• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUBERKULOSIS PARU DAN PROGRAM DOTS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TUBERKULOSIS PARU DAN PROGRAM DOTS"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

MODUL PULMONOLOGI

DAN KEDOKTERAN RESPIRASI

TUBERKULOSIS PARU DAN

PROGRAM DOTS

BAGIAN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG

NOVEMBER 2014

NOMOR MODUL : A02

TOPIK : Infeksi Kronis Paru

SUB TOPIK : TB paru dan DOTS I. Waktu

Mengembangkan kompetensi Waktu

Sesi Tutorial Diskusi kelompok

Sesi praktik dengan fasilitasi pembimbing Sesi praktik mandiri

Pre-test & post-test Pencapaian kompetens 2 x 60 menit 4 x 60 menit 3 x 120 menit 4 x 120 menit 2 x 30 menit 1 minggu II. Tujuan Pembelajaran

A. Tujuan Umum

Modul ini menguraikan tentang proses dan asuhan yang diberikan pada kasus tuberkulosis paru. Disini dijelaskan tentang anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan tuberkulosis paru. B. Tujan Khusus

Pada akhir pembelajaran modul diharapkan peserta didik mampu mengenali gangguan fungsi, melakukan pemeriksaan, menetapkan diagnosis dan prognosis serta melakukan penatalaksanaan pasien dengan tuberkulosis paru.

III. Kompetensi

A. Kompetensi Kognitif

1. Memahami defenisi, penyebab, patogenesis dan resiko tuberkulosis paru.

(2)

2. Memahami gambaran klinis tuberkulosis paru

3. Memahami berbagai teknik pemeriksaan yang berkaitan dengan tuberkulosis paru.

4. Memahami tatalaksana mendiagnosis tuberkulosis paru. 5. Memahami tatalaksana terapi tuberkulosis paru

6. Memahami indikasi dan kontraindikasi tindakan dan terapi tuberkulosis paru

7. Memahami risiko, komplikasi yang dapat terjadi akibat tindakan diagnostic dan terapi.

8. Memahami program DOTS dan ISTC

9. Mamahami mengelola pasien TB secara komprehensif, secara DOTS (diagnosis, pengobatan dan evalusi pengobatan, serta sistem

pencatatan dan pelaporan pasien TB pada program DOTS) B. Kompetensi Keterampilan

1. Mampu mengenali gejala dan tanda

2. Mampu melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis

3. Mampu merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan penunjang 4. Mampu membuat keputusan klinik dan memberikan tindakan yang

tepat

5. Mampu mengelola kasus TB secara program DOTS dan mengikuti panduan tatalaksanan menurut ISTC( Internasional Standarad Tuberculosis Care)

IV. Metoda dan Strategi Pembelajaran A. Metoda

1. Kuliah interaktif

2. Curah pendapat dan diskusi 3. Bed side teaching

4. Pendampingan (coaching) B. Strategi

Tujuan 1. Mampu mengenali gejala dan tanda (metoda 1,2,3,4)

Tujuan 2. Mampu melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis (metoda 1,2,3,4)

Tujuan 3. Mampu merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan penunjang

(metoda 1,2,3,4)

Tujuan 4. Mampu menginterpertasi hasil pemeriksaan penunjang (metoda 1,2,3,4)

Tujuan 5. Mampu membuat keputusan klinik dan memberikan tindakan yan tepat (metoda 1,2,3,4)

V. Persiapan Sesi

Bahan dan peralatan yang diperlukan:

1. Materi modul penanganan tuberkulosis paru dan program DOTS 2. Materi presentasi: Power point

3. Model: 4. Contoh kasus

5. Daftar tilik kompetensi 6. Audiovisual

VI. Referensi Buku Wajib

Buku wajib yang perlu dibaca: FISHMAN

(3)

Pedoman Nasional Penatalaksanaan TB

Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia (PDPI)

VII. Gambaran Umum

Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat penting di dunia. Tahun 1092 , mencanangkan TB sedbagai Global Emergency. Perkiraan kasus TB secara global pada tahun 2009 adalah insiden kasus 9,4 juta , prevalens kauss sebesar 14 juta , kematian Tb pada HIV negatif sekitar 1,3 juta dan kematian Tb pada HIV positif sekitar 0,38 juta. Lima negara dengan insiden kasus terbanyak adalah India, Cina, Afrika selatan Indonesia, dan Nigeria.

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberkulosis complek. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura. Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru seperti kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran kencing, dll.

Patogenesis tuberkulosis Tuberkulosis primer

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks

primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :

1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)

3. Menyebar dengan cara :

• Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.

• Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan

• Penyebaran secara hematogen dan limfogen.

Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman.

Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :

• Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma) atau

• Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.

(4)

Tuberkulosis post primer

Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :

• Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat.

• Sarang tadi mula-mula meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran, atau sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.. • Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan

kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik).

Nasib kaviti ini :

• Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas.

• Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi. Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti

menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

Gambar 1. Skema perkembangan sarang tuberkulosis post primer dan perjalanan penyembuhannya

Definisi kasus dan Klasifikasi tuberkulosis Definisi kasus

Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda TB. Gejala umum Tb paru adalah batuk produktif lebih dari 2 minggu yang disertai gejala pernapasan ( sesak napas, nyeri dada, hemoptisis) dan / atau dengan gejala

(5)

tambahan ( tidak nafsu makan, penurunan berat badan, keringat malam dan mudah lelah). Dalam penentuan suspek TB dipertimbangkan faktor seperti usia pasien, immunitas pasien, status HIV atau Prevalens HIV dalam masyarakat

Kasus TB adalah:

Kasus TB pasti yaitu pasien TB dengan ditemukannya Mycobacterium tuberKulosis complex yang diidentifikasi dari spesemen klinik ( jaringan , cairan tubuh, usap tenggorokan dll) dan kultur.atau

Seseorang pasien yang setelah dilkukan pemeriksaan penunjang untuk TB sehingga didiagnosis TB oleh dokter maupun petugas kesehatan dan diobati dengan paduan dan lama pengobatan yang lengkap.

Kasus TB diklasifikasikan berdasarkan 1. Letak anatomi penyakit

2. Hasil pemeriksaan dahak atau bakteriologi ( termasuk hasil tes resistensi)

3. Riwayat pengobatan 4. Status HIV

• Tuberkulosi berdasarkan letak anatomi penyakit

Penyakit TB berdasarlan lokasi anatomis penyakit dibagi atas TB paru dan TB ektra paru.

TB paru adalah kasus Tb yang mengenai parenkim paru termasuk TB milier karena lesinya terdapat dalam parenkim paru

TB ektra paru yaitu kasus TB uyang mengenai organ lain seain paru seperti pleura, keenjer getah bening ( termasuk mediatinum/ hilus), pericard, abdomen, traktus genito urinarius, kulit, sendi tulang dan selaput otak dll.

Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif.

Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi atas: • Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:

o Sekurang-kurangnya 2 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif pada laboratorium yang memenuhi syarat qualitty external assurance ( EQA) sebaik satu dari spesemen berasal dari dahak pagi hari

o Untuk daerah yang belum memiliki laboratorium yang memenuhi syarat EQA maka TB BTA positif adalah:

§ Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif.

§ Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

§ Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif

• Tuberkulosis paru BTA (-)

Hasil pemeriksaan dahak negatif tetapi hasil kultur positif. o Sedikitnya 2 hasil pemeriksaan dahak BTA negatif pada

laboratorium yang memenuhi syarat EQA.

o Dianjurkan pemeriksaan kultur pada hasil pemeriksaan dahak BTA negatif untuk memastikan diagnosis terutama pada daerah dengan prevalensi HIV > 1 % atau pasien TB dengan kehamilan > 5 %.

atau

o jika hasil pemeriksaan dahak 2 kali menunjukkan BTA negatif untuk daerah yang belum memiliki fasilita kultur M Tb. Memenuhi kriteria sebagai berikut:

(6)

• hasil foto toraks sesuai gambaran TB aktif dan disertai salah satu di bawah ini:

• hasil pemeriksaan HIV positif atau secara laboratorium sesuai HIV, atau

• jika HIV negatif ( status HIV tidak diketahui atau prevalens HIV rendah ), tidak menjukan perbaikan setelah pemberian antibiotikspektrum luas ( kecuali antibiotik yang mempunyai efek anti TB seperti fluorokuinolon dan aminoglikosida)

• Kasus bekas TB

Hasil pemeriksaan BTA negatif ( biakan juga negatif) bila ada) dan gambaran radiologi paru menunjukan lesi TB yang tidakaktif, atau foto serial dalam 2 bulan ) menunjukan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.

Pada kasus dednagn gambaran radiologi meragukan dan telah dapat pengobatan OAT 2 bulan tetapi foto torak ulang tidak ada perobahan gambaran radiologi

Berdasarkan tipe pasien

Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :

• Kasus baru:

Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah mendapat OAT kurang dari satu bulan.pasien BTA negatif atau posiitif, dengan lokasi anatomi penyakit di manapun.

• Pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya

Adalah pasien yang sudah pernah mendapatkan pengobatan TB

sebelumnya minimal selama 1 bulan , dengan dhasil dahak positif atau negatif dengan lokasi anatomi penyakit dimanapun. dibagi atas;

• Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.

Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :

• Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi; Infeksi jamur atau TB paru kambuh.

Bila meragukan harap konsul ke ahlinya. • Kasus gagal

Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan

• Kasus lalai (defaulted atau drop out)

Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

• Lain- lain

• Kasus kronik / persisten

Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik

• Kasus pindahan (transfer in):

Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain.

(7)

Pasien pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah.

Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan fisis, bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Gejala klinik

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang

terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat)

• Gejala respiratorik • batuk > 2 minggu • batuk darah • sesak napas • nyeri dada

Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.

• Gejala sistemik • Demam

• Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun

• Gejala tuberkulosis ekstra paru

Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis

tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

Pemeriksaan Fisis

Pada pemeriksaan fisis kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak ada (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan juga kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”

Pemeriksaan Bakteriologik • Bahan pemeriksasan

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).

Cara pengumpulan dan pengiriman bahan pemeriksaa (dahak) diambil 3 kali (SPS):

(8)

• Pagi ( keesokan harinya )

• Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.

Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ /ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.

Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium.

Bila lokasi fasiliti laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.

Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring: • Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar

terlihat bagian tengahnya

• Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml

• Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak

• Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di dalam dus

• Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil

• Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi

• Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak

• Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.

Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.

Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara

• Mikroskopik • Biakkan Pemeriksaan mikroskopik:

Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen

Mikroskopik fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening)

lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila: • 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif disebut BTA positif • 1 kali positif, 2 kali negatif, ulang lagi BTA 3 kali (kecuali bila

ada fasiliti foto toraks), kemudian

bila 1 kali positif, 2 kali negatif foto toraks positif disebut BTA positif

• bila 3 kali negatif disebut BTA negatif.

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :

• Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif • Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman

yang ditemukan

(9)

• Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+) • Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+) Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst

SkalaBronkhorst (BR) :

• BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan • BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang • BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang • BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang • BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang Pemeriksaan identifikasi M tuberculosis dengan cara : • Pemeriksaan biakan

• Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh

• Agar base media : Middle brook

• Mycobacteria growth indicator tube test ( MGITT) • BACTEC

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul

• Uji molecular:

• PCR-base methods of IS61 10 Genotyping • Spoligotyping

• Restriction Fragment Length Polymorphysm ( RFLP) • MIRU/ VNTR Analisis

• PGRS RFLP

• Genomic Delection Analysis

• Identifikasi M tuberculosis danuji kepekaan:

• Hain test ( uji kepekaan untuk R dan H)

• Molecular beacon testing ( uji kepekaan untuk R) • Gene X-pert ( uji kepekaan untukR)

Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif : • Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas

paru dan segmen superior lobus bawah

• Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular

• Bayangan bercak milier

• Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif

• Fibrotik • Kalsifikasi

• Schwarte atau penebalan pleura Luluh paru (destroyed Lung ) :

Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA negatif) :

• Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan

(10)

dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai kaviti.

• Lesi luas Bila proses lebih luas dari lesi minimal. Pemeriksaan khusus

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat. • Pemeriksaan BACTEC.

Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan.

• Polymerase chain reaction (PCR):

Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar internasional.

Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB

Pada pemeriksaan deteksi M.TB tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun ekstra paru sesuai dengan organ yang terlibat.

• Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda a.1:

• Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)

Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa proses antigenantibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama. • ICT

Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran. • Mycodot.

Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir dan dapat dideteksi dengan mudah.

• Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)

Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan

(11)

serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati-hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi. • Uji serologi yang baru / IgG TB

Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis.

Pemeriksaan lain

• Analisis Cairan Pleura

Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah

• Pemeriksaan histopatologi jaringan

Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :

• Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)

• Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman)

• Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans thoracal biopsy/TTB, biopsi • paru terbuka).

• Otopsi

Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.

• Pemeriksaan darah

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.

• Uji tuberkulin

Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.

Pengobatan TB berdasarkan panduan obat anti tuberkulosis.

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 5 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.

Obat yang dipakai:

Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: • Rifampisin

• INH

• Pirazinamid • Streptomisin • Etambutol

Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) • Kanamisin

• Amikasin • Kuinolon

• Obat lain masih dalam penelitian ( makrolid, amoksilin + asam klavulanat)

(12)

Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain : • Kapreomisin

• Sikloserino PAS (dulu tersedia) • Derivat rifampisin dan INH

• Thioamides (ethionamide dan prothionamide) Kemasan

• Obat tunggal,

Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol.

• Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination – FDC) Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet

Tabel 1. Jenis dan dosis OAT

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioritas utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarankan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 3.

Tabel 3. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap

Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:

• Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal

• Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang tidak disengaja

• Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar

• Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit

• Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan monoterapi

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik.

Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasilitas yang mampu menanganinya.

Paduan obat anti tuberkulosis

Pengobatan TB standar dibagi menjadi • Pasien baru

(13)

Paduan obat yang dianjurkan 2 RHZE / 4 RH dengan pemberian dosis setiap hari.

Bila menggunakan obat program, maka pemberian setiap hari pada fase intensif dilanjutkan dengan pemberian dosis tiga kali seminggu pada fase lanjutan dengan DOT, rejimen 2 RHZE / 4R3H3.

• Pada pasein dengan riwayat pengobatan TB lini pertama, Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji kepekaan secara individual. Selama menunggu hasil uji kepekaan, diberikan paduan obat 2 RHZES/RHZE/5 RHE

• Pasien Multi drug resistant ( MDR) TB Paru kasus gagal pengobatan

Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 5 OAT (minimal 3 OAT yang masih sensitif), seandainya H resisten tetap diberikan. Lama pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun. Sambil menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan obat 2 RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi

• Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3

• Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal

• Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru TB Paru kasus putus berobat

Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut :

• Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan pengobatan OAT dilanjutkan sesuai jadual

• Pasien menghentikan pengobatannya > 2 bulan:

Berobat >4 bulan, BTA saat ini negatif, klinik dan radiologik tidak aktif / perbaikan, pengobatan OAT STOP.

Bila gambaran radiologik aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain.

Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.

Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal

• Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.

Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal

• Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan radiologik positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama. Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur resistensi) terhadap OAT

Efek Samping OAT :

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.

(14)

• Isoniazid (INH)

Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom pellagra)

Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus

• Rifampisin

Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simtomatik ialah :

• Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang.

• Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare

• Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan

• Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :

• Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus

Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang, Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan tidak perlu khawatir.

• Pirazinamid

Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyerisendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain. • Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan.

• Streptomisin

Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah

(15)

suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr. Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.

Catatan : Penatalaksanaan efek samping obat:

• Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi secara simptomatik

• Pasien dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit, umumnya disebabkan oleh INH dan rifampisin. Dalam hal ini dapat dilakukan pemberian dosis rendah dan desensitsasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan dengan pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini tidak bisa dilakukan terhadap obat lainnya

• Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok atau gagal ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan nervus VIll karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis karena thiacetazon

• Bila suatu obat harus diganti, maka paduan obat harus diubah hingga jangka waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik

Tabel 4. Efek samping OAT dan Penatalaksanaannya

Efek samping Kemungkinan

Penyebab

Tatalaksana

Minor OAT diteruskan

Tidak nafsu makan, mual, sakit perut

Rifampisin Obat diminum malam

sebelum tidur

Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin /allopurinol

Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki

INH Beri vitamin B6

(piridoksin) 1 x 100 mg

perhari Warna kemerahan pada air

seni

Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi apaapa

Mayor Hentikan obat penyebab

Gatal dan kemerahan pada kulit

Semua jenis OAT Beri antihistamin &dievaluasi ketat

Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan

ganti etambutol Gangguan keseimbangan

(vertigo dan nistagmus)

Streptomisin Streptomisin dihentikan Ikterik / Hepatitis Imbas

Obat (penyebab lain disingkirkan)

Sebagian besar OAT

Hentikan semua OAT sampai ikterik menghilang dan boleh diberikan hepatoprotektor Muntah dan

confusion(suspected drug-induced pre-icteric hepatitis)

Sebagian besar OAT

Hentikan semua OAT & lakukan uji fungsi hati Gangguan penglihatan , ethambutol Ethambutol Hentikan Kelainan sistemik termasuk

syok dan purpura Rifampisin   Hentikan Rifampisin  

• Pengobatan suportif / simptomatik

Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasirawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.

Untuk pasien rawat jalan

• Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya) • Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam

(16)

• Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan lain.

Untuk pasien rawat inap

Indikasi rawat inap pada pasien TB adalah penderita yang disertai keadaan /komplikasi sbb :

• Batuk darah (profus) • Keadaan umum buruk • Pneumotoraks

• Empiema

• Efusi pleura masif / bilateral

• Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura) • TB di luar paru yang mengancam jiwa :

§ TB paru milier § Meningitis TB

Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi rawat.

• Terapi pembedahan lndikasi operasi Indikasi mutlak

• Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif

• Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif

• Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif.

lndikasi relatif

• Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang • Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan

• Sisa kaviti yang menetap.

Tindakan Invasif (Selain Pembedahan) • Bronkoskopi

• Punksi pleura

• Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage) Kriteria Sembuh

• BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat

• Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan • Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif. Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan

berobat.

Evaluasi klinik

• Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan

• Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit

• Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik. Evaluasi bakteriologik (0 – 2/3 -5/8- 6/9 bulan pengobatan)

Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik

• Sebelum pengobatan dimulai

• Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) • Satu bulan akhir pengobatan

(17)

Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi

Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan) Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:

• Sebelum pengobatan

• Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)

• Pada akhir pengobatan Evaluasi efek samping secara klinik

• Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap

Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin,

fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah, serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan • Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid

• Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan)

• Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila ada keluhan)

• Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.

Evalusi keteraturan berobat

• Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya obat tersebut.

• Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya.

• Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

Evaluasi pasien yang telah sembuh

• Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks.

o Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh.

o Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh. DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE

( DOTS)

WHO menyatakan bahwa kunci keberhasilan program penanggulanan TB adalah dengan menerapkan strategi DOTS. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.

DOTS mengandung lima komponen, yaitu

1. Komitmen pemerintah dalam menjalankan program TB nasional 2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan pemeriksaan BTA

mikroskopis

3. Pemberian obat jangka pendek yang di awasi secara langsung , dikenal dengan istilah Directly observed therapy ( DOT)

4. Pengadaan OAT berkesinambungan

(18)

Enam elemen kunci dalam strategi DOTS yang direkomendasikan WHO 1. Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu , meningkatkan

penemuan kasus dan penyembuhan melalui pendedkatan yang efektif terhadap seluruh pasien terutama pasien tidak mampu

2. Memberikan perhatian pada kasus TB-HIV, MDR-TB, dengan aktivitas gabungan TB-HIV, DOTS-PLUS dan pendekatan – pendekatan lain yang relevan.

3. Kontribusi pada sistem kesehatan , dengan koloborasi bersama program kesehatan yang lain dan pelayanan umum.

4. Melibatkan sedluruh praktisi kesehatan , masyarakat, swasta dan non pemerintah dedngan pendekatan berdasarkan Publik-private Mix ( PPM) untuk mematuhi international Stantasds of Tb Care

5. Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpebgaruh untuk berkontribusi pada pemeliharaan kesehatan yang fektif.

6. Memungkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat baru , alat diagnostik dan vaksin. Penelitian juga dibutuhkan untuk meningkatkan keberhasilan program.

Pengawasan pengobatan terhadap pasien TB dapat dilakukan pada:

• Pasien berobat jalan, pengawasan pengobatan dapat dilakukan oleh : o Petugas kesehatan

o Orang alain ( kader, tokoh masyarakat dll) o Suami/ istri / orang serumah

• Pasien dirawat, pengawasan pengobatan dapat dilakukan oleh : o Petugas rumah sakit

Pencatanan dan pelaporan

Pencatan pelaporanmerupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam sistem informasi penanggulanga TB.semua unit pelaksana pengobatan TB harus melaksanakan suatu sitem pencatatn dan pelaporan yang baku ( sesuai pedoman penanggulangan TB nasional) pencatan pelaporan tersebut meliputi:

1. Kartu pengobatan TB (TB 01) 2. Kartu identitas pasien TB (TB 02)

3. Formulit register TB ( TB 03) ( rekapan dari data yang ada pd TB 01) 4. Register laboratorium TB ( TB 04)

5. Formulir permintaan Laboratorium TB ( TB 05) 6. Daftar suspek yang diperiksa dahak ( TB 06) 7. Formulir pindah berobat penderita TB ( TB 09)

8. Formulit hasil akhir pengobatan dari pasien TB ( TB 10)

International Standards for Tuberculosis Care (ISTC)

ISTC merupakan standar yang melengkapi guideline program penanggulangan TB nasionalyang konsisten dengan rekomendasi WHO. ISTC edisi pertama dikeluarkan tahun 2006 dan pada tahun 2009 direvisis. Terapat penambahan satandar dari 17 menjadi 21 standar yang terdiri dari :

• Standar diagnosis ( standar 1-6 ) • Standar pengobatan ( standar 7-13)

• Standar penanganan Tb dengan infeksi HIV dan kondisi komorbid lain ( standar 14-17)

(19)

VIII. Contoh Kasus

Seorang laki-laki, Tn. A, usia 25 tahun dating ke rumah sakit dengan keluhan batuk darah sejak 3 hari sebelum masuk RS. Batuk darah berwarna merah segar, tidak bercampur dengan dahak. Keluhan batuk sudah dirasakan lebih dari 2 minggu, berdahak kadang-kadang berwarna kehijauan. Tidak ada sesak nafas.

Keluhan demam naik turun selama 3 bulan. Pasien mengeluh keringat malam dan tidak nafsu makan. Berat badan menurun 5 kg dalam satu bulan terakhir. Pasien merokok 4-5 batang perhari selama 5 tahun. Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit paru. Penyakit asma, kencing manis dan darah tinggi disangkal.

IX. Rangkuman Kasus

A. Bahan diskusi

o Gangguan apa yang diderita oleh tn.A?

o Pemeriksaan apa yang harus dilakukan pada Tn.A? o Terapi yang dapat diberikan pada Tn. A?

B. Penuntun diskusi kasus

o Proses infeksi

o Penatalaksanaan secara DOTS

X.

Evaluasi

Kognitif

• Pre-test dan post- test, dalam bentuk lisan, essay dan/atau MCQ

• Self Assessment dan Peer Assisted Evaluation • Curah Pendapat dan Diskusi

Psikomotor

• Self Assessment dan peer Assisted Learning • Peer assisted Evaluation (berbais nilai 0,1 dan 2)

• Penilaian Kompetensi (berbais nilai memuaskan, perlu perbaikan dan tidak memuaskan)

• Kesempatan untuk perbaikan (Task-based medical Education) Kognitif dan psikomotor

• BST • Mini-CEX • OSCE

XI. Instrumen Penilaian

Instrumen pengukuran kompetensi kognitif & psikomotor 1. Observasi selama proses pembelajaran

2. Log book

3. Hasil penilaian peragaan keterampilan 4. Pretest modul

5. Post-test modul

(20)

XII. Penuntun Belajar

Skor

Penuntun Belajar

0

1

2

3

1. Melakukan penyapaan, memberikan informasi dan edukasi pada pasien

2. Melakukan anamnesis: a. Keluhan utama b. Keluhan tambahan

c. Riwayat penyakit sekarang d. Faktor resiko

e. Riwayat penyakit dahulu f. Riwayat penyakit keluarga g. Riwayat psikososial

h. Riwayat pekerjaan dan kebiasaan

3. Melakukan pemeriksaan fisis status generalis a. Keadaan umum

b. Tanda vital

4. Melakukan pemeriksaan fisis status lokalis secara sistematis

a. Inspeksi b. Palpasi c. Perkusi d. auskultasi

5. Melakukan pemeriksaan penunjang 6. Menetapkan diagnosis kerja

7. Menetapkan diagnosis banding 8. Menetapkan rencana penatalaksanaan 9. menetapkanPMO dan penyuluhan terhadap

PMO

10. Menentukan prognosis

11. Melakukan evaluasi tindakan (terapi)

12. Metapkan waktu evaluasi pengobatan (pemeriksaan BTA sputum dan foto torak) 13. Mengenali masalah dan penyulit serta

melakukan antisipasi pencegahan

14. Mengenali masalah dan penyulit yang ada dan melakukan penanganan sesuai kemampuan serta fasilitas yang tersedia dan/atau melakukan rujukan apabila diperlukan

15. Membuat pencatanan dan pelaporan pengobatan TB dengan berbagai form

pencatatan ( TB 01,02,03,04,05,06,09,10 dst) Jumlah Skor

Keterangan:

0 : tidak diamati (TD)

1 : Dikerjakan semua tapi tidak benar, atau tidak berurutan, atau tidak dikerjakan

2 : Dikerjakan, dengan bantuan

3 : Dikerjakan semua dengan lengkap dan benar Maksimal skor : 36

(21)

XIII. Daftar Tilik

Daftar tilik

kompetensi

Ya Tidak 1. Penyapaan, informasi dan edukasi pada pasien

2. Melakukan anamnesis yang terarah

3. Melakukan pemeriksaan fisis status generalis 4. Melakukan pemeriksaan fisis status lokalis 5. Melakukan pemeriksaan penunjang

6. Menetapkan diagnosis kerja 7. Menetapkan diagnosis banding 8. Menetapkan rencana penatalaksanaan 9. Menentukan prognosis

10. Menjelaskan hasil penanganan yang diharapkan

11. Mengenali masalah dan penyulit yang mungkin terjadi dan melakukan antisipasi pencegahan 12. Mengenali masalah dan penyulit yang ada

dan/atau melakukan rujukan apabila diperlukan Keterangan:

0 : tidak diamati (TD)

1 : Dikerjakan semua tapi tidak benar, atau tidak berurutan, atau tidak dikerjakan

2 : Dikerjakan, dengan bantuan

Gambar

Gambar  1.  Skema  perkembangan  sarang  tuberkulosis  post  primer  dan  perjalanan penyembuhannya
Tabel 3. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap
Tabel 4. Efek samping OAT dan Penatalaksanaannya  Efek samping Kemungkinan

Referensi

Dokumen terkait

Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut turut atau lebih sebelum masa pengobatan selesai dengan BTA

Judul : Gambaran Hasil Akhir Pengobatan Pasien TB Paru BTA Positif Yang Menggunakan Strategi DOTS Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan Pengobatan Di RSUP H.

Pasien TB BTA positif yang mengalami peningkatan berat badan kurang dari 5% di akhir tahap intensif dan di akhir pengobatan memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami

Pada pemeriksaan sputum akhir pengobatan lanjutan, pada sampel yang sama, sebanyak 13 orang (61,9%) pasien baru TB paru BTA positif dengan DM mengalami konversi

Bila hasil BTA Positif, pasien yang berhenti pengobatan pada kategori. 1 maka dilanjutkan pada kategori

Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan

Pada pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya bila spesimen yang diperoleh pada akhir fase intensif (bulan ketiga) adalah BTA positif maka biakan dahak dan uji

Pada pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya bila spesimen yang diperoleh pada akhir fase intensif (bulan ketiga) adalah BTA positif maka biakan dahak dan uji resistensi