• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIRECT FLUORESCENT ANTIBODY ASSAY TERHADAP KOMPONEN DINDING SEL UNTUK IDENTIFIKASI CEPAT Bacillus anthracis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DIRECT FLUORESCENT ANTIBODY ASSAY TERHADAP KOMPONEN DINDING SEL UNTUK IDENTIFIKASI CEPAT Bacillus anthracis"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

DIRECT FLUORESCENT ANTIBODY ASSAY TERHADAP

KOMPONEN DINDING SEL UNTUK IDENTIFIKASI

CEPAT Bacillus anthracis

(Cell Wall Component Direct Fluorescent Antibody Assay for

Rapid Identification of Bacillus anthracis)

LILY NATALIA,RAHMAT S.ADJI danA.PRIADI

Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114 ABSTRACT

Rapid diagnosis played an important role during the outbreak of anthrax. Diagnosis of anthrax in Indonesia is now made by using conventional methods. Direct fluorescent antibody assays (DFA) have been developed to rapidly identify B. anthracis cultures and to directly detect B. anthracis in infected clinical specimens. The utilization of Fluorescent labelled antibodies specific to the B. anthracis cell wall polysaccharide antigen (CW-DFA) for diagnosing anthrax has been recommended by Center for Disease Control and Prevention, USA. The component used in DFA assay is polysaccharide-peptidoglycan complex of B. anthracis cell wall, which was prepared from B. anthracis culture by cell lysis and guanidine extraction.

The purified polysaccharide-peptidoglycan complex was mixed with Freund’s complete/incomplete adjuvant and then used for immunizing goats. The hyperimmune sera were then collected and purified to obtain the IgG anti cell wall (polysaccharide-peptidoglycan complex) of B. anthracis. The IgG was then labeled with

Fluorecent Iso Thiocyanate, ready for use as conjugates in DFA Assay. The CW-DFA developed are specific to the B. anthracis cell wall antigens. The assay was evaluated for rapid identification of B. anthracis, B. anthracis isolates and non B. anthracis isolates were tested by the CW-DFA assay. B. cereus, B. subtilis,

and other Bacillusspp were negative, while B anthracis gave positive results. The CW DFA assay is a

specific rapid confirmatory test for B. anthracis in cultures.

Key Words:Bacillus anthracis, Cell Wall Direct Fluorescent Antibody Assay (CW-DFA)

ABSTRAK

Diagnosa yang cepat mempunyai peranan penting dalam kejadian kasus antraks. Diagnosis penyakit antraks di Indonesia sampai saat ini masih menggunakan cara konvensionil. Direct fluorescent Antibody

(DFA) assay telah dikembangkan untuk secara cepat dapat mengidentifikasi kultur B. anthracis dan secara

langsung mendeteksi B. anthracis dalam spesimen yang mengandung B. anthracis. Penggunaan antibodi yang dilabel dengan fluorescein specifik terhadap antigen polisakarida dinding sel B. anthracis (CW-DFA) dalam

diagnosis penyakit antraks telah direkomendasikan oleh Center for Disease Control and Prevention, USA. Komponen yang digunakan dalam DFA assay adalah polisakarida peptidoglikan dari dinding sel B. anthracis

yang dibuat dari kultur B anthracis dengan cara melakukan lisis terhadap sel dan ekstraksi guanidin.

Polisakarida-peptidoglikan kemudian dicampur dengan adjuvan Freund’s complete/incomplete untuk imunisasi kambing. Serum hiperimun kemudian dikoleksi dan dimurnikan untuk memperoleh IgG anti dinding sel (kompleks polisakarida-peptidoglikan) B. anthracis. IgG yang diperoleh kemudian dilabel dengan

Fluorecent Iso Thiocyanate untuk dapat digunakan sebagai konjugat dalam uji DFA. Ternyata CW-DFA yang

dikembangkan spesifik untuk antigen dinding sel B. anthracis. Uji ini telah dievaluasi untuk identifiklasi

cepat B. anthracis. Isolat B. anthracis dan bukan isolate B. anthracis diuji dengan uji CW-DFA ini. B. cereus, B. subtilis, dan Bacillus spp lainnya memberikan hasil negatif, sedangkan B anthracis memberikan hasil

positif. Uji CW-DFA adalah uji yang spesifik dan cepat untuk konfirmasi kultur B. anthracis.

(2)

PENDAHULUAN

Penyakit antraks merupakan penyakit infeksi bakteri akut atau perakut yang disebabkan B. anthracis. Penyakit antraks tersebar diseluruh dunia dan tingkat kematian karena penyakit ini sangat tinggi terutama pada herbivora. Kejadian antraks di Indonesia sudah menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar dan mengacam keselamatan manusia. Indonesia merupakan daerah endemik antraks, dan sampai saat ini tercatat 11 propinsi endemis antraks pada binatang, sedangkan 5 propinsi (Jabar, Jateng, NTB, NTT dan DI Yogyakarta) tercatat telah terjadi kasus antraks pada manusia (DEPKES, 2003). Menurut SIREGAR (2002), Sumatera (kecuali propinsi Jambi), Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Tengah, Utara, dan Tenggara; NTB dan NTT masih merupakan daerah yang mempunyai kecenderungan muncul wabah secara periodik.

Untuk pengendalian penyakit ini diperlukan diagnosa penyakit yang cepat dan tepat agar kasus penyakit dapat segera ditangani. Dalam usaha pengawasan penggunaan B anthracis sebagai senjata biologis yang sangat membahayakan kesehatan masyarakat, kita harus membuat suatu perangkat uji yang mampu mendeteksi antraks dengan cepat dan tepat. Uji ini diharapkan dapat mendeteksi bakteri antraks dalam berbagai bentuk (serbuk, kontaminan).

Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan keunggulan immunofluorescence assay, yang didasarkan pada pembuatan antibodi poliklonal terhadap antigen permukaan sel B. anthracis, yang mampu mengidentifikasi isolat-isolat B. anthracis (PHILLIPS et al., 1989), dan juga mampu secara langsung mengidentifikasi B. anthracis dari spesimen dari hewan yang terinfeksi. Tetapi, masih ada keterbatasan dalam uji yang telah dikembangkan, yaitu adanya reaksi silang dengan kelompok bakteri Bacillus cereus (HELGASON et al., 2000).

Untuk mengatasi reaksi silang tersebut, maka akan dilakukan pemurnian galactose/N-acetylglucosamine polysaccharide dari dinding sel B. anthracis (EZZELL dan ABSHIRE, 1988, EZZELL et al., 1990). Diharapkan antigen yang lebih spesifik akan dapat meningkatkan spesifisitas uji DFA yang dikembangkan.

Sampai saat ini diagnosa penyakit antraks di Indonesia terutama masih berdasarkan uji konvensional seperti uji kultur, uji biologis dengan menggunakan marmot atau mencit, dan uji Ascoli. Kelemahan uji konensional yang dirasakan saat ini adalah uji masih memerlukan waktu yang cukup lama dan seringkali walaupun gejala klinis sudah tampak jelas, kultur B. anthracis tidak dapat diisolasi (terutama pada manusia) karena bakteri sudah mati. Hal ini terutama terjadi jika terhadap penderita sudah diberikan pengobatan. Kesulitan lain adalah adanya reaksi silang antara B. anthracis dengan Bacillus cereus, B. thuringensis dan Bacillus sp lainnya (DEet al., 2002). Untuk mengatasi hal itu, perlu ditambahkan uji yang mendeteksi kapsul B. anthracis dan akan dipaparkan kemudian sebagai lanjutan penelitian ini.

Dalam penelitian ini uji DFA telah dikembangkan dengan tujuan untuk secara langsung mendeteksi B. anthracis dalam spesimen yang mengandung B. anthracis. Sesuai rekomendasi yang dikeluarkankan oleh Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, DEPARTEMEN KESEHATAN (2003), dan CDC (2002), direct fluorescence antibody assay merupakan salah satu teknik diagnosa yang perlu dilakukan oleh laboratorium rujukan. Uji ini telah berhasil dikembangkan antara lain oleh PHILLIPS dan EZZELL (1989) dan DE et al. (2002).

MATERI DAN METODE

Pembiakan anthracis

Mula-mula B. Anthracis yang telah diidentifikasi (COGNE et al., 1996), ditumbuhkan pada lempeng agar darah, diinkubasi pada suhu 37°C selama 18 jam. Kultur yang tumbuh kemudian digunakan sebagai inokulum untuk medium R (RISTROPH dan IVINS, 1983) yang komposisinya per liter adalah sbb.: L tryptophan 35 mg Glycine 65 mg L cystine 25 mg L tyrosine 144 mg L lysine 230 mg L valine 173 mg L leucine 230 mg

(3)

L isoleucine 170 mg L threonine 120 mg L methionine 73 mg L aspartic-acid 184 mg Sodium L glutamate 612 mg L proline 43 mg L. histidine-hydrochloride 55 mg L-phenylalanine 125 mg L-serine 235 mg Thiamine hydrochloride 1,0 mg Glucose 2,5 mg CaCl2.2 H2) 7,4 mg MgSO4.H2O 9,9 mg MnSO4.H2O 0,9 mg K2HPO4 3,0 mg NaHCO3 8,0 mg Uracil 1,4 mg Adenine sulphate 2,1 mg Medium ini juga dibuffer dengan 50 mM Tris HCl, pH 7,5. Sesudah di steril filter, media kemudian disimpan pada suhu 4°C sebelum digunakan.

Kultur diinkubasi dengan pengocokan pada 100 rpm, suhu 37°C selama 18 – 20 jam.

Purifikasi polisakarida dinding sel (EZZEL et

al., 1990)

B. anthracis galur Sterne yang pempunyai pX01 dan tidak mempunyai pX02 sesudah ditumbuhkan pada medium, kemudian dipanen dengan sentrifugasi selama 15 menit pada 10.000 g dan disuspensikan pada 0,1 g/ml dalam 0,1 M acetate buffer (1,25 mMMgSO4, pH 5.0) yang mengandung 1 μg DNase dan RNase per ml (Sigma Chem. Co).

Sel yang didinginkan kemudian dipecahkan dengan sonikasi. Sel yang telah terpecah kemudian disentrifus pada 10.000 g. Pellet dicuci sebanyak 3 kali dalam larutan dingin 10 mM N-2-hydroethylpiperazine-N’-2-ethane sulphonic acid (HEPES) plus 2 mM MgSO4 (pH 7,5) pada kira-kira 0,1 g sel per ml, dan kemudian dicuci tiga kali dengan buffer HEPES MgSO4 yang mengandung 0,1 M NaCl.

Lakukan pemeriksaan mikroskopis dengan material yang diwarnai crystal violet untuk memastikan tidak ada lagi sel yang utuh.

Bahan yang telah diperiksa tersebut kemudian disuspensikan dalam 0,05 g/ml PBS

(10 mM sodium phosphate dalam 0,85% NaCl, pH 7,3) dan selanjutnya disterilisasi dengan autoclave selama 15 menit (A1).

Selanjutnya bahan tersebut disuspensikan pada 0,1 g/ml dalam 2M guanidine HCl (mengandung 10 mM Tris, 10 mM EDTA, 10

μg phenylmethylsulfonyl fluoride(PMSF) per ml, 0.02% sodium azide (pH 8,5)) dan di-stirr perlahan selama 2 jam di suhu ruangan. Bahan ekstrak yang tidak larut dibuang dengan sentrifugasi, dan guanidine soluble material diendapkan dengan 10 volume methanol dingin. Presipitat dilarutkan lagi dalam 2M guanidine dan di steril filter, presipitasi dengan methanol diulang kembali. Presipitat, yaitu ekstrak guanidine, dicuci 2 kali dengan 1 volume aquades dan dikering bekukan. Hasil analisa electrophoresis akan membuktikan bahwa bahan ini murni.

Imunisasi

Bahan yang telah diisolasi di atas, kemudian diimunisasikan pada hewan kambing. Vaksinasi awal merupakan 3 mg ekstrak dalam perbandingan 1 : 1 dengan Freund’s Complete Adjuvant (FCA). Suntikan kedua padahari ke-4 diberi Freund’s Incomplete Adjuvant (FIA). Pada hari ke 21 dan 28 vaksinasi diulang kembali dengan dosis yang sama.

Purifikasi IgG (JOHNSTONE dan THORPE, 1982)

Serum yang diperoleh sebagai hasil imunisasi dimurnikan dengan menggunakan Amonium sulfat dan DEAE Cellulose. Serum diendapkan dengan menggunakan 28% ammonium sulfat. Kemudian dilakukan dialisa terhadap 0,05 M phosphate buffer. Selanjutnya purifikasi dilanjutkan dengan menggunakan kolum khromatografi. IgG yang telah dimurnikan kemudian diukur konsentrasinya dengan metoda Bradford.

Konjugasi dengan FITC

Pelabelan dengan Fluorescent Iso Thiocyanate (FITC) dilakukan sebagai berikut: Perbandingan IgG dengan FITC: 25 : 1 (wt/wt) dalam 0,05 M buffer carbonate pH 9,0.

(4)

Campuran di stirr perlahan selama 4 jam pada suhu ruangan, dan FITC yang tidak terikat dibuang dengan kolum kromatografi menggunakan Sephadex G-25 M (Pharmacia). Ekuilibrasi dilakukan dengan PBS, pH 7,3. Konjugat akan mengandung 3,5 sampai 5,5 μg FITC per mg protein.

Uji imunofluoresens

Konjugat yang dihasilkan akan diuji terhadap berbagai isolat B anthracis dan isolat bukan B. anthracis seperti B. cereus, B. subtilis, B. thuringensis dan Bacillus spp yang sudah diidentifikasi dengan metoda biakkan/ kultur dan uji biokimiawi (COGNEet al., 1995), untuk mengetahui tingkat spesifisitas dan sensitivitas yang dihasilkan.

Bacillus spp ditumbuhkan selama 18 – 20 jam pada blood agar pada suhu 37°C. Bakteri yang tumbuh disuspensikan dengan PBS, dan diletakkan pada object glass. Suspensi dilarutkan untuk mendapatkan 5 sampai 20 sel dalam tiap lapangan pandang. Preparat pada object glass difiksasi. Preparat dapat dicuci dengan PBS jika diperlukan. Kira-kira 40 μl konjugat yang telah dibuat ditambahkan. Preparat kemudian diinkubasikan pada ruang pelembab selama 1 jam dalam suhu ruangan. Preparat kemudian dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali. Preparat lalu dikeringkan. Tambahkan beberapa tetes mounting fluid (sebanyak 25 mg/ml 1,4- diazobicyclo(2,2,2)-octane (Sigma) dalam 10% PBS dan 90% gliserol pH7,4) dan tutup dengan cover glass. Lihat di bawah mikroskop fluorescent.

Intensitas pewarnaan dicatat dalam skala dari negatif (tidak ada fluoresens) sampai positif 4 untuk pewarnaan yang terlihat sama dengan kontrol (Bacillus anthracis galur Sterne).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil direct fluorescent antibody (DFA) assay terhadap dinding sel B. anthracis yang diproduksi dapat dilihat pada Gambar 1, 2 dan 3. Jika konjugat dipakai pada kultur campuran dengan Bacillus lainnya (B. subtilis, B cereus), tampak pada Gambar 2, kultur B. anthracis terlihat masih bersinar jelas, sedangkan B. subtilis terlihat gelap. Penggunaan konjugat

antuk dinding B. anthracis telah juga diperiksa terhadap berbagai Bacillus spp seperti B. cereus, B subtilis, B. thuringensis dan lain sebagainya (Tabel 1).

Gambar 1. Hasil DFA terhadap dinding sel (DFA CW) B. anthracis (pembesaran 1000x)

Gambar 2. Hasil DFA CW B. anthracis. Sampel

yang diperiksa kultur campuran B. anthracis dan B. subtilis (pembesaran

(5)

Gambar 3. Cell Wall DFA B. anthracis terhadap

isolat 34F2 B. anthracis (Sterne strain)

yang berbentuk spora (pembesaran 1000x)

Untuk pemeriksaan immunofluoresens, dan mengetahui sensitifitas dan spesifisitas dari uji DFA yang dikembangkan, maka telah dilakukan pengujian terhadap berbagai isolat seperti terlihat pada Tabel 1.

Perhitungan sensitivitas dari uji adalah: TP/(TP + FN) x 100%, atau 16/16 x 100% = 100%. Sedangkan perhitungan spesifisitas dari uji adalah: TN/(FP + TN) x 100%, atau 15/16 x 100% = 93,75%. Untuk perhitungan spesifisitas dan sensitivitas ini tentunya pengujian isolat dalam jumlah yang lebih banyak akan lebih mencerminkan nilai yang lebih baik.

Semua isolat B. anthracis menunjukkan hasil positif pada DFA B. anthracis. Dari 16 isolat non B. anthracis, satu dari 5 isolat B. thuringensis menunjukkan hasil positif palsu. Tetapi untuk isolat B. thuringensis lain, semua menunjukkan hasil negatif. Hasil semacam ini juga dialami oleh DE et al. (2002). Untuk konfirmasi isolat B. anthracis yang patogen, tentunya harus dilakukan uji DFA dari 2 komponen, yaitu uji yang mendeteksi dinding sel dan kapsul dari B. anthracis. Untuk mendeteksi kapsul B. anthracis, juga telah dikembangkan ujinya di BBalitvet, dan masih dalam taraf pengujian berbagai isolat. Hanya isolat B. anthracis yang positif dalam kedua macam uji tersebut (DE et al., 2002,

HOFFMASTER et al., 2002). Dalam penggunaan DFA, ada satu isolat, yaitu Sterne strain (34F2), yang tidak mempunyai kapsul, tetapi dapat membentuk spora. Spora tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.

Tabel 1. Hasil pemeriksaan Immunofluoresens

No. isolat Identitas isolat CW- DFA Citaringgul B. anthracis +++

34F2/Sterne B. anthracis +++

Makmur/K. Pedes B. anthracis +++

Karadenan B. anthracis +++ NTT B. anthracis +++

NTB B. anthracis +++

CTR B. anthracis +++

Purwakarta B. anthracis +++ Irian Jaya B. anthracis +

Jambi B. anthracis +++ T. Safari B. anthracis +++ Salatiga B. anthracis +++ DKI B. anthracis ++ Grati B. anthracis +++ Krawang B. anthracis +++ Bekasi B. anthracis + 2496 B. thuringensis - 0606 B. cereus - 0608 B. megaterium - 2523 B. thuringensis - 2503 B. thuringensis - 2536 B. thuringensis - 2546 B. thuringensis + S1 B. mycoides - S2 B. firmus - S3 B. pumilus - S4 B. licheriformis - S5 B. steorothermophillus - S6 B. subtilis - S7 L. plantarum - S8 L. sporogenes - S9 L. acidophilus -

(6)

Dari Tabel 1, diperoleh untuk uji DFA Cell wall B. anthracis:

Hasil uji B. anthracis Non B. anthracis

Positif 16(TP) 1(FP) Negatif 0 (FN) 15 (TN)

16 (TP +FN) 16 (FP +TN) Dalam pengamatan ini diuji 16 isolat B. anthracis dari berbagai sampel dan berbagai hewan dan dari berbagai lokasi. Ternyata uji tetap dapat memperoleh hasil yang baik dalam mendeteksi isolate B. anthracis dari berbagai sumber.

Uji DFA telah lama dikenal dan digunakan untuk mengidentifikasi secara cepat kultur bakteria dan secara langsung mendeteksi penyakit bakterial dari spesimen yang berasal dari berbagai organ hewan yang terinfeksi. Penggunaan teknik ini secara luas sangat tergantung pada kemampuan konjugat untuk dapat secara sensitif dan spesifik mendeteksi mikroorganisme yang dimaksud dan mengidentifikasinya sebagai penyebab penyakit. Dalam tulisan ini dijelaskan tentang pengembangan uji dan evaluasi hasil uji dalam usaha melakukan konfirmasi identitas kultur B. anthracis dan mendeteksinya dengan cepat. Dari hasil uji ternyata diperoleh nilai sensitivitas dan spesifisitas uji yang sangat baik. Kecepatan hasil uji dalam kasus antraks sangat penting karena hal ini berperan dalam tindak lanjut penanganan kasus antraks yang sangat memerlukan kecepatan karena penyakit ini dapat bersifat sangat akut (WHO, 1998).

KESIMPULAN DAN SARAN

Uji DFA yang dikembangkan dapat mendeteksi B. anthracis secara cepat dan spesifik. Uji tersebut menggunakan konjugat antibodi spesifik terhadap polisakarida-peptidoglycan dinding sel B. anthracis yang dilabel FITC. Sebanyak 16 isolat B. anthracis dari berbagai sumber telah diuji dan semua dapat dideteksi dengan baik. Sebanyak 16 isolat non B. anthracis juga telah diuji. Satu isolat dari 5 isolat B. thuringensis memberikan hasil positif. Untuk mengatasi keraguan akan identifikasi isolat yang positif dalam DFA terhadap dinding sel B. anthracis, perlu dilakukan uji konfirmasi dengan DFA terhadap

kapsul B. anthracis. Hasil positif dari DFA terhadap dinding sel dan DFA terhadap kapsul akan meyakinkan bahwa isolat yang diuji adalah B. anthracis. Pengujian isolat bakteri dengan DFA yang menggunakan dua macam komponen (dinding sel dan kapsul) B. anthracis diperlukan untuk menyimpulkan bahwa isolat yang diperiksa adalah B. anthracis.

DAFTAR PUSTAKA

CENTERS FOR DISEASE CONTROL AND PREVENTION (CDC). 2002. Approved tests for the detection of Bacillus anthracis in the laboratory

response network (LRN) http://www.bt.cdc. gov/DocumentsApp/Anthrax/ApprovedLRNT est.asp.

COGNE,R.,N.E.STARES,M.N.JONES,J.E.BOWEN, P.C.B.TURNBULL and J.M.BOEUFGRAS. 1996. Identification of Bacillus anthracis using the

API 50 CHB system. Salisbury Med. Bull.

Special supplement no. 87. Proc. of the International Workshop on Anthrax. Winchester, England, September 19 – 21, 1995.

DE,B.K.,S.L.BRAGG,G.N.SANDEN,K.E.WILSON, L.A. DIEM, C.K. MARSTON, A.R. HOFFMASTER, G.A.BARNETT, R.S. WEYANT, T.G.ABSHIRE,J.W.EZZELL and T.POPOVIC. 2002. Two component Direct Fluorescent Antibody Assay for rapid identification of

Bacillus anthracis. Emerg. Infect. Dis. 8(10):

1060 – 1065.

PHILLIPS,A.P. and J.W.EZZELL. 1989. Identification of Bacillus anthracis by polyclonal antibodies

against extracted vegetative cell antigens. J. Appl. Bacteriol. 66(5): 419 – 432.

DEPARTEMEN KESEHATAN RI. 2003. Pedoman Tata laksana kasus dan pemeriksaan laboratorium penyakit antraks di rumah sakit. Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. DEPKES RI.

EZZELL, J.W. and T.G. ABSHIRE. 1988. Immunological analysis of cell associated antigens of Bacillus anthracis. Infect. Immun.

56(2): 349 – 356.

EZZELL, J.W., T.G. ABSHIRE, S.F. LITTLE, B.C. LIDGERDING and C. BROWN. 1990. Identification of B anthracis by using

monoclonal antibody to cell wall galactose-N-acetylglucosamine polysaccharide. J. Clin. Microbiol. 28(2): 223 – 231.

(7)

HELGASON, E., D. OLKSTAD, H. CAUGANT, A. JOHANSEN, M.FOUET and M. MOCK. 2000.

Bacillus anthracis, Bacillus cereus and Bacillus thuringensis- one species on the basis

of genetic evidence. Appl Environ. Microbiol.

66: 2627 – 2630.

HOFFMASTER, A. C. FITZGERALD, E. RIBOT, L. MEYER and T. POPOVIC. 2002 Molecular subtyping of Bacillus anthracis and the 2001 bioterrorism-associated anthrax outbreak, United States. Emerg. Infect. Dis. 8: 1111 – 1116.

JOHNSTONE, A. and R. THORPE. 1982. Immunochemistry in practice. Blackwell Scientific Publications. Oxford, London Edinburgh.

RISTROPH,J.D. and B.E.IVINS. 1983. Elaboration of

Bacillus anthracis antigens in a new, defined culture medium. Infect. Immun. 39: 483 – 486.

SIREGAR, E.A. 2002. Antraks: Sejarah masa lalu, situasi pada saat ini, sejarah diagnosa dan kecenderungan perkembangan ilmu di masa depan. Simposium sehari Penyakit Antraks: Antraks di Indonesia, masa lalu, masa kini dan masa depan. Bogor, 17 Juli 2002. Balai Penelitian Veteriner, Bogor.

WORLD HEALTH ORGANIZATION. 1998. Guidelines for the Surveillance and Control of Anthrax in Humans and Animals. 3rd Ed. TURNBULL,

PCB,R.BOHM,O.COSIVI,M.DOGANAY,M.E. HUGH JONES,D.D.JOSHI,M.K.LALITHA and V. DE VOS. Departement of Communicable Disease Surveillance and Response. pp. 51 – 61.

Gambar

Gambar 1.  Hasil DFA terhadap dinding sel (DFA  CW) B. anthracis (pembesaran 1000x)
Tabel 1. Hasil pemeriksaan Immunofluoresens  No. isolat  Identitas isolat  CW-

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kebutuan prestasi, afiliasi, dominasi, dan otonomi terhadap keberhasilan usaha entrepreneur

Berdasarkan hasil analisis perancangan dan pengembangan sistem informasi pembayaran untuk sekolah yang telah dilakukan dengan terintegrasi dengan pihak bank selama proses

Di Indonesia, BNN telah menemukan 27 jenis NPS, dan sebagian dari NPS yang beredar di Indonesia (18 jenis NPS) telah dimasukan kedalam lampiran Peraturan Menteri

Jadi dapat disimpulkan dari pengertian-pengertian diatas bahwa pernikahan dini adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri di

Aktivitas sangat mempengaruhiterjadinya hipertensi, dimana pada orang yang kuan aktvitas akan cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tingi

Setelah menonton program berita tv Saya mendapatkan berbagai informasi mengenai peristiwa terkini di bidang politik Setelah menonton program berita tv Saya mendapatkan

Bentuk pertama adalah masalah keagenan yang terjadi antara manajer dengan pemegang saham, konflik ini terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara

b) Kocok campuran beberapa kali sehingga homogen.. Pipet ke dalam tabung-tabung reaksi.. Pilih cawan petri dari satu pengenceran yang menunjukkan jumlah koloni antara 25 koloni