• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODE PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "III. METODE PENELITIAN"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi:

1. Data panel hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dan Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2005-2009 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) antara lain jumlah dan persentase penduduk miskin, garis kemiskinan, indeks gini dan tingkat pengangguran terbuka. 2. Data yang diperoleh dari berbagai publikasi BPS, diantaranya publikasi

indikator kesejahteraan rakyat dan produk domestik regional bruto (PDRB). 3. Data berupa informasi kabupaten/kota pesisir dan bukan pesisir, data mengenai

besarnya bantuan dari program PEMP tahun 2005-2009, serta publikasi PEMP yang bersumber dari KPP.

3.1.1. Data yang Digunakan Untuk Peubah Data Panel Data yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 3 s.d 7.

1. Pertumbuhan ekonomi: PDRB perkapita atas dasar harga konstan tahun 2005-2009, sumber BPS.

2. Ketimpangan pendapatan: Indeks gini yang dihitung berdasarkan pendekatan pengeluaran hasil SUSENAS tahun 2005-2009, sumber BPS.

3. Pengangguran: Tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang dihitung dari hasil SAKERNAS tahun 2005-2009, sumber BPS.

4. Kemiskinan: Persentase penduduk miskin yang dihitung berdasarkan pendekatan garis kemiskinan hasil SUSENAS 2005-2009, sumber BPS.

5. PEMP: Alokasi besaran dana PEMP yang diberikan pada kabupaten/kota

pesisir penerima program PEMP tahun 2005-2009, sumber KKP. 3.1.2. Data yang Digunakan Untuk Menghitung GIC

Data yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 8.

Data yang berasal dari pengeluaran perkapita dilihat melalui persentil hasil SUSENAS tahun 2005 dan tahun 2009.

Penghitungan untuk sumber data pengeluaran berasal dari data konsumsi rumahtangga yang dikumpulkan oleh BPS setiap tahun melalui

(2)

SUSENAS. Pendekatan untuk menghitung pendapatan rumahtangga menggunakan nilai besarnya pengeluaran. Pendekatan ini dianggap lebih mencerminkan keadaan sebenarnya, meskipun ada juga kelemahan-kelemahan dari pendekatan ini.

Coudovel et al. (2002) mengungkapkan bahwa konsumsi merupakan indikator yang lebih baik untuk mengukur kemiskinan karena:

1. Konsumsi adalah indikator yang lebih baik untuk mengukur outcome daripada pendapatan. Konsumsi lebih terkait dengan keadaan seseorang, sehingga bisa digunakan untuk ukuran kebutuhan dasar. Dilain pihak, pendapatan adalah salah satu elemen yang memungkinkan untuk mengkonsumsi barang. Data pendapatan juga lebih sulit diakses dan mungkin tidak tersedia.

2. Konsumsi bisa diukur lebih baik daripada pendapatan. Pada perekonomian agraris yang miskin, pendapatan rumahtangga berfluktuasi, sehingga lebih sulit diukur. Pada daerah perkotaan, dengan sektor informal yang besar, pendapatan juga sulit diukur. Sehingga rumahtangga yang menjadi responden akan kesulitan untuk memberikan data pendapatannya.

3. Konsumsi lebih merefleksikan standar hidup yang sebenarnya dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Pengeluaran untuk konsumsi tidak hanya merefleksikan barang dan jasa yang bisa dibeli oleh rumahtangga, tapi juga kemungkinan rumahtangga tersebut bisa mengakses pasar kredit ketika pendapatannya rendah.

Hidayat dan Patunru (2007) mengungkapkan bahwa penghitungan indeks gini dengan menggunakan data pengeluaran cenderung lebih rendah daripada indeks gini yang dihitung dengan data pendapatan. Hal ini karena data pengeluaran kemungkinan hanya dapat menggambarkan besarnya pendapatan pada penduduk berpendapatan rendah dan menengah, tetapi tidak untuk penduduk berpendapatan tinggi.

3.2 Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan antara lain: Analisis deskriptif, analisis kuadran, analisis growth incidence curve (GIC) dan analisis data panel.

(3)

3.2.1. Analisis Deskriptif

Analis deskriptif merupakan suatu teknik analisis sederhana yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi suatu observasi dengan menyajikan dalam bentuk ulasan, tabel maupun grafik dengan tujuan memudahkan dalam menafsirkan hasil observasi.

3.2.2. Analisis Kuadran

Analisis kuadran dalam penelitian ini digunakan untuk melihat dampak implementasi program PEMP periode 2005-2009 terhadap 20 kabupaten/kota pesisir, yaitu berupa analisis dinamika dan perkembangan pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran terhadap kemiskinan yang terjadi di kabupaten/kota pesisir pada awal periode (tahun 2005), dan setelah 4 tahun implementasi program PEMP (tahun 2009). Gambaran kedua waktu tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran dinamika kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran di kabupaten/kota pesisir.

3.2.3. Analisis Pro Poor Growth ( Growth Incidence Curve/GIC)

Analisis Pro Poor Growth ( Growth Incidence Curve/GIC) yang digunakan dalam penelitian ini untuk melihat apakah pertumbuhan ekonomi di wilayah pesisir (20 kabupaten/kota pesisir) memberikan manfaat bagi penduduk miskin atau mengarah ke pro poor growth (PPG), digunakan analisis growth

incidence curve (GIC). PPG yang digunakan dalam penelitian ini diukur melalui

pendekatan agregat. Ravallion (2005) menggunakan GIC untuk mengukur PPG, dengan rumus: )) ( ' ( ) (p dLn L p g =γ + (3.1)

Dimana γ = dLn(µ) yaitu tingkat pertumbuhan rata-rata pendapatan (pengeluaran) dari keseluruhan penduduk.

g(p) = GIC. Jika g(p) >nol (0), artinya GIC bernilai positif di keseluruhan

penduduk persentil-p, maka pertumbuhan bersifat pro poor growth. Sebaliknya, jika g(p) bernilai negatif atau tidak semua positif di keseluruhan penduduk persentil-p, maka pertumbuhan belum bersifat pro poor growth. Selain itu, GIC dapat menunjukkan perubahan ketimpangan pendapatan antara penduduk miskin

(4)

dan kaya. Jika GIC merupakan fungsi turun, maka ketimpangan menurun demikian pula sebaliknya.

3.2.3.1 Tahapan Pengolahan GIC

Pengolahan Growth Incidence Curve (GIC) menggunakan SPSS 13. Tahapan sebagai berikut:

1. Data yang digunakan yaitu rata-rata pengeluaran penduduk perkapita hasil SUSENAS 2005 dan 2009, masing-masing dari 20 kabupaten/kota pesisir. 2. Distribusi pengeluaran menurut persentil, diurutkan dari pengeluaran rendah

sampai dengan tertinggi (100 persen) dihitung masing-masing untuk tahun 2005 dan 2009.

3. Dihitung masing-masing persentil nilai growth (pertumbuhan) rata-rata pengeluaran penduduk tahun 2009 dibanding tahun 2005.

4. Nilai growth menurut persentil dibuat kurva dengan rata-rata pertumbuhan (mean growth) 100 9 5 9 x p p p growth         =

Atau menggunakan rumus pertumbuhan geometrik

1 1 5 9 −       = n P P r Dimana: r = pertumbuhan

P5 = rata-rata pengeluaran perkapita tahun 2005 P9 = rata-rata pengeluaran perkapita tahun 2009 n = selisih periode tahun (2009-2005=4) 3.2.4. Analisis Data Panel

Untuk melihat pengaruh program PEMP serta keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, ketidakmerataan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan digunakan analisis kuantitatif yaitu dengan menggunakan analisis data panel. Data panel adalah gabungan antara data silang (cross section) dan data runtun waktu (time series), sehingga periode waktu yang digunakan tidak terlalu panjang dan data silangnya dapat berupa karakteristik suatu perusahaan /wilayah/

(5)

negara . Jadi, data panel terdiri dari beberapa atau banyak objek yang meliputi beberapa periode. Nama lain data panel antara lain: Panel Pooled data,

combination of time series and cross section data, longitudinal data, pooled-time series data. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series

yang sama maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya, jika unit-unit cross

section memiliki jumlah observasi time series yang berbeda maka disebut unbalanced panel.

Regresi dengan menggunakan data panel disebut dengan model regresi data panel. Penggunaan model regresi data panel memungkinkan untuk menangkap karakteristik antar individu dan antar waktu. Selain itu, data panel digunakan apabila observasi dari cross section saja atau data time series saja tidak cukup untuk dilakukan analisis, karena dengan data panel observasinya akan lebih banyak. Hsiao (1990) menyatakan bahwa model regresi data panel memiliki beberapa keuntungan, antara lain:

1. Data panel mampu menyediakan data yang lebih banyak dan informasi yang lebih lengkap, karena merupakan gabungan antara data cross section dan data

time series, sehingga model regresi data panel akan menghasilkan degree of freedom (df) yang lebih besar yang selanjutnya akan meningkatkan presisi

dari estimasi regresi;

2. Penggabungan informasi dari data time series dan data cross section, dapat mengatasi masalah yang timbul akibat penghilangan variabel (ommited

variable);

3. Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregasi individu karena unit data lebih banyak;

4. Data panel mampu mengindikasikan dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dengan data cross section murni atau time

series murni;

5. Data panel mampu mengurangi kolinieritas antar variabel;

6. Suatu hal yang penting dalam data panel yang diabaikan dalam penggunaan OLS adalah heterogenitas antara unit-unit cross section. Asumsi yang mendasari OLS tersebut sangat jarang berlaku dalam kenyataan sehari-hari.

(6)

Heterogenitas dapat terjadi pada intercept, slope, atau keduanya. Perbedaan antar individu tersebut dapat diperoleh dengan menggunakan data panel.

Kelebihan analisis regresi data panel yang fundamental ditambahkan oleh Greene (2005) yaitu adanya fleksibilitas yang lebih besar bagi peneliti dalam memodelkan perbedaan perilaku diantara individu-individu. Didalam model regresi klasik, gangguan (errorterms/disturbanced) selalu dinyatakan bersifat homoskedastik dan serial uncorrelated. Dalam kondisi tersebut, penggunaan metode OLS akan menghasilkan estimator yang memiliki sifat Best Linear

Unbiased Estimator (BLUE). Sedangkan dalam metode regresi data panel, yang

merupakan gabungan data beberapa individu dalam beberapa periode, asumsi model regresi klasik tersebut tidak dapat diterapkan. Hal ini terjadi karena dalam data panel terdapat tiga macam gangguan, yaitu: gangguan antar waktu (time

series related disturbances), gangguan antar individu (cross section disturbance),

serta gangguan antar waktu dan antar individu.

Pengujian dalam analisis regresi data panel berbeda dengan pengujian dalam persamaan tunggal. Dalam analisis persamaan tunggal, pengujian dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi gejala homoskedastik, heteroskedastik, atau autokorelasi untuk satu individu. Perbaikan (remidial) model dilakukan jika berdasarkan hasil pengujian terdapat asumsi regresi linier klasik yang terlanggar, sehingga diperoleh hasil estimasi yang bersifat BLUE. Kemudian pengujian dalam analisis data panel dilakukan untuk menentukan estimator yang lebih baik, disesuaikan dengan kondisi matriks varians-covarians residual (Ekananda, 2006). Dalam penelitian ini, penulis membatasi pembahasan pada data panel yang bersifat balanced panel, yang mana tiap-tiap individu (kabupaten/kota) memiliki jumlah observasi time series yang sama. Jadi, total observasi adalah N (jumlah

cross section) x T (jumlah time series)

3.2.4.1. Model Regresi Data Panel

Analisis regresi yang menggunakan data panel mempunyai tiga macam model, yaitu Common Effect, Fixed Effect dan Random Effect.

(7)

a. Model Common Effects

Model common effects merupakan pendekatan data panel yang paling sederhana, yaitu hanya dengan mengombinasikan data time series dan data cross

section dalam bentuk pool, dan teknik estimasinya menggunakan pendekatan

kuadrat terkecil/pooled least squares. Model ini tidak memperhatikan dimensi individu maupun waktu, sehingga diasumsikan bahwa perilaku antar individu sama dalam berbagai kurun waktu. Persamaan regresi dalam model common

effects dapat ditulis sebagai berikut: Common Effect Model:

; (3.2) Dimana :

i = 1, 2, 3, … , N; t = 1, 2, 3, … , T

N = jumlah observasi / unit cross section / individu T = jumlah periode waktu

NT = jumlah data panel m = jumlah variabel bebas

Dimana komponen error mengikuti asumsi seperti dalam pengolahan kuadrat terkecil (OLS), sehingga proses estimasi secara terpisah untuk setiap unit

cross section dapat dilakukan.

Untuk periode t=1, akan diperoleh persamaan regresi cross section sebagai berikut:

(3.3) dengan

i = 1, 2, 3, …, N

Implikasinya, akan diperoleh sebanyak T persamaan cross section yang sama. Begitu juga sebaliknya, kita juga dapat memperoleh persamaan deret waktu (time series) sebanyak N persamaan untuk setiap T periode observasi. Namun, untuk mendapatkan parameter yang konstan dan efisien akan lebih baik jika diperoleh dalam bentuk regresi yang lebih besar dengan melibatkan sebanyak N × T observasi.

(8)

b. Model Fixed Effects

Model ini mengasumsikan bahwa perbedaan antar individu dapat diakomodasi melalui perbedaan intersepnya. Intersep pada setiap individu merupakan parameter yang tidak diketahui dan akan diestimasi. Misalkan dan merupakan T pengamatan untuk setiap unit ke-i, dan yang disusun dalam vektor T × 1 merupakan vektor gangguan, maka model fixed effects dapat ditulis sebagai berikut:

Fixed Effect Model:

(3.4) Untuk mengestimasi model fixed effects, dimana intersep berbeda antar individu, maka digunakan teknik variable dummy. Metode estimasi ini sering disebut dengan teknik Least Squares Dummy Variable (LSDV). Dengan demikian, persamaan diatas dapat ditulis sebagai berikut:

(3.5) c. Model Random Effects

Estimasi model regresi data panel dengan fixed effect melalui teknik LSDV menunjukkan ketidakpastian model yang digunakan. Untuk mengatasi masalah ini, bisa menggunakan variabel residual yang dikenal sebagai metode random

effects. Pada model ini, akan dipilih estimasi model regresi data panel dimana

residual saling berhubungan antar waktu dan antar individu. Oleh karena itu, pada model ini diasumsikan bahwa ada perbedaan intersep untuk setiap individu dan intersep tersebut merupakan variabel random atau stokastik. Dengan demikian, dalam model random effects terdapat dua komponen residual, yaitu residual secara menyeluruh (ξit) dan residual secara individu (ui). Persamaan regresi untuk model random effects dapat ditulis sebagai berikut:

dimana (3.6) Beberapa asumsi yang harus dipenuhi dalam model random effects, antara lain:

(9)

Hal ini berarti bahwa komponen error tidak berkorelasi satu sama lain dan tidak ada autokorelasi antara cross section dan time series.

3.2.4.2. Uji Signifikansi Model Regresi Data Panel

Dari ketiga model yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu model common

effects, model fixed effects, dan model random effects, selanjutnya akan

ditentukan model yang paling tepat untuk mengestimasi regresi data panel. Terdapat tiga prosedur pengujian secara formal yang digunakan untuk memilih model regresi data panel yang terbaik, yaitu uji statistik F yang digunakan untuk memilih antara model common effects atau model fixed effects; uji Langrange

Multiplier (LM) yang digunakan untuk memilih antara model common effects atau

model random effects; dan uji Hausman yang digunakan untuk memilih antara model fixed effects atau model random effects. Selanjutnya, untuk model estimasi regresi data panel terpilih, akan dilakukan pengujian untuk memilih estimator dengan struktur varians-covarians dari residual yang lebih baik. Model random

effects sangat berguna jika individu yang dijadikan sampel adalah dipilih secara

random dan merupakan wakil dari populasi (Widarjono, 2005). Sementara itu, Judge dalam Manurung (2005) menyatakan ada empat pertimbangan pokok yang dapat digunakan untuk memilih antara model fixed effects atau random effects, yaitu: Jika jumlah time series (T) besar dan jumlah cross section (N) kecil, maka nilai taksiran parameter berbeda kecil, sehingga pilihan didasarkan pada kemudahan penghitungan, yaitu model fixed effects.

a. Bila N besar dan T kecil, maka penaksiran dengan model fixed effects dan model random effects akan menghasilkan perbedaan yang signifikan. Pada model random effects diketahui bahwa , dimana merupakan komponen acak cross section. Sementara itu, pada model fixed effecs bersifat tidak acak. Bila diyakini bahwa individu atau cross section tidak acak

(10)

maka model fixed effects lebih tepat. Sebaliknya, jika cross section acak maka model random effects lebih tepat.

b. Jika komponen error individu berkorelasi, maka penaksir dengan model random effects adalah bias dan penaksir dengan model fixed effects tidak

bias.

c. Jika N besar dan T kecil serta asumsi model random effects terpenuhi, maka penaksir model random effects lebih efisien dari penaksir model fixed effects. Dalam penelitian ini, pemilihan model estimasi terbaik akan dilakukan dengan menggunakan pengujian secara formal, yaitu dengan tiga jenis pengujian Ketiga pengujian tersebut antara lain:

1. Uji signifikansi Model Fixed Effects

Untuk menguji signifikansi fixed effects dilakukan dengan statistik uji F. Uji F digunakan untuk mengetahui apakah model regresi data panel dengan fixed

effect melalui teknik variabel dummy lebih baik dari model regresi data panel

tanpa variabel dummy (common effect) dengan melihat sum square residual (SSR). Hipotesis nul (H0) yang digunakan adalah bahwa intersep dan slope adalah sama. Adapun uji F statistiknya adalah sebagai berikut:

(3.7) dimana n = jumlah individu; k = jumlah parameter dalam model fixed effects tidak termasuk intersep; SSR1 = sum square residual model tanpa variabel dummy (common effect), dan SSR2 = sum square residual model fixed effects dengan variabel dummy. Nilai statistik F hitung akan mengikuti distribusi statistik F dengan derajat bebas (df) sebanyak n-1 untuk pembilang dan sebanyak nT-n-k untuk penyebut. Jika nilai statistik F hitung lebih besar daripada F tabel pada tingkat signifikansi tertentu, maka hipotesis nul akan ditolak, yang berarti asumsi koefisien intersep dan slope adalah sama menjadi tidak berlaku, sehingga model regresi data panel dengan fixed effects lebih baik dari model regresi data panel tanpa variabel dummy (common effects).

(11)

2. Uji signifikansi Model Random Effects

Untuk mengetahui apakah model random effects lebih baik dari model

common effects, dapat digunakan uji Langrange Multiplier (LM) yang

dikembangkan oleh Breusch-Pagan (1980). Pengujian ini didasarkan pada nilai residual dari metode common effects. Hipotesis nul (H0) yang digunakan adalah bahwa intersep bukan merupakan variabel random atau stokastik. Dengan kata lain varians dari residual ui bernilai nol. Adapun nilai statistik LM dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:

(3.8) dimana n = jumlah individu; T = jumlah periode waktu; dan eit adalah residual metode common effects (OLS). Uji LM ini didasarkan pada distribusi chi-square dengan derajat bebas (df) sebesar 1. Jika hasil LM statistik lebih besar dari nilai kritis statistik chi-square, maka hipotesis nul akan ditolak, yang berarti estimasi yang tepat untuk model regresi data panel adalah model random effects daripada model common effects.

3. Pengujian signifikansi Fixed Effects atau Random Effects (Signifikansi Hausman)

Uji Hausman digunakan untuk mengetahui apakah model fixed effects lebih baik dari model random effects. Uji ini didasarkan pada gagasan bahwa hipotesis nol menyatakan tidak adanya korelasi, baik OLS (dalam model LSDV) maupun GLS adalah konsisten, akan tetapi OLS tidak efisien, sedangkan hipotesis alternatifnya yaitu OLS konsisten tetapi GLS tidak konsisten. Oleh karena itu, di bawah hipotesis nol, kedua estimasi seharusnya tidak berbeda secara sistematik, dan ujinya dapat dilakukan berdasarkan pada perbedaan. Unsur penting untuk metode ini adalah matriks kovarians dari perbedaan vektor :

(12)

dimana untuk OLS (dalam model LSDV), dan untuk model GLS. Hasil metode Hausman adalah bahwa perbedaan kovarians dari estimator yang efisien dengan estimator yang tidak efisien adalah nol, sehingga

atau (3.10)

Kemudian, dengan mensubstitusikan kedua persamaan diatas akan menghasilkan matriks kovarians sebagai berikut:

(3.11) Selanjutnya mengikuti kriteria Wald, nilai statistik Hausman ini akan mengikuti distribusi chi-square sebagai berikut:

(3.12) Statistik uji Hausman di atas mengikuti distribusi statistik chi-square dengan derajat bebas sebanyak k, yaitu sejumlah parameter tanpa intersep. Jika nilai statistik Hausman lebih besar daripada nilai kritis statistik chi-square, maka hipotesis nul akan ditolak, yang berarti estimasi yang tepat untuk regresi data panel adalah metode fixed effects daripada metode random effects.

3.2.4.3. Spesifikasi Model

Metode ekonometrik yang digunakan untuk melihat pengaruh program PEMP terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran menggunakan metode data panel. Metode data panel juga digunakan untuk melihat pengaruh pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran terhadap kemiskinan. Penggunaan metode estimasi ini diharapkan dapat menunjukkan variasi hasil estimasi, melihat kebaikan,

robustness model, serta validitas dari metode estimasi yang digunakan.

Berdasarkan pertimbangan dari beberapa penelitian terdahulu, maka model pengaruh PEMP terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran direpresentasikan dalam model persamaan 1 s.d 3 sebagai berikut:

(13)

(3.14) (3.15) Model regresi yang digunakan untuk melihat hubungan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran terhadap kemiskinan di kabupaten/kota pesisir menggunakan model yang dikembangkan oleh Xin Meng et al. ( 2005), dalam penelitiannya yang berjudul ”Poverty,

Inequality, and Growth in Urban China, 1986-2000. Bourguignon (2004) juga

mengembangkan kerangka konseptual the poverty-growth-inequality triangle untuk melihat hubungan antara kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan. Berdasarkan penelitian tersebut, maka dikembangkan untuk persamaan ke-4 adalah sebagai berikut :

(3.16) Dimana :

Rnt : pertumbuhan ekonomi untuk area ke n, periode ke -t, Gnt : ketimpangan pendapatan untuk area ke n, periode ke -t, Tnt : tingkat pengangguran untuk area ke n, periode ke -t, P nt : program PEMP untuk area ke n, periode ke -t

Mnt: persentase penduduk miskin untuk area ke n, periode ke -t,

αn: common/fixed/random effect untuk area ke- n,

ξnt : disturbance term

3.2.4.4. Tahapan Pengolahan Data Panel

Dalam penelitian ini pengolahan data panel menggunakan Eviews 6, persamaan PEMP terhadap PDRB, Indeks Gini dan TPT (persamaan 1 s.d 3) dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

1. Memilih model estimasi yang terbaik dari 2 model yaitu Model Fixed

effects atau Random effects dengan cara melakukan pengolahan untuk

masing-masing persamaan antara peubah PEMP dengan PDRB, peubah PEMP dengan Gini dan peubah PEMP dengan TPT dengan menggunakan

Fixed effects dan Random effects.

2. Selanjutnya dilakukan Uji Hausman untuk membandingkan model estimasi mana yang dipilih Fixed effects atau Random effects.

(14)

3. Dari hasil Uji Hausman, jika peluang (probabilita) < 0,05 maka model estimasi yang dipilih adalah Fixed Effects. Sebaliknya jika peluang > 0,05 maka keputusan adalah model Random Effects.

4. Untuk melihat apakah persamaan atau model yang dipilih sudah bebas dari asumsi regresi, maka dilakukan pengujian asumsi dengan melihat autokorelasi dan heteroskedastik.

5. Autokorelasi dapat diketahui dengan melihat angka Durbin Watson pada persamaan yang telah ditetapkan (fixed atau random). Jika angka Durbin diluar wilayah keputusan maka terdeteksi adanya autokorelasi (persamaan 1 s.d 3 nilai dL=1.65 dan dU=1.69, utk pers 4 nilai dL=1.61 dan dU=1.73)

6. Heteroskedastik diketahui dengan Uji White yaitu dengan cara melihat angka R-Squared pada persamaan yang telah ditetapkan (fixed atau

random) dikalikan dengan jumlah observasi. Hasil uji White ini kemudian

dibandingkan dengan Tabel Chi square. Jika hasil uji White > tabel Chi

square, maka terdeteksi adanya heteroskedastik ( persamaan 1 s.d 3,

tabel Chi square =6.63 dan untuk persaman 4, tabel Chi square =11.34) 7. Jika tidak terdeteksi adanya autokorelasi dan heteroskedastik maka

persamaan yang digunakan adalah persamaan yang telah ditetapkan dari hasil uji Hausman (Model estimasi fixed effect atau random effect).

8. Jika persamaan terdeteksi adanya autokorelasi dan heretoskedastik, maka dilakukan pengolahan kembali dengan menggunakan model yg ditetapkan (fixed atau random) dan menggunakan COVARIANCE METHOD

CROSSSECTION WEIGTH/SUR(PCSE).

Output hasil pengolahan data panel dapat dilihat pada Lampiran 10. 3.2.5. Definisi Operasional

Deskripsi operasional dari peubah-peubah yang digunakan dalam model antara lain:

1. Angka Kemiskinan (Head Count Index)

Angka kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah persentase penduduk miskin (HCI) di kabupaten/kota pesisir dalam periode tahun 2005-2009. Konsep dan definisi penduduk miskin mengacu pada konsep

(15)

dan definisi yang digunakan BPS, yaitu dihitung berdasarkan tingkat pengeluaran (rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan setara dengan 2.100 kkal perkapita, serta kebutuhan dasar non makanan (papan, sandang, sekolah, transportasi, dan kebutuhan rumahtangga serta individu yang mendasar lainnya) disebut garis kemiskinan.

2. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)

PEMP adalah program bantuan yang diluncurkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mulai tahun 2001. Program ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan ekonomi masyakarat di daerah pesisir. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) merupakan besaran dana bantuan pemberdayaan ekonomi yang diperoleh dari KPP. Dana bantuan stimulus tersebut merupakan salah satu mata anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

3. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita riil dalam rupiah (berdasarkan harga konstan tahun 2000) di kabupaten pesisir. Penggunaan PDRB per kapita riil ini yang merupakan besaran agregat, dimaksudkan agar sesuai dengan istilah pertumbuhan ekonomi yang juga merupakan angka agregat dasar.

4. Ketimpangan Pendapatan

Dalam penelitian ini ukuran ketimpangan pendapatan yang digunakan adalah indeks gini menurut kabupaten/kota di pesisir. Penghitungan indeks gini oleh Badan Pusat Statistik (BPS) melalui pendekatan pengeluaran perkapita. 5. Tingkat Pengangguran Terbuka

Pengangguran adalah mereka yang sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha, yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja, dan pada waktu yang bersamaan mereka tidak bekerja (jobless). Pengangguran dengan konsep/definisi tersebut biasanya disebut sebagai pengangguran terbuka (open unemployment).

(16)
(17)

MASYARAKAT MELALUI PROGRAM PEMP

Analisis deskriptif dan kuadran dalam penelitian ini digunakan untuk memberikan gambaran mengenai dinamika kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran di kabupaten/kota pesisir pada awal periode (tahun 2005) dan setelah 4 tahun implementasi program PEMP (tahun 2009).

4.1. Dinamika Kabupaten/Kota Pesisir

Sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia merupakan wilayah pesisir atau berbatasan langsung dengan laut. Jumlah kabupaten/kota pesisir di Indonesia pada tahun 2009 sebanyak 307 kabupaten/kota atau sebesar 65,18 persen dari total 471 kabupaten/kota. Mayoritas jumlah penduduk berada di wilayah pesisir yaitu sekitar 145,92 juta jiwa atau sebesar 63,2 persen dari sekitar 230,87 juta jiwa penduduk Indonesia. Banyaknya penduduk di wilayah pesisir membawa konsekuensi konsentrasi penduduk miskin terbanyak berada di kabupaten/kota pesisir. Hasil Susenas 2009 memperlihatkan bahwa dari sekitar 31,76 juta jiwa penduduk miskin, sebanyak 21,36 juta jiwa atau 67,3 persen berada di kabupaten/kota pesisir.

Sebagai upaya mengurangi tingkat kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir, sejak tahun 2001 pemerintah melalui DKP memberikan bantuan kepada masyarakat pesisir yaitu berupa program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP). Kegiatan PEMP diluncurkan secara khusus untuk mengatasi berbagai permasalahan akibat krisis ekonomi, kenaikan BBM, kesenjangan, kemiskinan, dan rendahnya kapasitas sumberdaya manusia (masyarakat) pesisir serta upaya mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan. Dalam pelaksanaan program PEMP, tidak semua kabupaten/kota di pesisir mendapatkan stimulus secara berkesinambungan (rutin) setiap tahun. Sesuai petunjuk pelaksanaan program PEMP yang disusun, kabupaten/kota yang mendapatkan bantuan PEMP secara rutin setiap tahun adalah kabupaten/kota pesisir yang secara berkala memberikan laporan

(18)

pertanggungjawaban kegiatan dan progresnya secara baik. Pada tahun 2009, terdapat 307 kabupaten/kota pesisir. Selama periode 2005-2009 ,dari sejumlah kabupaten/kota pesisir tersebut sebanyak 20 kabupaten/kota mendapat program PEMP secara rutin, 257 kabupaten/kota mendapat program PEMP tidak rutin dan 30 kabupaten/ kota pesisir lain yang sama sekali belum pernah mendapat program PEMP (tanpa PEMP).

Tabel 4.1. Dinamika Pertumbuhan, Ketimpangan dan Kemiskinan

Kabupaten Pesisir menurut Penerima PEMP, Periode 2005-2009

Indikator PEMP Pesisir

Rutin Pesisir PEMP Tidak Rutin Pesisir Lain (Tanpa PEMP) Total Pesisir Nasional Perekonomian PDRB Konstan (2005)* 2.335 3.634 2.881 3.503 3.775 PDRB Konstan (2009)* 2.915 4.340 3.590 4.201 4.480 Pertumbuhan PDRB 5,70 4,54 5,66 4,64 4,38 Ketimpangan Gini Rasio (2005) 0,35 0,37 0,32 0,37 0,38 Gini Rasio (2009) 0,32 0,33 0,31 0,33 0,34 Pertumbuhan Gini Rasio -1,75 -2,76 -0,55 -2,66 -2,61 Pengangguran TPT (2005) 10,60 10,93 10,75 10,90 11,24 TPT(2009) 7,71 7,65 6,37 7,59 7,87 Pertumbuhan Pengangguran -7,64 -8,52 -12,24 -8,63 -8,52 Kemiskinan PersentaseKemiskinan (2005) 16,24 17,80 20,21 17,78 16,62 PersentaseKemiskinan (2009) 13,83 14,58 16,72 14,64 13,76 Pertumbuhan Kemiskinan -3,95 -4,86 -4,63 -4,74 -4,61 Sumber: BPS (2009), diolah *) dalam juta rupiah

4.1.1. Gambaran Kemiskinan

Persentase kemiskinan di tingkat nasional menunjukkan nilai yang menurun pada periode 2005-2009. Angka kemiskinan Indonesia tahun 2009 tercatat sebesar 13,76 persen, atau mengalami perbaikan bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 15,15 persen. Demikian pula dengan kondisi kabupaten/kota pesisir, capaian indikator kemiskinan pesisir juga membaik seperti yang tersaji pada Tabel 4.1.

(19)

Rata-rata persentase kemiskinan kabupaten/kota pesisir menurut penerima PEMP mengalami penurunan dalam kurun waktu 2005-2009, dengan laju penurunan sebesar -3,95% untuk kabupaten/kota pesisir penerima PEMP Rutin. Persentase penurunan penduduk miskin tertinggi adalah kabupaten/kota penerima PEMP tidak rutin dengan laju penurunan penduduk miskin sebesar -4,86% (Tabel 1.).

16.24 13.83 17.80 14.58 20.21 16.72 16.69 14.15 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00

PEMP Rutin PEMP Tidak Rutin

Pesisir Lain Total Pesisir

2005 2009

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.1. Tingkat Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP, Tahun 2005 dan 2009

Gambar 4.1. memberi gambaran tingkat kemiskinan di kabupaten/kota pesisir penerima program PEMP secara rutin, kabupaten/kota pesisir penerima PEMP tidak rutin dan kabupaten/kota pesisir lain (tanpa bantuan PEMP) dalam rentang waktu 2005-2009. Kabupaten/kota pesisir yang memperoleh program PEMP rutin memiliki persentase penduduk miskin yang paling rendah bila dibandingkan dengan kabupaten/kota penerima PEMP tidak rutin maupun kabupaten/kota pesisir lainnya. Pada tahun 2005, wilayah pesisir yang mendapat program PEMP rutin persentase penduduk miskinnya sebesar 16,24 persen turun menjadi 13,83 persen pada tahun 2009. Sementara itu persentase penduduk miskin di kabupaten pesisir lainnya (kabupaten/kota tanpa PEMP) cukup tinggi, di tahun 2005 sebesar 20,21 persen turun menjadi 16,72 persen di tahun 2009.

(20)

4.1.2. Gambaran Pertumbuhan Ekonomi

Capaian pengentasan kemiskinan kabupaten/kota pesisir diikuti dengan perbaikan pada capaian indikator perekonomian. Pada Tabel 4.1. terlihat bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota pesisir (2005-2009) sebesar 4,64 %. Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota pesisir lebih banyak ditopang melalui pendapatan asli daerah dari sektor non migas.

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.2. Rata-Rata PDRB menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima Program PEMP, Tahun 2005 dan 2009 (jutaan rupiah)

Gambaran rata-rata PDRB di kabupaten/kota pesisir yang memperoleh program PEMP secara rutin, kabupaten/kota penerima PEMP tidak rutin dan kabupaten/kota pesisir lainnya kurun waktu 2005-2009 disajikan pada Gambar 4.2. Pada gambar tersebut terlihat bahwa kabupaten/kota pesisir yang memperoleh program PEMP rutin memiliki rata-rata PDRB paling rendah bila dibandingkan dengan kabupaten/kota penerima PEMP tidak rutin maupun kabupaten/kota pesisir lainnya (tanpa PEMP). Namun demikian, bila dilihat dari capaian rata-rata pertumbuhan ekonomi, kabupaten/kota pesisir penerima PEMP rutin mengalami pertumbuhan yang paling tinggi dibanding capaian wilayah pesisir lainnya yaitu tercatat sebesar 5,70 % per tahun. Kondisi ini salah satunya diduga adanya upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui program PEMP secara rutin setiap tahun (Tabel 4.1.). 2305 2890 3620 4324 2881 3590 3491 4198 0 1000 2000 3000 4000 5000

PEMP Rutin PEMP Tidak Rutin

Pesisir Lain Total Pesisir

(21)

Rata-rata PDRB di wilayah pesisir baik yang mendapat program PEMP maupun tidak, pada tahun 2009 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2005. Rata-rata PDRB di kabupaten/kota pesisir menerima PEMP tidak rutin cukup tinggi, yaitu sebesar Rp 3,620 milyar pada tahun 2005 meningkat menjadi Rp 4,324 milyar pada tahun 2009.

4.1.3. Gambaran Ketimpangan Pendapatan

Gambaran ketimpangan pendapatan melalui pendekatan peubah indeks gini di kabupaten/kota pesisir disajikan pada Gambar 4.3. Ketimpangan pendapatan di kabupaten/kota pesisir sejalan dengan kondisi pada level nasional, dimana terdapat tren penurunan tiap tahunnya. Ketimpangan pendapatan menurut Oshima (1970) dapat dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan indeks gini yaitu:

1. ketimpangan rendah apabila indeks gini lebih kecil dari 0,3. 2. ketimpangan sedang apabila indeks gini terletak antara 0,3 - 0,4. 3. ketimpangan tinggi apabila indeks gini lebih besar dari 0,4.

Berdasarkan kiteria tersebut, ketimpangan pendapatan kabupaten/kota pesisir penerima PEMP yang diukur dengan indeks gini tergolong sedang. Indeks gini kabupaten/kota pesisir penerima PEMP rutin pada tahun 2009 sebesar 0,32 lebih rendah dibandingkan dengan ketimpangan pendapatan kabupaten/kota pesisir dan kabupaten/kota penerima PEMP tidak rutin yaitu sebesar 0,33.

0,35 0,32 0,37 0,33 0,32 0,31 0,37 0,33 0,28 0,30 0,32 0,34 0,36 0,38

PEMP Rutin PEMP Tidak Rutin Pesisir Lain Total Pesisir

2005 2009

Sumber: BPS (2009),diolah

Gambar 4.3. Indeks Gini menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima Program PEMP Tahun 2005 dan 2009

(22)

4.1.4. Gambaran Pengangguran

Gambaran pengangguran didekati oleh peubah tingkat pengangguran terbuka (TPT). Pada tahun 2005, TPT di ketiga kelompok kabupaten/kota pesisir tidak terlihat perbedaan yang berarti (Gambar 4.4).

10.60 7.71 10.93 7.65 10.75 6.37 11.24 7.87 0.00 5.00 10.00 15.00

PEMP Rutin PEMP Tidak Rutin Pesisir Lain Total Pesisir

2005 2009 Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.4. TPT menurut Kabupaten/ Kota Pesisir Penerima Pogram PEMP Tahun 2005 dan 2009

Gambaran pengangguran didekati oleh peubah tingkat pengangguran terbuka (TPT). Pada tahun 2005, TPT di ketiga kelompok kabupaten/kota pesisir tidak terlihat perbedaan yang berarti (Gambar 4.4). TPT kabupaten/kota pesisir penerima program PEMP rutin pada tahun 2005 sebesar 10,60 persen turun menjadi 7,71 persen pada tahun 2009. Sementara itu TPT di kabupaten pesisir lainnya (kabupaten/kota tanpa PEMP) mengalami penurunan sebesar 4,38 persen, dimana pada tahun 2005 sebesar 10,75 persen turun menjadi persen 6,37 pada tahun 2009.

Analisis selanjutnya difokuskan pada 20 kabupaten/pesisir penerima PEMP secara rutin, untuk melihat gambaran secara rinci dampak program PEMP. 4.2. Dinamika 20 Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP

Analisis dinamika dan perkembangan pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, dan pengangguran terhadap kemiskinan di kabupaten/kota pesisir dilakukan untuk melihat dampak implementasi program PEMP yang dilaksanakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terhadap 20 kabupaten/kota pesisir dalam periode 2005-2009. Tahun 2005 dan 2009 adalah kondisi awal dan akhir periode bantuan PEMP, sehingga dapat diketahui secara sederhana

(23)

implementasi program PEMP di 20 kabupaten/kota pesisir pada kurun waktu 2005-2009.

4.2.1. Dinamika Kemiskinan

Ukuran kemiskinan merupakan tolok ukur keberhasilan pembangunan pemerintah dimana salah satu target RPJMN pemerintah antara lain yaitu penurunan persentase penduduk miskin. Capaian angka kemiskinan di Indonesia cukup menggembirakan, persentase penduduk miskin pada periode 2005 hingga 2009 menunjukkan kecenderungan menurun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin pada tahun 2005 sebesar 16,62 persen, sementara itu persentase penduduk miskin pada tahun 2009 tercatat sebesar 13,76 persen. Selama periode tersebut persentase penduduk miskin di Indonesia berkurang dengan laju penurunan sebesar -4,61 persen. Demikian pula penduduk miskin di 20 kabupaten/kota pesisir penerima program PEMP mengalami penurunan persentase pada periode 2005-2009 dengan laju penurunan sebesar - 0,39 persen seperti yang disajikan pada Tabel 4.1.

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.5. Perbandingan Persentase Penduduk Miskin menurut Kabupaten/ Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009

Biak Numfor merupakan kabupaten yang memiliki penurunan persentase terbesar dalam periode tahun 2005-2009 yaitu sebesar 10,85 persen (Gambar 4.5). Meskipun memiliki penurunan persentase terbesar, namun Biak Numfor merupakan kabupaten yang masih memiliki persentase penduduk miskin terbesar

(24)

di tahun 2005 dan 2009 yaitu sebesar 47,36 persen pada tahun 2005 dan 36,51 persen pada tahun 2009. Pada tahun 2005 kabupaten yang memiliki penurunan kemiskinan terkecil selama periode 2005 sampai 2009 adalah Kabupaten Bantul yaitu sebesar 0,57 persen. Hal ini dapat dimaklumi karena dalam periode ini Kabupaten Bantul mengalami gempa bumi yang cukup parah . Pada tahun 2005 kabupaten yang memiliki persentase kemiskinan terkecil adalah Kota Padang yaitu sebesar 4,41 persen, sedangkan pada tahun 2009 adalah Kabupaten Pontianak sebesar 5,46 persen.

Pada Gambar 4.5 juga terlihat bahwa diantara 20 kabupaten/kota penerima program PEMP, ada 5 (lima) kabupaten/kota yang memiliki persentase penduduk miskin lebih tinggi pada tahun 2009 dibandingkan keadaan tahun 2005. Kabupaten/ kota yang mengalami kenaikan persentase penduduk miskin antara lain Kota Banda Aceh, Kota Padang, Kota Bengkulu, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Minahasa Utara. Kota Bengkulu adalah kota pesisir yang mengalami peningkatan persentase penduduk miskin paling tinggi yaitu sebesar 8,92 persen.

Peningkatan persentase kemiskinan di 5 kabupaten/kota pesisir terlihat wajar pada tahun 2005 hingga tahun 2007. Kota Banda Aceh mengalami penurunan disebabkan cakupan penelitian diluar wilayah yang terkena gempa. Kota Bengkulu terlihat mengalami pelonjakan kemiskinan pada periode 2007-2009 (Gambar 4.6).

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.6. Penduduk Miskin di 5 Kabupaten/Kota Pesisir yang Mengalami Peningkatan Persentase Kemiskinan, Tahun 2005-2009

Terdapat dua hal yang diduga merupakan penyebab tidak tercapainya target penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran pada RPJM 2005-2009. Pertama, adanya pengurangan subsidi yang mengakibatkan kenaikan harga BBM

(25)

hingga 2 kali lipat pada tahun 2005. Kedua, adanya krisis ekonomi global

(external shock) pada tahun 2008 (Alisjahbana, 2010). Selain dua hal yang diduga

sebagai penyebab tersebut diatas, kelima kabupaten/kota pesisir tersebut juga merupakan wilayah atau daerah rawan gempa.

4.2.2. Dinamika Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting guna melakukan evaluasi dan koreksi terhadap program pembangunan ekonomi yang telah dilaksanakan pada masa atau periode yang lalu. Dalam mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi digunakan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan, karena dalam penghitungan PDRB atas dasar harga konstan tersebut, pengaruh perubahan harga telah dieliminasi. Dengan demikian pertumbuhan yang dicerminkan merupakan pertumbuhan riil barang dan jasa dalam suatu periode waktu tertentu.

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.7. Perbandingan PDRB menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009 (juta rupiah)

Capaian rata-rata pertumbuhan ekonomi 20 kabupaten/kota pesisir penerima PEMP cukup tinggi, tercatat beberapa kabupaten/kota memiliki pertumbuhan ekonomi di atas 4 % (Gambar 4.7). PDRB kabupaten/kota pesisir tertinggi dicapai oleh Kota Padang baik pada tahun 2005 (9.111 juta rupiah)

(26)

maupun tahun 2009 ( 11.346 juta rupiah ). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Kota Padang lebih banyak ditopang melalui pendapatan asli daerah dari sektor non migas. Sektor non migas khususnya sektor andalan antara lain bahari dan kelautan mampu memberikan kontribusi penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Kontribusi sektor bahari dan kelautan sekitar 20 persen dari total PDRB. Implikasi dari hal tersebut bahwa dengan nilai pertumbuhan yang tinggi, Kota Padang berhasil menurunkan ketimpangan pendapatannya.

4.2.3 Dinamika Ketimpangan Pendapatan

Ketimpangan pendapatan atau kesenjangan ekonomi dan tingkat kemiskinan yang tinggi merupakan dua masalah besar di banyak negara berkembang, tidak terkecuali di Indonesia

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.8. Perbandingan Indeks Gini menurut Kabupaten/Kota Pesisir

Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009

Berdasarkan kiteria ketimpangan pendapatan Oshima (1970), ketimpangan distribusi pendapatan di 20 kabupaten/kota pesisir penerima PEMP yang diukur dengan indeks gini masih tergolong sebagai ketimpangan rendah sampai sedang namun tetap perlu diwaspadai karena ada beberapa wilayah memiliki kecenderungan untuk meningkat seperti yang terlihat pada Gambar 4.8. Pada Gambar 4.8 juga terlihat bahwa indeks gini di 20 kabupaten/kota pesisir penerima PEMP berada pada kisaran 0,25 hingga 0,36. Pada tahun 2009, indeks gini tertinggi adalah Kabupaten Pontianak sebesar 0,30. Sebaliknya indeks

(27)

gini terendah adalah Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Ciamis dengan nilai indeks gini sebesar 0,25. Kondisi ini berarti ketimpangan distribusi pendapatan di Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Ciamis termasuk kategori ketimpangan rendah.

4.2.4. Dinamika Pengangguran

Salah satu isu penting dalam ketenagakerjaan, di samping keadaan angkatan kerja (economically active population) dan struktur ketenagakerjaan adalah isu pengangguran. Pengangguran dari sisi ekonomi merupakan produk dari ketidakmampuan pasar kerja dalam menyerap angkatan kerja yang tersedia. Ketersediaan lapangan kerja yang relatif terbatas tidak mampu menyerap masyarakat pencari kerja yang senantiasa bertambah setiap tahun seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk.

Pengurangan subsidi yang mengakibatkan kenaikan harga BBM hingga 2 kali lipat pada tahun 2005 dan Krisis ekonomi global pada tahun 2008 diduga merupakan salah satu penyebab tidak tercapainya target pengurangan tingkat kemiskinan dan pengangguran pada RPJM 2005-2009.

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.9. Perbandingan TPT menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009

(28)

4.3. Analisis Kuadran

Analisis yang lebih mendalam mengenai gambaran dinamika kemiskinan kabupaten/kota pesisir dapat dilihat dengan membandingkan kondisi pertumbuhan, ketimpangan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan pada tahun 2005 dan 2009, melalui analisis kuadran.

Berdasarkan hasil analisis kuadran diketahui bahwa dari 20 kabupaten/kota penerima PEMP rutin, di tahun 2005 ada sebanyak 10 kabupaten/kota memiliki persentase penduduk miskin dibawah rata-rata, sedangkan pada tahun 2009 meningkat menjadi 11 kabupaten/kota. Perkembangan ketimpangan pendapatan mengalami perbaikan dalam periode 2005-2009. Jumlah kabupaten yang memiliki indeks gini di atas rata-rata pada tahun 2005 sebanyak 4 kabupaten/kota dan turun menjadi 1 kabupaten di tahun 2009. Pada tahun 2005, jumlah kabupaten/kota yang memiliki pertumbuhan ekonomi (PDRB) diatas rata-rata sebanyak 6 kabupaten/kota dan bertambah menjadi 7 kabupaten/kota pada tahun 2009. Secara umum, tingkat pengangguran di 20 kabupaten/kota mengalami penurunan dalam periode 2005-2009. Jumlah kabupaten/kota yang memiliki pengangguran dibawah rata-rata di tahun 2005 sebanyak 11 kabupaten/kota dan turun menjadi 9 kabupaten/kota di tahun 2009.

4.3.1 Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan

Gambar 4.9. menunjukkan dinamika pertumbuhan dan kemiskinan di 20 kabupaten pesisir penerima PEMP. Gambar tersebut menunjukkan bahwa kabupaten/kota memiliki karakteristik yang hampir homogen, hal ini terlihat dari pola analisis kuadran yang banyak mengumpul pada kuadran tertentu yaitu Kuadran III dan IV. Kuadran I menunjukkan kondisi terbaik yaitu apabila kabupaten/kota memiliki persentase kemiskinan yang rendah (dibawah rata-rata) dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (diatas rata-rata). Kuadran II menunjukkan kondisi dimana kabupaten/kota memiliki karakteristik pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun disertai dengan persentase kemiskinan yang juga tinggi. Kuadran III menunjukkan kondisi yang terburuk dimana kabupaten/kota memiliki karakteristik yaitu pertumbuhan ekonomi yang rendah dan persentase kemiskinan yang tinggi. Sementara itu, Kuadran IV memperlihatkan kondisi kabupaten/kota yang memiliki

(29)

pertumbuhan ekonomi yang rendah disertai persentase kemiskinan yang juga rendah.

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.10. Perbandingan Kondisi Pertumbuhan dan Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Pesisir penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009

Berdasarkan analisis kuadran pertumbuhan ekonomi (PDRB) dan kemiskinan pada tahun 2005, terlihat bahwa kabupaten/kota yang berada dalam Kuadran 1 (kuadran terbaik) sebanyak 4 kabupaten/kota (Gianyar, Ciamis, Pontianak dan Kota Padang). Kabupaten/kota yang masuk Kuadran II ada 2 yaitu Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Bantul. Sementara itu hampir separuh kabupaten/kota ( 9 kabupaten/kota) masuk dalam kuadran terburuk (Kuadran III), sedangkan kuadran IV dihuni oleh 7 kabupaten/kota. Jika dibandingkan dengan keadaan tahun 2009, analisis kuadran untuk peubah PDRB dan kemiskinan tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Perkembangan yang baik hanya dialami oleh Kabupaten Tasikmalaya dimana pada tahun 2005 berada di Kuadran II dan pada tahun 2009 berpindah ke kuadran terbaik yaitu Kuadran I. Kondisi ini dapat diartikan sebagai perbaikan dalam hal penurunan persentase kemiskinan di

I III II IV I II III IV 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 pdrb2009 40.00 30.00 20.00 10.00 m is k i n 2 0 0 9 Biak Numfor Fakfak

Seram Bagian Timur

Buru Maluku Tengah

Minahasa Utara Nunukan

Kotawaringin Barat Pontianak Sambas Gianyar Bantul Kulon Progo Ciamis Tasikmalaya Bengkulu

Tanjung Jabung Barat

Padang Banda Aceh Aceh Besar 10000 8000 6000 4000 2000 0 pdrb2005 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 m i s k in 2 0 0 5 Biak Numfor Fakfak Seram Bagian Timur

Buru Maluku Tengah

Minahasa Utara Nunukan

Kotawaringin Barat Pontianak Sambas Gianyar Bantul Kulon Progo Ciamis Tasikmalaya Bengkulu Tanjung Jabung Barat

Padang Banda Aceh Aceh Besar I IV III I II IV III II

(30)

Kabupaten Tasikmalaya. Sementara itu kabupaten/kota lain tidak menunjukkan perubahan yang berarti (Gambar 4.10).

4.3.2 Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan

Dalam analisis kuadran antara ketimpangan pendapatan (Indeks Gini) dan kemiskinan, Kuadran I (terbaik) didefinisikan oleh kabupaten/kota yang memiliki persentase kemiskinan yang rendah disertai indeks gini yang juga rendah. Kuadran II, menunjukkan kondisi kabupaten/kota yang memiliki indeks gini yang tinggi namun persentase kemiskinan yang rendah. Kuadran III merupakan kondisi terburuk dimana kabupaten/kota pesisir memiliki kondisi kemiskinan dan indeks gini yang tinggi. Sementara itu Kuadran IV menunjukkan kondisi kemiskinan yang tinggi namun memiliki indeks yang rendah.

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.11. Perbandingan Kondisi Indeks Gini dan Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009

Gambar 4.11 menunjukkan bahwa posisi kabupaten/kota pesisir pada tahun 2005 dan 2009 memiliki karakteristik yang mayoritas menyebar di Kuadran I dan IV. Pada tahun 2005 terlihat bahwa kabupaten/kota pesisir yang masuk dalam Kuadran I

0.34 0.32 0.30 0.28 0.26 0.24 gini2009 40.00 30.00 20.00 10.00 m is k in 2 0 0 9 Biak Numfor Fakfak

Seram Bagian Timur

Buru

Maluku Tengah

Minahasa Utara Nunukan

Kotawaringin Barat Pontianak Sambas Gianyar Bantul Kulon Progo Ciamis Tasikmalaya Bengkulu

Tanjung Jabung Barat

Padang Banda Aceh Aceh Besar I IV III II 0.36 0.34 0.32 0.30 0.28 0.26 gini2005 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 m is k in 2 0 0 5 Biak Numfor Fakfak Seram Bagian Timur

Buru Maluku Tengah

Minahasa Utara Nunukan

Kotawaringin Barat Pontianak Sambas Gianyar Bantul Kulon Progo Ciamis Tasikmalaya Bengkulu Tanjung Jabung Barat

Padang Banda Aceh Aceh Besar II I IV III

(31)

(kuadran terbaik) sebanyak 6 kabupaten/kota (Ciamis, Pontianak, Kota Banda Aceh, Kotawaringin Barat, Sambas dan Kota Padang). Kabupaten/kota pesisir yang masuk Kuadran II, hanya satu yaitu Kota Bengkulu. Sementara itu, Kabupaten Bantul dan Biak Numfor berada di posisi kuadran terburuk (Kuadran III).

Pada tahun 2009, analisis kuadran untuk peubah Indeks Gini dan kemiskinan terjadi perubahan yang cukup berarti jika dibandingkan kondisi tahun 2005. Perkembangan yang baik dialami oleh Kabupaten Bantul, yang posisinya dari kuadran terburuk beralih ke Kuadran IV (ketimpangan rendah, kemiskinan tinggi). artinya mengalami perbaikan karakteristik ketimpangan pendapatan namun tidak dalam karakteristik kemiskinan. Sebaliknya Kabupaten Biak Numfor merupakan satu-satunya kabupaten/kota pesisir yang tetap dalam kondisi terburuk berada di Kuadran III ( kemiskinan dan indeks gini tinggi). Sementara itu kabupaten/kota lain tidak menunjukkan perubahan yang berarti.

4.3.3 Pengangguran dan Kemiskinan

Analisis kuadran antara tingkat pengangguran terbuka (TPT) dan tingkat kemiskinan, disajikan pada Gambar 4.11. Jika dilihat dari posisi kuadran, Kuadran I (terbaik) didefinisikan sebagai kabupaten/kota yang memiliki persentase tingkat kemiskinan yang rendah disertai TPT yang juga rendah. Kuadran II menunjukkan kondisi kabupaten/kota yang memiliki TPT yang tinggi namun persentase kemiskinan yang rendah. Kuadran III merupakan kondisi terburuk dimana kabupaten/kota memiliki kondisi kemiskinan dan TPT yang tinggi. Sementara itu Kuadran IV menunjukkan kondisi kemiskinan yang tinggi namun memiliki TPT yang rendah.

Pada Gambar 4.12, terlihat bahwa kabupaten/kota yang masuk dalam Kuadran I (kuadran terbaik) sebanyak 5 kabupaten/kota (Ciamis, Pontianak, Gianyar, Kotawaringin Barat dan Sambas). Kabupaten/kota yang berada di Kuadran II yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kota Bengkulu, Kabupaten Minahasa Utara,Kota Padang, dan Kota Banda Aceh. Sementara itu terdapat 4 kabupaten/kota yang masuk Kuadran III yaitu Kabupaten Nunukan, Biak Numfor, Aceh Besar dan Maluku Tengah.

(32)

IV 16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 tpt2009 40.00 30.00 20.00 10.00 m is k in 2 0 0 9 Biak Numfor Fakfak Seram Bagian Timur

Buru Maluku Tengah Minahasa Utara Nunukan Kotawaringin Barat Pontianak Sambas Gianyar Bantul Kulon Progo Ciamis Tasikmalaya Bengkulu

Tanjung Jabung Barat

Padang Banda Aceh Aceh Besar 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 tpt2005 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 m is k in 2 0 0 5 Biak Numfor Fakfak Seram Bagian Timur

Buru Maluku Tengah Minahasa Utara Nunukan Kotawaringin Barat Pontianak Sambas Gianyar Bantul Kulon Progo Ciamis Tasikmalaya Bengkulu Tanjung Jabung Barat

Padang Banda Aceh Aceh Besar I IV II III I III II IV Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.12. Perbandingan Kondisi Tingkat Pengangguran Terbuka(TPT) dan Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009

Analisis kuadran untuk peubah TPT dan tingkat kemiskinan pada tahun 2009 menunjukkan perbedaan yang berarti jika dibandingkan dengan keadaan tahun 2005. Perkembangan yang baik dialami oleh Kabupaten Tasikmalaya dan Tanjung Jabung Barat pada tahun 2005 posisi masing-masing berada di kuadran 4 dan 2, pada tahun 2009 berubah posisinya berada di kuadran terbaik yaitu kuadran 1.

Perkembangan yang baik untuk Kabupaten Tasikmalaya dalam analisis kuadran dapat diartikan sebagai perbaikan dalam hal pertumbuhan ekonomi, penurunan pengangguran dan penurunan persentase kemiskinan di kabupaten Tasikmalaya. Berdasarkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41 Tahun 2009 tentang penetapan lokasi minapolitan, Kabupaten Tasikmalaya merupakan salah satu kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengembangan kawasan minapolitan dari 41 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Kawasan minapolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi perikanan dan pengeloaan sumberdaya alam tertentu. Saat ini sedang dibangun PPI (Pangkalan Pendaratan Ikan) di Kampung Pamayang, Desa Cikawungading, Kecamatan Cipatujah, selanjutnya pembangunan TPI (Tempat

(33)

Pendaratan Ikan) di beberapa desa. Pengembangan kawasan minapolitan merupakan upaya dalam mendorong pengembangan kawasan budidaya perikanan di daerah. Kegiatan di kawasan minapolitan ini bertujuan untuk meningkatkan perekonomian dan pertumbuhan wilayah dengan kegiatan budidaya perikanan sebagai penggerak utamanya (Saefulah, 2009).

Berdasarkan analisis kuadran pengangguran dan kemiskinan kabupaten yang mengalami kemunduran atau berada diposisi sangat buruk (tingkat pengangguran dan kemiskinan sangat tinggi) adalah Kabupaten Seram Bagian Timur, Biak Numfor, Maluku Tengah dan Fak-Fak. Kabupaten-kabupaten tersebut terletak di Indonesia bagian timur, posisinya sangat buruk, yang dapat diartikan bahwa kabupaten tersebut masih memiliki tingkat pengangguran sekaligus tingkat kemiskinan yang sangat tinggi. Kebijakan pemerintah dengan adanya program PEMP di kawasan timur kiranya belum dapat mendorong penurunan angka pengangguran dan kemiskinan. Krisis ekonomi global diduga merupakan salah satu penyebab tidak tercapainya target pengurangan tingkat kemiskinan dan pengangguran pada periode 2005-2009, selain akibat faktor alam yang kurang mendukung masyarakat pesisir wilayah timur untuk bekerja dalam mencari penghasilan.

4.4 Pro Poor Growth ( Growth Incidence Curve /GIC)

Analisis tentang Pro Poor Growth dengan menggunakan GIC berguna untuk mengetahui derajat manfaat pertumbuhan ekonomi di 20 kabupaten/kota penerima program PEMP bagi penduduk miskin. Distribusi pendapatan terjadi perbaikan jika GIC merupakan fungsi turun. Dalam analisis ini, GIC dilakukan dalam periode 2005-2009. Penyesuaian pada data pengeluaran di tiap kabupaten/ kota dilakukan untuk memenuhi keterbandingan data antar kabupaten dan antar periode, karena perbedaan garis kemiskinan antar kabupaten/kota dan antar waktu.

4.4.1GIC Periode 2005-2009

Gambar 4.12. menunjukkan GIC dari 20 kabupaten/kota penerima program PEMP periode 2005-2009. Pada gambar tersebut memperlihatkan nilai pertumbuhan yang selalu positif di setiap persentil penduduk selama periode tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di periode ini bersifat

(34)

pro poor growth, yang berarti pula telah memberikan manfaat bagi penduduk

miskin. Bahkan GIC tersebut juga menunjukkan sebagai fungsi turun, dimana pertumbuhan di kelompok persentil teratas justru lebih rendah dibandingkan pertumbuhan di kelompok persentil terendah (hingga persentil-60).

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.13. Growth Incidence Curve (GIC) 20 Kabupaten/Kota Penerima Program PEMP Periode 2005-2009

Hal ini menunjukkan terjadinya perbaikan distribusi pendapatan di 20 kabupaten/kota penerima program PEMP selama periode tersebut. Meskipun secara keseluruhan terjadi pertumbuhan positif di semua kelompok persentil, akan tetapi pertumbuhan yg lebih tinggi di kelompok persentil terendah mempersempit kesenjangan pendapatan yang ada. Setidaknya program PEMP memberikan dampak positif bagi penduduk miskin dengan meningkatnya pendapatan mereka melalui peningkatan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kaya.

Gambar

Tabel 4.1. Dinamika Pertumbuhan, Ketimpangan dan Kemiskinan
Gambar 4.1. Tingkat Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima  PEMP, Tahun 2005 dan 2009
Gambar 4.4.  TPT  menurut  Kabupaten/ Kota  Pesisir  Penerima  Pogram                           PEMP Tahun 2005 dan 2009
Gambar 4.5. Perbandingan Persentase Penduduk Miskin menurut Kabupaten/
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dalam desain kurikulum, kemampuan technopreneurship dimasukkan sebagai salah satu kompetensi lulusan.Kompetensi itu didukung oleh beberapa mata kuliah teknologi terapan

Menangkap makna terkait fungsi sosial dan unsur kebahasaan secara kontekstual lirik lagu terkait kehidupan remaja

Pemberian pupuk organik cair urin sapi untuk pertumbuhan tanaman bayam (Amaranthus tricolor L) sebanyak 10% dan setara dengan urea.. Saran- saran yang dapat digunakan sebagai

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi tentang Tata Cara

(9) Dalam hal surat izin Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, dan Kantor Kas hilang atau rusak, atau perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (8)

Berdasarkan penjelasan di atas jelaslah bahwa setiap perusahaan baik manufacturing maupun perusahaan jasa konstruksi sangat membutuhkan peramalan penjualan produk

Daya pembeda butir soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan siswa yang tidak pandai (berkemampuan rendah)

Jika petani mendapatkan informasi 3 jenis terkait adanya sosialisasi benih padi varietas Mekongga.. 2) Kemampuan adalah keikutsertaan anggota kelompok tani pada saat