• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skenario B Blok 22

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Skenario B Blok 22"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

I.

I. SkenarioSkenario  Nn.

 Nn. A, A, 20 20 tahun, tahun, pasien pasien rawat rawat inap inap di di bangsal bangsal penyakit penyakit dalam dalam RSMH RSMH tiba-tibatiba-tiba mengeluh pusing, keringat dingin, sesak napas lalu tidak sadar setelah beberapa menit mengeluh pusing, keringat dingin, sesak napas lalu tidak sadar setelah beberapa menit sebelumnya dilakukan tes kulit terhadap ceftriaxone, dimana obat tadi direncanakan sebelumnya dilakukan tes kulit terhadap ceftriaxone, dimana obat tadi direncanakan akan disuntikkan ke pasien tersebut. Riwayat pernah makan kaplet amoxicillin 7 bulan akan disuntikkan ke pasien tersebut. Riwayat pernah makan kaplet amoxicillin 7 bulan yang lalu yang diresepkan dokter karena infeksi tenggorokan yang dialaminya namun yang lalu yang diresepkan dokter karena infeksi tenggorokan yang dialaminya namun tidak ada keluhan selama makan obat tersebut. Menurut penuturan kakaknya, adiknya tidak ada keluhan selama makan obat tersebut. Menurut penuturan kakaknya, adiknya tersebut bila makan ikan laut atau udang keluar bentol-bentol merah dan gatal. Kakak tersebut bila makan ikan laut atau udang keluar bentol-bentol merah dan gatal. Kakak  perempuannya

 perempuannya mempunyai mempunyai riwayat riwayat asma. asma. Ibunya Ibunya sering sering berobat berobat ke ke dokter dokter karenakarena  penyakit ekzema yang diterimanya.

 penyakit ekzema yang diterimanya. Pemeriksaan Fisik:

Pemeriksaan Fisik:

Keadaan umum: kesadaran spoor; suhu 36,8

Keadaan umum: kesadaran spoor; suhu 36,8 ᵒᵒC; tekanan darah 60 mmHg, palpasi;C; tekanan darah 60 mmHg, palpasi; frekuensi napas 36x/menit; frekuensi nadi 120x/menit, regular. Saturasi Oksigen 60%. frekuensi napas 36x/menit; frekuensi nadi 120x/menit, regular. Saturasi Oksigen 60%. Keadaan spesifik: auskultasi paru terdengar wheezing, frekuensi denyut jantung Keadaan spesifik: auskultasi paru terdengar wheezing, frekuensi denyut jantung 120x/menit, regular.

120x/menit, regular.

Pemeriksaan Laboratorium: Pemeriksaan Laboratorium: Hb 12,5 gr%, leukosit 11.000/mm

Hb 12,5 gr%, leukosit 11.000/mm33,, diff. count diff. count : 0/4/7/70/18/1, LED: 10 mm/jam.: 0/4/7/70/18/1, LED: 10 mm/jam.

II.

II. Klarifikasi IstilahKlarifikasi Istilah 1.

1. Ceftriaxon : Sefalosporin generasi ketiga semisintetik yang resisten terhadapCeftriaxon : Sefalosporin generasi ketiga semisintetik yang resisten terhadap β β--laktamase dan efektif terhadap sebagian besar bakteri gram positif dan gram negatif laktamase dan efektif terhadap sebagian besar bakteri gram positif dan gram negatif yang biasa dipakai dalam garam natrium.

yang biasa dipakai dalam garam natrium. 2.

2. Amoxicilin : Turunan semisintetik ampisilin yang efektif terhadap spektrum luasAmoxicilin : Turunan semisintetik ampisilin yang efektif terhadap spektrum luas  bakteri gram positif dan gram negative.

 bakteri gram positif dan gram negative. 3.

3. Kaplet (Kapsul tablet) : Bentuk tablet yang dibungkus dalam lapisan gula danKaplet (Kapsul tablet) : Bentuk tablet yang dibungkus dalam lapisan gula dan  biasanya diberi zat warna yang menarik.

 biasanya diberi zat warna yang menarik. 4.

4. Asma : Serangan dispneu paroksismal berulangdisertai mengi akibat kontraksiAsma : Serangan dispneu paroksismal berulangdisertai mengi akibat kontraksi spasmodic bronchi.

spasmodic bronchi. 5.

5. Ekzema : Dermatitis papulo vesikular yang terasa gatal pada awalnya, ditandaiEkzema : Dermatitis papulo vesikular yang terasa gatal pada awalnya, ditandai edema yang disebabkan eksudat serosa di epidermis dan infiltrate radang di dermis edema yang disebabkan eksudat serosa di epidermis dan infiltrate radang di dermis  basalis

 basalis dan dan disertai disertai vaskulasi vaskulasi dan dan krusta krusta dengan dengan sisik sisik dan dan kemudian kemudian mengalamimengalami likenifikasi menebal, ditandai dengan psoriasis serta gangguan pigmentasi.

(2)
(3)

6.

6. Infeksi : Invasi dan multiplikasi mikroorganisme jaringan tubuh, terutama yangInfeksi : Invasi dan multiplikasi mikroorganisme jaringan tubuh, terutama yang menyebabkan cedera seluler local akibat metabolism yang kompetitif, toksin, menyebabkan cedera seluler local akibat metabolism yang kompetitif, toksin, replikasi intraseluler, respon antigen-antibodi.

replikasi intraseluler, respon antigen-antibodi. 7.

7. Sopor : Tidur yang terlalu dalam atau abnormal.Sopor : Tidur yang terlalu dalam atau abnormal. 8.

8. Saturasi Oksigen : Ukuran seberapa banyak persentase Oksigen yang mampuSaturasi Oksigen : Ukuran seberapa banyak persentase Oksigen yang mampu dibawa oleh Hb.

dibawa oleh Hb. 9.

9. Wheezing : Suara bersuit yang dibuat saat bernapas (fase akhir ekspirasi).Wheezing : Suara bersuit yang dibuat saat bernapas (fase akhir ekspirasi). 10.

10. LED : Kecepatan sedimentasi eritrosit dalam darah yang belum membeku denganLED : Kecepatan sedimentasi eritrosit dalam darah yang belum membeku dengan satuan mm/jam.

satuan mm/jam.

III.

III. Identifikasi MasalahIdentifikasi Masalah 1.

1.  Nn. A,  Nn. A, 20 tahun, 20 tahun, mengeluh pusing, berkeringat mengeluh pusing, berkeringat dingin, sesak dingin, sesak napas lalu napas lalu tidak sadartidak sadar setelah beberapa menit sebelumnya dilakukan tes kulit terhadap obat ceftriaxon, setelah beberapa menit sebelumnya dilakukan tes kulit terhadap obat ceftriaxon, yang rencananya akan disuntikkan pada pasien tersebut.

yang rencananya akan disuntikkan pada pasien tersebut. 2.

2. Riwayat obat-obatan : Nn. A pernah makan kaplet amoxicillin 7 bulan yang laluRiwayat obat-obatan : Nn. A pernah makan kaplet amoxicillin 7 bulan yang lalu karena infeksi tenggorokan, namun tidak ada keluhan sealama makan obat tersebut. karena infeksi tenggorokan, namun tidak ada keluhan sealama makan obat tersebut. 3.

3. Riwayat atopi : Nn. A mengalami bentol-bentol merah dan gatal bila makan ikanRiwayat atopi : Nn. A mengalami bentol-bentol merah dan gatal bila makan ikan laut atau udang.

laut atau udang. 4.

4. Riwayat atopi keluarga : Kakak perempuan Riwayat atopi keluarga : Kakak perempuan Nn. A mempunyai riwayat asma dan ibuNn. A mempunyai riwayat asma dan ibu  Nn. A memiliki riwayat ekzema

 Nn. A memiliki riwayat ekzema 5.

5. Pemeriksaan fisikPemeriksaan fisik 6.

6. Pemeriksaan laboratoriumPemeriksaan laboratorium

IV.

IV. Analisis MasalahAnalisis Masalah 1.

1.  Nn. A,  Nn. A, 20 tahun, 20 tahun, mengeluh pusing, berkeringat mengeluh pusing, berkeringat dingin, sesak dingin, sesak napas lalu napas lalu tidak sadartidak sadar setelah beberapa menit sebelumnya dilakukan tes kulit terhadap obat ceftriaxon, setelah beberapa menit sebelumnya dilakukan tes kulit terhadap obat ceftriaxon, yang rencananya akan disuntikkan pada pasien tersebut.

yang rencananya akan disuntikkan pada pasien tersebut. a.

a. Apa hubungan obat ceftriaxon dengan gejala-gejala yang dialami Nn. A?Apa hubungan obat ceftriaxon dengan gejala-gejala yang dialami Nn. A?

Pada kasus Nn. A ini, telah terjadi reaksi hipersensitifitas tubuh terhadap obat Pada kasus Nn. A ini, telah terjadi reaksi hipersensitifitas tubuh terhadap obat ceftriaxon. Sehingga Nn.A mengalami syok anafilaktik. Syok anafilaktik ceftriaxon. Sehingga Nn.A mengalami syok anafilaktik. Syok anafilaktik merupakan salah satu kasus emergensi yang diakibatkan reaksi hipersensitivitas merupakan salah satu kasus emergensi yang diakibatkan reaksi hipersensitivitas antara antigen dan antibodi tubuh. Antigen yang bersangkutan terikat pada antara antigen dan antibodi tubuh. Antigen yang bersangkutan terikat pada antibodi dipermukaan sel mast sehingga terjadi degranulasi, pengeluaran antibodi dipermukaan sel mast sehingga terjadi degranulasi, pengeluaran histamin dan zat vasoaktif lain. Keadaan ini menyebabkan peningkatan histamin dan zat vasoaktif lain. Keadaan ini menyebabkan peningkatan

(4)

 permeabilitas

 permeabilitas dan dan dilatasi dilatasi kapiler kapiler menyeluruh. menyeluruh. Terjadi Terjadi hipovolemia hipovolemia relatifrelatif karena vasodilatasi yang mengakibatkan syok, sedangkan peningkatan karena vasodilatasi yang mengakibatkan syok, sedangkan peningkatan  permeabilitas kapiler menyebabkan udem.

 permeabilitas kapiler menyebabkan udem. 

 PusingPusing

Pusing disebabkan oleh gangguan pada otak karena memburuknya aliran Pusing disebabkan oleh gangguan pada otak karena memburuknya aliran darah pada arteri yang bertugas untuk mengirim zat gizi dan oksigen, dalam darah pada arteri yang bertugas untuk mengirim zat gizi dan oksigen, dalam hal ini karena terjadinya hipotensi. Gangguan terutama pada otak kecil, yang hal ini karena terjadinya hipotensi. Gangguan terutama pada otak kecil, yang  bertugas

 bertugas mengontrol mengontrol segala segala macam macam perintah perintah atau atau impuls impuls yang yang berasal berasal daridari mata, dan bagian tubuh lain. Selain itu gangguan juga terjadi pada alat mata, dan bagian tubuh lain. Selain itu gangguan juga terjadi pada alat kontrol organ keseimbangan yang terdapat di dalam telinga dengan kontrol organ keseimbangan yang terdapat di dalam telinga dengan mekanisme yang serupa.

mekanisme yang serupa. 

 Keringat dinginKeringat dingin

Terjadinya syok anafilaktik menyebabkan tekanan arteri berkurang. Terjadinya syok anafilaktik menyebabkan tekanan arteri berkurang. Kemudian baroreseptor arteri (sinus karotikus dan arkus aorta) dan reseptor Kemudian baroreseptor arteri (sinus karotikus dan arkus aorta) dan reseptor regangan vaskuler merespon penurunan tersebut dengan memberikan regangan vaskuler merespon penurunan tersebut dengan memberikan stimulus kepada saraf simpatis. Saraf simpatis inilah yang akan merangsang stimulus kepada saraf simpatis. Saraf simpatis inilah yang akan merangsang kelenjar keringat untuk mengekskresikan keringat.

kelenjar keringat untuk mengekskresikan keringat. 

 Sesak napasSesak napas

Saat terjadi syok anafilaktik, antigen (obat Ceftriaxon) akan ditangkap oleh Saat terjadi syok anafilaktik, antigen (obat Ceftriaxon) akan ditangkap oleh IgE lalu IgE ini akan melekat pada sel-sel imun, salah satunya basophil dan IgE lalu IgE ini akan melekat pada sel-sel imun, salah satunya basophil dan sel mast. Kedua sel ini lalu akan mengeluarkan Histamin sebagai mediator sel mast. Kedua sel ini lalu akan mengeluarkan Histamin sebagai mediator inflamasi. Histamin memiliki efek bronkospasme pada bronkus yang inflamasi. Histamin memiliki efek bronkospasme pada bronkus yang menyebabkan sesak napas.

menyebabkan sesak napas.

Pelepasan dari histamine oleh sel mast/basofil

Pelepasan dari histamine oleh sel mast/basofil   kontraksi dari otot polos  kontraksi dari otot polos  bronkus

 bronkus spasme bronkus spasme bronkus  sesak nafas sesak nafas 

 Tidak sadarTidak sadar

Keadaan tidak sadar pada syok anafilaksis diakibatkan oleh gangguan dari Keadaan tidak sadar pada syok anafilaksis diakibatkan oleh gangguan dari sistem sirkulasi. Gangguan yang paling mencolok yaitu hipotensi. Hipotensi sistem sirkulasi. Gangguan yang paling mencolok yaitu hipotensi. Hipotensi dapat terjadi sebagai akibat dari dua faktor, pertama akibat terjadinya dapat terjadi sebagai akibat dari dua faktor, pertama akibat terjadinya vasodilatasi pembuluh darah perifer dan kedua akibat meningkatnya vasodilatasi pembuluh darah perifer dan kedua akibat meningkatnya  permeabilitas

 permeabilitas kapiler kapiler sehingga sehingga selain selain resistensi resistensi pembuluh pembuluh darah darah menurun,menurun,  juga

 juga banyak banyak cairan cairan intravascular intravascular yang yang keluar keluar ke ke ruang ruang interstisial interstisial sehinggasehingga terjadi hipovolemia relative. Hipotensi ini akan menyebabkan tekanan terjadi hipovolemia relative. Hipotensi ini akan menyebabkan tekanan

(5)

 perfusi

 perfusi jaringan jaringan menurun menurun lalu lalu berakhir berakhir pada pada hipoksia hipoksia jaringan, jaringan, termasuktermasuk otak. Inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran.

otak. Inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran.

 b.

 b. Jelaskan aspek farmakologi dari obat ceftriaxon! (indikasi, kontra indikasi,Jelaskan aspek farmakologi dari obat ceftriaxon! (indikasi, kontra indikasi, dosis, efek samping, cara kerja)

dosis, efek samping, cara kerja) Indikasi

Indikasi

Infeksi-infeksi yang disebabkan oleh patogen yang sensitif terhadap Infeksi-infeksi yang disebabkan oleh patogen yang sensitif terhadap Ceftriaxone, seperti: infeksi saluran nafas, infeksi THT, infeksi saluran kemih, Ceftriaxone, seperti: infeksi saluran nafas, infeksi THT, infeksi saluran kemih, sepsis, meningitis, infeksi tulang, sendi dan jaringan lunak, infeksi intra sepsis, meningitis, infeksi tulang, sendi dan jaringan lunak, infeksi intra abdominal, infeksi genital (termasuk gonore), profilaksis perioperatif, dan abdominal, infeksi genital (termasuk gonore), profilaksis perioperatif, dan infeksi pada pasien dengan

infeksi pada pasien dengan gangguan pertahanan tubuh.gangguan pertahanan tubuh.

Kontraindikasi Kontraindikasi

Hipersensitif terhadap cephalosporin dan penicillin (sebagai reaksi alergi Hipersensitif terhadap cephalosporin dan penicillin (sebagai reaksi alergi silang).

silang).

Dosis Dosis 

 Dewasa : 1 - 2 gram satu kali sehari. Pada infeksi berat yang disebabkanDewasa : 1 - 2 gram satu kali sehari. Pada infeksi berat yang disebabkan organisme yang moderat sensitif, dosis dapat dinaikkan sampai 4 gram satu organisme yang moderat sensitif, dosis dapat dinaikkan sampai 4 gram satu kali sehari.

kali sehari.

Efek Samping Efek Samping 

 Reaksi hipersensitivitas (urticaria, pruritus, ruam, reaksi parah sepertiReaksi hipersensitivitas (urticaria, pruritus, ruam, reaksi parah seperti anaphylaxis bisa terjadi); Efek GI (diare, N/V, diare/radang usus besar); anaphylaxis bisa terjadi); Efek GI (diare, N/V, diare/radang usus besar); Efek lainnya (infeksi candidal)

Efek lainnya (infeksi candidal) 

 Dosis tinggi bisa dihubungkan dengan efek CNS (encephalopathy,Dosis tinggi bisa dihubungkan dengan efek CNS (encephalopathy, convulsion); Efek hematologis yang jarang; pengaruh terhadap ginjal dan convulsion); Efek hematologis yang jarang; pengaruh terhadap ginjal dan hati juga terjadi.

hati juga terjadi. 

 Perpanjangan PT (prothrombin time), perpanjangan APTT (activated partialPerpanjangan PT (prothrombin time), perpanjangan APTT (activated partial thromboplastin time), dan atau hypoprothrombinemia (dengan atau tanpa thromboplastin time), dan atau hypoprothrombinemia (dengan atau tanpa  pendarahan)

 pendarahan) dikabarkan dikabarkan terjadi, terjadi, kebanyakan kebanyakan terjadi terjadi dengan dengan rangkaian rangkaian sisisisi  NMTT yang meng

 NMTT yang mengandung cephalosporins.andung cephalosporins.

Cara Kerja Cara Kerja

Menghasilkan efek bakterisidal dengan menghambat sintesis dinding kuman. Menghasilkan efek bakterisidal dengan menghambat sintesis dinding kuman.

(6)

2. Riwayat obat-obatan : Nn. A pernah makan kaplet amoxicillin 7 bulan yang lalu karena infeksi tenggorokan, namun tidak ada keluhan sealama makan obat tersebut. a. Jelaskan aspek farmakologi dari obat amoxicillin! (indikasi, kontra indikasi,

dosis, efek samping, cara kerja) Indikasi

 Untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang peka pada kulit & jaringan lunak, saluran nafas, genitourinari, gonore.

 Infeksi saluran pernafasan kronik dan akut: pneumonia, faringitis (tidak untuk faringitis gonore), bronkitis, langritis.

 Infeksi sluran cerna: disentri basiler.

 Infeksi saluran kemih: gonore tidak terkomplikasi, uretritis, sistitis,  pielonefritis.

 Infeksi lain: septikemia, endokarditis. Kontra Indikasi

Penderita hipersensitif atau mempunyai riwayat hipersensitif terhadap antibiotik  beta laktam (penicilin dan cephalosporin).

Dosis

 Dewasa : 250- 500 mg tiap 8 jam. Efek Samping

Pada pasien yang hipersensitif dapat terjadi reaksi alergi seperti urtikaria, ruam kulit, pruritus, angio edema dan gangguan saluran cerna seperti diare, mual, muntah, glositis dan stomatitis

Cara Kerja

Amoksisilin merupakan senyawa penisilin semi sintetik dengan aktivitas anti  bakteri spectrum luas yang bersifat bakterisid. Obat ini tidak membunuh bakteri secara langsung tetapi dengan cara mencegah bakteri membentuk semacam lapisan yang melekat disekujur tubuhnya, yaitu dinding sel. Lapisan ini  berfungsi sangat vital yaitu untuk melindungi bakteri dari perubahan lingkungan

dan menjaga agar tubuh bakteri tidak tercerai-berai. Bakteri tidak akan mampu  bertahan hidup tanpa lapisan ini. Ampisilin efektif terhadap sebagian bakteri gram-positif dan beberapa gram-negatif yang patogen. Bakteri patogen yang

(7)

sensitif terhadap amoksisilin adalah Staphylococci, Streptococci, Enterococci, S.  pneumoniae,  N. gonorrhoeae,  H. influenzae,  E. coli  dan  P. mirabilis. Amoksisilin kurang efektif terhadap spesies Shigella dan bakteri penghasil beta-laktamase.

 b. Adakah hubungan antara ceftriaxone dan amoxicillin? Jelaskan!

Untuk hubungan interaksi obat antara keduanya tidak ada. Ceftriaxone dan Amoxicilin merupakan antibiotik spektrum luas. Amoxicillin merupakan antibiotik spektrum luas turunan dari penicillin yang sering digunakan untuk  pemakaian oral sedangkan ceftriaxone merupakan antibiotik spektrum luas,

salah satu cephalosporin generasi ke-3 yang digunakan untuk pemakaian  parenteral. Ceftriaxone dan amoxicilin sama-sama memiliki cincin β-lactam

yang penting untuk aktivitas antimikroba.

c. Mengapa Nn. A tidak mengalami keluhan seperti pada penggunaan obat ceftriaxone selama mengonsumsi amoxicillin?

Golongan penisilin dan sefalosporin sama-sama memiliki cincin beta laktam dengan rantai samping yang mirip. Cincin beta laktam inilah yang dikaitkan sebagai determinan antigen utama untuk reaksi alergi yang dimediasi oleh Ig E.

Sesuai dengan tahap reaksi alergi, awalnya terjadi fase sensitisasi terlebih dahulu ketika pasien memakan kaplet amoxicillin. Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan

(8)

mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (IgE) spesifik untuk antigen tersebut. IgE ini kemudian terikat pada reseptor  permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil. Sampai selanjutnya terjadi fase

aktivasi, yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama.

Kemudian akibat kemiripan cincin beta laktam golongan sefalosporin dengan penisilin, pada paparan obat ceftriaxone terjadi reaksi silang alergi. Yaitu reaksi alergi dimana alergen atau antigen paparan sebelumnya memiliki struktur mirip dengan yang sekarang sehingga menimbulkan reaksi.

Walaupun sebenarnya penelitian terbaru menyebutkan bahwa hanya sefalosporin generasi pertama (seperti cephalothin, cephalexin, cefadroxil, dan cefazolin) yang menyebabkan kejadian reaksi silang yang bermakna pada golongan penisilin karena struktur rantai samping yang mirip. Sedangkan generasi kedua dan ketiga (seperti cefprozil, cefuroxime, ceftazidime, cefpodoxime, dan ceftriaxone) memiliki struktur rantai samping yang agak sedikit berbeda sehingga tidak meningkatkan resiko terjadinya reaksi silang alergi, namun tetap tidak menutup kemungkinan terjadinya reaksi silang.

3. Riwayat atopi : Nn. A mengalami bentol-bentol merah dan gatal bila makan ikan laut atau udang.

a. Bagaimana mekanisme bentol-bentol merah dan gatal pada Nn. A bila dia makan ikan laut atau udang? (berdasarkan pada kandungannya)

Bentol-bentol merah dan gatal bila makan ikan laut seperti yang dialami oleh  Nn.A adalah karena reaksi alergi terhadap makanan tersebut. Alergi makanan adalah respon abnormal tubuh terhadap suatu makanan yang dicetuskan oleh reaksi spesifik pada sistem imun dengan gejala yang spesifik pula (reaksi hiprsensitifitas tipe 1).

Alergen yang terdapat pada makanan adalah komponen utama terjadinya alergi makanan. Alergen ini berupa protein yang tidak rusak pada saat proses memasak, dan tidak rusak pada saat berada di keasaman lambung. Protein yang  paling sering menyebabkan reaksi alergi tersebut adalah parvalbumin. Akibatnya alergen dapat melenggang mulus di dalam tubuh masuk ke peredaran

(9)

darah mencapai organ yang menjadi targetnya guna menimbulkan reaksi alergi. Mekanisme terjadinya alergi makanan melibatkan sistem imun dan herediter/keturunan.

Alergi makanan merupakan reaksi hipersensitif yang artinya sebelum reaksi alergi terhadap alergen pada makanan muncul, seseorang harus pernah terkena alergen yang sama sebelumnya. Pada saat pertama kali terkena, alergen akan merangsang limfosit (bagian dari sel darah putih) untuk memproduksi antibodi (IgE) terhadap alergen tersebut. Antibodi ini akan melekat pada sel Mast  jaringan tubuh manusia (fase sensitisasi). Jika kelak orang tersebut memakan makanan yang sama maka antibodi ini akan menyuruh sel Mast untuk melepaskan histamin dan berbagai mediator lainnya (fase aktivasi). Histamin inilah yang akan menyebabkan bentol dan warna kemerahan pada kulit,  perangsangan saraf sensorik, peningkatan permeabilitas kapiler, dan kontraksi

otot polos (fase efektor).

4. Riwayat atopi keluarga : Kakak perempuan Nn. A mempunyai riwayat asma dan ibu  Nn. A memiliki riwayat ekzema

a. Adakah hubungan riwayat atopi pada keluarga dengan keluhan Nn. A sekarang? Jelaskan!

Perkembangan sistem imun dan kemampuannya untuk mengembangkan respon imun dalam bentuk reaksi alergi sudah terbentuk sejak dini pada masa gestasi. Berbagai region kromosom terkait dengan atopi dan asma, terutama dengan lokus pada kromosom 5, 6, 11, 12, 13, dan 16. Kromosom 5q31-36 yang mengandung gen sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, dan GM-CSF yang diekpresikan oleh sel Th-2 menunjukkan peran penting faktor genetik pada  penyakit alergi.

Atopi adalah kecendrungan genetik untuk memproduksi antibodi IgE ketika terpapar alergen. Suatu studi epidemiologi keluarga menyokong kejadian alergi, bahwa faktor genetik berpengaruh pada keluarga atopi. Bila salah satu orang tua mempunyai sifat alergi, maka 25 % - 40% anak akan menderita alergi. Bila kedua orang tua mempunyai alergi maka resiko anak memiliki alergi adalah 50-70%.

(10)

5. Pemeriksaan fisik

a. Apa interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan fisik?

 Keadaan umum : kesadaran sopor; suhu 36,8 ᵒC; tekanan darah 60 mmHg,  palpasi; frekuensi napas 36x/menit; frekuensi nadi 120x/menit, regular.

Saturasi Oksigen 60%. Data pada

kasus

Nilai normal Interpretasi Keterangan

Kesadaran Sopor Compos mentis Abnormal Penrunan

kesadaran

Suhu 36,8ᵒC 36,5-37,5 ᵒC  Normal

Tekanan darah 60 mmHg 120/80 mmHg Abnormal Hipotensi

RR 36x/menit 16-24 x/menit Abnormal Takipneu

PR 120x/menit 60-100x/menit Abnormal Meningkat

SaO2 60% 95-100% Abnormal Menurun

Mekanisme Abnormal  Sopor

Allergen (ceftriaxon) berikatan dengan IgE spesifik di sel mast/basofil 

terlepasnya mediator (histamine) vasodilatasi tahanan pembuluh darah  perifer menurun   hipovolemia relative   cardiac output menurun 

 perfusi oksigen ke otak menurun penurunan kesadaran (sopor)

 Tekanan darah : Hipotensi

Allergen (ceftriaxon) berikatan dengan IgE spesifik di sel mast/basofil 

terlepasnya mediator (histamine)   vasodilatasi perifer, meningkatnya  permeabilitas kapiler   tahanan pembuluh darah perifer menurun, dan  banyak cairan intravascular keluar ke ruang interstisial   hipovolemia

relative hipotensi

 Frekuensi napas : Takipneu

Allergen (ceftriaxon) berikatan dengan IgE spesifik di sel mast/basofil 

Pelepasan dari histamine oleh sel mast/basofil   kontraksi dari otot polos  pada bronkus  spasme bronkus  sesak napas

(11)

 Frekuensi nadi : Meningkat

Allergen (ceftriaxon) berikatan dengan IgE spesifik di sel mast/basofil 

terlepasnya mediator (histamine) vasodilatasi tahanan pembuluh darah  perifer menurun  Hipovolemia relative  terjadi mekanisme kompensasi untuk meningkatkan cardiac output   dan memperbaiki perfusi ke jaringan serta organ-organ vital  frekuensi jantung meningkat  frekuensi denyut nadi juga meningkat

 Saturasi Oksigen menurun

Pada kasus ini, hanya sedikit oksigen yang mampu dibawa Hb karena dampak dari adanya bronkospasme sehingga pernapasan menjadi terganggu. Bronkospasme ini menyebabkan oksigen yang dapat masuk ke saluran  pernapasan hanya sedikit. Sehingga sedikit juga oksigen yang bisa diikat

oleh Hb.

 Keadaan spesifik : auskultasi paru terdengar wheezing, frekuensi denyut  jantung 120x/menit, regular.

Data pada kasus

Nilai normal Interpretasi Keterangan

Auskultasi paru Wheezing Tidak ada Abnormal Mengi HR 120 x/menit 60-100 x/menit Abnormal Takikardi

Mekanisme abnormal

 Auskultasi paru : wheezing 

Allergen (ceftriaxon) berikatan dengan IgE spesifik di sel mast/basofil 

terlepasnya mediator (histamine)  kontraksi dari otot polos pada bronkus

 spasme bronkus  terdengar wheezing pada pemeriksaan

 HR : takikardi

Allergen (ceftriaxon) berikatan dengan IgE spesifik di sel mast/basofil 

terlepasnya mediator (histamine) vasodilatasi tahanan pembuluh darah  perifer menurun  Hipovolemia relative  terjadi mekanisme kompensasi

(12)

untuk meningkatkan cardiac output   dan memperbaiki perfusi ke jaringan serta organ-organ vital frekuensi jantung meningkat

 b. Bagaimana cara pemeriksaan saturasi oksigen?

Saturasi O2 dapat diukur menggunakan alat non-invasive yang disebut Oksimetri Nadi ( Pulse Oximetry). Caranya adalah dengan memasang alat ini  pada ujung jari atau daun telinga. Alat ini akan mendeteksi saturasi oksigen

dalam arteri dan dapat mendeteksi hipoksemia sebelum tanda dan gejala klinis muncul.

6. Pemeriksaan laboratorium

Hb 12,5 gr%, leukosit 11.000/mm3, diff. count : 0/4/7/70/18/1, LED: 10 mm/jam. a. Apa interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan laboratorium?

Data pada kasus

Nilai normal Interpretasi Keterangan

Hb 12,5 gr% 12 – 16 gr% Normal

Leukosit 11.000/mm 5.000-10.000/mm Abnormal Leukositosis Diff. Count - Basofil - Eosinofil 0 4 0-1 0-5  Normal  Normal

(13)

- Neutrofil batang - Neutrofil segmen - Monosit - Limfosit 7 70 18 1 0-3 40-60 20-45 2-6 Meningkat Meningkat Menurun Menurun  Neutrofilia

LED 10 mm/jam 0-15 mm/jam Normal

Mekanisme Abnormal

 Leukositosis dan Neutrofilia

Sel mast diaktifkan apabila terjadi cross linking atau bridging dari molekul FceRI oleh ikatan antigen dengan Ig E yang menempati molekul tersebut. Pengaktifan sel mast menghasilkan reaksi biologik sebagai berikut : (i) terjadi sekresi sel mast, zat – zat yang telah terbentuk dan disimpan dalam granula akan dilepaskan keluar secara eksositosis/degranulasi. (ii) sel mast mensintesa lipid mediator secara enzimatik dari precursor yang tersimpan di dalam membran sel. (iii) sel mast membentuk dan mensekresi sitokin. Pada  proses degranulasi sel mast terjadi pelepasan mediator kimia yang berkaitan dengan manifestasi klinik alergi. Mediator ini dilepaskan segera setelah sel mast teraktivasi (1  –  30 menit), dan menimbulkan respon segera. Histamin sebagai mediator utama yang dihasilkan oleh sel mast bersifat kemoaktran terhadap neutrofil. (ii) mediator yang baru disintesa pada waktu aktivasi (newly synthesized ), termasuk lipid mediator dan sitokin. Mediator ini dilepaskan 24 jam setelah sel mast teraktivasi. Beberapa di antaranya yang  bersifat kemoaktran terhadap neutrofil adalah LTB4 dan PAF ( Platelet  Activating Factor ).

7. Diagnosis

a. Bagaimana cara penegakan diagnosis pada kasus ini dan pemeriksaan penunjang lain apa saja yang diperlukan?

Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan adanya gejala klinis sistemik yang muncul beberapa detik atau menit setelah pasien terpajan oleh allergen atau faktor pencetusnya. Gejala yang timbul dapat ringan seperti pruritus atau urtikaria sampai kepada gagal napas atau syok anafilaktik yang mematikan. Prioritas pertama dalam pemeriksaan fisik harus menilai jalan nafas pasien,

(14)

 pernapasan, sirkulasi, dan kecukupan pemikiran (misalnya, kewaspadaan, orientasi, koherensi pemikiran).

Hasil pemeriksaan pada kasus Nn. A berupa: Keadaan umum dan vital sign:

 Kesadaran : Sopor  Suhu : 36,8o C  TD : 60 mmHg (hipotensi)  RR : 36 x/menit (takipneu)  PR : 120 x/menit, regular  Saturasi O2 : 60% (menurun)

Pemeriksaan Traktus Respiratorius  Auskultasi : wheezing

Pemeriksaan kardiovaskular

 HR : 120 x/menit (takikardi)

Penelitian laboratorium  biasanya tidak diperlukan   dan jar ang membantu .  Namun, jika diagnosis tidak jelas, terutama dengan sindrom berulang, atau jika  penyakit lain perlu disingkirkan, studi laboratorium berikut mungkin

diperintahkan dalam situasi tertentu:

 Plasma / urin histamin dan serum tryptase (dapat membantu mengkonfirmasi

diagnosis anafilaksis)

 24 jam kadar asam 5-hidroksiindolasetat urin (jika sindrom karsinoid adalah

 pertimbangan)

 Uji kulit, in vitro imunoglobulin E (IgE) tes, atau keduanya dapat digunakan

untuk menentukan stimulus yang menyebabkan reaksi anafilaksis. Studi tersebut dapat meliputi:

 b. Apa DD dan WD pada kasus ini?

WD pada kasus Nn. A ini adalah syok anafilaktik. Beberapa keadaan yang menyerupai reaksi anafilaktik sebagai diagnosis bandingnya, seperti :

 Reaksi vasovagal

Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mendapat suntikan. Pasien tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis.

(15)

Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.

 Infark miokard akut

Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.

 Reaksi hipoglikemik

Reaksi hipoglikemik disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas.

c. Apa saja etiologi pada kasus ini?

Etiologi syok anafilaktik pada kasus Nn. A ini adalah obat-obatan, yaitu ceftriaxone.

d. Apa epidemiologi pada kasus ini?

Di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005, dan mengalami peningkatan menjadi 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis di tahun 2006. Sedangkan di US, angka kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/ 10.000 penduduk, paling banyak akibat penggunaan golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat. Insiden anafilaksis diperkirakan 1-2/ 10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3/ 1 juta  penduduk.

e. Apa saja faktor risiko pada kasus ini?

Seseorang dengan penyakit atopi seperti asma, eksim, atau rinitis alergi mempunyai risiko tinggi anafilaksis yang disebabkan oleh makanan, lateks, dan agen radiokontras. Mereka ini tidak mempunyai risiko yang lebih besar terhadap obat injeksi ataupun sengatan. Suatu studi pada anak dengan anafilaksis

(16)

menemukan bahwa 60% memiliki riwayat penyakit atopi sebelumnya. Lebih dari 90% dari anak yang meninggal karena anafilaksis menderita asma.Orang dengan kelainan yang disebabkan oleh jumlah sel mast yang terlalu banyak pada  jaringannya (mastositosis) atau orang dengan status sosioekonomi yang lebih

tinggi, memiliki risiko yang lebih besar.Semakin lama waktu sejak terakhir kali terpapar pada agen penyebab anafilaksis, maka semakin rendah risiko terjadi reaksi yang baru ( Hygiene hypothesis).

f. Apa manifestasi klinis pada kasus ini?  Gejala permulaan : Pusing

 Sistem Respirasi : Bronkospasme, dispneu, wheezing, takipneu

 Sistem Kardiovaskular : Hipotensi, diaphoresis, sincope  –   penurunan kesadaran, hipoksia, takikardi, palpitasi

g. Bagaimana patofisiologi pada kasus ini?

Patofisiologi Syok Anafilaktik yang dialami Nn. A melibatkan 3 fase, yaitu: Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan  basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (Ig E) spesifik untuk antigen tersebut. Ig E ini kemudian terikat pada receptor  permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.

Riwayat konsumsi Amoxicilin 7 bulan yang lalu merupakan fase sensiti sasi peni si li n.

Fase Aktivasi, yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama. Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang . Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Sel mast diaktifkan apabila terjadi cross linking atau bridging dari molekul FceRI oleh ikatan antigen dengan Ig E dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator

(17)

vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah Preformed mediators. Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan Leukotrien (LT) dan Prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut  Newly  formed mediators.

Pada kasus, dilakukan uji kulit terhadap 16eutrophil16. Ceftriaxon merupakan golongan sefalosporin. Sekitar 10% orang yang alergi terhadap penisilin juga alergi terhadap sefalosporin karena keduanya memil ik i struktu r molekul yang seru pa.

Fase Efektor, adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau neutroph dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek  bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.  Platelet activating factor   (PAF) berefek  bronchospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan bronchokonstriksi, demikian juga dengan Leukotrien.

Pada kasus Nn.A, di fase ini lah timbul gejal a-gejal a syok anaf il aktik seper ti sesak napas, tidak sadar ser ta tanda- tanda syok anaf il akti k seperti hi potensi, takipneu, takikar di, satur asi O 2  menu ru n, wheezin g.

(18)

h. Apa tatalaksana pada kasus ini?

i. Bagaimana pencegahan pada kasus ini?

Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan syok anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat  penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik. Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian  bahwa tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian

(19)

obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi  positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif. Dalam pemberian obat  juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan jalur subkutan,

intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang

.

 j. Apa komplikasi pada kasus ini?

Komplikasi pada kasus Nn. A dapat berakibat sampai kematian akibat obstruksi  jalan napas dan/atau syok. Kerusakan otak dan gangguan jantung juga dapat

terjadi pada kasus syok anafilaktik.

k. Bagaimana prognosis pada kasus ini?

Bila penanganan cepat, klinis masih ringan dapat membaik dan tertolong. Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti β-blocker dan ACE Inhibitor  , serta interval waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.

(20)

Functionam : bonam Vitam : dubia ad bonam

l. Apa SKDI pada kasus ini? Reaksi anafilaktik : 4A

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan  penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas. Kompetensi yang

dicapai pada saat lulus dokter.

V. Hipotesis

 Nn. A, 20 tahun, syok anafilatik akibat alergi obat ceftriaxone.

VI. Sintesis

1. Hipersensitivitas

Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan imunitas non-spesifik. Imunitas non-spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.

Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.

Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut: a. Reaksi Tipe I

 b. Reaksi Tipe II c. Reaksi Tipe III d. Reaksi Tipe IV

(21)

Mekanisme Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara Imunologis

Tipe Mekanisme Imun Gangguan Prototipe

I Tipe Anafilaksis Alergen mengikat silang antibodi IgE 

 pelepasan amino vasoaktif dan mediator lain dari basofil dan sel mast  rekrutmen sel radang lain

Anafilaksis, beberapa  bentuk asma bronkial

II Antibodi

terhadap Antigen Jaringan

Tertentu

IgG atau IgM berikatan dengan antigen  pada permukaan sel fagositosis sel

target atau lisis sel target oleh komplemen atau sitotosisitas yang diperantarai oleh sel yang bergantung antibody

Anemia hemolitik autoimun, eritro- blastosis fetalis, pe-nyakit Goodpasture,  pemfigus vulgaris III Penyakit

Kompleks Imun

Kompleks antigen-antibodi   mengak-tifkan komplemen  menarik perhatian nenutrofil  pelepasan enzim lisosom, radikal bebas oksigen, dan lain-lain

Reahsi Arthua, serum sickness, lupus erite-matosus sistemik, ben-tuk tertentu glomeru-lonefritis akut

IV Hipersensitivitas Selular (Lambat)

Limfosit T tersensitisasi pelepasan sitokin dan sitotoksisitas yang diper-antarai oleh sel T

Tuberkulosis,

dermatitis kontak,  penolakan transplan

a. Tipe I : Reaksi Anafilaksis

Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat.

Patofisiologi :

Pajanan awal terhadap antigen tertentu (alergan) merangsang induksi sel T CD4+ tipe TH2. Sel CD4+ ini berperan penting dalam pathogenesis hipersensitivitas tipe I karena sitokin yang disekresikannya (khususnya IL-4 dan IL-5) menyebabkan diproduksimya IgE oleh sel B, yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan mengaktivasi eosinofil. Antibodi IgE berikatan pada reseptor Fc berafinitas tinggi yang terdapat pada sel mast dan basofil;  begitu sel mast dan basofil “dipersenjatai”, individu yang

(22)

 bersangkutan diperlengkapi untuk menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan yang ulang terhadap antigen yang sama mengakibatkan pertautan-silang pada IgE yang terikat sel dan pemicu suatu kaskade sinyal intrasel sehingga terjadi  pelepasan beberapa mediator kuat. Mediator primer untuk respon awal

sedangkan mediator sekunder untuk fase lambat.

Respon awal, ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular, dan spasme otot polos, yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5-30 menit setelah terpajan oleh suatu alergan dan menghilang setelah 60 menit;

Reaksi fase lambat, yang muncul 2-8  jam kemudian dan berlangsung selama  beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta sel peradangan akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan  penghancuran jaringan dalam bentuk

kerusakan sel epitel mukosa.

Mediator Primer

Histamin, yang merupakan mediator primer terpenting, menyebabkan meningkatnya

(23)

 permeabilitas vaskular, vasodilatasi, bronkokontriksi, dan meningkatnya sekresi mukus. Mediator lain yang segera dilepaskan meliputi adenosin (menyebabkan  bronkokonstriksi dan menghambat agregasi trombosit) serta faktor kemotaksis

untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan dalam matriks granula dan meliputi heparin serta protease netral (misalnya, triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah komponen komplemen untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya, C3a).

Mediator Sekunder

 Leukotrien C4 dan D4  merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling poten; pada dasra molar, agenini beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan alam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4  sangat kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit.

 Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi mukus.

 Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan agregasi trombosit, pelepasan histamin dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaltik untuk neutrofil dan eosinofil.

 Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan kemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.

Ringkasan kerja mediator sel mast pada hipersensitivitas tipe I

Kerja Mediator

Infiltrasi sel Sitokin (misalnya, TNF) Leukotrien B4

Faktor kemotaksis eosinofil pada anafilaksis Faktor kemotaksis neutrofil pada anafilaksis Faktor pengaktivasi trombosit

(24)

Vasoaktif (vasodilatasi, meningkatkan per-meabilitas vaskular)

Histamin

Faktor pengaktivasi trombosit Leukotrien C4, D4, E4

Protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin Prostaglandin D2

Spasme otot polos Leukotrien C4, D4, E4 Histamin

Prostaglandin

Faktor pengaktivasi trombosit

Karena inflamasi merupakan komponen utama reaksi lambat dalam hipersensitivitas tipe I, biasanya pengendaliannya memerlukan obat antiinflamasi berspektrum luas, seperti kortikoid.

Manifestasi Klinis :

Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, bias lebah atau penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria  (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit, diikuti oleh kesulitan  bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik ( syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.

Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).

(25)

b. Tipe II : reaksi sitotoksik

Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen target pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya. Respon hipersensitivitas disebabkan oleh pengikatan antibodi yangdiikuti salah satu dari tiga mekanisme bergantung antibodi, yaitu:

Respon yang bergantung komplemen

Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua mekanisme: lisis langsung  dan opsonisasi. Pada sitotoksisitas yang diperantarai komplemen, antibodi yang terikat pada antigen permukaan sel menyebabkan fiksasi komplemen pada permukaan sel yang selanjutnya diikuti lisis melalui kompleks penyerangan membran. Sel yang diselubungi oleh antibodi dan fragmen komplemen C3b (teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis. Sel darah dalam sirkulasi adalah yang paling sering dirusak melalui mekanisme ini, meskipun antibodi yang terikat pada jaringan yang tidak dapat difagosit dapat menyebabkan fagositosis gagal  dan jejas. Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai berikut:

 Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak suai dirusak setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan antigen darah donor.

 Eritroblastosis fetalis karena inkompaktibnilitas antigen rhesus; antigen materal yang melawan Rh

 pada seorang ibu Rh-negatif yang telah tersensitisasi akan melewati plasenta dan menyebabkan kerusakan sel darah merahnya sendiri.

 Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia yang disebabkan oleh antibodi yang dihasilkan oleh seorang

(26)

 Reaksi obat, antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau metabolitnya)byang secara nonspesifik diadsorpsi pada permukaan sel (contohnya adalah hemolisis yang dapat terjadi setelah pemberian  penisilin).

 Pemfigus vulgaris disebabkan oleh antibody terhadap protein desmosom yang menyebabkan terlepasnya taut antarsel epidermis.

Sitotoksisitas Selular Bergantung Antibodi Bentuk jejas yang diperantarai

antibodi ini meliputi pembunuhan melalui jenis sel yang membawa reseptor untuk bagian Fc IgG; sasaran yang diselubungi oleh antibodi dilisis tanpa difagositosis ataupun fiksasi komplemen. ADCC dapat diperantarai oleh berbagai macam leukosit, termasuk neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel NK.

Meskipn secara khusus ADCC diperantarai oleh antibodi IgG, dalm kasus tertentu (misalnya, pembunuhan parasit yang diperantarai oleh eosinofil) yang digunakaan adalah IgE.

Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibodi

Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor  permukaan sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel

atau inflamasi. Oleh karena itu, pada miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalm motor end-plate otot-otot rangka mengganggu

(27)

transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot. Sebaliknya, antibodi dapat merangsang fungsi otot. Pada penyakit Graves, antibodi terhadap reseptor hormon perangsang tiroid (TSH) merangsang epitel tiroid dan menyebabkan hipertiroidisme.

c. Tipe III : reaksi imun kompleks

Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigen-antibodi (imun), diikuti dengan aktivitas komplemen dan akumulasi leukosit  polimorfonuklear. Kompleks imun

dapat melibatkan antigen eksogen seperti bakteri dan virus, atau antigen endogen seperti DNA. Kompleks imun patogen terbentuk dalam sirkulasi dan kemudian mengendap dalam jaringan ataupun terbentuk di daerah ekstravaskular tempat antigen tersebut tertanam (kompleks imun in situ).

Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam  berbagai organ , atau terlokalisasi  pada organ tertentu (misalnya, ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan mengendap pada tempat khusus. Tanpa memperhatikan pola distribusi, mekanisme terjadinya  jejas jarungan adalah sama; namun, urutan kejadian dan

(28)

Penyakit Komplek Imun Sistemik

Patogenesis penyakit kompleks imun sistemik dapat dibagi menjadi tiga tahapan: (1) pembentukan kompleks antigen-antibodi dalam sirkulasi dan (2)  pengendapan kompleks imun di berbagai jaringan, sehingga mengawali (3)

reaksi radang di berbagai tempat di seluruh tubuh.

Patofisiologi

Kira-kira 5 menit setelah protein asing (misalnya, serum antitetanus kuda) diinjeksikan, antibodi spesifik akan dihasilkan; antibodi ini bereaksi dengan antigen yang masih ada dalam sirkulasi untuk membentuk kompleks antigen-antibodi (tahap pertama). Pada tahap kedua, kompleks antigen-antigen-antibodi yang terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai jaringan. Dua faktor  penting yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun menyebabkan  penyakit dan pengendapan jaringan:

 Ukuran kompleks imun. Kompleks yang sangat besar yang terbentuk pada keadaan jumlah antibodi yang berlebihan segera disingkirkan dari sirkulasi oleh sel fagosit mononuklear sehingga relatif tidak membahayakan. Kompleks paling patogen yang terbentuk selama antigen berlebih dan  berukuran kecil atau sedang, disingkirkan secara lebih lambat oleh sel

fagosit sehingga lebih lama berada dalam sirkulasi.

 Status sistem fagosit mononuklear . Karena normalnya menyaring keluar kompleks imun, makrofag yang berlebih atau disfungsional menyebabkan  bertahannya kompleks imun dalam sisrkulasi dan meningkatkan

kemungkinan pengendapan jaringan.

Faktor lain yang mempengaruhi pengendapan kompleks imun yaitu muatan kompleks (anionic vs kationik), valensi antigen, aviditas antibodi, afinitas antigen terhadap berbagai jaringan, arsitektur tiga dimensi kompleks tersebut, dan hemodinamika pembuluh darah yang ada.tempat pengendapan kompleks imun yang disukai adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, permukaan serosa, dan  pembulah darah kecil. Lokasinya pada ginjal dapat dijelaskan sebagian melalui

fungsi filtrasi glomerulus, yaitu terperangkapnya kompleks dalam sirkulasi pada glomerulus. Belum ada penjelasan yang sama memuaskan untuk lokalisasi kompleks imun pada tempat predileksi lainnya.

(29)

Untuk kompleks yang meninggalkan sirkulasi dan mengendap di dalam atau di luar dinding pembuluh darah, harus terjadi peningkatan permeabilitas  pembuluh darah. Hal ini mungkin terjadi pada saat kompleks imun berkaitan dengan sel radang melalui reseptor Fc dan C3b dan memicu pelepasan mediator vasoaktif dan/ atau sitokin yang meningkatkan permeabilitas. Saat kompleks tersebut mengendap dalam jaringan, terjadi tahap ketiga, yaitu reaksi radang. Selama tahap ini (kira-kira 10 hari setelah pemberian antigen), muncul gambaran klinis, seperti demam, utikaria, artralgia, pembesaran kelenjar getah  bening, dan proteinuria.

Di mana pun kompleks imun mengendap, kerusakan jaringannya serupa. Aktivitas komplemen oleh kompleks imun merupakan inti patogenesis jejas, melepaskan fragmen yang aktif secara biologis seperti anafilatoksin (C3a dan C5a), yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan bersifat kemotaksis untuk leukosit polimorfonuklear. Fagositosis kompleks imun oleh neutrofil yang terakumulasi menimbulkan pelepasan atau produksi sejumlah substansi proinflamasi tambahan, termasuk proataglandin, peptida vasodilator, dan substansi kemotaksis, serta enzim lisosom yang mampu mencerna membran  basalis, kolagen, elastin, dan kartilago. Kerusakan jaringan juga diperantarai

oleh radikal bebas oksigen yang dihasilkan oleh neutrofil teraktivasi. Kompleks imun dapat pula menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi faktor Hageman; kedua reaksi ini meningkatkan proses peradangan dan mengawali  pembentukan mikrotrombus yang berperan pada jejas jaringan melalui iskemia lokal. Lesi patologis yang dihasilkan disebut dengan vasokulitis jika terjadi pada  pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi di glomerulus ginjal, arthritis jika

terjadi di sendi, dan seterusnya.

Jelasnya hanya antibodi pengikat komplemen (yaitu IgG dan IgM) yang dapat menginduksi lesi semacam itu. Karena IgA dapat pula mengaktivasi komplemen melalui jalur alternatif, kompleks yang mengandung IgA dapat pula menginduksi jejas jaringan. Peran penting komplemen dalam patogenesis jejas  jaringan didukung oleh adanya pengamatan bahwa pengurangan kadar komplemen serum secara eksperimental akan sangat menurunkan keparahan lesi, demikian pula yang terjadi pada neutrofil. Selama fase aktif penyakit, konsumsi komplemen menurunkan kadar serum.

(30)

d. Tipe IV : Reaksi tipe lambat

Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler. Imunitas selular merupakan mekanisme utama respon terhadap berbagai macam mikroba, termasuk patogen intrasel seperti  Mycobacterium tuberculosis  dan virus, serta agen ekstrasel seperti  protozoa, fungi, dan parasit. Namun, proses ini juga dapat mengakibatkan kematian sel dan jejas jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang normal ataupun sebagai respon terhadap antigen sendiri (pada penyakit autoimun).  Hipersensitivitas tipe IV diperantarai oleh sel T tersensitisasi secara khusus  bukan antibodi dan dibagi lebih lanjut menjadi dua tipe dasar: (1) hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+,  dan (2)  sitotoksisitas  sel langsung, diperantarai olehsel T CD8+. Pada hipersensitivitas tipe lambat, sel T CD4+ tipe TH1 menyekresi sitokin sehingga menyebabkan adanya  perekrutan sel lain, terutama makrofag, yang merupakan sel efektor utama. Pada

sitotoksisitas seluler, sel T CD8+ sitoksik menjalankan fungsi efektor.

Hipersensitivitas tipe lambat (DTH-Delayed-Tipe Hypersensitivity)

Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberkulin. Delapan hingga 12 jam setelah injeksi tuberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema dan indurasi setempat, dan mencapai puncaknya (biasanya berdiameter 1 hingga 2 cm) dalam waktu 24 hingga 72 jam (sehingga digunakan kata sifat delayed [lambat/ tertunda]) dan setelah itu akan mereda secara perlahan.secara histologis , reaksi DTH ditandai dengan penumpukan sel helper-T CD4+ perivaskular (“seperti manset”) dan makrofag dalam jumlah yang lebih sedikit. Sekresi lokal sitokin oleh sel radang mononuklear ini disertai dengan peningkatan permeabilitas mikrovaskular, sehingga menimbulkan edema dermis dan pengendapan fibrin;  penyebab utama indurasi jaringan dalam respon ini adalah deposisi fibrin.

Respon tuberkulin digunakan untuk menyaring individu dalam populasi yang  pernah terpejan tuberkulosis sehingga mempunyai sel T memori dalam sirkulasi.

Lebih khusus lagi, imunosupresi atau menghilangnya sel T CD4+ (misalnya, akibat HIV) dapat menimbulkan respon tuberkulin yang negatif, bahkan bila terdapat suatu infeksi yang berat.

(31)

Patofisiologi

Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga antigen kelas II pada permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses antigen mikobakterium tersebut. Proses ini membentuk sel CD4+ tipe TH1 tersensitisasi yang tetap berada di dalam sirkulasi selama bertahun-tahun. Masih  belum jelas mengapa antigen tersebut mempunyai kecendurungan untuk menginduksi respon TH1, meskipun lingkungan sitokin yang mengaktivasi sel T naïf tersebut tampaknya sesuai. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin  berikutnya pada orang tersebut, sel memori memberikan respon kepada antigen

yang telah diproses pada APC dan akan diaktivasi (mengalami transformasi dan  proliferasi yang luar biasa), disertai dengan sekresi sitokin TH1. Sitokin TH1

inilah yang akhirnya bertanggungjawab untuk mengendalikan perkembangan respon DHT. Secara keseluruhan, sitokin yang paling bersesuaian dalam proses tersebut adalah sebagai berikut:

  IL-12 merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah interaksi awal dengan basil tuberkel. IL-12 sangat penting untuk induksi DTH karena merupakan sitokin utama yang mengarahkan diferensiasi sel TH1; selanjutnya, sel TH1 merupakan sumber sitokin lain yang tercantum di  bawah. IL-12 juga merupakan penginduksi sekresi IFN-γ oleh sel T dan sel  NK yang poten.

  IFN-γ mempunyai berbagai macam efek dan merupakan mediator DTH yang

 paling penting. IFN-γ merupakan aktivator makrofag yang sangat poten, yang meningkatkan produksi makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi mengeluarkan lebih banyak molekul kelas II pada permukaannya sehingga meningkatkan kemampuan penyajian antigen. Makrofag ini juga mempunyai aktivitas fagositik dan mikrobisida yang meningkat, demikian pula dengan kemampuannya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasi menyekresi  beberapa faktor pertumbuhan polipeptida, termasuk faktor pertumbuhan yang berasal dari trombosit (PDGF) dan TGF-α, yang merangsang  proliferasi fibroblas dan meningkatkan sintesis kolagen. Secara ringkas, aktivitas IFN-γ meningkatkan kemampuan makrofag untuk membasmi agen  penyerangan; jika aktivasi makrofag terus berlangsung, akan terjadi fibrosis.

(32)

  IL-2  menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat DTH. Yang termasuk dalam infiltrat ini adalah kira-kira 10% sel CD4+ yang antigen-spesifik, meskipun sebagian besar adalah sel T “penonton” yang tidak spesifik untuk agen penyerang asal.

 TNF dan limfotoksin adalah sitokin yang menggunakan efek pentingnya  pada sel endotel: (1) meningkatnya sekresi nitrit oksida dan prostasiklin,

yang membantu peningkatan aliran darah melalui vasodilatasi local; (2) meningkatnya pengeluaran selektin-E, yaitu suatu molekul adhesi yang meningkatkan perlekatan sel mononuklear; dan (3) induksi dan sekresi faktor kemotaksis seperti IL-8. Perubahan ini secara bersama memudahkan keluarnya limfosit dan monosit pada lokasi terjadinya respon DHT.

2. Syok anafilaktik

Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinik dari anafilaksis yang ditandai dengan adanya hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi darah. Istilah syok anafilaktik menunjukkan derajat kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anfilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, dimana obstruksi saluran napas merupakan gejala utamanya.

Justru gejala yang terakhir ini sering terjadi dan bahkan ada laporan yang menyatakan kematikan karena anafilaksi dua pertiga disebabkan oleh obstruksi saluran napas (terutama pada usia muda), dan sisanya oleh kolaps kardiovaskular (terutama usia lanjut).

Ciri khas yang pertama dari anafilaksis adalah gejala yang timbul beberapa detik sampai beberapa menit setelah pasien terpajan oleh alergen atau faktor  pencetus non alergen seperti zat kimia, obat atau kegiatan jasmani. Ciri kedua yaitu anafilaksis merupakan reaksi sitemik, sehingga melibatkan banyak organ yang gejalanya timbul serentak atau hampir serentak.

Insiden

Anafilaksis memang jarang dijumpai, tetapi paling tidak dilaporkan lebih dari 500 kematian terjadi setiap tahunnya karena antibiotik golongan beta laktam, khususnya penisilin. Penisilin menyebabkan reaksi yang fatal pada 0,002%  pemakaian.

(33)

Selanjutnya penyebab reaksi anafilaktoid yang tersering adalah pemakaian media kontras untuk pemeriksaan radiologik. Media kontras menyebabkan reaksi yang mengancam nyawa pada 0,1% dan reaksi yang fatal terjadi antara 1:10.000 dan 1:50.000 prosedur intravena. Kasus kematian berkurang setelah dipakainya media kontras yang hipoosmokular.

Kematian karena uji kulit dan imunoterapi juga pernah dilaporkan. Enam kasus kematian karena uji kulit dan 24 kasus imunoterapi terjadi selama tahun 1959 sampai tahun 1984. Penelitian lain melaporkan 17 kematian karena imunoterapi selama periode 1985 sampai 1989.

Mekanisme dan penyebab anafilaksis karena obat

Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui mekanisme IgE maupun melalui non-IgE. Tentu saja selain obat ada juga penyebab anafilaksis yang lain seperti makanan, kegiatan jasmati, sengatan tawon, faktor fisis seperti udara yang panas, air yang dingin pada kolam renang dan bahkan sebgaian anafilaksis  penyebabnya tidak diketahui.

Anafilaksis (melalui IgE)

Antibiotik (penisilin, sefalosporin) Ekstrak alergen (bisa tawon, polen)

Obat (glukokortikoid, thiopentalm sekainikolin) Enzim (kemopapain, tripsin)

Serum heterolog (antitoksin tetanus, globulin antilimfosit) Protein manusia (insulin, vasipresin, serum)

Anafilaktoid (tidak melaui IgE)

Zat penglepas histamin secara langsung Obat (opiat, vankomisin, kurare)

Cairan hipertonik (media radiokontras, menitol) Obat lain (dekstran, fluoresens)

Aktivasi komplemen

Protein manusia (imunoglobulin, dan produk darah lainnya) Bahan dialisis

Modulasi metabolisme asam arakidonat Asam asetilsalisilat

(34)

Antiinflamasi nonsteroid

Diagnosis

Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan adanya gejala klinik sistematik yang muncul beberapa detik atau menit setelah pasien terpajan oleh alergen atau faktor pencetusnya. Gejala yang timbul dapat ringan seperti pruritus atau urtikaria sampai kepada gagal napas atau syok anafilaktik yang mematikan. Karena itu mengenal tanda-tanda dini sangat diperlukan agar pengobatan dapat segera dilakukan. Tetapi kadang-kadang gejala anafilaksisw yang berat seperti syok anafilaktik atau gagal napas dapat langsung muncul tanpa tanda-tanda awal.

Sistem Gejala dan tanda

Umum Prodormal

Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar dilukiskan, rasa tak enak di dada dan perut, rasa gatal di hidung dan palatum

Pernapasan Hidung Laring Lidah Bronkus

Hidung gatal, bersin, dan tersumbat

Rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, edema, spasme.

Edema.

Batuk,sesak, mengi, spasme.

Kardiovaskular Pingsan sinkop, palpitasi, takikardia, hipotensi sampai syok, aritmia.

Kelainan EKG : gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark miokard.

Gastro Intestinal Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang kadang-kadang disertai darah, peristaltik usus meninggi

Kulit Urtika, angiodema, di bibir, muka atau

ekstremitas

Mata Gatal, lakrimasi

(35)

Gejala-gejala di atas dapat timbul pada satu orga saja, tetapi pula muncuk gejala pada beberapa organ secara serentak atau hampir serentak. Kombinasi gejala yang sering dijumpai adalah urtikaria atau angioedema yang disertai ganggaun  pernapasan baik karena edema laring atau spasme bronkus. Kadang-kadang didapatkan kombinasi urtikaria dengan gangguan kardiovaskular seperti syok yang  berat sampai tejadi penurunan kesadaran. Setiap manifestasi sistem kardiovaskular,  pernapasan atau kulit juga bisa disertai gejala mual, muntah, kolik usus, diare yang  berdarahm kejang uterus atau perdarahan vagina.

Terapi

Tanpa memandang beratnya gejala anafikasis, sekali diagnosis sudah ditegakkan pemberian epinefrin tidak boleh ditunda-tunda. Hal ini karena cepatnya mula penyakit dan lamanya gejala anafilaksis berhubungan erat dnegan kematian. Dengan demikian sangat masuk akal bila epinefrin 1:1000 yang diberikan adalah 0,01 ml/kgBB sampai mencapai maksimal 0,3 ml subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali seandainya gejala penyakit bertambah  buruk atau dari awalnya kondisi penyakitnya sudah berat, suntikan dapat diberikan secara intramuskular (IM) dan bahkan kadang – kadang dosis epinefrin dapat dinaikan sampai 0,5 ml sepanjang pasien tidak mengidap kelainan jantung.

Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi, penisilin, atau sengatan serangga, segera diberikan suntikan infiltrasi epinefrin 1:1000 0,1-0,3 ml di bekas tempat suntikan untuk mengurangi absorpsi alergan tadi. Bila mungkin dipasang torniket proksimal dari tempat suntikan dan kendurkan setiap 10 menit. Torniket tersebut dapat dilepas bila keadaan sudah terkendali. Selanjutnya dua hal  penting yang harus segera diperhatikan dalam memberikan terapi pada pasien anafilaksis yaitu mengusahakan: 1). Sistem pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan baik; 2). Sistem kardiovaskular yang juga harus berfungsi baik sehingga perfusi jaringan memadai.

Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem pernapasa dan kardiovaskular, tidak berarti pada organ lain tidak perlu diperhatikan tau diobati. Prioritas ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada anafilaksis terutama disebabakan oleh tersumbatnya saluran napas atau syok anafilaksis.

(36)

Sistem Pernapasan

1. Memelihara saluran napas yang memadai. Penyebab terseirng kematian pada anafilaksis adalah tersumbatnya saluran napas baik karena edema larings atau spasme bronkus. Pada kebanyakan kasus, suntikan epinefrin sudah memadai untuk mengatasi keadaan tersebut. Tetapi pada edema larings kadang-kadang diperlukan tidakan trakeostomi. Tindakan intubasi trakea pada pasien dengan edema larings tidak saja sulit tetapi juga seing menambah beratnya obstruksi. Karena pipa endotrakeal akan mengiritasi dinding larings. Bila saluran napas tertutup sama sekali hanya tersedia waktu 3 menit untuk bertindak. Karena trakeostomi hanya dikerjakan oleh dokter ahli atau yang berpengalaman maka tindakan yang dapat dilakukan dengan segera adalah melakukan punksi membran krikotiroid dengan jarum besar. Kemudian pasien segera dirujuk ke rumah sakit.

2. Pemberian oksigen 4-6 l/menit sangat penting baik pada gangguan pernapasan maupun kardiovaskular.

3. Bronkodilator diperlukan bila terjadi obstruksi saluran napas bagian bawah seperti pada gejala asma atau status asmatikus. Dalam hal ini dapat diberikan larutan salbutamol atau agonis beta-2 lainnya 0,25 cc - 0,5 cc dalam 2-4 ml  NaCl 0,9% diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5-6 mg/kgBB yang diencerkan dalam 20 cc dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit.

Sistem Kardiovaskular

1. Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian epinefrin menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular. Pasien ini membutuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan kristaloid (NaCl 0,9%) atau koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk memberikan cairan koloid 0,5  –   1 L dan sisanya dalam bentuk cairan kristaloid. Cairan koloid ini tidak saja mengganti cairan intracaskular yang merembes ke luar  pembuluh darah atau yang terkumpul di jaringan splangnikus, tetapi juga

dapat menarik cairan ekstravaskular untuk kembali ke intravaskular.

2. Oksigen mutlak harus diberikan di samping pemantauan sis tem kardiovaskular dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 4.56 Grafik Capaian Indikator Aspek Psikomotorik Kemampuan Menggambar Ilustrasi Siswa Pada Karya 1 Siklus II .... commit

Penelitian yang dilakukan Karimullan (1991) menunjukkan bahwa perlindungan ampas tahu dengan tanin menurunkan kadar amonia cairan rumen, hal ini berarti bahwa pemanfaatan

Bali berbentuk Pembangunan Jembrana Twin Tower (JTT) yang diberi nama Tedung Bali, rencananya akan dibangun di Kota Negara, Kabupaten Jembrana Provinsi Bali. Pembangunan JTT

Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan pendidikan multikultural dalam ekstrakurikuler pramuka untuk memperkuat wawasan kebangsaan pada siswa kelas VII di SMP Negeri

Memberikan latihan dan tugas dengan mengerjakan modul berupa menjawab pertanyaan mengenai informasi umum dan informasi detail yang terdapat

 75 - 400 DPL meliputi wilayah Kecamatan Mojosongo, Teras, Sawit, Banyudono, Sambi, Ngemplak, Simo, Nogosari, Karanggede, Andong ,Klego, Kemusu, Wonosegoro, Juwangi dan

Dan dampak pergaulan bebas (sex bebas) pada kesehatan adalah HIV/AIDS ( yang paling dominan dan paling berbahaya),tentu sudah pasti dalam penyakit ini menjadi dampak yang

Destilasi sederhana adalah pemisahan campuran yang memiliki perbedaan titik didih yang tinggi, sehingga akan mengandung lebih banyak komponen yang lebih mudah menguap lalu