LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA PANGAN
ANALISIS KUANTITATIF MINERAL
(PENENTUAN KADAR ABU)
OLEH :
GOLONGAN 10
1.ELSA PERMATA SARI ( NIM : 112110181)
2.IRNAL MARNINDA (NIM : 112110185)
3.RIMA TRISNAWATI (NIM:112110196)
KEMENTERIAN KESEHATAN PADANG
JURUSAN GIZI POLTEKKES PADANG
LAPORAN PRAKTIKUM
KIMIA PANGAN
JUDUL PRATIKUM : Analisis Kuantitatif Mineral
TOPIK PRATIKUM : Penentua Kadar Abu
PRAKTEK KE/GOL : 10/10
HARI/TANGGAL : Selasa/30 Mei 2012
TUJUAN PRATIKUM
:
Mengetahui kadar abu dalam sample yang dianalisa.PRINSIP
:
Bahan-bahan organik akan hilang
dalam pembakaran dengan suhu tinggi. Residu
yang tertinggal adalah mineral dalam bentuk
abu putih.
TINJAUAN PUSTAKA
:
Deskripsi Ikan Teri (Stolephorus sp.)
Ikan teri (Stolephorus sp.) merupakan ikan penghuni perairan pesisir
dan
eustaria serta beberapa jenis dapat hidup pada perairan dengan
salinitas 10-15%.
Pada umumnya, ikan teri hidup bergerombol,
terutama jenis-jenis yang berukuran
kecil, yang terdiri dari ratusan
sampai ribuan ekor (Hutomo et al. 1987).
Klasifikasi ikan teri, menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :
Filum : Chordata
Sub-filum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Sub-kelas : Teleostei
Ordo : Malacopterygii
Famili : Clopeidae
Sub-famili : Engraulidae
Genus : Stolephorus
Spesies : Stolephorus sp.
Ciri-ciri morfologi ikan teri memiliki tanda khas yang
membedakannya dari
marga anggota anak suku Engraulidae yang lain,
yaitu sirip caudal bercagak dan
tidak bergabung dengan sirip anal
serta duri abdominal hanya terdapat siri pektoral dan ventral yang
berjumlah tidak lebih dari 7 buah, umumnya tidak
berwarna atau agak
kemerah-merahan. Bentuk tubuhnya bulat memanjang
(fusiform) atau
agak termampat kesamping (compressed), pada sisi samping
tubuhnya
terdapat garis putih keperakan memanjang dari kepala sampai ekor.
Sisiknya kecil dan tipis sangat mudah lepas, tulang rahang atas
memanjang
mencapai celah insang. Sirip dorsal umumnya tanpa duri
pradorsal sebagian atau
seluruhnya dibelakang anus, pendek dengan
jari-jari lemah sekitar 16-23 buah.
Giginya terdapat pada rahang,
langit-langit palatin, pterigod, dan lidah. Ikan teri
umumya berukuran
kecil sekitar 6-9 cm (Hutomo et.al. 1987). Nilai gizi ikan teri cukup
tinggi terutama sebagai sumber protein dan mineral, sedangkan
kandungan lemak dan vitaminnya rendah (Borgstrom dan Paris 1965).
Menurut Corden dan Thomas (1971), ikan teri mengandung
protein dan mineral yang cukup tinggi sedangkan vitamin dan
lemaknya rendah jika dibandingkan dengan ikan laut lainnya. Jumlah
kalori yang dapat dihasilkan dari 100 gram daging ikan teri mencapai
74 kalori. Ikan teri juga mengandung vitamin A, vitamin B, dan sumber
mineral seperti dapat dilihat pada Tabel 1.
Menurut Winarno (1997), zat besi pada ikan lebih mudah diserap
dibandingkan zat besi pada serelia dan kacang-kacangan. Selain itu,
ikan teri kaya akan fosfor yang berfungsi untuk pembentukan tulang
dan gigi. Kalsium berperan untuk masa pertumbuhan dan mengurangi
proses osteoporosis pada orang dewasa (Afrianto dan Liviawaty 1991).
Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organic dan air. Sisanya terdiri dari unsur- unsur mineral. Unsur mineral juga di kenal sebagai zat organic atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu. Meskipun banyak dari elemen-elemen mineral telah jelas diketahui fungsinya pada makanan ternak, belum banyak penelitian sejenis dilakuakan pada
manusia. Karena itu peranan berbagai unsur mineral bagi manusia masih belum sepenuhnya diketahui (Winarno,1997).
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu :
1. Garam-garam organik, misalnya garam dari as. malat, oxalate, asetat., pektat dan lain-lain 2. Garam-garam anorganik, misalnya phospat, carbonat, chloride, sulfat nitrat dan logam alkali (Anonim, 2010).
Selain kedua garam tersebut, kadang-kadang mineral dapat terbentuk sebagai senyawa yang kompleks yang bersifat organis. Apabila akan ditentukan jumlah mineralnya dalam bentuk aslinya adalah sangat sulit. Oleh karenanya biasanya dilakukan dengan menentukan sisa pembakaran garam mineral tersebut yang dikenal dengan pengabuan. Komponen mineral dalam suatu bahan sangat bervariasi baik macam maupun jumlahnya. Penentuan konsistensi merupakan mineral bahan hasil pertanian yang dapat dibedakan menjadi dua tahapan yaitu : pengabuan total (larut dan tidak larut) dan penentuan individu komponen.
Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan antara lain: 1. Menentukan baik tidaknya suatu pengolahan
Dalam penggilingan gandum, misalnya apabila masih banyak katul atau lembaga yang terikut maka tepung gandum tersebut akan memiliki kadar abu yang tinggi
2. Mengetahui jenis bahan yang digunakan
Penentuan kadar abu dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan buah yang digunakan dalam marmalade atau jelly. Kandungan abu juga dapat dipakai untuk menentukan atau membedakan fruit vinegar (asli) atau sintesis
3. Penentuan parameter nilai gizi pada bahan makanan
Adanya kandungan abu yang tidak larut dalam asam yang cukup tinggi menunjukkan adanya pasir atau kotoran yang lain (Fauzi (2006).
Penentuan kadar abu dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : • Pengabuan cara Langsung (Cara Kering)
Prinsip dari pengabuan cara langsung yaitu dengan mengoksidasi semua zat organic pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500 – 600oC dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut (Sudarmadji, 1996).
Mekanisme pengabuan pada percobaan ini adalah pertama-tama krus porselin dioven selama 1 jam. Krus porselin adalah tempat atau wadah yang digunakan dalam pengabuan, karena
penggunaannya luas dan dapat mencapai berat konstan maka dilakukan pengovenan. Kemudian didinginkan selama 30 menit, setelah itu dimasukkan eksikator. Lalu timbang krus sebagai berat a gram. Setelah itu masukkan bahan (kentang halus) sebanyak 3 gram kedalam krus dan catat sebagai berat b gram. Kemudian dimasukkan dalam tanur pengabuan sampai warna menjadi putih keabu-abuan. Pengabuan yang dilakukan didalam muffle dilakukan melalui
2 tahap yaitu :
a. Pemanasan pada suhu 300oC yang dilakukan dengan maksud untuk dapat melindungi kandungan bahan yang bersifat volatile dan bahan berlemak hingga kandungan asam hilang. Pemanasan dilakukan sampai asap habis.
b. Pemanasan pada suhu 800oC yang dilakukan agar perubahan suhu pada bahan maupun porselin tidak secara tiba-tiba agar tidak memecahkan krus yang mudah pecah pada perubahan suhu yang tiba-tiba. Setelah pengabuan selesai maka dibiarkan dalam tanur selama 1 hari. Sebelum dilakukan penimbangan, krus porselin dioven terlebih dahulu dengan tujuan mengeringkan air yang mungkin terserap oleh abu selama didinginkan dalam muffle dimana pada bagian atas muffle berlubang sehingga memungkinkan air masuk, kemudian krus dimasukkan dalam eksikator yang telah dilengkapi zat penyerap air berupa silica gel. Setelah itu dilakukan penimbangan dan catat sebagai gram.
Beberapa kelemahan maupun kelebihan yang terdapat pada pengabuan dengan cara lansung. Beberapa kelebihan dari cara langsung, antara lain :
a. Digunakan untuk penentuan kadar abu total bahan makanan dan bahan hasil pertanian, serta digunakan untuk sample yang relative banyak,
b. Digunakan untuk menganalisa abu yang larut dan tidak larut dalam air, serta abu yang tidak larut dalam asam, dan
c. Tanpa menggunakan regensia sehingga biaya lebih murah dan tidak menimbulkan resiko akibat penggunaan reagen yang berbahaya.
Sedangkan kelemahan dari cara langsung, antara lain : a. Membutuhkan waktu yang lebih lama,
b. Tanpa penambahan regensia,
c. Memerlukan suhu yang relatif tinggi, dan
d. Adanya kemungkinan kehilangan air karena pemakaian suhu tinggi (Apriantono (1989. Pengabuan cara Tidak Langsung (Cara Basah)
Prinsip dari pengabuan cara tidak langsung yaitu memberikan reagen kimia tertentu kedalam bahan sebelum dilakukan pengabuan. Senyawa yang biasa ditambahkan adalah gliserol alcohol ataupun pasir bebas anorganik selanjutnya dilakukan pemanasan pada suhu tunggi.
Pemanasan mengakibatkan gliserol alcohol membentuk kerak sehingga menyebabkan terjadinya porositas bahan menjadi besar dan dapat mempercepat oksidasi. Sedangkan pada pemanasan untuk pasir bebas dapat membuat permukaan yang bersinggungan dengan oksigen semakin luas dan memperbesar porositas, sehingga mempercepat proses penngabuan (Sudarmadji, 1996). Mekanisme pengabuannya adalah pertama-tama krus porselin dioven selama 1 jam. Kemudian didinginkan selama 30 menit, setelah itu dimasukkan eksikator. Lalu timbang krus sebagai berat a gram. Setelah itu masukkan bahan (kentang halus) sebanyak 3 gram kedalam krus dan catat sebagai berat b gram. Kemudian ditambahkan gliserol alcohol 5 ml dan dimasukkan dalam tanur pengabuan sampai warna menjadi putih keabu-abuan. Setelah terjadi pengabuan, abu yang terbentuk dibiarkan dalam muffle selama 1 hari. Sebelum dilakukan penimbangan, krus porselin dioven terlebih dahulu dengan tujuan mengeringkan air yang mungkin terserap oleh abu selama didinginkan dalam muffle dimana pada bagian atas muffle berlubang sehingga memungkinkan air masuk, kemudian krus dimasukkan dalam eksikator yang telah dilengkapi zat penyerap air berupa silica gel. Setelah itu dilakukan penimbangan dan catat sebagai bera c gram. Suhu yang tinggi menyebabkan elemen abu yang bersifat volatile seperti Na, S, Cl, K dan P menguap. Pengabuan juga menyebabkan dekomposisi tertentu seperi K2CO3 dan CaCO3. pengeringan pada metode ini bertujuan untuk mendapatkan berat konstan. Sebelum sample dimasukkan dalam krus, bagian dalam krus dilapisi silica gel agar tidak terjadi pengikisan bagian dalam krus oleh zat asam yang terkandung dalam sample.
Beberapa kelebihan dan kelemahan yang terdapat pada pengabuan cara tidak langsung. Kelebihan dari cara tidak langsung, meliputi :
a. Waktu yang diperlukan relatif singkat, b. Suhu yang digunakan relatif rendah,
c. Resiko kehilangan air akibat suhu yang digunakan relative rendah, d. Dengan penambahan gliserol alkohol dapat mempercepat pengabuan, dan e. Penetuan kadar abu lebih baik.
Sedangkan kelemahan yang terdapat pada cara tidak langsung, meliputi : a. Hanya dapat digunakan untuk trace elemen dan logam beracun, b. Memerlukan regensia yang kadangkala berbahaya, dan
c. Memerlukan koreksi terhadap regensia yang digunakan (Apriantono (1989).
Penentuan kadar abu pada makanan ini bertujuan untuk menjadikan bahan
makanan dapat diketahui kandungan mineral yang terdapat di dalamnya.Prinsip
penentuan kadar abu adalah bahan-bahan organik akan hilang daalam pembakaran
dengan suhu tinggi. Residu yang tertinggal adalah mineral dalam bentuk abu putih.
Penentuan kadar abu bisa dilakukan dengan dua cara :
1. Penentuan kadar abu secara langsung
Contoh :
a) daging
525°C
b) hasil olah sayuran
525°C
c) serealia
525°C
d) susu
525°C
e) ikan teri
500°C
f) biji-bijian
600°C
Prosedur Kerja :
a. Timbang sampel
b. Bersihkan crussible (dari porselen/keramik), keringkan dalam oven pada suhu 105°C
selama satu jam.
c. Dinginkan crussible dalam eksikator, kemudian timbang.
d. Kemudian panaskan lagi dalam oven sampai di dapat berat yang konstan (stabil).
e. Timbang bahan, masukkan ke dalam crussible.
f. Masukkan ke dalam muffle, atur suhu mulai dari 100°C-500°C (dinaikkan secara
bertahap).
g. Turunkan lagi suhu sampai ke 100°C.
h. Proses pengabuan selesai.
2. Penentuan kadar abu secara tidak langsung (cara basah)
Fungsi penentuan kadar abu secara tidak langsung adalah :
1. untuk sampel penentuan trik element
2. parameter nilai gizi tidak terlalu banyak
3. parameter adanya logam beracun
Prosedur kerja hampir sama dengan pengabuan secara langsung tapi pada penentuan
kadar abu pada pengabuan secara tidak langsung sampel diberi reagen kimia sebelum
pengabuan. Pemberian reagen pada sampel tersebut bertujuan untuk mempercepat reaksi.
Analisis kadar abu (AOAC 1995)
Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu 600 0C,
kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga
didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan
pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api hingga tidak berasap lagi. Setelah itu
dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 0C selama 1 jam, kemudian
ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan.
Bahan makanan mengandung lebih dari 95% bahan organik dan air, sisanya
terdiri dari unsur-unsur mineral yang juga dikenal sebagai zat anorganik. Bahan-bahan
organik terbakar saat proses pembakaran, namun zat anorganiknya tidak karena itulah
disebut abu (Winarno 2008).
BAHAN
:
Sample
•
Teri ditimbang 2-3 gram
Reagen
•
larutan
: timbang 8 gr MgO, masukkan ke dalam HN 1:1. Usahakan
jangan terlalu asam (akses), tambah MgO sedikit akses. Panaskan dan saring,
encerkan sampai volume 100 ml.HCl pekat ditambah 4 bagian
•
HCl pekat
•
HCl (1+4), 1 bagian
ALAT
:
Neraca analitik
Cruisible
Tanur (untuk mengabukan)
Gelas ukur
Pipet tetes
PROSEDUR PRATIKUM
:
1. Masukkan cruisibel kosong ke dalam muffle furnance/tanur (alat untuk
mengabukan).
2. Panaskan sampai 105°C selama 1-2 jam.
3. Matikan muffle furnance, biarkan suhu turun sampai ± 100°C.
4. Keluarkan cruisibel, masukkan ke dalam desikator, biarkan sampai suhunya sama
dengan suhu ruang.
5. Timbang berat cruisibel dengan tiliti. Kemudian bahan yang akan di abukan
sebanyak 3 gr. Catat beratnya.
6. Pindahkan ke dalam muffle furnance dingin, abukan pada suhu 550°C secara
bertahap sampai abu berwarna putih (± 6-8 jam). Matikan dan dinginkan.
7. Masukkan ke dalam desikator sampai suhu ruang.
8. Timbang cruisible dengan tepat
HASIL PRATIKUM DAN PEMBAHASAN
:
Kadar abu ditentukan dengan rumus:
Kadar abu (berat basah) =
X 100%
=
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, dapat diketahui kadar abu yang didapat pada ikan teri adalahsebanyak...Kadar abu yang didapat ini sangat berhubungan sekali dengankandungan mineral yang didapat didalam teri.
PEMBAHASAN
Percobaan penetapan kadar abu pada praktikum kali ini dengan menggunakan
sampel ikan teri yang mengandung mineral-mineral yang dibutuhkan oleh tubuh. Yaitu
teri yang ditumbuk dan dikeringkan dalam tanur (alat untuk mengabukan).
Proses pengujian untuk sample teri dilakukan hanya dengan 1 kali percobaan,
karena keterbatasan waktu, dan juga disebabkan karena waktu yang dibutuhkan untuk
mengeringkan teri ini di dalam tanur membutuhkan waktu berjam-jam. Dan suhu tanur
pun harus diatur secara bertahap. Setelah sample ditimbang dan ditumbuk, lalu sample
dimasukkan ke dalam cruisible yang beratnya telah ditimbang terlebih dahulu secara
kuantitatif dengan menggunakan neraca analitik dengan ketelitian empat angka
dibelakang koma. Setelah itu cruisible dan bahan yang telah dihaluskan dan telah
ditambahkan beberapa jenis larutan dimasukkan kedalam tanur. Suhu tanur ini dikontrol
secara berkala dan bertahap. Hal inilah yang menyebabkan proses pengabuan ini
membutuhkan waktu lama.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari percobaan ini,didapatkan kadar abu yang
terdapat dalam teri ... , Hasil yang diperoleh berbeda dari yang terdapat di literatur.
4.2 %. Hal tersebut di atas dapat disebabkan oleh jenis sample (teri) yang digunakan
mungkin saja berbeda baik dari segi jenis, varietas, , dan hal-hal lainnya seperti ketelitian
dalam menimbang, lama proses pengabuan, yang menyebabkan ketidaksamaan data yang
didapat.
Hal ini juga disebabkan karena literature ini mungkin hanya menggunakan satu
jenis bahan yang kita tidak mengetahui darimana asal dan bagaimana komposisi bahan
tersebut.
KESIMPULAN
1.
Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa kadar abu pada sample teri adalah
senilai... yang berbeda dari yang ada di literature, hal ini disebabkan oleh berbagai
faktor diantaranya jenis bahan dan ketelitian dalam melaksanakan praktikum.
2. Kadar abu yang didapat ini sangat berhubungan sekali dengankandungan mineral yang didapat didalam teri.
SARAN
1.
Sebelum melakukan analisa kadar abu, mahasiswa harus benar-benar memahami
prosedur kerja agar diperoleh data pengukuran dengan keteliatian yang tinggi dan
mendekati keakuratan.
2.
Sebaiknya sewaktu analisa kadar abu, menggunakan banyak sampel yang diuji dari
satu jenis bahan (macam-macam teri) sehingga hasil pengukuran yang digunakan
merupakan nilai rata-rata yang dapat mendekati nilai keakuratan pengujian.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Thamrin, Husni. dkk.. 2012. Penuntun Praktikum Kimia pangan. Jurusan Gizi :
Poltekkes Kemenkes Padang
2. Anonim. 2010. Buku Petunjuk Praktikum Analisa Pangan dan Hasil Pertanian. Jember: FTP UNEJ.
3. Fauzi, M. 2006. Analisa Pangan dan Hasil Pertanian. Handout.Jember: FTP UNEJ.
4. Sudarmadji, dkk. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
5. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
6. Apriantono, A. dan D. Fardiaz 1989. Analisa Pangan. Bogor : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Pendidikan Tinggi PAU Pangan dan Gizi IPB.