• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN BAB I 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN BAB I 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Masalah konsumen merupakan hal yang selalu aktual dan menarik perhatian. Persoalan konsumen selalu hangat dipersoalkan, dibicarakan, didiskusikan dan diperdebatkan. Masalah konsumen sangat luas sekali cakupannya, meliputi banyak bidang antara lain bidang perbankan, perumahan, kesehatan dan lain-lain.

Di Indonesia, perlindungan konsumen merupakan salah satu topik yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan sejak akhir tahun 1990-an, hal ini ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut dengan istilah “UU Perlindungan Konsumen”). Di dalam UU Perlindungan Konsumen tersebut diterapkan konsep dasar perlindungan konsumen yang bertujuan untuk menciptakan keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.

Di bidang perbankan, istilah konsumen pada perlindungan konsumen diistilahkan dengan nasabah. Pada bank, dijelaskan dalam ketentuan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (selanjutnya disebut dengan istilah “UU Perbankan”) tentang definisi nasabah dalam pasal 1 ayat 16, baik pada bank umum atau bank perkreditan rakyat atau bank yang menggunakan prinsip syariah, yang dimaksud dengan

(2)

nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank. Bentuk pelayanan jasa perbankan yang sesuai dengan ketentuan dalam pasal 6 UU Perbankan antara lain : Penghimpun dana, Pemberian Kredit, Usaha anjak piutang (factoring), kartu kredit dan wali amanat, Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Penyertaan modal (equity participation) dan Bank Garansi.

Selain istilah nasabah dalam perbankan, beberapa istilah dalam undang-undang tersebut dapat dijumpai dalam perjanjian dibidang perbankan ini, yaitu pelaku usaha adalah bank, perlindungan konsumen adalah bentuk perlindungan kepada nasabah, klausula baku adalah ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam formulir-formulir, perjanjian kredit dan dokumen lainnya yang dikeluarkan oleh bank dalam kegiatan operasionalnya.

Adanya UU Perlindungan Konsumen tentu berdampak pada sektor perbankan. Kehadiran undang-undang ini menjadi angin segar bagi nasabah bank di Indonesia karena perlindungan terhadap nasabah dapat lebih ditegakkan. Konsep perlindungan nasabah dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen antara lain dapat dilihat antara lain pada pasal 4, pasal 7, pasal 18. Pasal 4 menjelaskan hak-hak konsumen, yang antara lain adalah :

1. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan jasa yang diberikan;

2. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas jasa yang digunakan;

3. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa secara patut;

(3)

5. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

6. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau sebagaimana mestinya.

Pasal 7 menjelaskan mengenai kewajiban pelaku usaha. Dalam pasal ini, para pelaku usaha jasa perbankan dituntut lebih peduli kepada konsumen (nasabah) dengan bentuk 1:

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan jasa yang diberikannya;

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

4. Menjamin kegiatan usaha perbankan berdasar ketentuan standard perbankan yang berlaku.

Hubungan antara nasabah dengan bank adalah hubungan hukum karena adanya perjanjian antara kedua belah pihak. Praktek yang terjadi di dunia bisnis, pihak yang membuat perjanjian adalah pihak bank. Bentuk form perjanjian yang telah dibuat oleh pihak bank biasanya sudah standar, artinya perjanjian tersebut dipakai oleh bank tersebut kepada setiap nasabahnya. Istilah untuk penyebutan bentuk perjanjian seperti ini adalah perjanjian baku. Sering tidak terjadi posisi yang tidak seimbang antara bank dengan nasabah dengan adanya perjanjian baku tersebut. Nasabah berada dalam posisi tidak bisa menolak akan isi dari perjanjian tersebut, sehingga apabila nasabah merasa keberatan dengan klausula dalam perjanjian baku tersebut, ia tidak bisa meminta bank untuk

(4)

mengganti klausula perjanjian tersebut. Terlihat bahwa posisi nasabah dengan bank adalah tidak seimbang dimana bank biasanya posisinya lebih superior (lebih tinggi) dibandingkan dengan nasabahnya.

Ketentuan klausula baku diatur dalam pasal 18 UU Perlindungan Konsumen yang berbunyi sebagai berikut:

1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

(5)

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.

Dalam prakteknya perlindungan nasabah sangat berkaitan dengan UU Perlindungan Konsumen yang merupakan landasan yuridis untuk menuntut para pelaku perbankan melakukan kegiatan usahanya berdasarkan standar perbankan yang berlaku, memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur serta memperlakukan konsumen secara baik dan tidak diskriminatif.

Selain itu, perlindungan nasabah bank juga telah diatur oleh UU Perbankan. Konsep perlindungan nasabah di dalam UU Perbankan antara lain dapat dilihat dalam pasal 29 ayat (4) dan pasal 40. Contohnya di dalam pasal 29 ayat (4) UU Perbankan disebutkan sebagai berikut :

“Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.”

(6)

Dalam tesis ini penulis ingin memfokuskan topik penulisan mengenai perlindungan terhadap nasabah bank. Dalam prakteknya bentuk perlindungan nasabah bank diterapkan berdasarkan hubungan kontrak dalam bentuk perjanjian, baik terhadap nasabah penyimpan maupun nasabah peminjam. Di bidang perkreditan misalnya, permasalahan yang sering timbul adalah mengenai peran debitur sebagai konsumen. Konsekuensinya adalah pihak mana yang seharusnya dilindungi dalam konsep perlindungan konsumen, karena fasilitas yang diberikan oleh bank kepada nasabah debitur merupakan milik bank yang memiliki risiko yang cukup tinggi yang harus dipikul oleh bank.

Seperti telah diketahui bahwa lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan setiap negara. Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi perseorangan, badan usaha swasta, badan-badan usaha milik negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintahan menyimpan dana-dana yang dimilikinya. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.

Di Indonesia masalah yang terkait dengan bank diatur dalam UU Perbankan. Berkaitan dengan pengertian bank, Pasal 1 butir 2 UU Perbankan merumuskan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak.

(7)

“An institution, usually incopated, whose business to receive money on deposit, cash, checks or drafts, discount commercial paper, make loans, and issue promissory notes payable to bearer know as bank notes”.

Sedangkan menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, bank adalah: “Usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat, terutama memberikan kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan peredaran uang”.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa bank pada dasarnya adalah badan usaha yang menjalankan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada pihak-pihak yang membutuhkan dalam bentuk kredit dan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa sistem perbankan adalah suatu sistem yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan proses melaksanakan kegiatan usahanya secara keseluruhan.

Dunia perbankan menemukan titik gairahnya di tengah banyaknya permasalahan antara nasabah bank dan pelaku usaha (bank) ini. Dalam hal ini, Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas perbankan di indonesia mempunyai andil yang besar untuk mengatasi masalah yang timbul sewaktu-waktu. Makin menjamurnya produk perbankan, secara signifikan diikuti pula dengan permasalahan yang mengikutinya.

Dalam industri perbankan, hubungan antara bank dengan nasabah adalah seperti hubungan antara penjual dan pembeli dimana bank

(8)

“menjual” jasa dalam bentuk produk-produk perbankan seperti buku tabungan, kartu kredit, safe deposit box, giro, anjungan tunai mandiri (ATM) dll, sedangkan nasabah sebagai “pembeli” produk-produk tersebut. Potensi konflik akan sangat mungkin terjadi dalam hubungan seperti ini.

Nasabah bank banyak menuai ketidakpuasan atas produk-produk perbankan yang diadakan oleh suatu bank. Kemudian yang menjadi pertanyaan besar adalah langkah apa yang dapat dilakukan oleh nasabah bank apabila dihadapkan pada kasus seperti itu?

Menurut pengetahuan penulis, sebagian nasabah bank membiarkan begitu saja kasus yang menimpanya. Mereka enggan mengajukan gugatan ganti rugi atau melaporkan keluhannya ke pihak-pihak yang berkompeten. Kondisi tersebut dilatarbelakangi alasan beragam. Alasan yang paling dominan adalah tidak mau repot, khawatir urusan menjadi makin ruwet dan tidak mau terlibat urusan di kepolisian.

Kebanyakan nasabah bank juga pesimis laporannya akan ditanggapi dengan baik. Mereka juga tidak tahu persis kemana harus mengadukan kasus yang dihadapinya dan takut pada besarnya biaya pengaduan. Kemudian dengan adanya fenomena-fenomena bagaimana jalan keluar yang dapat dicari agar antara nasabah dan pelaku usaha (bank) tercapai suatu win-win solution yang memuaskan kedua belah pihak.

Bank Indonesia dalam hal ini harus selalu berupaya meningkatkan perlindungan kepada nasabah yang sering menerima perlakuan kurang adil dari pihak bank. Perlindungan terhadap nasabah merupakan salah satu bagian dari 6 (enam) implementasi pilar Arsitektur Perbankan Indonesia (API), yakni program peningkatan perlindungan nasabah selain

(9)

dari struktur perbankan yang sehat, sistem regulasi yang efektif, sistem supervisi independen dan efektif, industri perbankan yang kuat dan infrastruktur yang memadai.

Penyelesaian permasalahan nasabah ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan melakukan pengaduan secara langsung kepada bank dan diselesaikan di dalam internal bank tersebut, jalur pidana/ litigasi dan juga melalui jalur non litigasi. Pada jalur non litigasi, penyelesaian permasalahan nasabah bank dapat dilakukan melalui suatu lembaga mediasi dimana para pihak yang bersengketa dipertemukan melalui seorang mediator yang akan menjadi penengah yang bersifat netral. Diharapkan dengan adanya mediasi ini maka akan didapatkan jalan tengah yang memuaskan kedua belah pihak dalam menyelesaikan masalahnya.

Selama ini jalur penyelesaian perselisihan perbankan di luar pengadian memang belum ada. Bank Indonesia saat ini hanya memiliki Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan (DIMP) yang berada di bawah struktur dan kepengurusan Bank Indonesia dan itupun belum memiliki tugas dalam penyelesaian perselisihan perbankan. Bank Indonesia hanya bertindak sebagai “fasilitator”. Hal ini berarti setiap penyelesaian pengaduan nasabah tidak dapat memberikan keputusan yang mengikat dan tidak adanya kepastian hukum bagi nasabah. Penyelesaian perselisihan hanya berdasarkan itikad baik dari kedua belah pihak yang bersengketa.

Permasalahan diatas mengindikasikan saatnya Lembaga Mediasi Bank Indonesia dirombak karena tidak efektif dan tidak menjamin kepastian hukum bagi nasabah bank. Mungkin harus dibentuk suatu lembaga mediasi yang independen yang dapat mengakomodasi kepentingan para pihak tersebut.

(10)

Berdasarkan uraian diatas, penulis mencoba membahas bentuk perlindungan terhadap nasabah bank, khususnya perlindungan yang dilakukan melalui suatu lembaga mediasi perbankan, hambatan-hambatan yang terjadi dan kekuatan hukum yang terjadi dari proses mediasi tersebut.

1.2 POKOK PERMASALAHAN

Berbagai permasalahan yang terjadi dalam perjanjian antara nasabah dengan bank mengakibatkan kurang jelas dan kurang memadainya bentuk perlindungan bagi nasabah bank. Oleh karena itu dalam penulisan ini akan dibahas beberapa permasalahan yang berkaitan dengan bentuk perlindungan bagi nasabah bank, yaitu:

1. Upaya hukum apa yang dapat ditempuh oleh nasabah bank apabila mengalami sengketa dengan pihak bank?

2. Bagaimana perlindungan terhadap nasabah bank yang dilakukan melalui lembaga mediasi perbankan?

3. Bagaimana efektivitas dari keputusan mediasi yang dihasilkan oleh lembaga mediasi perbankan ini dalam melindungi nasabah bank ?

1.3 TUJUAN PENULISAN

Sistem hukum perbankan di Indonesia sangat berkaitan dengan ketentuan-ketentuan dibidang perekonomian, antara lain ketentuan dibidang perseroan terbatas, bidang asuransi, bidang pasar modal, bidang perpajakan. Seluruh ketentuan tersebut sangat berkaitan erat dengan

(11)

ketentuan tentang perlindungan konsumen, begitu juga dengan hubungan antara nasabah dan bank.

Berkaitan dengan adanya hubungan antara nasabah dan bank tersebut maka tujuan dari penelitian untuk penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan oleh nasabah bank apabila mengalami sengketa dengan pihak bank..

2. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme perlindungan terhadap nasabah bank melalui suatu lembaga mediasi perbankan.

3. Untuk mengetahui bagaimana efektivitas dari keputusan yang dihasilkan oleh lembaga mediasi perbankan.

1.4 KEGUNAAN PENELITIAN

Bentuk perlindungan nasabah dalam penerapan sistem hukum perbankan di Indonesia diterapkan melalui berbagai peraturan yang berkaitan dengan bank, seperti Peraturan Bank Indonesia, Surat Edaran Bank Indonesia dan peraturan-peraturan terkait lainnya. Oleh karena itu pembahasan topik ini diharapkan dapat memberikan manfaat/kegunaan dalam hal-hal sebagai berikut :

1. Memberikan gambaran yang jelas tentang bentuk perlindungan terhadap nasabah bank apabila mengalami sengketa dengan pihak bank.

2. Memberikan gambaran yang jelas mengenai peranan lembaga mediasi perbankan dalam melakukan perlindungan pada nasabah bank, dan juga untuk mengetahui efektivitas dari lembaga ini

(12)

berkenaan dengan keputusan sengketa yang dihasilkan oleh lembaga mediasi perbankan.

3. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis sendiri juga bagi pembaca, khususnya dibidang hukum perbankan.

1.5 METODE PENELITIAN

Di dalam melakukan penulisan ini, penulis menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengutamakan data sekunder, khususnya bahan hukum primer berupa aturan normatif yang tertulis. Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat suatu keadaan atau gejala tertentu 2.

Jenis data yang digunakan adalah data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan. Alat pengumpulan data penelitian menggunakan studi dokumen dan wawancara dengan narasumber yang berhubungan dengan topik yang sedang diteliti. Wawancara ini dilakukan untuk menunjang atau menambah materi dan bahan yang telah diperoleh dari data sekunder.

Dalam metode penelitian hukum normatif, data sekunder terdiri dari:

a. Bahan hukum primer

Sumber primer dari penulisan ini adalah berasal dari peraturan perundang-undangan, yaitu antara lain:

(13)

• Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

• undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

• Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

• Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

• PERMA RI No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

• Peraturan Bank Indonesia No. 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah

• Peraturan Bank Indonesia No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.

• Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.

b. Bahan hukum sekunder

Sumber bahan hukum sekunder dari penulisan ini adalah:

• Buku-buku mengenai perbankan, hukum perbankan, mediasi dan lain-lain.

• Jurnal hukum

• Artikel koran dan majalah

• Internet

• Sumber-sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini

(14)

1.6 KERANGKA TEORI

Landasan teori dalam setiap penelitian sangat penting dalam sebuah penulisan karena dapat berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya 3.

Kegiatan pelaku ekonomi dapat mempengaruhi kondisi perekonomian Indonesia. Terutama kondisi mikro dimana pelaku ekonomi yang menjalankan usahanya dengan manajemen buruk sudah tentu berpengaruh terhadap kondisi ekonomi negara. Kondisi pelayanan yang buruk dan penyelesaian masalah yang juga buruk antara nasabah dengan bank akan semakin memperburuk iklim sektor perbankan.

Hubungan hukum yang terjadi antara nasabah dengan bank seharusnya terjadi dalam posisi yang seimbang dan sejajar serta mendahulukan hak nasabah. Kenyataannya selama ini, pihak bank cenderung menjadi pihak yang superior dibandingkan nasabah. Selama ini bank menyodorkan kertas perjanjian baku, sedangkan nasabah hanya pada opsi untuk menerima atau menolak saja. Oleh karena itu undang-undang perlu memberikan perlindungan terkait dengan bank dan nasabah. Bahwa perjanjian tersebut memiliki asas pacta sunt servanda, dimana perjanjian itu bersifat mengikat, namun demi adanya ukuran kepastian hukum maka undang-undang perlu mengatur dan menentukan syarat-syarat bagi perjanjian yang dibuat.

Demikian pula, kondisi pelayanan dan penyelesaian sengketa antara bank dengan nasabah yang buruk, jelas akan mengakibatkan buruknya citra perbankan di Indonesia. Tanpa penyelesaian hukum yang

3 Soerjono Soekanto, 2005, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit: Universitas Indonesia, Jakarta, hal 121.

(15)

transparan, harmonis selaras dan seimbang pada kedudukan hukum yang sejajar, maka sudah barang tentu akan terjadi ketidak seimbangan dalam ilkim perbankan di Indonesia.

Dalam masyarakat Indonesia, penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi telah ada jauh sebelum hukum negara secara positif berlaku. Proses mendapatkan keadilan hukum bagi masyarakat telah lama dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam masyarakat hukum adat. Para tetua adat dan pemimpin agama sering bertindak sebagai mediator dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam masyarakat.

Jadi penyelesaian sengketa secara musyawarah sudah merupakan budaya masyarakat Indonesia yang berpola gemeinschaaf, yaitu cenderung menggunakan cara-cara musyawarah dalam menyelesaikan masalah, sehingga lahir keputusan dalam bentuk konsensus. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah mufakat, konsensus dan win-win solution merupakan perilaku hukum masyarakat Indonesia.

Sesungguhnya penyelesaian sengketa melalui mediasi baik di dalam maupun luar pengadilan adalah perwujudan dari UUD 1945 pasal 28d ayat 1 yang berbunyi: “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.

Selain itu berlakunya Undang-undang tentang Alternative Dispute Resolution (ADR) semakin membuka peluang untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur non litigasi. Terdapat berbagai bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan yaitu melalui arbitrase, negosiasi, mediasi, rekonsiliasi. Untuk penyelesaian mediasi dalam pengadilan diatur oleh PERMA no. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

(16)

Sedangkan mediasi diluar pengadilan pengaturannya diserahkan kepada lembaga terkait dan pemangku kepentingan seperti mediasi perbankan diatur oleh Bank Indonesia, mediasi pasar modal diatur oleh Bapepam, mediasi asuransi diatur oleh Dewan Asuransi Indonesia.

Penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi sudah lama mendapat tempat dalam pergaulan internasional dimana dipertegas dalam chapter IV article 33 angka 1 piagam PBB yang mengatakan bahwa:

“the parties to any disputes, the continuance of wich is likely to endanger the maintenance of international peace n security, shall, first of all, seek a solution by negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peacefull means of their own choice” 4.

Gerakan ADR yang pertama kali diperkenalkan adalah arbitrase. Arbitrase berkembahg di berbagai penjuru dunia termasuk di indonesia. Arbitrase dinilai memiliki kelebihan dibanding litigasi dalam beberapa hal: proses lebih cepat (karena putusannya bersifat final dan mengikat), sederhana (tidak perlu aturan beracara yang kaku), terjamin kerahasiaan, para pihak bebas dapat memilih arbiter yang mereka butuhkan sesuai dengan keahlian, kejujuran dan keputusannya dapat diakui dan dilaksanakan di banyak negara di dunia 5.

Mediasi juga merupakan pilihan penyelesaian sengketa yang hampir mirip dengan arbitrase, dalam arti dengan jalur non litigasi sehingga proses penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan lebih murah, cepat dan tidak berbelit-belit. Dalam proses mediasi, para pihak

4 Mochtar Kusumaatmaja dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit: PT. Alumni, Bandung, 2003, hal. 225.

(17)

yang bersengketa akan dibantu oleh seorang mediator yang bersifat netral, sebagai penengah dari kedua belah pihak. Akan tetapi, keputusan penyelesaian tetap berada di tangan pihak yang bersengketa, karena mediator tidak berhak memutuskan perkara, hanya membantu saja.

Mediasi adalah pilihan penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian kesepakatan sukarela. Melalui mediasi ini diharapkan tercapai kondisi win-win solution bagi kedua belah pihak yang bersengketa.

1.7 KERANGKA KONSEPSIONAL

Dalam suatu penelitian, diperlukan adanya uraian penjelasan tentang penggunaan istilah, definisi dari suatu rumusan obyek penelitian serta referensi atau acuan yang digunakan. Pada penulisan ini, semua penjelasan tentang istilah, definisi dan referensi atau acuan diuraikan dalam suatu kerangka konsepsional dan dikaji menurut ilmu hukum. Berikut ini istilah-istilah yang banyak akan digunakan dalam penulisan ini adalah :

1. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak.

2. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa sistem perbankan adalah suatu

(18)

sistem yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan proses melaksanakan kegiatan usahannya secar keseluruhan.

3. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia. 4. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank.

5. Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.

6. Nasabah Debitur adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.

7. Perwakilan Nasabah adalah perseorangan, lembaga dan atau badan hukum yang bertindak untuk dan atas nama Nasabah dengan berdasarkan surat kuasa khusus dari Nasabah.

8. Pengaduan adalah ungkapan ketidakpuasan Nasabah yang disebabkan oleh adanya potensi kerugian finansial pada Nasabah yang diduga karena kesalahan atau kelalaian Bank.

9. Transaksi Keuangan adalah pemanfaatan produk dan atau jasa perbankan maupun produk dan atau jasa lembaga keuangan lain dan atau pihak ketiga lainnya yang ditawarkan melalui bank.

10. Sengketa Perbankan adalah permasalahan yang diajukan oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah kepada penyelenggara mediasi perbankan, setelah melalui proses penyelesaian pengaduan oleh Bank, sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.

11. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna menyelesaikan sengketa dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian atau seluruh permasalahan yang disengketakan.

(19)

12. Mediator adalah pihak yang tidak memihak dalam membantu pelaksanaan Mediasi.

13. Kesepakatan adalah persetujuan bersama antara Nasabah atau Perwakilan Nasabah dengan Bank terhadap suatu upaya penyelesaian sengketa.

14. Akta Kesepakatan adalah dokumen tertulis yang memuat Kesepakatan yang bersifat final dan mengikat bagi Nasabah dan Bank.

15. Peraturan Bank Indonesia adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan mengikat setiap orang atau badan dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

16. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

1.8 SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan tesis dibuat sedemikian rupa untuk mempermudah pembaca dalam memahami permasalahannya. Terdapat lima sub-bab dan dalam bab-bab tersebut merupakan suatu kesatuan yang bulat untuk dapat memahami masalah perlindungan konsumen perbankan, adapun isi dari bab dan sub-bab tesis ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan diuraikan masalah-masalah pokok dengan menunjukkan latar belakang masalah, pokok permasalahan, kemudian diuraikan tujuan dilakukannya penulisan tesis ini dan kegunaannya, yang dilanjutkan dengan pembuatan metode penelitian, kerangka teori dan

(20)

konsepsional yang diterapkan dalam penulisan tesis ini dan diakhiri dengan sistematika penulisan tesis.

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP NASABAH BANK DI

INDONESIA

Pada Bab ini penulis akan menguraikan tentang perlindungan terhadap nasabah bank pada umumnya. termasuk didalamnya akan dibahas prinsip hubungan antara nasabah dengan bank. Bentuk-bentuk hubungan kontrak yang diatur di dalam ketentuan hukum yang berlaku antara nasabah dengan bank, kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam ketentuan yang berlaku sehubungan dengan terjadinya permasalahan atau sengketa antara nasabah dengan pihak bank, dan upaya yang dapat dilakukan oleh nasabah apabila mengalami konflik atau sengketa dengan bank

BAB III MEDIASI PERBANKAN SEBAGAI ALTERNATIF

PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN

Pada bab ini akan membahas mengenai mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa perbankan. Pengertian mediasi perbankan beserta dasar hukum keberlakuan mediasi perbankan akan dijelaskan di bab ini. termasuk didalamnya latar belakang perlunya dibentuk suatu lembaga mediasi ini dan mekanisme perlindungan terhadap nasabah bank melalui lembaga mediasi perbankan.

BAB IV PERANAN LEMBAGA MEDIASI PERBANKAN DALAM

MELINDUNGI NASABAH BANK

Pada bab ini penulis akan membahas mengenai lembaga perbankan sebagai alternatif penyelesaian sengketa

(21)

konsumen perbankan dan juga termasuk didalamnya uraian mengenai kekuatan hukum dari keputusan mediasi dari lembaga ini.

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan-kesimpulan dan saran-saran penulis berdasarkan hasil analisis pada bab-bab sebelumnya

Referensi

Dokumen terkait

Catatan: Bila terdapat dokumen, fasilitas, dan atau hal lainnya yang berhubungan dengan kondisi ruang kelas dapat ditulis dalam instrumen kualitatifa. B Laboratorium:

Pekerjaan langit-langit meliputi pemasangan rangka dan penutup plafon. Untuk rangka digunakan kayu minimal kelas kuat 3 dan diberi lapisan pelindung hama

Principal tersebut adalah perusahaan yang telah terdaftar pada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan memiliki referensi Bank setempat. Surat Jaminan yang

Mengacu pada hal- hal penting diatas, dalam melihat pengaruhnya terhadap pertambahan jumlah nasabah baru pada BMT As- Salam, maka penulis terdorong untuk melakukan sebuah

Direktur, Ketua Jurusan, Ketua Program Studi dan dosen dalam menyelenggarakan kegiatan penilaian penididikan atau kemajuan belajar mahasiswa atau penilaian hasil

Hasil penelitian penggunaan Tepung Ampas Bir (TAB) dalam ransum terhadap bobot badan akhir, bobot dan persentase karkas ayam broiler dapat dilihat

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah untuk mengetahui Efektivitas dan penerapan Sistem Informasi Manajemen (SIM) terhadap pelayanan masyarakat pada

Hasil  penelitian  ini  menunjukkan  sistem  kompensasi  yang  diterapkan  di  RS PMI Bogor cukup sesuai dengan  harapan  karyawan dengan skor rataan 3,15.