BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.6. AHP dalam Kajian Kerentanan Tanah Longsor
dibandingkan dengan elemen lain. Untuk mengawali proses perbandingan berpasangan dipilih sebuah kriteria dari level paling atas hierarki misalnya A dan kemudian dari level di bawahnya diambil elemen yang akan dibandingkan misalnya A1, A2, A3, dan seterusnya.
4. Melakukan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh ketetapan seluruhnya sebanyak n x [(n–1)/2] buah, dengan banyaknya unsur yang dibandingkan.
Hasil dari perbandingan masing-masing elemen akan berupa angka dari 1 sampai 9 yang menunjukkan perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen. Apabila suatu elemen dalam matriks dibandingkan dengan dirinya sendiri maka hasil perbandingan diberi nilai 1. Skala 9 telah terbukti dapat diterima dan dapat membedakan intensitas antar elemen. Hasil perbandingan tersebut disisikan pada sel yang kolom yang bersesuaian dengan elemen yang akan dibandingkan.
5. Menghitung bobot prioritas dengan menguji konsistensinya.
Untuk memperoleh bobot prioritas maka dilakukan perhitungan Eigenvector masing-masing matriks yang telah dibuat.
Bobot prioritas tersebut menggambarkan bobot dari masing-masing solusi yang telah ditentukan sebelumnya. Solusi dengan bobot prioritas terbesar merupakan solusi terbaik di antara solusi-solusi lain yang telah dirumuskan. Meskipun demikian, tidak selamanya perhitungan bobot prioritas tersebut konsisten, sehingga perlu dilakukan evaluasi konsistensi, solusi tersebut dianggap konsisten apabila hasil perhitungan rasio konsistensi (CR) adalah < 0,1.
digunakan untuk menghitung bobot setiap parameter penentu kerentanan tanah longsor yang digunakan. Bobot prioritas masing- masing variabel dan parameter kerentanan tanah longsor menggambarkan bobot variabel dan parameter tersebut terhadap kerentanan tanah longsor di daerah yang dikaji.
Penggunaan metode AHP pada kajian kerentanan telah banyak digunakan sebelumnya. Komac (2005) mengatakan bahwa metode ini digunakan untuk menguraikan faktor-faktor penyebab tanah longsor, dan dapat mengalkulasi bobot masing-masing faktor dengan lebih transparan, artinya nilai bobot pada masing-masing faktor diperoleh melalui perhitungan matematis yang jelas.
Penghitungan nilai bobot secara matematis dan diakhiri dengan pengujian konsistensi membuat metode AHP dipandang lebih efektif dibanding dengan metode –metode penentuan kerentanan tanah longsor sebelumnya.
Nilai bobot yang diperoleh dari perhitungan menggunakan AHP kemudian digunakan untuk menghitung indeks kerentanan tanah longsor. Indeks ini merupakan hasil jumlah total dari perkalian antara setiap variabel dengan bobot parameter penentu kerentanan tanah longsor.
A. Penelitian Relevan
Nama Peneliti Judul Metode Hasil Penelitian Agustina, Emiliya
(2015) Universitas Negeri Yogyakarta
Penentuan Tingkat Kerentanan
Tanah Longsor (Landslide) di
Kecamatan Loano Kabupaten
Deskriptif Kuantitatif
Hasil penelitian: 1) Tingkat kerentanan tanah longsor di Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo terdiri dari dua kelas, yaitu sedang dan tinggi, 2) (a) Daerah dengan tingkat kerentanan sedang memiliki luas 2. 454,3677 Ha dan Desa Sedayu memiliki
Nama Peneliti Judul Metode Hasil Penelitian Purworejo
Menggunakan Sistem Informasi
Geografi
tingkat kerentanan sedang yang paling luas yaitu 392,5890 Ha, (b) Daerah dengan tingkat kerentanan tinggi memiliki luas 2.
663,9428 Ha dan Desa Loano memiliki tingkat kerentanan tinggi yang paling luas yaitu 271,3004 Ha. 3) Mitigasi untuk mencegah bahaya longsor dapat dilakukan sebelum dan sesudah terjadi tanah longsor. Mitigasi sebelum terjadi tanah longsor antara lain sosialisasi berupa peringatan kepada masyarakat. Mitigasi sesudah terjadi longsor antara lain membangun batu sender atau dinding batu pada tebing sungai, pembangunan batu sender pada tebing yang rentan atau pernah terjadi longsor, pembuatan terasering untuk melandaikan lereng, penanaman tumbuhan dengan larikan-larikan dan pemanfaatan jerami untuk menutup tanah.
Faridah, Wida (2015) Universitas Pendidikan Indonesia
Tingkat Kerentanan
Bencana Longsor di Kecamatan Sukahening Kabupaten Tasikmalaya
Eksploratif Hasil Penelitian: 1) Potensi longsor di Kecamatan Sukahening terbagi ke dalam tiga klasifikasi, yaitu daerah potensi longsor rendah seluas 12%, daerah potensi longsor sedang seluas 32%, dan daerah potensi longsor tinggi seluas 56%. 2) Tingkat kerentanan bencana longsor di Kecamatan Sukahening diklasifikasikan menjadi dua zonasi, yaitu daerah dengan
Nama Peneliti Judul Metode Hasil Penelitian tingkat kerentanan sedang seluas 14% dan daerah dengan tingkat kerentanan tinggi seluas 86% yang tersebar di seluruh desa yang ada di Kecamatan Sukahening.
Hidayah, A. et al.
(2017) Universitas Hasanuddin
Makassar
Analisis Rawan Bencana Longsor menggunakan
Metode AHP (Analitycal
Hierarchy Process)
Kuantitatif:
Survei
Hasil penelitian
menunjukkan pengetahuan tentang lingkungan hidup pada masyarakat di permukiman kelurahan Salembaran Jaya tergolong pada penilaian cukup baik dengan rentang skor sebesar 68,36%, serta penilaian akan perilaku hidup bersih di kalangan masyarakat menunjukkan skor sebesar 55,10% tergolong cukup baik.
Perilaku masyarakat dalam menjaga kebersihan permukiman dengan skor tertinggi pada indikator
“pelibatan tokoh masyarakat”
yakni sebesar 27,55%.
Wiki Indra Kurniawan (2018)
Universitas Negeri Jakarta
Analisis Kerentanan
Bencana Tsunami di Kecamatan
Ambal Kabupaten
Kebumen Jawa Tengah
Deskriptif Tingkat kerentanan tsunami di Kecamatan Amdal, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah
Sumber: Penelitian (2019)
B. Kerangka Berpikir
Kerentanan terhadap tanah longsor tentunya perlu diketahui untuk mengurangi adanya kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh bencana tanah longsor tersebut. Kerentanan tanah longsor dapat diprediksi dengan berbagai metode salah satunya adalah Analytical Hierarchy Process (AHP). Dalam aplikasinya untuk analisis kerentanan tanah longsor, metode AHP digunakan sebagai alat untuk menentukan bobot pada masing-masing indikator penentu kerentanan tanah longsor. Hal ini dikarenakan masing- masing indikator memiliki tingkat kepentingan atau kontribusi yang berbeda-beda dalam penilaian kerentanan longsor. Penentuan bobot tersebut dinilai lebih efektif karena nilai bobot diperoleh berdasarkan perhitungan matematis. Bobot yang diperoleh kemudian dihitung untuk mendapatkan indeks kerentanan tanah longsor. Hasil dari perhitungan tersebut masih berupa angka- angka, oleh karena itu untuk memperoleh hasil maksimal maka perlu bantuan SIG untuk menyajikan data tersebut secara spasial.
Dengan menggunakan bantuan SIG, maka distribusi keruangan daerah rawan longsor dapat disajikan, sehingga penanganan dan antisipasi terhadap bencana tanah longsor dapat dilakukan secara tepat sasaran.
Untuk mengetahui tingkat kerentanan bencana tanah longsor, dibutuhkan parameter yang menjadi dasar penelitian. Parameter tersebut di antaranya adalah: curah hujan, kemiringan lereng, jenis tanah dan penggunaan lahan, tutupan lahan dan faktor geologi.
Perhitungan parameter akan di-overlay agar diketahui tingkat kerentanan tanah longsor pada setiap wilayah. Setelah dilakukan penyesuaian dengan teknik overlay maka akan menghasilkan peta tingkat kerentanan tanah longsor di Kota Sukabumi, Jawa Barat.
Secara skematis kerangka penelitian ini disajikan dalam Gambar 2.1.
Gambar 3.1. Diagram alur kerangka pemikiran
Tutupan lahan Kota Sukabumi, Jawa Barat
Curah hujan
Jenis tanah
Kemiringan lereng
Tingkat kerentanan tanah longsor Overlay
Faktor Kerentanan Longsor
Scoring menggunakan AHP
Penggunaan
lahan Geologi
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Wilayah Kota Sukabumi
Kota Sukabumi terletak di bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106°45’50” Bujur Timur dan 106°45’10” Bujur Barat, 6°49’29” Lintang Utara dan 6°50’44” Lintang Selatan, terletak di kaki Gunung Gede dan Gunung Pangrango yang ketinggiannya 584 meter di atas permukaan laut. Kota Sukabumi mempunyai batas-batas wilayah administratif sebagai berikut:
a. Sebelah Utara: Kecamatan Sukabumi (Kabupaten Sukabumi) b. Sebelah Selatan: Kecamatan Nyalindung (Kabupaten
Sukabumi)
c. Sebelah Barat: Kecamatan Cisaat (Kabupaten Sukabumi) d. Sebelah Timur: Kecamatan Sukaraja (Kabupaten Sukabumi)
Secara administrasi Kota Sukabumi dibagi menjadi 7 (tujuh) kecamatan, terdiri dari 33 (tiga puluh tiga) Kelurahan. Adapun kecamatan–kecamatan yang dimaksud dapat dilihat pada tabel 4. 1
Tabel 4.1. Luas Wilayah per Kecamatan di Kota Sukabumi tahun 2017
No Kecamatan Luas (km2) Persentase (%)
1 Baros 6,11389 12,74
2 Lembursitu 8,89763 18,54
3 Cibeureum 8,7739 18,28
4 Citamiang 4,040 8,42
5 Warudoyong 7,5983 15,83
No Kecamatan Luas (km2) Persentase (%)
6 Gunungpuyuh 5,49579 11,45
7 Cikole 7,0828 14,76
Jumlah 48,00231 100
Sumber: Monografi Kecamatan
Gambar 4.1. Peta Administrasi Kota Sukabumi Provinsi Jawa Barat
4.2. Kondisi Fisik Kota Sukabumi
Kondisi fisik Kota Sukabumi itu sendiri terdiri dari Topografi, geologi, kemiringan lereng, jenis tanah, penggunaan lahan, curah hujan dan keberadaan sesar, penjelasannya sebagai berikut:
1. Topografi
Topografi lokasi penelitian diperoleh dari data sekunder digital elevation model (DEM)/SRTM USGS dengan resolusi 90 meteran. Data sekunder tersebut diolah dengan menggunakan software Arc GIS 10. 3.
Gambar 1 menunjukkan bahwa telah menghasilkan Kontur topografi setiap 85,75 meter. Topografi tertinggi di lokasi penelitian ini adalah 619–702 meter, wilayah ini berada pada lereng Gunung Gede dan Gunung Pangrango dan wilayah ini meliputi Kecamatan Cikole, Kecamatan Gunung Puyuh dan Kecamatan Cibeureum.
Topografi 456– 507 meter terdapat di wilayah Kecamatan Citamiang, Kecamatan Lembursitu, Kecamatan Baros dan Kecamatan Warudoyong. Topografi 561–619 meter terdapat juga di wilayah Kecamatan Cikole, Kecamatan Gunung Puyuh, Kecamatan Warudoyong, Kecamatan Cibeureum dan Kecamatan Citamiang.
Sedangkan kontur topografi terendah yaitu sekitar 359–456 meter dan hanya terdapat di wilayah Kecamatan Lembursitu. Adapun peta topografi Kota Sukabumi dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Peta Topografi Kota Sukabumi Provinsi Jawa Barat 2. Keberadaan Sesar
Sesar Cimandiri ini merupakan sesar geser aktif yang terletak di bagian barat dari provinsi Jawa Barat. Sebagai sesar aktif, sesar Cimandiri ini bergerak dengan kecepatan geser 4-6 mm per tahun.
Di Kabupaten Sukabumi, sesar ini terbagi menjadi 5 segmen, yaitu
segmen Cimandiri Pelabuhanratu-Citarik, Citarik-Cadasmalang, Ciceureum-Cirampo, Cirampo-Pegleseran, dan Pegleseran- Gandasoli. Adapun peta keberadaan sesar Kota Sukabumi dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Peta Keberadaan Sesar Kota Sukabumi Provinsi Jawa Barat
3. Geologi
Berdasarkan struktur geologinya, Kota Sukabumi didasari oleh sejumlah formasi seperti tampak pada Tabel 4. 2.
Tabel 4.2. Komposisi Formasi Geologi Kota Sukabumi
NO SIMBOL FORMASI KETERANGAN
1 Tomr Formasi
Rajamandala
Napal tufan, lempung napalan, batu pasir dan lensa-lensa batu
gamping mengandung fosil globigerina oligocaenica, globigerina praebullaides, orbulina, lapidocyclina,
dan spiroclypeus
2 Tom1 Anggota
Batugamping FormasiRajamandala
Batu gamping terumbu koral dengan sejumlah fosil lithothamnium, lapidocyclina
sumatrensis dan
lapidocyclina(eulepidina) ephippioides 3 Qvg Batuan gunungapi
gunung gede
Breksi tufan dan lahar, andesit dengan oligoklas-andesit, piroksen
dan banyak sekali horenblenda, tekstur seperti trakhit, umumnya
lapuk sekali
4 Qa Aluvium Lempung, lanau, kerikil dan kerakal; terutama endapan sungai
termasuk pasir dan kerikil endapan pantai sepanjang Teluk
Pelabuhan Ratu.
5 Tmjt Anggota Tuf dan Breksi Formasi
Jampang
Batupasir tuf dasitan, tuf andesit, tuf batu apung, dan breksi andesit/dasit tufan gampingan
dan batu lempung napalan.
Sumber: Pengolahan data 2019
Tabel menunjukkan bahwa litologi di Kota Sukabumi ini sangat beragam, terutama tersusun oleh Formasi Rajamandala (Tomr), anggota Batugamping Formasi Rajamandala (Tom1), Batuan Gunung Api Gunung Gede (Qvg), Aluvium (Qa), Anggota Tuf dan Breksi Formasi Jampang (Tmjt). Formasi Rajamandala (Tomr) merupakan napal tufan, lempung napalan, batu pasir dan lensa-lensa batu gamping mengandung fosil globigerina oligocaenica, globigerina praebullaides, orbulina, lapidocyclina, dan spiroclypeus.
Anggota Batugamping Formasi Rajamandala (Tom1) merupakan batu gamping terumbu koral dengan sejumlah fosil lithothamnium, lapidocyclina sumatrensis dan lapidocyclina(eulepidina) ephippioides.
Batuan Gunung Api Gunung Gede (Qvg) merupakan breksi tufan dan lahar, andesit dengan oligoklas-andesit, piroksen dan banyak sekali horenblenda, tekstur seperti trakhit, umumnya lapuk sekali.
Aluvium (Qa) merupakan lempung, lanau, kerikil dan kerakal;
terutama endapan sungai termasuk pasir dan kerikil endapan pantai sepanjang Teluk Pelabuhan Ratu. Anggota Tuf dan Breksi Formasi Jampang (Tmjt) merupakan batu pasir tuf dasitan, tuf andesit, tuf batu apung, dan breksi andesit/dasit tufan gampingan dan batu lempung napalan. Adapun peta geologi Kota Sukabumi dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Peta Geologi Kota Sukabumi Provinsi Jawa Barat
4. Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng di dalam penelitian merupakan data sekunder yang diperoleh dari hasil pengolahan data topografi.
Kemiringan lereng yang dimiliki wilayah penelitian ini cukup bervariasi sehingga mempengaruhi terjadinya bencana longsor.
Lokasi yang berbukit-bukit memiliki tingkat kemiringan lereng yang tinggi. Data kemiringan lereng ini diklasifikasikan menjadi 5 kelas berdasarkan tingkat kemiringan lereng yaitu, datar, landai, agak curam, curam dan sangat curam seperti pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Kemiringan Lereng Kota Sukabumi
NO KEMIRINGAN LERENG LUAS
% Keterangan (Ha) Persentase %
1 0-8% Datar 419,95 9%
2 8-15% Landai 626,13 13%
3 15-25% Agak Curam 873,21 18%
4 25-45% Curam 1. 235,42 25%
5 >45% Sangat Curam 1. 732,11 35%
JUMLAH 4. 886,82 100%
Sumber: Pengolahan data 2019
Tabel menunjukkan bahwa wilayah kemiringan lereng dengan kondisi topografi (datar) 0–8 % terdapat di Kota Sukabumi bagian tengah dengan luas wilayah mencapai 419,95 ha dan dimanfaatkan untuk lahan pemukiman. Untuk kemiringan lereng 8–15 % (landai) juga terdapat di Kota Sukabumi bagian tengah dengan luas wilayah 626,13ha.
Untuk kemiringan lereng 15-25 % (agak curam) terdapat di Kota Sukabumi bagian barat dengan luas wilayah 873,21 ha. Untuk kemiringan lereng 25-45% (curam) terdapat di Kota Sukabumi bagian barat dan timur dengan luas wilayah keseluruhan mencapai
1. 235,42 ha. Secara umum daerah Kota Sukabumi didominasi oleh kelas kemiringan lereng dengan kondisi topografi sangat curam (>
40 %) dengan luasan mencapai 35% dengan luas wilayah keseluruhan mencapai 1. 732,11 ha dari luas Kota Sukabumi.
Adapun peta kemiringan lereng Kota Sukabumi dapat dilihat pada gambar...
5. Jenis Tanah
Klasifikasi parameter jenis tanah di Kota Sukabumi yang digunakan untuk menjadi data sekunder diperoleh dari peta jenis tanah dengan skala 1:250. 000 sumber data dari Kementerian Pertanian tahun 2018. Skala peta jenis tanah ini sangat kecil sehingga tingkat akurasi data dan informasi tentang jenis tanah ini masih sangat umum. Berdasarkan pada gambar peta jenis tanah Kota Sukabumi, maka jenis tanah di daerah tersebut terdiri dari 4 jenis tanah dan luas masing-masing jenis tanahnya dinyatakan dalam Tabel 4. 4.
Tabel 4.4. Jenis Tanah di Kota Sukabumi
Jenis Tanah Luas (Ha) Persentase %
Latosol 1. 054,62 22%
Andosol 830,01 17%
Grumusol 2. 906,74 59%
Padzolik 95,45 2%
Jumlah 4. 886,82 100%
Sumber: Pengolahan data 2019
Tabel menunjukkan bahwa variasi jenis tanah di Kota Sukabumi ini sangat beragam, Jenis tanah yang mendominasi Kota Sukabumi yaitu jenis tanah grumusol dengan persentase terbesar yaitu 59% yang meliputi seluruh wilayah Kota Sukabumi yang
terdapat diwilayah Kecamatan Lembursitu, Kecamatan Warudoyong, Kecamatan Citamiang, Kecamatan Gunung Puyuh, Kecamatan Cibeureum dan Kecamatan Baros dengan luas keseluruhan mencapai 2. 906,74 ha. Untuk jenis tanah andosol sebanyak 17% terdapat di wilayah Kota Sukabumi yang meliputi wilayah Kecamatan Lembursitu, Kecamatan Warudoyong, Kecamatan Gunung Puyuh, Kecamatan Cikole dan juga sedikit terdapat di Kecamatan Citamiang dan Kecamatan Baros dengan luas keseluruhan mencapai 830,01 ha. Untuk Jenis tanah latosol sebanyak 22% yang meliputi wilayah Kecamatan Cibeureum, Kecamatan Warudoyong, Kecamatan Gunung Puyuh dan Kecamatan Cikole dengan luas keseluruhan mencapai 1. 054,62 ha, yang paling banyak terdapat jenis tanah ini yaitu di Kecamatan Cibeureum dan jenis tanah yang terakhir dengan persentase terendah 2% yaitu jenis tanah Padzolik yang meliputi wilayah Kecamatan Citamiang dan Kecamatan Cibeureum dengan luas 95,45 ha. Adapun peta tanah Kota Sukabumi dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Peta Jenis Tanah Kota Sukabumi Provinsi Jawa Barat
6. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan yang terjadi di Kota Sukabumi dipengaruhi oleh faktor alami maupun faktor non alami. Secara alami faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan Kota Sukabumi antara lain kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, kandungan air tanah dan sebagainya, sedangkan faktor non alami yang mempengaruhi penggunaan lahan yaitu aktivitas yang terjadi di masyarakat, mata pencaharian, jumlah penduduk dan sebaran penduduk.
Pemanfaatan lahan saat ini di wilayah Kota Sukabumi secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi lahan terbangun dan lahan non terbangun. Lahan non terbangun meliputi lahan sawah, ladang, semak belukar, hutan kering, tanah kosong dan kebun.
Lahan sawah menempati urutan pertama terbesar pemanfaatan lahan non terbangun di wilayah Kota Sukabumi. Lahan terbangun meliputi lahan pemukiman, sarana dan prasarana perkotaan, bangunan-bangunan dan gedung-gedung. Lahan pemukiman menempati urutan pertama terbesar lahan terbangun Kota Sukabumi.
Tabel 4.5. Penggunaan Lahan Kota Sukabumi
Penggunaan lahan Luas (Ha) Persentase %
Tanah Kosong 35,78 1%
Hutan Kering 159,84 3%
Semak Belukar 517,36 11%
Pemukiman 1. 917,34 39%
Empang 48,49 1%
Gedung/Bangunan 69,69 1%
Kebun 150,57 3%
Ladang 90,76 2%
Sawah 1. 896,99 39%
Jumlah 4. 886,82 100%
Sumber: Pengolahan data 2019
Tabel menunjukkan hasil analisis terhadap data penggunaan lahan di lokasi penelitian maka diketahui bahwa penggunaan lahan untuk fungsi budidaya lebih besar dibandingkan dengan penggunaan lahan untuk fungsi lindung. Penggunaan lahan untuk kawasan budidaya yang meliputi penggunaan lahan pemukiman, sawah, gedung-gedung, ladang, kebun, semak belukar, tanah kosong dan empang teridentifikasi dengan persentase keseluruhan mencapai 97% yang didominasi oleh penggunaan lahan untuk pemukiman dan sawah, sehingga untuk luas penggunaan lahan kawasan budidaya ini total keseluruhan mencapai 4. 726,98 ha dari total luas Kota Sukabumi, dengan total masing-masing luas penggunaan lahan yaitu untuk penggunaan lahan pemukiman sebesar 39% dengan luas 1. 917,34 ha, penggunaan lahan sawah sebesar 39% dengan luas 1. 896,99 ha, penggunaan lahan gedung/bangunan sebesar 1% dengan luas 69,69 ha, penggunaan lahan ladang sebesar 2% dengan luasan 90,76 ha, penggunaan lahan kebun sebesar 3% dengan luas 150,57 ha, penggunaan lahan semak belukar sebesar 11% dengan luas 517,36 ha, penggunaan lahan tanah kosong sebesar 1% dengan luas 35,78 ha dan untuk penggunaan lahan empang sebesar 1% dengan luas 48,49ha.
Sementara penggunaan lahan untuk fungsi lindung sebagian besar masih berupa hutan yang terbagi berdasarkan fungsi dan pemanfaatannya sebanyak 3% dengan luas keseluruhan 159,84 ha dari total luas Kota Sukabumi. Adapun peta penggunaan lahan Kota Sukabumi dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5. Peta Penggunaan Lahan Kota Sukabumi Provinsi Jawa Barat
7. Curah Hujan
Nilai curah hujan rata-rata tahunan di Kota Sukabumi dominan berada di antara 2. 500 mm–3. 000 mm. Beberapa di daerah Kota Sukabumi yang memiliki intensitas curah hujan tertinggi yaitu terdapat di Kecamatan Gunung Puyuh dan Kecamatan Cikole yaitu sekitar 3000–3500 mm. Sementara tingkat intensitas curah hujan tahunan dengan intensitas curah hujan 2500–
3000 mm berada di sebagian besar daerah Kecamatan Warudoyong, Kecamatan Baros, Kecamatan Cibeureum, Kecamatan Lembursitu dan Kecamatan Citamiang.
Tabel 4.6. Curah Hujan Kota Sukabumi Intensitas Curah Hujan
(mm)
Luas (Ha)
Persentase
%
2500 - 3000 mm 3. 981,18 81%
3000 - 3500 mm 905,64 19%
Jumlah 4. 886,82 100%
Sumber: Pengolahan data 2019
Tabel menunjukkan bahwa intensitas curah hujan di Kota Sukabumi sebesar 81% berada di antara 2. 500–3. 000 mm per tahun yang mendominasi seluruh kecamatan di Kota Sukabumi ini dengan luas keseluruhan mencapai 3. 981,18 ha. Sedangkan curah hujan dengan intensitas 3. 000–3. 500 mm per tahun sebesar 19%
dari luas keseluruhan dengan luas 905,64 ha terdapat di wilayah Kecamatan Gunung Puyuh dan Kecamatan Cikole yang merupakan wilayah kecamatan dengan intensitas curah hujan tertinggi di daerah Kota Sukabumi. Adapun peta Curah Hujan Kota Sukabumi dapat dilihat pada gambar 6.
Gambar 6. Peta Curah Hujan Kota Sukabumi Provinsi Jawa Barat
4.3. Perhitungan Metode AHP (Analytical Hierarchy Process) Pembobotan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian longsor dilakukan dengan analisis AHP (Analytical Hierarchy Process). Analisis ini dilakukan dengan mengelompokkan beberapa parameter seperti kemiringan lereng, curah hujan, jenis tanah, penggunaan lahan, keberadaan sesar dan geologi. Prinsip kerja AHP adalah menyederhanakan suatu masalah kompleks menjadi bagian-bagiannya dan menatanya dalam suatu hierarki atau peringkat. Input awal untuk matriks perbandingan dalam metode ini digunakan dengan menentukan skor masing-masing faktor yang digunakan. Proses skoring ini diberikan berdasarkan pengaruh terhadap longsor, semakin tinggi skornya maka semakin tinggi pengaruh faktor tersebut terhadap bahaya longsor.
Dari permasalahan yang ada dalam menentukan faktor-faktor penyebab terjadinya bencana tanah longsor di Kota Sukabumi, berdasarkan tingkat kepentingan parameter atau kriteria-kriteria yang ditentukan oleh tenaga ahli guna menentukan faktor utama penyebab longsor Kota Sukabumi.
Menurut ahli 1, dalam membandingkan keenam parameter penyebab longsor yaitu kemiringan lereng, curah hujan, jenis tanah, penggunaan lahan, keberadaan sesar dan geologi, berpendapat bahwa parameter kemiringan lereng dan curah hujan diberi skala 5 yang dianggap bahwa parameter curah hujan lebih penting daripada parameter kemiringan lereng yang berpengaruh terhadap terjadinya longsor di Kota Sukabumi.
Parameter kemiringan lereng dan jenis tanah diberi skala 3 yang dianggap bahwa parameter kemiringan lereng sedikit lebih penting daripada parameter jenis tanah. Parameter kemiringan lereng dan penggunaan lahan diberi skala 5 yang dianggap bahwa parameter kemiringan lereng lebih penting daripada parameter penggunaan lahan. Parameter kemiringan lereng dan keberadaan
sesar diberi skala 3 yang dianggap bahwa parameter keberadaan sesar sedikit lebih penting daripada parameter kemiringan lereng.
Parameter kemiringan lereng dan geologi diberi skala 1 yang dianggap bahwa kedua parameter tersebut sama pentingnya dan mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap terjadinya bencana longsor.
Parameter curah hujan dan jenis tanah diberi skala 9 yang dianggap bahwa parameter curah hujan mutlak penting daripada parameter jenis tanah. Parameter curah hujan dan penggunaan lahan diberi skala 5 yang dianggap bahwa parameter curah hujan lebih penting daripada parameter penggunaan lahan. Parameter curah hujan dan keberadaan sesar diberi skala 3 yang dianggap bahwa parameter curah hujan sedikit lebih penting daripada parameter keberadaan sesar. Parameter curah hujan dan geologi diberi skala 1 yang dianggap bahwa kedua parameter tersebut sama pentingnya dan mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap terjadinya bencana longsor.
Parameter jenis tanah dan penggunaan lahan diberi skala 3 yang dianggap bahwa parameter penggunaan lahan sedikit lebih penting dari pada parameter jenis tanah. Parameter jenis tanah dan keberadaan sesar diberi skala 3 juga yang dianggap bahwa parameter keberadaan sesar sedikit lebih penting daripada parameter jenis tanah. Parameter jenis tanah dan geologi diberi skala 7 yang dianggap bahwa parameter geologi sangat penting atau jelas lebih mutlak penting daripada parameter jenis tanah.
Parameter penggunaan lahan dan keberadaan sesar diberi skala 5 yang dianggap bahwa parameter keberadaan sesar lebih penting dari pada parameter penggunaan lahan. Parameter penggunaan lahan dan geologi diberi skala 5 yang dianggap bahwa parameter geologi lebih penting daripada parameter penggunaan lahan.