• Tidak ada hasil yang ditemukan

Presentasi Kasus Subkonjungtiva Bleeding

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Presentasi Kasus Subkonjungtiva Bleeding"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Presentasi Kasus

ILMU KESEHATAN MATA

Oleh:

Erickson G99121014

Florantia Setya Nugraha G99121018 Muhammad Iqbal Sugiantoro G99122076 Maria Dewi Caetline G99122070 Nurul Rahmawati Swadini G99122090 Ginong Pratidina Wijnaputri G99122113

Pembimbing : Raharjo K., dr., SpM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA 2013

(2)

STATUS PENDERITA

I. IDENTITAS

Nama : Ny. E

Umur : 20tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Suku : Jawa

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Islam

Pekerjaan : Karyawan swasta Alamat : Pucang sawit, Jebres Tgl pemeriksaan : 19 Agustus 2013 No. CM :-

II. ANAMNESIS

A. Keluhan utama :mata kiri nyeri dan merah

B. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien mengeluhkan mata kiri nyeri dan merah sejak 1 hari yang lalu. Keluhan diawali ketika pasien mata kirinya terbentur stang sepeda motor saat mengalami kecelakaan lalu lintas. Keluhan dirasakan terus menerus dan makin lama makin memberat sehingga pasien datang ke rumah sakit.Selain itu, pasien juga mengeluhkan mata berair.Saat di poli pasien mengeluh mata kanan nyeri, merah, nrocos, gatal (-), pandangan kabur (-) perih (+).

C. Riwayat Penyakit Dahulu

1. Riwayat hipertensi : disangkal 2. Riwayat kencing manis : disangkal 3. Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal

4. Riwayat trauma mata : +, 1 hari yang lalu 5. Riwayat kacamata : disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga

1. Riwayat hipertensi : disangkal 2. Riwayat kencing manis : disangkal

(3)

3. Riwayat sakit serupa : disangkal

E. Kesimpulan Anamnesis

III. PEMERIKSAAN FISIK A. Kesan umum

1. Keadaan umum baik, compos mentis, gizi kesan cukup

B. Pemeriksaan subyektif

OD OS

A. Visus Sentralis

1. Visus sentralis jauh 6/6 6/6

a. pinhole Tidak dilakukan Tidak dilakukan

b. koreksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

2. Visus sentralis dekat Tidak dilakukan Tidak dilakukan

B. Visus Perifer

1. Konfrontasi tes Tidak dilakukan Tidak dilakukan 2. Proyeksi sinar Tidak dilakukan Tidak dilakukan 3. Persepsi warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

C. Pemeriksaan Obyektif

1. Sekitar mata OD OS

a. tanda radang Tidak ada Tidak ada

b. luka Tidak ada Tidak ada

c. parut Tidak ada Tidak ada

d. kelainan warna Tidak ada Ada, hematom

e. kelainan bentuk Tidak ada Tidak ada

2. Supercilia

a. warna Hitam Hitam

b. tumbuhnya Normal Normal

c. kulit Sawo matang Sawo matang

d. gerakan Dalam batas normal Dalam batas normal 3. Pasangan bola mata dalam orbita

a. heteroforia Tidak ada Tidak ada

b. strabismus Tidak ada Tidak ada

c. pseudostrabismus Tidak ada Tidak ada

OD OS

Proses - Trauma

Lokalisasi - Subkonjungtiva

Sebab - Trauma

Perjalanan - Akut

(4)

d. exophtalmus Tidak ada Tidak ada

e. enophtalmus Tidak ada Tidak ada

4. Ukuran bola mata

a. mikroftalmus Tidak ada Tidak ada

b. makroftalmus Tidak ada Tidak ada

c. ptisis bulbi Tidak ada Tidak ada

d. atrofi bulbi Tidak ada Tidak ada

5. Gerakan bola mata

a. temporal Tidak terhambat Tidak terhambat

1) temporal superior Tidak terhambat Tidak terhambat 2) temporal inferior Tidak terhambat Tidak terhambat

d. nasal Tidak terhambat Tidak terhambat

1) nasal superior Tidak terhambat Tidak terhambat 2) nasal inferior Tidak terhambat Tidak terhambat

6. Kelopak mata

a. pasangannya

1.) edema Tidak ada Ada

2.) hiperemi Tidak ada Ada

3.) blefaroptosis Tidak ada Tidak ada

4.) blefarospasme Tidak ada Tidak ada

b. gerakannya

1.) membuka Tidak tertinggal Tidak tertinggal 2.) menutup Tidak tertinggal Tidak tertinggal c. rima

1.) lebar 10 mm 10 mm

2.) ankiloblefaron Tidak ada Tidak ada

3.) blefarofimosis Tidak ada Tidak ada

d. kulit

1.) tanda radang Tidak ada Tidak ada

2.) warna Sawo matang Sawo matang

3.) epiblepharon Tidak ada Tidak ada

4.) blepharochalasis Tidak ada Tidak ada e. tepi kelopak mata

1.) enteropion Tidak ada Tidak ada

2.) ekteropion Tidak ada Tidak ada

3.) koloboma Tidak ada Tidak ada

4.) bulu mata Dalam batas normal Dalam batas normal

7. Sekitar glandula lakrimalis

a. tanda radang Tidak ada Tidak ada

b. benjolan Tidak ada Tidak ada

c. tulang margo tarsalis Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

8. Sekitar saccus lakrimalis

a. tanda radang Tidak ada Tidak ada

b. benjolan Tidak ada Tidak ada

9. Tekanan intraocular

a. palpasi Kesan normal Kesan normal

(5)

10. Konjungtiva

a. konjungtiva palpebra superior

1.) edema Tidak ada Tidak ada

2.) hiperemi Tidak ada Ada

3.) sekret Tidak ada Tidak ada

4.) sikatrik Tidak ada Tidak ada

b. konjungtiva palpebra inferior

1.) edema Tidak ada Tidak ada

2.) hiperemi Tidak ada Ada

3.) sekret Tidak ada Tidak ada

4.) sikatrik Tidak ada Tidak ada

c. konjungtiva fornix

1.) edema Tidak ada Tidak ada

2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada

3.) sekret Tidak ada Tidak ada

4.) benjolan Tidak ada Tidak ada

d. konjungtiva bulbi

1.) edema Tidak ada Tidak ada

2.) hiperemis Tidak ada Tidak ada

3.) sekret Tidak ada Tidak ada

4.) injeksi konjungtiva Tidak ada Tidak ada

5.) injeksi siliar Tidak ada Tidak ada

e. caruncula dan plika semilunaris

1.) edema Tidak ada Tidak ada

2.) hiperemis Tidak ada Tidak ada

3.) sikatrik Tidak ada Tidak ada

11. Sclera

a. warna Putih Putih

b. tanda radang Tidak ada Tidak ada

c. penonjolan Tidak ada Tidak ada

12. Kornea

a. ukuran 12 mm 12 mm

b. limbus Jernih Jernih

c. permukaan Rata, mengkilap Rata, mengkilap d. sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan e. keratoskop ( placido ) reguler, tidak

terputus

reguler, tidak terputus f. fluoresin tes Tidak dilakukan Tidak dilakukan

g. arcus senilis Tidak ada Tidak ada

13. Kamera okuli anterior

a. kejernihan Jernih Jernih

b. kedalaman Dalam Dalam

14. Iris

a. warna Cokelat Cokelat

b. bentuk Tampak lempengan Tampak lempengan

(6)

d. sinekia posterior Tidak tampak Tidak tampak

15. Pupil

a. ukuran 3 mm 3 mm

b. bentuk Bulat Bulat

c. letak Sentral Sentral

d. reaksi cahaya langsung Positif Positif e. tepi pupil Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

16. Lensa

a. ada/tidak Ada Ada

b. kejernihan Jernih Jernih

c. letak Sentral Sentral

e. shadow test Tidak dilakukan Tidak dilakukan

17. Corpus vitreum 1. Kejernihan 2. Reflek fundus Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

IV. KESIMPULAN PEMERIKSAAN

OD OS

A. Visus sentralis jauh 6/6 6/6

B. Visus perifer

a. Konfrontasi tes Tidak dilakukan Tidak dilakukan b. Proyeksi sinar Tidak dilakukan Tidak dilakukan c. Persepsi warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

C. Sekitar mata Dalam batas normal Ada hematom sekitar palpebra superior et

inferior D. Supercilium Dalam batas normal Dalam batas normal

E. Pasangan bola mata

dalam orbita Dalam batas normal Dalam batas normal F. Ukuran bola mata Dalam batas normal Dalam batas normal

G. Gerakan bola mata Dalam batas normal Dalam batas normal

H. Kelopak mata Dalam batas normal Edema, hematom I. Sekitar saccus

lakrimalis Dalam batas normal Dalam batas normal J. Sekitar glandula

lakrimalis Dalam batas normal Dalam batas normal K. Tekanan intarokular Dalam batas normal Dalam batas normal

L. Konjungtiva palpebra Dalam batas normal hiperemis M. Konjungtiva bulbi Dalam batas normal Terdapat perdarahan

subkonjungtiva N. Konjungtiva fornix Dalam batas normal Dalam batas normal

O. Sklera Dalam batas normal Dalam batas normal

P. Kornea Dalam batas normal Dalam batas normal

Q. Camera okuli anterior Kesan normal Kesan normal

R. Iris Bulat reguler, warna coklat

Bulat regular, warnacoklat

(7)

S. Pupil Diameter 3 mm, bulat, sentral

Diameter 3 mm, bulat, sentral

T. Lensa Kesan normal Kesan normal

U. Corpus vitreum Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Gambar 1

Gambar 2

V. DIAGNOSIS

OS subkonjungtival bleeding

VI. DIAGNOSIS BANDING

OS Konjungtivitis OS Skleritis

(8)

VII. TERAPI

Asam traneksamat 3x1

VIII. PLANNING

Pemeriksaan slit lamp

IX. PROGNOSIS

OD OS

1. Ad vitam Bonam Bonam

2. Ad fungsionam Bonam Bonam

3. Ad sanam Bonam Bonam

(9)

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi Mata dan Konjungtiva

Mata adalah sebuah organ yang kompleks yang memiliki lebih dari satu sistem anatomi yang mendukung fungsi mata itu sendiri. Secara umum ada beberapa sistem anatomi yang mendukung fungsi organ mata, yaitu :

1. Anatomi kelopak mata

Kelopak mata memiliki peranan proteksi terhadap bola mata dari benda asing yang menbahayakan mata. Kelopak atau palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata, serta mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk film air mata di depan kornea. Pada kelopak terdapat bagian – bagian seperti kelanjar sebasea, kelenjar Moll, kelenjar Zeis dan kelenjar Meibom. Sementara pergerakan kelopak mata dilakukan oleh M. Levator palpebra yang dipersarafi oleh N. Fasialis.

2. Anatomi sistem lakrimal

Sistem lakrimal terdiri atas 2 bagian, yaitu :

 Sistem produksi atau glandula lakrimal. Sistem sekresi air mata atau lakrimal terletak di daerah temporal bola mata.

 Sistem ekskresi mulai pada pungtum lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal, duktus nasolakrimal, meatus inferior.

3. Anatomi konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang. Bermacam – macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea.

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :

 Konjungitva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus.

 Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya.

 Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.

(10)

Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.

4. Anatomi bola mata

Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata di bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat bentuk dengan 2 kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan, yaitu :

 Sklera, merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian terdepan sklera disebut kornea yang bersifat transparan yang memudahkan sinar masuk ke dalam bola mata.

 Jaringan uvea merupakan jaringan vaskular. Jaringan sklera dan uvea dibatasi oleh ruang yang potensial mudah dimasuki darah apabila terjadi perdarahan pada ruda paksa yang disebut perdarahan suprakoroid. Jaringan uvea terdiri atas iris, badan siliar dan koroid. Badan siliar menghasilkan cairan bilik mata (akuos humor).

 Lapis ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan mempunyai susunan lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis membran neurosensoris yang akan merubah sinar menjadi rangsangan pada saraf optik dan diteruskan ke otak.

5. Anatomi rongga orbita

Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan terdapat 7 tulang yang membentuk dinding orbita yaitu : lakrimal, etmoid, sfenoid, frontal, dan dasar orbita yang terutama terdiri atas tulang maksila, bersama – sama tulang palatinum dan zigomatikus.

Secara garis besar anatomi mata terdiri dari (luar – ke dalam) :

 Kornea

 Kamera okuli anterior

 Iris

 Lensa

 Kamera okuli posterior (vitreus body)

 Retina

(11)

Gambar 1. Anatomi mata

Fisiologi Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran mukus yang transparan yang membentang di permukaan dalam kelopak mata dan permukaan bola mata sejauh dari limbus. Ini memiliki suplay limfatik yang tebal dan sel imunokompeten yang berlimpah. Mukus dari sel goblet dan sekresi dari kelenjar aksesoris lakrimal merupakan komponen penting pada air mata. Konjungtiva merupakan barier pertahanan dari adanya infeksi. Aliran limfatik berasal dari nodus preaurikuler dan submandibula, yang berkoresponden dengan aliran di kelopak mata.

Konjungtiva terdiri atas 3 bagian, yaitu :

 Konjungtiva palpebra dimulai dari hubungan mukokutaneus pada tepi kelopak dan bergabung ke lapis tarsal posterior (Ilyas, 2008). Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris (Vaughan, 2000).

 Konjungtiva forniks merupakan konjungtiva peralihan konjungtiva palpebra dan bulbi

(12)

 Konjungtiva bulbi yang menutupi sklera anterior dan bersambung dengan epitel kornea pada limbus. Punggungan limbus yang melingkar membentuk palisade Vogt. Stroma beralih menjadi kapsula Tenon kecuali pada limbus dimana dua lapisan menyatu (Ilyas, 2008). Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di forniks dan melipat berkali – kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. Lipatan konjungtiva bulbaris tebal, mudah bergerak dan lunak (plika semilunaris) terletak di kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga pada beberapa binatang. Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung elemen kulit dan membran mukosa (Vaughan, 2000).

Gambar 2. Anatomi Konjungtiva 5 Gambar 2. Anatomi konjungtiva mata

Pasokan darah, limfe dan persarafan

Arteri – arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring – jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali.

(13)

Pembuluh limfe konjungtiva terusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe kelopak mata hingga membentuk pleksus limfatikus yang kaya. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan (oftalmik) pertama nervus V. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri (Vaughan, 2000).

Histologi konjungtiva :

 Epitel konjungtiva merupakan jenis yang non-keratinisasi dan tebalnya sekitar 5 sel. Sel basal kuboid menyusun sel polihedral yang mendatar sebelum sel tersebut terlepas dari permukaan. Sel goblet terdapat di dalam sel epitelnya. Sel goblet kebanyakan terdapat di inferoir dari nasal dan di konjungtiva forniks, dimana jumlahnya sekitar 5 – 10% jumlah sel basal (Ilyas, 2008). Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel – sel epitel skuamosa. Sel – sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada sel – sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen (Vaughan, 2000).

 Stroma (substansia propria) terdiri atas jaringan ikat yang banyak kehilangan pembuluh darah. Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler.

Perdarahan Subkonjungtiva A. Definisi

Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan akibat rapuhnya pembuluh darah konjungtiva (ilyas, 20008). Darah terdapat di antara konjungtiva dan sklera. Sehingga mata akan mendadak terlihat merah dan biasanya mengkhawatirkan bagi pasien (Vaughan, 2000).

(14)

Gambar 3. Perdarahan subkonjungtiva

B. Sinonim (Graham, 2009)

Beberapa istilah lain untuk perdarahan subkonjungtiva adalah: 1. bleeding in the eye

2. eye injury

3. ruptured blood vessels 4. blood in the eye

5. bleeding under the conjunctiva 6. bloodshot eye

7. pink eye

C. Epidemiologi

Dari segi usia, perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi di semua kelompok umur, namun hal ini dapat meningkat kejadiannya sesuai dengan pertambahan umur (Graham, 2009). Penelitian epidemiologi di Kongo rata – rata usia yang mengalami perdarahan subkonjungtiva adalah usia 30.7 tahun (Kaimbo, 2008). Perdarahan subkonjungtiva sebagian besar terjadi unilateral (90%).

Pada perdarahan subkonjungtiva tipe spontan tidak ditemukan hubungan yang jelas dengan suatu kondisi keadaan tertentu (64.3%). Kondisi hipertensi memiliki hubungan yang cukup tinggi dengan angka terjadinya perdarahan subkonjungtiva (14.3%). Kondisi lainnya namun jarang adalah muntah, bersin, malaria, penyakit sickle cell dan melahirkan.

Pada kasus melahirkan, telah dilakukan penelitian oleh oleh Stolp W dkk pada 354 pasien postpartum dengan perdarahan subkonjungtiva. Bahwa kehamilan

(15)

dan proses persalinan dapat mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (Stolp, 2013).

D. Manifestasi klinis perdarahan subkonjungtiva

Sebagian besar tidak ada gejala simptomatis yang berhubungan dengan perdarahan subkonjungtiva selain terlihat darah pada bagian sklera.

 Sangat jarang mengalami nyeri ketika terjadi perdarahan subkonjungtiva pada permulaan. Ketika perdarahan terjadi pertama kali, akan terasa tidak nyaman, terasa ada yang mengganjal dan penuh di mata.

 Tampak adanya perdarahan di sklera dengan warna merah terang (tipis) atau merah tua (tebal).

 Tidak ada tanda peradangan, kalaupun adanya biasanya peradangan yang ringan.

 Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama setelah itu kemudian akan berkurang perlahan ukurannya karena diabsorpsi (American Academy, 2009).

E. Patofisiologi

Konjungtiva adalah selaput tipis transparan yang melapisi bagian putih dari bola mata (sklera) dan bagian dalam kelopak mata. Konjungtiva merupakan lapisan pelindung terluar dari bola mata. Konjungtiva mengandung serabut saraf dan sejumlah besar pembuluh darah yang halus. Pembuluh-pembuluh darah ini umumnya tidak terlihat secara kasat mata kecuali bila mata mengalami peradangan. Pembuluh-pembuluh darah di konjungtiva cukup rapuh dan dindingnya mudah pecah sehingga mengakibatkan terjadinya perdarahan subkonjungtiva. Perdarahan subkonjungtiva tampak berupa bercak berwarna merah terang di sklera.

Karena struktur konjungtiva yang halus, sedikit darah dapat menyebar secara difus di jaringan ikat subkonjungtiva dan menyebabkan eritema difus, yang biasanya memiliki intensitas yang sama dan menyembunyikan pembuluh darah. Konjungtiva yang lebih rendah lebih sering terkena daripada bagian atas. Pendarahan berkembang secara akut, dan biasanya menyebabkan kekhawatiran, meskipun sebenarnya tidak berbahaya. Apabila tidak ada kondisi trauma mata terkait, ketajaman visual tidak

(16)

berubah karena perdarahan terjadi murni secara ekstraokulaer, dan tidak disertai rasa sakit (graham, 2009).

Secara klinis, perdarahan subkonjungtiva tampak sebagai perdarahan yang datar, berwarna merah, di bawah konjungtiva dan dapat menjadi cukup berat sehingga menyebabkan kemotik kantung darah yang berat dan menonjol di atas tepi kelopak mata.

Perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi secara spontan, akibat trauma, ataupun infeksi. Perdarahan dapat berasal dari pembuluh darah konjungtiva atau episclera yang bermuara ke ruang subkonjungtiva.

.Berdasarkan mekanismenya, perdarahan subkonjungtiva dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan

Sesuai namanya perdarahan subkonjungtiva ini adalah terjadi secara tiba – tiba (spontan). Perdarahan tipe ini diakibatkan oleh menurunnya fungsi endotel sehingga pembuluh darah rapuh dan mudah pecah. Keadaan yang dapat menyebabkan pembuluh darah menjadi rapuh adalah umur, hipertensi, arterisklerosis, konjungtivitis hemoragik, anemia, pemakaian antikoagulan dan batuk rejan (Ilyas, 2008).

Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan ini biasanya terjadi unilateral. Namun pada keadaan tertentu dapat menjadi bilateral atau kambuh kembali; untuk kasus seperti ini kemungkinan diskrasia darah (gangguan hemolitik) harus disingkirkan terlebih dahulu (Vaughan, 2000).

2. Perdarahan subkonjungtiva tipe traumatik

Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien sebelumnya mengalami trauma di mata langsung atau tidak langsung yang mengenai kepala daerah orbita. Perdarahan yang terjadi kadang – kadang menutupi perforasi jaringan bola mata yang terjadi.

F. Etiologi

1. Idiopatik, suatu penelitian oleh Parmeggiani F dkk di Universitas Ferara Itali mengenai kaitan genetik polimorfisme faktor XIII Val34Leu dengan terjadinya perrdarahan subkonjungtiva didapatkan kesimpulan baik homozigot maupun heterozigot faktor XIII Val34Leu merupakan faktor predisposisi dari perdarahan subkonjungtiva spontan, alel Leu34 diturunkan secara genetik sebagai faktor

(17)

resiko perdarahan subkonjungtiva terutama pada kasus yang sering mengalami kekambuhan (Parmeggiani, 2013). Mutasi pada faktor XIII Val34Leu mungkin sangat berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya episode perdarahan subkonjungtiva (Incovaia, 2013).

2. Manuver Valsalva (seperti batuk, tegang, muntah – muntah, bersin)

3. Traumatik (terpisah atau berhubungan dengan perdarahan retrobulbar atau ruptur bola mata)

4. Hipertensi(Pitts, 2013).

5. Gangguan perdarahan (jika terjadi berulang pada pasien usia muda tanpa adanya riwayat trauma atau infeksi), termasuk penyakit hati atau hematologik, diabetes, SLE, parasit dan defisisensi vitamin C.

6. Berbagai antibiotik, obat NSAID, steroid, kontrasepsi dan vitamin A dan D yang telah mempunyai hubungan dengan terjadinya perdarahan subkonjungtiva, penggunaan warfarin (Leiker, 2013).

7. Sequele normal pada operasi mata sekalipun tidak terdapat insisi pada konjungtiva.

8. Beberapa infeksi sistemik febril dapat menyebabkan perdarahan subkonjungtiva, termasuk septikemia meningokok, demam scarlet, demam tifoid, kolera, riketsia, malaria, dan virus (influenza, smallpox, measles, yellow fever, sandfly fever). 9. Perdarahan subkonjungtiva telah dilaporkan merupakan akibat emboli dari

patahan tulang panjang, kompresi dada, angiografi jantung, operasi bedah jantung.

10. Penggunaan lensa kontak, faktor resiko mayor perdarahan subkonjungtiva yang diinduksi oleh penggunaan lensa kontak adalah konjungtivakhalasis dan pinguecula (Mimura, 2013).

11. Konjungtivokhalasis merupakan salah satu faktor resiko yang memainkan peranan penting pada patomekanisme terjadinya perdarahan subkonjungtiva.

G. Diagnosis dan pemeriksaan

Diagnosis dibuat secara klinis dan anamnesis tentang riwayat dapat membantu penegakan diagnosis dan terapi lebih lanjut. Ketika ditemukan adanya trauma, trauma dari bola mata atau orbita harus disingkirkan. Apabila perdarahan subkonjungtiva idiopatik terjadi untuk pertama kalinya, langkah-langkah diagnostik lebih lanjut

(18)

biasanya tidak diperlukan. Dalam kejadian kekambuhan, hipertensi arteri dan kelainan koagulasi harus disingkirkan.

Pemeriksaan fisik bisa dilakukan dengan memberi tetes mata proparacaine (topikal anestesi) jika pasien tidak dapat membuka mata karena sakit; dan curiga etiologi lain jika nyeri terasa berat atau terdapat fotofobia (Chern, 2002).

Memeriksa ketajaman visual juga diperlukan, terutama pada perdarahan subkonjungtiva traumatik. Salah satu studi mengenai perdarahan subkonjungtiva traumatik dan hubungannya dengan luka / injuri lainnya oleh Lima dan Morales di rumah sakit Juarez Meksiko tahun 1996 – 2000 menyimpulkan bahwa sejumlah pasien dengan perdarahan subkonjungtiva disertai dengan trauma lainnya (selain pada konjungtiva), ketajaman visus < 6/6 meningkat dengan adanya kerusakan pada selain konjungtiva. Maka dari itu pemeriksaan ketajaman visus merupakan hal yang wajib pada setiap trauma di mata sekalipun hanya didapat perdarahan subkonjungtiva tanpa ada trauma organ mata lainnya (Graham, 2009).

Selanjutnya, periksa reaktivitas pupil dan mencari apakah ada defek pupil, bila perlu, lakukan pemeriksaan dengan slit lamp. Curigai ruptur bola mata jika perdarahan subkonjungtiva terjadi penuh pada 360°. Jika pasien memiliki riwayat perdarahan subkonjungtiva berulang, pertimbangkan untuk memeriksa waktu pendarahan, waktu prothrombin, parsial tromboplastin, dan hitung darah lengkap dengan jumlah trombosit (Chern, 2002).

H. Diagnosis banding (Graham, 2009)

1. Konjungtivitis, hal ini dikarenakan memiliki kesamaan pada klinisnya yaitu mata merah.

2. Konjungtivitis hemoragik akut 3. Sarcoma kaposi

I. Penatalaksanaan

Perdarahan subkonjungtiva biasanya tidak memerlukan pengobatan. Pengobatan dini pada perdarahan subkonjungtiva ialah dengan kompres dingin. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1- 2 minggu tanpa diobati (Ilyas, 2008).

(19)

Pada bentuk-bentuk berat yang menyebabkan kelainan dari kornea, dapat dilakukan sayatan dari konjungtiva untuk drainase dari perdarahan. Pemberian air mata buatan juga dapat membantu pada pasien yang simtomatis. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dicari penyebab utamanya, kemudian terapi dilakukan sesuai dengan penyebabnya. Tetapi untuk mencegah perdarahan yang semakin meluas beberapa dokter memberikan vasacon (vasokonstriktor) dan multivitamin. Air mata buatan untuk iritasi ringan dan mengobati faktor risikonya untuk mencegah risiko perdarahan berulang (Rifki, 2010).

Perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk ke spesialis mata jika ditemukan kondisi berikut ini :

1. Nyeri yang berhubungan dengan perdarahan.

2. Terdapat perubahan penglihatan (pandangan kabur, ganda atau kesulitan untuk melihat)

3. Terdapat riwayat gangguan perdarahan 4. Riwayat hipertensi

5. Riwayat trauma pada mata.

J. Komplikasi

Perdarahan subkonjungtiva akan diabsorpsi sendiri oleh tubuh dalam waktu 1 – 2 minggu, sehingga tidak ada komplikasi serius yang terjadi. Namun adanya perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk ke dokter spesialis mata jika ditemui berbagai hal seperti yang telah disebutkan diatas (Ilyas, 2008)

Pada perdarahan subkonjungtiva yang sifatnya menetap atau berulang (kambuhan) harus dipikirkan keadaan lain. Penelitian yang dilakukan oleh Hicks D dan Mick A mengenai perdarahan subkonjungtiva yang menetap atau mengalami kekambuhan didapatkan kesimpulan bahwa perdarahan subkonjungtiva yang menetap merupakan gejala awal dari limfoma adneksa okuler (Graham, 2009).

K. Prognosis

Secara umum prognosis dari perdarahan subkonjungtiva adalah baik. Karena sifatnya yang dapat diabsorpsi sendiri oleh tubuh. Namun untuk keadaan tertentu seperti sering mengalami kekambuhan, persisten atau disertai gangguan pandangan maka dianjurkan untuk dievaluasi lebih lanjut lagi (Ilyas, 2008).

(20)

DAFTAR PUSTAKA

American Academy. 2009. Subconjunctival Haemorrhages. Amerika

Chern, K. C. Emergency Ophthalmology: A Rapid Treatment Guide. 1st ed. 2002. McGraw-Hill, Massachusetts.

Graham, R. K. Subconjuntival Hemorrhage. 1st Edition. 2009. Medscape’s Continually Updated Clinical Reference. Diakses tanggal 27 Agustus 2013, dari http://emedicine.medscape.com/article/1192122-overview

Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. 2008. FK UI. Jakarta

Incorvaia C et all. Recurrent episodes of spontaneous subconjunctival hemorrhage in patients with factor XIII Val34Leu mutation. Ferrara, Itali. Diakses pada tanggal 27 Agustus 2013, dari http//pubmed.com/ac12/ Recurrent episodes of spontaneous subconjunctival hemorrhage in patients with factor XIII Val34Leu mutation/9372

Kaimbo D, Kaimbo Wa. Epidemiology of traumatic and spontaneous subconjunctival haemorrhages in Congo. Congo. 2008. Diakses pada tanggal 27 Agustus 2013, dari http//pubmed.com/ Epidemiology of traumatic and spontaneous subconjunctival haemorrhages in Congo/943iure

Leiker LL, Mehta BH, Pruchnicki MC, Rodis JL. Risk factors and complications of subconjunctival hemorrhages in patients taking warfarin. Kansan. USA. Diakses pada tanggal 27 Agustus 2013, dari http//pubmed.com/ Risk factors and

complications of subconjunctival hemorrhages in patients taking

warfarin/3i2r43

Mimura T, Yamagami S et all. Contanc lens-Induced Subconjuntival Hemorrhage. 2010. Tokyo, japan. Diakses pada tanggal 27 Agustus 2013, dari http//pubmed.com

Parmeggiani F et all. Prevalence of factor XIII Val34Leu polymorphism in patients affected by spontaneous subconjunctival hemorrhage. Ferrara, Itali. Diakses pada tanggal 27 Agustus 2013, dari http//pubmed.com/Prevalence of factor XIII Val34Leu polymorphism in patients affected by spontaneous subconjunctival hemorrhage/42u3-upr2

Pitts JF, Jardine AG, Murray SB, Barker NH. Spontaneous subconjunctival haemorrhage--a sign of hypertension?. Western Infirmary, Glasgow. Diakses pada tanggal 27 Agustus 2013, dari http//pubmed.com/aihds. Spontaneous subconjunctival haemorrhage--a sign of hypertension?.id

Rifki, M. 2010. Perdarahan Subkonjungtiva. Jakarta Diakses pada tanggal 27 Agustus 2013/www.medicastore/ Perdarahan Subkonjungtiva.3ii04308azs

(21)

Stolp W, Kamin W, Liedtke M, Borgmann H. [Eye diseases and control of labor. Studies of changes in the eye in labor exemplified by subconjunctival hemorrhage (hyposphagmas)] . Johanniter-Krankenhauses Bonn. Jerman. Diakses pada tanggal 27 Agustus 2013

Vaughan, Daniel G. Oftalmologi Umum,2000. Widia Meka. Jakarta

Gambar

Gambar 1. Anatomi mata
Gambar 2. Anatomi Konjungtiva  5  Gambar 2. Anatomi konjungtiva mata
Gambar 3. Perdarahan subkonjungtiva

Referensi

Dokumen terkait

Integr egrated ated circu circuit it ada adalah lah seb sebuah uah ko kompo mponen nen kom komplek plek yang terdiri yang terdiri dar dari i bah bahan an

Pemilik suatu merek yang merasa dirugikan karena merek produknya dipakai oleh pihak lain dapat mengajukan gugatan kepada pihak tersebut, yang secara tanpa hak

Ukuran tubuh pekerja Indonesia khususnya pemotong pelat eser, lebih kecil dibandingkan di negara-negara maju seperti Eropa. Kondisi tersebut sering

Hasil uji BNJ pada Tabel 7 menunjukkan bahwa jenis kayu marasi, asam jawa, balobo, dan kundang menghasilkan indeks retak lembaran pulp yang tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1) perbedaan ketrampilan menulis pengalaman pribadi siswa antara yang diajar dengan pendekatan quantum learning dan

Menurut Mardalis dalam bukunya Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal (2003:64) menyatakan, bahwa wawancara adalah teknik pengumpulan data yang digunakan

Daging merupakan makanan yang sehari-hari dikonsumsi.Daging didefinisikan sebagai urat daging (otot) yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging bagian bibir,