• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Praktik Perjanjian Kerjasama Penggarapan Sawah

Dalam dokumen perlindungan hukum bagi para pihak dalam (Halaman 73-85)

BAB III ANALISIS PRAKTIK PERJANJIAN KERJA SAMA

A. Analisis Praktik Perjanjian Kerjasama Penggarapan Sawah

Batukliang Utara Kabupaten Lombok Tengah.

Analisis terhadap prosedur atau mekanisme perjanjian kerjasama penggarapan sawah antara pemilik lahan dan penggarap yang terjadi di Desa Lantan Kecamatan Batukliang Utara yang dilakukan dengan mekanisme:

1. Pengutaraan niat

Pada tahap pengutaraan niat ini,baik pihak pemilik lahan maupun penggarap saling mendatangi satu sama lain kerumah pemilik lahan atau penggarap yang menurut mereka cocok dan menawarkan kerjasama dalam penggarap sawah dengan imbalan bagi hasil. Berdasarkan gambaran temuan penelitian di atas terlihat dengan jelas pemenuhan rukun dan syarat sahnya sebuah akad atau perjanjian. Dimana rukun dan syarat sahnya akad atau perjanjian sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Syamsul Anwar yang terdiri dari: pertama, para pihak yang membuat akad; kedua, pernyataan kedua belah pihak; ketiga, objek akad; keempat, tujuan akad. Sedangkan syarat-syarat sebuah akad itu adalah: pertama, adanya ijab dan kabul, dengan kata lain tercapainya kata sepakat;

kedua, objek akad itu dapat di serahkan; ketiga, dapat ditentukan;

keempat, objek itu dapat di transaksikan (berupa benda bernilai);

kelima, tidak bertentangan dengan syarat.84

Merujuk pada paparan temuan peneliti terkait dengan kegiatan praktik perjanjian kerjasama penggarapan sawah antara pemilik lahan dan penggarap sawah yang terjadi di Desa Lantan Kecamatan Batukliang Utara, maka penliti dapat simpulkan bahwa rukun dan syarat pertama diri sebuah perjanjian kerjasama itu telah terpenuhi yaitu adanya para pihak yang melakukan akad perjanjian

84 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 96-98

61

kerjasama tersebut. Maksud dari para pihak itu yaitu pemilik lahan yang mempunyai lahan pertanian untuk diserahkan kepada petani penggarap untuk di kelola dengan baik. Kedua belah pihak yaitu antara pemilik lahan dan penggarap yang melakukan perjanjian kerjasama penggarapan sawah ini adalah pihak-piha yang sudah dewasa, dan secara konsep hukum ekonomi syariah sudah dapat dikatakan sebagai pihak-pihak yang telah cakap hukum, baik cakap menerima hukum maupun dalam bertindak hukum.

Pengutaraan niat ini merupakan wujud dari rukun ketiga dari sebuah perjanjian atau akad dalam hukum ekonomi syariah, yaitu ada pernyataan untuk meningkatkan diri atau bisa di sebut ijab dan kabul. Ijab dan kabul yang di maksud disini adalah mempresentasikan adanya perizinan atau rasa saling ridha tanpa ada yang terbebani satu sama lain.

Jika merujuk pada konsep hukum bisnis, objek dari suatu prestasi pada akad atau perjanjian adalah pertama, melakukan sesuatu; kedua, tidak melakukan sesuatu; ketiga, memberikan atau menawarkan sesuatu.85kegiatan praktik perjanjian kerjasama penggarapan sawah antara pemilik lahan dan penggarap dapat dikategorikan sebagai pihak-pihak yang melakukan sesuatu dan memberikan sesuatu. Pihak pemilik lahan memiliki prestasi berupa memberikan lahan pertaniannya untuk di kelola dan dimanfaatkan, sedangkan penggarap memiliki prestasi berupa melakukan sesuatu atau dengan kata lain penggarap menerima fasilitas atau tempat untuk bercocok tanam serta penggarap harus mengelola, merawat tanaman yang ditanam sampai panen tiba sehingga hasilnya bisa di bagi.

Sedangkan jika merujuk pada hukum ekonomi syariah, hukum perjanjian Islam jika objek akad itu berupa perbuatan, maka objek tersebut tentu harus ditentukan, maksudnya harus jelas dan diketahui oleh para pihak. Dengan begitu objek akad perjanjian dalam melakukan perjanjian kerjasama penggarapan sawah ini

85 Tomas Soni Tambunan dan Wislon R.G Tambunan, Hukum Bisnis, (Jakarta:

Prenadamedia Group, 2019), hlm 62.

62

telah memenuhi syarat yaitu berupa perbuatan yang dapat di serahterimakan, dilaksanakan, dan di transaksikan dengan jelas.86

Berdasarkan paparan peneliti dengan teori yang peneliti kemukakan maka terkait dengan pengutaraan niat ini bisa peneliti katakan bahwa telah memenuhi rukun dan syarat sahnya dalam sebuah perjanjian kerjasama. Sehingga jika dilihat juga aspek hukum ekonomi syariah itu tentang kegiatan pengutaraan niat telah sesuai, dengan adanya pengutaraan niat maka para pihak yang melakukan kerjasama memiliki keinginan yang sama.

2. Bentuk perjanjian

Bentuk perjanjian yang dilakukan oleh pemilik dan penggarap sawah di Desa Lantan Kecamatan Batukliang Utara dalam melakukan kegiatan atau praktik perjanjian kerjasama yang digunakan adalah bentuk perjanjian secara lisan. Seperti yang di ungkapkan oleh salah satu dari penggarap:

“kalau di Desa Lantan itu bentuk perjanjian kerja sama dari dulu hingga sekarang masih sama sampai saat ini, yaitu dengan melakukan perjanjian kerjasama secara lisan saja, tidak di lakukan secara tertulis. Ketika pemilik lahan pertanian kance petani sudah utarain niat untuk kerja sama, maka terjadi kesepakatan, oleh karena itu dari sana lah mulai berlaku kerja sama tersebut, tidak perlu di tulis soalnya sudah saling percaya.”87

Dari paparan data yang peneliti dapatkan pada Bab II akad perjanjian yang mereka lakukan secara lisan itu berdasarkan kepercayaan kedua belah pihak karena bentuk perjanjian seperti itu sudah menjadi tradisi yang sudah sangat sering dilakukan. Petani penggarap dan pemilik lahan menyetujui tentang sistem bagi hasil dan dan ketika muncul permasalahan kedua belah pihak siap menanggung semua risiko bersama. Padahal dalam bermuamalah atau melakukan berbagai jenis perjanjian kerjasama yang dilakukan Allah Swt., selalu menganjurkan umatnya untuk

86 Dhody Ananta Rivandi dan Cucu Sholihah, Akad Pembiayaan Mukhabarah di Bank Syariah dalam Bentuk Akad Otentik, (Malang: Inteligensi Media, 2019), hlm, 91.

87 Ibuk Rafi’ah, petani penggarap, (wawancara), 15 mei 2022

63

menuliskannya sesuai dengan firman Allah Swt, dalam Surah Al- Baqarah ayat 282 yang berbunyi:





























Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang peneliti di antara kamu menuliskannya dengan benar”.88

Dalam melakukan perjanjian kerjasama seperti yang di tegaskan ayat di atas bahwa kerja sama itu harus dilakukan dengan cara tertulis, supaya tidak ada dari masing-masing pihak yang melakukan perjanjian kerjasama merasa dirugikan satu sama lain.

Dan apabila terjadi persoalan atau masalah di kemudian hari, perjanjian kerjasama tersebut tetap memiliki bukti yang nyata tentang kesepakatan pada saat akad berlangsung baik itu tentang bagi hasil, kurun waktu, sistem pembagian hasil maupun risiko siapa yang akan menanggung tidak hanya mengandalkan rasa saling percaya yang bisa saja salah satu pihak berkhianat.

3. Negosiasi perjanjian

Berkaitan dengan negosiasi dalam perjanjian kerjasama penggarapan sawah itu, pemilik lahan yang memberikan syarat- syarat atau isi perjanjian kepada petani penggarap mengenai pembagian hasil di bagi dua, kurun waktu. Diaman peneliti paparkan lagi seperti yang di ungkapan oleh pemilik lahan dan penggarap, yaitu:

a. Hak dan kewajiban

Setiap pihak yang melakukan akad perjanjian kerjasama penggarapan sawah masing-masing dari mereka memiliki hak dan kewajiban masing baik itu pemilik lahan

88 Q.S Al-Baqarah [2]: 282

64

dan penggarap. Seperti hasil wawancara yang peneliti lakukan:

“saya sebagai pemilik lahan sawah berhak memilih siapapun yang saya percaya untuk mengurus sawah saya, dan saya berhak juga menentukan waktu sampai kapan kerja sama ini akan berlangsung. Dan saya sebagai pemilik lahan juga berkewajiban untuk menyerahkan lahan pertanian saya kepada penggarap dalam keadaan kosong karena kita sudah sepakat melakukan kerja sama.” 89

“Walaupun saya sebagai petani penggarap, tetapi saya berhak menanam tanaman apapun yang saya mau, mau saya tanamin kacang-kacangan, jagung, padi, bahkan tomat sekalipun tidak masalah karena kita punya hak masing-masing. Dan saya sebagai petani juga mempunyai kewajiban memlihara tanaman yang saya tanam itu mulai dari menjaga pengairannya, memberinya pupuk, dan menjaga tanaman itu agar tetap sehat supaya tidak gagal panen.”90

Paparan di atas terkait dengan isi perjanjian atau syarat-syarat yang dilontarkan oleh pemilik lahan menurut peneliti itu sudah sesuai dengan syariat Islam. Dimana hak dan kewajiban masing-masing pihak yaitu:

1) Hak pemilik tanah

a) Menerima pembagian hasil yang jumlahnya sesuai dengan kesepakatan bagi hasil.

b) Menerima sawahnya kembali dalam keadaan baik.

2) Kewajiban pemilik lahan

a) Menyerahkan tanahnya kepada penggarap untuk di garap.

b) Wajib membayar pajak atas tanah pertaniannya.

3) Hak penggarap

a) Menerima pembagian hasil yang sesuai dengan kesepakatan bagi hasil.

89 Ibuk Muslehatun, Pemilik Lahan, (Wawancara), 14 Mei 2022

90 Bapak Solihin, penggarap, (Wawancara), 14 Mei 2022

65

b) Menerima penyerahan tanah dari pemilik lahan.

4) Kewajiban penggarap

a) Mengeluarkan biaya produksi yang meliputi, biaya benih, pupuk, mengairi dan merawat tanaman hingga panen.

b) Menyerahkan kembali tanah dalam keadaan baik. 91 b. Kurun waktu

Berdasarkan kurun waktu yang ditentukan oleh pemilik lahan untuk penggarap dalam melakukan perjanjian kerjasama penggarapan sawah lebih sering menggunakan sistem kurun waktu yang tidak bisa ditentukan di awal mengenai berapa bulan atau tahunnya. Pemilik lahan hanya menegaskan bahwa jika hasil panen kita mendapatkan keuntungan maka perjanjian kerjasama penggarapan sawah ini akan terus berlangsung, sebaliknya jika hasil panen mengalami kerugian maka pemilik lahan akan memutuskan kerjasama tersebut sampai satu kali panen saja. Seperti hasil wawancara bersama narasumber:

“Saya menyuruhnya untuk menggarap lahan sawah saya aja dulu, masalah rentan waktu atau batas waktu itu masalah belakang apabila nanti dalam kerjasama ini saya atau penggarap mendapatkan keuntungan maka waktu akan saya perpanjang agar penggarap bisa mengolah lahan saya, dan sebaliknya apabila hasil panen mendapat kerugian saya akan cukupkan kerjasama ini sampai satu kali panen saja.”92

Mengenai jangka kurun waktu perjanjian yang dilaksanakan oleh para pihak yang dilakukan di Desa Lantan Kecamatan Batukliang Utara tidak ditentukan seberapa lama harus dilaksanakan. Dalam pasal 4 ditentukan bahwa untuk tanah sawah sekurang-kurangnya lima tahun. Hal ini juga tidak sesuai dengan Undang- undang Nomor 2 Tahun 1960. Semua responden

91 Narsun Hareon, Fiqh Muamalah..., hlm. 292

92 Ibuk Mega, pemilik lahan, (wawancara), Desa Lantan Kecamatan Batukliang Utara,14 mei 2022

66

mengatakan hanya berdasarkan saling percaya antara kedua belah pihak, sehingga mengenai perjanjian bagi hasil tidak ditentukan seberapa lama perjanjian bagi hasil tersebut dilaksanakan oleh penggarap.

c. Bagi hasil

Terkait dengan bagi hasil yang dilakukan pemilik lahan dan penggarap dalam melakukan perjanjian kerjasama penggarapan sawah sebagaimana paparan data pada Bab II bahwa cara bagi hasilnya adalah dengan bagi hasil sama- sama mendapatkan 50% baik untuk penggarap maupun pemilik lahan. Bagi hasil dengan sistem bagi dua ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat Desa Lantan karena di anggap cara yang paling adil dalam membagi hasil. Akan tetapi masih saja ada yang melakukan pembagian hasil dengan cara tidak jujur Seperti hasil wawancara bersama pemilik lahan dan penggarap:

“Bagi hasil sama-sama mendapatkan setengah atau 50%:50% antara pemilik dan petani, dan sistem bagi hasil ini paling sering digunakan dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat disini”.93

Bagi hasil pertanian adalah hal yang paling ujung dalam kerjasama. Bagi hasil dalam penggarapan sawah diidentikan dengan mukhabarah, mukhabarah adalah bentuk pembagian hasil antara penggarap dan pemilik lahan yang sudah ditentukan persentasenya di awal akad.

Di dalam hukum Islam tidak dijelaskan secara rinci tentang persentase pembagian hasil pertanian, hanya saja disebutkan dalam bagi hasil panen harus sesuai dengan kesepakatan di awal akad. Adapun syarat dalam bagi hasil haruss jelas perentase yang di dapatkan antara pemilik lahan dan penggarap. Artinya hasil panen akan di bagi benar-benar hasil panen dari lahan pertanian yang menjadi objek kerjasama serta tidak boleh dikurangi sebelum

93 Bapak H. Padli, pemilik lahan, (wawancara), 15 mei 2022

67

pembagian berlangsung, serta tidak boleh ada penghususan terlebih dahulu oleh masing-masing pihak.

Dalam bagi hasil mukhabarah terdapat rukun-rukun yang menjadi pokok dari bagi hasil tersebut, yaitu : adanya pemilik lahan, adanya petani penggarap, adanya sawah atau ladang untuk di garap, adanya pembagian hasil, ijab dan kabul.94

d. Risiko

Selain menganalisis tentang hak dan kewajiban, kurun waktu dan bagi hasil yang dinegosiasikan oleh pemilik lahan terhadap penggarap, peneliti akan analisis terkait resiko dalam melakukan perjanjian kerjasama penggarapan sawah. Berdasarkan paparan data di atas risiko dalam melakukan perjanjian kerjasama penggarapan sawah ditanggung oleh kedua belah pihak yaitu pemilik lahan dan penggarap. Seperti yang di ungkapkan oleh:

“Kalau saya sebagai pemilik sawah, ketika penggarap mengalami kerugian pada saat panen, saya tetap ikut bertanggung jawab supaya penggarap tidak kecewa dan tidak kapok melakukan kerja sama dengan saya. Dan ketika pembagian hasil, tetap saya kasih lebih bagian penggarap soalnya dia capek dan banyak mengeluarkan modal, sedangkan saya Cuma menyiapkan fasilitas saja tempatnya bercocok tanam.”95

Risiko yang di maksud disini adalah apabila tanaman kurang subur dan terancam hama dan penggarap mengalami gagal panen, maka pemilik lahan juga akan ikut serta bertanggung jawab dan menanggung risiko tersebut. Petani penggarap juga harus siap menerima risiko sesuai dengan negosiasi kurun waktu yang sudah pemilik lahan sampaikan, apabila mengalami gagal panen maka kerjasama cukup sampai satu kali panen saja.

4. Sistem pembagian hasil

94 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah..., hlm. 15

95 Bapak Padli, Pemilik Lahan, (Wawancara), 15 Mei 2022

68

Sistem pembagian hasil yang di gunakan di di Desa Lantan adalah dengan sistem nandu. Nandu merupakan suatu bentuk perjanjian kerja sama bagi hasil pertanianan antara pemilik sawah dengan penggarap, dimana semua biaya produksi pertanian berasal dari penggarap/petani. Berdasarkan hasil penelitian di Desa Lantan hampir semua petani yang menggunakan sistem perjanjian kerjasama nandu ini. Seperti hasil wawancara peneliti bersama pemilik lahan atau penggarap:

“Sistem bagi hasil yang digunakan di sini dari dulu sampai sekarang adalah sistem bagi hasil ½ atau 50:50 atau yang sering disebut dengan sistem nandu, dan sudah di sepakati dalam perjanjian kerjasama bagi hasil dalam penggaraan sawah antara pemilik lahan dan penggarap. Dalam melakukan perjanjian kerjasama bagi hasil antara pemilik lahan dan penggarap tanpa adanya saksi lain yang menyaksikan dan dengan melalukannya secara lisan atau tidak tertulis, perjanjian kerjasama yanng dilakukan atas dasar rasa saling percaya sesama manusia. Sehingga dalam pembagian hasil petani dan pemilik melakukan bagi hasil setelah hasil panen terjual dan terkumpul semuanya.96

Istilah nandu dalam Hukum Ekonomi Syariah di sebut dengan Mukhabarah. Mukhabarah merupakan bentuk kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik sawah dan penggarap dengan perjanjian bagi hasil sesuai dengan perjanjian di awal, dimana pemilik lahan hanya memberikan lahan pertanian kepada penggarap dalam keadaan kosong kepada penggarap untuk ditanami dan dikelola.97

Dalam mukhabarah tanaman itu belum ada dan tanahnya masih kosong dan masih harus di garap, sedangkan bibitnya berasal dari penggarap. Para ulama membolehkan mukhabarah baik secara terpisah maupun bersamaan. Berdasarkan praktik yang dilakukan oleh Rasulullah dan sahabatnya yang biasa mereka lakukan dalam perjanjian kerjasama dengan menggunakan sistem Mukhabarah (bagi hasil dalam pertanian), karena dapat memberikan

96 Bapak Herman (pemilik lahan), Wawancara, 15 Mei 2022

97 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah..., hlm. 117

69

keuntungan bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan pertanian tetapi mempunyai tenaga dan waktu untuk menggarap lahan pertanian, begitu pula sebaliknya bagi pemilik lahan pertanian yang tidak memiliki waktu dan tenaga untuk menggarap lahan pertaniannya. Namun bagi hasil tetap di bagi sesuai dengan kesepakatan berama, dengan menanamkan rasa saling tolong- menolong sesama manusia, karena sama-sama mempunyai kebutuhan untuk bertahan hidup.98

Perjanjian kerjasama dalam sistem nandu ini juga kadang tidak sesuai dengan kesepakatan di awal pada saat pembagian hasil.

Seperti yang peneliti dapatkan melalui wawncara bersama Kepala Dusun Lantan Duren,yaitu:

“Saat pembagian hasil panen ½ atau 50:50 terjadi eksploitasi, persoalan, penipuan, ketidak sesuaian perjanjian di awal dalam melakukan pembagian hasil pertanian tersebut. Ibu Rohaini (pemilik lahan dan bapak munawir (penggarap), dimana perjanjian yang awalnya mereka sepakati pembagian hasil panen akan di bagi dua (1/2) antara pemilik awah dan penggarap dengan sama rata. Lalu, setelah hasil panen laku terjual oleh si penggarap dengan jumlah pendapatan Rp.

13.500.000 maka jika di bagi dua masing-masing akan mendapatkan Rp. 6.750.000. Namun disini terjadi eksploitasi atau penipuan dimana si penggarap menentukan sendiri bagiannya lebih awal tanpa sepengetahuan pemilik sawah dengan mengambil sejumlah Rp. 6.500.000 dengan alasan dia lebih banyak mengeluarkan modal dan tenaga. Pada saat pembagian hasil bersama pemilik sawah, penggarap hanya membawa sisa uang yang sudah dia ambil terlebih dahulu.

Kemudian penggarap memberitahukan kepada pemilik sawah bahwa pendapatan dari hasil panen berjumlah Rp. 7.000.000, lalu Rp. 7.000.000 tersebut akan di bagi dua antara pemilik sawah dan penggarap jadi masing-masing dari mereka mendapatkan sama-sama Rp. 3.500.000. “99

98 Sahroni Sohari, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 218

99 Bapak Adis, Kepala Dusun, (Wawancara), 4 Februari 2022

70

Pembagian hasil di Desa Lantan Kecamatan Batukliang Utara dilakukan dengan sistem mukhabarah yaitu hasil panen dibagi rata 50%:50%. Akan tetapi pada kenyataannya berbeda cara pembagiannya dimana penggarap mengambil bagian lebih dulu.

Dengan pembagian hasil seperti itu pemilik lahan tidak menerima pembagian hasil sesuai dengan kesepakatan karena alasan penggarap dia lebih banyak mengeluarkan modal dan lebih capek mengurus pertanian. Dengan adanya pembagian hasil seperti ini hak pemilik tanah untuk menerima pembagian hasil dari kesepakatan tidak terpenuhi, karena sudah dikurangi penggarap lebih dulu.

Peneliti menarik kesimpulan bahwa dalam praktik bagi hasil yang dilaukan salah satu masyarakat Desa Lantan secara hukum Islam belum sah karena pembagian hasilnya masih tidak sesuai dengan kesepakatan di awal. Dalam bermuamalah juga harus saling percaya dan adil satu sama lain, saling menguntungkan, tidak merugikan salah satu pihak. Tata cara pembagian hasilnya masih merugikan salah satu pihak dan tidak sesuai dengan perjanjian awal pada saat akad. Dalam melakukan perjanjian kerja sama dalam penggarapan sawah atau lahan pertanian harus sejalan dengan nilai- nilai dasar ekonomi islam, serta perlu adanya perlindungan hukum bagi para pihak yang melakukan perjanjian kerjasama penggarapan sawah.

Pemerintah juga telah mengeluarkan Undang-undang No. 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Kerjasama Bagi Hasil yang telah diberlakukan sejak tanggal 7 Januari 1960. Tujuan diberlakukannya peraturan Undang-undang tersebut adalah untuk melindungi golongan lemah terhadap praktik-praktik yang merugikan golongan lemah, agar pembagian hasil antara penggarap dan pemilik dilakukan atas dasar yang adil dan terciptanya kedudukan hukum yang layak bagi penggarap maupun pemilik lahan. Perarutan perundang-undangan di atas bertujuan agar terciptanya kepentingan masing-masing pihak, baik itu pemilik lahan maupun penggarap telah dikeluarkan keputusan bersama Mentri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 211/1980 dan Nomor 714/Kpts/Um/9/1980 yang menjelaskan tentang hak antara pemilik lahan dan penggarap untuk dilaksanakan oleh masing-masing pihak

71

agar tidak ada pihak yang dirugikan dengan adanya perjanjian kerjasama bagi hasil yang dilakukan.100Nilai dasar keadilan harus bisa ditanamkan pada diri setiap oang dalam melakukan kerjasama bagi hasil atau lainnya. Kerjasama dalam penggarapan sawah yang terjadi di Desa Lantan Kecamatan Batukliang Utara belum bisa mencerminkan rasa keadilan walaupun dalam pembagian hasil sudah di sepakati bersama di awal yaitu ½ atau 50:50 antara pemilik sawah dan penggarap. Dimana pemilik lahan merasa dirugikan dengan pembagian hasil yang seperti itu, penggarap juga tidak merasa bersalah sama sekali dengan membagi hasil panen yang tidak sesuai.

Nilai dasar keseimbangan juga harus tercermin pada setiap individu sebagai orang yang beriman. Dalam melakukan kerjasama bagi hasil penggarapan sawah atau kerjasama dalam bidang apapun harus lah dilandasi dengan adil dan seimbang tidak berat sebelah, salah satu pihak tidak merasa dirugikan. Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:















Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (QS.Ar-Rahman: 9)101 Agama Islam memerintahkan kepada manusia agar bekerjasama dalam segala hal yang positif agar tidak merugikan mahluk yang lainnya. Demi tegaknya keadilan Allah telah meletakkan “mizan” yaitu suatu timbangan akurat yang paling objektif, siapapun tidak boleh melanggarnya.

Prinsip ekonomi Islam yang kuat belum cukup untuk mencapai kerjasama yang sukses atau yang tidak merugikan salah satu pihak tanpa di dasari dengan akhlak dan perilaku yang baik dan jujur.102 Petani penggarap dengan pemilik lahan pertanian haruslah

100 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah..., hlm. 138.

101 QS. Ar-Rahman (55): 9.

102 Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: BPFE, 2004), hlm. 95

72

mencontoh perilaku Rasulullah dan sahabatnya, karena baik buruk perilaku pemilik lahan dan petani penggarap akan menentukan kesuksesan dan kegagalan dalam melakukan perjanjian kerjasama.

B. Analisis Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak dalam

Dalam dokumen perlindungan hukum bagi para pihak dalam (Halaman 73-85)

Dokumen terkait