasi steer dengan butt shape B (20,63 kg), dan bobot tulang terendah terdapat pada kombinasi heifer dengan butt shape D (17,20 kg).

Hasil diatas menunjukkan besarnya pengaruh jenis kelamin, bobot lemak yang dihasilkan heifer nyata lebih tinggi dibandingkan lemak yang dihasilkan steer. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Williams (1982) yang menyatakan bahwa jumlah lemak ternak sapi betina (heifer dan cow) lebih banyak daripada jumlah lemak yang dihasilkan sapi jantan kastrasi (steer) dan paling sedikit mengandung lemak adalah sapi pejantan. Hasil di atas juga didukung oleh hasil penelitian Hafid (2005) yang menyatakan bahwa kandungan trim lemak pada kombinasi heifer dan cow dengan

butt shape B nyata lebih berat dibandingkan kombinasi lainnya.

Persentase daging tertinggi dihasilkan pada kombinasi steer dengan butt

shape D (60,61 %), sedangkan persentase daging terendah dihasilkan pada

kombinasi heifer dengan butt shape B (56,79 %). Persentase lemak tertinggi dihasilkan pada kombinasi heifer dengan butt shape B (22,22 %), sedangkan persentase lemak terendah dihasilkan pada kombinasi steer dengan butt shape D (16,64 %). Persentase tulang tertinggi dihasilkan pada kombinasi steer dengan butt

shape D (17,62 %), dan persentase tulang terendah dihasilkan pada kombinasi heifer

(37)

26 Pertumbuhan tulang, otot dan lemak akan dipengaruhi oleh umur, bangsa, bobot, jenis kelamin dan makanan (Berg dan Butterfield, 1976; Johnson dan Priyanto,1992). Hasil penelitian menunjukkan bahwa karkas heifer memiliki bobot daging dan lemak yang lebih tinggi bila dibandingkan karkas steer, namun demikian dari segi persentase ternyata karkas steer memiliki persentase daging yang lebih tinggi dibandingkan heifer, hal ini dikarenakan heifer cenderung masak lebih cepat dibandingkan steer, sehingga karkas heifer memiliki perlemakan lebih tinggi. Bobot karkas tulang steer lebih tinggi dibandingkan heifer, ini disebabkan steer mempunyai tubuh yang lebih kekar dibandingkan heifer, hal ini didukung oleh persentase tulang

steer yang berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan persentase tulang heifer.

Karkas dengan proporsi daging yang tinggi dan perlemakan yang optimum lebih disukai konsumen karena mempunyai kualitas daging yang baik. Perdagingan yang tinggi dengan tingkat perlemakan yang rendah lebih disukai oleh konsumen lokal (pasar tradisional), sedangkan untuk konsumen khusus (lembaga, perhotelan) tingkat perlemakan yang cukup tinggi diperlukan karena akan berpengaruh dengan karkas yang dihasilkan. Produktivitas karkas optimum akan berbeda pada pasar yang berbeda, tergantung sasaran konsumennya.

(38)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini bahwa butt shape erat kaitannya

terhadap karakteristik karkas, interaksinya dengan faktor jenis kelamin sangat erat berkaitan

terutama terhadap luas otot mata rusuk, bobot karkas dingin, dan tebal lemak punggung rusuk

ke-12. Bobot potongan komersial karkas semakin meningkat pada butt shape yang semakin baik,

terutama pada potongan-potongan chuck, blade, knuckl, cuberoll, shin, rump, topside, silverside,

striploin dan shank. Namun persentase potongan menurun pada butt shape yang semakin baik.

Bobot potongan komersial karkas heifer lebih tinggi dibandingkan potongan komersial steer,

terutama pada potongan-potongan knuckl, cuberoll, chucktender dan tenderloin. Persentase

potongan komersial karkas steer lebih tinggi dibandingkan potongan komersial karkas heifer.

Butt shape memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot dan persentase komponen

karkas, terutama lemak. Bobot daging, lemak dan tulang serta persentase lemak semakin

meningkat seiring meningkatnya butt shape. Persentase lemak pada karkas heifer lebih tinggi

dibandingkan pada karkas steer. Meningkatnya konformasi butt shape, menggambarkan makin

meningkatnya bobot potong dan bobot karkas, meningkatnya bobot potong dan bobot karkas

disebabkan oleh meningkatnya persentase lemak karkas.

Saran

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ternak yang mempunyai bobot potong yang

lebih tinggi, tidak selalu memberikan persentase hasil daging yang tinggi pula. Karkas dengan

proporsi daging yang tinggi dan perlemakan yang optimum akan lebih disukai konsumen, pada

butt shape B sebaiknya dipilih karkas steer, karena menghasilkan persentase daging yang lebih

tinggi dengan persentase lemak yang lebih sedikit dibandingkan karkas heifer.

(39)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan ridho-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir penyusunan skripsi ini.

Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari akan keterbatasan wawasan dan pengetahuan penulis. Adanya bantuan dari berbagai pihak sangat mendukung penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Rasa terima kasih penulis yang tulus dihaturkan kepada Ayah, Bunda, Dedi, Lidya, Fajri dan Kiki Suminar atas segala dukungan, doa, pengertian dan kasih sayang yang tak putus-putusnya dan tak kenal lelah diberikan kepada penulis hingga dapat menyelesaikan studi. Penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada bapak Prof. Dr. D.J. Samosir (alm) sebagai pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menempuh studi di Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si sebagai pembimbing utama dan Bramada Winiar Putra, S.Pt sebagai pembimbing anggota yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, serta masukan dan saran dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Rudy Priyanto dan Ir. Dwi Joko Setyono, M.S sebagai dosen penguji, atas segala arahan dan masukkannya sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik.

Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Harapin Hafid, MSi atas kesempatan yang telah diberikan untuk turut serta dalam penelitian. Rekan – rekan sepenelitian, Nurlaila, Edwin, Ririn, Eni terima kasih atas kebersamaannya selama penelitian. Terima kasih penulis juga sampaikan kepada seluruh staf dan karyawan PT. Celmor Perdana Indonesia atas bantuan dan kesempatan yang diberikan untuk melakukan penelitian.

Terima kasih penulis kepada Eko, Yogi, Edi, Dedi, Kiki, Sofie, Ulfa, Dwi serta keluarga besar Program Studi THT penulis ucapkan terima kasih atas atas segala kebersamaan dan keceriaan yang selalu kita ciptakan. Waskito (alm),

(40)

29 kenanganmu akan akan selalu bersama kami. Kepada Seno, Eren, Triyogo, Haris, Senin dan keluarga besar wisma baristar serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih, semoga semua kebaikan yang telah diberikan mendapat ridho Allah SWT untuk dijadikan sebagai suatu amal ibadah dan mendapat imbalan yang berlipat di kemudian hari.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan bagi semua pembaca pada umumnya, sehingga dapat menambah ilmu pengetahuan.

Bogor, Februari 2007

(41)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1988. Meat Evaluation handbook. National Livestock and Meat Board, Illionis.

Anonim. 1991. Australian meat and livestock corporation. A Workshop for tropical feedlot managers; An introductory workshop for managersin the Philippines, Sydney.

Aus-Meat. 1995. Aus-Meat for Indonesia Workshop. Woork book No.1. Australian Meat and Livestock Corporation. Perth. Western Australia.

Baas, J.J., D.L. Johnson and E.G. Woods. 1982. Relationship of carcass conformation of cattle and sheep with carcass composition. Proc. Anim. Prod. 42:125-126

Bahar, B. 2003. Panduan Praktis Memilih Produk Daging Sapi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Berg, R. T. and R. M. Butterfield. 1976. New Concepts of Cattle Growth. Sidney University Press, Sidney.

Butterfield, R.M., 1963. Estimation of Carcass Composition. In Beef Carcass Composition and Meat Quality. Dept. of Primary Industries. Queensland.

Crouse, J.D., D.L. Ferrell and L.V. Cundiff. 1985. Effects of sex condition, genotipe and diet on bovine growth and carcass characteristics. J. Anim. Sci. 60 (5) : 1219 - 1227

Charles, D. D. 1987. Meat Science. University of Queensland, Brisbane.

Field, R.A. and Schoonover. 1967. Equation for comparing longissimus dorsi area in bulls of different weight. J. Anim. Science. 26 (4) : 709 – 712.

Forrest, J. C., D. E. Aberle, H. B. Hedrick, M. D. Judge and R. A. Markel. 1975. Priciples of Meat Science. W. H. Freeman and Company, San Fransisco.

Hafid, H. H. 2005. Kajian pertumbuhan dan distribusi daging serta estimasi produktivitas karkas sapi hasil penggemukan. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hardjosubroto, W. dan J. W. Astuti. 1994. Buku Pintar Peternakan. Gramedia Widya Sarana Indonesia, Jakarta.

Hendrick, H. B. 1983. Methods of estimating live animal and carcass composition. J. Anim. Sci. 57:1316

Johnson, E. R. and R. Priyanto. 1991. The relationship of breed, feed, and age to the disposition of muscle and fat in beef carcassses. In: Vet. Update 1992. H. G. Osborne (Ed). The University of Quensland, Brisbane.

Johnson, E. R., D.G. Taylor and R. Priyanto. 1996. Anatomical facts in fuencing butt shape of steers prepared for the Australia domestic market. Proc. Aust. Soc. Anim. Prod. 19:185-188.

(42)

31 Kempster, T., A. Cuthberston and Harrington. 1982. Carcass Evaluation in Livestock

Breeding, Production and Marketing. First Publ. Granada Publishing Ltd., Granada.

Koch, R.M., M.E. Dikeman and R.J. Lipsey, 1979. Characterization of biological types of cattle-cycle II:III. Carcass composition, quality and palatability. J. Anim. Sci.49:449-460.

Levie, A. 1979. Meat Handbook. 4th Edit. AVI Publ. Co. Inc. Westport, Connecticut. Le Van , P.J., L.L. Wilson, J.l. Watkins, C.K. Grieco, J.H. Ziegler and K.A. Barber. 1979. Retail lean, bone and fat distribution of Angus and Chorolais steers slaughtered at similar stages of phisiological maturity. J. Anim. Sci. 49 : 683 – 692.

Minish, G. L. and D. G. Fox. 1979. Beef Production and Management. Reston Publishing Co., Inc. A Prentice-Hall Co., Reston, Virginia.

Murphey, D. K., Hallet, W. E. Taylor and J. C. Pierce. 1960. Estimating yields of retail carcass from beef carcasses. J. Anim. Sci. 19: 1241 (Abstr.).

Ngadiono, N. 1995. Pertumbuhan serta sifat-sifat karkas dan daging Sapi Sumba Ongole, Brahman Cross dan Australian Commercial Cross yang dipelihara secara intensif pada berbagai bobot potong. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Nurlaila. 2005. Estimasi komposisi karkas sapi dari beberapa kategori jenis kelamin yang digemukkan secara feedlot. Skripsi.Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pratiwi, N. M. W. 1997. Estimasi produktivitas karkas sapi Bahman Cross kastrasi yang dipotong pada kisaran bobot 350-550 kg. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Preston, T.R. and M.B. Willis. 1974. Intensive Beef Production 2nd Ed. Pergamon Press, Newyork

Priyanto, R., E. R. Johnson and D. G. Taylor. 1993. Prediction of carcass composition in heavy-weight grass-fed and grain-fed beef cattle. J. Anim. Prod. 57: 65-72.

Riley, R.R., G.C. Smith, H.R. Cross, J.W. Savell, C.R. Ling dan T.C. Carwright. 1986. Chronologis age and breed type on carcass characteristics and Palatability of beef. meat science 17. 187-198

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan Biometrik. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Susilawati, R. 1998. Produktivitas karkas sapi Australian Commercial Cross yang dipelahara secara feedlot pada lama penggemukan yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Swatland, H. J. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mempelaj ari penampilan bobot badan, pertambahan bobot badan dan karkas sapi Brahman Cross Heifer dengan pemberian konsentrat yang berbeda,

Hasil analisis menunjukkan bahwa pada paritas I terdapat hubungan yang nyata (P&lt;0,05) antara bobot badan induk dan bobot lahir pedet dengan nilai korelasi pada pedet jantan r=

Sifat-sifat karkas yang diukur adalah tebal lemak dengan subkutan subcutaneous fat thickness (SFT), tebal lemak intermuskuler intermuscular fat thickness (IMFT), tebal

Sifat-sifat karkas yang diukur adalah tebal lemak dengan subkutan subcutaneous fat thickness (SFT), tebal lemak intermuskuler intermuscular fat thickness (IMFT), tebal

Hal tersebut sesuai dengan hasil analisis yang menunjukkan bahwa heifer pada kelompok umur PI0 mempunyai bobot karkas yang secara nyata lebih tinggi

Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian bertujuan untuk mengetahui karakteristik karkas dan kualitas fisik daging sapi Brahman Cross Steer pada lama istirahat yang

Karkas dengan skor kepualaman “slight” banyak digunakan sebagai bahan baku industri steak (Jones dan Tatum, 1994). Hasil karkas meliputi bobot karkas panas, persentase lemak

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Berat potong domba dengan jenis kelamin berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi karkas dan non karkas dengan prosentase