PROFIL TAUFIQ ISMAIL
A. Analisis Unsur Intrinsik Puisi sajadah panjang
50
Gaya bahasa yang digunakan pada puisi ini cenderung bersifat naratif. Tipografi puisi inipun bersifat konvensional, artinya tidak ada penyimpangan dari tipografi puisi pada umumnya. Pada baris pertama
“ada sajadah panjang terbentang” jelas menyatakan imaji visual, pembaca dibawa untuk seolah-olah melihat langsung dunia yang dianalogikan sebagai sebuah sajadah yang panjang dan terbentang luas.
Pada penggalan kata “panjang”dan “terbentang”,kita bisa perhatikan kedua kata tersebut tidak memiliki makna yang sama, sebab masing- masing kata mempunyai nuansa makna yang berlainan, namun mempunyai kemiripan makna parsial yang merujuk ke referen luas. Secara fungsi puitis, kedua kata tersebut saling bertaut, sebab kata “panjang”
memberikan penekanan makna pada kata “terbentang”. Selanjutnya pada larik kedua sampai keempat, penyair mengkongkretkan gambaran waktu dalam pikiran pembaca, ia menggunakan pengimajian visual berupa ungkapan /darikaki buaian/sampai ke tepi kuburan hamba/kuburan hamba bila mati/. Dengan kata yang semakin konkret pembaca diberikan daya bayang berupa imaji visual, agar terlihat jelas keadaan waktu dimulainya kewajiban seorang manusia sebagai hamba terhadap Tuhannya, yakni sejak manusia dilahirkan sampai manusia itu meninggal dunia.
Paduan bunyi pada bait ini adalah pada larik pertama /ada sajadah panjang terbentang/ rima bunyi (a) terlihat jelas pada kata /ada sajadah panjang terbentang/ dikarenakan disetiap kata memiliki huruf vokal (a) dan paduan bunyi [ng] pada kata “panjang “ dan [ng] pada kata
“terbentang”. Lalu pada larik kedua asonansi vokal (a) dan (i) pada kata /dari kaki buaian/.Lalu pada larik selanjutnya asonasi vokal (a) pada kata sampai dan kuburan dan hamba dan vokal (i) pada kata sampai dan tepi.
Lalu pada larik terakhir didominasi asonansi bunyi vokal (a) kuburan hamba bila mati sementara asonansi vokal (i) yang ditujukan sebagai asonansi vokal penutup di bait pertama, pada dua kata saja yakni pada kata bila dan mati.
Bait II
Ada sajadah panjang terbentang Hamba tunduk dan sujud Diatas sajadah yang panjang ini
Lalu paduan bunyi pada bait kedua terdapat pengulangan larik“ada sajadah panjang terbentang”. Seperti pada bait pertama larik pertama di atas, yang menyatakan makna parsial yang merujuk ke referen luas. Dan pada larik kedua “hamba tunduk dan sujud”terdapat asonansi bunyi vokal (u) pada kata tunduk dan sujud. Taufiq sangat cermat mempertimbangkan antara makna, komposisi bunyi, rima dan iramanya.
Kecermatan dalam pemilihan diksi inilah yang membuat puisi Sajadah Panjang mengandung unsur musikalitas karena dapat mengenai berbagai aspek estetik karya sastra.
Pada bait ini hubungan antarlarik bisa menjadi kalimat yang utuh, yang terkesan tidak adanya penyimpangan semantis seperti pada puisi umumnya, sehingga gaya bahasa yang tersirat seperti gaya bahasa naratif.
Dimulai pada larik kedua hamba tunduk dan sujud/diatas sajadah yang panjang ini/, kata hamba sebagai subjek tunduk dan sujud sebagai predikat, diatas sajadah sebagai objek, dan yang panjang ini sebagai keterangan sehingga menjadikannya kalimat yang utuh berpola S-P-O-K.
Pada bait ini“ada sajadah panjang terbentang”, terdapat pengulangan larik seperti bait pertama yang menyatakan imaji visual, sementara pada larik kedua si tokoh hamba diceritakan sebagai seorang hamba yang sangat patuh dan berserah diri kepada tuhannya, seperti yang terdapat pada larik /hamba tunduk dan sujud/. Pada penggalan kata “tunduk’’ dan
“sujud” penyair menyimbolkan kedua kata tersebut sebagai simbol kepatuhan dan kepasrahan hamba pada penciptanya. Selain itu kedua kata tersebut juga mewakili identitas yang menjadi ciri dari puisi ini, yaitu
“Sholat”yang merupakan metafor dari kata “sajadah panjang”. Sementara
itu ibadah sholat juga menjadi simbol yang kental dari semua ibadah, karena ibadah sholat sendiri memang menjadi muara dari semua ibadah.
Apabila ibadah sholat seorang manusia itu bagus maka akan bagus pula amal ibadahnya yang lain.
Sementara pada bait diatas sajadah yang panjang ini, penyair memaknai kata “sajadah” yang sejatinya dianalogikan sebagai “dunia”, dunia tempat manusia hidup dan berkembang biak. Sepanjang apa dunia, seluas apa dunia, maka seluas itulah sajadah kita. Kata sajadah dianalogikan sebagai dunia. Kata sajadah pun selalu erat kaitannya dengan ibadah sholat. Di sini sisi dakwah penyair di samping sebagai pengarang, terlihat jelas dengan nada puisinya yang mengajak pembacanya untuk selalu beribadah terutama sholat. Sholat menjadi pokok bahasan dalam puisi ini. Betapa pentingnya sholat dan apa jadinya manusia jika tidak sholat. Penyair memandang hidup manusia di dunia ini memang hanya fokus untuk beribadah, bahkan menganggap aktivitas manusia di luar ibadah hanya sebagai interupsi. Seperti yang terdapat pada bait selanjutnya.
Bait III
Diselingi sekedar interupsi Mancari rezeki mencari ilmu Mengukur jalanan seharian Begitu terdengar suara azan Kembali tersungkur hamba
Di bait ketiga larik pertama “diselingi sekedar interupsi”, pemilihan diksi yang digunakan pada larik ini pada kata
“diselingi”terdapat paduan bunyi asonansi vokal (i) denganbunyi vokal (i) pada kata “interupsi”. Begitupun dengan bunyi (e) pada kata “selingi”
dan bunyi (e) pada kata “sekedar” dan bunyi (e) pada kata interupsi, yang sama-sama memberikan unsur musikalitas sebagai pendukung dari aspek
estetiknya. Kata “diselingi sekedar” yang bermakna penjedaan atau selingan yang hanya sebentar atau sekedarnya saja. Apa yang diselingi, yakni berupa sebuah “interupsi” kata yang dikiaskan yang juga bermakna pemotongan, penyelaan, dari kegiatan hidup yang pada hakekat sebenarnya pada puisi ini yakni ibadah.
Selanjutnya pada larik kedua yakni /mencari rezeki/, /mencari ilmu/, terdapat repetisi pada dua buah kata “mencari”. Pada larik kedua paduan bunyi aliterasi (m) terdapat pada kata “mencari”dan kata “ilmu”.
Fungsi repetisi tersebut menimbulkan efek ritmis, ketika puisi tersebut dibacakan bahkan ketika dimusikalisasikan. Lalu pada larik ketiga mengukur jalanan seharian asonansi vokal (a) pada kata jalanan dan seharian, lalu terdapat konsonansi (n) pada kata jalanan dan seharian yang juga menyatakan imaji visual. Pembaca diajak untuk seolah-olah melihat sebuah jalan yang amat panjang. Pada larik keempat penyair menyuguhkan imaji auditif pembaca seolah-olah mendengar suara adzan.
Lalu pada larik kelima kembali tersungkur hamba asonansi vokal (a) pada kata kembali dan hamba.
Pada larik inilah semua makna puisi ini bermuara yang menyatakan ketundukan, kepatuhan, dan kepasrahan seorang hamba kepada Tuhannya, yakni menyatakan bahwa dunia ini adalah sebuah sajadah atau ladang untuk beribadah sebagai bekal di akhirat. Tentunya dengan ibadah yang bermakna luas bukan hanya bentuk ibadah “sholat”
saja, terlepas dari kata sajadah yang menyimbolkan ibadah sholat. Tetapi, kata ”sajadah panjang” di sini dianalogikan sebagai dunia atau ladang sebagai bekal akhirat, yang juga bermakna bahwa masih banyak bentuk ibadah yang perlu dilakukan manusia di dunia ini. Pada bait inipun pembaca diingatkan dengan bahwa selain manusia hidup hanya untuk beribadah, akan tetapi, manusia juga tidak terlepas dengan kebutuhan hidup di dunia, manusia juga perlu akan rezeki dari tuhannya yang bisa berarti rezeki pada umumnya, juga rezeki berupa ilmu. Rezeki kata yang
dikiaskan menyimbolkan sebagai alat untuk bisa bertahan hidup di dunia.
Tetapi pada akhirnya inti dari kehidupan di dunia kembali lagi kepada Tuhan. Mencari rezeki, ilmu,dan lain sebagainya hanya sebuah interupsi dari ibadah. Puisi ini kental dengan nasihat dan pelajaran hidup Karena Taufiq sendiri menyatakan bahwa semua puisinya adalah zikir dan sebuah media untuk berdakwah.1
Bait IV
Ada sajadah panjang terbentang Hamba tunduk dan rukuk
Hamba sujud dan tak lepas dikening hamba Mengingat dikau
Sepenuhnya.
Selanjutnya pada bait ke empat, larik“ada sajadah panjang terbentang” kembali diulangi sebagai eksistensi yang menyatakan kata sifat “luas” yakni luasnya tempat untuk beribadah. Hal ini dimaksudkan agar pembaca dibawa mengingat kembali antara keselarasan dari judul puisi ini. Lalu pada aspek bunyi sama seperti lari-larik sebelumnya yang juga terdapat asonansi (a) pada larik “ada sajadah panjang terbentang”.
Pada larik selanjutnya “hamba tunduk dan rukuk”asonansi bunyi vokal (u) pada kata “tunduk” dan “rukuk” berbeda dengan larik kedua di bait kedua, yang menggunakan kata sujud. Lalu peranannya digantikan dengan kata rukuk pada larik kedua di bait kelima ini. Kedua kata tersebut saling bertaut karena keduanya merupakan bagian dari rukun sholat. Lalu pada kata rukuk dan sujud selain sebagai bentuk simbol akan kepatuhan, ketundukan, ketulusan dan berserah diri kepada Tuhan. Kedua kata tersebut juga memiliki unsur filosofis dari sisi religiusnya.
1Marwan Saridjo, Sastra dan Agama, (Jakarta: Permadani, 2006), h.140
Tabel 1
Tabel imaji penglihatan puisi Sajadah Panjang
Bait Baris Imaji Penglihatan
I 1 Panjang terbentang
2 Tepi kuburan
3 Kuburan hamba
II 1 Panjang terbentang
2 Sajadah yang panjang
IV 1 Panjang terbentang
Tabel II
Tabel Imaji pendengaran puisi sajadah panjang
Bait Baris Imaji Pendengaran
III 4 Terdengar suara azan
Tabel III
Tabel Imaji taktil atau raba puisi Sajadah Panjang Bait Baris Imaji taktil atau raba
II 2 Tunduk dan sujud
5 Tersungkur
IV 3 Sujud dan tak lepas kening
Tabel IV
Tabel kata kongkret puisi Sajadah Panjang
Bait Baris Kata kongkret
I 1 Panjang terbentang
2 Kaki buaian
3 Tepi kuburan
II 1 Panjang terbentang
3 Panjang
III 1 Diselingi
2 Rezeki dan ilmu
3 Jalanan
4 Suara azan
IV 1 Sajadah
Tabel V
Tabel Kata Abstrak Puisi Sajadah Panjang
Bait Baris Kata Abstrak
I 4 Mati
II 2 Tunduk dan sujud
III 1 Diselingi dan interupsi
2 Mencari
3 Mengukur dan seharian
5 Tersungkur
IV 2 Rukuk
4 Mengingat dikau
A. Analisisis Unsur Intrinsik Puisi Sembilan Bait Nyanyian untuk Cheng Ho
Bait I
Di tepi jalan raya Dongfeng Donglu, aku bertanya pada sejuta sepeda Yang bergulir lalu, mereka sibuk mengukir nasib bersama Seraya mengepulkan anyaman debu,
Sembilan bait nyanyian untuk Cheng Ho sebuah puisi yang bertemakan ketuhanan. Puisi ini memiliki tujuh bait dan dua puluh empat baris, merupakan sebuah puisi naratif jenis balada, dimana penyair ingin menceritakan tentang seorang tokoh yang dipuja dan dikagumi. Pengertian ini selaras dengan pengertian Herman J. Waluyo dalam bukunya “Teori dan apresiasi puisi”, yang menyatakan
“balada termasuk sebuah genre puisi naratif yakni puisi yang berisi cerita tentang orang-orang perkasa, tokoh pujaan, atau orang-orang yang menjadi pusat perhatian”.2
Dalam puisi ini penyair sangat mengagumi seorang tokoh yang bernama Cheng Ho, seorang bahariawan muslim yang berasal dari Tiongkok, ia diutus oleh kaisar Zhu Di untuk mengemban misi dari negaranya tiongkok atau kerajaan Dinasti Ming pada masa silam.
Ditugaskan untuk menjalin hubungan bilateral antar negara di Asia Tenggara, dalam memajukan perniagaan antara Tiongkok dan negara- negara tersebut. Selain mengemban misi tersebut, Cheng Ho juga mempunyai misi pribadinya yakni menyebarkan agama Islam dalam perjalanan muhibahnya. Hal tersebut menegaskan bahwa pelayaran Cheng Ho bukan bermaksud untuk ekspansi atau agresi. Berbeda dengan maksud pelayaran beberapa bahariawan Eropa yang terkenal, yang sebenarnya sebagai perintis jalan usaha untuk kolonialisasi negerinya. Armada Cheng Ho tak pernah menduduki sejengkal tanah pun dari negeri asing kunjungan Cheng Ho dan awak kapalnya senantiasa mendapat sambutan yang hangat
2Herman J.Waluyo,Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Erlangga,1987), cet I, h.135
dari berbagai negeri.3 Hal inilah yang membuat kagum penyair pada tokoh tersebut, sehingga melatarbelakangi diciptakannya puisi berjudul Sembilan bait nyanyian untuk Cheng Ho Karya Taufiq Ismail, kekaguman tersebut menegaskan bahwa lewat sejarah Cheng Ho segala bentuk nilai edukasi dapat tersampaikan dengan baik untuk pembacanya khususnya dari sisi religiositasnya.
Pada larik pertama eksistensi tokoh aku pada puisi di atas menyuguhkan imaji visual yang berfungsi memberikan gambaran hiruk- pikuk kota Dongfeng dan Dong lu sehingga mengajak kita seolah-olah pergi bersamanya untuk melihat dua buah kota di negeri tokoh pujaanya Cheng Ho, untuk menceritakan tentang perjalanan spiritualnya beziarah ke tempat kelahirannya. Tokoh aku dalam puisi ini seakan-akan tidak puas hanya mendengar kisah Cheng Ho dan ingin menggali lebih dalam lagi tentang asal usul Cheng Ho yang sebenarnya. Secara tidak langsung tokoh
"aku" ingin tahu siapa sebenarnya Cheng Ho dan bagaimana dia di negerinya, ini terbukti pada larik pertama /Di tepi jalan raya Dongfeng Donglu, aku bertanya pada sejuta sepeda /
Lalu pada larik kedua /Yang bergulir lalu, mereka sibuk mengukir nasib bersama/. Secara fungsi puitis larik kedua ini seakan-akan jawaban dari larik pertama di atas, kenyataannya jawaban masyarakat di sana, tentang pernyataan itu tidak tahu dan mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing, seolah-olah mereka acuh dengan pertanyaan si subjek aku tersebut. Seperti yang terdapat pada larik ketiga /Seraya mengepulkan anyaman debu/. Pemilihan diksi pada larik ketiga ini menarik, sehingga mengesankan pembacanya seolah-olah merasakan apa yang dirasakan si subjek yakni “diacuhkan”. Pada kata/Seraya mengepulkan anyaman debu/
kita bisa melihat penggunaan majas hiperbola oleh penyair, yang melebih- lebihkan bahwa dia (subjek aku) seolah-olah diusir oleh masyarakat
3 Prof. Kong Yuanzhi, Muslim TiongHoa Cheng Ho,(Jakarta: Pustaka Populer Obor,2000), hlm. Xviii.
Dongfeng dan Donglu. Dan masyarakat disana tidak peduli tentang pertanyaannya. Demikian halnya apabila ditinjau dari segi pragmatis kalimat tersebut yang secara tidak langsung memaknai akan ketidaksukaan masyarakat terhadap pertanyaan si tokoh aku.
Pada bait pertama ini timbul rasa kekecewaan si tokoh aku, dimana yang ia tahu tokoh pujaannya atau Cheng Ho merupakan orang yang berperan penting dalam dunia maritim dan jasa-jasanya sangat dihargai dan dikenang di negerinya. Sementara di negeri asal tokohnya sendiri Tiongkok dipandang biasa saja, bahkan tidak begitu dikenal.
Bait II
Pada empat arah mata angin kubaca senarai 1000 juta manusia, tapi Telapak tanganku hanya mampu menyentuh permukaan Samudera 5000 tahun sejarahmu, lalu aku bertanya-jawab Dengan tembikar tua bertuliskan kaligrafi biru,
Pada bait kedua kita secara tidak langsung diberitahu oleh penyair akan sikapnya terhadap pembaca (perasaan/feeling), yakni mengajak pembaca untuk larut bersama-sama mencari tahu sosok Cheng Ho lebih dekat lagi. Pada larik pertama penyair masih bergulat dengan rasa ingin tahunya yang seakan masih rancu, dan ingin menggali lebih dalam lagi informasi tentang tokoh pujaannya. Sepertinya seribu kisahpun tentang Cheng Ho yang dia dapatkan dari orang-orang, dianggap masih menggantung begitu saja dan rasa ketidakpuasan masih membelengu dalam benaknya. Karena yang ia tahu dari sejarah cheng Ho sangat terbatas, ibarat sebuah samudera pengetahuan penyair tentang Cheng Ho hanya menyentuh permukaannya saja belum seutuhnya ke dasar. Ini terbukti dengan penyair yang mengkongkretkan kalimatnya /Pada empat arah mata angin kubaca senarai 1000 juta manusia, tapi/ dan /Telapak
tanganku hanya mampu menyentuh permukaan/. Pada larik pertama kita bisa menemukan majas hiperbola pada kata 1000 juta, penyair seolah-olah telah bertanya kepada ratusan juta manusia namun rasa penasarannya masih belum tuntas. Selain gaya bahasa penyair juga menyuguhkan pengimajian berupa imaji taktil, yakni pada larik kedua /telapak tanganku hanya mampu menyentuh permukaan/ yang dapat dirasakan seolah-olah penyair mengajak pembaca dengan telapak tangan untuk sama-sama ikut menyentuh permukaan samudera, ada sebuah misteri yang ingin diketahui penyair tentang kisah Cheng Ho dan belum bisa terpecahkan. Oleh karena itu penyair mencoba mencari tahu dengan bukti- bukti sejarah yang bisa dijadikan acuannya.
Maka selanjutnya pada larik ketiga dan keempat subjek aku masih bergulat dengan rasa penasarannya dan ingin menggali informasi dari semua peninggalannya baik berupa benda atau apapun itu sebagai bukti untuk hal yang selama ini ia cari yang menitikberatkan persoalan tentang keislaman Cheng Ho. Seperti pada larik /Samudera 5000 tahun sejarahmu, lalu aku bertanya-jawab/ larik ini menyatakan kenyataan sejarah yang sudah terlampau sangat jauh sejak puisi ini dibuat yakni pada tahun 1994 dengan pertama kali Cheng Ho datang ke nusantara pada tahun 1406, untuk mengorek semua hal itu maka diperlukan adanya bukti otentik seperti benda-benda bersejarah agar misteri-misteri tersebut bisa terungkap. Lalu pada larik ke empat /Dengan tembikar tua bertuliskan kaligrafi biru,/ pada larik ini terdapat penggunaan majas personifikasi yang seolah-olah subjek aku sedang berdiskusi dengan tembikar tua. Juga penyuguhan imaji visual dengan penggunaan kata “biru” yang memberikan gambaran warna biru seperti yang terdapat pada kutipan “ kaligrafi biru” oleh penyair. Memang pada kenyataannya sekitar abad ke- 15 Tiongkok telah banyak mengekspor porselen bertuliskan bahasa Arab berisi makna keislaman, porselen-porselen itu terutama dibawa ke Asia Tenggara dan daerah Timur Tengah di mana di daerah-daerah tersebut
terdapat banyak masyarakat muslim. Meskipun isi atau arti dari tulisan kaligrafi itu tidak diungkapkan penyair, akan tetapi sesungguhnya menegaskan bahwa Cheng Ho merupakan seorang muslim. karena, kaligrafi secara pada umumnya berisi kata mutiara yang berupa nasihat atau hadits Nabi, bahkan firman Tuhan. Dari segi relegiusitas hal tersebut menegaskan bahwa misi utama pelayaran Cheng Ho merupakan dakwah selain menjalin hubungan bilateral antar negara.
Di Museum Jakarta telah dipamerkan banyak tembikar dari Tiongkok, khususnya alat porselen semasa Dinasti Ming seperti piring, mangkok, cangkir, teko, kendi,dulang, pedupaan, guci, dan sebagainya.
Ada yang bertuliskan ayat-ayat Al-Quran atau kalimat syahadat dalam huruf Arab. Para arkeolog berhasil menemukan banyak porselen masa Dinasti Ming di Indonesia.4
Kata “tembikar tua” pada puisi ini merupakan sebuah bentuk metafora dari bukti sejarah, sementara kaligrafi atau seni tulisan indah dengan aksara bahasa Arab, yang disimbolkan sebagai keyakinan yang dianut Cheng Ho. Dan Arab erat kaitannya dengan dunia Islam, selain itu (Mekkah) adalah tempat dimana agama Islam diturunkan. Hal ini menandakan peradaban Islam di negeri yang minoritas muslim atau Tiongkok memang benar adanya. Sekaligus satu bukti ini memperkuat bahwa cheng Ho memang seorang muslim, dan makhluk religius.
4 Ibid, h.220.
Bait III
Di depan musium berderet bunga sembilan warna, cuaca menjelang Musim gugur tapi yang kau tawarkan senantiasa musim bunga, Dan kini kau putar balik arlojiku lima abad jangkanya,
Pada larik pertama di bait ketiga penyair menyajikan imaji visual pada kata “ warna” memberikan penggambaran kepada pembacanya untuk seolah olah melihat langsung apa yang dilihat penyair tentang bunga sembilan warna yang berderet di musium, seperti pada larik /Di depan musium berderet bunga sembilan warna, cuaca menjelang/ larik ini menandakan bahwa penyair masih ingin menguak semua misteri tentang Cheng Ho. Sehingga setelah pembaca diajak melihat subjek aku berdiskusi dengan tembikar tua seperti di bait kedua di atas, kali ini pembaca diajak melihat ke sebuah musium di Tiongkok. Ketika mendengar kata
“museum” yang terbayang oleh kita selaku pembaca adalah tentang sebuah tempat di mana bukti bukti sejarah disimpan. Hal ini berarti subjek aku dalam puisi ini masih belum berhenti mencari tahu tentang sejarah Cheng Ho. Tokoh aku seolah-olah pergi ke museum untuk melihat bukti bukti sejarah tokoh pujaannya. Penulis memaknai bunga sembilan warna dalam larik ini sebagai sesaji yang dihantar masyarakat sekitar sebagai simbol penghormatan atas jasa-jasa leluhur, walaupun yang ada dalam museum hanya benda-benda bersejarah, tetapi dalam budaya dan tradisi Cina, memang semua hal yang berkaitan pada diri seorang manusia itu mewakili dan mengidentitaskan manusia tersebut atau leluhurnya.
Lalu pada larik kedua /musim gugur tapi yang kau tawarkan senantiasa musim bunga,/. Pada awal larik ini terdapat frase yang merupakan sambungan dari frase di larik pertama di atas, frase /cuaca menjelang/. Apabila frase tersebut disambung dengan frase berikutnya maka akan menjadi sebuah kalimat yang utuh “cuaca menjelang musim
gugur tetapi yang kau tawarkan senantiasa musim bunga”. Kata cuaca menjelang dilarik pertama yang merupakan sambungan di larik kedua dalam puisi ini, dimaksudkan untuk mengkongkretan gambaran waktu atau keadaan Nusantara pada waktu itu sekitar abad ke 15., sebuah era dimana bahariawan-bahariawan diutus oleh negara-negara adidaya untuk melakukan ekspansi dan kolonialisasi di wilayah Asia, yang dimaknai sebagai “musim gugur” oleh penyair. Sementara kalimat penyangkalan yang dilakukan oleh penyair terdapat pada penggalan larik kedua /tapi yang kau tawarkan senantiasa musim bunga /. Pada larik kedua ini, dimaknai perbedaan maksud ekpedisi cheng Ho dengan ekspedisi eropa, yaitu sama sekali tidak ada niat ekspansi atau agresi untuk menduduki wilayah yang diinjaknya, berbanding terbalik dengan bahariawan Eropa pada waktu itu yang menjadikan maksud pelayarannya sebagai perintis kolonialisasi bangsanya.
Selanjutnya pada larik ketiga /Dan kini kau putar balik arlojiku lima abad jangkanya,/. Penyair menyimbolkan kata “arloji” sebagai sebuah bentuk simbolik dari “ keadaan waktu yang diputar balik”, mengenang kedatangan laksamana besar pada abad ke 15, sebuah keadaan yang rentang waktunya terlampauh jauh. Sesuai dengan diciptakannya puisi ini pada tahun 1994. Berkutat pada pemaknaan religiusitas, penulis memaknai larik ini merupakan wujud dari bentuk religiusitas dari sebuah rasa penghormatan penyair atas jasa-jasa Cheng Ho. yang terlampau sangat jauh keadaan waktunya, namun jasa-jasanya sebagai seorang laksamana yang berbudi sebagai suri tauladan hingga kini masih terkenang dan sampai kapanpun takkan pernah lekang oleh waktu.