BAB I: PENDAHULUAN
F. Sistematika Penulisan
ditulis menggunakan ungkapan م
راشلاا نىعم
, maka penulis mengambil ayat ahkâm yang tidak menggunakan ungkapanنىعم مراشلاا
d. Membaca penafsiran ayat-ayat sesuai tema yang akan dikaji.
e. Membuat catatan (recording) terhadap data yang telah ditetapkan untuk dianalisis.
f. Menentukan metode analisis data yang dikaji.
g. Melakukan analisis dan membahas hasil analisis.
4. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah metode penelitian tematik, yaitu suatu cara menafsirkan Al-Qur‟an dengan mengambil tema ayat-ayat hukum kemudian dijelaskan satu persatu dariْ sisi penafsirannya, dihubungkan satu dengan yang lain, sehingga membentuk satu gagasan yang utuh dan komprehensif mengenai pandangan Al- Qur‟an terhadap tema yang dikaji.31
Karena objek penelitian ini adalah ayat-ayat Al-Qur‟an, yaitu ayat-ayat Ahkâm, maka yang dimaksud dengan tematik disini adalah menghimpun seluruh ayat Al-Qur‟an yang memiliki tujuan dan tema32 berkaitan dengan masalah hukum.
Bab pertama Pendahuluan yang meliputi: alasan pemilihan judul sudah include dalam latar latar belakang masalah, batasan dan perumusan masalah, dengan tujuan memberikan batasan yang jelas dan terarah mengenai materi yang menjadi kajian skripsi metodologi penelian yang memuat pendekatan dan metode yang digunakan, dan sistematika penulisan sebagai penuntun pembaca untuk secara sistematis dalam memahami isisnya secara keseluruhan.
Bab kedua membahas tentang ayat-ayat Ahkâm dalam Al-Qur‟an yang meliputi: pengertian ayat-ayat Ahkâm, ayat-ayat Ahkâm dalam Al- Qur‟an, buku-buku tafsir ayat-ayat Ahkâm, tafsir ayat-ayat Ahkâm dalam berbagai madzhab.
Bab ketiga yaitu sekilas tentang KH. Sholeh Darat yang membahas tentang biografinya, riwayat penulisan Tafsîr Faidh ar-Rahmân, sumber, metode, corak, sistematika Tafsîr Faidh ar-Rahmân, karya-karya serta tema-tema pemikiran KH. Sholeh Darat.
Bab keempat, membahas tentang pandangan KH. Sholeh Darat terhadap ayat-ayat Ahkâm yang meliputi Hukum khamr dan judi (QS. Al- Baqarah: 219), Hukum berbuat baik terhadap anak yatim (QS. Al- Baqarah: 220), Hukum tidak halalnya memusakai perempuan (QS. An- nisa‟: 19), Hukum jika hendak mengganti istri (QS. An-Nisa‟: 20-21), Hukum cara melakukan sholat khauf (QS. An-Nisa‟: 102).
Bab kelima, merupakan penutup dari pembahasan skripsi ini. Pada bab terakhir ini berisi kesimpulan, dan saran-saran.
20
AYAT-AYAT AHKAM A. Pengertian Ayat-ayat Ahkâm
Istilah ayat-ayat Ahkâm
( ـاكح لْا تياا )
ْterdiri atas dua kata:ayat dan Ahkâm. Ayat
( تياا )
adalah jamak dari kata ayat( ةيا )
, yangsecara harfiah berarti tanda. Terkadang juga digunakan untuk arti pengajaran, urusan yang mengherankan (mukjizat) dan sekumpulan manusia. Tapi yang dimaksud dengan ayat-ayat pada konteks tulisan ini adalah ayat-ayat Al-Qur‟an, yaitu bagian tertentu dari Al-Qur‟an yang tersusun atas satu atau beberapa kalimat walau dalam bentuk plarakiraan sekalipun, yang memiliki tempat permulaan dan tempat berhenti yang bersifat mandiri dalam sebuah surat.33
Adapun kata Ahkâm, yang juga merupakan plural/jamak dari kata hukm (hukum dalam bahasa Indonesia), secara harfiah berarti menempatkan sesuatu di atas sesuatu (isbat al-syai‟ „ala al-syai‟), atau bisa juga diartikan dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya.34 Dengan redaksi yang berbeda, Wahbah al-Zuhaili35 mendefinisikan al- hukm secara bahasa dengan
ا ىن ًف ني ٍك ىأ نتا ٍػث ىب ًإ ا ىمإ ٍخ ىر يًلْ ٍم ًر ىٍلْا يدا ٍس ىن ًإ
33 Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002), h. 26
34 Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, h. 27
35 Nama lengkap Wahbah al-Zuhaili adalah Wahbah bin Musthafa al-Zuhaili, anak dari musthafa Zuhaili. Lahir pada tahun 1932 M, bertempat di Dair „Atiyah kecamatan Faiha, propinsi Dmaskus Suriah. Wahbah al-Zuhaili adalah tokoh di dunia pengetahuan, selain terkenal di biudang tafsir beliau juga seorang ahli fiqh. Beliau adalah Ulama yang hidup di abad ke-20 yang sejajar dengan tokoh-tokoh lainnya, seperti Thahir Ibn Asyur, Said Hawa, Sayyid Qutb, Muhammad Abu Zahrah, Mahmud Syaltut, Ali Muhammad al-Khafif, Abdul Ghani, Abdul Khaliq dan Muhammad Salam Madkur.
(menisbatkanْ suatu perkara kepada perkara lainnya, baik menjadi ketetapan maupun tidak).36
Adapun yang dimaksud dengan hukum dalam terminologi para ulama ushul fiqh seperti diformulasikan Abd al-Wahhab Khallaf37 dan lain-lain ialah:
يلا ٍك ىشلا ًم ٍر ًع ىوى ي ىط ًخ
يبا ًالل ىتلما َّلع ىًب ق ٍػف ىع ىكلما ًؿا ىيف ًٌل ىضتقا ًءا كأ
نييتخ نعضك كأ ا ا
“Hukum syar‟i ialah khitab (titah) Allah yang berhubungan dengan perbuatan/tindakan orang-orang mukallaf, apakah itu dalam bentuk tuntutan (printah atau larangan), kebolehan memilih (antara mengerjakan atau meninggalkan sesuatu) atau berupa ketetapan (wadha‟)”.38
Yang menjadi kata kunci pada terminologi hukum syar‟i di atas ialah bahwa hukum itu sebagai khithâb (titah) Allah. Berkenaan dengan ini, salah seorang ahli hukum Islam dari kalangan orientalis, Noel J.
Coulson39, menyimpulkan: (The principle that God was the only lawgiver and that his command was not expressed in the form of complete or comprehensive charter for the muslim community). “Prinsip bahwa Tuhan adalah satu-satunya pembentuk hukum dan bahwa semua
36 Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkâm Al-Zuhailiy dalam Al-Tafsir al-Munir”, Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah, 2008, h. 36
37 Syaikh Abdul Wahhab Khallaf lahir pada bulan Maret 1888 M di kampong Kafr al-Zayyat, Mesir. Beliau adalah pengarang kitab Ilmi Ushul al-Fiqh. Selain Pakar di bidang Ushul Fiqh, beliau adalah pakar hukum tata Negara, bahasa Arab dan Yurisprudensi.
38 Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkâm, h. 26
39 Noel James Coulson adalah satu diantara sekian nama yang dikenal dalam studi
orientalisme hukum Islam yang dilahirkan di Blacrod, Lancashire, Inggris pada 18 Agustus 1928. Sebagian pihak menganggap Coulson termasuk tokoh yang simpatik terhadap Islam, karena pendekatan ilmiah terhadap hukum Islam, karyanya bahkan menghiasi setiap pembahasan sejarah hukum Islam. Sayangnya, hidup Coulson tidak berusia cukup panjang dalam pengertian waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan karya-karya yang lebih menumental.
perintah-Nya harus dijadikan kendali utama atas segenap aspek kehidupan (masyarakat muslim) sudahlah mapan”.40
Pengidentifikasian hukum dengan khithâb Allah, memang senafas dengan beberapa ayat Al-Qur‟an secara eksplisit41 maupun implisit42 mengisyaratkan bahwa pemegang otoritas (hak preogatif)43 untuk menetapkan hukum pada dasarnya adalah Allah SWT. Hal ini, didasarkan pada beberapa ayat Al-Qur‟an di antaranya: al-Ma‟idah (5):
50, al-An‟am (6): 57 dan 62, Yusuf (12): 40 dan 67.
Surat al-Maidah ayat 50:
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? Surat al-An‟am ayat:57 dan 62
40 Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, h.26 ْ
41 Secara umum eksplisit memiliki arti tegas, gambling, tidak tersembunyi, tidak bertele-tele, tersurat, jelas dan tidak mempunyai gambaran makna yang kabur dalam berbagai hal seperti: isi berita, majalah, pidato, dan lain sebagainya. Dalam penggunaannya sehari-hari, definisi eksplisit dapat diartikan sebagai suatu yang to the point, tidak samar, dan membinggungkan.
42 Implisit adalah suatu hal yang samar-samar atau diterangkan tidak begitu jelas, lawan katanya eksplisit.
43 Preogratif dalam bahasa latin adalah praerogatio, dalam bahasa Inggris prerogative, dalam bahasa Jerman das Vorrecht, “hak istimewa”. Dalam bidang hukum adalah hak khusus atau istimewa yang diberikan kepada pemerintahan atau penguasa suatu Negara dan diberikan kepada seorang atau sekelompok orang, yang terpisah dari hak-hak masyarakat menurut hukum berlaku.
Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya.
menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik".
“kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaanNya. dan Dialah Pembuat perhitungan yang paling cepat.”
Surat Yusuf ayat 40 dan 67
“kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) Nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang Nama-nama itu.
keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
“Dan Ya'qub berkata: "Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama- sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; Namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada (takdir) Allah.
keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-
lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri".”
Dari batasan-batasan tentang ayat dan hukum di atas, secara sederhana dapat diluruskan bahwa yang dimaksud dengan ayat hukum (ayat al-Ahkâm) ialah ayat-ayat Al-Qur‟an yang berisikan tentang khithâb (titah/doktrin) Allah yang berkenaan dengan thalab44 atau tahkhyîr45.
Dalam rumusan yang sederhana, dapat dikemukakan bahwa ayat al- Ahkâm (ayat-ayat hukum) ialah ayat-ayat Al-Qur‟an yang berisikan tentang masalah-masalah hukum. Jadi, sama halnya dengan ayat-ayat kalam (ayat al-Kalâm) dan ayat-ayat yang berisikan dengan etika disebut ayat al-akhlâq. Demikian pula dengan ayat-ayat tentang kisah/sejarah yang dinamakan ayat-ayat al-Qashah dan ayat-ayat pendidikan dijuluki dengan ayat-ayat al-Tarbawi serta ayat-ayat berkenaan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dijuluki dengan ayat- ayat al-„Ulûm atau ayat al-Kauniyyah,46
Dengan adanya upaya penggalian ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum di dalam Al-Qur‟an diharapkan dapat menjadi solusi kebingungan masyarakat akan persoalan kekinian yang dihadapi.47
B. Ayat-ayat Ahkâm dalam Al-Qur’an
Khusus ayat-ayat hukum dalam Al-Qur‟an, ada beberapa sebutan yang umum digunakan. Istilah-istilah yang dimaksudkan ialah: ayat al- Ahkam (ayat-ayat hukum), ayat al-Fiqhiyyahh (ayat-ayat tentang fikih), ayat al-Qanuniyyah (ayat-ayat tentang peraturan perundang-undangan)
44 Thalab adalah tuntukan untuk melakukan dan atau meninggalkan sesuatu
45 Tahkhyîr adalah kebebasan memilih antara mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu
46 Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, h. 26-30
47 M. nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia dari kontestasi Metodologi hingga Kontekstualisasi, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014), h. 151
dan fiqh al-Kitab (fikih Al-Qur‟an). Juga lazim digunakan istilah ahkam al-Qur‟an (hukum-hukum Al-Qur‟an) yang maksudnya kurang lebih sama saja antara yang satu dan dengan yang lain, yakni merujuk kepada ayat-ayat Al-Qur‟an yang berisikan masalah hukum.48
Sebagian pakar „Ulumul Qur‟an menyebutkan jumlah ayat Al- Qur‟an sebanyak 6.666 ayat, yang isi kandungannya oleh Wahbah Zuhayli dirincikan sebagai berikut:49
1. Ayat-ayat tentang al-Amr (perintah) = 1.000 2. Ayat-ayat tentang al-Nahyu (larangan) = 1.000 3. Ayat-ayat tentang al-Wa‟du (janji baik) = 1.000 4. Ayat-ayat tentang al-Wa‟id (ancaman buruk) = 1.000
5. Ayat-ayat tentang kisah dan al-Ikhbar (kisah dan berita) = 1.000 6. Ayat-ayat tentang al-„Ibar dan al-Amtsal (ibarat dan perumpamaan)
= 1.000
7. Ayat-ayat tentang hukum halal dan haram/ibahah = 500 8. Ayat-ayat tentang doa = 100
9. Ayat-ayat tentang nasikh-mansukh = 66
Para ulama tidak ada kata sepakat mengenai jumlah ayat-ayat Ahkâm dalam Al-Qur‟an, hal itu tergantung kepada cara pandang mereka terhadap struktur dan kandungan ayat tersebut. Al-Ghazali, Al- Razi, dan Ibn Qudamah menyatakan bahwa ayat Ahkâm dalam Al- Qur‟an berjumlah 500 ayat, sementara Abdul Wahab Khallaf hanya menyebutkan 150 ayat saja.50
Al-Mubarak mengatakan bahwa ayat Ahkâm berjumlah sebanyak 900 ayat, bahkan Abu Yusuf menyebutnya sebanyak 1000 ayat. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut di atas, yang pasti para ulama sepakat
48 Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, h. 26
49 Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, h. 31
50 Syibli Syarjaya, Tafsir Ayat-Ayat Ahkâm, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 35
bahwa Al-Qur‟an adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam yang dalam implementasinya dibutuhkan suatu penafsiran.51
C. Tafsir Ayat-Ayat Ahkâm dalam berbagai Madzhab 1. Madzhab Hanafi
Abu Hanifah memiliki nama lengkap an-Nu‟man bin Tsabit bin Zauth bin Mah. Lahir di Kufah pada tahun 80 H pada zaman Dinasti Umayyah, ketika raja Abdul Malik bin Marwan memerintah. Ia diberi gelar “an-Nu‟man” yang berarti darah atau roh, agar menjadi generasi penerus kebaikan. Ayahnya merupakan tokoh ahli fikih dan tokoh masyarakat. Ia mendapat gelar “hanifah” (mu‟annats dari asal kata hanif) yang berarti ahli ibadah, karena ia senang dan condong terhadap agama kebenaran. Dalam riwayat lain gelar tersebut dikarenakan ia terus menerus membawa tinta (tinta dalam bahasa Iraq adalah hanifah).52
Al-Jassas dengan karyanya Ahkâm al-Qur‟an. Ia termasuk diantara buku tafsir fikih yang terkenal dimasanya, terutama dikalangan Hanafiyah. Nama lengkap pengarang tafsir ini adalah Ahmad ibn „Aliy Abu Bakr al-Raziy al-Jassas. Lahir di Baghdad tahun 305 H dan tutup usia tanggal 7 Zulhijjah tahun 370 H.53
Pengikut mazdhab Hanafi adalah Al-Jasshash, seorang ahli tafsir dan Ushul Fiqh terkenal pada masanya. Salah satu karyanya yang popular adalah kitab tafsir Ahkâm al-Qur‟an yang ia tulis
51 Syibli Syarjaya, Tafsir Ayat-Ayat Ahkâm, h. 35
52 M. Iqbal Juliansyahzen, “Pemikiran Hukum Islam Abu Hanifah: (Sebuah Kajian Sosio-Historis Seputar Hukum Keluarga)”, dalam Jurnal Al-Mazahib, Vol. 3, No. 1, Juni 2015, h. 75
53 Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkâm Al-Zuhailiy Dalam Al-Tafsir Al-Munir”, Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h. 86
merupakan akomodasi dari pendapat-pendapat hanafiyyah.54 Kitab ini menjadi referensi primer bagi pengkaji hukum Islam, khususnya madzhab Hanafi. Metode yang diterapkan al-Jassas adalah dengan menafsirkan ayat-ayat kemudian menjelaskannya dengan al- ma‟tsur.55
Pada setiap ayat yang bersinggungan dengan masalah hukum, al-Jassas mengemukakan masalah fikih yang menggiting problem khilafiah antar madzhab. Akibatkanya seperti tanggapan al-Qattan, pembaca akan merasakan sedang membaca buku fikih dan tidak merasamembaca tafsir.56
Al-Jashash memperlihatkan kefanatikannya terhadap mazdhab Hanafi, sehingga dalam menafsirkan ayat terkesan berpihak dan menopang madzhabnya. Kegigihannya makin jelas dalam menolak dan mematahkan pendapat madzhab lain. Karena bantahan yang keras terhadap lawan pendapatnya. Cara seperti ini, terlihat tidak adil dalam dunia akademis.57
Pendapat senada juga diungkapoleh al-Dzahabiy, bahwa al- Jassas dalam tafsirnya memperlihatkan fanatisme madzhab fikihnya kepada Hanafi, sehingga sering menggunakan bahasa-bahasa fulgar terhadap pendapat ataupun ulama yang berkelainan padam
54 Budy Prestiawan, “Menikahi Orang Musyrik Perspektif Al-Jashash dan Al- Qurtubi: (Analisa terhadap Surat Al-Baqarah 221 dalam Tafsir Ahkam al-Qur‟an dan Al- Jami‟ Li Ahkam Al-Qur‟an)”, Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014, h. 17
55 Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkâm Al-Zuhailiy Dalam Al-Tafsir Al-Munir”, h.
86
56 Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkâm Al-Zuhailiy Dalam Al-Tafsir Al-Munir”, h.
86
57 Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkâm Al-Zuhailiy Dalam Al-Tafsir Al-Munir”, h.
87
dengannya. Selain itu, al-Jassas terlihat kecenderungannya kepada aliran muktazilah.58
Tafsir Madzhab Hanafi antara lain:59
a. Ahkam al-Qur‟an, Oleh Ali ibn Hajar Sa‟di al-Azdi al- Thahawisani (Wafat 244 H)
b. Ayat al-Ahakam oleh Ali ibn Musa (350 H)
c. Ahkam al-Qur‟an, Oleh Ahmad ibn Muhammad al-Azdi al- Thahawi al-Misri (370 H)
d. Syahr Ahkam Al-Qur‟an, oleh Ahmad ibn Muhammad al-Razi alJashshash (370 H)
e. Mukhtashar Ahkam al-Qur‟an Oleh Makki ibn Abi Thalib al- Qaysi alQayrwani (437 H)
f. Anwar al-Qur‟an fi Ahkam al-Qur‟an oleh Muhammad Kafi ibn Hasan al-Basandi al-Iqhishari (1025 H)
g. Anwar al-Qur‟an fi Ahkam al-Qur‟an Oleh Muhammad Syams al-Din al-Harawi al-Bukhari (1119)
h. Ahkam al-Qur‟an Oleh Ismail Haqqi (1127 H) 2. Madzhab Maliki
Imam Malik adalah imam yang kedua dari Imam-imam empat serangkai dalam Islam dari segi umur. Ia dilahirkan di kota Madinah, suatu daerah di negeri Hijaz tahun 93 H/713 M, dan wafat pada hari ahad 10 Rabi‟ul Awal 179 H/ 798 M di Madinah. Imam Malik wafat pada masa pemerintahan Abbasiyah di bawah kekuasaaan Harun Ar-Rasyid. Nama lengkap Imam Malik adalah
58 Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkâm Al-Zuhailiy Dalam Al-Tafsir Al-Munir”, h.
87
59 Muhammad Saiyid Mahadhir, Pengantar Tafsir Fiqih, http://www.rumahfiqih.com/z-76-Pengantar-tafsir-fiqih.html, diakses pada tanggal 8 Juli 2019 hari senin pukul 11.12 WIB
Abu Abdillah Malik bin Anas As Syabahi Al Arabi bin Malik bin Abu „Amir bin Harits. 60
Beliau adalah keturunan bangsa Arab dusun Dzu Ashbah, Ashbah adalah salah satu kabilah di Yaman, dan dinisbahkan padanya karena salah satu kakeknya pindah ke Madinah dan menetap di sana. Kakeknya yang tertinggi Abu Amir adalah seorang sahabat yang agung dan mengikuti semua peperangan bersama Nabi kecuali perang Badar. Imam Malik adalah imam pendiri madzhab kedua dalam serangkaian madzhab empat. Imam Malik dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H (717 M) dan menuntut ilmu kepada ulama-ulama di sana. Beliau dilahirkan 13 tahun setelah kelahiran Imam Abu Hanifah.61
Qadi dari imam maliki adalah Ibn „Arabiy, Ia dilahirkan di Sevilla pada tahun 1076 M dan meninggal di Fez, Maroko pada 1148 M. Karya tafsirnya adalah Ahkâm al-Qur‟an oleh Muhammad al-Bajariy, Ahkâm al-Qur‟an merupakan kitab induk syari‟ah, bahasa dan tafsir. Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad ibn „Abd Allah Muhammad ibn „Abd Allah ibn Ahmad al-Mu‟afiriy al-Andalusiy al-Isybiliy (468-543 H). Ibn „Arabiy termasuk ulama kenamaan Andalusia dan bermadzhab maliki. Untuk itu, kitab tafsir ini menjadi referensi utama fikih Maliki.62
Menurut penilaian al-Qattan, Ibn „Arabiy adalah sosok mufassir Ahkâm yang agak objektif (mu‟tadil) dan tidak terlalu menonjolkan fanatisme madzhab. Selain itu, ia tidak membabi buta dan
60 Danu Aris Setiyanto, “Pemikiran Hukum Islam Imam Malik Bin Anas (Pendekatan Sejarah Sosial)”, dalam Jurnal al-Ahkam, Vol. 1, No. 2, 2016, h. 107
61 Abdurrohman Kasdi, “Menyelami Fiqih Madzhab Maliki (Karakteristik Pemikiran Imam Maliki dalam Memadukan Hadits dan Fiqih)”, dalam Jurnal Yudisia, Vol.
8, No. 2, Desember 2017, h. 316
62 Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkâm Al-Zuhailiy Dalam Al-Tafsir Al-Munir”,
h.87
emosional dalam menangkal pendapat madzhab yang berseberangan dengan madzhabnya meskipun tergelincir juga sehingga menampakkan diri malikiyahnya. Perhatian Ibn al-„Arabiy, Ibn Jarir al-Thabariy (224 H/839 M) adalah sumber inspirasi tafsir. Terbukti dengan lahirnya pakar hukum terkenal al-Qadiy Abu Ishaq.63
Pola kerja yang diterapkan oleh Ibn al-„Arabiy adalah dengan mengunkap setiap surah al-Qur‟an secara berurutan. Kemudian Ibn al-„Arabiy memilih ayat-ayat Ahkâm yang terdapat pada surahg tertentu. Pada tiap-tiap ayat Ahkâm Ibn al-„Arabiymemilahnya kepada beberapa masalah atau topic bahasan yang mungkin muncul dari pada ayat. Hal ini dimaksudkan agar lebih sistematis dan pembaca dengan mudah dapat memilih tema ayat Ahkâm yang ia cari.64
Ibn „Arabiy juga mengungkap pendapat ulama seputar ayat hukum mtersebut denga ringkas dan menjelaskan perbedaan pendapat dintara mereka. Dalam istinbat hukum, Ibn „Arabiy berlandaskan pada aspek bahasa, menghindari isroiliyyat, dan hadis da‟if.65
Tafsir Fiqhy Madzhab Maliki antara lain:66
a. Ahkam al-Qur‟an oleh Ahmad ibn Mudhal (240 H)
63 Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkâm Al-Zuhailiy Dalam Al-Tafsir Al-Munir”, h.
87-88
64 Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkâm Al-Zuhailiy Dalam Al-Tafsir Al-Munir”, h.
88
65 Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkâm Al-Zuhailiy Dalam Al-Tafsir Al-Munir”, h.
88
66 Muhammad Saiyid Mahadhir, Pengantar Tafsir Fiqih, http://www.rumahfiqih.com/z-76-Pengantar-tafsir-fiqih.html, diakses pada tanggal 8 Juli 2019 hari senin pukul 11.12 WIB
b. Ahkam al-Qur‟an oleh Muhammad ibn Abdullah (Ibn Hakam) (268 H)
c. Ayat Ahkam oleh Ismail ibn Ishaq al-Azdi (282 H)
d. Ayat al-Ahkam oleh al-Qhasim ibn Ashbag al-Qurthuby al- Andalusy (304H)
e. Ahkam al-Qur‟an oleh Muhammad Tamimi (305) f. Ahkam al-Qur‟an oleh Musa ibn al-Abdur Rahman (306) 3. Madzhab Syafi’iy
Imam Syafi‟iy (w. 204 H) dengan karyanya Ahkâm al-Qur‟an.
Karya ini disusun dari tulisan-tulisan Imam al-Syafi‟iy. Nama lengkap Imam Syafi‟I adalah Abu „abd Allah Muhammad ibn Idris al-Syafi‟iy.67 Karya ini dikumpulkan oleh Imam al-Baihaqiy (w.
458 H) (pengarang kitab al-Sunan al-Kubra). Imam al-Baihaqiy adalah Abu Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn „Aliy ibn „Abd Allah Ibn Musa al-Baihaqiy al-Naisabury.68
Ahkâm al-Qur‟an karya al-Syafi‟iy ini, bebeda dengan beberapa tafsir Ahkâm lainnya, baik dari segi methodology penulisan, maupun kandungan isi. Dari segi penulisan, Ahkâm al- Qur‟an ditulis berdasarkan metode riwayah dan dirayah. Dengan kata lain, sebagian pendapat dan tafsir Imam al-Syafi‟I isajikan dengan mencantumkan sanad lengkap hingga Imam al-Baihaqiy.
Sebagian lagi disajikan dengan mencantumkan pendapat Imam al- Syafi‟iy dengan ungkapan qala al-Syafi‟iy atau qala al-Syaikh.69
67 Imam Syafi‟I, di susun oleh Imam Baihaqi, terjemah oleh Baihaqi Safiuddin,
Hukum Alk-Qur‟an, (Surabaya: PT. Bungkul Indah, Tt), h. 15
68 Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkâm Al-Zuhailiy Dalam Al-Tafsir Al-Munir”, h.
85
69 Syafruddin, “Penafsiran Ayat Ahkâm Al-Zuhailiy Dalam Al-Tafsir Al-Munir”, h.
85-86