• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ayat-Ayat Ahkâm dalam Al-Qur‟an

BAB II: PERSPEKTIF AYAT-AYAT AHKÂM

B. Ayat-Ayat Ahkâm dalam Al-Qur‟an

Khusus ayat-ayat hukum dalam Al-Qur‟an, ada beberapa sebutan yang umum digunakan. Istilah-istilah yang dimaksudkan ialah: ayat al- Ahkam (ayat-ayat hukum), ayat al-Fiqhiyyahh (ayat-ayat tentang fikih), ayat al-Qanuniyyah (ayat-ayat tentang peraturan perundang-undangan)

44 Thalab adalah tuntukan untuk melakukan dan atau meninggalkan sesuatu

45 Tahkhyîr adalah kebebasan memilih antara mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu

46 Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, h. 26-30

47 M. nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia dari kontestasi Metodologi hingga Kontekstualisasi, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014), h. 151

dan fiqh al-Kitab (fikih Al-Qur‟an). Juga lazim digunakan istilah ahkam al-Qur‟an (hukum-hukum Al-Qur‟an) yang maksudnya kurang lebih sama saja antara yang satu dan dengan yang lain, yakni merujuk kepada ayat-ayat Al-Qur‟an yang berisikan masalah hukum.48

Sebagian pakar „Ulumul Qur‟an menyebutkan jumlah ayat Al- Qur‟an sebanyak 6.666 ayat, yang isi kandungannya oleh Wahbah Zuhayli dirincikan sebagai berikut:49

1. Ayat-ayat tentang al-Amr (perintah) = 1.000 2. Ayat-ayat tentang al-Nahyu (larangan) = 1.000 3. Ayat-ayat tentang al-Wa‟du (janji baik) = 1.000 4. Ayat-ayat tentang al-Wa‟id (ancaman buruk) = 1.000

5. Ayat-ayat tentang kisah dan al-Ikhbar (kisah dan berita) = 1.000 6. Ayat-ayat tentang al-„Ibar dan al-Amtsal (ibarat dan perumpamaan)

= 1.000

7. Ayat-ayat tentang hukum halal dan haram/ibahah = 500 8. Ayat-ayat tentang doa = 100

9. Ayat-ayat tentang nasikh-mansukh = 66

Para ulama tidak ada kata sepakat mengenai jumlah ayat-ayat Ahkâm dalam Al-Qur‟an, hal itu tergantung kepada cara pandang mereka terhadap struktur dan kandungan ayat tersebut. Al-Ghazali, Al- Razi, dan Ibn Qudamah menyatakan bahwa ayat Ahkâm dalam Al- Qur‟an berjumlah 500 ayat, sementara Abdul Wahab Khallaf hanya menyebutkan 150 ayat saja.50

Al-Mubarak mengatakan bahwa ayat Ahkâm berjumlah sebanyak 900 ayat, bahkan Abu Yusuf menyebutnya sebanyak 1000 ayat. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut di atas, yang pasti para ulama sepakat

48 Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, h. 26

49 Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, h. 31

50 Syibli Syarjaya, Tafsir Ayat-Ayat Ahkâm, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 35

bahwa Al-Qur‟an adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam yang dalam implementasinya dibutuhkan suatu penafsiran.51

C. Tafsir Ayat-Ayat Ahkâm dalam berbagai Madzhab 1. Madzhab Hanafi

Abu Hanifah memiliki nama lengkap an-Nu‟man bin Tsabit bin Zauth bin Mah. Lahir di Kufah pada tahun 80 H pada zaman Dinasti Umayyah, ketika raja Abdul Malik bin Marwan memerintah. Ia diberi gelar “an-Nu‟man” yang berarti darah atau roh, agar menjadi generasi penerus kebaikan. Ayahnya merupakan tokoh ahli fikih dan tokoh masyarakat. Ia mendapat gelar “hanifah” (mu‟annats dari asal kata hanif) yang berarti ahli ibadah, karena ia senang dan condong terhadap agama kebenaran. Dalam riwayat lain gelar tersebut dikarenakan ia terus menerus membawa tinta (tinta dalam bahasa Iraq adalah hanifah).52

Al-Jassas dengan karyanya Ahkâm al-Qur‟an. Ia termasuk diantara buku tafsir fikih yang terkenal dimasanya, terutama dikalangan Hanafiyah. Nama lengkap pengarang tafsir ini adalah Ahmad ibn „Aliy Abu Bakr al-Raziy al-Jassas. Lahir di Baghdad tahun 305 H dan tutup usia tanggal 7 Zulhijjah tahun 370 H.53

Pengikut mazdhab Hanafi adalah Al-Jasshash, seorang ahli tafsir dan Ushul Fiqh terkenal pada masanya. Salah satu karyanya yang popular adalah kitab tafsir Ahkâm al-Qur‟an yang ia tulis

51 Syibli Syarjaya, Tafsir Ayat-Ayat Ahkâm, h. 35

52 M. Iqbal Juliansyahzen, “Pemikiran Hukum Islam Abu Hanifah: (Sebuah Kajian Sosio-Historis Seputar Hukum Keluarga)”, dalam Jurnal Al-Mazahib, Vol. 3, No. 1, Juni 2015, h. 75

53 Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkâm Al-Zuhailiy Dalam Al-Tafsir Al-Munir”, Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h. 86

merupakan akomodasi dari pendapat-pendapat hanafiyyah.54 Kitab ini menjadi referensi primer bagi pengkaji hukum Islam, khususnya madzhab Hanafi. Metode yang diterapkan al-Jassas adalah dengan menafsirkan ayat-ayat kemudian menjelaskannya dengan al- ma‟tsur.55

Pada setiap ayat yang bersinggungan dengan masalah hukum, al-Jassas mengemukakan masalah fikih yang menggiting problem khilafiah antar madzhab. Akibatkanya seperti tanggapan al-Qattan, pembaca akan merasakan sedang membaca buku fikih dan tidak merasamembaca tafsir.56

Al-Jashash memperlihatkan kefanatikannya terhadap mazdhab Hanafi, sehingga dalam menafsirkan ayat terkesan berpihak dan menopang madzhabnya. Kegigihannya makin jelas dalam menolak dan mematahkan pendapat madzhab lain. Karena bantahan yang keras terhadap lawan pendapatnya. Cara seperti ini, terlihat tidak adil dalam dunia akademis.57

Pendapat senada juga diungkapoleh al-Dzahabiy, bahwa al- Jassas dalam tafsirnya memperlihatkan fanatisme madzhab fikihnya kepada Hanafi, sehingga sering menggunakan bahasa-bahasa fulgar terhadap pendapat ataupun ulama yang berkelainan padam

54 Budy Prestiawan, “Menikahi Orang Musyrik Perspektif Al-Jashash dan Al- Qurtubi: (Analisa terhadap Surat Al-Baqarah 221 dalam Tafsir Ahkam al-Qur‟an dan Al- Jami‟ Li Ahkam Al-Qur‟an)”, Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014, h. 17

55 Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkâm Al-Zuhailiy Dalam Al-Tafsir Al-Munir”, h.

86

56 Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkâm Al-Zuhailiy Dalam Al-Tafsir Al-Munir”, h.

86

57 Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkâm Al-Zuhailiy Dalam Al-Tafsir Al-Munir”, h.

87

dengannya. Selain itu, al-Jassas terlihat kecenderungannya kepada aliran muktazilah.58

Tafsir Madzhab Hanafi antara lain:59

a. Ahkam al-Qur‟an, Oleh Ali ibn Hajar Sa‟di al-Azdi al- Thahawisani (Wafat 244 H)

b. Ayat al-Ahakam oleh Ali ibn Musa (350 H)

c. Ahkam al-Qur‟an, Oleh Ahmad ibn Muhammad al-Azdi al- Thahawi al-Misri (370 H)

d. Syahr Ahkam Al-Qur‟an, oleh Ahmad ibn Muhammad al-Razi alJashshash (370 H)

e. Mukhtashar Ahkam al-Qur‟an Oleh Makki ibn Abi Thalib al- Qaysi alQayrwani (437 H)

f. Anwar al-Qur‟an fi Ahkam al-Qur‟an oleh Muhammad Kafi ibn Hasan al-Basandi al-Iqhishari (1025 H)

g. Anwar al-Qur‟an fi Ahkam al-Qur‟an Oleh Muhammad Syams al-Din al-Harawi al-Bukhari (1119)

h. Ahkam al-Qur‟an Oleh Ismail Haqqi (1127 H) 2. Madzhab Maliki

Imam Malik adalah imam yang kedua dari Imam-imam empat serangkai dalam Islam dari segi umur. Ia dilahirkan di kota Madinah, suatu daerah di negeri Hijaz tahun 93 H/713 M, dan wafat pada hari ahad 10 Rabi‟ul Awal 179 H/ 798 M di Madinah. Imam Malik wafat pada masa pemerintahan Abbasiyah di bawah kekuasaaan Harun Ar-Rasyid. Nama lengkap Imam Malik adalah

58 Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkâm Al-Zuhailiy Dalam Al-Tafsir Al-Munir”, h.

87

59 Muhammad Saiyid Mahadhir, Pengantar Tafsir Fiqih, http://www.rumahfiqih.com/z-76-Pengantar-tafsir-fiqih.html, diakses pada tanggal 8 Juli 2019 hari senin pukul 11.12 WIB

Abu Abdillah Malik bin Anas As Syabahi Al Arabi bin Malik bin Abu „Amir bin Harits. 60

Beliau adalah keturunan bangsa Arab dusun Dzu Ashbah, Ashbah adalah salah satu kabilah di Yaman, dan dinisbahkan padanya karena salah satu kakeknya pindah ke Madinah dan menetap di sana. Kakeknya yang tertinggi Abu Amir adalah seorang sahabat yang agung dan mengikuti semua peperangan bersama Nabi kecuali perang Badar. Imam Malik adalah imam pendiri madzhab kedua dalam serangkaian madzhab empat. Imam Malik dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H (717 M) dan menuntut ilmu kepada ulama-ulama di sana. Beliau dilahirkan 13 tahun setelah kelahiran Imam Abu Hanifah.61

Qadi dari imam maliki adalah Ibn „Arabiy, Ia dilahirkan di Sevilla pada tahun 1076 M dan meninggal di Fez, Maroko pada 1148 M. Karya tafsirnya adalah Ahkâm al-Qur‟an oleh Muhammad al-Bajariy, Ahkâm al-Qur‟an merupakan kitab induk syari‟ah, bahasa dan tafsir. Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad ibn „Abd Allah Muhammad ibn „Abd Allah ibn Ahmad al-Mu‟afiriy al-Andalusiy al-Isybiliy (468-543 H). Ibn „Arabiy termasuk ulama kenamaan Andalusia dan bermadzhab maliki. Untuk itu, kitab tafsir ini menjadi referensi utama fikih Maliki.62

Menurut penilaian al-Qattan, Ibn „Arabiy adalah sosok mufassir Ahkâm yang agak objektif (mu‟tadil) dan tidak terlalu menonjolkan fanatisme madzhab. Selain itu, ia tidak membabi buta dan

60 Danu Aris Setiyanto, “Pemikiran Hukum Islam Imam Malik Bin Anas (Pendekatan Sejarah Sosial)”, dalam Jurnal al-Ahkam, Vol. 1, No. 2, 2016, h. 107

61 Abdurrohman Kasdi, “Menyelami Fiqih Madzhab Maliki (Karakteristik Pemikiran Imam Maliki dalam Memadukan Hadits dan Fiqih)”, dalam Jurnal Yudisia, Vol.

8, No. 2, Desember 2017, h. 316

62 Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkâm Al-Zuhailiy Dalam Al-Tafsir Al-Munir”,

h.87

emosional dalam menangkal pendapat madzhab yang berseberangan dengan madzhabnya meskipun tergelincir juga sehingga menampakkan diri malikiyahnya. Perhatian Ibn al-„Arabiy, Ibn Jarir al-Thabariy (224 H/839 M) adalah sumber inspirasi tafsir. Terbukti dengan lahirnya pakar hukum terkenal al-Qadiy Abu Ishaq.63

Pola kerja yang diterapkan oleh Ibn al-„Arabiy adalah dengan mengunkap setiap surah al-Qur‟an secara berurutan. Kemudian Ibn al-„Arabiy memilih ayat-ayat Ahkâm yang terdapat pada surahg tertentu. Pada tiap-tiap ayat Ahkâm Ibn al-„Arabiymemilahnya kepada beberapa masalah atau topic bahasan yang mungkin muncul dari pada ayat. Hal ini dimaksudkan agar lebih sistematis dan pembaca dengan mudah dapat memilih tema ayat Ahkâm yang ia cari.64

Ibn „Arabiy juga mengungkap pendapat ulama seputar ayat hukum mtersebut denga ringkas dan menjelaskan perbedaan pendapat dintara mereka. Dalam istinbat hukum, Ibn „Arabiy berlandaskan pada aspek bahasa, menghindari isroiliyyat, dan hadis da‟if.65

Tafsir Fiqhy Madzhab Maliki antara lain:66

a. Ahkam al-Qur‟an oleh Ahmad ibn Mudhal (240 H)

63 Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkâm Al-Zuhailiy Dalam Al-Tafsir Al-Munir”, h.

87-88

64 Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkâm Al-Zuhailiy Dalam Al-Tafsir Al-Munir”, h.

88

65 Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkâm Al-Zuhailiy Dalam Al-Tafsir Al-Munir”, h.

88

66 Muhammad Saiyid Mahadhir, Pengantar Tafsir Fiqih, http://www.rumahfiqih.com/z-76-Pengantar-tafsir-fiqih.html, diakses pada tanggal 8 Juli 2019 hari senin pukul 11.12 WIB

b. Ahkam al-Qur‟an oleh Muhammad ibn Abdullah (Ibn Hakam) (268 H)

c. Ayat Ahkam oleh Ismail ibn Ishaq al-Azdi (282 H)

d. Ayat al-Ahkam oleh al-Qhasim ibn Ashbag al-Qurthuby al- Andalusy (304H)

e. Ahkam al-Qur‟an oleh Muhammad Tamimi (305) f. Ahkam al-Qur‟an oleh Musa ibn al-Abdur Rahman (306) 3. Madzhab Syafi’iy

Imam Syafi‟iy (w. 204 H) dengan karyanya Ahkâm al-Qur‟an.

Karya ini disusun dari tulisan-tulisan Imam al-Syafi‟iy. Nama lengkap Imam Syafi‟I adalah Abu „abd Allah Muhammad ibn Idris al-Syafi‟iy.67 Karya ini dikumpulkan oleh Imam al-Baihaqiy (w.

458 H) (pengarang kitab al-Sunan al-Kubra). Imam al-Baihaqiy adalah Abu Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn „Aliy ibn „Abd Allah Ibn Musa al-Baihaqiy al-Naisabury.68

Ahkâm al-Qur‟an karya al-Syafi‟iy ini, bebeda dengan beberapa tafsir Ahkâm lainnya, baik dari segi methodology penulisan, maupun kandungan isi. Dari segi penulisan, Ahkâm al- Qur‟an ditulis berdasarkan metode riwayah dan dirayah. Dengan kata lain, sebagian pendapat dan tafsir Imam al-Syafi‟I isajikan dengan mencantumkan sanad lengkap hingga Imam al-Baihaqiy.

Sebagian lagi disajikan dengan mencantumkan pendapat Imam al- Syafi‟iy dengan ungkapan qala al-Syafi‟iy atau qala al-Syaikh.69

67 Imam Syafi‟I, di susun oleh Imam Baihaqi, terjemah oleh Baihaqi Safiuddin,

Hukum Alk-Qur‟an, (Surabaya: PT. Bungkul Indah, Tt), h. 15

68 Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkâm Al-Zuhailiy Dalam Al-Tafsir Al-Munir”, h.

85

69 Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkâm Al-Zuhailiy Dalam Al-Tafsir Al-Munir”, h.

85-86

Dalam penyusunan bab, al-Baihaqiy menyusunnya berdasarkan beberapa fasl. Tema-tema yang terdapat dalam fasl tersebut berdasarkan tema-tema fikih. Dapat dikatakan bahwa metode yang diterapkan adalah metode tafsir ahkâm tematis. Karena semua ayat yang dikutip berdasarkan tema yang sedang dibahas. Metode yang di terapkan oleh Imam al-Syafi‟i ini, menggambarkan spesifikasinya sebagai seorang mujtahid70. Adapun jalur sanad yang terdapat padanya tak lain merupakan ketelitian Imam al-Baihaqiy sebagai seorang muhaddits71.72

Tafsir Fiqhy Madzhab Syafi‟i antara lain:73

a. Ahkam al-Qur‟an oleh Al-Kiya al-Haras (Abab 6 H)

b. Al-Qaul al-Wajiz fi Ahkam al-Kitab al-Aziz oleh Syihabuddin al-Halabi

c. Ahkam al-Kitab al-Mubin oleh Abdullah Mahmud al-Syanfaki (abad 9 H)

d. Iklil fi Istinbath al-Tanzil oleh Jalaluddin al-Syuyuthy (abad 10 H)

e. Ahkam al-Qur‟an oleh Muhammad ibn Idris al-Syafi‟I (204 H) f. Ahkam al-Qur‟an Oleh Ibrahim ibn Khalid (Abu Tur al-Kalbi)

70 Mujtahid menurut bahasa ialah asal dari kata jahada ذٙع, yang bermakna sungguh-sungguh, sedangkan mujtahid ذٙزغِ dari kata isim fa‟il yang bermakna orang yang bersunggguh-sungguh. Ijtihad ذٙزعا pada asalnya adalah mengerahkan seluruh kemampuan dalam menuntut atau mengistimbatkan hukum untuk satu tujuan. Secara istilah mujtahid adalah seseorang yang memiliki kemampuan ijtihad atau istinbath hukum-hukum syariat.

71 Muhaddits adalah orang yang bergelut dalam ilmu hadits, baik dari sisi riwayat maupun dirayah, mengetahui banyak riwayat dan kondisi para perawinya.

72 Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkâm Al-Zuhailiy Dalam Al-Tafsir Al-Munir”, h.

86

73 Muhammad Saiyid Mahadhir, Pengantar Tafsir Fiqih, http://www.rumahfiqih.com/z-76-Pengantar-tafsir-fiqih.html, diakses pada tanggal 8 Juli 2019 hari senin pukul 11.12 WIB

4. Madzhab Hanbali

Ahmad bin hanbal bin Hilal bin Asad al-Marzaw al-Baghdadi lahir di Marwa kota dekat Baghdad Iraq pada tahun 164 H. Sejak usia 15 tahun beliau telah hafal al-Qur‟ân dan mendalami berbagai ilmu. Ia merantau ke Syam, Hijaz dan Yaman terkenal dengan ke shalehan dan kezuhudannya. Imam Ahmad berguru dengan sejumlah ulama terkemuka diantaranya Imam Syâfi‟î, Wakî‟ bin Jarrâh, dan Sufyan bin „Uyainah. Imam Syâfi‟î memuji Imam Ahmad: “Setelah saya keluar dari Baghdad, tidak ada orang yang saya tinggalkan yang lebih terpuji, lebih shaleh dan yang lebih berilmu daripada Ahmad bin Hanbal”.74

Mengenai penulisan mazhab Hanbali tidak ditulis langsung oleh Imam Ahmad bin Hanbal bahkan ia tidak suka jika ada yang menulis pendapat dan fatwanya kalaupun ada hanya berupa catatan kecil khusus untuknya yang memuat beberapa masalah fiqh. Karena itu, kalangan yang berjasa menuliskan mazhab Imam Hanbal adalah murid-muridnya. Merekalah yang mengumpulkan pendapat dan fatwa sang imam lalu menyusunnya sesuai dengan urutan bab fiqh.75

Adapun orang pertama yang menyebarkan Mazhab Imam Hanbali adalah putranya yang bernama Shalih bin Ahmad bin Hanbal (w.290 H). Beliaulah yang menyebabkan mazhab ayahnya dengan cara mengirimkan surat kepada orang yang bertanya dengan jawaban yang pernah disampaikan oleh ayahnya. Putra Imam Ahmad bin Hanbal yang lain yang bernama Abdullah bin Ahmad

74 Ardiansyah, “Pengaruh Mazhab Hanbali dan Pemikiran Ibnu Taimiyah Dalam Paham Salafi”, dalam Jurnal Analytica Islamica, Vol. 2, No. 2, 2013, h. 249

75 Mawardi Djalaluddin, “Unsur Kemoderenan Dalam Mazhab Ibnu Hanbal”, dalam jurnal al-Daulati, Vol. 6, No. 1, Juni 2017, h. 21

(w. 266 H) juga melakukan hal yang sama dengan mengumpukan kitab al-Musnad dan menyusunnya serta menukilkannya fiqh sang ayah.76

Murid Imam Ahmad bin Hanbal yang giat menulis mazhab dan menyebarkannya antara lain Abu Bakr al-Asy‟ram, Abdul Malik al- Maimun dan Abu Bakr al-Mawaruzi serta Umar bin Ali bin Husain al-Hazmi (w. 234 H) yang menulis Kitab Monumental al-Mukhtasar al-Khiraqi yang lebih lanjut disyarahi oleh Ibnu Qudamah menjadi kitab al-Mughni.77

Setelah mereka datanglah dua imam besar yang mengklasifikasikan diri pada mazhab Imam Hanbali, yaitu Ahmad Taqiyuddin ibnu Taimiyyah (w.728 H) dan Ibnu Qayyim al- Jauziyyah (w.751 H).Keduanya dikenal sebagai orang yang menisbatkan diri pada Mazhab Hanbali.78

Diantara Tafsir Fiqh Madzhab Hanbali antara lain:79 a. Ayat al-Ahkma oleh Qhadi Abu Ya‟la al-Kabir (458 H) b. Ayat al-Ahkam oleh Abu Bakar al-Dimasyqi al-Razi (751)

76 Mawardi Djalaluddin, “Unsur Kemoderenan Dalam Mazhab Ibnu Hanbal”,

dalam jurnal al-Daulati, Vol. 6, No. 1, Juni 2017, h. 21

77 Mawardi Djalaluddin, “Unsur Kemoderenan Dalam Mazhab Ibnu Hanbal”, h. 21

78 Mawardi Djalaluddin, “Unsur Kemoderenan Dalam Mazhab Ibnu Hanbal”, h. 21

79 Muhammad Saiyid Mahadhir, Pengantar Tafsir Fiqih, http://www.rumahfiqih.com/z-76-Pengantar-tafsir-fiqih.html, diakses pada tanggal 8 Juli 2019 hari senin pukul 11.12 WIB

35 BAB III

GAMBARAN UMUM KITAB TAFSÎR FAIDH AR-RAHMÂN A. Biografi Pengarang

Pengarang kitab Tafsîr Faidh ar-Rahmân adalah KH. Sholeh Darat.

Nama lengkapnya adalah Muhammad Sholeh bin Umar al-Samârânî, atau lebih dikenal dengan sebutan Kiai Sholeh Darat. Ada dua alasan kenapa dipanggil “Kiai Sholeh Darat”. Pertama, sesuai dengan akhir surat yang ia tujukan kepada penghulu Tafsir Anom dan penghulu Keraton Surakarta, yaitu “Al-Haqir Muhammad Sholeh Darat” dan juga menulis nama “Muhamad Salih ibn „Umar Darat Semarang” ketika menyebut nama-nama gurunya dalam Kitab al-Mursyid al-Wajîz.

Kedua,sebutan “Darat” dibelakang namanya, karena ia tinggal di suatu kawasan bernama “Darat”, yaitu suatu kawasan dekat pantai utara semarang tempat mendarat orang-orang yang datang dari luar jawa.

Adanya laqab (penambahan) ini, memang sudah menjadi tradisi atau cerita khas dari orang-orang yang terkenal di masyarakatnya pada masa itu.80

KH. Muhammad Sholeh Darat, lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara Jawa Tengah sekitar tahun 1820 M/1235 H.81 sedangkan beliau wafat pada hari Jum‟at Legi tanggal 29 Ramadhan tahun 1321 H/ 18 Desember 1903 M, dengan demikian umur beliau kira-kira 86 tahun.82 Beliau dimakamkan di pemakaman umum

80 Anonim, “Biografi KH. Sholeh Darat” dalam Sholeh Darat, Syarah al-Hikam terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, (Depok: Sahifa Publishing, 2016), h. xxv

81Abdul Mustaqim, Epistimologi Khazanah Tafsir Jawa Studi Kritis atas Tafsir Faidl al-Rahmân Karya KH. Shaleh Darat, Ringkasan Riset, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2015/2016), h. 18

82 Abdul Mustaqim, Tafsir Jawa eksposisi Nalar Shufi-Isyâri Kiai Sholeh Darat kajian atas Surat al-Fatihah dalm Kitab Faidl al-Rahmân, (Yogyakarta: IDEA Press, 2018), cet. I, h. 43

Bergota Semarang. Makamnya banyak di ziarahi orang, baik dari semarang dan sekitarnya,83 khususnya pada upacara khaul-nya.84

Muhammad Salih adalah putra Kiai „Umar, salah seorang pejuang dalam perang Jawa (1825 H/ 1830 M) yang dilakukanoleh Pangeran Diponegoro melawan klonial Belanda. Sejak kecil KH. Sholeh Darat mendapat tempaan pendidikan ilmu dan karakter dari ayahnya, seorang ulama dan mujahid yang sangat keras melawan penjajahan Belanda, sehingga darah anti kolonialisme sudah mengalir dalam dirinya sejak lahir dari garis keturunan ayahnya.85

Diusianya yang ke-5 tahun (1825 M), ia harus menyaksikan dengan mata kepalanya bagaimana peliknya perang, terlebih ayahnya merupakan seorang prajurit pangeran Diponegoro. Ketika perang Jawa sudah mulai redam (1830 M), usia Kiai Sholeh darat beranjak 10 tahun. Dari usia inilah kemungkinan ia mendapat gemblengan ajaran Islam secara Intensif dari ayahnya, Kiai Umar karena sudah tidak disibukkan dengan peperangan.86

83 Ghazali Munir, Warisan Intelektual Islam Jawa dalam Pemikiran Kalam Muhammad Shalih as-Samarani, (Semarang: Walisongo Prees, 2008), cet. I, h. 33

84 Khaul adalah peringatan satu tahun setelah kematian menurut Jamaluddin as- Suyuthi (1417 H/1996:208) diambil dari sebuah ungkapan yang diambil dari hadis Nabi saw

“Rasulullah saw setiap haul (setahun sekali) berziarah kemakam syuhada perang Uhud.

Ketika Nabi saw sampai disuatu tempat bernama Sya‟b beliau mengeraskan suaranya dan berseru: keselamatan bagimu atas kesabaranmu, alangkah baiknya tempatmu diakhirat.

Abu Bakar ra. Juga melakukan seperti itu. Demikian juga Umar bin Khattab ra. Dan Usman bin Affan ra.” (H.R. Baihaqi). Sedangkan dalam bahasa Arab kata haul semakna dengan sanah, yaitu tahun. Istilah itu sering juga oleh organisasi tradisional dalam memperingati hal-gal yang dianggap mempunyai makna yang sangat berarti setelah genap setahun.

85 Ghazali Munir, Warisan Intelektual Islam Jawa dalam Pemikiran Kalam Muhammad Shalih as-Samarani, cet. I, h. 33

86 Amirul Ulum, KH. Muhammad Shaleh Darat al-Samarani: Maha Guru Ulama Nusantara, (Yogyakarta: Global Prees, 2016), cet. I, h. 39

B. Tinjauan Umum Kitab Tafsîr Faidh ar-Rahmân 1. Identifikasi Fisiologis

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, banyak ulama Indonesia yang menghasilkan karya tulis besar. Tidak sedikit dari karya-karya mereka yang ditulis menggunakan bahasa Arab. Setelah Kiai Ahmad Rifa‟i87 dari kalisalak (1786-1875 M), yang banyak menulis kitab berbahasa Jawa. Pada akhir abad ke-19, terdapat karya tafsir dengan menggunakan bahasa jawa yaitu karya kiai Sholeh Darat yang berjudul Faidh ar-Rahmân fi Tarjamah Tafsîr Kalâm Mâlik ad-Dayyân (Limpahan Rahmat Allah dalam Menerjemahkan Tafsir Firman-firman Allah, Penguasa Hari Pembalasan). Beliau menulis kitab Tafsir dengan lafadz Pegon88 yang menggunakan bahasa jawa pesisiran atau diistilahkan sebagai Lughah al-Jawiyyah al-Makiyyah (bahasa Jawa setempat).89

Tafsîr Faidh ar-Rahmân ini terdiri dari dua jilid besar yang ditulis dengan huruf Arab Pegon ( huruf Arab-bahasa Jawa). Jilid pertama dimulai dari muqaddimah, penafsiran surat Al-Fâtihah, yang kemudian dilanjutkan dengan tafsir surat Al-Baqarah dengan tebal

87 Kyai Rifa‟i merupakan ulama Jawa yang hidup antara tahun 1786-1870 M, sosok yang menggambarkan pelawanan rakyat terhadap pemerintahan kolonial juga produktif dalam menulis kitab.

88 Lafadz Pegon atau aksara pegon adalah tulisan Arab yang direka untuk lidah jawa, sedang tulisan Jawi adalah tulisan Arab yang direka untuk melambangkan bahasa Melayu dan disesuikan dengan lidah orang Melayu. Tulisan Jawi berbeda dengan tulisan Jawa. Tulisan jawa adalah tulisan yang digunakan oleh orang Jawa dalam melafalkan bahasa Jawa Carakan. Seperti: Ha, Na, Ca, Ra, Ka.

89 Lilik Faiqah, Unsur-unsur Isyary Dalam Sebuah Tafsir Nusantara: Telaah Analisis Tafsir Faid al-Rahman Karya Kiai Sholeh Darat, Skripsi, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2018), h. 48

Dokumen terkait