• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG MADRASAH DI LINGKUNGAN PESANTREN, MADRASAH DI LUAR PESANTREN DAN PRESTASI BELAJAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI TENTANG MADRASAH DI LINGKUNGAN PESANTREN, MADRASAH DI LUAR PESANTREN DAN PRESTASI BELAJAR"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI TENTANG MADRASAH DI LINGKUNGAN PESANTREN, MADRASAH DI LUAR PESANTREN

DAN PRESTASI BELAJAR A. MADRASAH DI LINGKUNGAN PESANTREN

1. Pendidikan Madrasah di Lingkungan Pesantren

Sistem perpaduan madrasah pondok pesantren sulit menempatkan posisi yang seimbang diantara kurikulum yang ada. Realita di lapangan terjadi dominasi salah satu kurikulum tertentu akibat pemberlakuan kebijakan pemerintah. Pemberlakuan standar kelulusan Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu arus besar yang mengerus pengembangan kurikulum keilmuan pesantren.

Pondok Pesantren seakan dihantui ketakuan tatkala santrinya tidak lulus Ujian Nasional. Lembaga Pendidikan favorit dibawah naungan Depag menjadikan nilai Ujan Nasional sebagai syarat utama penerimaan siswa baru. Sementara keilmuan pesantren dianggap sebagai pelajaran tambahan saja, bahkan tidak dianggap syarat penting masuk ke dalam lembaga pendidikan Islam tersebut. Ketakutan inilah yang menyebabkan pengembangan kajian kitab kuning yang menjadi basic keilmuan pesantren menjadi terpinggirkan dari kurikulum lainnya (Abuddin Nata, 2001: 104).

Kitab kuning merupakan kitab yang ditulis para ulama terdahulu yang diambil dari kajian Al qur’an dan Hadits. Kajian kitab kuning merupakan salah satu syarat utama dalam pendidikan pondok pesantren di Indonesia (Abdul Mujib, 2008:234). Dari kitab inilah nilai-nilai Islam ditransformasikan kepada para santri agar terbentuk karakter yang islami. Prinsip-prinsip yang dikembangkan adalah:

1) Memiliki kebijaksanaan menurut ajaran Islam 2) Memiliki kebebasan yang terpimpin

3) Kemandirian

(2)

4) Memiliki kebersamaan yang tinggi 5) Penghormatan yang tinggi pada guru 6) Kesederhanaan

Enam prinsip itulah yang menjadi focus dalam pendidikan keilmuan pesantren. Dari arti kata, ruhnya pondok pesantren itu berasal dari kitab kuning yang menjadi basic tranformasi akhlak santri.

Peran sistem madrasah di pondok pesantren sangat komplek dibandingkan dengan lembaga pendidikan umum dan lembaga pendidikan sistem madrasah yang tidak memakai pondok pesantren (Arifin, 2001:248). Posisi kurikulum keilmuan pesantren berbasis kitab kuning ini masih belum cukup banyak diterapkan terfokus oleh pondok pesantren. Kalaupun ada hanya dilakukan sebatas sambilan dimana tidak seperti focus pada persiapan Ujian Nasional. Bahkan ada pondok pesantren yang tidak menerapkan sama sekali kajian kitab kuning ni.

Kurikulum yang tidak diterapkkan maka posisi Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah yang ada di dalam pondok pesantren tak jauh berbeda dengan sistem madrasah tanpa pesantren. Kualitas lulusan pendidikan sistem madrasah yang seperti ini juga tak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan sekuler. Perbedaan itu terlihat saat santri lulusan pondok pesantren diminta mengisi pengajian agama ditengah masyarakat. Bagi kalangan Islam tradisional dan kalangan Nahdatul Ulama yang menjadi mayoritas umat Islam di Indonesia, kepahaman seseorang terhadap kitab kuning menjadi syarat kelayakan menjadi kyai, ustadz di tengah masyarakat. Apabila seorang santri lulusan pondok pesantren tidak paham membaca dan memahami kitab kuning maka akan memperburuk image warga padanya. Inilah yang harus dihindari dan dipahami bagi kalangan pondok pesantren dalam mendidik santrinya (Rusli Karim, 2001:134).

(3)

Kelemahan penerapan sistem madrasah di pondok pesantren harus segera dibenah. Tidak boleh ada dikotomi antar kurikulum yang diterapkan. Semuanya harus dianggap mempunyai nilai yang sama bagi pengembangan karakter santri. Santri tidak hanya harus menguasai persoalan agama dan pengetahuan umum, tapi dituntut berakhlak dan berprilaku sesuai tututan keilmuan oesantren. Sebaliknya, santri tidak hanya dituntut berakhlak Islami saja tai perlu pengetahuan persoalan agama dan umum agar mampu hidup berdampingan di tengah masyarakat yang modernis ini.

2. Sistem Madrasah di Lingkungan Pesantren

Langkah-langkah yang perlu diambil untuk menguatkan sistem madrasah ini adalah pembaruan dari sisi pola pengajaran, pengadaan guru spesialis di bidangnya dan pengadaan fasilitas fisik dan non fisik.

1) Pola Pengajaran

Pola pengajaran di Pondok ada dua jalur yaitu melalui jalur formal dan informal. Jalur formal dilakukan di dalam kelas dengan aturan-aturan pendukung seperti pakaian, perlengkapan belajar dan penampilan yang harus ditaati. Selain itu juga melalui halaqah (seminar). Sedangkan jalur informal dilakukan melalui jalur sorogan (belajar individu), jalsah (diskusi), dan wetonan (belajar bersama melalui kyai)

Perbedaan mencolok selama ini, pola pengajaran kurikulum Depdiknas dan Depag selalu terpaku pada jalur formal. Sedangkan keilmuan pesantren lebih banyak ditransformasikan melalui jalur informal. Masing-masing pola pengajaran tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Jalur formal membuat hubungan santri dengan pendidik menjadi kaku sedangkan jalur informal hubungan

(4)

santri lebih akrab dengan pendidik sehingga mempermudah tranformasiilmu.

Bagi pelajaran- pelajaran yang membutuhkan keseriusan totalitas seperti eksakta dan bahasa dibutuhkan jalur formal. Tapi jalur informal seperti jalsah dapat juga dikembangkan karena terkesan lebih santai dan memudahkan otak santri dalam memahaminya.

Seorang pendidik dilingkungan pondok pesantren tidak boleh membedakan antara yang menangani pengajaran kurikulum Depdiknas, Depag dan keilmuan pesantren. Masing-masing harus bersatu dalam tataran nilai cita-cita pondok sesuai dengan kreatifitas mereka dalam penyampaian materi. Pengajaran kurikulum Depdiknas dan Depag sewaktu-waktu dituntut mengajar informal agar pola iteraksi santri dengan pendidik menjadi lugas. Dalam hal ini pengajar kurikulum Depdiknas harus menunjukan nilai prilaku yang dianut pondok sebagaimana pengajar kurikulum lainnya juga lebih dituntut. Begitu juga, pengajar keilmuan pesantren juga dituntut mampu mengajar secara formal agar sewaktu-waktu santri mampu menyampaikan informasi melalui jalur formal di tengah masyarakat.

2) Pengadaan Guru Spesialis

Pondok pesantren harus mempunyai keberanian dalam menyeleksi tenaga pendidik. Tidak hanya cukup berakhlak islam tapi juga harus mempunyai kemampuan spesialisasi dibidangnya. Baik itu mencakup materi pada kurikulum Depdikna, Depag ataupun keilmuan pesantren.

Kasus di beberapa pondok pesantren banyak pendidik yang mengajar tidak sesuai dengan kafa’ahnya (keahlian). Pelajaran Biologi terkadang diajar oleh alumni lembaga pendidik agama. Pelajaran agama juga terkadang diajar oleh pendidik umum. Hal ini akan menimbulkan dampak serius dalam penyampaian sehingga

(5)

menimbulkan bias bagi santri pasca lulus dari pesantren. Spesialisasi guru sangat dituntut agar mutu lulusan sistem madrasah pondok pesantren dapat bersaing dengan lembaga pendidik umum dan pendidik Islam lainnya.

3) Pengadaan Fasilitas Fisik dan Non Fisik

Harus ada keseimbangan dalam pengadaan fasilitas. Pondok pesantren tidak boleh hanya fokus menyiapkan sarana untuk pengembangan kurikulum depag dan keilmuan pesantren saja tapi juga harus melengkapi fasilitas pengembangan kurikulum Depdiknas. Pengadaan laboratorium IPA, sarana olahraga, pustaka, labor computer dan internet serta fasilitaspenunjang lainnya. Pengadaan fasilitas juga tidak hanya berupa bangunan fisik semata tapi didukung dengan mengadakan kegiatan-kegiatan lomba bernuansa ilmiah. Pembentukan kelompok-kelompok studi ilmiah juga akan sangat mendukukung pengembangan sistem semua kurikulum, baik itu bidang sains dan tekhnologi ataupun bidang agama dan pengetahuan umum.

Dengan menerapkan ketiga langkah tersebut maka sistem madrasah akan menjadi tawazun terhadap semua kurikulum yang ada. Sudah seharusnya khittah (ciri khas) sistem madrasah mampu menyeimbangkan posisinya terhadap tiga kurikulum tersebut sesuai dengan prinsip yang dicetuskan para pendahulunya.

3. Perkembangan Madrasah di Lingkungan Pesantren

Unsur-unsur tersebut menurut Zamakhsyari Dofier ada lima: pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik, dan kiai. Namun berdasarkan kenyataan di lapangan unsur- unsur pokok itu dapat dikemukakan: pondok, masjid, santri, pengajaran ilmu-ilmu agama, dan kiai.

(6)

Adapun perkembangan pesantren berdasarkan pola-pola pesantren dapat dikemukakan sebagai berikut (Haidar Putra Daulay, 2006:27).

POLA I

Pesantren Pola I yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pesantren yang masih terikat kuat dengan sistem pendidikan Islam sebelum zaman pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Ciri-ciri dari pesantren Pola I adalah pertama, pengkajian kitab-kitab klasik semata-mata. Kedua, memakai metode sorogan, wetonan, dan hafalan di dalam berlangsungnya proses belajar mengajar. Ketiga, tidak memakai sistem klasikal. Pengetahuan seseorang diukur dari sejumlah kitab-kitab yang telah pernah dipelajarinyadan kepada ulama mana ia berguru. Keempat, tujuan pendidikan adalah untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual, dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, serta menyiapkan para santri untuk hidup dan bersih hati

Sebagai dari pesantren Pola I ini ada yang lebih mengkhususkan diri kepada satu bidang tertentu, misalnya keahlian fiqih, hadits, bahasa arab, tasawuf, ataupun lainnya. Oleh karena itulah sering seorang santri pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya yang menjadi pola spesifik pesantren yang dituju

POLA II

Pesantren Pola II adalah merupakan pengembangan dari pesantren Pola I. kalau Pola I inti pelajaran adalah pengkajian kitab-kitab klasik dengan menggunakan metode sorogan, wetonan, dan hafalan, sedangkan pada pesantren Pola II ini lebih luas dan dari itu. Pada pesantren Pola II inti pelajaran tetap menggunakan kitab-kitab klasik yang diajarkan dalam bentuk klasikal dan nonklasikal. Disamping itu, diajarkan ektrakulikuler seperti keterampilan dan praktik keorganisasian

(7)

Pada bentuk sistem klasikal, tingkat pendidikan dibagi kepada jenjang pendidikan dasar (ibtidaiyah) 6 tahun, jenjang pendidikan menengah pertama (tsanawiyah), dan jenjang pendidikan atas (aliyah) 3 tahun. Di luar waktu pengajaran klasikal di pesantren

Pola II ini diprogramkan pula sistem nonklasikal, yakni membaca kitab-kitab klasik dengan metode sorogan dan wetonan. Pimpinan pesantren telah mengatur jadwal pengkajian tersebut lengkap dengan waktu, kitab yang akan di baca dan ustadz yang akan mengajarkannya. Para santri bebas memilih kitab apa yang diikutinya untuk dibaca.

Selain dari materi pelajaran ilmu agama lewat kitab-kitab klasik, dipesantren ini juga diajarkan sedikit pengetahuan umum, keterampilan, latihan organisasi, olahraga, dan lain-lain.

POLA III

Pesantren Pola III adalah pesantren yang didalamnya program keilmuan telah diupayakan menyimbangkan antara ilmu agama dan umum. Ditanamkan sikap positif terhadap kedua jenis ilmu itu kepada santri. Selain dari itu dapat digolongkan kepada ciri pesantren Pola III ini adalah penanaman berbagai aspek pendidikan, seperti kemasyarakatan, keterampilan, kesenian, kejasmanian, kpramukaan, dan sebagian dari pesantren Pola III telah melaksanakan program pengembangan masyarakat

Struktur kurikulum yang dipakai pada pesantren Pola III ini ada yang dipakai pada pesantren Pola III ini ada yang mendasarkannya kepada struktur madrasah negeri dengan memodifikasi mata pelajaran agama, dan ada pula yang memakai kurikulum yang dibuat oleh pondok sendiri. Pengajaran ilmu-ilmu agama pada pesantren Pola III ini tidak mesti bersumber dari kitab-kitab klasik.

(8)

POLA IV

Pesantren Pola IV, adalah pesantren yang mengutamakan pengajaran ilmu-ilmu keterampilan di samping ilmu-ilmu agama sebagai mata pelajaran pokok. Pesantren ini mendidik para santrinya untuk memahami dan dapat melaksanakan berbagai keterampilan guna dijadikan bekal hidupnya. Dengan demikian kegiatan pendidikannya meliputi kegiatan kelas, praktik di laboratorium, bengkel, kebun/lapangan.

POLA V

Pesantren Pola V adalah pesantren yang mengasuh beraneka ragam lembaga pendidikan yang tergolong formal dan nonformal. Pesantren ini juga dapat dikatakan sebagai pesantren yang lebih lengkap dari pesantren yang telah disebutkan diatas. Kelengkapannya itu ditinjau dari segi keanekaragaman bentuk pendidikan yang dikelolanya.

Di pesantren ini ditemukan pendidikan madrasah, sekolah, perguruan tinggi, pengkajian kitab-kitab klasik, majelis taklim, dan pendidikan keterampilan. Pengajian kitab-kitab klasik dipesantren ini dijadikan sebagai materi yang wajib diikuti oleh seluruh santri yang mengikuti pelajaran di madrasah, sekolah, dan perguruan tinggi. Sementara itu ada santri yang secara khusus mengikuti pengajian kitab-kitab klasik saja.

B. MADRASAH DI LUAR PESANTREN 1. Pendidikan Madrasah di Luar Pesantren

Sistem Madrasah diluar pesantren yang berada dibawah naungan Depag seperti Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri, Madrasah Aliyah (MA) Negeri dan Universitas Islam Negeri (UIN) tidak mengikat penguasaan keilmuan pesantren sebagai syarat masuk ke lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut. Kurikulum Keilmuan pesantren yang

(9)

merupakan salah satu pembentuk sistem madrasah menjadi asing di lingkungannya sendiri. Akibatnya sistem madrasah paham terhadap persoalan agama tetapi tidak paham terhadap kitab kuning. Bahkan, ada lulusan sistem madrasah yang lebih paham tentang persoalan pengetahuan umum tapi lemah dalam persoalan agama dan keilmuan pesantren. Terutama terjadi pada sekolah-sekolah yang menerapkan sistem madrasah tapi tidak melalui jalur pondok pesantren.

Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam, mulai didirikan dan berkembang di dunia Islam sekitar abad ke-5 H atau abad ke 10 M. Ketika penduduk Naisabur mendirikanlembaga pendidikan Islam model madrasah tersebut untuk pertama kalinya.

Pada zaman pemerintahan Bani Umayah, umat Islam sudah mempunyai semacam lembaga pendidikan Islam yang disebut “kuttab”. Para guru yang mengajar pada kuttab ini pada mulanya adalah orang-orang non muslim, terutama orang-orang yahudi dan Nasrani. Karena itulah, bagi umat Islam, pengajaran kuttab itu hanya sebagai tempat belajar keterampilan membaca dan menulis saja, sedangkan pengajaran Al-Qur’an dan dasar agama Islam diberikan dan diajarkan oleh para guru khusus di masjid-masjid. Selanjutnya untuk kepentingan pengajaran menulis dan membaca bagi anak-anak, yang sekaligus juga memberikan pelajaran Al-Qur’an dan dasar-dasar pengetahuan agama Islam, diadakanlah kuttab-kuttab yang terpisah dari masjid agar anak-anak tidak mengganggu ketenangan dan kebersihan masjid.

Pada awal perkembangan pendidikan Islam telah terdapat dua jenis lembaga pendidikan dan pengajaran, yaitu: kuttab yang mengajarkan kecakapan menulis dan membaca Al-Qur’an serta dasar-dasar agama Islam kepada anak-anak dan merupakan pendidikan tingkat dasar.

Dalam rangka menampung kegiatan halaqah yang semakin banyak, sejalan dengan meningkatnya jumlah pelajar dan bidang ilmu

(10)

pengetahuan yang diajarkan, dibangun ruang-ruang khusus untuk kegiatan halaqah tersebut disekitar masjid. Pada perkembangan selanjutnya dibangun ruangan khusus untuk para guru dan pelajar, sebagai tempat tinggal dan tempat kegiatan belajar-mengajar setiap hari secara teratur, yang disebut zawiyah atau ribath. Pada mulanya bangunan-bangunan tersebut berada di sekitar masjid, tetapi dalam perkembangan selanjutnya banyak zawiyah yang dibangun sendiri.

Lahirnya madrasah-madrasah di dunia Islam, pada dasarnya merupakan usaha pengembangan dan penyempurnaan zawiyah-zawiyah tersebut, dalam rangka menampung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan jumlah pelajar yang semakin meningkat yang berlangsung sampai sekarang

2. Sistem Madrasah di Luar Pesantren

Perpaduan antara system pendidikan pondok pesantren dan pendidikan langgar dan sistem pendidikan yang berlaku pada sekolah-sekolah modern merupakan system pendidikan dan pengajaran yang dipergunakan di madrasah. Proses perpaduan tersebut berlangsung secara berangsur-angsur dan mengikuti system klasikal.

Lahirlah madrasah-madrasah yang mengikuti system perjenjangan dan bentuk-bentuk sekolah modern, seperti Madrasah Ibtidaiyah sama dengan Sekolah dasar (SD), Madrasah Tsanawiyah sama dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan madrasah Aliyah (MA) sama dengan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Kurikulum madrasah dan sekolah-sekolah agama masih mempertahankan agama sebagai mata pelajaran pokok, walaupun dengan persentase yang berbeda. Pada waktu pemerintah Republik Indonesia, Kementerian Agama yang mengadakan pembinaan dan pengembangan terhadap sistem pendidikan madrasah melalui Kementerian Agama,

(11)

merasa perlu menentukan kriteria madrasah. Kriteria yang ditetapkan oleh menteri agama untuk madrasah-madrasah yang berada dalam wewenangnya adalah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok, paling sedikit 6 jam seminggu.

Pengetahuan umum diajarkan di madrasah yaitu 1) Membaca dan menulis

2) Berhitung 3) Ilmu bumi

4) Sejarah Indonesia dan dunia 5) Olah raga dan kesehatan

Selain mata pelajaran agama dan bahasa Arab serta yang disebutkan diatas, juga diajarkan berbagai keterampilan sebagai bekal para lulusannya terjun ke masyarakat

3. Perkembangan Madrasah di Luar Pesantren

Perkembangan madrasah akan dibagi dalam dua periode yaitu:

1) Periode sebelum Kemerdekaan

Pendidikan dan pengajaran agama Islam dalam pengajian Al-Qur’an dan pengajian kitab yang diselenggarakan dirumah-rumah, surau, masjid, pesantren dan lain-lain. Pada perkembangan selanjutnya mengalami perubahan bentuk baik dari segi kelembagaan,pengajaran, metode maupun struktur organisasinya, sehingga melahirkan suatu bentuk yang baru yang disebut madrasah.

Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam berfungsi menghubungkan sistem lama dengan sistem baru dengan jalan mempertahankan nilai-nilai lama yang masih baik, dipertahankan dan mengambil sesuatu yang baru dalam ilmu, teknologi dan ekonomi yang bermanfaat bagi kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, isi kurikulum madrasah pada umumnya adalah apa yang diajarkan di

(12)

lembaga-lembaga pendidikan Islam ditambah dengan beberapa materi pelajaran yang disebut dengan ilmu-ilmu umum (Samsul Nizar, 2007: 290-291).

Pada perkembangan selanjutnya di awal abad ke 20 atas perintah Gubernur Jendral Van Hautsz sistem pendidikan diperluas dalam bentuk sekolah desa, walaupun masih diperuntukan terbatas bagi kalangan anak-anak bangsawan. Namun pada masa selanjutnya, sekolah ini dibuka secara luas untuk rakyat umum dengan biaya yang murah.

Dengan terbukanya kesempatan yang luas bagi masyarakat umum untuk memasuki sekolah-sekolah yang diselenggarakan secara tradisional oleh kalangan Islam mendapat tantangan dan saingan berat, terutama karena sekolah-sekolah pemerintah Hindia-Belanda diselenggarakan secara modern terutama dalam hal kelembagaan, kurikulum, metodologi, dan sarana lain-lain. Perkembangan sekolah yang demikian jauh menyebabkan tumbuhnya ide-ide dikalangan intelektual Islam untuk memberikan respon dan jawaban terhadap tantangan tersebut dengan tujuan untuk memajukan pendidikan Islam. Ide tersebut muncul dari tokoh-tokoh yang mengeyam pendidikan di Timur-Tengah atau pendidikan Belanda. Mereka mendirikan lembaga pendidikan baik secara perorangan maupun secara kelompok/organisasi yang dinamakan madrasah atau sekolah. Madrasah-madrasah yang didirikan tersebut antara lain (Samsul Nizar, 2005: 292).

a. Madrasah (Adabiyah School). Madrasah ini didirikan oleh Syikh Abdullah Ahmad pada tahun 1907 DI Padang Panjang. Belum cukup satu tahun madrasah ini gagal berkembang dan dipindahkan ke Padang. Pada tahun 1915 madarasah ini mendapat pengakuan dari Belanda dan berubah menjadi Holland Inslandsche School (HIS)

(13)

b. Sekolah Agama (Madras School). Didirikan oleh Syeikh M. Thaib Umar di Sungayang, Batusangkar pada tahun 1910. Madrasah ini pada tahun 1913 terpaksa ditutup dengan alasan kekurtangan tempat. Namun pada tahun 1918, Mahmud yunus mendirikan Diniyah School sebagai kelanjutan dari Madras School.

c. Madrasah Diniyah (Diniyah School). Madrasah diniyah didirikan pada tanggal 10 oktober 1915 oleh Zainudin Labaidi Padang Panjang. Madrasah ini merupakan madrasah sore yang tiodak hanya mengajarkan pelajaran agama tetapi juga pelajaran umum.

d. Madrasah Muhammadiyah. Madrasah ini tidak diketahui berdirinya dengan pasti, namun diperkirakan berdiri pada tahun 1918 yang didirikan oleh organuisasi muhammadiyah

Madrasah-madrasah diatas merupakan pionir dalam pendirian madrasah-madrasah lain diberbagai daerah lainnya untuk melakukan pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia.

2) Periode Sesudah Kemerdekaan A. Fase antara Tahun 1945-1975

Pada fase ini madrasah lebih terkonsentrasi kepada pendidikan ilmu-ilmu agama, dan diajarkan pengetahuan umum sebagai pendampingan dan untuk memperluas cakrawala berpikir para pelajar. Civel effect untuk melanjutkan studi bagi lulusan madrasah terbatas kepada perguruan tinggi agama (IAIN), kalaupun dapat diterima di perguruan tinggi umum itu pun dalam bidang ilmu-ilmu sosial pada perguruan tinggi swasta. Untuk ke UMPtn mendapat hambatan. Pengertian madrasah pada periode ini adalah sesuai dengan peraturan Menteri Agama RI No. 1 Tahun 1946 dan peraturan Menteri Agama RI No. 7 Tahun 1950, madrasah adalah:

(14)

a. Tempat pendidikan yang diatur sebagai sekolah dan membuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam, menjadi pokok pengajaran.

b. Pondok pesantren member pendidikan setingkat dengan madrasah.

B. Fase antara Tahun 1975-1989

Fase diberlakukannya SKB (Surat Keputusan Bersama) Tiga Menteri.Inti dari SKB ini adalah diakuinya kesetaraan antara madrasah dengan sekolah:

SD =MI

SLTP =MTs SLTA =MA

Definisi madrasah pada periode ini adalah: lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kurangya 30% di samping mata pelajaran umum. Disebabkan karena berbagai factor, terutama struktur kurikulumnya yang sedemikian rupa maka kesetaraan madrasah dengan sekolah umum belum tercapai arti yang sesungguhnya.

C. Fase antara Tahun 1990 sampai Sekarang

Fas eini adalah mulai diberlakukannya UU No.2 Tahun 1989 (UUSPN) dan diikuti dengan pelaksanaan PP No. 28 dan 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Menengah.

Madrasah pada periode ini berciri khas agama Islam, maka program yang dikembangkan adalah mata pelajaran yang persis dengan sekolah umum. Sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam diajarkan ilmu pengetahuan agama, seperti aqidah-akhlak, fiqih, qur’an-hadits, bahasa Arab, SKI (Haidar Putra Daulay, 2006:57).

(15)

C. PRESTASI BELAJAR

1. Pengertian Prestasi Belajar

Prestasi belajar berasal dari dua kata dasar yakni prestasi dan belajar, yang keduanya mempunyai arti masing-masing. Pengertian prestasi ialah hasil yang telah dicapai (dilakukan atau dikerjakan). Sedangkan pengertian belajar ialah sebagai hasil dari suatu proses, belajar dapat ditunjukan dalam berbagai bentuk seperti berubah tingkah laku, keterampilan kecakapan, dan kemampuan serta perubahan aspek-aspek lain yang ada pada individu yang belajar (Sudjana, 2005: 17).

Prestasi belajar adalah hasil maksimum yang dicapai oleh seseorang setelah melakukan kegiatan belajar yang diberikan berdasarkan atas pengukuran tertentu (Ilyas, 2008). Sedangkan menurut M. Syah Prestasi belajar adalah perubahan tingkah laku yang dianggap penting yang diharapkan dapat mencerminkan perubahan yang terjadi sebagai hasil belajar siswa, baik yang berdimensi cipta dan rasa maupun yang berdimensi karsa. Jadi Pestasi belajar adalah hasil belajar setelah mengikuti program pembelajaran yang dinyatakan dengan skor atau nilai. Pengukuran akan pencapaian prestasi belajar dalam pendidikan formal telah ditetapkan dalam jangka waktu yang bersifat pertengahan yaitu Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS), tetapi dalam prestasibelajar diharapkan adalah peningkatana yang dilakukan dalam materi yang diajarkan.

Prestasi ialah hasil yang telah dicapai sedangkan be;ajar ialah setiap perubahan yang relative menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman yang telah dicapai oleh siswa setelah melakukan kegiatan sering disebut prestasi belajar (Purwanto, 2000: 84). Tentang apa yang telah dicapai setelah melakukan kegiatan belajar, ada juga yang menyebutnya dengan hasil belajar seperti nana sudjana (1991).

(16)

2. Komponen Prestasi Belajar

Pencapaian prestasi belajar atau hasil belajar siswa, merujuk pada aspek-aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.

Oleh karena itu ketiga aspek tersebut diatas juga harus menjadi indicator prestasi belajar. Ketiga aspek diatas tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan bahkan membentuk hubungan hierarki (Tohirin, 2005: 151). Ketiga aspek tersebut merupakan hal yang ada pada diri siswa sebagai bukti prestasi yang didapat, maka dari itu perannnya sangat berpengaruh. Ketiga aspek tersebut yaitu:

1) Tipe Prestasi Belajar Bidang Kognitif

Tipe hasil belajar pengetahuan hapalan (Kognitif) pengetahuan hafalan dimaksudkan sebagai terjemahan dari kata knowledge dari Bloom. Cakupan dalam pengetahuan hafalan termasuk pula pengetahuan yang sifatnya factual, disamping pengetahuan yang mengenal hal-hal yang perlu diingat kembali seperti batasan, peristilahan, bab, ayat, rumus, dan lain-lain.

Dari sudut respon belajar siswa pengetahuan itu perlu dihafal, diingat agar perlu dikuasai dengan baik. Ada beberapa cara untuk dapat menguasai atau menghafal , misalnya dibaca berulang-ulang menggunakan teknik mengingat. Tipe hasil belajar ini termasuk tipe hasil belajar tingkat rendah jika dibandingkan dengan tipe hasil belajar lainnya. Namun demikian tipe hasil belajar ini penting sebagai pasyarat untuk menguasai dan mempelajari tipe hasil belajar lain yang lebih tinggi. Setidak-tidaknnya pengetahuan hafalan merupakan kemampuan terminal (jembatan) untuk menguasai tipe hasil belajar laiinya (Sudjana, 2005: 50).

(17)

2) Tipe Prestasi Belajar Bidang Afektif

Tipe prestasi afektif yaitu, berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, demikian sebaliknya rasa tidak senang, merupakan hal yang negative. Komponen ini menunjukan arah sikap, positif atau negatif (Mahmudah, 2010: 38).

Keberhasilan prestasi ranah kognitif tidak hanya akan membuahkan kecakapan kognitif, tetapi juga menghasilkan keberhasilan ranah afektif. Sebagai contoh, seorang guru agama yang piawai dalam mengembangkan kecakapan ranah kognitif dengan cara seperti yang diuraikan diatas, akan berdampak positif terhadap ranah afektif para siswa. Dalam hal ini pemahaman yang mendalam terhadap arti penting materi pelajaran agama yang disajikan guru serta preferensi kognitif yang mementingkan aplikasi prinsif-prinsif tadi akan meningkatkan kecakapan ranah afektif para siswa. Peningkatan kecakapan afektif ini antara lain, berupa kesadaran beragama yang mantaf (Muhibbin Syah, 2004: 50).

3) Tipe Prestasi Belajar Bidang Psikomotorik

Tipe prestasi belajar psikomotorik yaitu, berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap, misalnya kecenderungan member pertolongan, menjauhkan diri dan sebagainya. Komponen ini menunjukan besar kecilnyakecenderungan bertindak seseorang terhadap objek sikap.

Keberhasilan ranah kognitif juga akan berdampak positif terhadap keberhasilan ranah psikomotorik. Kecakapan psikomotorik ialah segala amal jasmaniah yang konkrit dan mudah diamati, baik kuantitasnya maupun kualitasnya, karena sifatnya terbuka. Namun disamping kecakapan psikomotorik itu tidak terlepas dari keberhasilan ranah kognitif

(18)

dan banyak terkait oleh kecakapan afektif. Jadi, kecakapan psikomotor siswa merupakan wawasan pengetahuan dan kesadaran serta sikap mentalnya (Muhibbin Syah, 2004:52).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar

Menurut Slameto 2003 dan Suryabrata 2002 secara garis besarnya faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar dapat dikelompokan atas:

A. Faktor Internal

Faktor yang menyangkut seluruh pribadi termasuk kondisi fisik maupun mental atau psikis. Faktor internal ini sering disebut faktor intrinsik yang meliputi kondisi fisiologi dan kondisi psikologis yang mencangkup minat, kecerdasan, bakat, motivasi, dan lain-lain

1) Kondisi Fisiologi secara umum

Kondisi fisiologis pada umumnya sangat berpengaruh terhadap keberhasilan belajar seseorang. Orang yang ada dalam keadaan segar jasmaninya akan berlainan belajarnya dari orang yang ada dalam keadaan lelah. Anak-anak yang kekurangan gizi ternyata kemampuannya berada dibawah anak-anak yang tidak kekurangan gizi. Anakanak yang kurang gizi mudah lelah, mudah mengantuk, dan tidak mudah menerima pelajaran.

2) Kondisi Psikologis

Belajar pada hakikatnya adalah proses psikologi. Oleh karena itu semua keadaan dan fungsi psikologis tentu saja mempengaruhi belajar seseorang. Itu berarti belajar bukanlah berdiri sendiri, terlepas dari faktor lain seperti faktor dari luar dan faktor dari dalam. Faktor psikologis sebagai faktor dari dalam tentu saja merupakan hal yang utama dalam menentukan intensitas belajar seorang anak. Meski faktor luar mendukung, tetapi faktor

(19)

psikologis tidak mendukung maka faktor luar itu akan kurang signifikan. Oleh karena itu minat, kecerdasan, bakat, motivasi, dan kemampukan-kemampuan kognitif adalah faktor psikologis yang utama mempengaruhi proses dan hasil belajar mahasiswa (Djamara,2002: 42).

3) Kondisi Pasca Indera

Disamping kondisi fisiologis umum, hal yang tak kalah pentingnya adalah kondisi panca indera terutama penglihatan dan pendengaran. Sebagian besar yang dipelajari manusia dipelari menggunakan penglihatan dan pendengaran. Orang belajar dengan membaca, melihat contoh atau model, melakukan observasi, mengamati hasil eksperimen, mendengarkan keterangan guru dan orang lain, mendengarkan ceramah, dan lain sebagainya.

4) Intelegensi

Intelegensi adalah suatu kemampuan umum dari seseorang untuk belajar dan memecahkan suatu permasalahan. Jika intelegensi seseorang rendah bagaimanapun usaha yang dilakukan dalam kegiatan belajar, jika tidak ada bantuan orang tua atau pendidik niscaya usaha belajar tidak akan berhasil.

5) Bakat

Bakat merupakan kemampuan yang menonjol disuatu bidang tertentu misalnya bidang studi matematika atau bahasa asing. Bakat adalah suatu yang dibentuk dalam kurun waktu, sejumlah lahan dan merupakan perpaduan taraf intelegensi. Pada umumnya komponen intelegensi tertentu dipengaruhi oleh pendidikan dalam kelas, sekolah, dan minat subyek itu sendiri. Bakat yang dimiliki seseorang akan tetap tersembunyi bahkan lama-kelamaan akan menghilang apabila tidak mendapat kesempatan untuk berkembang.

(20)

6) Motivasi

Motivasi memegang peranan penting dalam memberikan gairah, semangat, dan rasa senang dalam belajar sehingga yang mempunyai motivasi tinggi mempunyai energy yang banyak untuk melaksanakan kegiatan belajar. Mahasiswa yang mempunyai motivasi tinggi sangat sedikit yang tertinggal dalam belajarnya. Kuat lemahnya motivasi belajar seseorang turut mempengaruhi keberhasilan belajar. Karena itu motivasi belajar perlu diusahakan terutama yang berasal dari dalam diri (motivasi intrinsik) dengan cara senantiasa memikirkan masa depan yang penuh tantangan dan harus untuk mencapai cita-cita. Senantiasa memasang tekat bulat dan selalu optimis bahwa cita-cita dapat dicapai dengan belajar.. Bila ada mahasiswa yang kurang memiliki motivasi instrinsik diperlukan dorongan dari luar yaitu motivasi ekstrinsik agar mahasiswa termotivasi untuk belajar.

B. Faktor Eksternal

Faktor yang bersumber dari luar diri individu yang bersangkutan. Faktor ini sering disebut dengan faktor ekstrinsik yang meliputi segala sesuatu yang berasal dari luar diri individu yang dapat mempengaruhi prestasi belajarnya baik itu di lingkungan sosial maupun lingkungan lain (Djamara, 2002: 45).

1) Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu:

a. Lingkungan Alami

Lingkungan alami seperti keadaan suhu, kelembaban udara berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar. Belajar pada keadaan udara yang segar akan lebih baik hasilnya daripada belajar pada suhu udara yang lebih panas dan pengap.

(21)

b. Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial, baik yang berwujud manusia dan representasinya (wakilnya), walaupun yang berwujud hal yang lain langsung berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar. Seseorang yang sedang belajar memecahkan soal akan terganggu bila ada orang lain yang mondar-mandir di dekatnya atau keluar masuk kamar. Representasi manusia misalnya memotret, tulisan, dan rekaman suara juga berpengaruh terhadap hasil belajar.

2) Faktor Instrumental

Faktor-faktor instrumental adalah yang penggunaannya dirancang sesuai dengan hasil belajar yang diharapkan. Faktor-faktor ini diharapkan dapat berfungsi sebagai sarana untuk tercapainya tujuan yang telah dirancang.

Faktor-faktor ini dapat berupa:

a. Perangkat Keras misalnya gedung, perlengkapan belajar, alat-alat paktikum dan sebagainya

b. Perangkat Lunak seperti kurikulum, program dan pedoman belajar lainnya

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk merancang sebuah program yang dapat melakukan perhitungan untuk aliran air tanah dengan menggunakan metode finite difference, contohnya

H1: Debt to equity ratio, return on equity dan net profit margin secara simultan berpengaruh signifikan terhadap price earning ratio pada pada perusahaan yang termasuk dalam

 Dua atau lebih kompresor udara harus dipasang dan memiliki kapasitas total, bersama- sama dengan kompresor topping-up di mana dipasang yang mampu menerima udara dalam waktu 1

Lewis mengatakan bahwa penggantian Daulat Bani Umayyah oleh Daulat Bani Abbasiyah adalah lebih dari sekedar pergantian dinasti, melainkan suatu revolusi yang mempunyai

kelas eksperimen dan kelas kontrol berbeda secara statistik, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan pendekatan ilmiah pada materi larutan

Dari hasil pengolahan data yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan hipotesis penelitian diterima dengan penjelasan terdapat perbedaan persepsi

Realisasi belanja negara sampai dengan triwulan II-2019 baru mencapai Rp23,94 triliun atau 37,7 persen dari total pagu, lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama

PKn merupakan salah satu instrumen fundamental dalam bingkai pendidikan nasional sebagai media bagi pembentukan karakter bangsa (nation and character building) di