• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN AKAD GADAI MOBIL DAN SEPEDA MOTOR DI DESA DUREN KECAMATAN PILANGKENCENG KABUPATEN MADIUN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN AKAD GADAI MOBIL DAN SEPEDA MOTOR DI DESA DUREN KECAMATAN PILANGKENCENG KABUPATEN MADIUN."

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN

AKAD GADAI MOBIL DAN SEPEDA MOTOR DI DESA DUREN

KECAMATAN PILANGKENCENG KABUPATEN MADIUN

SKIRPSI

Oleh:

Mujahidah Muharrom Al-Karima NIM. C02212031

Universitas Islam Negeri SunanAmpel Fakultas Syari’ah Dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)

SURABAYA

▸ Baca selengkapnya: surat pernyataan gadai mobil

(2)

▸ Baca selengkapnya: surat perjanjian gadai mobil bermaterai

(3)

▸ Baca selengkapnya: contoh surat kwitansi gadai motor

(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini merupakan hasil penelitian lapangan (field research) dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Akad Gadai di Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan tentang “bagaimana pelaksanaan akad gadai mobil dan sepeda motor di Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun, dan bagaimana analisis hukum Islam pelaksanaan akad gadai mobil dan sepeda motor di Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara (interview) dan dokumentasi. Setelah data terkumpul data diolah dan dianalisis dengan metode deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif yaitu Menggambarkan prinsip umum gadai hukum Islam untuk kemudian dideduksi untuk menganalisa praktek gadai yang terjadi di lapangan . kesimpulan yang didapatkan tentu bersifat khusus.

Hasil penelitian ini menyimpulkan gadai mobil dan sepeda motor yang ada di Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun dilakukan perorangan

bukan lembaga. Murtahin dan ra>hin yang melakukan perjanjian akad gadai dengan

menyerahkan jaminan sebagai jaminan hutang, dan ra>hin tidak diberikan batasan

waktu pembayaran hutangnya asalkan ra>hin tetap membayar bunga, apabila ra>hin

tidak dapat membayar bunga maka murtahin memberikan denda kepada ra>hin.

Ditinjau dari hukum Islam dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan gadai mobil dan sepeda motor merupakan praktek yang tidak boleh dilakukan oleh Islam. Mengingat praktek itu lebih banyak kemadharatan dibanding dengan segi kemaslahatannya, yang memberatkan salah satu pihak. kendati secara hukum Islam sah akad gadainya tetapi praktek dan pemanfaatannya yang digunakan bertentangan dengan aturan agama. Serta adanya unsur tambahan bunga dan kecurangan yang dilakukan murtahin dengan menyewakan mobil dan sepeda motor kepada pihak ketiga, setiap hutang yang menarik manfaat adalah riba.

(7)
(8)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM………. i

PERNYATAAN KEASLIAN……….. ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING……… iii

PENGESAHAN……….. iv

MOTTO………... v

PERSEMBAHAN……….. vi

ABSTRAK. ... ….. vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI……….. x

DAFTAR TRANSLITERASI………... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 5

C. Rumusan Masalah ... 6

D. Kajian Pustaka ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Kegunaan Penelitian ... 9

G. Definisi Operasional ... 9

H. Metode Penelitian ... 10

I. Sistematika Pembahasan ... 16

(9)

B. Dasar Hukum Gadai ... 20

C. Rukun dan Syarat Gadai ... 24

D. Hak dan Kewajiban (Rahin dan Murtahin) ... 28

E. Resiko kerusakan Barang Gadai ... 30

F. Batasan Waktu dan Riba dalam Gadai………...…….. 31

G. Pendapat Para Ulama Tentang pemanfaatan Barang Gadai (Murtahin) ... 32

H. Batalnya Akad Gadai ... 37

BAB III PELAKSANAAN AKAD GADAI MOBIL DAN SEPEDA MOTOR DI DESA DUREN KECAMATAN PILANGKENCENG KABUPATEN MADIUN ... 39

A. Gambaran Umum Lokasi Desa Duren ... 39

1. Sejarah Desa Duren ... 39

2. Letak Geografis Desa ... 41

3. Demografis ... 42

4. Keadaan Ekonomi ... 44

5. Agama dan Budaya ... 45

6. Pendidikan ... 46

7. Pembangunan ... 48

B. Pelaksanaan Akad Gadai Mobil dan Sepeda Motor di Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun ... 48

1. Latar Belakang terjadinya Gadai ... 48

2. Pelaksanaan Akad Gadai Mobil dan Sepeda motor ... 49

(10)

A. Analisis Pelaksanaan Akad Gadai Mobil dan sepeda

Motor di Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng

Kabupaten Madiun ... 58

B. Analisis Hukum Islam Pelaksanaan Akad Gadai Mobil dan Sepeda Motor di desa Duren kecamatan Pilangkenceng kabupaten Madiun ... 60

BAB V PENUTUP ... 66

A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA

(11)
(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk sosial harus senantiasa mengikuti aturan

yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Kerena manusia sebagai makhluk

sosial, mereka akan saling membutuhkan antara satu dengan yang lain untuk

memenuhi kebutuhannya. Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya prinsip

muamalah misalnya, tidak mempersulit, suka sama suka dan saling tolong

menolong.1 Hubungan Individu dengan lainnya, seperti pembahasan masalah

hak dan kewajiban, harta, jual-beli, kerja sama dalam berbagai bidang, pinjam

meminjam, sewa menyewa, penggunaan jasa dan kegiatan-kegiatan lainnya

yang sangat diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari, diatur dalam

fiqh mu’a>malah.2

Kenyataan tolong menolong dalam bermu’a>malah tidak dapat

ditinggalkan, karena bermu’a>malah dengan cara tolong-menolong akan

mempermudah mendapat segala kebutuhan dan dapat mempererat tali

silaturrahmi antara sesama manusia. Mu’a>malah dalam arti luas adalah

aktivitas untuk menghasilkan duniawi menyebabkan keberhasilan masalah

ukhrawi. Mu’a>malah juga merupakan sistem kehidupan manusia, tak

terkecuali pada dunia ekonomi. Dalam berinteraksi dengan orang lain

1

Abdur Rahman Ghazaly, Fiqih Muamalat (Jakarta: Kencana Pranada Media, 2010), 4.

2

M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2003),1.

(13)

2

manusia harus memiliki kebebasan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

secara maksimal. Namun disisi lain bagi diri manusia menempel kepentingan

dan kebutuhan orang lain yang mengharuskan bahwa seseorang harus

menyadari akan ketidakmampuannya di dalam memenuhi kebutuhannya.

Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa “kebebasan manusia

adalah kebebasan yang dibatasi oleh kebebasan orang lain”. Prinsip seperti

ini membutuhkan ajaran tersendiri agar manusia dengan sadar untuk

melakukannya.3 Hal ini kaum muslimin dianjurkan untuk saling membantu

dan meringankan beban orang lain, dapat diwujudkan melalui jaminan

masalah utang yang menjadi beban orang lain.4

Menurut Sayyid Sabiq, ar-rahn adalah menjadikan barang berharga

menurut pandangan syara’ sebagai jaminan utang.5 Dalam bentuk ini pinjam

meminjam dalam hukum islam mengajurkan supaya kedua belah pihak tidak

dirugikan. Murtahin dibolehkan menahan barang milik ra>hin yang

mempunyai nilai dan ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan

memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian

piutangnya yang diterimanya, dalam hal ini dikenal dengan istilah gadai atau

ar-rahn.6 Para ulama sepakat bahwa ar-rahn dibolehkan tetapi tidak

3

Moch.Yazid Afandi, Geneologi Konsep Ekonomi Islam ( Yogyakarta:Jurnal Asy-Syari’ah,

2006), 28.

4

Ismail Nawawi, Fiqh Mualalah (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), 195.

5

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid III (Beirut: Dar kitab al-Arabi,1971), 153.

6

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan (Jakarta: Takzia

Institute, 1999), 213.

(14)

3

diwajibkan, sebab gadai hanya bersifat jaminan saja jika kedua belah pihak

tidak saling mempercayai7

Diperbolehkannya rahn telah diatur dalam surat al-Baqarah (2): 283

yang berbunyi:                          …

“Apabila kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang), akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai itu menunaikan amanat (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada

Allah tuhannya”. (QS. al-Baqarah: 283)”.8

Gadai atau rahn bukanlah merupakan suatu hal yang baru karena hal

tersebut sudah ada sejak jaman Rasulullah saw. Gadai pada masa Rasulullah

merupakan suatu kegiatan utang piutang yang murni bersifat sosial, yang

pada saat itu belum berupa sebuah lembaga formal. Sehingga aktivitas

terbaru hanya berfungsi sosial semata dan penggadai tidak berkewajiban

memberikan tambahan apapun dalam melunasinya karena itu termasuk riba.

Dalam masalah gadai, Islam telah mengaturnya seperti yang telah

diungkapkan ulama fiqh, baik mengenai rukun, syarat, dasar hukum, maupun

tentang pemanfaatan barang gadai oleh penerima gadai yang semua itu bisa

dijumpai dalam kitab-kitab fiqh. Dalam pelaksanaannya tidak menutup

kemungkinan adanya penyimpangan dari aturan yang ada. Dalam

pemanfaatan barang gadai Jumhur Fuqaha>’ berpendapat bahwa murtahin

7

Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 160.

8

Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemah (Jakarta: Pustaka al-Fatih, 2009), 49.

(15)

4

tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut,

sekalipun ra>hin mengijinkannya, murtahin tidak boleh bertindak menjual,

mewakafkan atau menyewakan barang jaminan itu, karena hal ini termasuk

pada hutang yang menarik manfaat,.9

Kegiatan Gadai yang terjadi pada masyarakat di Desa Duren

Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun sudah menjadi adat istiadat

atau tradisi, yaitu orang yang berhutang menyerahkan mobil atau sepeda

motor sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman uang. Di Desa Duren

Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun berpenghasilan sebagai petani,

dan keadaan perekonomiannya tidak menentu.

Namun dalam prakteknya terdapat kejanggalan yakni ra>hin

(penggadai) memberikan jaminan kepada murtahin (penerima gadai) sebuah

barang gadai disebut marhu>n, seperti mobil atau sepeda motor. Namun dalam

sistem pembayarannya ra>hin meninggalkan mobil atau sepeda motor sebagai

jaminan utang piutang tetapi saat pembayaran murtahin tidak memberikan

perjanjian batasan waktu untuk membayar pinjamannya dan dalam

melakukan perjanjian kedua belah pihak. Misalnya, ra>hin meminjam uang

kepada murtahin dengan jaminan mobil atau sepeda motor, maka murtahin

memberikan pinjaman uang kepada ra>hin dengan kententuan ra>hin membayar

bunga atas pinjaman uang yang diberikan murtahin kepada ra>hin 10% dari

pinjamannya yang dibayar tiap bulannya. Selama ra>hin belum melunasi utang

yang diberikan murtahin, maka bunga tersebut menjadi uang pokok dalam

9

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 263.

(16)

5

pembayarannya selain dengan jumlah uang yang diterima ra>hin, dalam

pembayaran utangnya tidak ada batasan waktu sehingga sistem

pembayarannya memberatkan ra>hin. Apabila ra>hin tidak dapat membayar

bunga yang dibayar tiap bulannya, maka ra>hin dikenakan denda 10% dari

uang bunga yang dipinjamnya, sehingga ra>hin setiap bulannya harus

membayar bunga dan dendanya. Murtahin juga menggunakan barang gadai

tersebut sebagai kebutuhan untuk dirinya sendiri, selain itu murtahin juga

memanfaatkan barang gadainya tanpa ijin penyewaan pada ra>hin.

Berdasarkan hal ini maka penulis tertarik mengadakan penelitian, di

Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun. Maka penulis

dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadap Sistem Gadai Mobil dan

Sepeda Motor di Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun”.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Identifikasi masalah dilakukan untuk menjelaskan

kemungkinan-kemungkinan cakupan masalah yang dapat muncul dalam penelitian dengan

melakukan identifikasi, maka masalah yang dapat di identifikasi dari

latar-belakang diatas adalah:

1. Pelaksanaan akad gadai mobil dan sepeda motor di Desa Duren

Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun.

2. Pemanfaatan gadai mobil dan sepeda motor di Desa Duren Kecamatan

Pilangkenceng Kabupaten Madiun.

(17)

6

4. Analisis hukum Islam terhadap pelaksanaan gadai mobil dan sepeda

motor.

Dengan adanya suatu permasalahan tersebut, maka untuk memberikan

arah yang jelas dalam penelitian ini, penulis membatasi pada

masalah-masalah berikut ini:

1. Pelaksanaan akad gadai mobil dan sepeda motor di Desa Duren

Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun.

2. Analisis hukum Islam terhadap pelaksanaan akad gadai mobil dan sepeda

motor.

C. Rumusan Masalah

Untuk memudahkan kajian dari jawaban diatas, maka dirumuskan

sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan akad gadai mobil dan sepeda motor di Desa

Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun?

2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap pelaksanaan akad gadai mobil

dan sepeda motor di Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten

Madiun?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian

yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang diteliti sehingga

terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan

(18)

7

ada.10Berdasarkan penulusuran peneliti, terdapat beberapa penelitian tentang

gadai yang telah dilakukan sebelumnya antara lain:

1. Penelitian dengan judul “Analisis Hukum Islam terhadap tradisi gadai

sawah di Desa Morbatoh Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang”.

Hasil dari penelitian ini mengikuti suatu tradisi yang berlaku sejak lama,

sawah yang dijadikan jaminan tersebut dikelola dan diambil manfaatnya

atau hasilnya oleh murtahin. Sedangkan menurut warga yang pernah

melakukan gadai yaitu dari pihak rahin, mengungkapkan bahwa hasil dari

sawah yang dikelola murtahin bisa melebihi dari uang pinjaman yang di

pinjam oleh ra>hin.11

2. Arfan santoso dengan judul “Analisis Hukum Islam terhadap

pemanfaatan tanah sawah gadai untuk penanaman tembakau di Desa

Banjur Waru Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan”. Hasil dari

penelitian ini menunjukkan praktik pemanfaatan gadai sawah yang terjadi

di Desa Banjur, mengandung unsur mas}lah}ah dan mafsadahnya untuk

perawatan tanah karena jika tidak ditanami maka sawah tersebut tidak

subur lagi atau kurang lebih manfaatnya.12

3. Aris Darul Mutakin dengan judul “Pemanfaatan Jaminan Gadai Sawah

(Study Analisis Maslahah di Dusun Karangampel Desa Cidolog

Kecamatan Cidolog Kabupaten Ciamis Provisi Jawar Barat)”. Dalam

10

Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel, Petunjuk Teknis Perumusan skripsi (Surabaya: cet.III,

2011),.9.

11

Siti Holifah, “Analisis Hukum Islam terhadap tradisi gadai sawah di Desa Morbatoh Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang” (skripsi UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015), 68.

12

Arfan Santoso, “Pemanfaatan Jaminan Gadai Sawah (Study Analisis Maslahah di Dusun Karangampel Desa Cidolog Kecamatan Cidolog Kabupaten Ciamis Provisi Jawar Barat)” (skripsi, UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013), 87.

(19)

8

penelitian ini penulis mengkaji tentang kemaslahahan dengan adanya

pemanfaatan jaminan gadai. Setelah terjadi kesepakatan, sawah

diserahkan kepada murtahin berikut dengan pemanfaatannya.13

Sedangkan pada kajian yang dibahas pada penelitian ini berbeda

dengan yang lain, sebab penulis membahas tentang “Analisis Hukum Islam

terhadap Pelaksanaan Akad Gadai Mobil dan Sepeda Motor di Desa Duren

kecamatan Pilangkenceng Kabupatem Madiun” Dalam penelitian ini penulis

lebih memfokuskan membahas tentang pelaksanaan akad gadai dan

pemanfaatan barang gadai.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini tidak lain adalah untuk mencari jawaban ilmiah

atas masalah-masalah yang akan diteliti. Oleh karena itu, tujuan dari

penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pelaksanaan akad gadai mobil dan sepeda motor di

Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun

2. Untuk mengetahui analisis hukum islam terhadap pelaksanaan akad gadai

mobil dan sepeda motor di Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng

Kabupaten Madiun.

13

Aris Darul Mutakin, “Pemanfaatan Jaminan Gadai Sawah (Study Analisis Maslahah di Dususn

Karangampel Desa Cidolog kecamatan Cidolog Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat)” (Tesis--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2011), 136-137.

(20)

9

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat dan berguna

bagi penelitian tentang gadai baik secara teoretis maupun praktis.

1. Secara Teoretis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan untuk

pengembangan ilmu pengetahuan mu’a>malah tentang sistem gadai mobil

dan sepeda motor, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dalam

memperluas wawasan yang berhubungan dengan gadai dan diharapkan

dapat memberikan sumbangan pemikiran yang membutuhkan pustaka

masalah mengenai gadai dalam Islam.

2. Secara Segi Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan

dan informasi atau masukan yang penting bagi pembaca untuk

berhati-hati dalam transaksi gadai dan diharapkan sebagai bahan pelengkap dan

penyempurnaan bagi peneliti selanjutnya.

G. Definisi Operasional

Demi mendapatkan pemahaman dan gambaran yang jelas dalam

pembahasan suatu penelitian. maka peneliti perlu kiranya membatasi

sejumlah variabel yang diajukan dalam penelitian yang berjudul, “Analisis

Hukum Islam Terhadap sistem gadai mobil dan Sepeda motor di Desa Duren

Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun”. Dari permasalahan di atas

(21)

10

1. Hukum Islam yang dimaksud disini yaitu ketentuan-ketentuan hukum

Islam dalam menyingkapi permasalahan gadai, mengenai sistem gadai

atau jaminan, peraturan dan ketentuan hukum Islam yang bersumber dari

al-qur’an, hadist, dan pendapat ulama sebagai pedoman bagi kehidupan

masyarakat .

2. Sistem pembayaran gadai mobil dan sepeda motor adalah Perjanjian atas

barang yang digadaikan sebagai jaminan seperti gadai mobil dan sepeda

motor, yang diserahkan ra>hin kepada murtahin. Namun permasalahan

juga ada terhadap tidak ada kejelasan waktu dalam sistem pembayaran

gadai tersebut, sehingga semakin memberatkan ra>hin. Karena adanya

pembayaran bunga pinjaman uang perbulannya yang diminta oleh

murtahin. Jika tidak bisa membayar bunga perbulannya, maka ra>hin

dikenankan denda sehingga memberakan ra>hin. Murtahin juga

menggunakan barang gadai tersebut sebagai kebutuhan untuk dirinya

sendiri, selain itu murtahin juga memanfaatkan dan menyewakan barang

gadainya seperti mobil dan sepeda motor kepada orang lain.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data

dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Sedangkan, penelitian dapat diartikan

sebagai sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat,

membina, serta mengembangkan ilmu pengetahuan.14 Berdasarkan hal

14

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-PRESS, 2007), 3.

(22)

11

tersebut, terdapat empat kunci yang perlu diperhatikan yaitu cara ilmiah,

data, tujuan, dan kegunaan.15

Untuk memberikan deskripsi yang baik, dibutuhkan serangkaian

langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Duren Kecamatan

Pilangkenceng Kabupaten Madiun yang difokuskan pada sistem

pembayaran gadai mobil dan sepeda motor. Oleh karena itu penulis

tertarik untuk menjadikan Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng

Kabupaten Madiun, ini sebagai tempat penelitian.

2. Data yang dikumpulkan

Data yang dikumpulkan merupakan data yang perlu dihimpun

untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah yang berkaitan

dengan sistem gadai mobil dan sepeda motor di Desa Duren Kecamatan

Pilangkenceng Kabupaten Madiun.

a. Data tentang sistem pembayaran gadai mobil dan sepeda motor di

Desa Duren.

b. Data tentang pemanfaatan barang gadai mobil dan sepeda motor di

Desa Duren.

c. Data tentang teori-teori gadai yang di ambil dari buku, hasil

wawancara dan hasil penelitian terdahulu.

15

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), 2.

(23)

12

3. Sumber Data

Ada dua sumber data yang peneliti jadikan pegangan agar dapat

memperoleh data yang kongkrit dan berkaitan dengan masalah penelitian

diatas, yaitu:

a. Sumber Data Primer

Adapun yang dimaksud dengan data primer ialah data yang

diperoleh langsung di lapangan oleh yang melakukan penelitian atau

yang memerlukannya.16Dalam penelitian ini peneliti memperoleh data

langsung dengan cara melakukan wawancara dengan ra>hin, murtahin,

warga sekitar dan semua pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan

akad gadai mobil dan sepeda motor yang ada di Desa Duren

Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun.

b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang tidak didapatkan secara

langsung oleh peneliti tetapi diperoleh dari orang lain atau pihak lain

dan data sekunder sifatnya membantu untuk melengkapi serta

menambahkan penjelasan mengenai sumber-sumber data.

4. Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah penggadai (ra>hin) penerima gadai

(murtahin), warga sekitar dan semua pihak yang berkaitan dengan

pelaksanaan akad gadai mobil dan sepeda motor yang ada di Desa Duren

Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun.

16

Masruhan, Metodelogi Penelitian Hukum (Surabaya: Hilal Pustaka, 2013), 94.

(24)

13

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling

strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah

mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka

penelitian tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standart data

yang ditetapkan. Pengumpulan data dilakukan secara langsung

dilapangan yang berkaitan dengan masalah penelitian, dalam

pengumpulan data tersebut peneliti menggunakan beberapa metode

sebagai berikut:

a. Observasi

Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

metode observasi ke lokasi penelitian. Observasi adalah seorang

peneliti secara langsung mengamati ke lokasi penelitian. Observasi

dilakukan untuk mengumpulkan data secara langsung, agar peneliti

mendapatkan data yang falid, baik, utuh dan akurat. Observasi

dilakukan untuk mengamati secara langsung tentang masalah

pelaksanaan akad gadai mobil dan sepeda motor di Desa Duren

Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun.

b. Wawancara

Wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh

pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.17

Dialog itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer)

17

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu pendekatan praktik (Jakarta: PT Rieneka

Cipta, 2006), 155.

(25)

14

yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang

memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Maksud mengadakan

wawancara, agar peneliti mengetahui hal-hal yang mendalam tentang

partisipan dalam menginterpestasikan situasi dan fenomena yang

terjadi, dimana hal ini tidak dapat ditemukan dalam observasi.18

c. Dokumentasi

Dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data yang tidak

langsung ditunjukan pada subyek penelitian, namun melalui

dokumen.19 Dalam penelitian ini dokumen dapat berupa profil desa

dan data penelitian tentang sistem gadai mobil dan sepeda motor di

Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun.

18

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011),

186.

19

M. Iqbal Hasan, Metodologi Penelitian dan Aplikasinya (Bogor: Ghalia Indonesia, 2002), 87.

(26)

15

5. Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data yang digunakan peneliti adalah:20

a. Organizing

Organizing yaitu menyusun kembali data yang telah didapat

dalam penelitian yang diperlukan dalam kerangka paparan yang sudah

direncanakan dengan rumusan masalah secara sistematis.

b. Editing

Editing yaitu pemeriksaan kembali dari semua data yang

diperoleh terutama dari segi kelengkapannya, kejelasan makna,

keselarasan antara data yang ada dan relevansi dengan penelitian.

Teknik ini digunakan penulis untuk memeriksa kelengkapan data-data

yang sudah dikumpulkan dan akan digunakan sebagai sumber-sumber

studi dokumentasi.

c. Analizing

Analizing yaitu melakukan analisis data yang diperoleh dari

penelitian untuk memperoleh kesimpulan mengenai kebenaran fakta

yang ditemukan. Dengan menggunakan kaidah, teori, dan dalil, yang

akhirnya merupakan sebuah jawaban dari rumusan masalah.

6. Teknik Analisis Data

Hasil dari pengumpulan data tersebut akan dibahas dan kemudian

dilakukan analisis secara kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan

20

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D…, 243-246.

(27)

16

data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan

perilaku yang dapat diamati dengan metode yang ditentukan.21

a. Analisis Deskriptif

Tujuan dari analisis deskriptif ini adalah untuk membuat

gambaran mengenai objek penelitian secara sistematis, aktual dan

akurat mengenai fakta-fakta. Peneliti menggunakan metode ini untuk

mengetahui gambaran tentang gadai transportasi.

b. Pola pikir Deduktif

Menggambarkan prinsip umum gadai hukum Islam untuk

kemudian dideduksi untuk menganalisa praktek gadai yang terjadi di

lapangan . kesimpulan yang didapatkan tentu bersifat khusus.

I. Sistematika Pembahasan

Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini dikelompokkan

menjadi lima bab, terdiri dari sub-subab masing-masing mempunyai

hubungan dengan yang lain dan merupakan rangkaian-rangkaian yang

berkaitan. Adapun sistematikanya sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang

masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,

tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian.

Bab kedua, menjelaskan secara sistematika pembahasan mengenai

gadai (rahn) dalam Islam, dalam hal ini memuat pengertian gadai (rahn) dan

21

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif

(Surabaya: Airlangga University Press, 2001), 143.

(28)

17

dasar hukumnya, rukun dan syarat gadai, hak dan kewajiban (ra>hin dan

murtahin), status barang gadai, resiko kerusakan barang jaminan, pendapat

para ulama tentang pemanfaatan barang gadai (murtahin), batalnya akad

gadai.

Bab ketiga, menjelaskan praktek gadai, dalam bab ini memuat

beberapa alasan meliputi: a) profil Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng

Kabupaten Madiun yang meliputi sejarah, letak geografis, demografis,

keadaan ekonomi, agama dan budaya, pendidikan, pembangunan. b)

pelaksanaan akad gadai mobil dan sepeda motor, sistem pembayaran gadai

mobil dan sepeda motor, dampak adanya gadai mobil dan sepeda motor.

Bab keempat, menjelaskan analisis pekasanaan akad gadai mobil dan

sepeda motor, dan analisis hukum Islam pelasksanaan akad gadai mobil dan

sepeda motor.

Bab kelima, merupakan bab penutup yang terdiri dari: kesimpulan dan

(29)

BAB II

GADAI (RAHN) DALAM ISLAM

A. Pengertian Gadai (Rahn)

Dalam istilah bahasa Arab “gadai” diistilahkan dengan “rahn” dan

dapat dinamai dengan “al habsu”. Secara etimologi artinya kata rahn berarti

“tetap atau lestari”, sedangkan “al-habsu” berarti “penahanan”.1 Menurut

terminology syara’, al-rahn berarti:

ﹺﻯﺳﺀﻯ ﻯ

ﹸ ﻯ ﻯ

ﻯ ﻯ

“Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut”.

Akad al-rahn dalam istilah hukum positif disebut dengan barang

jaminan, agunan, dan rungguhan. Dalam Islam al-rahn merupakan sarana

tolong menolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan jasa.2 Dalam

peristilahan sehari-hari pihak yang menggadaikan disebut dengan “pemberi

gadai” dan yang menerima gadai, dinamakan “penerima atau pemegang

gadai”.3

Gadai merupakan salah satu kategori perjanjian hutang-piutang untuk

suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berhutang

mengadaikan barangnya menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap

hutangnya itu. Barang jaminan tetap menjadi hak milik orang yang

menggadaikan tetapi dikuasai oleh penerima gadai. Praktek ini telah ada

1

Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), 139.

2

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 251.

3

Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam…, 139.

(30)

19

jaman Rasulullah saw. Dan Rasulullah sendiri pernah melakukannya. Gadai

mempunyai nilai sosial yang tinggi dan dilakukan secara suka rela atas dasar

tolong menolong4 Menurut istilah ulama fiqh sebagai berikut:

Pertama, menurut ulama Hanafiyah al-rahn adalah menjadikan barang

sebagai jaminan terhadap piutang yang dimungkinkan sebagai pembayaran

piutang baik seluruhnya ataupun sebagiannya.5

Kedua, menurut ulama Malikiyah al-rahn adalah harta pemilik yang

dijadikan sebagai jaminan hutang yang memiliki sifat mengikat. Menurut

mereka yang dijadikan jaminan bukan hanya barang yang bersifat materi, bisa

juga barang yang bersifat maanfaat tertentu.6 Barang yang dijadikan jaminan

tidak harus diserahkan secara tunai, tetapi boleh juga penyerahannya secara

aturan hukum, sebuah contoh sebidang tanah kosong sebagai jaminan, maka

yang dijadikan jaminan adalah sertifikat hak atas tanah tersebut.7

Ketiga, menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah al-rahn adalah

menjadikan barang pemilik sebagai jaminan utang, yang bisa dijadikan

sebagai pembayaran utang apabila orang yang berutang tidak bisa melunasi

utangnya.8 Pengertian al-rahn yang dikemukakan ulama Syafi’iyah ini

memberi pengertian bahwa ba\rang yang bisa dijadikan jaminan utang

hanyalah harta yang bersifat materi, tidak termasuk manfaat sebagaimana

yang dikemukakan ulama Malikiyah, meskipun sebenarnya manfaat itu

4

Muhammad Shoikul Hadi, Pegadaian Syariah (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), 3.

5

Ibn ‘A<bidin, Rad al-Muhta>r ‘ala al-Dur al-Muhtar. Vol. 5 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), 339.

6

Al-Dardir, Al-Sharh al-Saghi>r bi Sharh al-Sa>wi Vol.3 (Mesir: Da>r al-Ma‘a>rif. t.t), 325.

7

Abu Azam Al Hadi, Fiqh Muamalah Kontemporer (Sidoarjo: Cahaya Intan XII, 2014), 148.

8

Khatib al-Sharbayni, Mughni al-Muhtaj, vol. 2 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1978), 121.

(31)

20

menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, termasuk dalam pengertian

kekayaan.9

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa al-rahn adalah menjadikan

barang berharga sebagai jaminan utang. Dengan begitu jaminan tersebut

berkaitan erat dengan utang piutang dan timbul dari padanya. Sebenarnya

pemberian utang itu merupakan suatu tindakan kebajikan untuk menolong

orang yang sedang dalam keadaan terpaksa dan tidak mempunyai uang dalam

keadaan kontan. Namun untuk ketenangan hati, pemberi utang memberikan

suatu jaminan, bahwa utang itu akan dibayar oleh yang berutang. Untuk

maksud itu pemilik uang boleh meminta jaminan dalam bentuk barang

berharga.10

B. Dasar Hukum Gadai

Menyangkut perjanjian gadai ini dalam syari’at Islam dihukumkan

sebagai perbuatan jaiz atau dibolehkan, baik menurut ketentuan Al-Qur’an,

Sunnah, Ijma’ Ulama, maupun fatwa MUI. Adapun dasar hukum tentang

kebolehan gadai sebagai berikut:

9

Abu Azam Al Hadi, Fiqh Muamalah Kontemporer…, 148.

10

Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), 265.

(32)

21

1. Dasar hukum Al-Qur’an

Allah berfirman dalam surat al-Baqarah (2): 283 yang berbunyi:

ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯ  ﻯﻯﻯ ﻯ

“ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah

Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.11

Dalam ayat ini tidak semua barang jaminan dapat

dipegang/dikuasai oleh pemberi utang secara langsung, maka paling tidak

ada semacam pegangan yang dapat menjamin bahwa barang dalam status

al-marhun (menjadi agunan utang). Misalnya, apabila barang jaminan itu

berbentuk sebidang tanah, maka dikuasai (al-qabdh) adalah surat jaminan

tanah itu.12

2. Dasar hukum al-sunnah

Hadis Nabi riwayat al-Bukhari ia berkata:

11

Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemah (Jakarta: Pustaka al-Fatih, 2009), 49.

12

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah…, 253

(33)

22

ﹺﺇﻯ ﻯ ﹶ ﹶﻯﹶ ﹶﻯ

ﹶﹾ ﻯ ﹶﺛ ﻯ

ﹾ ﻯ ﻯ ﹶﺛ ﻯ ﹶﻯ ﻯ ﱠ ﻯ ﹶﺛ

ﻯ ﱠ ﻯ ﺿ ﻯﹶ ﺋ ﻯ ﻯ ﹶﹾ ﻯ ﹺﹶﺛ ﻯﹶ ﹶﹶﻯﹺ ﹶ ﻯ

ﻯﹶ

ﻯ ﱠ ﻯ ﹶ ﻯ ﱠ ﻯ ﱠﺻﻯ ﹺ ﻯﱠ

ﻯ ﻯ ﻯ

ﻯﹴ ﹶﻯ ﹶﹺﺇﻯ

ﻯ ﻯ ﹶﻃﻯ

“Telah menceritakan kepada kami Mu'alla bin Asad telah menceritakan kepada kami 'Abdul Wahid telah menceritakan kepada kami Al A'masy berkata; Kami membicarakan tentang gadai dalam jual beli kredit (Salam) di hadapan Ibrahim maka dia berkata, telah menceritakan kepada saya Al Aswad dari 'Aisyah radliallahu 'anha bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah membeli makanan dari orang Yahuid yang akan dibayar Beliau pada waktu tertentu di kemudian hari dan Beliau menjaminkannya

(gadai) dengan baju besi. (Hadist Bukhari no- 1926).13

Dari Hadist di atas dapat disimpulkan, bahwa gadai itu boleh

dilakukan, karena nabi Muhammad saw juga pernah pernah melakukan

gadai sewaktu beliau menggadaikan baju besinya dengan makanan.

3. Dasar Hukum landasan Ijma’

Para ulama telah sepakat bahwa gadai itu boleh, dan tidak

terdengar seorang pun yang menyalahinya.14

ﺶﻷ

ﻯﹶﹶ

ﹺﻯ

ﹺﻯ

ﹶ ﹾ

)

ﲎ ﳌ

ﻯ,

٤

ﻯ,

٣٦٧

(

“Mengenai dalil ijma’ ummat islam sepakat (ijma’) bahwa secara garis besar akad rahn (gadai/penjaminan utang) diperbolehkan.

Al-rahn boleh dilakukan dalam perjalanan dan dalam keadaan

hadir ditempat, asal barang jaminan itu bisa langsung dipegang/dikuasai

(al-qabdh) secara hukum oleh pemberi utang. Mereka tidak pernah

mempertentangkan kebolehannya demikian landasan hukumnya. Jumhur

13

Hadist Bukhari no- 1926 14

Ismail Nawawi, Fiqh Mu’amalah Hukum Ekonomi, Bisnis dan Sosial (Jakarta: Dwiputra

Pustaka Jaya, 2010), 335.

(34)

23

berpendapat: Disyar’iatkan pada waktu tidak berpergian, berargumentasi

kepada perbuatan Rasulullah saw. 15

4. Dasar hukum fatwa DSN

Berdarkan fatwa DSN mempunyai ketentuan dalam gadai

diantaranya; (a) murtahin (penerima gadai) mempunyai hak untuk

menahan marhu>n (barang) sampai semua hutang ra>hin (yang menyerahkan

barang) dilunasi, (b) marhu>n dan manfaatnya tetap menjadi milik ra>hin.

Pada prinsipnya, marhu>n tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali

seijin ra>hin, dengan tidak mengurangi nilai marhu>n dan pemanfaatannya

itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya, (c)

Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban

ra>hin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan

pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban ra>hin, (d) Besar

biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhu>n tidak boleh ditentukan

berdasarkan jumlah pinjaman, (e) penjualan marhu>n, (f) Apabila jatuh

tempo, murtahin harus memperingatkan ra>hin untuk segera melunasi, (g)

Apabila ra>hin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhu>n dijual

paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah, (h) Hasil penjualan

marhu>n digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan

penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan, (i) Kelebihan

15

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 12 (Bandung: Alma’arif, 1987), 152.

(35)

24

hasil penjualan menjadi milik ra>hin dan kekurangannya menjadi

kewajiban ra>hin.16

C. Rukun dan Syarat Gadai

1. Rukun Gadai

Ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun ar-rahn.

Menurut jumhur ulama rukun ar-rahn itu ada empat, yaitu shigat} (lafal

ija>b dan qabu>l), orang yang berakad (ar-ra>hin dan al-murtahin), harta yang

dijadikan agunan (al-marhu>n), dan utang (al-marhu>n bih).17 Adapun

ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun al-rahn itu hanya ija>b dan

qabu>l. Di samping itu, menurut mereka untuk sempurna dan mengikatnya

akad rahn ini, maka diperlukan adanya al-qabd} (penguasaan barang) oleh

pemberi utang. Adapun kedua orang yang melakukan akad (al-ra>hin dan

al-murtahin), harta yang dijadikan jaminan (al-marhu>n) dan utang

(al-marhu>n bih) menurut ulama Hanafiyah hanya termasuk syarat-syarat

al-rahn, bukan rukunnya.

2. Syarat-Syarat Gadai

Para ulama fiqh mengemukakan syarat-syarat al-rahn sesuai

dengan rukun al-rahn itu sendiri. Dengan demikian, syarat-syarat al-rahn

meliputi:

a. Syarat yang terkait dengan orang berakad (al-rahn dan al-murtahin)

adalah cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum, menurut

16

Mujahidinimeis, “Fatwa DSN tentang Rahn”, dalam http://mujahidinimeis.

wordpress.com/2010/0503/, diakses pada tanggal 24 Mei 2016

17

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah…,254.

(36)

25

Jumhur Ulama adalah orang yang telah baligh dan berakal. Sedangkan

menurut ulama Hanafiyah kedua belah pihak yang berakad tidak

disyariatkan balihg, tetapi cukup berakal saja. Oleh karena itu,

menurut mereka anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad

al-rahn asal mendapat persetujuan walinya18

b. Syarat shighat (lafal), Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad itu

al-rahn tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan

dengan masa yang akan datang, maka akad al-rahn sama dengan akad

jual beli. Apabila akad itu dibarengi dengan syarat tertentu atau

dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka syaratnya batal,

sedangkan akadnya sah. Misalnya, orang yang berutang mensyaratkan

apabila tenggang waktu utang telah habis dan utang belum terbayar,

maka al-rahn itu diperpanjang satu bulan, atau pemberi utang

mensyaratkan harta agunan itu boleh ia manfaatkan. Ulama

Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mengatakan bahwa apabila

syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran itu, maka syarat

itu dibolehkan, tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat

akad al-rahn maka syaratnya batal. Syarat yang yang dibolehkan itu,

misalnya, untuk sahnya al-rahn itu pihak pemberi utang minta agar

akad itu disaksikan oleh dua orang saksi. Sedangkan syarat yang

batal, misalnya, disyaratkan bahwa agunan itu tidak boleh dijual

18

Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana Prada Media Drop, 2012), 267.

(37)

26

ketika al-rahn itu jatuh tempo, dan orang yang berutang tidak mampu

membayarnya.19

c. Syarat marhu>n (barang yang dijadikan agunan), ialah keadaan barang

itu tidak rusak sebelum janji utang harus dibayar.20 Menurut para

fuqaha mengenai syarat marhu>n (Barang yang dijadikan agunan)

adalah:

1) Barang jaminan itu boleh dijual dan nilainya sesuai dengan besar

utangnya, tetapi dengan syarat sudah melewati jatuh tempo yang

telah disetujui dalam perjanjian.

2) Barang jaminan itu harus memiliki nilai dan manfaat, boleh

dimanfaaatkan dengan persetujuan orang yang menggadaikan.

Oleh karenanya barang-barang yang tidak manfaat, dan

membahayakan bagi kehidupan manusia, serta tidak bertentangan

Islam.

3) Barang jaminan harus jelas dan tertentu.

4) Barang jaminan adalah milik sah orang yang menggadaikan.

5) Barang jaminan itu bukan milik orang lain (masih dalam

sengketa).

6) Barang jaminan boleh diserahkan baik bendanya maupun surat

kepemilikannya.21

19

Nasrun haroen, Fiqh Muamalah…, 255.

20

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 108.

21

Abu Azam Al Hadi, Fiqh Muamalah Kontemporer…,150.

(38)

27

Ketika telah terjadi serah terima marhu>n, maka status akad

rahn menjadi lazim dari pihak ra>hin. Konsekuensi hukumnya, ra>hin

terikat kontrak dan tidak berhak menarik kembali marhu>n, dan

murtahin memiliki otoritas (yadd wa sultha>nah) untuk menahan

marhu>n di bawah kekuasaannya.22

d. Syarat marhu>n bih (utang), adalah hak yang diberikan rahn. Ulama

Hanafiyah memberikan beberapa syarat yaitu:

1) Marhu>n bih hendaklah barang yang diserahkan, menurut ulama

selain Hanafiyah, marhu>n bih hendaklah berupa utang yang wajib

diberikan kepada orang yang menggadaikan barang, baik berupa

uang ataupun berbentuk benda.

2) Marhu>n bih memungkinkan dapat dibayar, jika marhu>n bih tidak

dapat dibayarkan, rahn menjadi tidak sah, sebab menyalahi

maksud dan tujuan dari disyarikatkannya rahn.

3) Hak atas marhu>n bih harus jelas, dengan demikian tidak boleh

memberikan dua marhu>n bih tanpa dijelaskan utang mana menjadi

rahn.

Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah memberikan tiga syarat bagi

marhu>n bih:

1) Berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan.

2) Utang harus lazim pada waktu akad.

22

Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah (Kediri: Lirboyo Press, 2013), 120.

(39)

28

3) Utang harus jelas dan diketahui oleh ra>hin dan murtahin.23

Disamping syarat-syarat diatas, para ulama fiqh sepakat

menyatakan bahwa al-rahn itu baru dianggap sempurna apabila

barang yang dirahn-kan itu secara hukum sudah berada ditangan

pemberi utang, dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam

uang. Apabila barang jaminan itu berupa benda tidak bergerak,

seperti rumah dan tanah, maka tidak harus rumah dan tanah itu yang

diberikan, tetapi cukup surat jaminan tanah atau surat-surat rumah

itu yang dipegang oleh pemberi utang.

Syarat yang terakhir (kesempurnaan ar-rahn) oleh para ulama

disebut sebagai qabdh al-marhu>n (barang jaminan dikuasai secara

hukum oleh pemberi piutang).

D. Hak dan Kewajiban (Ra>hin dan Murtahin)

1. Hak Murtahin

a. Penerima gadai berhak menjual barang gadai apabila ra>hin tidak dapat

membayar hutangnya pada saat jatuh tempo. Hasil penjualan diambil

sebagian untuk melunasi hutangnya ra>hin dan sisanya dikembalikan

kepada ra>hin.

b. Murtahin mempunyai hak menahan barang gadai selama pinjaman

belum dikembalikan kepada ra>hin.

c. Murtahin berhak mendapatkan biaya yang telah dikeluarkan untuk

menjaga keselamatan barang gadai.

23

Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka setia, 2001), 164

(40)

29

2. Kewajiban Murtahin

a. Murtahin tidak boleh menggunakan barang gadai tanpa seijin ra>hin

atau untuk kepentingan pribadinya.

b. Murtahin bertanggung jawab atas hilang atau rusaknya barang gadai

bila itu disebabkan oleh kelalaiannya.

c. Murtahin berkewajiban memberi informasi kepada ra>hin sebelum dan

sesudah penjualan barang gadai.

d. Murtahin wajib memberikan sisa hasil penjualan barang gadai kepada

ra>hin.

e. Murtahin berkewajiban merawat atau menjaga barang gadai.

3. Hak Ra>hin

a. Ra>hin berhak mendapatkan kembali barang yang digadaikannya

sesudah ia melunasi pinjaman hutangnya.

b. Ra>hin berhak meminta ganti rugi atas kerusakan atau hilangnya

barang yang digadaikan.

c. Ra>hin berhak meminta sisa hasil penjualan barang gadai sesudah

dikurangi biaya pinjaman dan biaya lainnya.

d. Ra>hin berhak meminta kembali barang gadai jika diketahui adanya

penyalahgunaan.

4. Kewajiban Ra>hin

a. Ra>hin berkewajiban melunasi barang gadai yang diterimanya dalam

tenggang waktu yang ditentukan, termasuk biaya lain yang

(41)

30

b. Ra>hin berkewajiban merelakan penjualan barang gadai bila dalam

waktu yang telah ditetapkan tidak mampu melunasi pinjaman.24

Hak penerima gadai yaitu menahan barang yang dijadikan jaminan

hingga utang pemberi gadai lunas, maksudnya adalah apabila ada

seseorang yang menggadaikan barangnya dengan jumlah tertentu, maka

keseluruhan barang yang dijadikan jaminan tersebut sepenuhnya hak

murtahin, sehingga ra>hin hanya dapat mengambil barang jaminannya

apabila ra>hin telah melunasi utangnya.

Namun apabila murtahin harus menjual barang jaminan tersebut

harus ada persetujuan dari pemberi gadai dan apabila hasil penjualan

barang tersebut lebih besar dari utang ra>hin maka murtahin wajib

memberikan sisa uangnya kepada rahn.

E. Resiko Kerusakan Barang Jaminan

Apabila kerusakan barang jaminan (marhu>n) dalam penguasaan

murtahin (penerima gadai), maka penerima gadai tidak wajib menggantinya,

kecuali bila rusak atau hilangnya barang jaminan itu disebabkan kelalaian

atau karena faktor penyebab tidak bertanggungjawabnya (tidak diurus)

penerima gadai. Sebuah contoh apabila sudah ada tanda-tanda konsletting

listrik pada bangunan yang dibuat mengamankan barang jaminan, kemudian

penerima gadai tidak menghiraukan atas tanda-tanda tersebut, dan akhirnya

bangunan tersebut terbakar.

24

Burhanuddin, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010),

174-175.

(42)

31

Penyebab lain apabila penerima barang jaminan kurang perhatian

terhadap gudang penyimpanan barang jaminan, sehingga barang-barang

tersebut hilang dicuri orang. Intinya penerima barang jaminan diharuskan

memelihara dan mengamankan barang jaminan dengan baik, sehingga aman

dan terkendali.

Menurut Hanafi, penerima barang jaminan (murtahin) harus

menanggung resiko kerusakan barang jaminan (marhu>n), bila barang jaminan

itu hilang atau rusak, atau disebabkan karena kelalaian penerima jaminan

(murtahin) maupun tidak. Sedangkan menurut ulama syafi’iyah. Penerima

barang gadai (murtahin) harus menanggung resiko kehilangan atau sebab

kelalaian.25

F. Batasan Waktu dan Riba dalam Gadai

P\ara ulama sepakat bahwa rahn diperbolehkan, tetapi tidak

diwajibkan sebagai gadai hanya jaminan saja jika bila kedua belah pihak

saling mempercayai.26Sedangkan dasar hukum mengenai batasan waktu

adalah hadist Nabi Muhammad Saw, yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas r.a.

bahwa ketika Rasulullah Saw datang ke madinah, saat itu orang-orang

menghutangkan uang untuk ditukar kurma selama dua atau tiga tahun.

Kemudian beliau bersabda:

ﹶ ﻯ

ﻯ ﻯ

,ﻯﹴﻯ ﹸ ﻯﹴ ﹶ ﻯ ﻯ

ﹾﹶﻯ,ﹴ

ﹴ ﹸ ﻯﹴ ﻯ ﹶ

25

Abu Azam Al Hadi, Fiqh Muamalah Kontemporer…,155.

26

Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah…,161.

(43)

32

“Barang siapa yang memberi hutang dengan pembayaran kurma, maka lakukanlah dalam takaran tertentu,timbangan tertentu, dan

sampai masa tertentu”.27

Dalam hadist tersebut dijelaskannya jika seseorang memberikan

pinjaman hutang maka seharusnya di tentukan segala sesuatunya seperti

batasan waktu pembayaran dalam pengembaliannya.

Perjanjian pada gadai atau ar-rahn pada dasarnya adalah akad atau

transaksi utang piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya. Menurut

Hendi Suhendi, setidaknya ada tiga hal yang memungkinkan pada gadai

mengandung riba, yaitu:

1. Apabila dalam akad gadai tersebut ditentukan bahwa ra>hin atau

penggadai harus memberikan tambahan kepada murtahin atau penerima

gadai ketika membayar utang.

2. Apabila akad gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut

dilaksanakan.

3. Apabila ra>hin tidak mampu membayar utangnya hingga pada waktu yang

telah ditentukan, kemudian murtahin menjual marhu>n dengan tidak

memberikan kelebihan harga marhu>n kepada ra>hin. Padahal utang ra>hin

lebih kecil nilainya dari marhu>n.28

G. Pendapat Para Ulama Tentang Pemanfaatan Barang Gadai (Murtahin)

Barang jaminan pada prinsipnya bertujuan meminta kepercayaan dan

menjamin utang. Hal itu untuk menjaga ra>hin (penggadai) tidak mampu

27

Hadist Bukhari -111

28

Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana Prada Media, 2010), 271.

(44)

33

mengembalikan atau tidak menepati janjinya, bukan untuk mencari

keuntungan saja.29Selama hal itu demikian keadaannya, maka orang yang

memegang gadaian (murtahin) memanfaatkan barang yang digadaikan

sekalipun diizinkan oleh orang yang menggadaikan (ra>hin). Tindakan

memanfaatkan barang gadaian adalah tak ubahnya qiradh yang mengalir

manfaat, dan setiap bentuk qiradh yang mengalirkan maanfaat adalah riba.30

Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa segala biaya yang

dibutuhkan untuk pemeliharaan barang jaminan itu menjadi tanggungjawab

pemiliknya, yaitu orang yang berhutang.

Di antara para ulama terdapat dua pendapat, Jumhur ulama selain

Syafi’iyah melarang al-ra>hin untuk memanfaatkan barang gadai atau jaminan,

sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkannya sejauh tidak memudaratkan

al-murtahin. Secara terperinci uraiannya sebagai berikut:

1. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ar-ra>hin tidak boleh memanfaatkan

barang gadai tanpa seizin al-murtahin, begitu pula al-murtahin tidak

boleh memanfaatkannya tanpa seijin ar-ra>hin. Mereka beralasan bahwa

barang gadai harus tetap dikuasai oleh al-murtahin selamanya. Pendapat

ini senada dengan pendapat ulama Hanabilah, sebab manfaat pada barang

gadai pada dasarnya termasuk rahn atau gadai.

2. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ar-ra>hin dibolehkan untuk

memanfaatkan barang gadai. Jika tidak menyebabkan barang gadai

tersebut berkurang, tidak perlu meminta ijin kepada al-murtahin, seperti

29

Ibid,.153.

30

Sayyid sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 12…,153.

(45)

34

mengendarainya, dan menempatinya. Akan tetapi, jika menyebabkan

barang gadai tersebut berkurang seperti pengolahan sawah, dan kebun,

al-ra>hin harus meminta ijin kepada al-murtahin.

Jumhur ulama selain Hanabilah berpendapat bahwa al-murtahin

tidak boleh memanfaatkan barang gadai, kecuali bila ar-ra>hin tidak mau

membiayai barang gadai tersebut. Dalam hal ini al-murtahin dibolehkan

mengambil manfaat sekadar untuk mengganti ongkos pembiayaan. Ulama

Hanabilah berpendapat bahwa al-murtahin boleh memanfaatkan barang

gadai, jika berupa kendaraan atau hewan seperti dibolehkan untuk

mengendarainya atau mengambil susunya, sekadar pengganti

pembiayaan. Lebih jauh pendapat para ulama tentang pemanfaatan barang

gadai oleh al-murtahin sebagai berikut:

a. Ulama Hanafiyah berpendapat, al-murtahin tidak boleh memanfatkan

barang gadai, sebab ia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh

memanfatkannya. Sebagian ulama Hanafiyah, ada yang membolehkan

untuk memanfatkannya jika diijinkan oleh al-ra>hin, tetapi sebagian

lainnya tidak membolehkannya sekalipun ada ijin, bahkan

mengatagorikannya sebagai riba. Jika disyaratkan ketika akad untuk

memanfaatkan barang gadai hukumnya haram, sebab termasuk riba.

b. Menurut Ulama Malikiyah, manfaat atau nilai tambah yang datang

dari barang jaminan milik ra>hin (orang yang menggadaikan) dan

bukan untuk murtahin (penerima jaminan). Tidak boleh mensyaratkan

(46)

35

hanya berlaku pada utang piutang. Adapun pada perjanjian gadai,

mereka memberi kelonggaran kepada penerima jaminan untuk

memanfaatkan barang jaminan selama hal itu tidak dijadikan syarat

dalam transaksi. Hal ini berdasarkan pernyataan ulama madhhab yang

menyatakan: Hasil dari barang jaminan ataupun manfaatnya adalah

hak bagi pemberi jaminan, selama penerima jaminan tidak

menyaratkan pemanfaatanya.31

ﻯ ﻯ ﹶ ﹶﻻ

ﻯ ﻯ ﻯ ﹼﻯ ﹺ ﹶﺻﻯ

ﻯ ﹸ ﻯ ﹶﻯ

ﻯ ﳊ ﻯ ).ﻯ ﻯ ﹸ

 ﻯ ﻯ ﻯﱐﻯ ﻯ ﻯ ﻯ

“Barang jaminan tidak boleh disembunyikan dari pemiliknya, karena hasil(dari barang jaminan) dan resiko (yang timbul atas barang itu) menjadi tanggung jawabnya”. (HR Hakim, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban dari Abu Hurairah).

Al-Jaziri menguraikan masalah pemanfaatan barang yang

dijadikan agunan dalam pandangan ulama Mazhab Maliki berpendapat

bahwa hasil yang diperoleh dari barang agunan adalah hak ra>hin,

selama tidak persyaratan yang diajukan oleh murtahin. Namun hasil

dari barang agunan akan menjadi hak (milik) murtahin apabila

memenuhi tiga syarat:

1) Hutang ra>hin disebabkan oleh jual-beli, bukan oleh hutang

piutang. Misalnya seseorang membeli rumah atau mobil dengan

pembayaran kredit, kemudian dia (pembeli) memberikan barang

lain sebagai agunan, maka murtahin dapat memanfaatkan barang

tersebut.

31

Abu Azam Al Hadi, Fiqh Muamalah Kontemporer…,154.

(47)

36

2) Murtahin mensyaratkan manfaat barang agunan tersebut

untuknya.

3) Masa pengambilan manfaat barang agunan oleh murtahin harus

ditentukan dengan jelas.32

c. Menurut ulama Hanabilah, bahwa barang gadaian bisa berupa hewan

yang dapat ditunggangi atau dapat diperah susunya, atau bukan

berupa hewan. Apabila berupa hewan tunggangan atau perahan,

penerima gadai boleh memanfaatkan dengan menunggangi atau dapat

memerah susunya tanpa seijin pemiliknya, sesuai dengan biaya yang

telah dikeluarkan penerima gadai. Selain itu penerima gadai supaya

memanfaatkan barang gadaian dengan adil sesuai dengan biaya yang

dikeluarkan.

Imam Ahmad menegaskan bahwa penerima barang gadai

(murtahin) boleh memanfaatkan barang gadaian tanpa seijin

penggadai. Apabila barang gadai berupa hewan, penerima gadai boleh

mengambil air susunya dan menungganginya dalam kadar seimbang

dengan makanan dan biaya yang diberikan untuknya. Dalam hal ini

ijin penggadai tidak diperlukan. Namun menurut madhhab Hambali,

apabila agunan itu bukan berupa hewan atau sesuatu yang tidak

memerlukan biaya pemeliharaan, seperti tanah, pemegang agunan

tidak boleh memanfaatkan.33

32

Qamarul Huda, Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Teras, 2001), 97.

33

Abu Azam Al Hadi, Fiqh MuamalahKontemporer…,154.

(48)

37

H. Batalnya Akad Gadai

Rahn dipandang habis dengan beberapa keadaan seperti bebasnya

utang, hibah, membayar hutang, dan lain-lain yang akan dijelaskan di bawah

ini:

1. Barang diserahkan kepada pemiliknya

Jumhur ulama selain Syafi’iyah memandang habis rahn jika

murtahin menyerahkan barang kepada pemiliknya (ra>hin) sebab barang

merupakan jaminan utang. Jika barang diserahkan, tidak ada lagi jaminan.

Selain itu, dipandang habis pula rahn jika murtahin meminjamkan barang

kepada rahn atau kepada orang lain atas seijin ra>hin.

2. Dipaksa menjual barang

Rahn habis jika hakim memaksa ra>hin untuk menjual barang, atau

hakim menjualnya jika ra>hin menolak.

3. Ra>hin melunasi semua barang

4. Pembebasan utang

Pembebasan utang, dalam bentuk apa saja, menandakan habisnya

rahn meskipun utang tersebut dipindahkan kepada orang lain.

5. Pembatalan rahn dari pihak murtahin

Rahn dipandang habis jika murtahin membatalkan rahn meskipun

tanpa seijin ra>hin. Sebaiknya, dipandang tidak batal jika ra>hin

membatalkannya.

(49)

38

Menurut ulama malikiyah, rahn habis jika ra>hin meninggal

sebelum menyerahkan barang kepada murtahin. Juga dipandang batal jika

murtahin meninggal sebelum mengembalikan barang kepada ra>hin.

7. Barang rusak

8. Tasharruf dan barang

Rahn dipandang habis apabila barang ditasharrufkan seperti

dijadikan hadiah, hibah, sedekah, dan lain-lain atas seijin pemiliknya.34

34

Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah…,179.

(50)

BAB III

PEMBAYARAN AKAD GADAI MOBIL DAN SEPEDA MOTOR DI DESA

DUREN KECAMATAN PILANGKENCENG KABUPATEN MADIUN

A. Gambaran Umun Lokasi Desa Duren

Pada bab ini penulis akan menggambarkan objek penelitian,

bagaimana penerapan sistem pembayaran gadai mobil dan sepeda motor di

Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun.

1. Sejarah Desa Duren

“Duren” menurut penduduk asli desa tersebut berasal dari kata

“Leren” yang mempunyai arti tempat untuk istirahat dan akhirnya

disebut “Desa Duren”. Sejarah perkembangan penduduk Desa Duren

Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun berawal pada saat desa

tersebut menjadi penghubung aktifitas kebutuhan penduduk yang berada

di wilayah Bojonegoro yang menjual rencek (kayu bakar), dan daun jati

ke Caruban. Ketika itu setiap kali menempuh perjalanan menuju Caruban

mereka sering beristirahat di gardu yang terdapat di Desa Duren. Sampai

saat ini apabila ada pendatang dari luar daerah Madiun yang berprofesi

sebagai guru, pegawai, bahkan yang menikah dengan warga Desa Duren

pada akhirnya mereka lebih memilih untuk menetap di Desa Duren dan

menjadi penduduk di desa tersebut.

Mata pencaharian masyarakat Desa Duren sendiri adalah bercocok

(51)

40

bekas peninggalan pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.

Sedangkan sebagian besar pekerja yang melaksanakan pembangunan

Waduk Notopuro berasal dari daerah Grobokan Jawa Tengah. Tujuan dari

pembangunan Waduk Notopuro adalah untuk mengairi sawah yang ada di

Kecamatan Pilangkenceng dan sekitarnya. Pada akhirnya pekerja yang

berasal dari Grobokan tersebut banyak yang tidak kembali ke daerah

Grobokan dan kemudian menetap di Desa Duren.

Adapun periode pemerintahan Desa Duren dijabat Oleh:

a. Lurah Somo Rejo Tahun –

b. Lurah Kamin Tahun –

c. Lurah Dongkol Pathek Tahun ( 1921 – 1935 )

d. Lurah Prawiro Suhardjo Tahun ( 1935 – 1942 )

e. Lurah Tariman Tahun ( 1942 – 1986 )

f. Kades Sudarijanto Tahun ( 1986 – 1994 )

g. Kades Sono Tahun ( 1994 – 2004 )

h. Kades Puguh Djumhari Tahun ( 2004 – 2014 )

i. Kades Sujadi Tahun ( 2014 s/d sekarang )

Dari sejarah di atas, Desa Duren saat ini sudah menjadi sebuah

desa yang sempurna. Secara perlahan Desa Duren dibangun oleh

masyarakat pada waktu itu, yang kemudian tanah yang

sebelumnyarawa-rawa kini menjadi tempat tinggal warga yang penuh dengan

kesederhanaan dan kesejahteraan.1

1

(52)

41

2. Letak Geografis

Desa Duren merupakan salah satu desa yang terletak di

Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun. Desa ini berada di dataran

rendah yang disekelilingnya terdapat persawahan. Selain itu banyak juga

jenis pohon yang ada di desa tersebut, seperti Pohon Bambu, Pohon

Mangga, Pohon Jati, Jagung, pohon Pisang, Pohon Mahoni, Pohon

Trembesi dan tumbuhan Porang. Tumbuhan Porang merupakan produk

unggulan kabupaten Madiun yang letaknya di Desa Duren.

Desa ini merupakan salah satu desa yang berada di dataran rendah

Gunung Pandan, yang saat ini gunung tersebut sudah tidak aktif dan

merupakan pusat dari semua gunung di Jawa. Untuk menuju ke Desa

Duren harus menempuh jarak 2 Km dari Kecamatan, sedangkan untuk

menuju Kabupaten Madiun harus menempuh jarak 26 Km. Adapun luas

(53)

[image:53.595.134.513.146.520.2]

42

Tabel 3.1

Data Luas Peta

No. Pembagian Wilayah Luas Wilayah

1. Jalan 16 Ha/Km

2. Sawah/ Ladang 164 Ha

3. Bangunan Umum 1 Ha

4. Empang/ Tambak -

5. Perumahan Penduduk 216 Ha

6. Jalur Hijau -

7. Perkuburan 3 Ha

8. Lain – lain dan Hutan 533 Ha

Jumlah 993 Ha

Sumber : Data Monografi Bidang Pemerintahan Desa Duren 2016

Selain mempunyai pembagian wilayah seperti yang ada di atas,

Desa Duren memiliki batas wilayah sebagai berikut:

sebelah utara : Desa Dawuhan

sebelah Barat : Desa Sumber Gandu

sebelah selatan : Desa Kedung Maron dan Desa Bener

sebelah timur : Desa Tulung

Desa Duren ini memiliki lima dusun yakni, Dusun Duren 1 Dusun

Duren 2, Dusun Kutukan, Dusun Karang Tengah, Dusun Notopuro. Untuk

akses menuju Desa Duren melewati persawahan di kanan kiri jalan. Selain

persawahan juga melewati ladang – ladang yang ditanami Pohon Jati.

3. Demografis

Secara demografis Desa Duren adalah desa yang memiliki jumlah

RT terbanyak se Kecamatan Pilangkenceng, selain itu memiliki jumlah

(54)

43

dan 3.022 jiwa perempuan Sedangkan dalam pembagian penyebaran

[image:54.595.135.503.210.647.2]

penduduk Desa Duren terbagi sebagai berikut:2

Tabel 3.2

Pembagian Penyebaran Penduduk

No. Pembagian RW Pembagian RT Jumlah KK Ketua RW

1

RW 01

RT 01 130 KK

Samin

2 RT 02 133 KK

3 RT 03 135 KK

4 RT 04 166 KK

5 RT 05 258 KK

6 RT 06 221 KK

7 RT 07 232 KK

8 RT 08 177 KK

9

RW 02

RT 09 236 KK

Samto

10 RT 10 428 KK

11 RT 11 176 KK

12 RT 12 223 KK

13 RT 13 254 KK

14 RT 14 249 KK

15 RT 15 323 KK

16 RT 16 266 KK

17 RT 17 212 KK

18 RT 18 182 KK

19

RW 03

RT 19 123 KK

Joko Prayitno

20 RT 20 52 KK

21 RT 21 205 KK

22 RT 22 106 KK

23 RT 23 205 KK

24 RT 24

25

RW 04 RT 25 99 KK Suwarno

26 RT 26 97 KK

27

RW 05

RT 27 216 KK

Suharsono

28 RT 28 141 KK

29 RT 29 113 KK

30 RT 30 204 KK

31 RT 31 120 KK

Adapun jumlah penduduk menurut kelompok umur adalah

sebagai berikut:

2

(55)

[image:55.595.135.510.144.525.2]

44

Tabel 3.3

Jumlah Penduduk Kelompok Umur

Kelompok Umur Laki – laki Perempuan Jumlah

0 – 4 190 191 381

5 – 9 216 214 430

10 – 14 197 208 405

15 – 20 282 299 581

21 – 24 205 218 423

25 – 29 242 247 489

30 – 39 307 317 624

40 – 49 392 147 719

50 – 59 412 411 823

60 + 312 308 620

Sumber: Data Kependudukan Desa Duren 2016

4. Keadaan Ekonomi

Secara ekonomi, masyarakat Desa Duren rata-rata memiliki

perekonomian menengah ke bawah, dengan rata-rata penghasilan

perbulannya kurang dari 1.000.000 untuk memenuhi kebutuhan

sehari-hari mereka. Untuk mendapatkan dan memperoleh penghasilan

masyarakat mayoritas bekerja sebagai petani yang menjadi mata

pencaharian pokok penduduk.

Untuk pemuda-pemuda di Desa Duren setelah lulus sekolah, baik

lulusan SMP atau SMA sebagian besar kerja diluar kota (merantau). Para

orang tua dari pemuda berasumsi bahwa lapangan kerja di desa sangat

kurang, khususnya untuk pemuda. Sedangkan setiap keluarga

membutuhkan uang untuk bertahan hidup. Data mata pencaharian

penduduk di Desa Duren adalah sebagai berikut:3

3

(56)

[image:56.595.131.508.144.522.2]

45

Tabel 3.4

Mata Pencaharian Penduduk Duren

No. Pekerjaan Jumlah penduduk

1 PNS 70 Orang

2 ABRI/ Polisi 43 Orang

3 Pegawai Swasta -

4 Pegawai BUMN -

5 Pedagang 49 Orang

6 Perbengkelan 5 Orang

7 Tani 1269 Orang

8 Pertukangan 39 Orang

9 Buruh Tani 760 Orang

10 Pensiunan 15 Orang

11 Nelayan -

12 Jasa 23 Orang

13 Tukang Jahit Pakaian 4 Orang

14 Pemulung 4 Orang

Sumber : Data Mata Pencaharian 2016

Selain menjadi petani yang menjadi mayoritas masyarakat Desa

Duren, masyarakat juga mempunyai pekerjaan sampingan berupa

peternak kambing, sapi, mencari kayu, dan lain sebagainya.

5. Agama dan Budaya

Sesuai hasil observasi dan wawancara peneliti, mayoritas

masyarakat Desa Duren adalah beragama Islam. Terdapat fasilitas agama

yang dibangun oleh masyarakat yakni Musholla dan Masjid. Selain Islam,

juga terdapat beberapa orang berkeyakinan Kristen dengan jumlah 151

orang. Adapun fasilitas untuk tempat ibadah agama kristen sebanyak dua

gereja, yang letaknya di Dusun Kutukan dan Dusun Notopuro Desa

Duren.

Fasilitas beribadah yang ada merupakan hasil dari gotong royong

(57)

46

dananya juga bersumber dari masyarakat sekitar. Adapun jumlah fasilitas

keagamaan di Desa Duren adalah sebagai berikut:4

Tabel 3.5 Fasilitas Keagamaan

Fasilitas Keagamaan Jumlah

Masjid 8

Gereja 2

Sumber : Data Fasilitas keagamaan 2016

Adapun bentuk – bentuk kegiatan keagamaan adalah Majelis

Muslimat dan Majelis Tahlil. Pel

Gambar

Tabel 3.1
Tabel 3.2
Tabel 3.3
Tabel 3.4
+3

Referensi

Dokumen terkait

Where the educational establishment provides a meals service, comparisons can be made using the cost of each meal served or on a cost per pupil/student basis.. Such comparisons

stock return, perusahaan dalam kategori non-financial distress berpengaruh positif terhadap stock return, sedangkan perusahaan dalam kategori zone of ignorance (grey

Secara praktis dengan penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk lebih memahami isi cerita dalam novel Mellow Yellow Drama karya Audrey Yu Jia Hui terutama

[r]

meninggal di Makassar, Makassar, Sulawesi Selat Sulawesi Selatan, an, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah Raja Gowa

Berdasarkan dari hasil keseluruhan aspek sumber ide yang telah diamati, ternyata hiasan bordir yang paling tinggi di pusat perbelanjaan di Surabaya Utara yaitu hiasan bordir

Cody Wilson dan perangkat lunak ciptaannya yang disebut dengan Dark Wallet, ia mengembangkan alat yang akan membuat sulit bagi para penegak hukum untuk melacak transaksi

Islam tidak menolak usaha menghasilkan laba, oleh karenanya tidak ada alasan bagi lembaga keuangan bank untuk tidak masuk dalam suatu kemitraan dengan pengusaha dan meminjamkan