• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kasus Chf Hipoalbuminemia - Dr. Nupri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kasus Chf Hipoalbuminemia - Dr. Nupri"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KASUS

LAPORAN KASUS

CONGESTIVE HEART FAILURE

CONGESTIVE HEART FAILURE

Pendamping : Pendamping : dr. Nupriyanto Sp.JP (FIHA) dr. Nupriyanto Sp.JP (FIHA) Disusun Oleh : Disusun Oleh : dr. Dyanasti Prasanti Siwi dr. Dyanasti Prasanti Siwi

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA ANGKATAN PERTAMA PERIODE FEBRUARI 2017 ANGKATAN PERTAMA PERIODE FEBRUARI 2017

RS BHAYANGKARA MOESTADJAB NGANJUK RS BHAYANGKARA MOESTADJAB NGANJUK

(2)
(3)

DAFTAR ISI DAFTAR ISI Halaman Judul ... i Halaman Judul ... i Daftar Isi ... ii Daftar Isi ... ii

Daftar Tabel ... iii

Daftar Tabel ... iii

Daftar Gambar ... iv Daftar Gambar ... iv BAB I. KASUS BAB I. KASUS I. I. Identitas ...Identitas ... ... 11 II. II. Anamnesis ...Anamnesis ... ... 11 III. III. Pemeriksaan Pemeriksaan fisik fisik ... ... 33 IV. IV. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Penunjang ... ... 44 V. V. Follow Follow Up...Up... ... 77 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA I. I. Anatomi dan Anatomi dan Fisiologi Fisiologi JantungJantung... 11... 11

II. II. Gagal Gagal Jantung Jantung ... ... 1515 II.1 Epidemiologi ... 15 II.1 Epidemiologi ... 15 II. 2 Definisi ... 16 II. 2 Definisi ... 16 II. 3 EtiologI II. 3 EtiologI ... ... 1818 II. 4 Patofisiologi ... 19 II. 4 Patofisiologi ... 19 II. 5 Diagnosis II. 5 Diagnosis ... 21... 21 II. II. 6 Tatalaksana Non6 Tatalaksana Non-Farmakologi dan -Farmakologi dan Farmakologi Farmakologi ... 29... 29

BAB III. PEMBAHASAN ... 33

BAB III. PEMBAHASAN ... 33 DAFTAR PUSTAKA

(4)

DAFTAR TABEL DAFTAR TABEL

Tabel 1. Estimasi Penderita Penyakit Gagal Jantung Tabel 1. Estimasi Penderita Penyakit Gagal Jantung pada Umur ≥ 15

pada Umur ≥ 15 tahun menurut Provinsi tahun 2013tahun menurut Provinsi tahun 2013 ... ... 15... 15 Tabel 2. Tanda

Tabel 2. Tanda dan Gejala Gagal Jantung dan Gejala Gagal Jantung ... 16... 16 Tabel 3. Manifestasi

Tabel 3. Manifestasi Klinis Gagal Jantung Klinis Gagal Jantung ... 17... 17 Tabel 4. Klasifikasi Gagal Jantung ... 18 Tabel 4. Klasifikasi Gagal Jantung ... 18 Tabel 5.Abnormalitas EKG pad

Tabel 5.Abnormalitas EKG pada Gagal Jantung a Gagal Jantung ... .. 2323 Tabel 6. Abnormalitas Foto

Tabel 6. Abnormalitas Foto Thorak pada Gagal Jantung ...Thorak pada Gagal Jantung ... ... 2424 Tabel 7. Abnormalitas Pemeriksaan Laboratorium

Tabel 7. Abnormalitas Pemeriksaan Laboratorium

pada Gagal Jantung ... 25 pada Gagal Jantung ... 25 Tabel 8. Abnormalitas Ekokardiografik yang sering sering dijumpai Tabel 8. Abnormalitas Ekokardiografik yang sering sering dijumpai Pada gagal jantung

Pada gagal jantung ... ... 2828 Tabel 9. Tujuan

Tabel 9. Tujuan Pengobatan Gagal Jantung Kronik Pengobatan Gagal Jantung Kronik ... 31... 31 Tabel 10. Dosis Obat yang Digunakan untuk

Tabel 10. Dosis Obat yang Digunakan untuk Pengobatan Gagal Jantung

(5)

DAFTAR GAMBAR DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Letak

Gambar 1. Letak dan anatomi Jantung bagian dan anatomi Jantung bagian dalam dalam ... ... 1212 Gambar 2. Skema Diagnostik untuk Pasien Dicurigai

Gambar 2. Skema Diagnostik untuk Pasien Dicurigai

Gagal Jantung ... 22 Gagal Jantung ... 22 Gambar 3. Strategi Pengobatan pada Pasien

Gambar 3. Strategi Pengobatan pada Pasien

Gagal Jantung Kronik Simptomatik ... 32 Gagal Jantung Kronik Simptomatik ... 32

(6)

BAB I KASUS

I. IDENTITAS

Nama : Tn. ABW

Usia : 43 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

 Alamat : RT 01/01 Sonobekel, Tanjunganom, Nganjuk Suku Bangsa/Agama : Jawa / Islam

Pekerjaan : Pedagang

No. Rekam Medis : 09.16.58 Tanggal Masuk : 06 Juli 2017

Jam Masuk : 09.15 WIB

II. ANAMNESIS

Dilakukan secara autoanamnesis kepada pasien pada tanggal 6 Juli 2017 di Instalasi Gawat Darurat RS Bhayangkara Moestadjab Nganjuk dan alloanamnesis kepada istri pasien pada tanggal 11 Juli 2017 di Ruangan Flamboyan RS Bhayangkara Moestadjab Nganjuk.

a. Keluhan Utama : Sesak napas

b. Riwayat Penyakit Sekarang :

HMRS: Pasien masuk ke IGD RS Bhayangkara Nganjuk dengan keluhan sesak napas. Pasien mengeluhkan sesak napas terutama saat beraktifitas berat. Sesak napas menghilang saat beristirahat. Pasien merasa kedua kaki bengkak terutama saat berdiri dan sedikit berkurang jika diposisikan lebih tinggi dibandingkan dada saat tidur. Nyeri dada dan dada berdebar disangkal.

1 Hari SMRS: Pasien mengaku pergi ke salah satu rumah sakit swasta di Nganjuk akan tetapi disarankan untuk ke poli Jantung RS Bhayangkara. Di

(7)

Poli Jantung, pasien disarankan untuk rawat inap oleh dr. Nupri, Sp.JP dengan diagnosa CHF dan hipertensi grade II.

3 minggu SMRS: Pasien sering terbangun saat tengah malam karena sesak napas. Pasien mengaku lebih nyaman menggunakan 2 bantal atau lebih untuk tidur. Pasien mulai mengeluhkan bengkak pada kedua kaki. Keluhan ini muncul terutama jika pasien beraktifitas berat dan sudah berlangsung kurang lebih sejak 1 tahun yang lalu.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Penyakit jantung koroner (+) Asma bronchial (-) Hiperkolesterolemia (+) PPOK (?)

Hiperuricemia (+) Diabetes (-) Hipertensi (+) Hipertiroid (-)

Hepatitis (-) Stroke (-)

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Diabetes (+), ibu dan kakak perempuan yang pertama Hipertensi (+), ibu

e. Pola Hidup

Pasien mengaku 1 tahun yang lalu berhenti merokok. Sudah sejak lama pasien menjadi perokok aktif (>5 tahun) tetapi akhirnya berhenti karena penyakit jantung koroner yang dialaminya.

Kebiasaan minum minuman beralkhohol disangkal. Kebiasaan berolah raga disangkal.

Pola makan, pasien mengaku cenderung menyukai makanan yang berlemak dan gurih. Tetapi semenjak penyakit yang dialami, nafsu makan pasien berkurang.

(8)

III. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik yang dilakukan di IGD RS Bhayangkara (6 Juli 2017) 1. Status generalis

Keadaan umum : cukup

GCS : E4 V5 M6 (compos mentis) Vital Sign : Tensi :

160/90 mmHg

Nadi : 100x/min Respirasi : 26x /min Suhu : 36,40C 2. Status lokalis

Mata :Ikterik (-), conjunctiva anemis -/-, reflex pupil +N/+N Hidung :discharge (-)

Telinga :otorea (-), benjolan (-), serumen (-)

Mulut :mukosa bibir kering (-), lesi (-), stomatitis (-) Leher :JVP normal

Thorax :

Inspeksi :iktus cordis tidak terlihat, otot bantu napas (-), simetris, barrel chest (-)

Palpasi :Iktus cordis tidak teraba

Perkusi :batas jantung kanan di linea para sternalis dextra, kiri di linea axila anterior, perkusi dada sonor

 Auskultasi :suara jantung S1-S2 tunggal reguler, murmur (-) gallop (-) vesikuler (+/+) ronkhi basah (-/-) wheezing (-/-)

 Abdomen :

Inspeksi :datar, penonjolan massa (-), dilatasi vena (-), asites (-), bekas operasi (-)

 Auskultasi :bising usus (+) peristaltic usus (12x/menit) Perkusi :timpani

Palpasi :supel, nyeri tekan (-), defans muscular (-) hati limpa tidak teraba, nyeri ketok ginjal (-)

Extremitas : akral hangat, nadi adekuat,

edema extremitas bawah (+)

KGB : tidak ada pembesaran

(9)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG YANG DILAKUKAN di IGD RS Bhayangkara (6 Juli 2017)

1. Pemeriksaan darah lengkap 2. Pemeriksaan fungsi ginjal 3. Gula darah sewaktu

4.  Elektrolit

5. Pemeriksaan imajing (foto rontgen) 6. Pemeriksaan EKG

PEMERIKSAAN PENUNJANG TAMBAHAN (DI LUAR RS Bhayangkara)

1. Pemeriksaan fungsi hati (albumin)

Hasil pemeriksaan 6 Juli 2017

Tes Hasil Nilai rujukan

Hematologi Hemoglobin 14,1 gr/dl 12-18 Hematokrit 41,9 % 37-52 MCV 92,3 fL 79-99 MCH 31,1 pg 27-31 MCHC 33,7 g/dL 33-37 Eritrosit 4,54 juta/mm3 4,2-5,1 Trombosit 328 ribu/mm3 150-400 Leukosit Neut Lymph Mxd 8,8 rb/mm3 70 % 23 % 7 % 4,8-10,8 50-70 25-40 25-30 Fungsi ginjal Creatinin 1,5 mg / dL 0.9-1.5 Gula darah

Gula darah sewaktu 151 mg / dL <140 Elektrolit

(10)

Kalium 4,25 mmol/L 3.4-4 Fungsi Hati

Albumin 1,96 gr/dL 3,4-4,8

Pemeriksaan Imajing (foto Rontgen) – 6 Juli 2017

Pemeriksaan EKG – 6 Juli 2017

Berdasarkan hasil pemeriksaan foto X-ray Thorax PA didapatkan:

Tampak gambaran opak inhomogen di lobus media dan inferior kedua lapang paru

Kedua sudut

costophrenicus tertutup Besar cor sulit dinilai Kesimpulan :

decompensatio cordis

Pada gambaran EKG didapatkan :

- Irama sinus, regular - Heart rate 120x/menit

(11)

ASSESMENT/DIAGNOSA DIAGNOSA BANDING

1. CHF Asma Bronkial

2. Hipertensi grade II PPOK

3. Hipoalbuminemia Uremia

RENCANA TERAPI/ PLANNING O2 3-4 Lpm

PZ 500 cc/24 jam

Infus albumin 20% 100 cc

Injeksi Furosemide 2 Amp bolus IV, dilanjutkan inj. furosemide pump 10 mg/jam IV Injeksi gastridin 2x1 amp IV

Spirola 25 mg 1x1 tab Canderin 8 mg 1x1 tab Nevadio 5 mg 1x1 tab Coten 100 mg 2x1 tab Diet rendah garam

PLANNING Pasang DC

- Gelombang P normal - Interval PR normal

- Kompleks QRS melebar, bertakik di V6 dan lead I - Segmen ST normal

- Gelombang T normal

(12)

V. FOLLOW UP DI BANGSAL Tanggal 7/7/2017

S : sesak napas (+) hilang timbul, dada terasa ampeg, tidur lebih nyaman menggunakan 2 bantal

O : KU = cukup, kesadaran = compos mentis TD = 130/80 mmHg

N = 80x/menit T = 360C

R R = 24x/menit

Pemeriksaan fisik

Kepala = conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-) JVP normal Thorax = vesikuler (+/+), ronchi (-/-), wheezing (-/-)

 Abdomen = supel, nyeri tekan (-)

E ks tremitas = edema di eks tremitas inferior

A : CHF, Hipoalbumin post koreksi

P : Infus PZ stop Pasang venflon

Pump furosemide 10 mg/jam Vipalbumin 3xI cap

Diet nasi ekstra putih telur rendah garam Terapi lain lanjut

Cek albumin ulang Hasil pemeriksaan albumin

Fungsi Hati

 Albumin

 2,8 g /dL

3,5 – 5,0

Tanggal 8/7/2017 pukul 07.00

S : sesak napas (+) berkurang, dada terasa ampeg O : KU = cukup, kesadaran = compos mentis

TD = 130/80 mmHg N = 84x/menit

(13)

RR = 20x/menit

Pemeriksaan fisik

Kepala = conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-) JVP normal Thorax = vesikuler (+/+), ronchi (-/-), wheezing (-/-)

 Abdomen = supel, nyeri tekan (-)

E ks tremitas = edema di eks tremitas inferior

A : CHF, Hipoalbumin post koreksi

P : albumin 20% 100 cc diberikan kembali 1 flakon Terapi lanjut

Tanggal 8/7/2017 pukul 19.15

S : sesak napas (+), dada terasa ampeg, pasien tampak bingung kalau ditanya menjawabnya lama

O : KU = cukup, kesadaran = compos mentis (GCS: E4 V4 M6)

TD = 140/90 mmHg

N = 89x/menit T = 360C

R R = 29x/menit

SpO2= 98% Pemeriksaan fisik

Kepala = conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-) JVP normal Thorax = vesikuler (+/+), ronchi (-/-), wheezing (-/-)

 Abdomen = supel, nyeri tekan (-)

E ks tremitas = edema di eks tremitas inferior

A : CHF, Hipoalbumin post koreksi

P : 02 3 Lpm

Cek albumin ulang

Cek natrium dan kalium ulang CITO Fargoxin 1x1 tab

Terapi lain lanjut

Transfusi albumin stop

(14)

Fungsi Hati  Albumin

 3 g/dL

3,5 – 5,0 Hasil pemeriksaan Elektrolit Natrium 140,5 mmol/L 137 – 147 Kalium 3,63 mmol/L 3,4 – 4,0 Tanggal 9/7/2017

S : Pasien ndredeg, panas, tampak bingung, sesak (+), kadang melantur dan sulit tidur 

O : KU = cukup, compos mentis GCS= E4 V4 M6 TD = 120/80 mmHg

N = 100x/menit

T = 38,6

0

C

RR = 32 x/menit Pemeriksaan fisik

Kepala = conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-) JVP normal Thorax = vesikuler (+/+), ronchi (-/-), wheezing (-/-)

 Abdomen = supel, nyeri tekan (-)

E ks tremitas = edema di eks tremitas inferior minimal

Prod urin 162 cc/jam, produksi urin rata-rata 3900 cc/hari A : Hipertermi, CHF, Hipoalbumin post koreksi

P : furosemide pump diturunkan menjadi 5 mg/jam Inj. starxone 2x1 gr IV

Inf, Sanmol 1 flash (ekstra), Inf. Pamol 1000 mg 3x1 drip IV bila demam Zypras 0,5 mg (ekstra)

Cek GDA Terapi lanjut

Cek bila ada tanda-tanda flebitis

Hasil pemeriksaan

(15)

Tanggal 10/7/2017

S : Pasien melantur 

O : KU = cukup, compos mentis GCS= E4 V5 M6

TD = 150/90 mmHg

N = 90x/menit T = 360C

RR = 20 x/menit Pemeriksaan fisik

Kepala = conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-) JVP normal Thorax = vesikuler (+/+), ronchi (-/-), wheezing (-/-)

 Abdomen = supel, nyeri tekan (-)

Ekstremitas = edema di ekstremitas inferior (-) A : CHF P : Pro echo Uresix 1-0-0 Spirola 25 mg 1-0-0 Nevodio 5 mg 0-1-0 Vipalbumin 3xI Canderin 8 mg 0-1-0 Cotan 100 mg 2xI

(16)

Kesimpulan : coronary artery disease

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi dan Fisiologi Jantung

Secara anatomi ukuran jantung sangatlah variatif. Beberapa referensi, ukuran jantung manusia mendekati ukuran sekepalan tangan atau dengan ukuran panjang kira-kira 5" (12 cm) dan lebar sekitar 3,5" (9 cm). Jantung terletak di belakang tulang sternum, tepatnya di ruang mediastinum diantara kedua paru-paru dan bersentuhan dengan diafragma (Gray dkk., 2003). Hampir dua pertiga bagian  jantung terletak di sebelah kiri garis median sternum. Jantung terletak di atas diafragma, miring ke depan dan apeks kordis berada paling depan dalam rongga dada. Apeks ini dapat diraba pada ruang sela iga 4-5 dekat garis medio-klavikuler kiri. Batas kranial dibentuk oleh aorta asendens, arteri pulmonal, dan vena kava superior. Ukuran atrium kanan dan berat jantung tergantung pada umur, jenis kelamin, tinggi badan, lemak epikardium, dan nutrisi seseorang (Hanafiah dkk., 2001).

Jantung dibungkus oleh jaringan ikat tebal yang disebut perikardium, terdiri dari 2 lapisan yaitu perikardium viseral dan perikardium parietal. Permukaan jantung yang diliputi oleh perikardium viseral lebih dikenal sebagai epikardium, yang meluas sampai beberapa sentimeter di atas pangkal aorta dan arteri pulmonal (Hanafiah

(17)

dkk., 2001). Jantung dibagi menjadi 2 bagian ruang, yaitu atrium (serambi) dan ventrikel (bilik). Karena atrium hanya memompakan darah dengan jarak yang pendek, yaitu ke ventrikel, maka otot atrium lebih tipis dibandingkan dengan otot ventrikel. Ruang atrium dibagi menjadi 2, yaitu atrium kanan dan atrium kiri, demikian halnya dengan ruang ventrikel, dibagi menjadi 2 yaitu ventrikel kanan dan ventrikel kiri (Gray dkk., 2003).

Secara skematis, urutan perjalanan darah dalam sirkulasinya pada manusia, yaitu : darah dari seluruh tubuh – bermuara di vena cava superior dan inferior pada  jantung – bergabung di atrium kanan – diteruskan dan masuk ke ventrikel kanan – arteri pulmonalis ke paru – keluar dari paru melalui vena pulmonalis ke atrium kiri (darah yang kaya O2) – masuk ke ventrikel kiri, kemudian dipompakan kembali ke seluruh tubuh melalui aorta. Keluar masuknya darah, ke masing-masing ruangan, dikontrol juga dengan peran 4 buah katup di dalamnya, yaitu :

1. Katup trikuspidal (katup yang terletak antara atrium kanan dan ventrikel kanan).

2. Katup mitral (katup yang terletak antara atrium kiri dan ventrikel kiri).

3. Katup pulmonalis (katup yang terletak antara ventrikel kanan ke arteri pulmonalis).

4. Katup aorta (katup yang terletak antara ventrikel kiri ke aorta). (Gray dkk., 2003)

(18)

Perdarahan otot jantung berasal dari aorta melalui dua pembuluh koroner utama, yaitu arteri koroner kanan dan arteri koroner kiri. Kedua arteri ini keluar dari sinus valsava aorta. Arteri koroner kiri berjalan di belakang arteri pulmonal sebagai arteri koroner kiri utama (LMCA = Left Main Coronary Artery ). Arteri ini bercabang menjadi arteri sirkumfleks (LCx = Left Circumflex Artery ) dan arteri desendens anterior kiri (LAD = Left Anterior Descendens Artery ). LCx berjalan pada sulkus atrio-ventrikuler mengelilingi permukaan posterior jantung, sedangkan LAD berjalan pada sulkus inter-ventrikuler sampai ke apeks (Hanafiah dkk., 2001).

Setelah keluar dari sinus Valsava aorta, arteri koroner kanan (RCA = Right Coronary Artery ) berjalan di dalam sulkus atrio-ventrikuler ke kanan bawah mencapai kruks. Cabang pertama adalah arteri atrium anterior kanan dan cabang lain adalah arteri koroner desenden posterior (PDA = Posterior Descending Coronary Artery ).

Fungsi utama jantung adalah memompa darah ke seluruh tubuh. Aktifitas kontraksi jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh selalu didahului oleh aktifitas listrik. Aktifitas listrik ini dimulai pada nodus sinoatrial (nodus SA) yang terletak pada celah antara vena cava superior dan atrium kanan. Pada nodus SA mengawali gelombang depolarisasi secara spontan sehingga menyebabkan timbulnya potensial aksi yang disebarkan melalui sel-sel otot atrium, nodus atrioventrikuler (nodus AV), berkas His, serabut Purkinje, dan akhirnya ke seluruh otot ventrikel (Gray dkk., 2003).

Siklus jantung terdiri dari periode sistol (kontraksi dan pengosongan isi) dan diastol (relaksasi dan pengisian jantung). Atrium dan ventrikel mengalami siklus sistol dan diastol yang terpisah. Kontraksi terjadi akibat penyebaran eksitasi ke seluruh jantung, sedangkan relaksasi timbul setelah repolarisasi jantung. Selama diastol ventrikel dini, atrium juga masih berada dalam keadaan diastol. Karena aliran masuk darah yang kontinu dari sistem vena ke dalam atrium, tekanan atrium sedikit melebihi tekanan ventrikel walaupun kedua bilik tersebut melemas. Karena perbedaan tekanan ini, katup AV terbuka, dan darah mengalir langsung dari atrium ke dalam ventrikel selama diastol ventrikel. Akhirnya, volume ventrikel perlahan – lahan meningkat bahkan sebelum atrium berkontraksi. Pada akhir diastol ventrikel, nodus sinoatrium (SA) mencapai ambang dan membentuk potensial aksi. Impuls

(19)

menyebar ke seluruh atrium dan menimbulkan kontraksi atrium. Setelah eksitasi atrium, impuls berjalan melalui nodus AV dan sistem penghantar khusus untuk merangsang ventrikel. Ketika kontraksi ventrikel dimulai, tekanan ventrikel segera melebihi tekanan atrium. Perbedaan tekanan yang terbalik inilah yang mendorong katup AV tertutup (Sherwood, 2001).

Setelah tekanan ventrikel melebihi tekanan atrium dan katup AV sudah menutup, tekanan ventrikel harus terus meningkat (Sherwood, 2001) sampai tekanan tersebut cukup untuk membuka katup semilunar (aorta dan pulmonal) (Guyton, 2008). Dengan demikian, terdapat periode waktu singkat antara penutupan katup AV dan pembukaan katup aorta. Karena semua katup tertutup, tidak ada darah yang masuk atau keluar dari ventrikel selama waktu ini. Interval ini disebut sebagai periode kontraksi ventrikel isometrik (Sherwood, 2001). Pada saat tekanan ventrikel kiri melebihi 80 mmHg dan tekanan ventrikel kanan melebihi 8 mmHg, katup semilunar akan terdorong dan membuka. Darah segera terpompa keluar dan terjadilah fase ejeksi ventrikel. Pada akhir sistolik, terjadi relaksasi ventrikel dan penurunan tekanan intraventrikular secara cepat. Peningkatan tekanan di arteri besar menyebabkan pendorongan darah kembali ke ventrikel sehingga terjadi penutupan katup semilunar (Guyton, 2008). Tidak ada lagi darah yang keluar dari ventrikel selama siklus ini, namun katup AV belum terbuka karena tekanan ventrikel masih lebih tinggi dari tekanan atrium. Dengan demikian, semua katup sekali lagi tertutup dalam waktu singkat yang dikenal sebagai relaksasi ventrikel isovolumetrik.

Karena seluruh jantung dilayani oleh sistem listrik, kejadian mekaniknya pun serentak untuk jantung kanan dan kiri. Keduanya memiliki periode yang sama untuk sistol dan diastol. Perbedaan utama pompa kanan dan kiri terletak pada harga tekanan sistol puncaknya. Paru-paru memiliki tekanan yang lebih rendah dibanding seluruh sistem organ tubuh. Nilai normal tekanan arteri pulmonal sistol dan diastol adalah 24 dan 8 mm air raksa. Curah jantung adalah sejumlah darah yang dipompakan oleh tiap ventrikel tiap menit. Curah jantung memiliki peran yang sangat penting untuk kebutuhan metabolisme tubuh (Hanafiah, 2001).

Curah jantung ditentukan oleh isi sekuncup (SV = stroke volume) dan jumlah denyut jantung permenit (HR = heart rate) sebagai berikut :

(20)

CO = HR x SV

Denyut jantung dikontrol oleh pengaruh kronotropik pada aktifitas listrik sel-sel nodus sinoatrial (SA node). Saraf-saraf parasimpatis jantung mempengaruhi kronotropik negatif dan simpatis mempengaruhi kronotropik positif pada nodus SA.  Ada tiga pengaruh utama pada isi sekuncup jantung (stroke volume) yaitu kontraktilitas,  preload dan afterload. Peningkatan aktifitas simpatis akan meningkatkan kontraktilitas yang nantinya akan juga meningkatkan isi sekuncup. Peningkatan tekanan arteri cenderung menurunkan isi sekuncup dengan meningkatkan afterload pada serabut-serabut otot jantung. Meningkatnya tekanan pengisian ventrikel kiri akan meningkatkan volum diastolik yang cenderung meningkatkan isi sekuncup melalui hukum Starling (Hanafiah, 2001).

II. Gagal Jantung

II.1. Epidemiologi

Setiap tahunnya lebih dari 36 juta orang meninggal karena Penyakit Tidak Menular (PTM) (63% dari seluruh kematian). Lebih dari 9 juta kematian yang disebabkan oleh penyakit tidak menular terjadi sebelum usia 60 tahun, dan 90% dari kematian “dini” tersebut terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Secara global PTM penyebab kematian nomor satu setiap tahunnya adalah penyakit kardiovaskuler. Penyakit kardiovaskuler adalah penyakit yang disebabkan gangguan fungsi jantung dan pembuluh darah, seperti penyakit jantung koroner, penyakit gagal jantung, hipertensi dan stroke. Pada tahun 2008 diperkirakan sebanyak 17,3 juta kematian disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler. Lebih dari 3 juta kematian tersebut terjadi sebelum usia 60 tahun dan seharusnya dapat dicegah. Kematian “dini” yang disebabkan oleh penyakit jantung   terjadi berkisar sebesar 4% di negara berpenghasilan tinggi sampai dengan 42% terjadi di negara berpenghasilan rendah.

Tabel 1. Estimasi Penderita Penyakit Gagal Jantung pada Umur ≥ 15 tahun menurut Provinsi tahun 2013

(21)

Sumber : Info Datin (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI tahun 2013)

Berdasarkan diagnosis dokter prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,13% atau diperkirakan sekitar 229.696 orang, sedangkan berdasarkan diagnosis dokter/ gejala sebesar 0,3% atau diperkirakan sekitar 530.068 orang.

Berdasarkan diagnosis dokter, estimasi jumlah penderita penyakit gagal  jantung terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Timur sebanyak 54.826 orang (0,19%),

sedangkan Provinsi Maluku Utara memiliki jumlah penderita paling sedikit, yaitu sebanyak 144 orang (0,02%).

Berdasarkan diagnosis/gejala, estimasi jumlah penderita penyakit gagal  jantung terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Barat sebanyak 96.487 orang (0,3%), sedangkan jumlah penderita paling sedikit ditemukan di Provinsi Kep. Bangka Belitung, yaitu sebanyak 945 orang (Info Datin, 2013).

II.2. Definisi

Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien harus memiliki tampilan berupa: Gejala gagal jantung (nafas pendek yang

(22)

retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki), adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istrahat (PERKI, 2015). Tabel 2. Tanda dan Gejala Gagal Jantung

Sumber: PERKI, 2015

(23)

Sumber: PERKI, 2015

Gagal jantung dianggap sebagai remodeling progresif akibat beban/penyakit pada miokard sehingga pencegahan progresivitas dengan penghambat neurohormonal seperti ACE-inhibitor, Angiotensin Receptor-Blocker diutamakan di samping obat konvensional (diuretika dan digitalis) ditambah dengan terapi yang muncul belakangan ini seperti biventricular pacing, recyncronizing cardiac therapy (RCT), intracardiac defibrillator (ICD), bedah rekonstruksi ventrikel kiri dan mioplasti.

(24)

Sumber: PERKI, 2015

II.3. Etiologi

Gagal jantung adalah komplikasi tersering dari segala jenis penyakit jantung kongenital maupun didapat. Mekanisme f isiologis yang menyebabkan gagal jantung meliputi keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, meningkatkan beban akhir, atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal ( preload) meliputi regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel; beban akhir (afterload ) meningkat pada keadaan-keadaan seperti stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan kardiomiopati (Sugeng, 2004).

Selain ketiga mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung, terdapat faktor-faktor fisiologis lain yang dapat menyebabkan jantung gagal bekerja sebagai pompa. Faktor-faktor yang mengganggu pengisian ventrikel (misal, stenosis katup atrioventrikularis) dapat menyebabkan gagal jantung. Keadaan-keadaan seperti perikarditis konstriktif dan tamponade jantung mengakibatkan gagal jantung melalui kombinasi beberapa efek seperti gangguan pada pengisian

(25)

ventrikel dan ejeksi ventrikel. Dengan demikian jelas sekali bahwa tidak ada satupun mekanisme fisiologik atau kombinasi berbagai mekanisme yang bertanggungjawab atas terjadinya gagal jantung; efektivitas jantung sebagai pompa dapat dipengaruhi oleh berbagai gangguan patofisiologis. Penelitian terbaru menekankan pada peranan TNF dalam perkembangan gagal jantung. Jantung normal tidak menghasilkan TNF, namun jantung mengalami kegagalan menghasilkan TNF dalam jumlah banyak (Sugeng dkk., 2004).

Demikian juga, tidak satupun penjelasan biokimiawi yang diketahui berperan dalam mekanisme dasar terjadinya gagal jantung. Kelainan yang mengakibatkan gangguan kontraktilitas miokardium juga tidak diketahui. Diperkirakan penyebabnya adalah kelainan hantaran kalsium dalam sarkomer, atau dalam sintesis atau fungsi protein kontraktil (Wilson dkk., 2006).

Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya gagal jantung melalui penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa disritmia, infeksi sistemik dan infeksi paru-paru, serta emboli paru. Disritmia akan mengganggu fungsi mekanis  jantung dengan mengubah rangsangan listrik yang memulai respons mekanis, respons mekanis yang sinkron dan efektif tidak akan dihasilkan tanpa adanya ritme  jantung yang stabil. Respons tubuh terhadap infeksi akan memaksa jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh yang meningkat. Emboli paru secara mendadak akan meningkatkan resistensi terhadap ejeksi ventrikel kanan, memicu terjadinya gagal jantung kanan. Penanganan gagal jantung yang efektif membutuhkan pengenalan dan penanganan tidak saja terhadap mekanisme fisiologis penyakit yang mendasari, tetapi juga terhadap faktor-faktor yang memicu terjadinya gagal jantung (Sudoyo dkk., 2009).

II.4. Patofisologi

Pada awal gagal jantung, akibat cardiac output yang rendah, di dalam tubuh terjadi aktivitas saraf simpatis dan sistem renin angiotensin-aldosteron, serta penglepasan arginin vasopressin yang kesemuanya merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme

(26)

RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga (Davis dkk., 2000).

 Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyebabkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertrofi dan nekrosis miokard fokal (Davis dkk., 2000).

Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium.  Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi

endotel pada gagal jantung (Horwich & Fanarow, 2010)

Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat.  Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi aldosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal  jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung (Kabo, 1996).

Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri

(27)

menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid (Jackson dkk., 2000).

Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri (Hobbs dkk., 2000).

II.5 Diagnosis

Gagal jantung dibagi menjadi 2 yaitu gagal jantung sistolik dan diastolik. Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan tidak dapat dibedakan dari pemeriksaan fisik, foto thoraks atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan eko-Doppler. Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan fatik, kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.

Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan Doppler-ekokardiografi aliran darah mitral dan aliran vena pulmonalis. Tidak dapat dibedakan hanya dengan pemeriksaan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Penatalaksanaan ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi penyebab gangguan diastolik seperti fibrosis, hipertrofi, atau iskemia. Di samping itu kongesti sistemik/pulmonal akibat dari gangguan diastolik tersebut dapat diperbaiki dengan restriksi garam dan pemberian diuretik. Mengurangi denyut  jantung agar waktu untuk diastolik bertambah, dapat dilakukan dengan pemberian

penyekat beta atau penyekat kalsium non-dihidropiridin (Sudoyo, 2009).

 Algoritma diagnosis gagal jantung atau disfungsi ventrikel kiri. Penilaian klinis yang teliti diperlukan untuk mengetahui penyebab gagal jantung, karena meskipun terapi gagal jantung umumnya sama bagi sebagian besar pasien, namun keadaan tertentu memerlukan terapi spesifik dan mungkin penyebab dapat

(28)

Uji diagnostik biasanya paling sensitif pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi rendah. Uji diagnostik sering kurang sensitif pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal. Ekokardiografi merupakan metode yang paling berguna dalam melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik (PERKI, 2015). Gambar 2. Skema Diagnostik untuk Pasien Dicurigai Gagal Jantung

Sumber : PERKI, 2015

1. Elektrokardiografi (EKG)

Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga gagal jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal  jantung. Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (< 10%).

(29)

Sumber : PERKI, 2015

2. Foto Toraks

Foto toraks merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal  jantung. Rontgen toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi

(30)

pleura dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas. Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik.

Tabel 6. Abnormalitas Foto Thorak pada Gagal Jantung

Sumber: PERKI, 2015

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan lain dipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis atau elektrolit yang bermakna jarang dijumpai

(31)

pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang belum diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada pasien dengan terapi menggunakan diuretik dan/atau ACEI (Angiotensin Converting Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), atau antagonis aldosterone (PERKI, 2015).

(32)

(Sumber : PERKI, 2015)

4. Peptida Natriuretik

Terdapat bukti - bukti yang mendukung penggunaan kadar plasma peptide natriuretik untuk diagnosis, membuat keputusan merawat atau memulangkan pasien, dan mengidentifikasi pasien pasien yang berisiko mengalami dekompensasi. Konsentrasi peptida natriuretik yang normal sebelum pasien diobati mempunyai nilai prediktif negatif yang tinggi dan membuat kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab gejalagejala yang dikeluhkan pasien menjadi sangat kecil.

Kadar peptida natriuretik yang tetap tinggi walaupun terapi optimal mengindikasikan prognosis buruk. Kadar peptide natriuretik meningkat sebagai respon peningkatan tekanan dinding ventrikel. Peptida natriuretik

(33)

mempunyai waktu paruh yang panjang, penurunan tiba-tiba tekanan dinding ventrikel tidak langsung menurunkan kadar peptida natriuretik.

5. Troponin I atau T

Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung  jika gambaran klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan ringan kadar troponin kardiak sering pada gagal jantung berat atau selama episode dekompensasi gagal jantung pada penderita tanpa iskemia miokard.

6. Ekokardiografi

Istilah ekokardiograf digunakan untuk semua teknik pencitraan ultrasound jantung termasuk pulsed and continuous wave Doppler, colour Doppler dan tissue Doppler imaging (TDI). Konfirmasi diagnosis gagal  jantung dan/atau disfungsi jantung dengan pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan antara pasien disfungsi sistolik dengan pasien dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 - 50%).

Ekokardiografi mempunyai peran penting dalam mendiagnosis gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal. Diagnosis harus memenuhi tiga kriteria:

a. Terdapat tanda dan/atau gejala gagal jantung

b. Fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau hanya sedikit terganggu (fraksi ejeksi > 45 - 50%)

c. Terdapat bukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel kiri abnormal / kekakuan diastolik)

7. Ekokardiografi transesofagus

Direkomendasikan pada pasien dengan ekokardiografi transtorakal tidak adekuat (obesitas, pasien dengan ventlator), pasien dengan kelainan katup, pasien endokardits, penyakit jantung bawaan atau untuk

(34)

8. Ekokardiografi beban

Ekokardiografi beban (dobutamin atau latihan) digunakan untuk mendeteksi disfungsi ventrikel yang disebabkan oleh iskemia dan menilai viabilitas miokard pada keadaan hipokinesis atau akinesis berat.

Tabel 8. Abnormalitas Ekokardiografik yang sering dijumpai pada gagal  jantung

(35)

(Sumber : PERKI, 2015)

II.6.Tatalaksana Non-Farmakologi dan Farmakalogi Tata laksana Non-Farmakologi dapat berupa :

1. Manajemen Perawatan Diri

Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan prognosis. Manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.

2. Ketaatan Pasien Berobat

Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi farmakologi maupun non-farmakologi.

3. Pemantauan Berat Badan Mandiri

Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertmbangan dokter.

(36)

Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis.

5. Pengurangan Berat Badan

Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal  jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung,

mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup. 6. Kehilangan Berat Badan Tanpa Rencana

Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat. Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka kelangsungan hidup.Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 % dari berat badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung dengan hati-hati.

7. Latihan Fisik

Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit atau di rumah.

8. Aktivitas Seksual

Penghambat 5-phosphodiesterase (contoh: sildenafil) mengurangi tekanan pulmonal tetapi tidak direkomendasikan pada gagal jantung lanjut dan tidak boleh dikombinasikan dengan preparat nitrat.

Tujuan melakukan terapi pada pasien gagal jantung adalah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Tindakan preventif dan pencegahan perburukan penyakit  jantung tetap merupakan bagian penting dalam tata laksana penyakit jantung. Sangatlah penting untuk mendeteksi dan mempertimbangkan pengobatan terhadap kormorbid kardiovaskular dan non kardiovaskular yang sering dijumpai (PERKI, 2015).

(37)

Tabel 9. Tujuan Pengobatan Gagal Jantung Kronik

(Sumber : PERKI, 2015)

Tabel 10. Dosis Obat yang Digunakan untuk Pengobatan Gagal jantung

(38)
(39)

BAB III PEMBAHASAN

Kasus yang diambil pada laporan kasus kali ini adalah gagal jantung kongestif atau congestive heart failure  dengan diagnosa sekunder yaitu hipoalbuminemia. Kasus ini cukup kompleks mengingat terdapat faktor komorbid lain yang mengikutinya yaitu hipertensi.

Berdasarkan pada anamnesis awal, pasien datang ke IGD dengan keluhan utama sesak napas. Keluhan utama berupa sesak napas mempunyai diagnosis banding yang cukup banyak. Sesak napas dapat diakibatkan oleh kegagalan beberapa sistem organ, beberapa yang paling banyak ditemui adalah berasal dari  jantung dan pulmonal. Sesak napas akibat gangguan fungsi jantung dapat berupa gagal jantung kongestif, aritmia jantung, penyakit jantung koroner, gangguan perikardial sedangkan sesak napas akibat gangguan pulmonal dapat berupa PPOK, asma, efusi pleura, keganasan atau bahkan bronkiektasis. Oleh karena diagnosis banding yang masih begitu luas, diperlukan anamnesis lebih lanjut baik dalam hal riwayat perjalanan penyakit, riwayat penyakit terdahulu, keluarga, ataupun pola hidup sehari-hari. Pada kasus ini, sesak napas bertambah terutama saat beraktifitas fisik (dyspnoe de Effort ), bertambah saat berbaring dan berkurang saat duduk atau berdiri (ortopneu), terkadang serangan sesak timbul pada malam hari (dyspneu nocturnal paroxsismal ) dan pasien mengeluhkan pembengkakan pada kedua kaki sejak 3 minggu SMRS. Di samping itu, riwayat penyakit pasien sebelumnya yang berupa penyakit jantung koroner, hiperkolesterolemia, asam urat, dan hipertensi membawa arah diagnosa ke penyakit jantung.

Pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan adanya peningkatan tekanan darah yaitu 160/90 mmHg, takipnea yaitu 26x/menit, dan edema perifer (kedua kaki), sedangkan pemeriksaan fisik lain dalam batas normal. Sesuai dasar teori, ketiga manifestasi klinik yang didapatkan dari pemeriksaan di atas masih belum tipikal mengarah ke diagnosa gagal jantung. Hipertensi merupakan salah satu penyebab terjadi gagal jantung. Adanya hipertensi meningkatkan resiko terjadinya penyakit jantung koroner lebih dari dua kali lipat dan meningkatkan resiko gagal  jantung kongestif lebih dari tiga kali lipat. Penderita hipertensi sering memiliki

(40)

mengenai hubungan hipertensi dengan peningkatan resiko terjadinya gagal  jantung. Pertama, hipertensi merupakan faktor resiko terjadinya infark miokard akut

yang dapat menyebabkan gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri dan gagal jantung. Kedua, hipertensi menyebabkan terjadinya hipertrofi ventrikel kiri yang dihubungkan dengan terjadinya disfungsi diastolik dan meningkatkan resiko gagal jantung.

Edema perifer yang terdapat pada hasil pemeriksaan fisik merupakan pitting edema yang menandakan adanya tanda dari penyakit seperti insufisiensi vena, gagal jantung kongestif, gagal ginjal, hipoalbuminemia, dan gangguan fungsi hati. Maka dari itu diperlukan teknik diagnostic lain untuk menegakkan diagnosa, beberapa diantaranya yang sudah dilakukan adalah pemeriksaan Laboratorium darah, EKG, pemeriksaan X-ray thorax, dan ekokardiografi. Pada pemeriksaan Laboratorium darah, dilakukan pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan fungsi ginjal, gula darah sewaktu, elektrolit, dan kadar albumin. Pada dasarnya, hasil Laboratorium darah yang sudah dilakukan bukan bertujuan untuk mendiagnosa gagal jantung dikarenakan pada laboratorium RS Bhayangkara tidak mempunyai pemeriksaan peptide natriuretik sebagai pendukung penegakan diagnosis tetapi lebih mengarah pada penemuan faktor resiko komorbid gagal jantung. Pada kasus ini, hasil Laboratorium pasien menunjukkan bahwa kadar albumin rendah. Kadar albumin rendah dapat disebabkan oleh beberapa macam keadaan patologis antara lain sindrom nefrotik, sirosis hepatis, gagal jantung, dan malnutrisi. Pada kasus ini hasil lab fungsi ginjal dan hepar dalam keadaan yang baik. Maka dari itu, keadaan hipoalbumin yang terjadi pada pasien dikarenakan oleh penyakit gagal jantung yang mendasarinya. Adanya hipoalbuminemia ini meningkatkan mortalitas pada pasien dengan gagal jantung (Ancion, dkk., 2017) progresivitas penyakit gagal jantung, dan peningkatan tata laksana kegawatan transplantasi jantung. Rendahnya kadar albumin berhubungan dengan perburukan gejala gagal jantung. Pasien dengan gagal jantung sistolik dan hipoalbuminemia mempunyai angka mortalitas 2x lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang mempunyai kadar albumin normal.

Berdasarkan pemeriksaan EKG didapatkan adanya keabnormalitasan berupa takikardia, aksis jantung ke kiri dan LBBB yang mengarahkan diagnose ke gagal jantung. Tetapi berdasarkan dasar teori, pemeriksaan EKG memiliki nilai prediktif yang kecil maka dari itu pada kasus ini dilakukan pemeriksaan tambahan yaitu foto X-ray thorax. Pada foto X-ray thorax adanya kardiomegali sebagai tanda spesifik pada foto rontgen kasus ini sulit dinilai oleh karena adanya efusi pleura dan

(41)

kongesti vena paru. Tetapi kedua tanda ini, menjadi pendukung adanya gagal  jantung kiri dengan disfungsi sistolik. Pemeriksaan selanjutnya untuk memastikan

penegakan diagnosis gagal jantung adalah dengan pemeriksaan ekokardiografi. Pada hasil ekokardiografi, kesimpulan yang didapatkan adalah adanya penyumbatan pada arteri koroner. Berdasarkan dasar teori yang didapatkan, penyakit jantung koroner menjadi penyebab utama timbulnya gagal jantung kongestif disamping hipertensi yang menyertainya. Penyakit jantung koroner akan menyebabkan kerusakan miosit, yang nantinya akan terjadi gangguan kontraktilitas  jantung, isi sekuncup berkurang, dan timbullah gejala penurunan curah jantung.

Kompetensi untuk penatalaksaan gagal jantung untuk dokter umum termasuk dalam kompetensi 3 dimana seorang dokter umum harus mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang gawat darurat ataupun yang bukan gawat darurat. Selanjutnya, seorang dokter harus mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Pada kasus ini akan dibahas mengenai tata laksana awal dan lanjutan untuk kasus gagal jantung terkhusus gagal jantung kongestif.

Tata laksana awal pada kasus ini diberikan di IGD sedangkan tata laksana lanjutan diberikan di ruangan dengan melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan dokter spesialis jantung. Tata laksana awal diberikan pasang O2  3-4 Lpm, infus

cairan PZ dengan batasan 500cc/24 jam, infus albumin 20% 100 cc, injeksi furosemide bolus 2 ampul dilanjutkan injeksi furosemide pump 10 mg/jam IV dan injeksi gastridin 1 ampul sedangkan untuk terapi oral diberikan canderin 8 mg, nevodio 5 mg, coten 100 mg dan diet rendah garam.

Pada umumnya semua penderita gagal jantung dianjurkan untuk membatasi aktifitas sesuai dengan beratnya keluhan. Pada gagal jantung berat harus dirawat di rumah sakit untuk menjalani tirah baring. Pengobatan awal dari gagal jantung adalah pengurangan beban awal ( preload ) dengan membatasi cairan, pemberian diuretika, dan vasodilator. Pada kasus ini restriksi cairan 1,5  –  2 Liter/hari akan membantu mengurangi  preload tetapi tidak memberikan keuntungan klinis. Infus albumin 20% digunakan pada kondisi hipoalbumin. Albumin merupakan derivate plasma manusia. Pemberian albumin 25% dapat menarik cairan dari ruang interstitial ke dapam pembuluh darah, sehingga dapat meningkatkan volume plasma 4-5 kali dari volume albumin yang diinfuskan. Pemberian tambahan terapi

(42)

meningkatkan oksigenisasi, keseimbangan cairan, dan stabilitas hemodinamik dibandingkan pada pasien yang hanya diberikan terapi furosemide (Stephanie dkk., 2011).

Beberapa injeksi diberikan pada tatalaksana awal salah satu adanya furosemide dan pemberian oral spirola yang mengandung spironolakton 25 mg. Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi. Cara pemberian diuretik pada gagal jantung, pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit, dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong, Sebagian besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan tiazid karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop. Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk mengatasi keadaan edema yang resisten (PERKI, 2015). Obat kedua yaitu spirola yang mengandung spironolakton 25 mg sebagai antagonis aldosteron. Penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus dipertimbangakan pada semua pasien dengan FE ≤35% dan gagal jantung simptomatik berat. Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron adalah konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L, serum kreatinin> 2,5 mg/dL, bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium, dan kombinasi ACEI dan ARB.

Terapi injeksi lain yang diberikan adalah gastridin 1 ampul yang mengandung ranitidine, obat golongan antagonis reseptor histamine H2 sebagai protector untuk lambung dan duodenum.

Terapi oral lain yang diberikan pada pasien adalah obat golongan ARB yaitu canderin yang berisi candesartan 8 mg, nevodio yang berisi nebivolol 5 mg, serta coten 100 mg yang berfungsi sebagai antioksidan. Dua obat pertama yaitu canderin dan nevodio merupakan obat pilihan pertama untuk tatalaksana awal gagal jantung.  ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejek ventrikel kiri ≤40%. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung. ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini,  ARB mengurangi angka kematian karena penyebab kardiovaskular. Kontra indikasi pemberian ARB adalah stenosis renal bilateral, kadar kalium serum > 5,0 mmol/L,

(43)

serum kreatinin >2,5 mg/dL, stenosis aorta berat, pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan, dan monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama ACEI. Selanjutnya adalah terapi oral yang kedua yaitu nevodio yang berisi nebivolol 5 mg. nebivolol merupakan golongan β blocker. Penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simptomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40%. Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan ggal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup.

Indikasi pemberian penyekat β adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40%, gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA), ACEI/ARB sudah diberikan, pasien stabil secara klinis. Kontraindikasi pemberian penyekat β adalah asma, blok  AV derajat 2 dan 3, sinus bradikardia.

Coten mengandung Ubidecarenone sebagai antioksidan yang berdasarkan fungsinya dapat mencegah penyakit jantung koroner. Pada perjalanan penyakit gagal jantung, stress oksidatif yang dihasilkan oleh sel-sel jantung yang mati berhubungan dengan progresivitas dan perkembangan dari gagal jantung, maka dari itu antioksidan diperlukan untuk mengurangi resiko tersebut.

Terapi lanjutan juga diberikan pada pasien ini antara lain fargoxin, starxone, sanmol dan xypras 0,5 mg. Perkembangan keadaan dari pasien dalam kasus ini cukup fluktuatif. Pada hari kedua (8/07/2017) pasien mengalami disorientasi dan dikonsulkan kepada dokter penanggung jawab (DPJP). Saran dari DPJP dilakukan pemeriksaan elektrolit dan hasilnya normal. Pasien diberikan fargoxin yang mengandung digoxin 0,25 mg. Digoxin pada tatalaksana gagal jantung digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat bera) lebih diutamakan. Kontraindikasi pemberian digoxin adalah blok AV derajat 2 dan 3, dan riwayat intoleransi digoksin.

Pemberian obat tambahan lain adalah starxone dan sanmol. Starxone mengandung ceftriaxone 1 gram dan sanmol mengandung parasetamol. Pada kasus ini, kedua obat diberikan pada saat kondisi pasien dalam keadaan demam sehingga mengindikasikan obat ini untuk diberikan.

Kasus gagal jantung diikuti penyakit komorbid lainnya selayaknya diberikan pengawasan khusus. Edukasi kepada pasien dan keluarga sangatlah penting mengingat perkembangan penyakit ini dapat dikontrol dengan baik. Peran dokter

(44)

umum disini adalah mengawasi dan melakukan tata laksana awal agar perkembangan penyakit tidak semakin memburuk.

DAFTAR PUSTAKA

 Ancion A, Allepaerts S, Oury C, Gori AS, Piérard LA, Lancellotti P. Serum albumin level and hospital mortality in acute non-ischemic heart failure. ESC Heart Fail - May 1, 2017; 4 (2); 138-145.

(45)

Gray, Huon; Keith D. Dawkins, John M.Morgan; dkk. 2003. Lecture Notes Kardiologi. Jakarta : Erlangga.

Guyton, A. C., dan Hall, J. E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC

Hanafiah, A., dkk. 2001. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Hobbs FDR, Davis RC, Lip GYH.  ABC of Heart Failure: Heart Failure in General Practice. BMJ 2000; 320: 626-9.

Horwich TB, and Fonarow GC.Glucose, Obesity, Metabolic Syndrome, and Diabetes: Relevance to Incidence Heart Failure. J. Am. Coll. Cardiol. 2010; 55; 283-293.

Jackson G, Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH.  ABC of Heart Failure: Pathophysiology. BMJ  2000; 320: 167-70.

Kabo P, Sjukri K. 1996. EKG dan Penanggulangan Beberapa Penyakit Jantung untuk Dokter Umum: Gagal jantung Kongestif . Jakarta: Balai Penerbit FK UI

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tentang Epidemiologi Jantung. Updated 2013. Available from

http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin- jantung.pdf 

PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana pada Gagal Jantung, edisi pertama. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.

Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem Edisi 2 . Jakarta: EGC.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V . Jakarta: Interna Publishing.

Sugeng, Barita Sitompul dan J. Irawan. 2004. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Wilson, Sylvia A. Price, dan Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC.

Stephane Arques, Md,1 And Pierre Ambrosi, Md, Phd. Human Serum Albumin in the Clinical Syndrome of Heart Failure. Journal of Cardiac Failure Vol. 17 No. 6 2011

Gambar

Gambar 1. Letak dan anatomi jantung bagian dalam.
Tabel 2. Tanda dan Gejala Gagal Jantung
Tabel 4. Klasifikasi Gagal Jantung
Gambar 2. Skema Diagnostik untuk Pasien Dicurigai Gagal Jantung
+7

Referensi

Dokumen terkait

b.Puskesmas harus melakukan proses perancangan (desain)yang baik, mengacu pada visi, misi, dan tujuan Puskesmas 1aepana kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan,

kegagalan ginjal kronis terjadi bila ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan internal yang konsisten dengan kehidupan dan emulihab fungsi tidak di mulai pada

Kegiatan produksi obat steril yang dilakukan Sub Instalasi Produksi Farmasi adalah pembuatan nutrisi parenteral, IV admixture atau pencampuran obat-obat suntik, dan

Jenis dispensing error yang lain adalah content error yaitu tulisan tangan yang tidak jelas, jumlah obat yang tidak sesuai dengan resep, salah dalam menghitung dosis,

Penerapan disiplin kerja dalam organisasi baik pemerintah maupun swasta pada prinsipnya di tujukan untuk mendorong para karyawan agar mengikuti berbagai standard

Berusaha mengenal pribadi kepala baru tersebut dan menyesuaikan diri dengan cara kerja yang dijalankan.. Bekerja dengan

Dengan adanya permasalahan tersebut maka diperlukan penerapan metode CRM Operasional modul Marketing Automation dan Customer Segmentation yang bertujuan untuk

Setelah berhasil memerdekakan diri dari Kerajaan Sunda Pakuan Padjajaran dan menjadi kerajaan Islam ibu kotanya dipindahkan ke Keraton Surosowan yang terletak di Banten Lama +