SISTEM KESIAPSIAGAAN NUKLIR DI INDONESIA
“Sebuah Tinjauan terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional (RPP SKNN)” Oleh: Dedik Eko Sumargo Direktorat Keteknikan dan Kesiapsiagaan Nuklir BAPETENABSTRAK
Ketentuan Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional sangat diperlukan sebagai dasar untuk membangun kesiapsiagaan dan kemampuan tanggap darurat yang handal dalam merespon tantangan kedaruratan yang dapat terjadi kapan saja dimanapun di wilayah Republik Indonesia. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional (RPP SKNN) sebagai satu tahap proses lahirnya PP SKNN sangat memerlukan kecermatan dalam menyusun substansi dan materi pokok pokok yang akan diatur. PP SKNN merupakan aspek hukum yang mengatur secara sinergis dan strategis antara Pemegang Izin, Pemerintah Daerah dan Nasional untuk menyusun Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional dalam kerangka menjamin keselamatan dan keamanan publik dan lingkungan hidup dalam pemanfaatan tenaga nuklir baik pada operasi normal dan keadaan darurat. Status Kesiapsiagaan Nuklir Indonesia sampai saat ini merupakan pencapaian positif yang berguna untuk menyempurnakan langkahlangkah pengawasan yang sudah terlaksana dan sebagai langkah mendasar yang penting untuk menyusun Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional . Makalah ini memberikan informasi dan evaluasi terhadap kecukupan dan kemampuan materi/substansi RPP SKNN .
Kata kunci: Kesiapsiagaan Nuklir, Kecelakaan Nuklir, Kedaruratan nuklir, Penanggulangan kedaruratan nuklir.
ABSTRACT
National Nuclear Emergency Preparedness System should be enacted to established and reinforce the national emergency preparedness and respond in Indonesia. A nuclear emergency preparedness system is intended to maintain safety at normal operational condition and to give guaranty for the existence of the response capability which is capable to respond against nuclear emergency that might happen. This paper describes the outlines and evaluation of the Draft on Government Regulation in particular addresses the structure and contents of the Draft on GR National Nuclear Emergency Preparedness System.
Keywords: Nuclear Emergency Preparedness, Nuclear accident, Nuclear emergency, Nuclear emergency respond.
PENDAHULUAN
Peningkatan pemanfaatan teknologi nuklir yang semakin meningkat baik secara kuantitas dan kualitas mengharuskan semakin siapnya sistem kesiapsiagaan nuklir di semua tingkatan: Pemegang Izin, Pemerintah Daerah dan Nasional. Peta bahaya yang semakin meluas membutuhkan kajian dan analisa ancaman yang teliti untuk penyiapan kemampuan kesiapsiagaan nuklir dan keandalan tanggap darurat yang efektif dan efisien. Keandalan kemampuan untuk menanggulangi kedaruratan nuklir membutuhkan perencanaan kesiapan yang saling mendukung dan terintegrasi pada semua tingkatan serta diprogramkan dalam suatu sistem kesiapsiagaan nuklir . Dengan demikian sistem kesiapsiagaan nuklir yang terpadu harus dikembangkan sehingga fungsi penanggulangan kedaruratan dapat diaplikasikan setiap saat jika dibutuhkan. Dalam kasus kedaruratan nuklir, penanggulangan kedaruratan ditujukan untuk [1],[2] : • Mengendalikan situasi • Mencegah atau mengurangi dampak di lokasi kecelakaan • Mencegah timbulnya efek deterministik terhadap pekerja dan masyarakat • Memberikan pertolongan pertama dan penanganan korban radiasi • Mencegah timbulnya efek stokastik pada masyarakat • Mencegah timbulnya dampak non radiologi yang tidak diharapkan • Mencegah terjadinya kerusakan alam dan lingkungan • Kegiatan pemulihan kondisi. Untuk mencapai tujuan tersebut secara nasional ketentuan yang berkaitan dengan penanggulangan kecelakaan nuklir di Indonesia telah diatur dalam beberapa peraturan pemerintah dan Keputusan kepala BAPETEN[3],[4],[5],[6],[7]. Ketentuanketentuan tersebut belum mengatur dan menetapkan sistem kesiapsiagaan nuklir nasional. Kondisi ini mengakibatkan belum terwujudnya suatu sistem kesiapsiagaan nuklir yang terpadu pada tingkat fasilitas, daerah dan nasional, hal ini ditunjukan :
1) Manajemen Penanggulangan Bencana masih terfokus pada bencana bencana konvensional.
2)
Belum tersedianya Manajemen Kecelakaan nuklir dengan anggapan bahwa kecelakaan nuklir tidak mungkin akan terjadi karena sudah disediakan desain yang inherently safe maupun engineering safety pada fasilitas yang dimiliki. 3) Keterbatasan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia dan infrastruktur4) Belum tersedianya ketentuan yang mengatur Sistem Kesiapsiagaan nuklir Nasional yang disebabkan oleh belum terintegrasinya kedaruratan nuklir di dalam kebijakan nasional dalam manajemen penanggulangan bencana nasional.
Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Indonesia harus segera ditingkatkan dan disempurnakan sehingga ketersediaan dan kelengkapan unsur infrastruktur dan fungsional ditingkat fasilitas, daerah dan nasional dapat mewujudkan kemampuan respon kedaruratan yang handal. Status Kesiapsiagaan Nuklir Indonesia yang ada saat ini merupakan pencapaian positif yang berguna untuk menyempurnakan langkahlangkah pengawasan yang sudah terlaksana dan sebagai langkah mendasar yang penting untuk segera menyusun Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional sebagai upaya antisipasi kesiapan dengan pembangunan PLTN yang menuntut terintegrasinya sistem kesiapsiagaan nuklir nasional dengan sistem kesiapsiagaan nasional pada semua level.
Tinjauan terhadap RPP SKNN diharapkan dapat mengevaluasi kecukupan kelayakan substansi materi RPP SKNN dan mendapatkan umpan balik konstruktif untuk menyempurnakan kekurangankekurangan yang ada sehingga dapat disusun suatu RPP SKNN yang dapat diterapkan secara efektif dan efisien.
PEMBAHASAN
Tinjauan terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional (SKNN) dilakukan dengan menyajikan dan mengidentifikasi kecukupan/ kemampuan substansi materi RPP SKNN dalam memberikan solusi untuk menjawab tantangan keterbatasan kondisi terkini dari Kesiapsiagaan Nuklir Nasional pada semua tingkatan.
STATUS TERKINI
Tingkat Pemegang Izin :
a) belum atau tidak melakukan identifikasi tentang potensi dan dampak bahaya radiasi yang ada di fasilitas terhadap manusia dan lingkungan pada saat kondisi kecelakaan nuklir seperti tersebut dalam Laporan Analisa Keselamatan (LAK) atau pada saat kecelakaan parah.
b) belum atau tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan evaluasi dan identifikasi kondisi kecelakaan beserta dampaknya sebagai dasar klasifikasi kecelakaan dan upaya langkah penanggulangan kedaan darurat.
c) belum atau tidak mempunyai sistem pelaporan kepada BAPETEN dan pihak terkait lainnya.
d) belum atau tidak mempunyai organisasi maupun personil yang bertanggung jawab dalam penanggulangan kedaruratan nuklir
e) belum atau tidak mempunyai koordinasi dengan pihak terkait lainnya.
f) Tidak ada atau tidak mencukupinya prosedur penanggulangan keadaan darurat
g) Tidak tersedianya atau tidak mencukupinya fasilitas, peralatan dan pendukung yang diperlukan untuk fungsi penanggulangan kedaruratan. h) Belum adanya program pelatihan uji coba dan sistem tes/evaluasi untuk
menjamin kesiagaan personil, peralatan dan sistem secara keseluruhan. i) Fungsi penanggulangan : identifikasi kecelakaan awal, pemberitahuan dan
pengaktifan, tindakan penanggulangan, perlindungan terhadap pekerja kedaruratan dan masyarakat, informasi dan instruksi kepada masyarakat belum ditetapkan.
Tingkat Daerah :
Kemampuan Pemerintah Daerah dalam menyusun dan menyelenggarakan sebuah sistem kesiapsiagaan terhadap bencana dan kemampuan tanggap darurat selama ini masih terfokus kepada masalah bencana konvensional dan belum melibatkan kesiapsiagaan untuk mengantisipasi terjadinya bencana akibat kecelakaan yang melibatkan HAZMAT (Hazard Material) termasuk didalam kecelakaan radiologik/nuklir. Berdasarkan hasil Emergency Prepredness Review oleh IAEA yang dilakukan pada tahun 1999 dan tahun 2004 di Indonesia oleh IAEA[8] menunjukkan bahwa belum tersedianya :
a) Pemetaan bahaya dan dampaknya untuk kepentingan manajemen kedaruratan di tingkat Pemerintah Daerah.
b) Prosedur penanggulangan untuk proteksi pekerja kedaruratan nuklir/radiologik
c) Prosedur penanggulangan untuk proteksi dan evakuasi masyarakat
d) Fasilitas, peralatan dan sarana pendukung untuk pelaksanaan evakuasi, prasarana dan lokasi evakuasi, dan pos koordinasi penanggulangan kedaruratan belum ditetapkan.
e) Pedoman pelaksanaan pemberian informasi dan instruksi kepada masyarakat.
Tingkat Nasional :
a) Kebijakan manajemen kedaruratan nuklir belum diakomodasikan didalam kebijakan manajemen penanggulangan bencana nasional (belum tersedianya UU Penanganan Bencana)
b) Identifikasi dan pembagian tugas teknis penanggulangan dari tiaptiap organisasi terkait pada tingkat Nasional belum ditetapkan.
c) Kewenangan didalam fungsi koordinator pengendalian, komando dan pengawasan penanggulangan kedaruratan nuklir tingkat nasional belum ditetapkan.
d) Ketersediaan fasilitas, peralatan dan sarana pendukung fungsi penanggulangan belum mencukupi.
e) Program dan pelaksanaan pelatihan dan uji coba penanggulangan kedaruratan nuklir tingkat nasional belum disusun.
f) Standar Pedoman Pelaksanaan Penanggulangan belum ditetapkan.
Berdasarkan keadaan dan fakta pada setiap tingkatan pada level Pemegang Izin, Pemerintah Daerah dan Nasional seperti tersebut diatas maka tersedianya Peraturan Pemerintah yang mencukupi untuk mengatur dan mengkoordinasikan setiap unsur pada setiap level mutlak perlu segera ditetapkan.
POKOKPOKOK SUBSTANSI/ MATERI RPP SKNN
Pada tahun anggaran 2006 BAPETEN mulai mempersiapkan sebuah konsepsi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional [9] yang diharapkan mampu memberikan dasar hukum untuk mengembangkan dan operasionalisasi Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional. Secara substansi materi dalam Draft Rancangan Peraturan Pemerintah dimaksudkan memberikan jawaban terhadap semua permasalahan Kesiapsiagaan Nuklir di Indonesia dewasa ini dan dimasa mendatang.Draft RPP tentang Sistem kesiapsiagaan Nuklir Nasional secara garis besar mengatur ketentuan pembagian dan penetapan tugas dan kwajiban Pemegang Izin, Pemerintah Daerah dan Nasional dalam menjalankan tugas kesiapsiagaan dan tanggap darurat. Tugas kesiapsiagaan untuk masingmasing level penanggung jawab mencakup menyusun dan menetapkan unsurunsur Infrastruktur dan fungsi Penanggulangan. Unsur infrastruktur dalam kesiapsiagaan meliputi : penetapan Organisasi Tanggap Darurat dan Koordinasi yang lengkap dengan SDM dan uraian tanggung jawabnya, Prosedur Tanggap
darurat, Peralatan dan sarana pendukung yang memadai dan program pelatihan yang terpadu. Fungsi Penanggulangan sebagai implementasi kemampuan operasional tanggap darurat mencakup kemampuan teknis dalam : mengidentifikasi dan mengklasifikasikan kecelakaan, melaksanakan pelaporan dan tindakan penanggulangan mulai dari tindakan awal, mitigasi, proteksi radiasi pekerja kedaruratan dan masyarakat, serta langkah upaya monitoring dan pemulihan/recovery. Secara garis besar identifikasi terhadap distribusi dan penetapan tugas kwajiban dalam sistem kesiapsiagaan nuklir Nasional untuk setiap masing masing level disajikan pada Tabel 1 :
Tabel 1
Tugas/Kwajiban
Level
Preparedness Response
Pemegang Izin PI1 PI2
Pemerintah Daerah PD1 PD2
Nasional N1 N2
PEMEGANG IZIN
Kesiapsiagaan (PI1)
Ketentuan Kesiapsiagaan dan penanggulangan kecelakaan radiasi secara khusus telah diatur dalam peraturan pemerintah No.63/2000 , Bab VI tentang Penanggulangan Kecelakaan Radiasi. Penanggulangan Kecelakaan Radiasi seperti yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah [3], Bab VI menetapkan kwajibankwajiban pokok yang harus dilaksanakan oleh Pemegang Izin :
1) Pengusaha Instalasi harus melakukan upaya pencegahan terjadinya kecelakaan radiasi (Pasal 32)
2) Dalam hal terjadi kecelakaan radiasi, pengusaha instalasi harus melakukan upaya penanggulangan (Ps.33;1)
3) Dalam upaya penanggulangan kecelakaan radiasi keselamatan manusia harus diutamakan (Ps.33;2)
4)
Dalam hal terjadi kecelakaan radiasi, pengusaha intstalasi harus segera melaporkan terjadinya kecelakaan radiasi dan upaya penanggulanganya kepada Badan Pengawas dan instansi terkait lainnya. (Ps.33;3)5) Pengusaha Instalasi yang mempunyai instalasi dengan potensi dampak radiologi tinggi harus memiliki RPKD untuk mengatasi potensi bahaya dari kecelakaan radiasi yang mungkin terjadi selama pengoperasian instalasi tersebut (PS.34;1). 6) RPKD harus memuat sekurangkurangnya (Ps.34;2): a) Jenis/klasifikasi kecelakaan yang mungkin terjadi pada instalasi b) Upaya penanggulangan terhadap jenis klasifikasi kecelakaan tersebut c) Organisasi penanggulangan keadaan darurat d) Prosedur penanggulangan keadaan darurat e) Peralatan penanggulangan yang harus disediakan dan perawatannya f) Personil penanggulangan keadaan darurat g) Latihan penanggulangan keadaan darurat
h) Sistem komunikasi dengan pihak lain yang terkait dalam penanggulangan kedaan darurat.
Selanjutnya berdasarkan pasal 35 Peraturan Pemerintah No.63/2000, BAPETEN menetapkan Keputusan Kepala No.05P/2003 tentang Pedoman Rencana Penanggulangan Keadaan Darurat (RPKD) . Pedoman tersebut memandu pengusaha instalasi dalam menyusun dan menetapkan program yang tepat untuk menjamin bahwa terdapat Rencana Penanggulangan Keadaan Darurat yang mencukupi baik di dalam maupun di luar lokasi yang secara rutin diuji untuk menjamin kesiagaannya.
RPKD sebagai Program Kesiapsiagaan Nuklir (PKN) disiapkan dengan memperhatikan jenis dan potensi bahaya, sifat zat radioaktif dan bahan nuklir yang dipergunakan dan resiko atau dampak terhadap manusia dan lingkungan. PKN harus disusun berdasarkan hasil analisis dampak radiologi penyebaran zat radioaktif yang diakibatkan oleh kecelakaan yang sesuai dengan analisis dalam Laporan Analisa Keselamatan (LAK) dan atau kecelakaan parah lainnya. PKN tersebut harus dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis secara lengkap dan mencukupi sesuai kebutuhan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi penanggulangan. Lebih lanjut lebih detail teknis ketentuan itu diatur dengan SK.KA.BAPETEN No.05 P/2003 yang mengharuskan Pemegang Izin harus melengkapkan Unsur Infrastruktur : Organisasi Penanggulangan Keadaan darurat. Koordinasi. Prosedur penanggulangan. Fasilitas, Peralatan dan Sarana pendukung. Program Pelatihan dan Uji coba.
Program Kesiapsiagaan Nuklir (PKN) merupakan salah satu dokumen yang dijadikan persyaratan bagi BAPETEN ,untuk memberi izin kepada pengusaha instalasi
dalam mengoperasikan fasilitas radiasi yang berdampak radiologi tinggi atau instalasi nuklir. Dokumen PKN menjadi salah satu dokumen yang dinilai dan disetujui oleh BAPETEN sebagai bagian proses perizinan.
Ketentuanketentuan yang telah tersedia tersebut belum dapat menggerakkan atau memerintahkan institusi lain di luar Pemegang Izin yang mungkin terlibat dalam penyiapan infrastruktur kesiapsiagaan dan penanggulangan kedaruratan yang mungkin timbul akibat besarnya skala kecelakaan atau akibat adanya eskalasi kecelakaan yang meluas sampai keluar batas tapak. Hal ini disebabkan memang ruang lingkup substansi ketentuan hanya mengatur kwajiban Pemegang Izin terhadap BAPETEN.
Dalam perizinan pembangunan dan pengoperasian PLTN, tahap perizinan tapak mengharuskan tapak yang diajukan harus mampu menunjukkan kemampuan dan kelayakan penanggulangan kedaruratan nuklir. Persyaratan ini merupakan acceptance criteria yang dapat menerima dan menolak tapak yang diajukan. Pada keadaan ini Pemegang Izin sangat membutuhkan koordinasi dan kerjasama dengan pihak offsite atau Pemerintah Daerah setempat yang yurisdiksinya terpengaruh dampak radiologi berdasarkan LAK untuk berkoordinasi dalam hal menyetujui dan menetapkan infrastruktur yang diperlukan dalam pelaksanaan penanggulangan kedaruratan nuklir misalnya : sarana prasarana evakuasi, sheltering, komunikasi, Pusat kendali operasi penanggulangan dsb.
Solusi keterbatasan antarmuka Pemegang Izin dan Pemerintah Daerah seperti diuraikan diatas diatur dengan formulasi dalam RPP antara lain :
a. PIN harus menyusun program kesiapsiagaan nuklir dengan infrastruktur dan fungsi penanggulangan yang lengkap. Dalam menyusun PKN tersebut, PIN harus berkoordinasi dengan Pemda dan instansi teknis terkait di daerah. Ketentuan mengenai PKN diatur dengan Peraturan Kepala BAPETEN.
b. PIN bertanggungjawab atas pelaksanaan pendidikan dan pelatihan kedaruratan nuklir, dan berkoordinasi dengan Pemda dan instansi terkait. c. Pelatihan Kedaruratan terpadu tingkat Daerah dilaksanakan dengan
berkoordinasi dengan Pemda dan instansi terkait 1 (satu) kali tiap 2 (dua) tahun.
Fungsi Penanggulangan (PI2)
Fungsi Penanggulangan sebagai aplikasi operasional kemampuan tanggap darurat mengharuskan tindakan penanggulangan minimal harus berisi tindakan khusus
atau tertentu yang dilakukan untuk meringankan akibat kecelakaan sesuai dengan klasifikasi keadaan darurat, fungsi penanggulangan tersebut mencakup : Identifikasi kecelakaan awal. Pemberitahuan dan pengaktifan. Tindakan Penanggulangan. Perlindungan terhadap pekerja kedaruratan dan masyarakat. Informasi dan instruksi masyarakat.
Besarnya dampak kecelakaan membutuhkan terintegrasinya program kesiapsiagaan nuklir Pemegang Izin dengan Pemerintah Daerah dan Institusi terkait disekitarnya dan organisasi tanggap darurat setempat misalnya Ambulan, PMK dan RS setempat. Pada skala bencana / mass casualties, kemampuan Pemegang izin tidak akan mencukupi lagi karena dampak kedaruratan akibat kecelakaan telah berpengaruh luas kepada masyarakat/lingkungan, tindakan evakuasi, sheltering , medis kedaruratan dan upaya pemulihan sangat memerlukan keterlibatan pihakpihak lain yang berkompeten.
Antarmuka dan koordinasi penanggulangan kedaruratan antara PI dan Pemerintah Daerah baik mulai pelaporan dan tindakan awal diatur dalam RPP antara lain sebagai berikut :
a. Dalam hal terjadi kedaruratan nuklir, pengusaha instalasi harus segera melaporkan terjadinya kedaruratan nuklir dan upaya penanggulangannya kepada BAPETEN dan instansi terkait lainnya.
b. PIN wajib menyampaikan Laporan Kedaruratan Nuklir kepada Pemda sebagaimana dimaksud diatas apabila:
(1)
Laju paparan radiasi sebesar 5 µSv/jam atau lebih tinggi diukur selama sepuluh menit atau lebih pada batas tapak.(2)
Pelepasan radioaktif yang abnormal yang konsentrasi aktivitas udaranya setara dengan laju dosis 5 µSv/jam di batas tapak yang terdeteksi melalui jalur pelepasan normal.(3)
Adanya kejadian hilangnya fungsi penyungkup yang disebabkan karena ledakan atau lainnya dengan laju dosis 50 µSv/jam atau konsentrasi aktivitas udara setara dengan laju dosis 5 µSv/jam.(4)
Adanya kejadian khusus pada tiap fasilitas seperti halnya kejadian kritikalitas yang diperhitungkan dalam kemungkinan pada IN, kejadian yang melibatkan ketidaktersediaan ruang kendali, kejadian yang melibatkan kegagalan pemadaman darurat oleh batang kendali dalam reaktor, kejadian yang melibatkan hilangnyapendingin pada Emergency Core Cooling System (ECCS), dan hilangnya redundansi pada suplai daya listrik.
PEMERINTAH DAERAH
Kesiapsiagaan (PD1)
Peranan dan tanggung jawab Pemerintah Daerah Dalam RPP SKNN ditetapkan dalam kerangka kwajiban Pemda berkoordinasi dengan Pemegang Izin dalam upaya penyediaan dan penyelenggaraan Program Kesiapsiagaan Nuklir Tingkat Daerah dan kemampuan tanggap darurat nuklir yang memadai antara lain dengan menyediakan dan melengkapkan unsurunsur : Organisasi Penanggulangan Keadaan Darurat; Koordinasi; Prosedur Penanggulangan; dan Fasilitas, Peralatan ,Sarana Pendukung serta Program Pelatihan/Uji Coba :
a. Pemda yang memiliki wilayah jurisdiksi yang termasuk dalam zona perencanaan kedaruratan, harus menyusun program kesiapsiagaan nuklir dengan infrastruktur dan fungsi penanggulangan yang lengkap. Program kesiapsiagaan nuklir tersebut sekurangkurangnya memuat:
(1)
Organisasi tanggap darurat nuklir daerah dan koordinasinya;(2)
Prosedur tanggap darurat nuklir;(3)
Sarana dan Prasarana: Peralatan proteksi radiasi, komunikasi, transportasi, sarana prasarana evakuasi, seltering, peralatan peringatan dini (early warning sistem), Posko tanggap darurat nuklir; dan(4)
Pelatihan kedaruratan nuklir.b.
Pemda yang memiliki wilayah jurisdiksi yang termasuk dalam zona perencanaan kedaruratan mendirikan dan mengoperasikan Pusat Gabungan Informasi Publik di luar tapak memberikan informasi yang akurat dan terpusat mengenai bencana nuklir kepada PIN, instansi/lembaga teknis di daerah, dan masyarakat.c.
Pemda terlibat aktif dalam latihan kedaruratan yang diselenggarakan oleh PIN 1 (satu) kali setiap 2 (dua) tahun.Fungsi Penanggulangan (PD2)
Secara keseluruhan fungsi penanggulangan Tingkat Daerah ini merupakan pemberdayaan kemampuan tanggap daerah yang sudah ada dan berjalan sesuai dengan mekanisme komando Satkorlak / Satlak dengan meningkatkan kemampuan siaga dan
tanggap darurat operasionalnya dibidang kedaruratan radiologik/nuklir. Kecelakaan yang memerlukan bantuan Operasi penanggulangan kedaruratan diluar tapak Pemegang Izin akan dikendalikan melalui sistem komando tanggap darurat oleh organisasi tanggap darurat nuklir tingkat daerah baik Satlak atau Satkorlak setelah mendapatkan laporan kejadian kecelakaan dan permintaan bantuan dari Pemegang Izin.
NASIONAL
Kesiapsiagaan (N1)
RPP SKNN mengatur distribusi dan pembagian tugas kewenangan Departemen/Lembaga Nasional dalam penyusunan dan penyelenggaraan kesiapsiagaan dan kemampuan tanggap darurat ditetapkan sesuai dengan kompetensi dan kemampuan teknis masing masing Departemen/Lembaga sesuai Tugas Fungsinya. RPP SKNN yang bersifat khusus dalam bidang Teknologi Nuklir ini menuntut ditetapkannya satu Institusi yang bertindak sebagai focal point nasional yang berfungsi sebagai koordinator nasional dalam menginisiasi program nasional dan pelaksanaannya, sesuai dengan UU.No.10/1997 tugas ini dilaksanakan oleh BAPETEN, selanjutnya RPP SKNN mengatur seluruh Departemen/Instansi terkait :
a. BAPETEN mengkoordinasikan pembentukan SKNN , termasuk didalamnya penetapan Organisasi Tanggap Darurat Nuklir Nasional (OTDN) dan Posko tanggap darurat nuklir Nasional. OTDN ini sekurang kurangnya mencakup :
(1) Kegiatan dukungan operasional yang melibatkan Departemen Pertanian, BPOM, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Perhubungan, Menteri Negara Lingkungan hidup. (2) Kegiatan investigasi / Penegakaan Hukum bersama POLRI
(3) Kegiatan operasional sekurangkurangnya melibatkan first responder (polisi, PMK, AGD/Kesehatan) dan RMA (BAPETEN, BATAN, NUBIKA, BMG, BPS).
b. Departemen/lembaga teknis terkait kesiapsiagaan nuklir tersebut harus menyediakan infrastruktur dan fungsi penanggulangan sesuai dengan bidang tugasnya.
c. Dalam hal kesiapan pemberian layanan medis kedaruratan nuklir, Depkes harus menyediakan pusat medis kedaruratan nuklir nasional. d. BAPETEN mengkoordinasikan pelatihan dan gladi kedaruratan nuklir
tingkat nasional yang melibatkan Pemda dan pemegang izin 1 (satu) kali setiap 3 (tiga) tahun.
Fungsi Penanggulangan (N2) Pelaksanaan tanggap darurat yang membutuhkan operasi tindakan sampai level nasional dilaksanakan oleh OTDN yang aktivasinya diatur dengan menetapkan kriteria aktivasi tanggap darurat nasional dan menggunakan mekanisme oparasional tanggap darurat nasional BAKORNAS PB : a. Tanggap darurat nasional diaktivasi dengan adanya laporan PIN pada kondisi: (1) laju paparan radiasi sebesar 500 µSv/jam atau lebih tinggi diukur selama sepuluh menit atau lebih pada batas tapak.
(2) Pelepasan radioaktif yang abnormal yang konsentrasi aktivitas udaranya setara dengan laju dosis 500 µSv/jam di batas tapak yang terdeteksi melalui jalur pelepasan normal.
(3) Adanya kejadian hilangnya fungsi penyungkup yang disebabkan karena ledakan atau lainnya dengan laju dosis 5 mSv/jam atau konsentrasi aktivitas udara setara dengan laju dosis 500 µSv/jam. (4) Adanya kejadian khusus pada tiap fasilitas seperti halnya kejadian
kritikalitas yang diperhitungkan dalam kemungkinan pada IN, kejadian yang melibatkan ketidaktersediaan ruang kendali, kejadian yang melibatkan kegagalan pemadaman darurat oleh batang kendali dalam reaktor, kejadian yang melibatkan hilangnya pendingin pada ECCS, dan hilangnya redundansi pada suplai daya listrik.
b.
Pelaksanaan tanggap darurat nasional mengikuti mekanisme BAKORNAS PB sebagaimana diatur dalam PERPRES.c.
Dalam hal kecelakaan yang melibatkan : (1) Orphan Source (2) RDD (3) reentry nuclear satellite BAPETEN dapat memimpin langsung tindakan penanggulangan. Kemampuan tindakan penanggulangan kedaruratan nasional ini tidak menutup kemungkinan timbulnya eskalasi kecelakaan yang mengakibatkan seluruh kemampuan nasional yang tersedia tidak mampu untuk mengatasi kedaruratan yang terjadi, RPP SKNN memberikan kewenangan BAPETEN untuk meminta dan memberi informasi/bantuan kepada IAEA dalam kerangka Konvensi Pemberitahuan DiniKecelakaan Nuklir [10,11,12], Konvensi mengenai Bantuan dalam hal terjadinya Kecelakaan atau Kedaruratan nuklir, konvensikonvensi internasional lainnya serta persetujuan bilateral.
KESIMPULAN
1. Pokokpokok substansi dan materi ketentuan dalam RPP Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional mengatur tugas kwajiban Pemegang Izin, Pemerintah Daerah dan Nasional untuk menyusun dan mengembangkan Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional.
2. BAPETEN telah mensyaratkan Pemegang Izin untuk meyusun PKN, ketentuan tersebut dilengkapkan dengan PP SKNN untuk menjamin antarmuka dan koordinasi yang sinergis dengan Pemda dan Nasional dalam mengembangkan kemampuan kesiapsiagaan dan tanggap darurat di wilayah terkait.
3. Pemerintah Daerah sebagai otoritas dengan kewenangan yang diatur dengan Otonomi Daerah masih perlu dikaji lebih lanjut dalam rangka merumuskan distribusi dan penetapan tugas kewenangan kwajibannya dalam Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional. Integrasi Program Kesiapsiagaan Nuklir daerah kedalam mekanisme Satkorlak dan Satlak masih memerlukan rumusan dan penyempurnaan lebih lanjut untuk mencapai keselarasan optimalisasi pemberdayaan kemampuan kesiapsiagaan dan tanggap darurat daerah yang sudah tersedia.
4. Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional merupakan Subsistem dari Sistem Kesiapsiagaan Nasional yang operasional tanggap darurat nuklir nasional dilaksanakan oleh Organisasi Tanggap Darurat Nuklir Nasional (OTDN) melalui mekanisme BAKORNAS PB dengan melibatkan seluruh Departemen/Instansi terkait masih memerlukan pembahasan lebih lanjut mengingat belum tersedianya aspek hukum dasar kebijakan Penanganan Bencana Nasional dan belum optimalnya peran Bakornas PB dalam fungsi koordinasi dan komando penangangan bencana nasional.
REKOMENDASI
Dalam rangka antisipasi tantangan pemanfaatan tenaga nuklir dan introduksi PLTN serta menjamin keselamatan publik dan lingkungan hidup[13] secara menyeluruh, tersedianya PP tentang SKNN mutlak segera ditetapkan untuk mengoptimalkan efektifitas
aspek hukum lain yang sudah ada khususnya RPP tentang Perizinan PLTN yang segera ditetapkan dalam waktu dekat diperlukan upaya :
1. Koordinasi lebih intens antara BAPETEN dengan Departemen/Instansi dan Pemerintah Daerah (Satkorlak/ Satlak) untuk menggalang sinergi integrasi SKNN kedalam Sistem Kesiapsiagaan Nasional.
2. Kontinuitas dan konsistensi personilpersonil pelaksana dalam upaya koordinasi dan pembahasan antar Departemen/Instansi terkait dan Pemerintah Daerah.
DAFTAR PUSTAKA
1. IAEA, Method for Developing Arrangements for Response to Nuclear or Radiological Emergency, Updating IAEATECDOC953, Viena, 2003
2. IAEA Safety Standards Series, Preparedness and Rensponse for a Nuclear or Radiological Emergency, GSR2, Viena, 2002
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.63 Tahun 2000 tentang Keselamatan dan Kesehatan terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion, 2000 4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.64 Tahun 2000 tentang Perizinan
Pemafaatan Tenaga nuklir, 2000
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif, 2002
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan limbah Radioaktif, 2002 7. BAPETEN, Pedoman Rencana Penanggulangan Keadaan Darurat, No. 05P/Ka BAPETEN/I03, 2003 8. IAEA EPREV Team, Resume Final Report Emergency Preparedness Review Indonesia, Indonesia 1999 9. BAPETEN, Konsepsi RPP Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional, 2006
10. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 106 Tahun 2001 tentang Pengesahan Convention on Nuclear Safety, 2001
11.
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 81 Tahun 1993 tentang PengesahanConvention On Early Notification of a Nuclear Accident.
12.
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 82 Tahun 1993 tentang PengesahanConvention on Assistance on the Case of a Nuclear or Radiological Emergenc
13. UndangUndang Republik Indonesia No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, 1997
HASIL DISKUSI DAN TANYA JAWAB
Penanya: Slamet Suprianto Pertanyaan: a.Sejauh mana peran aktif BAPETEN tentang program kesiapsiagaan nuklir untuk instansi PEMDA dan Pemerintah dalam PP Bencana Alam Nasional? b.Apakah pihak BAPETEN telah bekerjasama dengan pihak fasilitas nuklir ( on site ) dan pihak – pihak terkait dalam menjalankan infrastruktur kesiapsiagaan nuklir? c.Mohon kejelasan batasan tapak 500 Msv/ jam apakah ada kaitan dengan APZ, UPZ, LPZ, untuk daerah kecelakaan nuklir. Jawaban: a.BAPETEN telah berperan aktif sebagai inisiator dalam mengkoordinasikan seluruh departemen dan lembaga terkait tingkat nasional dalam menyususn RPP kesiapsiagaan nuklir Nasional tapi untuk PP bencana alam nasional belum dibahas karena UU Penanggulangan bencana juga belum ditetapkan.b.BAPETEN sebagi Badan Pengawas telah mensyratkan seluruh pemegang izin untuk menyusun program Kesiapsiagaan Nuklir mengenai tapak/ fasilitasnya sesuai PP 63/ 2000 dan SK BAPETEN 05 P/ 2003.
c.500 Msv/ jam bukan batasan tapak tetapi merupakan batasan aktivasi tanggap darurat tingkat nasional. UPZ, LPZ, ditetapkan sendiri oleh pemegang izin sesuai LAK yang disusun.
Penanya: Yekti Nastiti ( Dep. Radiologi RSCM ) Pertanyaan:
a.Sebagai RS rujukan Nasional kemana kami harus berkoordinasi bila terjadi ( pasien ) kecelakaan radiasi. Bisakah kami mendapatkan panduan ( buku ) langkah – langkah yang harus dilakukan untuk menangani pasien – pasien kecelakaan radiasi? Jawaban:
a.Sampai sekarang untuk level nasional belum di tentukan RS rujukan Nasional, hal ini mohon dilacak ke Departemen Kesehatan merujuk hasil workshop Nasional ( BATAN PTKMR dengan DepKes ) awal 2006 dan lokakarya Nasional DepKes juni 2006.