• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Fisik Kota Sukabumi

Dalam dokumen BENCANA TANAH LONGSOR (Halaman 48-79)

BAB IV PEMBAHASAN

4.2. Kondisi Fisik Kota Sukabumi

Kondisi fisik Kota Sukabumi itu sendiri terdiri dari Topografi, geologi, kemiringan lereng, jenis tanah, penggunaan lahan, curah hujan dan keberadaan sesar, penjelasannya sebagai berikut:

1. Topografi

Topografi lokasi penelitian diperoleh dari data sekunder digital elevation model (DEM)/SRTM USGS dengan resolusi 90 meteran. Data sekunder tersebut diolah dengan menggunakan software Arc GIS 10. 3.

Gambar 1 menunjukkan bahwa telah menghasilkan Kontur topografi setiap 85,75 meter. Topografi tertinggi di lokasi penelitian ini adalah 619–702 meter, wilayah ini berada pada lereng Gunung Gede dan Gunung Pangrango dan wilayah ini meliputi Kecamatan Cikole, Kecamatan Gunung Puyuh dan Kecamatan Cibeureum.

Topografi 456– 507 meter terdapat di wilayah Kecamatan Citamiang, Kecamatan Lembursitu, Kecamatan Baros dan Kecamatan Warudoyong. Topografi 561–619 meter terdapat juga di wilayah Kecamatan Cikole, Kecamatan Gunung Puyuh, Kecamatan Warudoyong, Kecamatan Cibeureum dan Kecamatan Citamiang.

Sedangkan kontur topografi terendah yaitu sekitar 359–456 meter dan hanya terdapat di wilayah Kecamatan Lembursitu. Adapun peta topografi Kota Sukabumi dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Peta Topografi Kota Sukabumi Provinsi Jawa Barat 2. Keberadaan Sesar

Sesar Cimandiri ini merupakan sesar geser aktif yang terletak di bagian barat dari provinsi Jawa Barat. Sebagai sesar aktif, sesar Cimandiri ini bergerak dengan kecepatan geser 4-6 mm per tahun.

Di Kabupaten Sukabumi, sesar ini terbagi menjadi 5 segmen, yaitu

segmen Cimandiri Pelabuhanratu-Citarik, Citarik-Cadasmalang, Ciceureum-Cirampo, Cirampo-Pegleseran, dan Pegleseran- Gandasoli. Adapun peta keberadaan sesar Kota Sukabumi dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Peta Keberadaan Sesar Kota Sukabumi Provinsi Jawa Barat

3. Geologi

Berdasarkan struktur geologinya, Kota Sukabumi didasari oleh sejumlah formasi seperti tampak pada Tabel 4. 2.

Tabel 4.2. Komposisi Formasi Geologi Kota Sukabumi

NO SIMBOL FORMASI KETERANGAN

1 Tomr Formasi

Rajamandala

Napal tufan, lempung napalan, batu pasir dan lensa-lensa batu

gamping mengandung fosil globigerina oligocaenica, globigerina praebullaides, orbulina, lapidocyclina,

dan spiroclypeus

2 Tom1 Anggota

Batugamping FormasiRajamandala

Batu gamping terumbu koral dengan sejumlah fosil lithothamnium, lapidocyclina

sumatrensis dan

lapidocyclina(eulepidina) ephippioides 3 Qvg Batuan gunungapi

gunung gede

Breksi tufan dan lahar, andesit dengan oligoklas-andesit, piroksen

dan banyak sekali horenblenda, tekstur seperti trakhit, umumnya

lapuk sekali

4 Qa Aluvium Lempung, lanau, kerikil dan kerakal; terutama endapan sungai

termasuk pasir dan kerikil endapan pantai sepanjang Teluk

Pelabuhan Ratu.

5 Tmjt Anggota Tuf dan Breksi Formasi

Jampang

Batupasir tuf dasitan, tuf andesit, tuf batu apung, dan breksi andesit/dasit tufan gampingan

dan batu lempung napalan.

Sumber: Pengolahan data 2019

Tabel menunjukkan bahwa litologi di Kota Sukabumi ini sangat beragam, terutama tersusun oleh Formasi Rajamandala (Tomr), anggota Batugamping Formasi Rajamandala (Tom1), Batuan Gunung Api Gunung Gede (Qvg), Aluvium (Qa), Anggota Tuf dan Breksi Formasi Jampang (Tmjt). Formasi Rajamandala (Tomr) merupakan napal tufan, lempung napalan, batu pasir dan lensa-lensa batu gamping mengandung fosil globigerina oligocaenica, globigerina praebullaides, orbulina, lapidocyclina, dan spiroclypeus.

Anggota Batugamping Formasi Rajamandala (Tom1) merupakan batu gamping terumbu koral dengan sejumlah fosil lithothamnium, lapidocyclina sumatrensis dan lapidocyclina(eulepidina) ephippioides.

Batuan Gunung Api Gunung Gede (Qvg) merupakan breksi tufan dan lahar, andesit dengan oligoklas-andesit, piroksen dan banyak sekali horenblenda, tekstur seperti trakhit, umumnya lapuk sekali.

Aluvium (Qa) merupakan lempung, lanau, kerikil dan kerakal;

terutama endapan sungai termasuk pasir dan kerikil endapan pantai sepanjang Teluk Pelabuhan Ratu. Anggota Tuf dan Breksi Formasi Jampang (Tmjt) merupakan batu pasir tuf dasitan, tuf andesit, tuf batu apung, dan breksi andesit/dasit tufan gampingan dan batu lempung napalan. Adapun peta geologi Kota Sukabumi dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Peta Geologi Kota Sukabumi Provinsi Jawa Barat

4. Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng di dalam penelitian merupakan data sekunder yang diperoleh dari hasil pengolahan data topografi.

Kemiringan lereng yang dimiliki wilayah penelitian ini cukup bervariasi sehingga mempengaruhi terjadinya bencana longsor.

Lokasi yang berbukit-bukit memiliki tingkat kemiringan lereng yang tinggi. Data kemiringan lereng ini diklasifikasikan menjadi 5 kelas berdasarkan tingkat kemiringan lereng yaitu, datar, landai, agak curam, curam dan sangat curam seperti pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Kemiringan Lereng Kota Sukabumi

NO KEMIRINGAN LERENG LUAS

% Keterangan (Ha) Persentase %

1 0-8% Datar 419,95 9%

2 8-15% Landai 626,13 13%

3 15-25% Agak Curam 873,21 18%

4 25-45% Curam 1. 235,42 25%

5 >45% Sangat Curam 1. 732,11 35%

JUMLAH 4. 886,82 100%

Sumber: Pengolahan data 2019

Tabel menunjukkan bahwa wilayah kemiringan lereng dengan kondisi topografi (datar) 0–8 % terdapat di Kota Sukabumi bagian tengah dengan luas wilayah mencapai 419,95 ha dan dimanfaatkan untuk lahan pemukiman. Untuk kemiringan lereng 8–15 % (landai) juga terdapat di Kota Sukabumi bagian tengah dengan luas wilayah 626,13ha.

Untuk kemiringan lereng 15-25 % (agak curam) terdapat di Kota Sukabumi bagian barat dengan luas wilayah 873,21 ha. Untuk kemiringan lereng 25-45% (curam) terdapat di Kota Sukabumi bagian barat dan timur dengan luas wilayah keseluruhan mencapai

1. 235,42 ha. Secara umum daerah Kota Sukabumi didominasi oleh kelas kemiringan lereng dengan kondisi topografi sangat curam (>

40 %) dengan luasan mencapai 35% dengan luas wilayah keseluruhan mencapai 1. 732,11 ha dari luas Kota Sukabumi.

Adapun peta kemiringan lereng Kota Sukabumi dapat dilihat pada gambar...

5. Jenis Tanah

Klasifikasi parameter jenis tanah di Kota Sukabumi yang digunakan untuk menjadi data sekunder diperoleh dari peta jenis tanah dengan skala 1:250. 000 sumber data dari Kementerian Pertanian tahun 2018. Skala peta jenis tanah ini sangat kecil sehingga tingkat akurasi data dan informasi tentang jenis tanah ini masih sangat umum. Berdasarkan pada gambar peta jenis tanah Kota Sukabumi, maka jenis tanah di daerah tersebut terdiri dari 4 jenis tanah dan luas masing-masing jenis tanahnya dinyatakan dalam Tabel 4. 4.

Tabel 4.4. Jenis Tanah di Kota Sukabumi

Jenis Tanah Luas (Ha) Persentase %

Latosol 1. 054,62 22%

Andosol 830,01 17%

Grumusol 2. 906,74 59%

Padzolik 95,45 2%

Jumlah 4. 886,82 100%

Sumber: Pengolahan data 2019

Tabel menunjukkan bahwa variasi jenis tanah di Kota Sukabumi ini sangat beragam, Jenis tanah yang mendominasi Kota Sukabumi yaitu jenis tanah grumusol dengan persentase terbesar yaitu 59% yang meliputi seluruh wilayah Kota Sukabumi yang

terdapat diwilayah Kecamatan Lembursitu, Kecamatan Warudoyong, Kecamatan Citamiang, Kecamatan Gunung Puyuh, Kecamatan Cibeureum dan Kecamatan Baros dengan luas keseluruhan mencapai 2. 906,74 ha. Untuk jenis tanah andosol sebanyak 17% terdapat di wilayah Kota Sukabumi yang meliputi wilayah Kecamatan Lembursitu, Kecamatan Warudoyong, Kecamatan Gunung Puyuh, Kecamatan Cikole dan juga sedikit terdapat di Kecamatan Citamiang dan Kecamatan Baros dengan luas keseluruhan mencapai 830,01 ha. Untuk Jenis tanah latosol sebanyak 22% yang meliputi wilayah Kecamatan Cibeureum, Kecamatan Warudoyong, Kecamatan Gunung Puyuh dan Kecamatan Cikole dengan luas keseluruhan mencapai 1. 054,62 ha, yang paling banyak terdapat jenis tanah ini yaitu di Kecamatan Cibeureum dan jenis tanah yang terakhir dengan persentase terendah 2% yaitu jenis tanah Padzolik yang meliputi wilayah Kecamatan Citamiang dan Kecamatan Cibeureum dengan luas 95,45 ha. Adapun peta tanah Kota Sukabumi dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Peta Jenis Tanah Kota Sukabumi Provinsi Jawa Barat

6. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan yang terjadi di Kota Sukabumi dipengaruhi oleh faktor alami maupun faktor non alami. Secara alami faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan Kota Sukabumi antara lain kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, kandungan air tanah dan sebagainya, sedangkan faktor non alami yang mempengaruhi penggunaan lahan yaitu aktivitas yang terjadi di masyarakat, mata pencaharian, jumlah penduduk dan sebaran penduduk.

Pemanfaatan lahan saat ini di wilayah Kota Sukabumi secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi lahan terbangun dan lahan non terbangun. Lahan non terbangun meliputi lahan sawah, ladang, semak belukar, hutan kering, tanah kosong dan kebun.

Lahan sawah menempati urutan pertama terbesar pemanfaatan lahan non terbangun di wilayah Kota Sukabumi. Lahan terbangun meliputi lahan pemukiman, sarana dan prasarana perkotaan, bangunan-bangunan dan gedung-gedung. Lahan pemukiman menempati urutan pertama terbesar lahan terbangun Kota Sukabumi.

Tabel 4.5. Penggunaan Lahan Kota Sukabumi

Penggunaan lahan Luas (Ha) Persentase %

Tanah Kosong 35,78 1%

Hutan Kering 159,84 3%

Semak Belukar 517,36 11%

Pemukiman 1. 917,34 39%

Empang 48,49 1%

Gedung/Bangunan 69,69 1%

Kebun 150,57 3%

Ladang 90,76 2%

Sawah 1. 896,99 39%

Jumlah 4. 886,82 100%

Sumber: Pengolahan data 2019

Tabel menunjukkan hasil analisis terhadap data penggunaan lahan di lokasi penelitian maka diketahui bahwa penggunaan lahan untuk fungsi budidaya lebih besar dibandingkan dengan penggunaan lahan untuk fungsi lindung. Penggunaan lahan untuk kawasan budidaya yang meliputi penggunaan lahan pemukiman, sawah, gedung-gedung, ladang, kebun, semak belukar, tanah kosong dan empang teridentifikasi dengan persentase keseluruhan mencapai 97% yang didominasi oleh penggunaan lahan untuk pemukiman dan sawah, sehingga untuk luas penggunaan lahan kawasan budidaya ini total keseluruhan mencapai 4. 726,98 ha dari total luas Kota Sukabumi, dengan total masing-masing luas penggunaan lahan yaitu untuk penggunaan lahan pemukiman sebesar 39% dengan luas 1. 917,34 ha, penggunaan lahan sawah sebesar 39% dengan luas 1. 896,99 ha, penggunaan lahan gedung/bangunan sebesar 1% dengan luas 69,69 ha, penggunaan lahan ladang sebesar 2% dengan luasan 90,76 ha, penggunaan lahan kebun sebesar 3% dengan luas 150,57 ha, penggunaan lahan semak belukar sebesar 11% dengan luas 517,36 ha, penggunaan lahan tanah kosong sebesar 1% dengan luas 35,78 ha dan untuk penggunaan lahan empang sebesar 1% dengan luas 48,49ha.

Sementara penggunaan lahan untuk fungsi lindung sebagian besar masih berupa hutan yang terbagi berdasarkan fungsi dan pemanfaatannya sebanyak 3% dengan luas keseluruhan 159,84 ha dari total luas Kota Sukabumi. Adapun peta penggunaan lahan Kota Sukabumi dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Peta Penggunaan Lahan Kota Sukabumi Provinsi Jawa Barat

7. Curah Hujan

Nilai curah hujan rata-rata tahunan di Kota Sukabumi dominan berada di antara 2. 500 mm–3. 000 mm. Beberapa di daerah Kota Sukabumi yang memiliki intensitas curah hujan tertinggi yaitu terdapat di Kecamatan Gunung Puyuh dan Kecamatan Cikole yaitu sekitar 3000–3500 mm. Sementara tingkat intensitas curah hujan tahunan dengan intensitas curah hujan 2500–

3000 mm berada di sebagian besar daerah Kecamatan Warudoyong, Kecamatan Baros, Kecamatan Cibeureum, Kecamatan Lembursitu dan Kecamatan Citamiang.

Tabel 4.6. Curah Hujan Kota Sukabumi Intensitas Curah Hujan

(mm)

Luas (Ha)

Persentase

%

2500 - 3000 mm 3. 981,18 81%

3000 - 3500 mm 905,64 19%

Jumlah 4. 886,82 100%

Sumber: Pengolahan data 2019

Tabel menunjukkan bahwa intensitas curah hujan di Kota Sukabumi sebesar 81% berada di antara 2. 500–3. 000 mm per tahun yang mendominasi seluruh kecamatan di Kota Sukabumi ini dengan luas keseluruhan mencapai 3. 981,18 ha. Sedangkan curah hujan dengan intensitas 3. 000–3. 500 mm per tahun sebesar 19%

dari luas keseluruhan dengan luas 905,64 ha terdapat di wilayah Kecamatan Gunung Puyuh dan Kecamatan Cikole yang merupakan wilayah kecamatan dengan intensitas curah hujan tertinggi di daerah Kota Sukabumi. Adapun peta Curah Hujan Kota Sukabumi dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 6. Peta Curah Hujan Kota Sukabumi Provinsi Jawa Barat

4.3. Perhitungan Metode AHP (Analytical Hierarchy Process) Pembobotan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian longsor dilakukan dengan analisis AHP (Analytical Hierarchy Process). Analisis ini dilakukan dengan mengelompokkan beberapa parameter seperti kemiringan lereng, curah hujan, jenis tanah, penggunaan lahan, keberadaan sesar dan geologi. Prinsip kerja AHP adalah menyederhanakan suatu masalah kompleks menjadi bagian-bagiannya dan menatanya dalam suatu hierarki atau peringkat. Input awal untuk matriks perbandingan dalam metode ini digunakan dengan menentukan skor masing-masing faktor yang digunakan. Proses skoring ini diberikan berdasarkan pengaruh terhadap longsor, semakin tinggi skornya maka semakin tinggi pengaruh faktor tersebut terhadap bahaya longsor.

Dari permasalahan yang ada dalam menentukan faktor-faktor penyebab terjadinya bencana tanah longsor di Kota Sukabumi, berdasarkan tingkat kepentingan parameter atau kriteria-kriteria yang ditentukan oleh tenaga ahli guna menentukan faktor utama penyebab longsor Kota Sukabumi.

Menurut ahli 1, dalam membandingkan keenam parameter penyebab longsor yaitu kemiringan lereng, curah hujan, jenis tanah, penggunaan lahan, keberadaan sesar dan geologi, berpendapat bahwa parameter kemiringan lereng dan curah hujan diberi skala 5 yang dianggap bahwa parameter curah hujan lebih penting daripada parameter kemiringan lereng yang berpengaruh terhadap terjadinya longsor di Kota Sukabumi.

Parameter kemiringan lereng dan jenis tanah diberi skala 3 yang dianggap bahwa parameter kemiringan lereng sedikit lebih penting daripada parameter jenis tanah. Parameter kemiringan lereng dan penggunaan lahan diberi skala 5 yang dianggap bahwa parameter kemiringan lereng lebih penting daripada parameter penggunaan lahan. Parameter kemiringan lereng dan keberadaan

sesar diberi skala 3 yang dianggap bahwa parameter keberadaan sesar sedikit lebih penting daripada parameter kemiringan lereng.

Parameter kemiringan lereng dan geologi diberi skala 1 yang dianggap bahwa kedua parameter tersebut sama pentingnya dan mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap terjadinya bencana longsor.

Parameter curah hujan dan jenis tanah diberi skala 9 yang dianggap bahwa parameter curah hujan mutlak penting daripada parameter jenis tanah. Parameter curah hujan dan penggunaan lahan diberi skala 5 yang dianggap bahwa parameter curah hujan lebih penting daripada parameter penggunaan lahan. Parameter curah hujan dan keberadaan sesar diberi skala 3 yang dianggap bahwa parameter curah hujan sedikit lebih penting daripada parameter keberadaan sesar. Parameter curah hujan dan geologi diberi skala 1 yang dianggap bahwa kedua parameter tersebut sama pentingnya dan mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap terjadinya bencana longsor.

Parameter jenis tanah dan penggunaan lahan diberi skala 3 yang dianggap bahwa parameter penggunaan lahan sedikit lebih penting dari pada parameter jenis tanah. Parameter jenis tanah dan keberadaan sesar diberi skala 3 juga yang dianggap bahwa parameter keberadaan sesar sedikit lebih penting daripada parameter jenis tanah. Parameter jenis tanah dan geologi diberi skala 7 yang dianggap bahwa parameter geologi sangat penting atau jelas lebih mutlak penting daripada parameter jenis tanah.

Parameter penggunaan lahan dan keberadaan sesar diberi skala 5 yang dianggap bahwa parameter keberadaan sesar lebih penting dari pada parameter penggunaan lahan. Parameter penggunaan lahan dan geologi diberi skala 5 yang dianggap bahwa parameter geologi lebih penting daripada parameter penggunaan lahan.

Parameter keberadaan sesar dan geologi diberi skala 2 yang dianggap bahwa kedua parameter ini memiliki kepentingan yang sama. Adapun matriks keputusan kriteria- kriteria penyebab bencana longsor tersebut dapat dilihat pada gambar 4. 2 dan hasil pembobotannya dapat dilihat pada Gambar 4. 3.

Gambar 4.2. Matriks Keputusan Ternormalisasi Ahli 1

Gambar 4.3. Hasil Pembobotan Faktor Penyebab Longsor Menurut Ahli 1

Gambar 4. 3 menunjukkan bahwa telah didapatkan hasil skor dari masing-masing parameter penyebab longsor dengan nilai inkonsistensi yang dihasilkan pada daerah Kota Sukabumi yaitu 0.

10 yang kurang dari 0,1. Nilai ini menunjukkan bahwa nilai bobot yang didapatkan dalam metode ini dianggap konsisten karena memenuhi prinsip AHP di mana konsistensi rasio harus kurang dari 10% atau 0,1. Sehingga dapat dikatakan bahwa masukan dari ahli 1 konsisten. Berdasarkan keenam faktor yang digunakan dalam penelitian ini, masing-masing memiliki parameter yang memiliki prioritas.

Hasil perhitungan bobot dari ahli 1 diperoleh bobot dari setiap parameter penyebab bencana tanah longsor yaitu parameter curah hujan dengan nilai bobot 367, parameter keberadaan sesar bobot 223, geologi bobot 197, kemiringan lereng bobot 126, penggunaan lahan bobot 51 dan jenis tanah dengan bobot 36.

Kriteria yang memiliki kepentingan paling tinggi menurut ahli 1 adalah parameter curah hujan. Parameter curah hujan ini merupakan parameter dengan nilai peranan paling besar dalam mempengaruhi terjadinya longsor dengan nilai bobot sebesar 367.

Menurut ahli 2, dalam membandingkan keenam parameter penyebab longsor yaitu kemiringan lereng, curah hujan, jenis tanah, penggunaan lahan, keberadaan sesar dan geologi, berpendapat bahwa parameter kemiringan lereng dan curah hujan diberi skala 5 yang dianggap bahwa parameter curah hujan lebih penting daripada parameter kemiringan lereng yang berpengaruh terhadap terjadinya longsor di Kota Sukabumi.

Parameter kemiringan lereng dan jenis tanah diberi skala 3 yang dianggap bahwa parameter kemiringan lereng sedikit lebih penting daripada parameter jenis tanah. Parameter kemiringan lereng dan penggunaan lahan diberi skala 5 yang dianggap bahwa parameter kemiringan lereng lebih penting daripada parameter penggunaan lahan. Parameter kemiringan lereng dan keberadaan sesar diberi skala 2 yang dianggap bahwa kedua parameter tersebut memiliki kepentingan yang sama. Parameter kemiringan lereng dan geologi diberi skala 3 yang dianggap bahwa parameter kemiringan lereng sedikit lebih penting daripada parameter geologi.

Parameter curah hujan dan jenis tanah diberi skala 5 yang dianggap bahwa parameter curah hujan lebih penting daripada parameter jenis tanah. Parameter curah hujan dan penggunaan lahan diberi skala 3 yang dianggap bahwa parameter curah hujan

sedikit lebih penting daripada parameter penggunaan lahan.

Parameter curah hujan dan keberadaan sesar diberi skala 3 yang dianggap bahwa parameter curah hujan sedikit lebih penting daripada parameter keberadaan sesar. Parameter curah hujan dan geologi diberi skala 3 juga yang dianggap parameter curah hujan sedikit lebih penting daripada parameter geologi.

Parameter jenis tanah dan penggunaan lahan diberi skala 2 yang dianggap bahwa kedua parameter tersebut memiliki kepentingan yang sama. Parameter jenis tanah dan keberadaan sesar diberi skala 5 yang dianggap bahwa parameter keberadaan sesar lebih penting daripada parameter jenis tanah. Parameter jenis tanah dan geologi diberi skala 3 yang dianggap bahwa parameter geologi sedikit lebih penting daripada parameter jenis tanah.

Parameter penggunaan lahan dan keberadaan sesar diberi skala 5 yang dianggap bahwa parameter keberadaan sesar lebih penting dari pada parameter penggunaan lahan. Parameter penggunaan lahan dan geologi diberi skala 3 yang dianggap bahwa parameter geologi sedikit lebih penting daripada parameter penggunaan lahan.

Parameter keberadaan sesar dan geologi diberi skala 2 yang dianggap bahwa kedua parameter ini memiliki kepentingan yang sama. Adapun matriks keputusan tingkat kepentingan kriteria- kriteria tersebut dapat dilihat pada gambar 4. 4.

Gambar 4.4. Matriks Keputusan Ternormalisasi Ahli 2

Gambar 4.5. Hasil Pembobotan Faktor Penyebab Longsor Menurut Ahli 2

Gambar 4. 5 menunjukkan bahwa dapat diketahui hasil skor dari masing-masing parameter penyebab longsor dengan nilai inkonsistensi yang dihasilkan pada daerah Kota Sukabumi yaitu 0.

09 yang kurang dari 0,1. Nilai ini menunjukkan bahwa nilai bobot yang didapatkan dalam metode ini dianggap konsisten karena memenuhi prinsip AHP di mana konsistensi rasio harus kurang dari 10% atau 0,1. Sehingga dapat dikatakan bahwa masukan dari ahli 2 konsisten. Berdasarkan keenam faktor yang digunakan dalam penelitian ini, masing-masing memiliki parameter yang memiliki prioritas.

Hasil perhitungan bobot dari ahli 2 diperoleh bobot dari setiap parameter penyebab bencana tanah longsor yaitu parameter curah hujan dengan nilai bobot 401, parameter keberadaan sesar bobot 217, kemiringan lereng bobot 167, geologi bobot 110, jenis tanah bobot 56 dan penggunaan lahan dengan bobot 49. Kriteria yang memiliki kepentingan paling tinggi menurut ahli 2 adalah parameter curah hujan. Parameter curah hujan ini merupakan parameter dengan nilai peranan paling besar dalam mempengaruhi terjadinya longsor dengan nilai bobot sebesar 401.

Menurut ahli 3, dalam membandingkan keenam parameter penyebab longsor yaitu kemiringan lereng, curah hujan, jenis tanah, penggunaan lahan, keberadaan sesar dan geologi, berpendapat bahwa parameter kemiringan lereng dan curah hujan diberi skala 2

yang dianggap bahwa parameter curah hujan dan parameter kemiringan lereng memiliki kepentingan yang sama dalam mempengaruhi terjadinya bencana longsor di Kota Sukabumi.

Parameter kemiringan lereng dan jenis tanah diberi skala 1 yang dianggap bahwa kedua parameter tersebut sama pentingnya dan mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap terjadinya bencana longsor. Parameter kemiringan lereng dan penggunaan lahan diberi skala 6 yang dianggap bahwa parameter kemiringan lereng sedikit penting daripada parameter penggunaan lahan.

Parameter kemiringan lereng dan keberadaan sesar diberi skala 5 yang dianggap bahwa parameter kemiringan lereng lebih penting daripada parameter keberadaan sesar. Parameter kemiringan lereng dan geologi diberi skala 3 yang dianggap bahwa parameter kemiringan lereng sedikit lebih penting daripada parameter geologi.

Parameter curah hujan dan jenis tanah diberi skala 3 yang dianggap bahwa parameter curah hujan sedikit lebih penting daripada parameter jenis tanah. Parameter curah hujan dan penggunaan lahan diberi skala 6 yang dianggap bahwa parameter curah hujan sedikit penting daripada parameter penggunaan lahan.

Parameter curah hujan dan keberadaan sesar diberi skala 6 juga yang dianggap bahwa parameter curah hujan sedikit penting daripada parameter keberadaan sesar. Parameter curah hujan dan geologi diberi skala 5 yang dianggap bahwa parameter curah hujan lebih penting daripada parameter geologi.

Parameter jenis tanah dan penggunaan lahan diberi skala 5 yang dianggap bahwa parameter jenis tanah lebih penting daripada parameter penggunaan lahan. Parameter jenis tanah dan keberadaan sesar diberi skala 5 juga yang dianggap bahwa parameter jenis tanah lebih penting daripada parameter keberadaan

sesar. Parameter jenis tanah dan geologi diberi skala 3 yang dianggap bahwa parameter jenis tanah sedikit lebih penting daripada parameter geologi.

Parameter penggunaan lahan dan keberadaan sesar diberi skala 3 yang dianggap bahwa parameter penggunaan lahan sedikit lebih penting daripada parameter keberadaan sesar. Parameter penggunaan lahan dan geologi diberi skala 6 yang dianggap bahwa parameter geologi sedikit penting daripada parameter penggunaan lahan.

Parameter keberadaan sesar dan geologi diberi skala 3 yang dianggap bahwa parameter geologi sedikit lebih penting daripada parameter keberadaan sesar. Adapun matriks keputusan tingkat kepentingan kriteria-kriteria tersebut dapat dilihat pada gambar 21.

Gambar 4.6. Matriks Keputusan Ternormalisasi Ahli 3

Gambar 4.7. Hasil Pembobotan Faktor Penyebab Longsor Menurut Ahli 3

Gambar 4. 7 menunjukkan bahwa telah didapatkan hasil skor dari masing-masing parameter penyebab longsor dengan nilai

Dalam dokumen BENCANA TANAH LONGSOR (Halaman 48-79)

Dokumen terkait