ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN
AKAD GADAI MOBIL DAN SEPEDA MOTOR DI DESA DUREN
KECAMATAN PILANGKENCENG KABUPATEN MADIUN
SKIRPSI
Oleh:
Mujahidah Muharrom Al-Karima NIM. C02212031
Universitas Islam Negeri SunanAmpel Fakultas Syari’ah Dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)
SURABAYA
▸ Baca selengkapnya: surat pernyataan gadai mobil
(2)▸ Baca selengkapnya: surat perjanjian gadai mobil bermaterai
(3)▸ Baca selengkapnya: contoh surat kwitansi gadai motor
(4)(5)(6)
ABSTRAK
Skripsi ini merupakan hasil penelitian lapangan (field research) dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Akad Gadai di Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan tentang “bagaimana pelaksanaan akad gadai mobil dan sepeda motor di Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun, dan bagaimana analisis hukum Islam pelaksanaan akad gadai mobil dan sepeda motor di Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara (interview) dan dokumentasi. Setelah data terkumpul data diolah dan dianalisis dengan metode deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif yaitu Menggambarkan prinsip umum gadai hukum Islam untuk kemudian dideduksi untuk menganalisa praktek gadai yang terjadi di lapangan . kesimpulan yang didapatkan tentu bersifat khusus.
Hasil penelitian ini menyimpulkan gadai mobil dan sepeda motor yang ada di Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun dilakukan perorangan
bukan lembaga. Murtahin dan ra>hin yang melakukan perjanjian akad gadai dengan
menyerahkan jaminan sebagai jaminan hutang, dan ra>hin tidak diberikan batasan
waktu pembayaran hutangnya asalkan ra>hin tetap membayar bunga, apabila ra>hin
tidak dapat membayar bunga maka murtahin memberikan denda kepada ra>hin.
Ditinjau dari hukum Islam dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan gadai mobil dan sepeda motor merupakan praktek yang tidak boleh dilakukan oleh Islam. Mengingat praktek itu lebih banyak kemadharatan dibanding dengan segi kemaslahatannya, yang memberatkan salah satu pihak. kendati secara hukum Islam sah akad gadainya tetapi praktek dan pemanfaatannya yang digunakan bertentangan dengan aturan agama. Serta adanya unsur tambahan bunga dan kecurangan yang dilakukan murtahin dengan menyewakan mobil dan sepeda motor kepada pihak ketiga, setiap hutang yang menarik manfaat adalah riba.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM………. i
PERNYATAAN KEASLIAN……….. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING……… iii
PENGESAHAN……….. iv
MOTTO………... v
PERSEMBAHAN……….. vi
ABSTRAK. ... ….. vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI……….. x
DAFTAR TRANSLITERASI………... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 5
C. Rumusan Masalah ... 6
D. Kajian Pustaka ... 6
E. Tujuan Penelitian ... 8
F. Kegunaan Penelitian ... 9
G. Definisi Operasional ... 9
H. Metode Penelitian ... 10
I. Sistematika Pembahasan ... 16
B. Dasar Hukum Gadai ... 20
C. Rukun dan Syarat Gadai ... 24
D. Hak dan Kewajiban (Rahin dan Murtahin) ... 28
E. Resiko kerusakan Barang Gadai ... 30
F. Batasan Waktu dan Riba dalam Gadai………...…….. 31
G. Pendapat Para Ulama Tentang pemanfaatan Barang Gadai (Murtahin) ... 32
H. Batalnya Akad Gadai ... 37
BAB III PELAKSANAAN AKAD GADAI MOBIL DAN SEPEDA MOTOR DI DESA DUREN KECAMATAN PILANGKENCENG KABUPATEN MADIUN ... 39
A. Gambaran Umum Lokasi Desa Duren ... 39
1. Sejarah Desa Duren ... 39
2. Letak Geografis Desa ... 41
3. Demografis ... 42
4. Keadaan Ekonomi ... 44
5. Agama dan Budaya ... 45
6. Pendidikan ... 46
7. Pembangunan ... 48
B. Pelaksanaan Akad Gadai Mobil dan Sepeda Motor di Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun ... 48
1. Latar Belakang terjadinya Gadai ... 48
2. Pelaksanaan Akad Gadai Mobil dan Sepeda motor ... 49
A. Analisis Pelaksanaan Akad Gadai Mobil dan sepeda
Motor di Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng
Kabupaten Madiun ... 58
B. Analisis Hukum Islam Pelaksanaan Akad Gadai Mobil dan Sepeda Motor di desa Duren kecamatan Pilangkenceng kabupaten Madiun ... 60
BAB V PENUTUP ... 66
A. Kesimpulan ... 66
B. Saran ... 67
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial harus senantiasa mengikuti aturan
yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Kerena manusia sebagai makhluk
sosial, mereka akan saling membutuhkan antara satu dengan yang lain untuk
memenuhi kebutuhannya. Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya prinsip
muamalah misalnya, tidak mempersulit, suka sama suka dan saling tolong
menolong.1 Hubungan Individu dengan lainnya, seperti pembahasan masalah
hak dan kewajiban, harta, jual-beli, kerja sama dalam berbagai bidang, pinjam
meminjam, sewa menyewa, penggunaan jasa dan kegiatan-kegiatan lainnya
yang sangat diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari, diatur dalam
fiqh mu’a>malah.2
Kenyataan tolong menolong dalam bermu’a>malah tidak dapat
ditinggalkan, karena bermu’a>malah dengan cara tolong-menolong akan
mempermudah mendapat segala kebutuhan dan dapat mempererat tali
silaturrahmi antara sesama manusia. Mu’a>malah dalam arti luas adalah
aktivitas untuk menghasilkan duniawi menyebabkan keberhasilan masalah
ukhrawi. Mu’a>malah juga merupakan sistem kehidupan manusia, tak
terkecuali pada dunia ekonomi. Dalam berinteraksi dengan orang lain
1
Abdur Rahman Ghazaly, Fiqih Muamalat (Jakarta: Kencana Pranada Media, 2010), 4.
2
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003),1.
2
manusia harus memiliki kebebasan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
secara maksimal. Namun disisi lain bagi diri manusia menempel kepentingan
dan kebutuhan orang lain yang mengharuskan bahwa seseorang harus
menyadari akan ketidakmampuannya di dalam memenuhi kebutuhannya.
Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa “kebebasan manusia
adalah kebebasan yang dibatasi oleh kebebasan orang lain”. Prinsip seperti
ini membutuhkan ajaran tersendiri agar manusia dengan sadar untuk
melakukannya.3 Hal ini kaum muslimin dianjurkan untuk saling membantu
dan meringankan beban orang lain, dapat diwujudkan melalui jaminan
masalah utang yang menjadi beban orang lain.4
Menurut Sayyid Sabiq, ar-rahn adalah menjadikan barang berharga
menurut pandangan syara’ sebagai jaminan utang.5 Dalam bentuk ini pinjam
meminjam dalam hukum islam mengajurkan supaya kedua belah pihak tidak
dirugikan. Murtahin dibolehkan menahan barang milik ra>hin yang
mempunyai nilai dan ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan
memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian
piutangnya yang diterimanya, dalam hal ini dikenal dengan istilah gadai atau
ar-rahn.6 Para ulama sepakat bahwa ar-rahn dibolehkan tetapi tidak
3
Moch.Yazid Afandi, Geneologi Konsep Ekonomi Islam ( Yogyakarta:Jurnal Asy-Syari’ah,
2006), 28.
4
Ismail Nawawi, Fiqh Mualalah (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), 195.
5
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid III (Beirut: Dar kitab al-Arabi,1971), 153.
6
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan (Jakarta: Takzia
Institute, 1999), 213.
3
diwajibkan, sebab gadai hanya bersifat jaminan saja jika kedua belah pihak
tidak saling mempercayai7
Diperbolehkannya rahn telah diatur dalam surat al-Baqarah (2): 283
yang berbunyi: …
“Apabila kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang), akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai itu menunaikan amanat (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah tuhannya”. (QS. al-Baqarah: 283)”.8
Gadai atau rahn bukanlah merupakan suatu hal yang baru karena hal
tersebut sudah ada sejak jaman Rasulullah saw. Gadai pada masa Rasulullah
merupakan suatu kegiatan utang piutang yang murni bersifat sosial, yang
pada saat itu belum berupa sebuah lembaga formal. Sehingga aktivitas
terbaru hanya berfungsi sosial semata dan penggadai tidak berkewajiban
memberikan tambahan apapun dalam melunasinya karena itu termasuk riba.
Dalam masalah gadai, Islam telah mengaturnya seperti yang telah
diungkapkan ulama fiqh, baik mengenai rukun, syarat, dasar hukum, maupun
tentang pemanfaatan barang gadai oleh penerima gadai yang semua itu bisa
dijumpai dalam kitab-kitab fiqh. Dalam pelaksanaannya tidak menutup
kemungkinan adanya penyimpangan dari aturan yang ada. Dalam
pemanfaatan barang gadai Jumhur Fuqaha>’ berpendapat bahwa murtahin
7
Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 160.
8
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemah (Jakarta: Pustaka al-Fatih, 2009), 49.
4
tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut,
sekalipun ra>hin mengijinkannya, murtahin tidak boleh bertindak menjual,
mewakafkan atau menyewakan barang jaminan itu, karena hal ini termasuk
pada hutang yang menarik manfaat,.9
Kegiatan Gadai yang terjadi pada masyarakat di Desa Duren
Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun sudah menjadi adat istiadat
atau tradisi, yaitu orang yang berhutang menyerahkan mobil atau sepeda
motor sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman uang. Di Desa Duren
Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun berpenghasilan sebagai petani,
dan keadaan perekonomiannya tidak menentu.
Namun dalam prakteknya terdapat kejanggalan yakni ra>hin
(penggadai) memberikan jaminan kepada murtahin (penerima gadai) sebuah
barang gadai disebut marhu>n, seperti mobil atau sepeda motor. Namun dalam
sistem pembayarannya ra>hin meninggalkan mobil atau sepeda motor sebagai
jaminan utang piutang tetapi saat pembayaran murtahin tidak memberikan
perjanjian batasan waktu untuk membayar pinjamannya dan dalam
melakukan perjanjian kedua belah pihak. Misalnya, ra>hin meminjam uang
kepada murtahin dengan jaminan mobil atau sepeda motor, maka murtahin
memberikan pinjaman uang kepada ra>hin dengan kententuan ra>hin membayar
bunga atas pinjaman uang yang diberikan murtahin kepada ra>hin 10% dari
pinjamannya yang dibayar tiap bulannya. Selama ra>hin belum melunasi utang
yang diberikan murtahin, maka bunga tersebut menjadi uang pokok dalam
9
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 263.
5
pembayarannya selain dengan jumlah uang yang diterima ra>hin, dalam
pembayaran utangnya tidak ada batasan waktu sehingga sistem
pembayarannya memberatkan ra>hin. Apabila ra>hin tidak dapat membayar
bunga yang dibayar tiap bulannya, maka ra>hin dikenakan denda 10% dari
uang bunga yang dipinjamnya, sehingga ra>hin setiap bulannya harus
membayar bunga dan dendanya. Murtahin juga menggunakan barang gadai
tersebut sebagai kebutuhan untuk dirinya sendiri, selain itu murtahin juga
memanfaatkan barang gadainya tanpa ijin penyewaan pada ra>hin.
Berdasarkan hal ini maka penulis tertarik mengadakan penelitian, di
Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun. Maka penulis
dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadap Sistem Gadai Mobil dan
Sepeda Motor di Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun”.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Identifikasi masalah dilakukan untuk menjelaskan
kemungkinan-kemungkinan cakupan masalah yang dapat muncul dalam penelitian dengan
melakukan identifikasi, maka masalah yang dapat di identifikasi dari
latar-belakang diatas adalah:
1. Pelaksanaan akad gadai mobil dan sepeda motor di Desa Duren
Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun.
2. Pemanfaatan gadai mobil dan sepeda motor di Desa Duren Kecamatan
Pilangkenceng Kabupaten Madiun.
6
4. Analisis hukum Islam terhadap pelaksanaan gadai mobil dan sepeda
motor.
Dengan adanya suatu permasalahan tersebut, maka untuk memberikan
arah yang jelas dalam penelitian ini, penulis membatasi pada
masalah-masalah berikut ini:
1. Pelaksanaan akad gadai mobil dan sepeda motor di Desa Duren
Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun.
2. Analisis hukum Islam terhadap pelaksanaan akad gadai mobil dan sepeda
motor.
C. Rumusan Masalah
Untuk memudahkan kajian dari jawaban diatas, maka dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan akad gadai mobil dan sepeda motor di Desa
Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun?
2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap pelaksanaan akad gadai mobil
dan sepeda motor di Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten
Madiun?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian
yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang diteliti sehingga
terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan
7
ada.10Berdasarkan penulusuran peneliti, terdapat beberapa penelitian tentang
gadai yang telah dilakukan sebelumnya antara lain:
1. Penelitian dengan judul “Analisis Hukum Islam terhadap tradisi gadai
sawah di Desa Morbatoh Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang”.
Hasil dari penelitian ini mengikuti suatu tradisi yang berlaku sejak lama,
sawah yang dijadikan jaminan tersebut dikelola dan diambil manfaatnya
atau hasilnya oleh murtahin. Sedangkan menurut warga yang pernah
melakukan gadai yaitu dari pihak rahin, mengungkapkan bahwa hasil dari
sawah yang dikelola murtahin bisa melebihi dari uang pinjaman yang di
pinjam oleh ra>hin.11
2. Arfan santoso dengan judul “Analisis Hukum Islam terhadap
pemanfaatan tanah sawah gadai untuk penanaman tembakau di Desa
Banjur Waru Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan”. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan praktik pemanfaatan gadai sawah yang terjadi
di Desa Banjur, mengandung unsur mas}lah}ah dan mafsadahnya untuk
perawatan tanah karena jika tidak ditanami maka sawah tersebut tidak
subur lagi atau kurang lebih manfaatnya.12
3. Aris Darul Mutakin dengan judul “Pemanfaatan Jaminan Gadai Sawah
(Study Analisis Maslahah di Dusun Karangampel Desa Cidolog
Kecamatan Cidolog Kabupaten Ciamis Provisi Jawar Barat)”. Dalam
10
Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel, Petunjuk Teknis Perumusan skripsi (Surabaya: cet.III,
2011),.9.
11
Siti Holifah, “Analisis Hukum Islam terhadap tradisi gadai sawah di Desa Morbatoh Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang” (skripsi UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015), 68.
12
Arfan Santoso, “Pemanfaatan Jaminan Gadai Sawah (Study Analisis Maslahah di Dusun Karangampel Desa Cidolog Kecamatan Cidolog Kabupaten Ciamis Provisi Jawar Barat)” (skripsi, UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013), 87.
8
penelitian ini penulis mengkaji tentang kemaslahahan dengan adanya
pemanfaatan jaminan gadai. Setelah terjadi kesepakatan, sawah
diserahkan kepada murtahin berikut dengan pemanfaatannya.13
Sedangkan pada kajian yang dibahas pada penelitian ini berbeda
dengan yang lain, sebab penulis membahas tentang “Analisis Hukum Islam
terhadap Pelaksanaan Akad Gadai Mobil dan Sepeda Motor di Desa Duren
kecamatan Pilangkenceng Kabupatem Madiun” Dalam penelitian ini penulis
lebih memfokuskan membahas tentang pelaksanaan akad gadai dan
pemanfaatan barang gadai.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini tidak lain adalah untuk mencari jawaban ilmiah
atas masalah-masalah yang akan diteliti. Oleh karena itu, tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan akad gadai mobil dan sepeda motor di
Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun
2. Untuk mengetahui analisis hukum islam terhadap pelaksanaan akad gadai
mobil dan sepeda motor di Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng
Kabupaten Madiun.
13
Aris Darul Mutakin, “Pemanfaatan Jaminan Gadai Sawah (Study Analisis Maslahah di Dususn
Karangampel Desa Cidolog kecamatan Cidolog Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat)” (Tesis--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2011), 136-137.
9
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat dan berguna
bagi penelitian tentang gadai baik secara teoretis maupun praktis.
1. Secara Teoretis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan untuk
pengembangan ilmu pengetahuan mu’a>malah tentang sistem gadai mobil
dan sepeda motor, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dalam
memperluas wawasan yang berhubungan dengan gadai dan diharapkan
dapat memberikan sumbangan pemikiran yang membutuhkan pustaka
masalah mengenai gadai dalam Islam.
2. Secara Segi Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
dan informasi atau masukan yang penting bagi pembaca untuk
berhati-hati dalam transaksi gadai dan diharapkan sebagai bahan pelengkap dan
penyempurnaan bagi peneliti selanjutnya.
G. Definisi Operasional
Demi mendapatkan pemahaman dan gambaran yang jelas dalam
pembahasan suatu penelitian. maka peneliti perlu kiranya membatasi
sejumlah variabel yang diajukan dalam penelitian yang berjudul, “Analisis
Hukum Islam Terhadap sistem gadai mobil dan Sepeda motor di Desa Duren
Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun”. Dari permasalahan di atas
10
1. Hukum Islam yang dimaksud disini yaitu ketentuan-ketentuan hukum
Islam dalam menyingkapi permasalahan gadai, mengenai sistem gadai
atau jaminan, peraturan dan ketentuan hukum Islam yang bersumber dari
al-qur’an, hadist, dan pendapat ulama sebagai pedoman bagi kehidupan
masyarakat .
2. Sistem pembayaran gadai mobil dan sepeda motor adalah Perjanjian atas
barang yang digadaikan sebagai jaminan seperti gadai mobil dan sepeda
motor, yang diserahkan ra>hin kepada murtahin. Namun permasalahan
juga ada terhadap tidak ada kejelasan waktu dalam sistem pembayaran
gadai tersebut, sehingga semakin memberatkan ra>hin. Karena adanya
pembayaran bunga pinjaman uang perbulannya yang diminta oleh
murtahin. Jika tidak bisa membayar bunga perbulannya, maka ra>hin
dikenankan denda sehingga memberakan ra>hin. Murtahin juga
menggunakan barang gadai tersebut sebagai kebutuhan untuk dirinya
sendiri, selain itu murtahin juga memanfaatkan dan menyewakan barang
gadainya seperti mobil dan sepeda motor kepada orang lain.
H. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data
dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Sedangkan, penelitian dapat diartikan
sebagai sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat,
membina, serta mengembangkan ilmu pengetahuan.14 Berdasarkan hal
14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-PRESS, 2007), 3.
11
tersebut, terdapat empat kunci yang perlu diperhatikan yaitu cara ilmiah,
data, tujuan, dan kegunaan.15
Untuk memberikan deskripsi yang baik, dibutuhkan serangkaian
langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Duren Kecamatan
Pilangkenceng Kabupaten Madiun yang difokuskan pada sistem
pembayaran gadai mobil dan sepeda motor. Oleh karena itu penulis
tertarik untuk menjadikan Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng
Kabupaten Madiun, ini sebagai tempat penelitian.
2. Data yang dikumpulkan
Data yang dikumpulkan merupakan data yang perlu dihimpun
untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah yang berkaitan
dengan sistem gadai mobil dan sepeda motor di Desa Duren Kecamatan
Pilangkenceng Kabupaten Madiun.
a. Data tentang sistem pembayaran gadai mobil dan sepeda motor di
Desa Duren.
b. Data tentang pemanfaatan barang gadai mobil dan sepeda motor di
Desa Duren.
c. Data tentang teori-teori gadai yang di ambil dari buku, hasil
wawancara dan hasil penelitian terdahulu.
15
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), 2.
12
3. Sumber Data
Ada dua sumber data yang peneliti jadikan pegangan agar dapat
memperoleh data yang kongkrit dan berkaitan dengan masalah penelitian
diatas, yaitu:
a. Sumber Data Primer
Adapun yang dimaksud dengan data primer ialah data yang
diperoleh langsung di lapangan oleh yang melakukan penelitian atau
yang memerlukannya.16Dalam penelitian ini peneliti memperoleh data
langsung dengan cara melakukan wawancara dengan ra>hin, murtahin,
warga sekitar dan semua pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan
akad gadai mobil dan sepeda motor yang ada di Desa Duren
Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun.
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang tidak didapatkan secara
langsung oleh peneliti tetapi diperoleh dari orang lain atau pihak lain
dan data sekunder sifatnya membantu untuk melengkapi serta
menambahkan penjelasan mengenai sumber-sumber data.
4. Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah penggadai (ra>hin) penerima gadai
(murtahin), warga sekitar dan semua pihak yang berkaitan dengan
pelaksanaan akad gadai mobil dan sepeda motor yang ada di Desa Duren
Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun.
16
Masruhan, Metodelogi Penelitian Hukum (Surabaya: Hilal Pustaka, 2013), 94.
13
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling
strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah
mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka
penelitian tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standart data
yang ditetapkan. Pengumpulan data dilakukan secara langsung
dilapangan yang berkaitan dengan masalah penelitian, dalam
pengumpulan data tersebut peneliti menggunakan beberapa metode
sebagai berikut:
a. Observasi
Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
metode observasi ke lokasi penelitian. Observasi adalah seorang
peneliti secara langsung mengamati ke lokasi penelitian. Observasi
dilakukan untuk mengumpulkan data secara langsung, agar peneliti
mendapatkan data yang falid, baik, utuh dan akurat. Observasi
dilakukan untuk mengamati secara langsung tentang masalah
pelaksanaan akad gadai mobil dan sepeda motor di Desa Duren
Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun.
b. Wawancara
Wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh
pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.17
Dialog itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer)
17
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu pendekatan praktik (Jakarta: PT Rieneka
Cipta, 2006), 155.
14
yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang
memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Maksud mengadakan
wawancara, agar peneliti mengetahui hal-hal yang mendalam tentang
partisipan dalam menginterpestasikan situasi dan fenomena yang
terjadi, dimana hal ini tidak dapat ditemukan dalam observasi.18
c. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data yang tidak
langsung ditunjukan pada subyek penelitian, namun melalui
dokumen.19 Dalam penelitian ini dokumen dapat berupa profil desa
dan data penelitian tentang sistem gadai mobil dan sepeda motor di
Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun.
18
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011),
186.
19
M. Iqbal Hasan, Metodologi Penelitian dan Aplikasinya (Bogor: Ghalia Indonesia, 2002), 87.
15
5. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data yang digunakan peneliti adalah:20
a. Organizing
Organizing yaitu menyusun kembali data yang telah didapat
dalam penelitian yang diperlukan dalam kerangka paparan yang sudah
direncanakan dengan rumusan masalah secara sistematis.
b. Editing
Editing yaitu pemeriksaan kembali dari semua data yang
diperoleh terutama dari segi kelengkapannya, kejelasan makna,
keselarasan antara data yang ada dan relevansi dengan penelitian.
Teknik ini digunakan penulis untuk memeriksa kelengkapan data-data
yang sudah dikumpulkan dan akan digunakan sebagai sumber-sumber
studi dokumentasi.
c. Analizing
Analizing yaitu melakukan analisis data yang diperoleh dari
penelitian untuk memperoleh kesimpulan mengenai kebenaran fakta
yang ditemukan. Dengan menggunakan kaidah, teori, dan dalil, yang
akhirnya merupakan sebuah jawaban dari rumusan masalah.
6. Teknik Analisis Data
Hasil dari pengumpulan data tersebut akan dibahas dan kemudian
dilakukan analisis secara kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan
20
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D…, 243-246.
16
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati dengan metode yang ditentukan.21
a. Analisis Deskriptif
Tujuan dari analisis deskriptif ini adalah untuk membuat
gambaran mengenai objek penelitian secara sistematis, aktual dan
akurat mengenai fakta-fakta. Peneliti menggunakan metode ini untuk
mengetahui gambaran tentang gadai transportasi.
b. Pola pikir Deduktif
Menggambarkan prinsip umum gadai hukum Islam untuk
kemudian dideduksi untuk menganalisa praktek gadai yang terjadi di
lapangan . kesimpulan yang didapatkan tentu bersifat khusus.
I. Sistematika Pembahasan
Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini dikelompokkan
menjadi lima bab, terdiri dari sub-subab masing-masing mempunyai
hubungan dengan yang lain dan merupakan rangkaian-rangkaian yang
berkaitan. Adapun sistematikanya sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,
tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian.
Bab kedua, menjelaskan secara sistematika pembahasan mengenai
gadai (rahn) dalam Islam, dalam hal ini memuat pengertian gadai (rahn) dan
21
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif
(Surabaya: Airlangga University Press, 2001), 143.
17
dasar hukumnya, rukun dan syarat gadai, hak dan kewajiban (ra>hin dan
murtahin), status barang gadai, resiko kerusakan barang jaminan, pendapat
para ulama tentang pemanfaatan barang gadai (murtahin), batalnya akad
gadai.
Bab ketiga, menjelaskan praktek gadai, dalam bab ini memuat
beberapa alasan meliputi: a) profil Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng
Kabupaten Madiun yang meliputi sejarah, letak geografis, demografis,
keadaan ekonomi, agama dan budaya, pendidikan, pembangunan. b)
pelaksanaan akad gadai mobil dan sepeda motor, sistem pembayaran gadai
mobil dan sepeda motor, dampak adanya gadai mobil dan sepeda motor.
Bab keempat, menjelaskan analisis pekasanaan akad gadai mobil dan
sepeda motor, dan analisis hukum Islam pelasksanaan akad gadai mobil dan
sepeda motor.
Bab kelima, merupakan bab penutup yang terdiri dari: kesimpulan dan
BAB II
GADAI (RAHN) DALAM ISLAM
A. Pengertian Gadai (Rahn)
Dalam istilah bahasa Arab “gadai” diistilahkan dengan “rahn” dan
dapat dinamai dengan “al habsu”. Secara etimologi artinya kata rahn berarti
“tetap atau lestari”, sedangkan “al-habsu” berarti “penahanan”.1 Menurut
terminology syara’, al-rahn berarti:
ﹺﻯﺳﺀﻯ ﻯ
ﻯ
ﹸ ﻯ ﻯ
ﻯ ﻯ
ﻯ
ﻯ
“Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut”.
Akad al-rahn dalam istilah hukum positif disebut dengan barang
jaminan, agunan, dan rungguhan. Dalam Islam al-rahn merupakan sarana
tolong menolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan jasa.2 Dalam
peristilahan sehari-hari pihak yang menggadaikan disebut dengan “pemberi
gadai” dan yang menerima gadai, dinamakan “penerima atau pemegang
gadai”.3
Gadai merupakan salah satu kategori perjanjian hutang-piutang untuk
suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berhutang
mengadaikan barangnya menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap
hutangnya itu. Barang jaminan tetap menjadi hak milik orang yang
menggadaikan tetapi dikuasai oleh penerima gadai. Praktek ini telah ada
1
Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), 139.
2
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 251.
3
Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam…, 139.
19
jaman Rasulullah saw. Dan Rasulullah sendiri pernah melakukannya. Gadai
mempunyai nilai sosial yang tinggi dan dilakukan secara suka rela atas dasar
tolong menolong4 Menurut istilah ulama fiqh sebagai berikut:
Pertama, menurut ulama Hanafiyah al-rahn adalah menjadikan barang
sebagai jaminan terhadap piutang yang dimungkinkan sebagai pembayaran
piutang baik seluruhnya ataupun sebagiannya.5
Kedua, menurut ulama Malikiyah al-rahn adalah harta pemilik yang
dijadikan sebagai jaminan hutang yang memiliki sifat mengikat. Menurut
mereka yang dijadikan jaminan bukan hanya barang yang bersifat materi, bisa
juga barang yang bersifat maanfaat tertentu.6 Barang yang dijadikan jaminan
tidak harus diserahkan secara tunai, tetapi boleh juga penyerahannya secara
aturan hukum, sebuah contoh sebidang tanah kosong sebagai jaminan, maka
yang dijadikan jaminan adalah sertifikat hak atas tanah tersebut.7
Ketiga, menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah al-rahn adalah
menjadikan barang pemilik sebagai jaminan utang, yang bisa dijadikan
sebagai pembayaran utang apabila orang yang berutang tidak bisa melunasi
utangnya.8 Pengertian al-rahn yang dikemukakan ulama Syafi’iyah ini
memberi pengertian bahwa ba\rang yang bisa dijadikan jaminan utang
hanyalah harta yang bersifat materi, tidak termasuk manfaat sebagaimana
yang dikemukakan ulama Malikiyah, meskipun sebenarnya manfaat itu
4
Muhammad Shoikul Hadi, Pegadaian Syariah (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), 3.
5
Ibn ‘A<bidin, Rad al-Muhta>r ‘ala al-Dur al-Muhtar. Vol. 5 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), 339.
6
Al-Dardir, Al-Sharh al-Saghi>r bi Sharh al-Sa>wi Vol.3 (Mesir: Da>r al-Ma‘a>rif. t.t), 325.
7
Abu Azam Al Hadi, Fiqh Muamalah Kontemporer (Sidoarjo: Cahaya Intan XII, 2014), 148.
8
Khatib al-Sharbayni, Mughni al-Muhtaj, vol. 2 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1978), 121.
20
menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, termasuk dalam pengertian
kekayaan.9
ﻯ
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa al-rahn adalah menjadikan
barang berharga sebagai jaminan utang. Dengan begitu jaminan tersebut
berkaitan erat dengan utang piutang dan timbul dari padanya. Sebenarnya
pemberian utang itu merupakan suatu tindakan kebajikan untuk menolong
orang yang sedang dalam keadaan terpaksa dan tidak mempunyai uang dalam
keadaan kontan. Namun untuk ketenangan hati, pemberi utang memberikan
suatu jaminan, bahwa utang itu akan dibayar oleh yang berutang. Untuk
maksud itu pemilik uang boleh meminta jaminan dalam bentuk barang
berharga.10
B. Dasar Hukum Gadai
Menyangkut perjanjian gadai ini dalam syari’at Islam dihukumkan
sebagai perbuatan jaiz atau dibolehkan, baik menurut ketentuan Al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’ Ulama, maupun fatwa MUI. Adapun dasar hukum tentang
kebolehan gadai sebagai berikut:
9
Abu Azam Al Hadi, Fiqh Muamalah Kontemporer…, 148.
10
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), 265.
21
1. Dasar hukum Al-Qur’an
Allah berfirman dalam surat al-Baqarah (2): 283 yang berbunyi:
ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯ ﻯﻯﻯ ﻯ
“ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.11
Dalam ayat ini tidak semua barang jaminan dapat
dipegang/dikuasai oleh pemberi utang secara langsung, maka paling tidak
ada semacam pegangan yang dapat menjamin bahwa barang dalam status
al-marhun (menjadi agunan utang). Misalnya, apabila barang jaminan itu
berbentuk sebidang tanah, maka dikuasai (al-qabdh) adalah surat jaminan
tanah itu.12
2. Dasar hukum al-sunnah
Hadis Nabi riwayat al-Bukhari ia berkata:
11
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemah (Jakarta: Pustaka al-Fatih, 2009), 49.
12
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah…, 253
22
ﻯ
ﹺﺇﻯ ﻯ ﹶ ﹶﻯﹶ ﹶﻯ
ﹶﹾ ﻯ ﹶﺛ ﻯ
ﹾ ﻯ ﻯ ﹶﺛ ﻯ ﹶﻯ ﻯ ﱠ ﻯ ﹶﺛ
ﻯ
ﻯ ﱠ ﻯ ﺿ ﻯﹶ ﺋ ﻯ ﻯ ﹶﹾ ﻯ ﹺﹶﺛ ﻯﹶ ﹶﹶﻯﹺ ﹶ ﻯ
ﻯﹶ
ﻯ ﱠ ﻯ ﹶ ﻯ ﱠ ﻯ ﱠﺻﻯ ﹺ ﻯﱠ
ﻯ ﻯ ﻯ
ﻯﹴ ﹶﻯ ﹶﹺﺇﻯ
ﻯ ﻯ ﹶﻃﻯ
ﻯ
“Telah menceritakan kepada kami Mu'alla bin Asad telah menceritakan kepada kami 'Abdul Wahid telah menceritakan kepada kami Al A'masy berkata; Kami membicarakan tentang gadai dalam jual beli kredit (Salam) di hadapan Ibrahim maka dia berkata, telah menceritakan kepada saya Al Aswad dari 'Aisyah radliallahu 'anha bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah membeli makanan dari orang Yahuid yang akan dibayar Beliau pada waktu tertentu di kemudian hari dan Beliau menjaminkannya
(gadai) dengan baju besi. (Hadist Bukhari no- 1926).13
Dari Hadist di atas dapat disimpulkan, bahwa gadai itu boleh
dilakukan, karena nabi Muhammad saw juga pernah pernah melakukan
gadai sewaktu beliau menggadaikan baju besinya dengan makanan.
3. Dasar Hukum landasan Ijma’
Para ulama telah sepakat bahwa gadai itu boleh, dan tidak
terdengar seorang pun yang menyalahinya.14
ﹶ
ﻯ
ﺶﻷ
ﻯﹶﹶ
ﻯ
ﹶ
ﹾ
ﻯ
ﹶ
ﻯ
ﹺﻯ
ﹺﻯ
ﻯ
ﹶ ﹾ
ﻯ
)
ﲎ ﳌ
ﻯ
ﻻ
ﻯ
ﻯ,
ﺝ
ﻯ
٤
ﻯ,
٣٦٧
(
ﻯ
“Mengenai dalil ijma’ ummat islam sepakat (ijma’) bahwa secara garis besar akad rahn (gadai/penjaminan utang) diperbolehkan.
Al-rahn boleh dilakukan dalam perjalanan dan dalam keadaan
hadir ditempat, asal barang jaminan itu bisa langsung dipegang/dikuasai
(al-qabdh) secara hukum oleh pemberi utang. Mereka tidak pernah
mempertentangkan kebolehannya demikian landasan hukumnya. Jumhur
13
Hadist Bukhari no- 1926 14
Ismail Nawawi, Fiqh Mu’amalah Hukum Ekonomi, Bisnis dan Sosial (Jakarta: Dwiputra
Pustaka Jaya, 2010), 335.
23
berpendapat: Disyar’iatkan pada waktu tidak berpergian, berargumentasi
kepada perbuatan Rasulullah saw. 15
4. Dasar hukum fatwa DSN
Berdarkan fatwa DSN mempunyai ketentuan dalam gadai
diantaranya; (a) murtahin (penerima gadai) mempunyai hak untuk
menahan marhu>n (barang) sampai semua hutang ra>hin (yang menyerahkan
barang) dilunasi, (b) marhu>n dan manfaatnya tetap menjadi milik ra>hin.
Pada prinsipnya, marhu>n tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali
seijin ra>hin, dengan tidak mengurangi nilai marhu>n dan pemanfaatannya
itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya, (c)
Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban
ra>hin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan
pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban ra>hin, (d) Besar
biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhu>n tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman, (e) penjualan marhu>n, (f) Apabila jatuh
tempo, murtahin harus memperingatkan ra>hin untuk segera melunasi, (g)
Apabila ra>hin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhu>n dijual
paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah, (h) Hasil penjualan
marhu>n digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan
penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan, (i) Kelebihan
15
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 12 (Bandung: Alma’arif, 1987), 152.
24
hasil penjualan menjadi milik ra>hin dan kekurangannya menjadi
kewajiban ra>hin.16
C. Rukun dan Syarat Gadai
1. Rukun Gadai
Ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun ar-rahn.
Menurut jumhur ulama rukun ar-rahn itu ada empat, yaitu shigat} (lafal
ija>b dan qabu>l), orang yang berakad (ar-ra>hin dan al-murtahin), harta yang
dijadikan agunan (al-marhu>n), dan utang (al-marhu>n bih).17 Adapun
ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun al-rahn itu hanya ija>b dan
qabu>l. Di samping itu, menurut mereka untuk sempurna dan mengikatnya
akad rahn ini, maka diperlukan adanya al-qabd} (penguasaan barang) oleh
pemberi utang. Adapun kedua orang yang melakukan akad (al-ra>hin dan
al-murtahin), harta yang dijadikan jaminan (al-marhu>n) dan utang
(al-marhu>n bih) menurut ulama Hanafiyah hanya termasuk syarat-syarat
al-rahn, bukan rukunnya.
2. Syarat-Syarat Gadai
Para ulama fiqh mengemukakan syarat-syarat al-rahn sesuai
dengan rukun al-rahn itu sendiri. Dengan demikian, syarat-syarat al-rahn
meliputi:
a. Syarat yang terkait dengan orang berakad (al-rahn dan al-murtahin)
adalah cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum, menurut
16
Mujahidinimeis, “Fatwa DSN tentang Rahn”, dalam http://mujahidinimeis.
wordpress.com/2010/0503/, diakses pada tanggal 24 Mei 2016
17
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah…,254.
25
Jumhur Ulama adalah orang yang telah baligh dan berakal. Sedangkan
menurut ulama Hanafiyah kedua belah pihak yang berakad tidak
disyariatkan balihg, tetapi cukup berakal saja. Oleh karena itu,
menurut mereka anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad
al-rahn asal mendapat persetujuan walinya18
b. Syarat shighat (lafal), Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad itu
al-rahn tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan
dengan masa yang akan datang, maka akad al-rahn sama dengan akad
jual beli. Apabila akad itu dibarengi dengan syarat tertentu atau
dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka syaratnya batal,
sedangkan akadnya sah. Misalnya, orang yang berutang mensyaratkan
apabila tenggang waktu utang telah habis dan utang belum terbayar,
maka al-rahn itu diperpanjang satu bulan, atau pemberi utang
mensyaratkan harta agunan itu boleh ia manfaatkan. Ulama
Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mengatakan bahwa apabila
syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran itu, maka syarat
itu dibolehkan, tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat
akad al-rahn maka syaratnya batal. Syarat yang yang dibolehkan itu,
misalnya, untuk sahnya al-rahn itu pihak pemberi utang minta agar
akad itu disaksikan oleh dua orang saksi. Sedangkan syarat yang
batal, misalnya, disyaratkan bahwa agunan itu tidak boleh dijual
18
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana Prada Media Drop, 2012), 267.
26
ketika al-rahn itu jatuh tempo, dan orang yang berutang tidak mampu
membayarnya.19
c. Syarat marhu>n (barang yang dijadikan agunan), ialah keadaan barang
itu tidak rusak sebelum janji utang harus dibayar.20 Menurut para
fuqaha mengenai syarat marhu>n (Barang yang dijadikan agunan)
adalah:
1) Barang jaminan itu boleh dijual dan nilainya sesuai dengan besar
utangnya, tetapi dengan syarat sudah melewati jatuh tempo yang
telah disetujui dalam perjanjian.
2) Barang jaminan itu harus memiliki nilai dan manfaat, boleh
dimanfaaatkan dengan persetujuan orang yang menggadaikan.
Oleh karenanya barang-barang yang tidak manfaat, dan
membahayakan bagi kehidupan manusia, serta tidak bertentangan
Islam.
3) Barang jaminan harus jelas dan tertentu.
4) Barang jaminan adalah milik sah orang yang menggadaikan.
5) Barang jaminan itu bukan milik orang lain (masih dalam
sengketa).
6) Barang jaminan boleh diserahkan baik bendanya maupun surat
kepemilikannya.21
19
Nasrun haroen, Fiqh Muamalah…, 255.
20
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 108.
21
Abu Azam Al Hadi, Fiqh Muamalah Kontemporer…,150.
27
Ketika telah terjadi serah terima marhu>n, maka status akad
rahn menjadi lazim dari pihak ra>hin. Konsekuensi hukumnya, ra>hin
terikat kontrak dan tidak berhak menarik kembali marhu>n, dan
murtahin memiliki otoritas (yadd wa sultha>nah) untuk menahan
marhu>n di bawah kekuasaannya.22
d. Syarat marhu>n bih (utang), adalah hak yang diberikan rahn. Ulama
Hanafiyah memberikan beberapa syarat yaitu:
1) Marhu>n bih hendaklah barang yang diserahkan, menurut ulama
selain Hanafiyah, marhu>n bih hendaklah berupa utang yang wajib
diberikan kepada orang yang menggadaikan barang, baik berupa
uang ataupun berbentuk benda.
2) Marhu>n bih memungkinkan dapat dibayar, jika marhu>n bih tidak
dapat dibayarkan, rahn menjadi tidak sah, sebab menyalahi
maksud dan tujuan dari disyarikatkannya rahn.
3) Hak atas marhu>n bih harus jelas, dengan demikian tidak boleh
memberikan dua marhu>n bih tanpa dijelaskan utang mana menjadi
rahn.
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah memberikan tiga syarat bagi
marhu>n bih:
1) Berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan.
2) Utang harus lazim pada waktu akad.
22
Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah (Kediri: Lirboyo Press, 2013), 120.
28
3) Utang harus jelas dan diketahui oleh ra>hin dan murtahin.23
Disamping syarat-syarat diatas, para ulama fiqh sepakat
menyatakan bahwa al-rahn itu baru dianggap sempurna apabila
barang yang dirahn-kan itu secara hukum sudah berada ditangan
pemberi utang, dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam
uang. Apabila barang jaminan itu berupa benda tidak bergerak,
seperti rumah dan tanah, maka tidak harus rumah dan tanah itu yang
diberikan, tetapi cukup surat jaminan tanah atau surat-surat rumah
itu yang dipegang oleh pemberi utang.
Syarat yang terakhir (kesempurnaan ar-rahn) oleh para ulama
disebut sebagai qabdh al-marhu>n (barang jaminan dikuasai secara
hukum oleh pemberi piutang).
D. Hak dan Kewajiban (Ra>hin dan Murtahin)
1. Hak Murtahin
a. Penerima gadai berhak menjual barang gadai apabila ra>hin tidak dapat
membayar hutangnya pada saat jatuh tempo. Hasil penjualan diambil
sebagian untuk melunasi hutangnya ra>hin dan sisanya dikembalikan
kepada ra>hin.
b. Murtahin mempunyai hak menahan barang gadai selama pinjaman
belum dikembalikan kepada ra>hin.
c. Murtahin berhak mendapatkan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menjaga keselamatan barang gadai.
23
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka setia, 2001), 164
29
2. Kewajiban Murtahin
a. Murtahin tidak boleh menggunakan barang gadai tanpa seijin ra>hin
atau untuk kepentingan pribadinya.
b. Murtahin bertanggung jawab atas hilang atau rusaknya barang gadai
bila itu disebabkan oleh kelalaiannya.
c. Murtahin berkewajiban memberi informasi kepada ra>hin sebelum dan
sesudah penjualan barang gadai.
d. Murtahin wajib memberikan sisa hasil penjualan barang gadai kepada
ra>hin.
e. Murtahin berkewajiban merawat atau menjaga barang gadai.
3. Hak Ra>hin
a. Ra>hin berhak mendapatkan kembali barang yang digadaikannya
sesudah ia melunasi pinjaman hutangnya.
b. Ra>hin berhak meminta ganti rugi atas kerusakan atau hilangnya
barang yang digadaikan.
c. Ra>hin berhak meminta sisa hasil penjualan barang gadai sesudah
dikurangi biaya pinjaman dan biaya lainnya.
d. Ra>hin berhak meminta kembali barang gadai jika diketahui adanya
penyalahgunaan.
4. Kewajiban Ra>hin
a. Ra>hin berkewajiban melunasi barang gadai yang diterimanya dalam
tenggang waktu yang ditentukan, termasuk biaya lain yang
30
b. Ra>hin berkewajiban merelakan penjualan barang gadai bila dalam
waktu yang telah ditetapkan tidak mampu melunasi pinjaman.24
Hak penerima gadai yaitu menahan barang yang dijadikan jaminan
hingga utang pemberi gadai lunas, maksudnya adalah apabila ada
seseorang yang menggadaikan barangnya dengan jumlah tertentu, maka
keseluruhan barang yang dijadikan jaminan tersebut sepenuhnya hak
murtahin, sehingga ra>hin hanya dapat mengambil barang jaminannya
apabila ra>hin telah melunasi utangnya.
Namun apabila murtahin harus menjual barang jaminan tersebut
harus ada persetujuan dari pemberi gadai dan apabila hasil penjualan
barang tersebut lebih besar dari utang ra>hin maka murtahin wajib
memberikan sisa uangnya kepada rahn.
E. Resiko Kerusakan Barang Jaminan
Apabila kerusakan barang jaminan (marhu>n) dalam penguasaan
murtahin (penerima gadai), maka penerima gadai tidak wajib menggantinya,
kecuali bila rusak atau hilangnya barang jaminan itu disebabkan kelalaian
atau karena faktor penyebab tidak bertanggungjawabnya (tidak diurus)
penerima gadai. Sebuah contoh apabila sudah ada tanda-tanda konsletting
listrik pada bangunan yang dibuat mengamankan barang jaminan, kemudian
penerima gadai tidak menghiraukan atas tanda-tanda tersebut, dan akhirnya
bangunan tersebut terbakar.
24
Burhanuddin, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010),
174-175.
31
Penyebab lain apabila penerima barang jaminan kurang perhatian
terhadap gudang penyimpanan barang jaminan, sehingga barang-barang
tersebut hilang dicuri orang. Intinya penerima barang jaminan diharuskan
memelihara dan mengamankan barang jaminan dengan baik, sehingga aman
dan terkendali.
Menurut Hanafi, penerima barang jaminan (murtahin) harus
menanggung resiko kerusakan barang jaminan (marhu>n), bila barang jaminan
itu hilang atau rusak, atau disebabkan karena kelalaian penerima jaminan
(murtahin) maupun tidak. Sedangkan menurut ulama syafi’iyah. Penerima
barang gadai (murtahin) harus menanggung resiko kehilangan atau sebab
kelalaian.25
F. Batasan Waktu dan Riba dalam Gadai
P\ara ulama sepakat bahwa rahn diperbolehkan, tetapi tidak
diwajibkan sebagai gadai hanya jaminan saja jika bila kedua belah pihak
saling mempercayai.26Sedangkan dasar hukum mengenai batasan waktu
adalah hadist Nabi Muhammad Saw, yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas r.a.
bahwa ketika Rasulullah Saw datang ke madinah, saat itu orang-orang
menghutangkan uang untuk ditukar kurma selama dua atau tiga tahun.
Kemudian beliau bersabda:
ﻯ
ﹶ ﻯ
ﻯ ﻯ
,ﻯﹴﻯ ﹸ ﻯﹴ ﹶ ﻯ ﻯ
ﹾﹶﻯ,ﹴ
ﻯ
ﹴ ﹸ ﻯﹴ ﻯ ﹶ
ﻯ
25
Abu Azam Al Hadi, Fiqh Muamalah Kontemporer…,155.
26
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah…,161.
32
“Barang siapa yang memberi hutang dengan pembayaran kurma, maka lakukanlah dalam takaran tertentu,timbangan tertentu, dan
sampai masa tertentu”.27
Dalam hadist tersebut dijelaskannya jika seseorang memberikan
pinjaman hutang maka seharusnya di tentukan segala sesuatunya seperti
batasan waktu pembayaran dalam pengembaliannya.
Perjanjian pada gadai atau ar-rahn pada dasarnya adalah akad atau
transaksi utang piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya. Menurut
Hendi Suhendi, setidaknya ada tiga hal yang memungkinkan pada gadai
mengandung riba, yaitu:
1. Apabila dalam akad gadai tersebut ditentukan bahwa ra>hin atau
penggadai harus memberikan tambahan kepada murtahin atau penerima
gadai ketika membayar utang.
2. Apabila akad gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut
dilaksanakan.
3. Apabila ra>hin tidak mampu membayar utangnya hingga pada waktu yang
telah ditentukan, kemudian murtahin menjual marhu>n dengan tidak
memberikan kelebihan harga marhu>n kepada ra>hin. Padahal utang ra>hin
lebih kecil nilainya dari marhu>n.28
G. Pendapat Para Ulama Tentang Pemanfaatan Barang Gadai (Murtahin)
Barang jaminan pada prinsipnya bertujuan meminta kepercayaan dan
menjamin utang. Hal itu untuk menjaga ra>hin (penggadai) tidak mampu
27
Hadist Bukhari -111
28
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana Prada Media, 2010), 271.
33
mengembalikan atau tidak menepati janjinya, bukan untuk mencari
keuntungan saja.29Selama hal itu demikian keadaannya, maka orang yang
memegang gadaian (murtahin) memanfaatkan barang yang digadaikan
sekalipun diizinkan oleh orang yang menggadaikan (ra>hin). Tindakan
memanfaatkan barang gadaian adalah tak ubahnya qiradh yang mengalir
manfaat, dan setiap bentuk qiradh yang mengalirkan maanfaat adalah riba.30
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa segala biaya yang
dibutuhkan untuk pemeliharaan barang jaminan itu menjadi tanggungjawab
pemiliknya, yaitu orang yang berhutang.
Di antara para ulama terdapat dua pendapat, Jumhur ulama selain
Syafi’iyah melarang al-ra>hin untuk memanfaatkan barang gadai atau jaminan,
sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkannya sejauh tidak memudaratkan
al-murtahin. Secara terperinci uraiannya sebagai berikut:
1. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ar-ra>hin tidak boleh memanfaatkan
barang gadai tanpa seizin al-murtahin, begitu pula al-murtahin tidak
boleh memanfaatkannya tanpa seijin ar-ra>hin. Mereka beralasan bahwa
barang gadai harus tetap dikuasai oleh al-murtahin selamanya. Pendapat
ini senada dengan pendapat ulama Hanabilah, sebab manfaat pada barang
gadai pada dasarnya termasuk rahn atau gadai.
2. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ar-ra>hin dibolehkan untuk
memanfaatkan barang gadai. Jika tidak menyebabkan barang gadai
tersebut berkurang, tidak perlu meminta ijin kepada al-murtahin, seperti
29
Ibid,.153.
30
Sayyid sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 12…,153.
34
mengendarainya, dan menempatinya. Akan tetapi, jika menyebabkan
barang gadai tersebut berkurang seperti pengolahan sawah, dan kebun,
al-ra>hin harus meminta ijin kepada al-murtahin.
Jumhur ulama selain Hanabilah berpendapat bahwa al-murtahin
tidak boleh memanfaatkan barang gadai, kecuali bila ar-ra>hin tidak mau
membiayai barang gadai tersebut. Dalam hal ini al-murtahin dibolehkan
mengambil manfaat sekadar untuk mengganti ongkos pembiayaan. Ulama
Hanabilah berpendapat bahwa al-murtahin boleh memanfaatkan barang
gadai, jika berupa kendaraan atau hewan seperti dibolehkan untuk
mengendarainya atau mengambil susunya, sekadar pengganti
pembiayaan. Lebih jauh pendapat para ulama tentang pemanfaatan barang
gadai oleh al-murtahin sebagai berikut:
a. Ulama Hanafiyah berpendapat, al-murtahin tidak boleh memanfatkan
barang gadai, sebab ia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh
memanfatkannya. Sebagian ulama Hanafiyah, ada yang membolehkan
untuk memanfatkannya jika diijinkan oleh al-ra>hin, tetapi sebagian
lainnya tidak membolehkannya sekalipun ada ijin, bahkan
mengatagorikannya sebagai riba. Jika disyaratkan ketika akad untuk
memanfaatkan barang gadai hukumnya haram, sebab termasuk riba.
b. Menurut Ulama Malikiyah, manfaat atau nilai tambah yang datang
dari barang jaminan milik ra>hin (orang yang menggadaikan) dan
bukan untuk murtahin (penerima jaminan). Tidak boleh mensyaratkan
35
hanya berlaku pada utang piutang. Adapun pada perjanjian gadai,
mereka memberi kelonggaran kepada penerima jaminan untuk
memanfaatkan barang jaminan selama hal itu tidak dijadikan syarat
dalam transaksi. Hal ini berdasarkan pernyataan ulama madhhab yang
menyatakan: Hasil dari barang jaminan ataupun manfaatnya adalah
hak bagi pemberi jaminan, selama penerima jaminan tidak
menyaratkan pemanfaatanya.31
ﻯ ﻯ ﹶ ﹶﻻ
ﻯ
ﻯ ﻯ ﻯ ﹼﻯ ﹺ ﹶﺻﻯ
ﻯ ﹸ ﻯ ﹶﻯ
ﹶ
ﻯ
ﻯ ﳊ ﻯ ).ﻯ ﻯ ﹸ
ﻯ
ﻯ
ﻯ ﻯ ﻯﱐﻯ ﻯ ﻯ ﻯ
ﻯ
“Barang jaminan tidak boleh disembunyikan dari pemiliknya, karena hasil(dari barang jaminan) dan resiko (yang timbul atas barang itu) menjadi tanggung jawabnya”. (HR Hakim, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban dari Abu Hurairah).
Al-Jaziri menguraikan masalah pemanfaatan barang yang
dijadikan agunan dalam pandangan ulama Mazhab Maliki berpendapat
bahwa hasil yang diperoleh dari barang agunan adalah hak ra>hin,
selama tidak persyaratan yang diajukan oleh murtahin. Namun hasil
dari barang agunan akan menjadi hak (milik) murtahin apabila
memenuhi tiga syarat:
1) Hutang ra>hin disebabkan oleh jual-beli, bukan oleh hutang
piutang. Misalnya seseorang membeli rumah atau mobil dengan
pembayaran kredit, kemudian dia (pembeli) memberikan barang
lain sebagai agunan, maka murtahin dapat memanfaatkan barang
tersebut.
31
Abu Azam Al Hadi, Fiqh Muamalah Kontemporer…,154.
36
2) Murtahin mensyaratkan manfaat barang agunan tersebut
untuknya.
3) Masa pengambilan manfaat barang agunan oleh murtahin harus
ditentukan dengan jelas.32
c. Menurut ulama Hanabilah, bahwa barang gadaian bisa berupa hewan
yang dapat ditunggangi atau dapat diperah susunya, atau bukan
berupa hewan. Apabila berupa hewan tunggangan atau perahan,
penerima gadai boleh memanfaatkan dengan menunggangi atau dapat
memerah susunya tanpa seijin pemiliknya, sesuai dengan biaya yang
telah dikeluarkan penerima gadai. Selain itu penerima gadai supaya
memanfaatkan barang gadaian dengan adil sesuai dengan biaya yang
dikeluarkan.
Imam Ahmad menegaskan bahwa penerima barang gadai
(murtahin) boleh memanfaatkan barang gadaian tanpa seijin
penggadai. Apabila barang gadai berupa hewan, penerima gadai boleh
mengambil air susunya dan menungganginya dalam kadar seimbang
dengan makanan dan biaya yang diberikan untuknya. Dalam hal ini
ijin penggadai tidak diperlukan. Namun menurut madhhab Hambali,
apabila agunan itu bukan berupa hewan atau sesuatu yang tidak
memerlukan biaya pemeliharaan, seperti tanah, pemegang agunan
tidak boleh memanfaatkan.33
32
Qamarul Huda, Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Teras, 2001), 97.
33
Abu Azam Al Hadi, Fiqh MuamalahKontemporer…,154.
37
H. Batalnya Akad Gadai
Rahn dipandang habis dengan beberapa keadaan seperti bebasnya
utang, hibah, membayar hutang, dan lain-lain yang akan dijelaskan di bawah
ini:
1. Barang diserahkan kepada pemiliknya
Jumhur ulama selain Syafi’iyah memandang habis rahn jika
murtahin menyerahkan barang kepada pemiliknya (ra>hin) sebab barang
merupakan jaminan utang. Jika barang diserahkan, tidak ada lagi jaminan.
Selain itu, dipandang habis pula rahn jika murtahin meminjamkan barang
kepada rahn atau kepada orang lain atas seijin ra>hin.
2. Dipaksa menjual barang
Rahn habis jika hakim memaksa ra>hin untuk menjual barang, atau
hakim menjualnya jika ra>hin menolak.
3. Ra>hin melunasi semua barang
4. Pembebasan utang
Pembebasan utang, dalam bentuk apa saja, menandakan habisnya
rahn meskipun utang tersebut dipindahkan kepada orang lain.
5. Pembatalan rahn dari pihak murtahin
Rahn dipandang habis jika murtahin membatalkan rahn meskipun
tanpa seijin ra>hin. Sebaiknya, dipandang tidak batal jika ra>hin
membatalkannya.
38
Menurut ulama malikiyah, rahn habis jika ra>hin meninggal
sebelum menyerahkan barang kepada murtahin. Juga dipandang batal jika
murtahin meninggal sebelum mengembalikan barang kepada ra>hin.
7. Barang rusak
8. Tasharruf dan barang
Rahn dipandang habis apabila barang ditasharrufkan seperti
dijadikan hadiah, hibah, sedekah, dan lain-lain atas seijin pemiliknya.34
34
Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah…,179.
BAB III
PEMBAYARAN AKAD GADAI MOBIL DAN SEPEDA MOTOR DI DESA
DUREN KECAMATAN PILANGKENCENG KABUPATEN MADIUN
A. Gambaran Umun Lokasi Desa Duren
Pada bab ini penulis akan menggambarkan objek penelitian,
bagaimana penerapan sistem pembayaran gadai mobil dan sepeda motor di
Desa Duren Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun.
1. Sejarah Desa Duren
“Duren” menurut penduduk asli desa tersebut berasal dari kata
“Leren” yang mempunyai arti tempat untuk istirahat dan akhirnya
disebut “Desa Duren”. Sejarah perkembangan penduduk Desa Duren
Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun berawal pada saat desa
tersebut menjadi penghubung aktifitas kebutuhan penduduk yang berada
di wilayah Bojonegoro yang menjual rencek (kayu bakar), dan daun jati
ke Caruban. Ketika itu setiap kali menempuh perjalanan menuju Caruban
mereka sering beristirahat di gardu yang terdapat di Desa Duren. Sampai
saat ini apabila ada pendatang dari luar daerah Madiun yang berprofesi
sebagai guru, pegawai, bahkan yang menikah dengan warga Desa Duren
pada akhirnya mereka lebih memilih untuk menetap di Desa Duren dan
menjadi penduduk di desa tersebut.
Mata pencaharian masyarakat Desa Duren sendiri adalah bercocok
40
bekas peninggalan pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Sedangkan sebagian besar pekerja yang melaksanakan pembangunan
Waduk Notopuro berasal dari daerah Grobokan Jawa Tengah. Tujuan dari
pembangunan Waduk Notopuro adalah untuk mengairi sawah yang ada di
Kecamatan Pilangkenceng dan sekitarnya. Pada akhirnya pekerja yang
berasal dari Grobokan tersebut banyak yang tidak kembali ke daerah
Grobokan dan kemudian menetap di Desa Duren.
Adapun periode pemerintahan Desa Duren dijabat Oleh:
a. Lurah Somo Rejo Tahun –
b. Lurah Kamin Tahun –
c. Lurah Dongkol Pathek Tahun ( 1921 – 1935 )
d. Lurah Prawiro Suhardjo Tahun ( 1935 – 1942 )
e. Lurah Tariman Tahun ( 1942 – 1986 )
f. Kades Sudarijanto Tahun ( 1986 – 1994 )
g. Kades Sono Tahun ( 1994 – 2004 )
h. Kades Puguh Djumhari Tahun ( 2004 – 2014 )
i. Kades Sujadi Tahun ( 2014 s/d sekarang )
Dari sejarah di atas, Desa Duren saat ini sudah menjadi sebuah
desa yang sempurna. Secara perlahan Desa Duren dibangun oleh
masyarakat pada waktu itu, yang kemudian tanah yang
sebelumnyarawa-rawa kini menjadi tempat tinggal warga yang penuh dengan
kesederhanaan dan kesejahteraan.1
1
41
2. Letak Geografis
Desa Duren merupakan salah satu desa yang terletak di
Kecamatan Pilangkenceng Kabupaten Madiun. Desa ini berada di dataran
rendah yang disekelilingnya terdapat persawahan. Selain itu banyak juga
jenis pohon yang ada di desa tersebut, seperti Pohon Bambu, Pohon
Mangga, Pohon Jati, Jagung, pohon Pisang, Pohon Mahoni, Pohon
Trembesi dan tumbuhan Porang. Tumbuhan Porang merupakan produk
unggulan kabupaten Madiun yang letaknya di Desa Duren.
Desa ini merupakan salah satu desa yang berada di dataran rendah
Gunung Pandan, yang saat ini gunung tersebut sudah tidak aktif dan
merupakan pusat dari semua gunung di Jawa. Untuk menuju ke Desa
Duren harus menempuh jarak 2 Km dari Kecamatan, sedangkan untuk
menuju Kabupaten Madiun harus menempuh jarak 26 Km. Adapun luas
[image:53.595.134.513.146.520.2]
42
Tabel 3.1
Data Luas Peta
No. Pembagian Wilayah Luas Wilayah
1. Jalan 16 Ha/Km
2. Sawah/ Ladang 164 Ha
3. Bangunan Umum 1 Ha
4. Empang/ Tambak -
5. Perumahan Penduduk 216 Ha
6. Jalur Hijau -
7. Perkuburan 3 Ha
8. Lain – lain dan Hutan 533 Ha
Jumlah 993 Ha
Sumber : Data Monografi Bidang Pemerintahan Desa Duren 2016
Selain mempunyai pembagian wilayah seperti yang ada di atas,
Desa Duren memiliki batas wilayah sebagai berikut:
sebelah utara : Desa Dawuhan
sebelah Barat : Desa Sumber Gandu
sebelah selatan : Desa Kedung Maron dan Desa Bener
sebelah timur : Desa Tulung
Desa Duren ini memiliki lima dusun yakni, Dusun Duren 1 Dusun
Duren 2, Dusun Kutukan, Dusun Karang Tengah, Dusun Notopuro. Untuk
akses menuju Desa Duren melewati persawahan di kanan kiri jalan. Selain
persawahan juga melewati ladang – ladang yang ditanami Pohon Jati.
3. Demografis
Secara demografis Desa Duren adalah desa yang memiliki jumlah
RT terbanyak se Kecamatan Pilangkenceng, selain itu memiliki jumlah
43
dan 3.022 jiwa perempuan Sedangkan dalam pembagian penyebaran
[image:54.595.135.503.210.647.2]penduduk Desa Duren terbagi sebagai berikut:2
Tabel 3.2
Pembagian Penyebaran Penduduk
No. Pembagian RW Pembagian RT Jumlah KK Ketua RW
1
RW 01
RT 01 130 KK
Samin
2 RT 02 133 KK
3 RT 03 135 KK
4 RT 04 166 KK
5 RT 05 258 KK
6 RT 06 221 KK
7 RT 07 232 KK
8 RT 08 177 KK
9
RW 02
RT 09 236 KK
Samto
10 RT 10 428 KK
11 RT 11 176 KK
12 RT 12 223 KK
13 RT 13 254 KK
14 RT 14 249 KK
15 RT 15 323 KK
16 RT 16 266 KK
17 RT 17 212 KK
18 RT 18 182 KK
19
RW 03
RT 19 123 KK
Joko Prayitno
20 RT 20 52 KK
21 RT 21 205 KK
22 RT 22 106 KK
23 RT 23 205 KK
24 RT 24
25
RW 04 RT 25 99 KK Suwarno
26 RT 26 97 KK
27
RW 05
RT 27 216 KK
Suharsono
28 RT 28 141 KK
29 RT 29 113 KK
30 RT 30 204 KK
31 RT 31 120 KK
Adapun jumlah penduduk menurut kelompok umur adalah
sebagai berikut:
2
[image:55.595.135.510.144.525.2]
44
Tabel 3.3
Jumlah Penduduk Kelompok Umur
Kelompok Umur Laki – laki Perempuan Jumlah
0 – 4 190 191 381
5 – 9 216 214 430
10 – 14 197 208 405
15 – 20 282 299 581
21 – 24 205 218 423
25 – 29 242 247 489
30 – 39 307 317 624
40 – 49 392 147 719
50 – 59 412 411 823
60 + 312 308 620
Sumber: Data Kependudukan Desa Duren 2016
4. Keadaan Ekonomi
Secara ekonomi, masyarakat Desa Duren rata-rata memiliki
perekonomian menengah ke bawah, dengan rata-rata penghasilan
perbulannya kurang dari 1.000.000 untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari mereka. Untuk mendapatkan dan memperoleh penghasilan
masyarakat mayoritas bekerja sebagai petani yang menjadi mata
pencaharian pokok penduduk.
Untuk pemuda-pemuda di Desa Duren setelah lulus sekolah, baik
lulusan SMP atau SMA sebagian besar kerja diluar kota (merantau). Para
orang tua dari pemuda berasumsi bahwa lapangan kerja di desa sangat
kurang, khususnya untuk pemuda. Sedangkan setiap keluarga
membutuhkan uang untuk bertahan hidup. Data mata pencaharian
penduduk di Desa Duren adalah sebagai berikut:3
3
[image:56.595.131.508.144.522.2]
45
Tabel 3.4
Mata Pencaharian Penduduk Duren
No. Pekerjaan Jumlah penduduk
1 PNS 70 Orang
2 ABRI/ Polisi 43 Orang
3 Pegawai Swasta -
4 Pegawai BUMN -
5 Pedagang 49 Orang
6 Perbengkelan 5 Orang
7 Tani 1269 Orang
8 Pertukangan 39 Orang
9 Buruh Tani 760 Orang
10 Pensiunan 15 Orang
11 Nelayan -
12 Jasa 23 Orang
13 Tukang Jahit Pakaian 4 Orang
14 Pemulung 4 Orang
Sumber : Data Mata Pencaharian 2016
Selain menjadi petani yang menjadi mayoritas masyarakat Desa
Duren, masyarakat juga mempunyai pekerjaan sampingan berupa
peternak kambing, sapi, mencari kayu, dan lain sebagainya.
5. Agama dan Budaya
Sesuai hasil observasi dan wawancara peneliti, mayoritas
masyarakat Desa Duren adalah beragama Islam. Terdapat fasilitas agama
yang dibangun oleh masyarakat yakni Musholla dan Masjid. Selain Islam,
juga terdapat beberapa orang berkeyakinan Kristen dengan jumlah 151
orang. Adapun fasilitas untuk tempat ibadah agama kristen sebanyak dua
gereja, yang letaknya di Dusun Kutukan dan Dusun Notopuro Desa
Duren.
Fasilitas beribadah yang ada merupakan hasil dari gotong royong
46
dananya juga bersumber dari masyarakat sekitar. Adapun jumlah fasilitas
keagamaan di Desa Duren adalah sebagai berikut:4
Tabel 3.5 Fasilitas Keagamaan
Fasilitas Keagamaan Jumlah
Masjid 8
Gereja 2
Sumber : Data Fasilitas keagamaan 2016
Adapun bentuk – bentuk kegiatan keagamaan adalah Majelis
Muslimat dan Majelis Tahlil. Pel