• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PENGEMBANGAN EKONOMI KAWASAN BERBASIS TEKNOLOGI ADAPTIF LOKASI OUTPUT KEGIATAN PEK TAL KABUPATEN PINRANG SULAWESI SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MODEL PENGEMBANGAN EKONOMI KAWASAN BERBASIS TEKNOLOGI ADAPTIF LOKASI OUTPUT KEGIATAN PEK TAL KABUPATEN PINRANG SULAWESI SELATAN"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PENGEMBANGAN

EKONOMI KAWASAN BERBASIS

TEKNOLOGI ADAPTIF LOKASI

OUTPUT KEGIATAN

PEK TAL KABUPATEN PINRANG SULAWESI SELATAN

Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelaitan dan Perikanan

Badan Penelitian dan Pengembanga Kelautan dan Perikanan

Kementerian Kelautan dan Perikanan

2015

(2)

LAPORAN TEKNIS

MODEL PENGEMBANGAN EKONOMI KAWASAN

BERBASIS TEKNOLOGI ADAPTIF LOKASI

DI KABUPATEN PINRANG

TIM PENELITI:

DR. IR. TUKUL RAMEYO ADI, M.T

PROF. DR. ZAHRI NASUTION

BAYU VITA INDAH YANTI, S.H

BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2015

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Laporan Teknis ini berisikan laporan kegiatan yang telah dilakukan dalam kegiatan Pengembangan Ekonomi Kawasan Berbasis Teknologi Adaptif Lokasi (Eks KIMBis) di Kabupaten Pinrang pada periode Januari hingga akhir Desember tahun 2015. Kegiatan yang dilaporkan terkait dengan target dan realisasi keuangan dan fisik kegiatan, yang dilanjutkan dengan hasil pelaksanaan kegiatan, permasalahan serta tindak lanjut yang direncanakan untuk melanjutkan kegiatan tersebut. Termasuk didalamnya hal-hal terkait dengan permasalahan dan kendala yang ditemui selama pelaksanaan kegiatan dan upaya pemecahannya.

Laporan ini dibuat berdasarkan petunjuk penyusunan yang telah ditetapkan oleh Bidang tata Operasional Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2015. Kami mengucapkan terima kasih kepada tim peneliti dan semua pihak yang turut berperanserta mendukung kegiatan dan pembuatan laporan ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pengurus Eks Kimbis di Kabupaten Pinrang yang selalu membantu terlaksananya kegiatan lapangan baik berupa pelaksanaan kegiatan pengawalan teknologi maupun pengumpulan data sosial ekonomi kelautan dan perikanan.

Semoga laporan ini dapat bermanfaat menjadi dasar dalam mempelajari kegiatan selanjutnya.

Jakarta, Akhir Desember 2015

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Satuan Kerja (Satker) : Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Judul Kegiatan : MODEL PENGEMBANGAN EKONOMI

KAWASAN BERBASIS TEKNOLOGI ADAPTIF LOKASI DI KABUPATEN PINRANG.

Status :  Baru  Lanjutan Pagu Anggaran : Rp.219.162.000,-

Tahun Anggaran : 2015

Sumber Anggaran : APBN/APBNP DIPA Satker Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2015. Penanggung jawab Output : Ir. Tukul Rameyo Adi, M.T

NIP. 19610210 199003 1 001 Penanggung jawab Pelaksana

Output

: Prof. (R) Dr. Ir. Zahri Nasution, M.Si. NIP. 19620105 1989031004

Penanggung Jawab Output

Dr. Ir. Tukul Rameyo Adi, M.T NIP. 19610210 199003 1 001

Jakarta, Desember 2015

Penanggung Jawab Pelaksana Output

Prof. (R) Dr. Ir. Zahri Nasution, M.Si. NIP.19620105 1989031004

Mengetahui/Menyetujui: Kepala Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Dr. Ir. Tukul Rameyo Adi, M.T NIP. 19610210 199003 1 001

(6)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... iv

Copy Rencana Oprasional Kegiatan Penelitian ... 1

I. PENDAHULUAN ... 9

1.1. Latar Belakang ... 9

1.2. Tujuan ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Budidaya Udang di Lahan Tambak ... 11

2.2. Aspek Ekonomi Usaha Budidaya Udang ... 15

2.3. Pengembangan Ekonomi Kawasan Berbasis Teknologi Adaptif Lokasi ... 16 2.4. Ketepatgunaan Teknologi Ada[tif Lokasi ... 19

2.5. Adopsi Teknologi Adaptif Lokasi ... 22

III METODE PELAKSANAAN KEGIATAN ... 26

IV HASIL PELAKSANAAN KEGIATAN ... 27

4.1. Perencanaan dan Evaluasi Kegiatan Kimbis ... 27

4.2. Perubahan Kimbis Menjadi PEK TAL ... 29

4.3. Koordinasi dan Sosialisasi di Dinas KP Pinrang ... 30

4.4. Peningkatan Peran Koperator Dalam Penerapan TAL ... 31

(7)

v

Halaman

4.6. Identifikasi Komponen Model PEK TAL ... 32

4.7. Peningkatan Peran Koperator Dalam Penerapan TAL ... 34

4.8. Sosialisasi Pengembangan Model PEK TAL ... 38

4.9. Studi banding mempelajari Probiotik RICA ... 40

4.10. Konsultasi Aplikasi Probiotik RICA ... 44

V. KESIMPULAN ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 52

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 53 -109

(8)

1

Rencana Operasional Kegiatan Penelitian

MODEL PENGEMBANGAN EKONOMI

KAWASAN BERBASIS TEKNOLOGI ADAPTIF

LOKASI DI KABUPATEN PINRANG

(Revisi Mei 2015)

TIM PENELITI:

DR. IR. TUKUL RAMEYO ADI, M.T

PROF. (R). DR. ZAHRI NASUTION

BAYU VITA INDAH YANTI, S.H

BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2015

(9)

2 RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN PENELITIAN

BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN

1. JUDUL KEGIATAN : MODEL PENGEMBANGAN EKONOMI KAWASAN BERBASIS TEKNOLOGI ADAPTIF LOKASI DI KABUPATEN PINRANG

2. SUMBER DAN TAHUN ANGGARAN : APBN/ APBNP 2015 3. STATUS PENELITIAN : Baru  Lanjutan * Jika penelitian lanjutan, maka diuraikan hasil penelitian sebelumnya

Hasil penelitian sebelumnya:

Pusat kegiatan pengembangan ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi di Kabupaten Pinrang telah dimulai sejak tahun 2012. Hingga akhir tahun 2013, telah dilakukan berbagai kegiatan pengawalan teknologi yang terkait dengan teknologi adaptif lokasi di bidang perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan pengolahan hasil perikanan. Pada tahun 2014 secara khusus telah dilakukan kerjasama dengan Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BP2BAP) Maros dan Universitas Muslim Indonesia (UMI) serta didukung oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pinrang untuk mengembangkan teknologi adaptif lokasi yaitu berupa teknologi pemanfaatan probiotik RICA dan teknologi pemanfaatan pakan alami Phronima pada berbagai desa di kecamatan pesisir Kabupaten Pinrang. Kegiatan tersebut dilakukan atas pertimbangan kebutuhan masyarakat perikanan terutama pembudidaya udang di lahan tambak. Dalam hal ini, pusat kegiatan yang dikembangkan berfungsi sebagai fasilitator pengembangan kapasitas bisnis masyarakat dan pengembangan kewirausahaan pelaku usaha perikanan. Dalam kaitannya dengan fungsi pengembangan kewitausahaan pelaku usaha perikanan telah dilakukan pengembangan usaha pembuatan media probiotik RICA, yang merupakan salah satu usaha yang mendukung dalam pengembangan budidaya udang windu. Dengan demikian dalam mempersiapkan model pengembangan ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi, maka pengembangan usaha pengadaan probiotik RICA merupakan salah satu faktor pendukung yang penting dikembangkan dalam mendukung budidaya udang.

4. PROGRAM : Penelitian dan Pengembangan KP

a. Komoditas : Perikanan

b. Bidang/Masalah : (sasaran pokok pembangunan KP

berdasarkan Rancangan RPJMN 2015-2019)  Kedaulatan pangan

 Pengembangan ekonomi maritim dan kelautan  Penguatan jati diri sebagai negara maritime  Pemberantasan ikan liar

c. Penelitian Pengembangan : Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

d. Manajemen Penelitian : Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi

(10)

3 e. Isu Strategis Pembangunan KP 2015-2019 :

 Pengembangan produk perikanan untuk ketahanan pangan dan gizi nasional  Peningkatan daya saing dan nilai tambah produk kelautan dan perikanan

 Pendayagunaan potensi ekonomi sumber daya KP  Pengelolaan sumber daya KP secara berkelanjutan

 Peningkatan kesejahteraan pelaku usaha kelautan dan perikanan  Pengembangan SDM dan IPTEK KP

f. Dukungan terhadap Indikator Kinerja BSC  Nilai Indeks Kesejahteraan Masyarakat KP  Pertumbuhan PDB Perikanan (%)

 Jumlah WPP yang terpetakan potensi di bidang sumberdaya sosial ekonomi KP untuk pengembangan ekonomi maritim dan kelautan yang berkelanjutan  Jumlah rekomendasi kebijakan yang diusulkan untuk dijadikan bahan

kebijakan (buah)

 Jumlah pengguna hasil Iptek litbang di bidang sumberdaya sosial ekonomi KP (kelompok)

 Jumlah Rekomendasi Kebijakan Pembangunan Kelautan dan Perikanan  Jumlah Data dan Informasi Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

 Karya Tulis Ilmiah Bidang Penelitian Sosial Ekonomi

 Model Pengembangan Ekonomi Kawasan Berbasis Teknologi Adaptif Lokasi  Jumlah Model Kebijakan Sosial Ekonomi Pembangunan Sektor Kelautan dan

Perikanan

5. JUDUL KEGIATAN : MODEL PENGEMBANGAN EKONOMI KAWASAN BERBASIS TEKNOLOGI ADAPTIF LOKASI DI KABUPATEN PINRANG.

6. LOKASI KEGIATAN : Kabupaten Pinrang

7. PENELITI YANG TERLIBAT :

No. N a m a Pendidikan/ Jabatan Fungsional Disiplin Ilmu T u g a s (Institusi) Alokasi Waktu (OB)

1. Dr. Ir. Tukul Rameyo Adi, M.T. S3/Ka. BBPSEKP Geospasial Penanggung Jawab Output 2

2. Prof. Dr. Zahri Nasution

S3/Peneliti Utama Sosiologi Pedesaan Penanggung Jawab Pelaksana Output/Anggota 4

3. Bayu Vita Indah Yanti, S.H. S1/Peneliti Muda

Ilmu Hukum

(11)

4

8. Latar Belakang

Pada hakikatnya, perkembangan otonomi sejak tahun 1999 ditandai antara lain dengan adanya landasan pembangunan yang tumbuh dan berkembang dari rakyat, diselenggarakan secara sadar dan mandiri oleh rakyat. Program pembangunan masyarakat tidak lagi dianggap sebagai objek dari pembangunan, tetapi menjadi subjek/pelaku dari pembangunan (Sumaryadi, 2005). Meski pun tujuan utama dari pembangunan adalah meningkatkan taraf hidup dan menciptakan masyarakat sejahtera secara fisik, mental maupun sosial, namun pendekatan yang digunakan dalam pembangunan harus senantiasa mengutamakan proses dari pada hasil. Pendekatan proses lebih memungkinkan dalam pelaksanaan pembangunan yang memanusiakan manusia. Dalam pandangan ini pelibatan masyarakat dalam pembangunan lebih mengarah kepada bentuk partisipasi, bukan dalam bentuk mobilisasi.

Partisipasi masyarakat dalam perumusan program membuat masyarakat tidak semata-mata berkedudukan sebagai konsumen program, tetapi juga sebagai produsen karena telah ikut serta terlibat dalam proses pembuatan dan perumusannya, sehingga masyarakat merasa ikut memiliki program tersebut dan mempunyai tanggungjawab bagi keberhasilannya serta memiliki motivasi yang lebih bagi partisipasi pada tahap-tahap berikutnya (Soetomo, 2006).

Pembangunan partisipatoris harus dimulai dari orang-orang yang paling mengetahui sistem kehidupan mereka sendiri, karena pada pendekatan partisipasi, mereka harus senantiasa menilai dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki, serta memberikan sarana yang perlu bagi mereka supaya dapat mengembangkan diri. Untuk itu diperlukan suatu perombakan dalam seluruh praktik dan pemikiran serta pola-pola bantuan pembangunan yang telah ada (Sumaryadi, 2005). Partisipasi masyarakat dalam pembangunan bisa didapatkan ketika masyarakat tersebut telah mampu membawa dirinya atau memiliki daya untuk ikut terlibat dalam pembangunan, sehingga konsep pembangunan partisipatif harus juga dibarengi dengan pemberdayaan masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat melalui upaya mewujudkan potensi kemampuan yang mereka miliki (Sumodiningrat, 1999). Dalam hal ini, pemberdayaan memiliki dua kecenderungan yaitu kecenderungan primer dan kecenderungan sekunder. Kecenderungan primer merupakan pemberdayan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi berdaya. Kecenderungan sekunder merupakan pemberdayaan yang menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi

(12)

5 individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menetapkan apa yang menjadi pilihan mereka.

Pembangunan masyarakat atau komunitas, dalam hal ini pemberdayaan menurut arti secara bahasa adalah proses, cara, perbuatan membuat berdaya, yaitu kemampuan untuk melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak yang berupa akal, ikhtiar atau upaya (Depdiknas, 2003). Dalam beberapa kajian mengenai pembangunan komunitas, pemberdayaan masyarakat sering dimaknai sebagai upaya untuk memberikan kekuasaan agar suara mereka didengar guna memberikan kontribusi kepada perencanaan dan keputusan yang mempengaruhi komunitasnya (Foy, 1994). Memberdayakan orang lain pada hakikatnya merupakan perubahan budaya, sehingga pemberdayaan tidak akan berjalan jika tidak dilakukan perubahan seluruh budaya organisasi secara mendasar. Perubahan budaya sangat diperlukan untuk mampu mendukung upaya sikap dan praktik bagi pemberdayaan yang lebih efektif (Sumaryadi, 2005).

Basis kegiatan pembangunan yang merupakan daerah pedesaan dapat merupakan kegiatan lintas desa satu kecamatan atau lintas desa lintas kecamatan. Batasan ini dapat menempatkan pusat pembangunan model pengembangan ekonomi kawasan sebagai sebuah kelembagaan yang dapat menjadi “agen pembangunan” di pedesaan. Kegiatan pusat pengembangan model ekonomi kawasan tersebut harus berbasis teknologi adaptif. Dengan demikian, pelaksanaan pengawalan teknologi perlu dilakukan guna memberdayakan masyarakat dan ekonominya untuk menghasilkan wirausahawan dan peningkatan kapasitas masyarakat pedesaan yang menjadi mitra pembangunan kelautan dan perikanan.

9. Tujuan :

a. Meningkatkan kapasitas masyarakat kelautan dan perikanan melalui penerapan teknologi adaptif lokasi melalui introduksi teknologi kelautan dan perikanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

b. Menghasilkan wirausahawan di tingkat pedesaan yang dapat memanfaatkan teknologi adaptif lokasi dalam usaha kelautan dan perikanan.

(13)

6

10. Perkiraan Keluaran (dikaitkan dengan output BBPSEKP):

Kegiatan ini pada tahun 2015 diharapkan dapat menghasilkan:

a. Meningkatkan kapasitas masyarakat pembudidaya udang dalam melaksanakan usaha berbasis yeknologi adaptif lokasi (probiotik dan pakan alami Phronema).

b. Menghasilkan wirausahawan di tingkat pedesaan yang memanfaatkan teknologi adaptif lokasi dalam usaha mendukung pengembangan usaha perikanan budidaya udang (berusaha mengembangkan media probiotik dan rintisan usaha memproduksi pakan alami Phronema).

c. Rumusan model pengembangan ekonomi kawasan suatu masyarakat berbasis teknologi adaptif lokasi.

11. Metodologi Penelitian :

Model Pendekatan

No Tujuan Model Pendekatan

1 a. Meningkatkan kapasitas masyarakat kelautan dan perikanan melalui penerapan teknologi adaptif lokasi melalui introduksi teknologi kelautan dan perikanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

- Melakukan penyebaran teknologi adaptif lokasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di sentra pengembangan ekonomi kawasan Kabupaten Pinrang.

2 b. Menghasilkan wirausahawan di tingkat pedesaan yang dapat memanfaatkan teknologi adaptif lokasi dalam usaha kelautan dan perikanan.

- Melakukan pengembangan

kewirausahawan di pedesaan terkait usaha yang mendukung

pengembangan usaha budidaya udang yang menjadi usaha utama

masyarakat. 3 c. Menyusun model pengembangan

ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi.

- Menyiapkan kelembagaan pusat pengembangan ekonomi kawasan di Kab. Pinrang.

Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini sebagian besar di analisis menggunakan pendekatan kualitatif. Analisis data kualitatif merupakan penelusuran terhadap pernyataan-pernyataan umum tentang hubungan antar berbagai kategori data yang berasal dari data yang tersedia (Marshall dan Rossman, 1989). Hal ini sejalan dengan pendapat Patton (2006), yang menjelaskan bahwa analisis data kualitatif adalah proses mengatur urutan data, mengorganisirnya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.

(14)

7 Dengan demikian, pekerjaan menganalisis data adalah mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, dan mengkategorikan, data yang didapat berdasarkan keperluan yang terkait dengan pertanyaan penelitian, dan kemudian diinterpretasikan serta dikemukakan dalam deskripsi analisis. Disamping itu, juga dilakukan analisis data secara kuantitatif sederhana terutama terkait dengan biaya dan pendapatan usaha.

Waktu dan Lokasi Penelitian

Waktu pelaksanaan kegiatan TA.2015 adalah Januari 2015 sampai Desember 2015. Lokasi kegiatan secara keseluruhan di Kabupaten Pinrang dengan pusat kegiatan berada di Kecamatan Suppa.

Data Yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan berasal dari peserta pengawalan teknologi yang merupakan evaluasi pelaksanaan kegiatan. Data yang terkait dengan kelompok mitra KIMBis (pembudidaya udang dan wirausahawan probiotik dan pakan alami Phronema) diidentifikasi perkembangan usahanya sejak mendapatkan program pengawalan dan pendampingan teknologi.

Teknik Pengumpulan Data

Data primer dikumpulkan menggunakan catatan lapangan, panduan kuesioner serta topik data yang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok evaluasi pelaksana kegiatandan kelompok biaya dan pendapatan usaha.

12. Rencana Anggaran Belanja (RAB):

MA Rincian KomposisiPembiayaan Jumlah (Rp.) Persentase (%)

521211 Belanja Bahan 24.774.000 11,3

521811 Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi

8.000.000 3,65

522141 Belanja Sewa 15.400.000 7,03

522151 Belanja Jasa Profesi 23.200.000 10,59

524111 Belanja perjalanan biasa 66.788.000 30,47

521213 Honor Output Kegiatan 45.000.000 20,53

521219 Belanja Barang Non Operasional Lainnya 36.000.000 16,43

(15)

8

14. DAFTAR PUSTAKA

Foy, Nancy. 1994.Empowering People at Work. London: Grower Publishing Company.

Marshall, C. dan Rossman, G. B. 1989. Designing Qualitative Research. Sage Publications, London.

Patton, M. Q. 2006. Metode Evaluasi Kualitatif. (Terjemahan Budi PuspoPriyadi). Pustaka Pelajar. Yogyakarta: 309.

Soetomo. 2006. Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Sumaryadi, I Nyoman. 2005. Perencanaan Pembangunan Daerah Otonom dan

Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Penerbit Citra Utama.

Sumodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat JPS. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

(16)

9

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada berbagai program pembangunan, masyarakat tidak lagi dianggap sebagai objek dari pembangunan, tetapi menjadi subjek/pelaku dari pembangunan (Sumaryadi, 2005). Pelibatan masyarakat dalam pembangunan lebih mengarah kepada bentuk partisipasi, bukan dalam bentuk mobilisasi. Partisipasi masyarakat dalam perumusan program membuat masyarakat tidak semata-mata berkedudukan sebagai konsumen program, tetapi juga sebagai produsen karena telah ikut serta terlibat dalam proses pembuatan dan perumusannya, sehingga masyarakat merasa ikut memiliki program tersebut dan mempunyai tanggungjawab bagi keberhasilannya serta memiliki motivasi yang lebih bagi partisipasi pada tahap-tahap berikutnya (Soetomo, 2006).

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat melalui upaya mewujudkan potensi kemampuan yang mereka miliki (Sumodiningrat, 1999). Pemberdayaan menurut arti secara bahasa adalah proses, cara, perbuatan membuat berdaya, yaitu kemampuan untuk melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak yang berupa akal, ikhtiar atau upaya (Depdiknas, 2003). Dalam beberapa kajian mengenai pembangunan komunitas, pemberdayaan masyarakat sering dimaknai sebagai upaya untuk memberikan kekuasaan agar suara mereka didengar guna memberikan kontribusi kepada perencanaan dan keputusan yang mempengaruhi komunitasnya (Foy, 1994).

Basis kegiatan Pengembangan Ekonomi Kawasan berbasis Teknolohi Adaptif Lokasi (PEK - TAL) berada di daerah pedesaan dan kegiatan tersebut dapat lintas desa satu kecamatan atau lintas desa lintas kecamatan. Batasan ini dapat menempatkan pusat PEK TAL sebagai sebuah kelembagaan yang dapat menjadi “agen pembangunan” di pedesaan. Kegiatan PEK TAL di pedesaan tersebut harus bermuatan IPTEK. Tujuannya dapat diwujudkan melalui 5 (lima) fungsi (untuk pemberdayaan masyarakat; pengembangan ekonomi masyarakat berbasis IPTEK; sarana kerjasama antara peneliti, penyuluh, dan masyarakat;

(17)

10 sarana kerjasama SKPD-SKPD terkait; dan sebagai laboratorium data sosial ekonomi kelautan dan perikanan).

Dengan demikian, pelaksanaan penerapan teknologi dan pendampingan yang dirintis oleh KIMBis perlu dilanjutkan guna memberdayakan masyarakat dan ekonominya untuk menghasilkan wirausahawan dan tenaga terlatih di pedesaan yang dapat menjadi mitra pembangunan kelautan dan perikanan. PEK TAL sebagai fasilitator bertujuan akhir menghasilkan kondisi masyarakat yang selalu up-date inovasi, sedangkan sebagai inkubator menghasilkan wirausahawan yang secara terus-menerus berkembang ke arah skala usaha yang bersifat komersil.

1.2. Tujuan

a. Meningkatkan kapasitas masyarakat kelautan dan perikanan melalui penerapan teknologi adaptif lokasi melalui introduksi teknologi kelautan dan perikanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

b. Menghasilkan wirausahawan di tingkat pedesaan yang dapat memanfaatkan teknologi adaptif lokasi dalam usaha kelautan dan perikanan.

c.

Menyusun model pengembangan ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi.

(18)

11

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Budidaya Udang di Lahan Tambak

Usaha budidaya udang yang pada awal perkembangannya mengalami peningkatan sangat pesat, dalam beberapa tahun terakhir ini mengalami berbagai permasalahan, baik yang bersifat teknis (tata ruang, sarana dan prasarana, penyakit, lingkungan, penerapan teknologi), maupun non teknis (SDM dan kelembagaan kelompok, permodalan, tuntutan pasar akan produk berkualitas dan aman untuk dikonsumsi serta keamanan berusaha).

Salah satu permasalahan yang dihadapi para petambak, terutama di sekitar wilayah Kabupaten Pinrang adalah rendahnya tingkat kelulusan hidup udang windu yang dipelihara, sehingga usaha pembesarannya mengalami kerugian. Salah satu upaya peningkatan kelulusan hidup udang windu yang dipelihara di tambak adalah menggunakan probiotik. Teknologi penggunaan probiotik ini merupakan teknologi yang diintroduksikan kegiatan IPTEKMAS dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya (P4B).

a. Persiapan Tambak Udang Windu

Dalam persiapan tambak, yang dilakukan pertama kali adalah pengecekan kondisi tambak. Semua bocoran pada pematang dan saluran tambak diperbaiki untuk menghindari terjadinya kontaminasi patogen (bakteri dan virus) apabila sewaktu-waktu terjadi wabah penyakit di sekitarnya. Apabila terdapat warna kuning di atas pematang tambak, maka perlu diwaspadai bahwa pematang tambak tersebut masih tergolong tanah sulfat masam (TSM).

Apabila memungkinkan lakukan pelapisan pematang dengan kapur dolomit secara berlapis-lapis, sedangkan di dalam petakan tambak juga dilakukan proses reklamasi, yaitu pengeringan dan pembilasan tambak secara berulang-ulang. Kalau air masih berwarna merah, berarti potensi kemasaman tambak tersebut masih tinggi. Oleh karena itu diperlukan sejumlah kapur bakar (CaO) di tambak tersebut. Lakukan penanaman mangrove kembali di sepanjang saluran pemasukan air agar nantinya dapat berfungsi sebagai biofilter dan bakterisida secara alami. Apabila areal tambaknya memungkinkan, buat petakan pengendapan, biofilter, tandon dan treatment.

(19)

12 Pada kondisi masih berair (sekitar 10 cm), lakukan “keduk teplok” (mengangkat lumpur hitam dari dasar tambak), kemudian lakukan pemberantasan hama dengan saponin 15-30 ppm tergantung salinitas airnya (makin tinggi salinitas, maka saponinnya makin rendah). Apabila masih ada ikan-ikan kecil dan krustase liar (udang, kepiting, dan sejenisnya) yang tidak mati, maka saponin tadi perlu dicampur dengan sedikit kaporit sekitar 2 ppm (2 kg/ha tambak dengan kedalaman air 10 cm).

Setelah empat hari, air dibuang, kemudian tanah dasar tambak dibajak dan dikeringkan secara sempurna hingga retak-retak agar limbah organik di dasar tambak teroksidasi sempurna. Kapur bakar (CaO) juga diperlukan untuk mempercepat proses oksidasi tersebut dengan cara menaburkan kapur bakar tersebut secara merata terutama pada bagian tambak yang masih berair.

Setelah tanah dasar menjadi retak-retak 1-2 minggu, lakukan pemupukan tambak sesuai kebutuhannya. Untuk tambak berpasir diperlukan pupuk organik sekitar satu ton/ha. Pupuk organik selain berfungsi sebagai penumbuh pakan alami, juga berfungsi untuk mengurangi porositas tanah dasar tambak. Pupuk Urea sebaiknya tidak digunakan pada kondisi tambak sedang kering, karena akan sia-sia saja, sedangkan pupuk SP36 dapat digunakan pada kondisi tambak kering ataupun berair. Pupuk SP36 sebaiknya tidak digunakan sebagai pupuk dasar di tambak tanah gambut yang asam humusnya tinggi, karena SP36 akan diikat oleh asam humus. Pada kondisi tambak dengan asam humus tinggi, sebaiknya pupuk SP36 diberikan sebanyak 0,2 – 1 ppm per minggu (sekitar 2-10 kg/ha dengan kedalaman air 1 m)..

Kemudian tambak diisi air langsung penuh (misal satu meter). Untuk pengisian air tambak udang tidak boleh dilakukan secara bertahap 10 cm setiap hari. Pengisian secara bertahap ini hanya dilakukan di tambak ikan bandeng, karena bandeng perlu klekap sebagai makanannya. Sementara itu, pada tambak udang, tumbuhnya klekap justru dapat menjadi masalah bagi udang yang dipelihara, karena klekap ini akan terapung dan akhirnya mati dan membusuk di dasar tambak, sehingga menjadi salah satu stressor bagi udang windu.

Pada saat air pasang telah stabil (1-2 jam setelah pasang), masukkan air baru ke dalam petakan tambak pemeliharaan udang windu. Apabila memiliki

(20)

13 petak tandon yang dilengkapi dengan biofilter, sebaiknya air disimpan di tandon dahulu sekitar 3-4 hari sebelum dimasukkan ke dalam petakan tambak. Hal ini dimaksudkan untuk menurunkan jumlah bakteri yang ada, serta bila memungkinkan juga untuk mengurangi peluang virus (WSSV) mendapatkan inangnya.

b. Penebaran Benur/Tokolan Sehat

Pengecekan dengan “Polymerase Chain Reaction” (PCR) untuk pengujian WSSV harus dilakukan sekitar tiga hari sebelum benur windu diambil di panti perbenihan. Benur yang sehat akan menunjukkan hasil negatif WSSV. Skrining benur juga perlu dilakukan dengan menggunakan formalin 200 ppm (tiga liter formalin dalam 15 L air) selama 20-30 menit. Apabila kematian benur melebihi 20%, menunjukkan bahwa benur tersebut kurang sehat.

Agar vitalitas benur windu lebih baik, sebaiknya benur ditokolkan 2-6 minggu sebelum ditebar di tambak. Benur yang telah ditokolkan ini dapat mempersingkat masa pemeliharaannya, yaitu dalam 2-3 bulan sudah bisa dipanen. Tokolan udang windu jenis ini sangat diperlukan di tambak TSM (tanah sulfat masam), karena tingginya kandungan besi dan aluminium di tambak TSM dapat merupakan stressor bagi udang, sehingga udang rentan terhadap serangan penyakit. Dengan menggunakan benur yang sudah dibantut, maka udang akan lebih tahan terhadap serangan penyakit yang biasanya terjadi antara umur 50-70 hari. Selain itu agar udang juga cepat mencapai ukuran konsumsi, maka padat penebaran di tambak TSM juga harus disesuaikan kondisi tanahnya, misal hanya 0,5-1 ekor/m2.

Penebaran benur maupun tokolan udang windu sebaiknya hanya dilakukan apabila air dalam petakan tambak telah dipersiapkan minimal dua minggu sebelumnya. Hal ini diperlukan agar fitoplankton telah tumbuh dengan stabil. Benur atau tokolan udang windu ditebar setelah cukup aklimatisasi dan adaptasi terhadap suhu dan salinitas air tambak.

(21)

14

c. Pengaturan Pakan dan Air Tambak

Pakan yang diberikan kepada udang windu yang dipelihara pada budidaya udang secara tradisional (ekstensif) pada dasarnya hanya bersifat tambahan saja, karena udang diharapkan makan plankton yang ada di tambak (fitoplankton dan zooplankton). Pakan harus sesuai mutu, ukuran dan jumlahnya. Pakan yang sudah berjamur dan berbintik kuning tua merupakan ciri khas pakan yang telah mengandung aflatoksin, yaitu racun yang dihasilkan oleh jamur yang dapat mematikan udang dalam waktu kurang dari 24 jam. Pakan tersebut sebaiknya tidak digunakan lagi. Agar pakan pellet tidak mudah berjamur, sebaiknya disimpan di atas papan yang kering dan sejuk.

Jumlah pakan yang diberikan setiap harinya harus disesuaikan dengan pertumbuhan dan kondisi udangnya pada saat sampling. Apabila pada saat sampling banyak didapat udang yang “molting” (ganti kulit), maka sebaiknya jumlah pakannya dikurangi. Hal ini mengingat, bahwa udang yang molting akan istirahat makan sekitar 36 jam. Jadi kalau pakannya justru ditambah, maka kelebihannya tersebut justru menjadi limbah organik yang dapat memicu perkembangbiakan bakteri V. harveyi dan WSSV yang dapat membahayakan udang windu di tambak. Sebaiknya jangan menggunakan pakan segar dari kelompok krustase seperti kepiting, kepala udang dan sebagainya, karena ini dapat menjadi “carrier” (pembawa) penyakit WSSV.

Dalam pengaturan air tambak, sebaiknya hanya mengganti air apabila diperlukan saja, artinya lakukan penggantian seminimal mungkin, karena makin banyak penggantian volume air justru dapat menimbulkan terjadinya udang stress. Perubahan warna air tambak sebaiknya diamati setiap saat. Warna air yang berubah-ubah setiap saat, misal pagi kuning, siang hijau, dan sore menjadi biru, merupakan indikator bahwa air tambak tersebut memiliki alkalinitas total yang rendah (di bawah 80 mg CaCO3 equivalen/L). Akibatnya dapat terjadi goncangan

pH air harian yang melebihi 0,5. Apabila hal ini terjadi, maka udang akan mudah mengalami stress. Oleh karena itu harus dilakukan aplikasi kapur dolomit di tambak tersebut. Warna air yang dianggap bagus untuk budidaya udang windu adalah hijau kecoklatan. Untuk mempertahankan warna air tersebut tetap baik,

(22)

15 dapat dilakukan dengan aplikasi bakteri probiotik tertentu maupun pemupukan susulan.

2.2. Aspek Ekonomi Usaha Budidaya Udang

Analisis ekonomi budidaya udang di tambak yang dikemukakan berasal dari hasil pengumpulan data di lapangan yang dilakukan para petambak di wilayah minapolitan di Kecamatan Suppa diperlihatkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Struktur Pembiayaan dan Keuntungan Usaha Budidaya Udang Vaname di Tambak Desa Wiring Tasi Kecamatan Suppa, Tahun 2014.

No Uraian Satuan Nilai (Rupiah)

A Investasi

1 Biaya sewa tambak 1 ha 3.500.000

2 Mesin pompa air (5 thn) Satu set 5.000.000

3 Pipa paralon 6 inchi (20 thn) 4 buah x Rp. 350.000 1.400.000 4 Pintu air kayu ulin (20 tahun) Satu set 1.800.000

5 Saringan air (1 tahun) Satu set 200.000

Jumlah investasi 11.900.000

B Biaya Tetap

Sewa tambak per siklus 0,7 x 0,5 x Rp.3.500.000

1.225.000 Penyusutan mesin pompa air 0,5 x 1.000.000 500.000 Penyusutan pipa paralon 0,5 x (1.400.000/20) 35.000

Penyusutan pintu air 0,5 x 90.000 45.000

Penyusutan saringan air 0.5 x 200.000 100.000

Jumlah Biaya Tetap 1.905.000

C Biaya Operasional

Probiotik RICA 18 ltr x Rp.30.000/ltr 540.000 Kapur bakar 30 sak x 7 kg Rp.7.500 per sak 225.000 Urea bertahap 50 kg per

minggu

250 kg x Rp.2.200 per kg

5.500.000 Solar 5 liter x 3 hari 15 x Rp.7.000 105.000 SP 36 bertahap 50 kg per

minggu

350 kg x Rp.1.900 per kg

665.000 Benih udang vaname 46.000

ekor

Rp.37 per ekor 1.702.000

Pakan udang 245,35 kg x Rp.9.000 2.208.150

Jumlah Biaya Operasional 10.945.150

D Jumlah Biaya Total 12.850.150

E Nilai Produksi Udang

300 kg size 75 45.000 per kg 13.500.000

200 kg size 65 50.000 per kg 10.000.000

Total nilai produksi - 23.500.000

(23)

16 Berdasarkan Tabel 1 dapat dikemukakan bahwa usaha tambak udang yang dilaksanakan para pembudidaya udang di wilayah Kecamatan Suppa memerlukan investasi minimal sebesar Rp.11.900.000 (belum termasuk modal untuk keperluan biaya operasional). Terlihat pula keperluan biaya opersional untuk mengusahakan tambak udang seluas 0,7 ha adalah sebesar Rp.10.945.150. Namun demikian dengan usaha pemeliharaan udang vaname saja tambak seluas 0,7 ha dapat memberikan keuntungan usaha sebesar Rp. 10.649.850 per siklus usaha selama 4 bulan.

2.3. Pengembangan Ekonomi Kawasan Berbasis Teknologi Adaptif Lokasi

Model Pengembangan Ekonomi Kawasan (PEK) Berbasis Teknologi Adaptif Lokasi (TAL) adalah rancang bangun kelembagaan untuk pengembangan kapasitas pelaku usaha kelautan dan perikanan berdasarkan pada sistem inovasi IPTEK dan sistem bisnis perikanan berbasis pada riset aksi yang dilaksanakan oleh BBPSEKP sampai tahun 2015 dan dijalankan dalam sebuah sistem (input, process dan output) menggunakan prinsip-prinsip dasar pengembangan ekonomi kawasan (kebutuhan, efektifitas, efisiensi, fleksibilitas, manfaat, pemerataan, keberlanjutan).

Pengembangan Ekonomi Kawasan (PEK) yang dimaksud adalah pengembangan ekonomi pada kehidupan masyarakat di wilayah desa-desa pesisir di 5 (lima) kecamatan, Kabupaten Pinrang. Teknologi Adaptif Lokasi (TAL) yang dimaksud adalah teknologi yang dikembangkan dan diterapkan pada budidaya udang dengan memperhatikan faktor pembatas yang terdapat dalam usaha budidaya udang di Kabupaten Pinrang. Dalam hal ini teknologi yang dikembangkan dan diterapkan adalah teknologi pro biotik RICA dan teknologi pakan alami Phronima. Oleh karena itu dalam rangka membentuk kelembagaan sistem inovasi iptek perlu diidentifikasi unsur-unsur yang terkait dengan input, proses, output dan dampak.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan input adalah Pemetaan Status (SDM, SDA, Lingkungan, Finansial, Sosial, Kelembagaan). Dalam hal ini perlu didentifikasi bagaimana status keberadaan sumber daya manusia pembudidaya yang ada saat ini untuk pengembangan ekonomi

(24)

17 kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi. Bagaimana status keberadaan sumber daya alam terutama lahan tambak yang ada saat ini untuk pengembangan ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi. Bagaimana status keberadaan lingkungan budidaya udang yang ada saat ini untuk pengembangan ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi. Bagaimana status keberadaan kondisi finansial (pembiayaan usaha) para pembudidaya yang ada saat ini untuk pengembangan ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi. Bagaimana status keberadaan kondisi sosial pembudidaya yang ada saat ini untuk pengembangan ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi. Bagaimana status keberadaan kondisi kelembagaan (organisasi dan pengaturan) terkait pembudidaya dan pengaturan yang ada saat ini untuk pengembangan ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi.

Unsur yang kedua terkait dengan input adalah Identifikasi Masalah (SDM, SDA, Lingkungan, Finansial, Sosial, Kelembagaan). Dalam hal ini perlu diketahui apakah terdapat permasalahan terkait dengan keberadaan sumber daya manusia pembudidaya yang ada saat ini untuk pengembangan ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi; Apakah terdapat permasalahan terkait dengan keberadaan sumber daya alam terutama lahan tambak yang ada saat ini untuk pengembangan ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi; Apakah terdapat permasalahan terkait dengan keberadaan lingkungan budidaya udang yang ada saat ini untuk pengembangan ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi; Apakah ada permasalahan finansial (pembiayaan usaha) para pembudidaya yang ada saat ini untuk pengembangan ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi; Apakah ada permasalahan sosial para pembudidaya yang ada saat ini untuk pengembangan ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi; Apakah ada permasalahan kelembagaan para pembudidaya yang ada saat ini untuk pengembangan ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi;

Unsur selanjutnya dari input adalah Ketersediaan Teknologi (Balitbang KP dan Non Balitbang KP). Hal ini diidentifikasi dengan cara mencari jawaban atas pertanyaan apakah tersedia teknologi yang berasal dari Balitbang Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) yang ada saat ini untuk pengembangan ekonomi

(25)

18 kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi; Apakah tersedia teknologi yang berasal dari Non Balitbang KP yang ada saat ini untuk pengembangan ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi;

Terkait dengan PROSES, maka unsur nya adalah Pertemuan Pengawalan Teknologi, yang dapat diidentifikasi dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut; Dalam rangka pembentukan kelembagaan sistem inovasi apakah telah dilakukan proses pertemuan pengawalan teknologi untuk pengembangan ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi; Unsur berikutnya adalah Kaji Terap, yang dapat dilakukan dengan adanya jawaban terhadap pertanyaan sbb; Dalam rangka pembentukan kelembagaan sistem inovasi apakah telah dilakukan proses kaji terap terhadap teknologi untuk pengembangan ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi; Begitu juga Temu Iptek / Pameran; Dalam rangka pembentukan kelembagaan sistem inovasi apakah telah dilakukan proses temu iptek atau pameran teknologi untuk pengembangan ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi; Studi Banding; Dalam rangka pembentukan kelembagaan sistem inovasi apakah telah dilakukan proses studi banding bagi pelaksana pembudidaya untuk pengembangan ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi;

Terkait dengan OUTPUT, maka unsur Produk; dapat didentifikasi dengan pertanyaan; Dengan adanya kelembagaan sistem inovasi apakah telah ada output berupa produk yang telah dihasilkan untuk pengembangan ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi; Yang selanjutnya adalah Pasar; dengan pertanyaan sbb; Dengan adanya kelembagaan sistem inovasi apakah telah ada output yang dapat dijual ke pasar yang telah dihasilkan untuk pengembangan ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi; Kemudian, Pemasaran dengan pertanyaan sbb; Dengan adanya kelembagaan sistem inovasi apakah telah ada output yang dapat dijual mengikuti sistem pemasaran yang berlaku di wilayah Indonesia lainnya untuk pengembangan ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi;

Terkait dengan DAMPAK, maka Peningkatan Kapasitas Usaha dapay diketahui dengan adanya pertanyaan sbb; Dengan adanya kelembagaan sistem inovasi apakah telah terjadi peningkatan kapasitas usaha masyarakat

(26)

19 pembudidaya terkait dengan pengembangan ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi; Kemudian, Peningkatan Ekonomi Kawasan dengan pertanyaan sbb; Dengan adanya kelembagaan sistem inovasi apakah telah terjadi peningkatan ekonomi kawasan dengan pengembangan ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi;

Hal tersebut diatas telah sesuai dengan apa yang telah dilakukan selama ini oleh pengurus KIMBis Suppa mulai berdirinya KIMBis di Pinrang, lebih mengarah menjadi fasilitator komunikasi antara masyarakat kelautan dan perikanan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan maupun pihak-pihak terkait lainnya yang dapat membantu memajukan usaha masyarakat kelautan dan perikanan di Kab. Pinrang. Untuk penerima bantuan KIMBis Pinrang terkait bantuan 1 (satu) set perlengkapan untuk pengembangbiakan probiotik pada tahun 2014, hingga saat ini masih digunakan oleh kelompok pembudidaya ikan (pokdakan) Samaturue di desa Wiringtasi, kec. Suppa. Bantuan perlengkapan ini dianggap cukup efektif dan tepat guna bagi penerima bantuan dalam melakukan usaha budidaya udang dengan menggunakan probiotik RICA (sekaligus menerapkan teknologi yang telah dilatihkan kepada penerima bantuan).

Untuk kegiatan pengawalan teknologi yang telah dilakukan selama ini, kegiatan pembuatan pakan dianggap lebih cocok untuk perikanan air tawar (kurang cocok dilakukan di lokasi pada saat pelatihan sebelumnya); untuk pelatihan pengolahan hasil perikanan, lebih banyak diterapkan untuk diversifikasi makanan olahan dari ikan, belum dikomersilkan; untuk pelatihan terkait penentuan fish founder dan GPS, memberikan dampak penggunaan alat tersebut oleh nelayan di Pinrang dan dianggap membantu meningkatkan hasil tangkapan ikan nelayan di Pinrang.

2.4. Ketepatgunaan Teknologi Adaptif Lokasi

Adams (1988) menyatakan bahwa “an innovation is an idea or object perceived as new by an individual” (dalam Musyafak dan Ibrahim, 2005). Definisi yang lebih lengkap tentang inovasi disampaikan oleh Van Den Ban dan Hawkins (1996) yang menyatakan: “an innovation is an idea, method, or object which is regarded as new by individual, but which is not always the result of

(27)

20 recent research” (dalam Musyafak dan Ibrahim, 2005). Dari beberapa definisi tersebut, inovasi mempunyai tiga komponen, yaitu;

(a) ide atau gagasan,

(b) metode atau praktek, dan (c) produk (barang dan jasa).

Untuk dapat disebut inovasi, ketiga komponen tersebut harus mempunyai sifat “baru”. Sifat “baru” tersebut tidak selalu berasal dari hasil penelitian mutakhir. Hasil penelitian yang telah lalu pun dapat disebut inovasi, apabila diintroduksikan kepada masyarakat yang belum pernah mengenal sebelumnya. Jadi, sifat “baru” pada suatu inovasi harus dilihat dari sudut pandang masyarakat calon penerima inovasi tersebut (calon adopter), bukan kapan inovasi tersebut dihasilkan. Pada tataran pemahaman yang lebih operasional, inovasi yang dihasilkan oleh suatu lembaga riset dan atau pengkajian dapat berwujud teknologi, ataupun kelembagaan atau suatu kebijakan.

Dalam proses diseminasi suatu inovasi baik berupa suatu teknologi dan ataupun kebijakan diharapkan cepat dapat diterima atau diadopsi oleh penerima atau kelompok sasaran. Oleh karena itu perlu diketahui faktor yang dapat mempengaruhi percepatan adopsi inovasi atau teknologi tersebut. Dalam hal ini, salah satu faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi inovasi oleh pengguna adalah sifat dari inovasi itu sendiri. Inovasi yang akan diintroduksikan harus mempunyai banyak kesesuaian (daya adaptif) terhadap kondisi biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya yang ada pada calon penerima inovasi atau teknologi tersebut.

Inovasi yang ditawarkan ke pengguna harus inovasi yang tepat guna. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Musyafak dan Ibrahim (2005) mengemukakan bahwa strategi untuk memilih inovasi yang tepat guna adalah menggunakan beberapa kriteria yaitu;

a). Harus dirasakan sebagai kebutuhan oleh pengguna,

b). Inovasi harus memberi keuntungan secara konkrit bagi pengguna, c). Inovasi harus mempunyai kompatibilitas/ keselarasan,

d). Inovasi harus dapat mengatasi faktor-faktor pembatas, e). Inovasi harus mendayagunakan sumberdaya yang sudah ada

(28)

21 f). Harus terjangkau oleh kemampuan finansial pengguna

g). Harus sederhana tidak rumit dan mudah dicoba dan diamati.

Inovasi yang diperkenalkan kepada pengguna dapat dikatakan tepatguna jika inovasi yang didiseminasikan dapat memenuhi beberapa kriteria, sebagaimana dikemukakan dalam dasar pemikiran, yaitu;

a). Inovasi yang disampaikan harus dirasakan oleh calon penerima sebagai kebutuhan yang penting dibandingkan yang dimiliki atau diterapkan oleh pengguna saat ini.

b). Inovasi yang disampaikan harus memberikan keuntungan secara konkrit bagi pengguna jika dibandingkan dengan cara atau metode atau peralatan yang digunakan sebelumnya.

c). Inovasi yang disampaikan harus mempunyai kompatibilitas atau keselarasan terhadap cara atau metode pengolahan yang diterapkan oleh pengguna pada waktu sebelumnya.

d). Inovasi yang diperkenalkan saat ini harus dapat mengatasi faktor-faktor pembatas yang ada dan terjadi pada masa lalu pengguna.

e). Inovasi yang diperkenalkan saat ini harus mendayagunakan sumberdaya yang sudah ada dan atau berada di sekitar pengguna.

f). Inovasi yang diperkenalkan harus terjangkau oleh kemampuan finansial pengguna untuk dapat menerapkan cara atau metode atau peralatan yang diberikan.

g). Inovasi yang diperkenalkan dan diberikan harus sederhana, tidak rumit dan mudah dicoba oleh pengguna serta mudah untuk diamati.

Tujuh kriteria diatas dapat digunakan untuk melihat apakah inovasi yang diperkenalkan dan diberikan oleh suatu lembaga sudah bersifat tepat guna bagi penerima bantuan yang diberikan tersbut. Dalam hal ini, semakin banyak kriteria-kriteria tersebut yang dipenuhi oleh suatu inovasi terkait dengan kondisi yang ada pada penerima inovasi, maka semakin besar peluang inovasi tersebut untuk diadopsi dan bermanfaat oleh pengguna (Musyafak dan Ibrahim, 2005). Sebaliknya, semakin sedikit kriteria-kriteria tersebut yang dipenuhi, maka

(29)

22 semakin kecil peluang inovasi tersebut dapat bermanfaat bagi penerima inovasi dalam proses diseminasi yang dilakukan.

2.5. Adopsi Teknologi Adaptif Lokasi

Adopsi dapat dikemukakan sebagai suatu hasil abstrak dari suatu kegiatan introduksi inovasi teknologi yang secara sederhana dapat digambarkan sebagai proses penyampaian pesan hingga diterimanya suatu pesan tersebut oleh penerima pesan. Faktor yang mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi teknologi antara lain adalah sifat inovasi, saluran komunikasi, ciri-ciri sistem sosial, kegiatan promosi, interaksi individu dan kelompoknya, sumber informasi dan faktor internal (Rogers, 1983). Dengan kata lain, percepatan adospsi inovasi teknologi tidak terlepas dari bagaimana kondisi pembudidaya baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat yang membentuk suatu sistem sosial, maupun peranan lembaga penyuluhan dalam proses introduksi teknologi akuakualtur.

Dengan dasar bahwa motivasi merupakan ruh dari pemberdayaan, maka pemberdayaan (empowerment) dapat berarti memberikan motivasi dan dorongan kepada masyarakat agar menggali potensi yang ada untuk ditingkatkan kualitasnya (Wahyuni, 2000). Dengan demikian, produk atau inovasi yang akan disampaikan ke pembudidaya ikan harus bermutu (good innovations), cara menyampaikan produk atau inovasi juga harus bermutu (good extension method), dan orang yang menyampaikan pun juga harus bermutu (good extension agent). Akhirnya, dengan penerapan total quality management dalam penyuluhan, diharapkan percepatan adopsi inovasi akan dapat berhasil.

Agen penyuluhan merupakan individu atau institusi yang mempunyai tugas pokok memberikan pendidikan informal kepada pembudidaya ikan dan keluarganya tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan usaha pembudidayaan ikan. Hal ini bermaksud agar mereka mampu, sanggup, dan berswadaya memperbaiki atau meningkatkan kesejahteraan keluarganya atau bila memungkinkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekelilingnya. Dalam konteksnya, agen penyuluh dapat berasal dari pembudidaya ikan (pembudidaya ikan penyuluh) dan penyuluh profesional (penyuluh dinas), sedangkan peneliti/pengkaji berperan sebagai pendukung.

(30)

23 Peran peneliti utuk menghasilkan teknologi yang sesuai dengan tuntunan dan kebutuhan akan menjadi strategis ditentukan oleh peran komunikasi penelitian. Analisis diseminasi terdapat formulasi informasi yang tergabung dalam sistem makro informasi yang merupakan suatu gambaran tentang mengalirnya informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Diseminasi dalam hal ini merupakan hasil dari formulasi komunikasi yang menuntut perlu adanya ketepatan berkomunikasi, yaitu bagaimana sebaiknya proses penyampaian pesan dari sumber kepada penerima dengan menggunakan media tertentu yang menimbulkan efek (Onong, 1977).

Laswell dalam Onong (1977) mengatakan bahwa proses komunikasi terjangkau dalam pertanyaan: ”who says what in which chanel to whom with what effect” yang terangkum pada lima unsur komunikasi sehingga jawaban dari pertanyaan yang diajukan yaitu 1) komunikator (source), 2) komunikan (receiver), 3) pesan (message), 4) media (chanel) dan 5) efek (effect). Unsur-unsur diatas merupakan proses komunikasi yang bertujuan untuk mencapai hasil (efek). Dalam hal ini, beberapa faktor penting yang berpengaruh terhadap diseminasi inovasi teknologi antara lain adalah hubungan sosial, struktur sosial, dan keterbukaan.

Penyebaran atau diseminasi suatu teknologi ke dalam suatu sistem sosial memerlukan sinergi yaitu perencanaan menyeluruh tentang teknologi yang akan disampaikan. Pentingnya strategi ini antara lain karena diseminasi mengandung unsur kesengajaan berupa kesengajaan mengintroduksikan suatu teknologi kedalam sistem sosial untuk mencapai tujuan tertentu. Selain itu dalam deseminasi terdapat target waktu, yaitu perubahan yang diharapkan terjadi dalam waktu yang tidak terlalau lama (Lionberger dan Gwin 1982).

Berdasarkan lokasi introduksi inovasi teknologi pengolahan ikan cucut di Kecamatan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan (Puslitbang Perikanan), diketahui bahwa inovasi teknologi tersebut diadopsi oleh masyarakat setempat (PRPPRSE, 2004). Bahkan, inovasi teknologi pengolahan ikan cucut tersebut telah diterima sebagai inovasi teknologi pula yang diadopsi masyarakat pengolah hasil perikanan di wilayah Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi dan wilayah Kabupaten Cilacap.

(31)

24 Di lain pihak, pada kegiatan introduksi inovasi teknologi penggunaan palka berinsulasi dalam kaitannya penanganan ikan hasil tangkapan perikanan laut di wilayah Kabupaten Sukabumi dan Banyuwangi telah pula diadopsi masyarakat nelayan setempat sebagai suatu inovasi yang dapat memberikan manfaat bagi mereka (PRPPSE, 2004). Inovasi teknologi penanganan ikan dengan sistem palka berinsulasi ini telah pula diadopsi oleh masyarakat nelayan perikanan tangkap laut di wilayah Kabupaten Jembrana, Nusa Tenggara Barat, Lampung dan Cilacap.

Hasil studi adopsi inovasi teknologi pengolahan ikan cucut yang dicontohkan, juga mengemukakan bahwa tingkat adopsi inovasi teknologi tersebut dipengaruhi secara nyata oleh tingkat pendidikan formal responden yang diteliti. Kemudian, diketahui pula adopsi inovasi teknologi tersebut berkorelasi positif terhadap umur, pendidikan non formal, jumlah tanggungan keluarga, jumlah tenaga kerja dalam keluarga, alasan berusaha dan kekosmopolitan.

Kemudian, adopsi inovasi teknologi tersebut juga berkorelasi positif terhadap keanggotaan responden dalam kelompok pengolah, ketersediaan sarana dan prasarana, dukungan kelembagaan, asal modal usaha dan pemasaran hasil. Di lain pihak, tersebarnya inovasi teknologi pengolahan ikan cucut ke daerah lainnya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan sifat teknologi, yaitu keuntungan relatif, kerumitan teknologi, kemudahan untuk dicoba dan kemudahan untuk diamati (PRPPSE, 2004).

Hasil studi lainnya mengungkapkan bahwa teknologi perikanan tangkap yang telah diintroduksikan oleh instansi terkait, seperti purse-seine atau mini purse-seine,long-line, rawai dasar dan cantrang diadopsi oleh masyarakat nelayan di wilayah penelitian, yaitu di Jawa, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Bali (PRPPSE, 2005). Bahkan, tingkat adopsi responden terhadap alat tangkap mini purse seine di tiap lokasi penelitian berada pada kategori tinggi, sedangkan untuk alat tangkap cantrang dan long-line berada pada kategori sedang hingga tinggi.

Tinggi rendahnya tingkat adopsi pada umumnya dipengaruhi oleh karakteristik internal individu responden dan eksternal masyarakat nelayan penerima inovasi teknologi tersebut. Adpun karakteristik internal yang berpengaruh adalah umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, pendapatan,

(32)

25 jumlah tanggungan keluarga, jumlah tenaga kerja keluarga, dan tingkat kekosmopolitan (PRPPSE, 2005). Sementara faktor eksternal terdiri dari kehadiran dalam kelompok, ketersediaan sarana dan prasarana, pengaruh tokoh masyarakat, dukungan kelembagaan, asal modal usaha, pemasaran hasil, dan keberadaan kelembagaan adat yang berlaku di wilayah penelitian (PRPPSE, 2005).

(33)

26

III. METODE PELAKSANAAN KEGIATAN

Dalam pelaksanaan kegiatan secara umum didasarkan pada dua fungsi yaitu sebagai fasilitator dalam meningkatkan peran kapasitas koperator atau masyarakat kelautan dan perikanan yang menjadi sasaran. Dalam hal ini PEK TAL sebagai kelembagaan yang mengintroduksi teknologi kelautan dan perikanan yang ada di masyarakat. Fungsi yang kedua adalah menghasilkan wirausahawan di tingkat pedesaan yang dapat memanfaatkan IPTEK dalam usaha kelautan dan perikanan yang bersifat komersil yang juga mendukung ke arah fungsi fasilitator.

Metode pelaksanaan kegiatan dalam kaitannya dengan peningkatan peran koperator dalam penerapan teknologi dilakukan kegiatan alih teknologi terhadap kooperator yaitu masyarakat kelompok sasaran. Proses alih teknologi tersebut juga dilakukan melalui beberapa kegiatan lainnya seperti studi banding, pameran, sosialisasi, pertemuan dan diskusi dengan nara sumber serta observasi lapang dan petakan contoh (demonstration plot). Kemudian, terkait dengan kegiatan pengembangan kewirausahawan di pedesaan pada usaha pengembangan budidaya udang dilakukan berdasarkan pada fungsi kelembagaan PEK TAL sebagai inkubator bisnis. Pada prinsipnya dari keseluruhan kegiatan tersebut diteliti beberapa aspek sebagai berikut;

1. Sejauhmana kesesuaian teknologi yang adaptif lokasi terhadap kondisi sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan masyarakat di wilayah studi ini dan dilanjutkan dengan kesiapan lokasi dalam penerapan teknologi adaptif lokasi (ketepatgunaan teknologi).

2. Sejauhmana adopsi teknologi yang adaptif lokasi dapat diterima oleh masyarakat pembudidaya di kawasan psesisir Kabupaten Pinrang.

3. Sejauhmana peningkatan peran kooperator dalam penerapan teknologi adaptif lokasi.

4. Identifikasi komponen model penyusun model pengembangan ekonomi kawasan berbasis teknologi adaptif lokasi.

(34)

27

IV. HASIL PELAKSANAAN KEGIATAN

Sampai dengan akhir bulan Juni 2015 atau triwulan 2 telah dilaksanakan beberapa kegiatan yang dapat dirinci sebagai berikut;

1. Kegiatan yang dilakukan pada periode Januari hingga Maret 2015 kesemuanya masih termasuk dalam kategori perencanaan dan evaluasi kegiatan tahun lalu. Termasuk didalamnya evaluasi singkat Kimbis secara keseluruhan baik sebagai fasilitator bisnis masyarakat yang menuju kepada exit strategy (Lampiran 1).

Berdasarkan Lampiran 1 terlihat pula bahwa Kimbis sebagai inkubator bisnis terlihat perkembangannya mulai dari inisiasi dan pembentukan kelembagaan, penumbuhan kelembagaan, pengembangan kelembagaan, pemantapan kelembagaan yang kesemuanya rencananya dilakukan hingga tahun 2015. Dengan demikian diharapkan pada tahun 2016 akan dicapai kemandirian kelembagaan Kimbis. Kemudian, terlihat pula pengembangan usaha Kimbis yang sejak awal di tahun 2013 telah difokuskan pada dua bidang usaha yaitu pembuatan media probiotik RICA dan pakan alami Phroneima. Namun demikian, pengembangan jaringan Kimbis baru dimulai sejak tahun 2014 dengan adanya kegiatan yang diikuti oleh calon wirausahawan yang mempelajari bagaimana proses pengepakan (packing) dan pembuatan merk (branding) yang dilakukan di Kimbis Gunung Kidul yang telah dahulu mengembangkan proses packing dan branding pada media probiotik dan bahkan telah diproduksi dan dijual maskipun terbatas untuk lingkungan sendiri.

Terkait dengan pengembangan calon wirausahawan media probiotik, maka penerima bantuan dari KIMBis Pinrang antara lain berupa bantuan 1 (satu) set perlengkapan untuk pengembangbiakan probiotik pada tahun 2014, hingga saat ini masih digunakan oleh kelompok pembudidaya ikan (pokdakan) Samaturue di desa Wiringtasi, kec. Suppa. Bantuan perlengkapan ini dianggap cukup efektif dan tepat guna bagi penerima bantuan dalam melakukan usaha budidaya udang dengan menggunakan probiotik RICA (sekaligus menerapkan teknologi yang telah dilatih ke penerima bantuan).

Untuk kegiatan pengawalan teknologi yang telah dilakukan selama ini, kegiatan pembuatan pakan dianggap lebih cocok untuk perikanan air tawar (kurang cocok

(35)

28

dilakukan di lokasi pada saat pelatihan sebelumnya); untuk pelatihan pengolahan hasil perikanan, lebih banyak diterapkan untuk diversifikasi makanan olahan dari ikan, belum dikomersilkan; untuk pelatihan terkait penentuan fish founder dan GPS, memberikan dampak penggunaan alat tersebut oleh nelayan di Kab. Pinrang dan dianggap membantu meningkatkan hasil tangkapan ikan nelayan di Kab. Pinrang. Kemudian juga dilakukan sosialisasi persiapan exit strategy KIMBis Pinrang yang rencananya akan dilakukan pada tahun 2016 dan sosialisasi pembentukan technopark di Kab. Pinrang tahun 2015.

Koordinasi perencanaan kegiatan Kimbis pada bulan Maret 2015 dilakukan terhadap pengurus KIMBis Kabupaten Pinrang di lokasi Kimbis di Desa Wiringtasi, Kabupaten Pinrang. Kegiatan koordinasi program kerja KIMBis Kab. Pinrang 2015, dengan fokus kegiatan tetap pada kegiatan pengawalan teknologi probiotik RICA dan Phronima suppa untuk budidaya udang di Kab. Pinrang. Kegiatan direncanakan akan dilakukan pada lokasi yang belum pernah menjadi lokasi penyebaran teknologi yaitu di wilayah kecamatan Mattero Sompe, Cempa, dan Duampanua (lokasi yang belum pernah dilakukan kegiatan pengawalan teknologi tersebut).

Pada bulan Maret ini juga dilakukan pertemuan dengan Kepala Dinas KP Kab. Pinrang untuk melakukan sosialisasi dan koordinasi program kerja KIMBis Pinrang 2015 dan sosialisasi pembentukan technopark 2015 serta sosialisasi mempersiapkan exit

strategy KIMBis Pinrang 2016. Salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan untuk

mengoptimalkan kinerja dan capaian pengelolaan kawasan minapolitan dan industri perikanan di Kabupaten Pinrang, pada tanggal 9 Maret 2015 telah dilakukan pertemuan bersama para pemangku kepentingan terkait pengembangan usaha budidaya udang di Kabupaten Pinrang bertempat di Kantor Desa Tasiwalie. Pertemuan ini dibuka oleh Ir. Nurdin (Kabid. Perikanan Budidaya Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Pinrang), dan ditutup oleh Ir. Budaya (Kepala Dinas KP Kab. Pinrang).

Pertemuan ini dihadiri oleh para pembudidaya udang, pedagang pengumpul udang, Prof. Zahri Nasution dan Bayu Vita Indah Yanti, SH (pengurus KIMBis Pusat untuk Kab. Pinrang), Prof. Hattah Fattah (akademisi dari UMI Makassar), perwakilan PT ATINA Sidoarjo (perusahaan pengekspor udang), para penyuluh perikanan, dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Pinrang. Kegiatan ini merupakan kegiatan bersama yang ditujukan untuk melakukan identifikasi lebih lanjut mengenai permasalahan terkait usaha budidaya udang windu yang merupakan komoditas unggulan dari kabupaten ini, terutama setelah adanya beberapa kegiatan dari beberapa institusi yang ditujukan untuk mempercepat peningkatan produktivitas kawasan minapolitan ini.

(36)

29

Kegiatan ini merupakan salah satu hasil dari inisiasi beberapa pengurus KIMBis Suppa Kab. Pinrang yang telah menjadi pengurus dalam Badan Koordinasi Pengelolaan Kawasan Minapolitan dan Industrialisasi Perikanan Kab. Pinrang (Kawasan LOWITA) periode 2014-2019 yang ditetapkan pada tanggal 7 Agustus 2014 melalui Keputusan Bupati Pinrang No.523/326/2014.

Ir Nurdin mewakili Kepala Dinas KP Kab. Pinrang membuka acara pertemuan dengan pembudidaya udang di desa tasiwalie kecamatan

Suppa

dari kiri ke kanan Prof.Hattah (Dosen UMI Mks), Prof.Zahri (KIMBis Pusat),dan PT ATINA Sidoarjo dalam pertemuan dengan

pembudidaya udang di desa tasiwalie kecamatan Suppa

Ir. Budaya (Ka. Dinas KP Kab. Pinrang) pada saat penutupan acara pertemuan

dengan pembudidaya udang di desa tasiwalie kecamatan Suppa

2. Kegiatan yang dilakukan pada periode April dan Mei 2015 merupakan periode perubahan secara administratif terjadi pada kegiatan Kimbis yang diarahkan menjadi Pengembangan Ekonomi Kawasan Berbasis Teknologi Adaptif Lokasi (PEK TAL). Pada saat ini dilakukan beberapa kali diskusi dan pengarahan yang dilakukan oleh Bidang tata Operasional maupun oleh Sekretariat Kimbis serta Penanggung Jawab Output (PPO).

Hasil akhir dari kegiatan pada periode ini adalah perubahan atau penyesuaian Rencana Operasional Kegiatan Penelitian (ROKP) dari semula bernama KIMBis menjadi PEK TAL (sebagaimana terdapat pada Lampiran 2). Perubahan yang terjadi juga didasarkan pada RKA KL yang disampaikan oleh Bidang Tata Opersional BBPSE KP.

(37)

30 3. Kegiatan yang dilakukan pada bulan Juni 2015 adalah koordinasi dan sosialisasi kegiatan Eks Kimbis serta temu Iptek dalam rangka penyusunan unsur pembentuk model kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pinrang dan pengurus Kimbis di lokasi (1 paket).

Tujuan kegiatan ini antara lain adalah agar mitra kerja Eks Kimbis di lokasi yang berfungsi sebagai pemanfaat dan pembina utama lembaga Kimbis yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pinrang beserta aparat nya yang terkait pada berbagai bidang tugas dapat memahami adanya perubahan Kimbis menjadi suatu lembaga lain pada tahun 2016.

Disamping itu, petugas Eks Kimbis Pusat Kabupaten Pinrang juga berkesempatan menjelaskan hasil-hasil yang dicapai Eks Kimbis sejak tahun 2012 hingga 2014. Juga dijelaskan perubahan yang terjadi dari semula kegiatan Kimbis menjadi PEK TAL yang akan dilaksanakan pada periode Juni hingga akhir Desember 2015.

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pinrang yang disampaikan oleh Kepala Dinas menanggapi bahwa meskipun terjadi perubahan tata penamaan sebaiknya fungsi sebagaimana Kimbis selama ini tetap dilakukan. Hal ini akan banyak membantu tugas yang berkaitan dengan pembangunan perikanan di wilayah Kabupaten Pinrang. Hal ini terutama terkait dengan penyebarluasan teknologi yang bermanfaat bagi peningkatan produksi dan pendapatan masyarakat pembudidaya udang.

Dikemukakan pula bahwa dengan adanya lembaga Kimbis ini, teknologi yang dihasilkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) dapat langsung dimanfaatkan masyarakat. Demikian pula umpan baliknya bagi Balitbang KP dapat secara langsung diketahui guna penyempurnaan teknologi sehingga dapat diterapkan kembali oleh masyarakat perikanan di wilayah ini. Begitu pula, dengan adanya kerjasama dengan pihak lembaga penelitian lainnya (dalam hal ini Universitas Muslim Indonesia Makasar; dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pintang, PT Atina sebagai Eksportir pemasaran udang), maka upaya saling melengkapi teknologi dan non teknologi

(38)

31 yang diterapkan terhadap masyarakat perikanan akan semakin dapat diharapkan meningkatkan produksi dan pendapatannya.

4. Pada bulan Juni 2015 ini juga dilakukan kegiatan pertemuan Peningkatan Peran Kooperator Dalam Penerapan Teknologi Adaptif Lokasi sebanyak 2 paket (satu dilaksanakan terpusat di Desa Wakka dan satu dilaksanakan terpusat di Desa Paria). Masing-masing peserta berjumlah 30 orang anggota masyarakat pembudidaya sebagai kelompok sasaran (2 paket).

Pada prinsipnya kegiatan pertemuan Peningkatan Peran Kooperator Dalam Penerapan Teknologi Adaptif Lokasi yang dilaksanakan di Desa Wakka dan di Desa Paria merupakan upaya peningkatan kapasitas anggota masyarakat pembudidaya udang agar mereka lebih dapat berperan dalam penerapan teknologi adaptif lokasi. Dalam pertemuan ini anggota masyarakat yang mengikuti merupakan mereka yang belum pernah mengikuti pertemuan yang sama, sehingga diharapkan dapat meningkatkan peran masing-masing kooperator tersebut dalam penerapan teknologi adaptif lokasi.

Teknologi adaptif lokasi yang diperkenalkan adalah pemanfaatan probiotik RICA dalam upaya perbaikan lingkungan tambak udang. Di lain pihak teknologi adaptif lainnya yang diperkenalkan adalah pemanfaatan pakan alami Phronima dalam budidaya udang termasuk bagaimana memproduksinya dan keuntungan penggunaannya dalam budidaya udang (materi terlampir). Kedua teknologi adaptif lokasi ini saling melengkapi dan dapat digunakan sekaligus dalam periode budidaya udang, sehingga diharapkan hasil yang optimal untuk proses produksi udang di lahan tambak kelompok sasaran dan masyarakat perikanan budidaya sekitarnya.

5. Pada bulan Juni ini juga dilakukan pertemuan atau rapat dengan pengurus Eks Kimbis di lokasi dengan materi menjelaskan kuesioner dan tugas pengumpulan data yang harus dilakukan oleh para enumerator di lapangan.

(39)

32 Pada pertemuan yang dijelaskan kuesiner yang akan digunakan dalam pengumpulan data terhadap kelompok sasaran.

Pertama adalah kusioner yang berisikan evaluasi terhadap penerapan teknologi adaptif lokasi yang diperkenalkan kepada masyarakat. Dalam hal ini diteliti tingkat adopsi dan difusi nya dalam masyarakat pembudidaya udang di wilayah Kabupaten Pinrang. Hasilnya diharapkan akan menggambarkan adanya peran kooperator dalam penerapan teknologi adaptif lokasi (contoh kuesioner pada Lampiran 3 dan hasilnya pada Lampiran 4).

Kedua adalah kuesioner pendapat masyarakat kelompok sasaran terkait dengan kesesuaian teknologi adaptif lokasi terhadap kondisi sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan masyarakat tersebut. Jawaban atas pertanyaan dalam pengumpulan data ini merupakan dasar kesimpulan salah satu input dalam penyusunan model PEK TAL. Kesimpulan ini akan dikaitkan analisisnya terhadap ketersediaan input lainnya dalam penyusunan unsur pembentuk model Pengembangan Ekonomi Kawasan Berbasis Teknologi Adaptif Lokasi (PEK TAL). Hasilnya diharapkan akan menggambarkan sejauhmana kesiapan lokasi dalam penerapan teknologi adaptif lokasi (contoh kuesioner pada Lampiran 5 dan hasilnya pada Lampiran 6).

6. Pada bulan September 2015 dilakukan pertemuan Pertemuan FGD Identifikasi Komponen Model IPTEK Berbasis TAL di Lokasi Eks Kimbis Kab. Pinrang.

Pertemuan FGD dimoderatori oleh Sunarso, SE pengurus Kimbis; Kemudian dikemukakan hasil survey tentang pengumpulan data evaluasi penerapan teknologi adaptif lokasi oleh Pengurus Kimbis Pusat yaitu Prof. Dr. Zahri Nasution. Kemudian dilanjutkan paparan dari Dinas KP Kab. Pinrang tentang potensi pembangunan perikanan budidaya udang dan dukungan Dinas KP dalam kegiatan KIMBis di Kab. Pinrang (Lampiran 7).

Dijelaskan oleh Prof. Zahri Nasution bahwa penerapan teknologi adaptif lokasi yang diperkenalkan kepada masyarakat yang dalam hal ini diteliti tingkat

Gambar

Tabel  1.  Struktur  Pembiayaan  dan  Keuntungan  Usaha  Budidaya  Udang  Vaname  di Tambak Desa Wiring Tasi Kecamatan Suppa, Tahun 2014

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian Shanty (2011) menemukan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya kenakalan remaja adalah ketidakberfungsian keluarga, dimana peran orang tua dalam

02 Rasio penyuluh agama yang berkualitas terhadap umat beragama Khonghucu 1 : 5000 Pecahan 03 Jumlah Peserta Didik Pada Pendidikan Keagamaan Khonghucu 3026 orang

Pada posisi akhir bunyi [r] yang tidak dapat diproduksi dengan baik oleh informan terdapat dalam kata daftar.. Jika informan CP 1 memproduksinya menjadi [dafta r ], berbeda

Pendidikan Dokter Spesialis Anestesi dan Terapi Intensif FKUNS/RSDM yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana

Rasio NPL dan BOPO secara parsial memiliki pengaruh positif yang tidak signifikan terhadap CAR pada Bank Umum Swasta Nasional Devisa di Indonesia dengan

Dengan laju pertumbuhan minus sebesar -93,25 persen di tahun 2015 nilai komponen inventori atas dasar harga berlaku sebesar -0,11 triliun rupiah atau menurun 105,83 persen

This report demonstrated the benefit of paramedian forehead flap for reconstruction of the nose to the Otorhinolaryngology Head and Neck surgeon, as skin flap

Faktor-faktor yang mempengaruhi luas kebakaran hutan dan hutan rawa gambut di Sumatera, Kalimantan, dan Papua adalah harga kayu bulat, harga ekspor CPO, el nino,