• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENAFSIRAN ABDURRAHMAN AL-SA’DI DAN

C. Bentuk Tawassul

46

47

mereka, merahmati mereka, dan memberikan ampunan bagi mereka.79

Maksud dari kalimat “Datang kepadamu (nabi Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah SWT. dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”

adalah sekarang aku datang kepadamu, memohon ampun bagi dosa-dosaku (kepada Allah SWT) dan meminta syafaat kepada-Mu (agar engkau memohonkan ampunan bagiku) kepada Tuhanku. At- Tabari menyebutkan “Sekiranya mereka telah melakukan perbuatan itu, lalu mereka bertaubat atas perbuatan dosa mereka”.

Beliau juga menyebutkan maknanya yaitu: “Kembalilah dari hal yang mereka benci kepada hal yang mereka sukai, Allah Maha Penyayang terhadap mereka dengan menghilangkan siksaan atas perbuatan dosa mereka, yaitu dengan diterimanya taubat mereka.”

Muhammad bin „Amr menceritakan kepadaku, ia berkata: Abu

„Asim menceritakan kepada kami dari Isa, dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid mengenai ayat ini maksudnya adalah seorang laki- laki Yahudi dan Muslim yang meminta penyelesaian hukum kepada Ka‟ab bin Asyraf.80

Berdasarkan pemahaman di atas, dapat disimpulkan bahwa Allah mewajibkan kepada hamba-Nya agar mengikuti Rasul SAW yang di utus kepada mereka, dan tidak ada yang boleh taat kepada seseorang kecuali atas seizin-Nya. Dan yang menitik beratkan bahwa ayat ini adalah ayat tawassul yaitu terdapat dalam redaksi

Datang kepadamu (nabi Muhammad), lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” yaitu seorang hamba memohon ampun kepada Allah SWT dengan mendatangi Nabi Muhammad SAW dan memohon agar memohonkan ampun kepada Allah SWT atas dosa- dosanya.

79Al-Imam al-Hafiz „Ima al-Din Abi al-Fida „ Isma„il, Tafsir Al-Qur‟an al-„ Azim, vol. 3, (Al-Azhar: Dar al-„alamiah, 2012), hlm. 38.

80Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir At-Tobari, Tafsir At-Tobari, ( Jakarta: Pustaka Azam, 2008), 288- 289.

48

2. Tawssul sebagai media mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana dalam QS. Al-Ma‟idah [5]:35.

َتَلْي ِطَى ْلا ِهْيَلِا آْىُؼَتْباَو َهّٰللا اىُقاجا اىُىَمٰا ًًَِْرالا اَهُّيَآًٰ

ْي ِف اْو ُد ِها َجَو

َنْى ُح ِل ْـُج ْم ُنالَعَل ٖهِلْيِب َط

Artinya: wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah Waṣȋlah (jalan untuk mendekatkan diri) kepada-Nya dan berjihadlah (berjuanglah) dijalan-Nya agar kamu beruntung.81

At-Tabari menjelaskan dalam tafsirnya makna dari firman Allah SWT., maksud kata wasi>lah disini adalah kedekatan. Abu Ja‟far berkata: Allah SWT. berfirman kepada orang-orang mukmin dan Rasul-Nya, “Wahai orang-orang mukmin, berjihadlah di jalan-Ku untuk melawan musuh-musuhKu dan musuh-musuhmu”

maksudnya adalah untuk mengagungkan agama-Nya dan syariat- Nya yang telah Dia syariatkan kepada hamba-hamba-Nya, yaitu agama Islam. Abu Ja‟far berkata: “Bersungguh-sungguhlah dalam memerangi mereka dan mengajak mereka memluk agama Islam yang lurus. “Agar kalian beruntung dan mendapatkan keabadian di surga-Nya.”82

Berdasarkan pemahaman di atas, dapat disimpulkan bahwa ber-tawassul kepada Allah SWT dengan menggunakan wasi>lah atau sarana yang bisa mendekatkan diri kita kepada-Nya yaitu dengan mengerjakan amal-amal yang di ridai-Nya.

3. Ber-tawassul dengan Amal Saleh sebagaimana dalam QS. Ali- Imran [3]: 193.

اَىابَزۖ ااى َمٰاَؿ ْم ُنِّبَسِب اْى ُىِمٰا ْنَا ِناَمًِْ ْلًِل ْيِداَىًُّ اًًِداَىُم اَىْعِم َط اَىاهِا ٓاَىابَز ِزاَسْبَ ْاِلّ َعَم اَىاؿَىَجَو اَىِجٰاِّي َط ااىَع ْسِّـَلَو اَىَبْىُهُذ اَىَل ْسِـْػاَؿ

81Depertemen Agama RI, (Edisi Penyempurnaan 2019), (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an 2019), hlm. 152.

82Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir At-Tobari, Tafsir At-Tobari, ( Jakarta: Pustaka Azam, 2008), hlm. 854.

49

Artinya: Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar orang yang menyeru pada keimanan, yaitu „Berimanlah kamu kepada Tuhanmu‟, maka kami pun akan beriman. Ya Tuhan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang selalu berbuat kebaikan.83

Ibnu Jarir menjelaskan dalam tafsirnya at-Tabari bahwa Abu Ja‟far berkata: Para ulama berbeda pendapat tentang penafsiran kalimat “seruan” yang Allah SWT nyatakan dalam ayat tersebut. Pertama: Sebagian berpendapat bahwa maksudnya adalah al-Qur’a>n. Riwayatnya adalah: Al-Mutsanna menceritakan kepadaku, ia berkata Qabish bin „Uqbah menceritakan kepada kami, ia berkata Sufyan menceritakan kepada kami dan Musa bin

„Ubaidah, dari Muhammad bin Ka‟ab, tentang firman Allah SWT

Sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman,” ia berkata “Dia adalah al Kitab (al-Qur’a>n), karena tidak setiap orang bertemu Nabi Muhammad SAW”. Kedua:

Berpendapat bahwa maksudnya adalah Muhammad SAW.

Riwayatnya adalah: Al-Qasim menceritakan kepada kami, ia berkata: Hajjaj menceritakan kepadaku dari Ibnu Juraij, tentang firman Allah SWT “Sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman.” Ia berkata, “Dia adalah Muhammad SAW.”84

Ibnu Katsi>r menjelaskan bahwa makna kalimat “Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman” adalah seakan-akan Nabi Muhammad SAW mengatakan, “Berimanlah kalian kepada Tuhan kalian!” Maka kami beriman. Kami memenuhi seruannya dan mengikutinya, yakni dengan iman kami dan kami mengikuti Nabi-Mu. Jadi, makna ayat tersebut adalah, “Ya Tuhan kami, kami mendengar seorang penyeru yang berseru kepada iman. Dia mengajak kami

83Depertemen Agama RI (Edisi Penyempurnaan 2019), (Jakarta: Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an 2019), hlm. 102.

84Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir At-Tobari, Tafsir At-Tobari, ( Jakarta: Pustaka Azam, 2008), 313-315.

50

untuk membenarkan-Mu, untuk menetapkan keesaan-Mu, untuk mengikuti Rasul-Mu, dan untuk menaatinya dalam segala perintah dan larangan dari apa yang dibawanya dari-Mu. Lalu kami pun beriman, yakni memebenarkannya, wahai Tuhan kami! Oleh karena itu, ampunilah kami, hapuslah segala kesalahan kami, dan janganlah Engkau membongkar semuanya pada hari kiamat di hadapan semua makhluk dengan siksa, akan tetapi hapuslah semua itu dengan karunia dan kasih sayang-Mu kepada kami. Lalu wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti, dan gabungkanlah kami dengan mereka.” Maksud kata berbakti kepada Allah SWT yaitu dengan ketaatan kepada-Nya, sehingga Allah SWT. meridai mereka.85

Diceritakan dalam sebuah Hadis tentang tiga orang pemuda yang tersesat dalam gua, masing-masing menyebytkan amal saleh yang mereka perbuat semata-mata untuk mendekatakan diri kepada Allah SWT, hanya demi mencari rida Allah SWT. Mereka ber-Tawassul dengan menyatakan amal saleh, maka Allah SWT memperkenankan doa mereka. Kisah ini diceritakan langsung nabi Muhamaad SAW, mereka itu adalah tiga orang dari Bani Israil yang terpaksa menginap di dalam gua, lalu mereka masuk ke dalam gua tersebut, dan Allah SWT mengkhendaki dengan segala hikmah-Nya untuk menutup pintu gua tersebut dengan batu yang sangat besar sebagai suatu ujian dan cobaan serta sebagai pelajaran bagi hamba-hamba-Nya. Tiga peemuda itu berusaha mendorong batu tersebut dengan sekuat tenaganya namun Allah SWT belum berkenan membuka pintu gua, lalu salah seorang dari mereka mengatakan untuk melaukan tawassul kepada Allah SWT. Mereka lalu ber-tawassul dan memohon kepada Allah SWT untuk dibuka kan pintu gua tersebut dengan amal saleh yang mereka sudah perbuat.86

Berdasarkan pemahaman di atas, ber-tawassul kepada dan memohon ampun kepada Allah SWT atas dosa-dosa yang telah

85Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir At-Tobari, Tafsir At-Tobari, (Jakarta: Pustaka Azam, 2008), hlm. 316-317.

86Abu Anas Ali bin Husain Abu Lauz, Ulasan Lengkap Tawaṣṣul, (Darul Haq), hlm. 33-34.

51

dilakukan yaitu dengan melalui wasi>lah atau perantara amal saleh atau keimanan kepada Allah SW dan Rasul-Nya.

4. Tawassul dengan Kondisi Orang yang Berdoa sebagaimana dalam QS.Al-Qasas [28]: 24.

ٓىّٰل َىَج امُج ا َمُه ل ى ٰق َظ َؿ َ ٌرْي ِق َؿ ٍرْيَخ ًِْم ايَلِا َتْلَصْهَا ٓاَِلْ ْيِّوِا ِّبَز َلاَقَؿ ِّل ِّغلا ىَلِا

Artinya: Maka, dia (Musa) memberi minum (ternak) kedua perempuan itu. Dia kemudian berpindah ke tempat yang teduh, lalu berdoa, “Ta Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan (rezeki) yang Engkau turunkan kepadaku.”

Ibnu Jarir at-Tabari menjelaskan dalam tafsirnya at-Tabari bahwa Humaid menceritakan kepada kami, ia berkata: Hakkam menceritakan kepada kami dari Abu Hushain, dari Sa‟id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Ketika Musa sampai di tempat persediaan air negeri Madyan, warna hijau sayuran terlihat di perut Musa, karena ia kurus dan lemah, maka ia berdoa, yaitu meminta sesuatu yang mengenyangkan.”

Ibnu Katṣi>r menjelaskan dalam tafsirnya al-Qur’a>n al-

„Azim bahwa nabi Musa as setelah sampai di sumber air negeri Madyan, ia menjumpai sekumpulan orang-orang yang sedang memberi minum ternak mereka. Setelah selesai, lalu mereka mengembalikan batu besar penutup sumur itu yang tidak dapat diangkat kecuali hanya oleh sepuluh orang laki-laki. Tiba-tiba nabi Musa as melihat kedua orang wanita yang sedang menambat ternaknya. Ia bertanya, “Apakah gerangan yang dialami oleh kamu berdua?” Lalu keduanya menceritakan perihal dirinya kepada nabi Musa as, maka nabi Musa as mendatangi batu besar itu dan mengangkatnya sendirian. Kemudian tidaklah ia memberi minum ternak keduanya, melainkan cukup hanya dengan setimba air dan ternyata ternak kedua wanita itu kenyang. Ibnu „Abbas menceritakan bahwa nabi Musa as berjalan meninggalkan negeri Mesir di malam hari menuju ke negeri Madyan, sedangkan ia tidak membawa bekal makan, terkecuali hanya sayuran dan dedaunan

52

pohon. Perutnya benar-benar kempis seakan menyatu dengan punggungnya karena kelaparan. Sesungguhnya nabi Musa as benar-benar sangat membutuhkan buah kurma walaupun hanya satu biji.87

Berdasarkan pemahaman ayat di atas, dipahami bahwa nabi Musa as berdoa kepada Allah SWT agar menurunkan sesuatu yang mengenyangkan perutnya, dengan menyebutkan atau melalui sarana amal saleh yang telah diperbuatnya yaitu memberi minum ternak kedua wanita Madyan sampai kenyang.

Dalam memahami kata wasi>lah diatas memiliki makna suatu jalan atau yang dapat menjadi perantara untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mendapatkan rida-Nya.

Abdurrahman as-Sa‟di dan M. Quraish Shihab sepakat bahwa wasi>lah itu sendiri adalah segala sesuatu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT harus sesuai dengan tuntutan syariat dan tidak myimpang dari ajaran agama.

Dalam menjelaskan al-Qur’a>n bahwa kata wasi>lah itu sendiri memiliki makna jalan atau sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT yang dengannya kita mendapat Ridha-Nya.

Dan beberapa Ulama yang berpendapat mengenai hal tersebut.

Kata wasȋlah itu sendiri terdapat dalam dua ayat yaitu QS al- Maidah [5]:35 dan QS al-Isra‟ [17]:57.

1. Persamaan Pendapat menurut Tafsir Abdurrahman al-Sa‟di dan Tafsir al-Misbah

a. Subtansi Penafsiran

Dalam menafsirkan ayat tentang wasȋlah, kedua tokoh sepakat bahwa wasȋlah merupakan sarana atau upaya dalam mendekatkan diri dengan cara menjalankan perintah Allah SWT untuk mendapatkan Ridho-Nya. Mereka sepakat bahwa segala sesuatu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT harus sesuai dengan tuntutan syariat, yang tidak menyimpang dari ajaran agama. Kedua mufassir ini dalam menafsirkan ayat tentang wasȋlah memberikan

87Al-Imam al-Hafiz „Ima al-Din Abi al-Fida „ Isma„il, Tafsir Al-Qur‟an al-„ Azim, vol. 3, (Al-Azhar: Dar al-„alamiah, 2012), hlm. 8.

53

berbagai cara yang dilakukan untuk ber-tawassul kepada Allah SWT diantaranya berdoa, besholawat kepada Nabi Muhammad SAW melakukan ibadah dan amal Saleh b. Metode Penafsiran

Abdurrahman al-Sa‟di dan M. Quraish Shihab menggunakan metode penafsiran pada ayat wasȋlah yaitu dengan metode tahlily, yaitu menjelaskan ayat-ayat dalam al-Qur’a>n yang berhubungan dengan ayat sebelumnya, sebab turunya ayat tersebut.

c. Corak Penafsiran

Corak penafsiran yang digunakan kedua mufassir ini adalah adabi ijtima‟i (sosial kemasyarakatan) yang bertujuan dalam menjelaskan pesan awal al-Qur’a>n dalam kehidupan manusia. Menampilka sosio-kultural masyarakat sehingga bahasanya lebih mengacu pada sosiologi. 88

2. Perbedaan

Abdurrahman al-Sa‟di dalam menjelaskan ayat wasȋlah disini menurut Al-Sa‟di adalah kewajiban yang diberikan Allah SWT. Kewajiban ini terdiri dari dua bentuk, yakni amaliah hati seperti cinta, khauf dan raja‟ kepada-Nya serta amaliah raga seperti zakat, puasa, dan haji. Setiap kewajiban tersebut dapat mendekatkan seseorang hamba kepada Allah SWT.

Sedangkan waṣȋlah menurut M. Quraish Shihab adalah mengartikannya sebagai sesuatu yang menyambung dan mendekatkan sesuatu dengan yang lain atas dasar keinginan kuat untuk mendekat.

Banyak sekali dari para pengkritik atau orang-orang yang anti tawassul tidak memahami hakikat tawassul yang sesungguhnya.

1) Tawassul adalah salah satu cara berdoa dan salah satu pintu menghadap Allah SWT pokok yang dituju hakikatnya adalah Allah SWT. Sesuatu yang dijadikan wasi>lah tidak lain hanyalah perantara untuk mendekatkan kepada Allah SWT dan

88 Muhaimin, dkk, Kawasan Dan Wawasan Studi Islam, cet.2, (Jakarta: CV Kencana, 2007), hlm. 120.

54

barang siapa yang menyakini selain itu, maka sesungguhnya ia telah musyrik.

2) Orang yang melakukan tawssul tidaklah menggunakan perantara ini, kecuali karena kecintaan terhadap perantara itu dan keyakinannya bahwa Allah SWT mencintai perantara tersebut. Sekiranya yang terjadi tidak sesuai dengan itu, maka orang yang ber-tawassul itu adalah orang yang paling jauh dari perantara itu dan orang yang paling dibenci.

3) Sekiranya orang yang ber-tawassul berkeyakinan bahwa orang yang dijadikan perantara kepada Allah SWT apat memberi manfaat dan menolak kemudharatan dengan sendirinya seperti Allah SWT, maka sungguh dia telah musyrik.89

4) Sesungguhnya tawassul bukan suatu keharusan dan juga bukan kewajiban yang harus dilaksanakan. Pada dasarnya, tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT secara mutlak. Para ulama- ulama Islam membolehkannya adanya tawassul dengan cara yang tidak menyalahi atau bertentangan dengan syariat dan mempunyai dalil-dalil yang jelas dan nyata dari al-Qur’a>n atau Hadis

89As-Sayyid Muhammad Bin „Alawi Al-Maliki Al-Husaini, Mafahim Yajibu‟an Tushahah, ter. Tim IKAMARU, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), hlm. 153.

55 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

1. Menurut Abdurrahman al-Sa‟di dalam tafsirnya QS al-Maidah [5]:35 merupakan perintah Allah SWT. Kepada orang mukmin agar secara sungguh-sungguh berusaha bertakwa kepada-Nya, menjahui hal-hal yang dapat mendatangkan murka-Nya seperti maksiat hati, lisan dan badan. Dalam menjalankan itu semua, seorang mukmin harus meminta pertolongan Allah SWT. Karena Dia Maha sang Penentu. Disamping itu, ayat ini juga memerintahkan orang mukmin untuk mencari wasi>lah yang mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Wasi>lah disini menurut al-Sa‟di adalah kewajiban yang diberikan Allah SWT kewajiban ini terdiri dari dua bentuk, yakni amaliah hati seperti cinta, Khauf dan Raja‟ kepada-Nya serta amaliah raga seperti zakat, puasa, dan haji. Setiap kewajiban tersebut dapat mendekatkan seseorang hamba kepada Allah SWT. Sedangkan wasi>lah menurut M.

Quraish Shihab adalah ada banyak cara yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, namun semuanya haruslah sesuai dengan ketentuan syariat berdasarkan al-Qur’a>n dan Hadis.

2. Secara Semantik tawassul merupakan mengambil sesuatu yang diharapkan dari-Nya, secara garis besar melakukan wasi>lah dapat dilakukan dengan berbagai cara atau tindakan-tindakan yaitu melalui doa, perbuatan amal baik, melalui sifat-sifat Allah SWT dan memohon melalui perantara orang alim atau yang lebih dekat dengan Allah SWT. Perubahan-perubahan banyak dipengaruhi oleh pemikiran masyarakat yang masih awam. Tentu saja dalam memperhatikan makna kata Toshihiko Izutsu melakukan analisis dengan semantik dengan memperhatikan komponen-komponen kosa kata dalam kata wasi>lah yang terdapat dalam dua ayat dan surah yang berbeda.

56 B. Saran

Sebagai sebuah karya tulis ilmiah yang dihasilkan dari proses pengkajian data yang cukup mendalam, skripsi ini bisa dijadikan sebagai sumber pembelajaran dalam ilmu terkait. Selanjutnya, saran dari peneliti kepada:

1. Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama, supaya memfasilitasi mahasiswa, terlebih bagi mahasiswa yang sedang malakukan penelitian skripsi.

2. Jurusan Ilmu al-Qur’a>n dan Tafsir, supaya memberikan pembelajaran yang lebih mendalam lagi tentang al-Qur’a>n, guna mencetak calon Sarjana Agama yang memahami al-Qur’a>n dari segi bacaan, tulisan sampai pada penafsiran dan untuk kemajuan Jurusan serta Fakultas.

3. Peneliti selanjutnya, supaya mengkaji atau melakukan penelitian yang lebih luas lagi, tidak sebatas mengkaji perbandingan pendapat ulama seperti hasil penelitian dalam skripsi ini, guna membumikan al-Qur’a>n kepada masyarakat umum dari berbagai segi keilmuan.

4. Masyarakat umum, supaya benar-benar memahami arti dari kata wasi>lah agar tidak salah memahaminya. Karena banyak masyarakat awam yang beranggapan wasi>lah itu merupakan perbuatan syirik kepada Allah SWT, namun yang sebenarnya merupakan suatu jalan untuk sampai kepada Allah SWT.

57

DAFTAR PUSTAKA

A.W Munawwir, Kamus Al-Munawwir Lengkap Arab-Indonesia

Abdurrahman Ibn Naṣ ir As-Sa‟adi. taisiru al karim ar rahman: fi Tafsir kalami mannan, tt: dar al hadȋṡ, 2005.

Abu Anaṣ Ali bin Husain Abu Luz, At- Tawaṣul Aqsamuhu wa Ahkamuhu, terj. Muhammad Iqbal Amrullah, Jakarta: Darul Haq, 2012

Abu Anas Ali bin Husain Abu Lauz, Ulasan Lengkap Tawaṣul, (Darul Haq

Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, At-Tawaṣul Aqsamuhu wa Ahkamuhu, pen. Muhammad Iqbal Amrullah (Jakarta: Darul Haq, 2012)

Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, „Aqidatul Mukmin, pen. Umar Mujtahid (Solo:

Daar An-Naba, 2014)

Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir At-Tobari, Tafsir At-Tobari, ( Jakarta:

Pustaka Azam, 2008

Ahmad Yunus, Kamus Yunus, Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1990

Al-Imam al-Hafiz „Ima al-Din Abi al-Fida „ Isma„il, Tafsir Al-Qur‟a>n al-„ Azim, vol. 3, (Al-Azhar: Dar al-„alamiah, 2012

Aminuddin, Semantik Pengantar Studi Tentang Makna, (Bandunng: Sinar Baru Algensindo, 2016)

Ar-Raghib Al-Ashfahani, Kamus Al-Qur‟a>n , Penjelasan Makna Lengkap Kosa Kata Asing (Ghairb) Dalam Al-Qur‟a>n , (Depok:

Pustaka Khazanah Fawa‟id, 2017

58

As-Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki al- Hasani. Mafahim Yajib an Tushohhah, terj. Abdussalam „Ammar dan Moh. Hasib Dawam, Surabaya:Yayasan Hai‟ah ash-Shofwah, 2014.

Departemen Agama RI, al-Qur‟a>n al-Karim dan Terjemahan.

Semarang: PT Thoha Putra, 2012.

Fadjrul Hakam Chozin. cara Mudah Menulis Karya Ilmiah. Surabaya:

Alpha, 1997.

Fatimah Binti Abdul Khadal. Konsep Tawaṣul Menurut Perspektif Al- Qur‟a>n , Skripsi Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2019.

Husain Sepudin, Makna Kata Waṣȋlah dan Pandanannya dalam Al- Qur‟a>n (Analisis Semantik Toshihiko Izutsu), Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, 2020.

Izutsu Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap al-Qur‟a>n . Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997.

Lailatul Badriyah. Ayat-ayat Tawaṣul dalam Perspektif Muhammad Bin Abdul Wahab, Skripsi Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2009.

Laily Alifah. “Pandangan Moh.E.Hasim Tentang Sesajen dan Ziarah Kubur dalam Tafsir Ayat Suci Lenyepaneun ( Telaah Ayat-ayat Tentang Syirik dan Waṣȋlah), Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, 2016

M. Afifuddin Salim. Eksplorasi CInta dan Rasa: Syarah Fathul Garib, Banyuwangi: Shafiyah Publisher, 2020.

M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadȋṡ. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

59

Mestuka Zed, Metode penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2004

Mohammad Kholison, Semantik Bahasa Arab Tinjauan Historis, Teoritik, Aplikatif, Malang: CV Lisan Arabi, 2016

Muhammad Chaidar, Hadis-Hadis tentang Tawaṣul, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010

Muhammad Fuad Abdul, Al-Mu‟jam Al-Mufahras, Cairo: Dar al-Kutub al-

„Ilmiah, 1904

Muhammad Hanif Muslih, Keshahihan Dalil Tawaṣul Menurut Petunjuk al-Qur‟a>n dan al-Hadȋṡ, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2011 Muhammad Idris Al-Marbawi, Qamus Idris Al-Marbawi, Bandung :

Syirkah Al-Ma‟arif

Naṣaruddin Baidan. Metodologi Penafsiran Al-Qur‟a>n . Yogyakarta:

Teras, 2005.

M. Quraish Shihab. Kajian kosa kata, Ensiklopedia al-Qur‟a>n , jilid 3.

Jakarta: Lentera Hati, 2007.

M. Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur‟a>n , Vol. 3, Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Sofiya Ramadanti. Konsep Wailah dalam Al-Qur‟a>n (Studi Komparasi antara Tafsir al-Maraghi dan Tafsir Al-Misbah), (Skripsi, Institut Agama Islam Negeri Salatiga, 2021

Syakih Abdurrahman Bin Nashir al-Sa‟di, Tafsir al-Qur‟a>n al-Sa‟d (2) Surah an-Nisa – al-An‟am, Jakarta: Darul Haq, 2016

Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Mnusia: Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur‟a>n , Terj. Agus Fahri Husein, dkk., Yogyakarta:

Tiara Wacana Yogya, 1997

60

Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Penafsiran Al- Qur‟a>n (Struktularisme, Semantik, Semiotik, Dan Hermeneutika, Bandung: Pustaka Setia, 2013

Zainal Abidin. Studi Komparatif Pendapat Ibnu Taimiyyah dan Asy- Syaukanni Tentang Tawaṣul (Telaah Dalil-Dalil Hukum), Skripsi-- Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.

Zaini Rahman. Fikih Nusantara dan Sistem Hukum Naṣional Perspektif Kemaslahatan Kebangsaan, Yogyaakarta: Pustaka Pelajar, 2016.

Dokumen terkait