BAB I PENDAHULUAN
F. Metode Penelitian
Salah satu syarat suatu penelitian dapat dikatakan ilmiah adalah adanya metode yang digunakan untuk menguji kebenaran pengetahuan.
Sebagaimana sebuah metode penelitian, sistematika dalam penelitian tentunya harus jelas, baik dari segi penjelasan mengenai pendekatan yang digunakan hingga pengecekan keabsahan datanya.
32Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur‟an, Terj. Agus Fahri Husein, dkk., Yogyakarta: Tiara Wacana Yogy, 1997, hlm.
11. 33
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap al-Qur’a>n, Terj. Agus Fahri Husein, dkk., Yogyakarta: Tiara Wacana Yogy, 1997, hlm.
35.
20 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yang bersifat kualitatif dengan menggunakan telaah kepustakaan atau penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitan yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata.34 Karena keseluruhan penelitian ini menggunakan sumber-sumber pustaka dalam membahas permasalahan yang telah dirumuskan. Sumber-sumber pustaka tersebut di fokuskan pada literatur-literatur yang berkaitan dengan tema yang akan dibahas yaitu konsep waṣilah dalam al- Qur’a>n.35
2. Sumber data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini memuat sumber data primer dan sumber data sekunder. Yaitu dari kitab-kitab klasik dan kontemporer, serta buku-buku penunjang lainnya yang berkaitan dengan tema penelitian, antara lain.
a. Sumber data Primer
1) Tafsir Al-Misbah, karya M. Quraish Shihab
2) Tafsir Taisi>r al-Kari>m ar-Rahma>n karya Abdurrahman as- Sa‟di
b. Sumber data sekunder
1) Buku kupas tuntas tentang Tawassul, karya Abu Anaṣ Ali bin Husain Abu Lauz
2) Buku ensiklopedia al-Qur’a>n, karya M. Quraish Shihab
3) Buku pemahaman yang harus diluruskan, karya as-Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki al-Hasani
4) Tafsir al-Qur’a>n al-Azhim, karya Ibnu Katsi>r 5) Tafsir Shofwatu at-Tafsir, karya Ali as-Shabuni
6) Tafsir Jalalain, karya Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al Mahalli dan Jalaluddin „Abd ar Rahman bin Abi Bakr as Suyuti.
3. Teknik Pengumpulan Data
28Meleong, Metode Penelitian Kulaitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 2.
35Sofya Ramdanti, Konsep Wasilah dalam al-Qur’a>n , (Skripsi: Institut Agama Islam Negeri Salatiga, 2021), hlm. 11-12.
21
Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode dokumentasi sebagai teknik pengumpulan data. Dokumentasi, berasal dari kata dokumen yang berarti barang-barang tertulis.36 Sehingga proses penelitian ini akan diselidiki benda-benda tertulis, seperti kitab-kitab klasik dan kontemporer, buku-buku, catatan-catatan lainnya yang berkaitan dengan makna dan penafsiran wasi>lah dalam al-Qur’a>n dari kedua mufassir.
4. Teknik Analisis Data
Tujuan dari analisa data pada penelitian ini adalah mengumpulkan ayat-ayat tentang wasi>lah dalam al-Qur’a>n yang dikumpulkan baik dari sumber data sekunder maupun primer dengan demikian dapat menganalisa data dengan menggunakan metode deskriptif.
G. Sistematika Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji Penafsiran konsep wasi>lah dalam al-Qur’a>n yang peneliti fokuskan pada kajian studi komparatif antara penafsiran Abdurrahman as-Sa‟di dan penafsiran M.
Qurasih Shihab. Dalam penelitian ini, dirangkai dalam lima bab secara runtun dengan perincian sebagai berikut:
BAB I Dalam bab ini, uaraian peneliti yang dikemukakan adalah mencakup latar belakang masalah yakni dasar permasalahan yang peneliti teliti termasuk hasil identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori (kata kunci dari perumusan masalah), metode kajian, sistematika pembahasan.
BAB II Dalam bab ini membahas mengenai gambaran tentang wasi>lah yang terdiri dari beberapa sub-sub terkait wasi>lah, memuat tentang makna wasi>lah, pendekatan wasi>lah dalam kajian Semantik, dan bentuk-bentuk dari wasi>lah .
BAB III Dalam bagian ini, peneliti membahas dimensi pemikiran Abdurrahman al-Sa‟di dan M. Quraish Shihab yang tertuang dalam berbagai literatur dan dapat mengkomparasikan pemikiran Abdurrahman al-Sa‟adi dan M. Quraish Shihab.
36Fadjrul Hakam chozin, Cara Mudah Menulis Karya Ilmiah (Surabaya: Alpha, 1997), hlm. 66.
22
BAB IV Dalam bagian ini, memberikan kesimpulan dari rumusan masalah yang peneliti kaji, baik mengenai wasi>lah hingga hasil komparasi pendapat antara penafsiran Abdurrahman al-Sa‟di dan penafsiran M. Qurasih Shihab.
23 BAB II
Perspektif Semantik Toshihiko Izutsu A. Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Semantik adalah berasal dari bahasa Yunani mengandung makna To Signify atau memaknai. Semantik, mengandung pengertian sebagai studi tentang makna, dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa. Makna Semantik bagian dari linguistik.37
Semantik adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhrinya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai alat bicara dan berfikir, tapi yang lebih penting lagi pengkosepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya. Kata-kata atau konsep- konsep dalam al-Qur’a>n itu tidak sederhana. Kedudukannya masing-masing saling terpisah, tetapi saling bergantung dan menghasilkan makna yang konkrit dari seluruh sistem hubungan tersebut. Dengan kata lain, kata-kata itu membentuk kelompok- kelompok yang bervariasi, besar, kecil, dan saling berhubungan satu sama lain dengan berbagai cara, yang pada akhirnya menghasilkan keteraturan yang menyeluruh.38
Al-Qur’a>n yang dijelaskan secara umum pada suatu tempat maka akan dijelaskan lagi pada ayat berikutnya secara rinci, karena satu kesatuan makna yang tidak dapat dipisahkan karena saling mempengaruhi satu sama lain. Oleh sebab itu ketika sedang menjelaskan al-Qur’a>n sebagian ayat harus melihat juga terhadap ayat-ayat yang lain juga yang mungkin menjelasakan hal yang sama.
Untuk lebih memahami kajian makna, maka harus mengenal yang namanya analisis Semantik yang mana telah digunakan untuk memahami beberapa kata kunci dalam al-Qur’a>n.
Dalam sejarah ilmu Semantik dimulai pada tahun 1880-an sampai
37Aminuddin, Semantik Pengantar Studi Tentang Makna, (Bandunng: Sinar Baru Algensindo, 2016), hlm. 15.
38Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia,Terj. Agus Fahri Husein, dkk., (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997), hlm. 3-4.
24
kira-kira setengah abad kemudian. Semantik disepakati sebagai istilah yang digunakan dalam bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan hal-hal lainnya.
Ketika dalam kajian bahasa dibahas juga tentang pembentukan kata, lalu lahirlah ilmu morfologi atau ilmu shorof.
Ilmu ini membahas pembentukan kata, derivasi kata, struktur kata, kata plural dan tunggal, kata ganti atau dhamir dan sebagainnya.
Para ulama klasik telah menggambarkan urgensi konteks, sehingga mereka membuat ungkapan khusus, yang hingga hari ini kita pegang. Pada tataran leksikal, konteks dapat membatasi makna suatu kata, bahkan dapat membedakan antara kata-kata yang memiliki hubungan polisemi, homonimi, dan homofoni. Perhatian para ahli balagah kepada kajian konteks dapat dilihat pada studi tentang konsep لاحلا ىضتقم dan hubungan antara speech event dan context of situation لاقملاو لاقملا.39
B. Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Toshihiko Izutsu mendefinisikan bahwa kajian Semantik adalah sebuah kajian yang membahas terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang pada akhirnya sampai pada pengertian konseptual.
Toshihiko Izutsu mengatakan bahwa semantik adalah menekankan al-Qur’a>n unutk menafsirkan konsepnya sendiri dan berbicara tentang dirinya sendiri, dengan memusatkan pembahasannya untuk menganalisis struktur Semantik terhadap kata-kata yang berharga dalam al-Qur’a>n.40
Untuk memahami bagaimana Toshihiko Izutsu menerapkan metode Semantiknya peneliti mengacu pada karyanya yaitu, God and Man in The Qur‟an: Semantik of the Qur‟anic Weltanschauung (1964) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Tiara Wacana: Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan semantik terhadap al-Qur’a>n. Dalam karyanya
39Mohammad Kholison, Semantik Bahasa Arab: Tinjauan Historis,Teoritik, dan Aplikatif, (Malang: CV Lisan Arabi, 2016), hlm. 293.
40Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an (Struktularisme, Semantik, Semiotik, Dan Hermeneutika, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 258.
25
Toshihiko Izutsu mengungkapakan metode Semantiknya yang terfokus pada pembahasan yaitu:
1. Integration of Individual Concepts (Keterpaduan konsep- konsep Individual) atau fokus kata
Konsep kata dalam al-Qur’a>n itu tidak sederhana kedudukannya masing-masing saling terpisah tetapi saling bergantungan dan menghasilkan makna yang konkrit. Dengan istilah kata yaitu membentuk kelompok kata yang bervarisi, besar, kecil dan berhubungan satu sama lain.41
2. Basic Meaning (Makna Dasar) and Relational Meaning (Makna Relasional)
Untuk memahami konsep keterpaduan kata-kata individual secara keseluruhan dalam al-Qur’a>n, seperti yang kita ketahui kata dalam al-Qur’a>n itu tidak berdiri dengan sendirinya sehingga diperlukan analisis antara pemahaman masing-masing konsep pada pengertian makna dasar dan makna relasional.
Makna dasar merupakan suatu kata yang melekat pada kata itu sendiri. Sedangkan makna relasional merupakan suatu yang konotatif yang ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata pada posisi khusus dalam bidang khusus.
3. Historical Meaning (Makna Historis)
Toshihiko Izutsu melakukan penelusuran terhadap sejarah makna pada tahap ini yang terfokus pada kata yang akan dikaji yang disebut dengan istilah makna historis. Kajian tentang makna historis dilakukan pengkajian analisis yang terbagi menjadi dua analisis yakni, sinkronis dan diakronik. Sinkronik adalah sistem kata yang tetap dibatasi oleh konteks tertentu, sedangkan diakronik adalah suatu sudut pandang terhadap bahasa yang pada prinsip menitikberatkan terhadap pola unsur waktu. Dengan demikian diakronik sekumpulan kosa kata yang
41 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Mnusia: Pendekatan Semantik Terhadap al-Qur’a>n, Terj. Agus Fahri Husein, dkk., (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), hlm. 4.
26
masing-masing tumbuh dan berubah secara bebas dengan cara sendiri dalam jangka waktu tertentu.42
Penulusuran makna historis berperan penting untuk mencapai Welthanschauung, dalam sudut pandang diakronik Izutsu membagi menjadi tiga priode yaitu: pra Qur‟anik (sebelum al- Qur’a>n diturunkan), Qur‟anik (masa turunnya al-Qur’a>n) dan pasca Qur‟anik (setelah turunnya al-Qur’a>n)
4. Weltanschauung
Pada tahap ini adalah bagian akhir dari kajian analisis Semantik Toshihiko Izutsu dimaksudkan untuk menemukan istilah-istilah kunci dalam suatu bahasa al-Qur’a>n untuk memahami pandangan dunia al-Qur’a>n yang tidak hanya sebagai alat berbicara dan berfikir akan tetapi lebih penting lagi bagaimana pengkonsepan penafsiran al al-Qur’a>n memberikan pengaruh terhadap masyarakatnya.43
C. Makna Wasi>lah
Wasi>lah mempunyai arti wasitah atau perantara, atau bisa diartikan jalan44 atau sebab yang mendekatkan kepada yang lain.45 Orang yang melakukan tawassul disebut dengan mutawassil bentuk plural dari kata Wasil. Dari kata-kata itulah kemudian praktek tentang wasi>lah bisa pula dikenal dengan istilah tawassul.
Jadi, jika kata tawassul disebutkan, maka ia jelas memiliki hubungan yang sangat erat dengan kata wasi>lah, karena ia merupakan bentuk isim Mashdar dari kata tawassala.46
Ibnu Katsi>r berkata, “Wasi>l adalah orang yang memiliki keinginan. Wasi>lah artinya pendekatan, perantara dan sarana yang dapat memenuhi keinginan. Bentuk Pluralnya adalah Wasa‟il. al- Fairuz Zabadi menjelaskan, “Wassala Ilaihi Tausi>lan” artinya
42 Ibid, hlm. 32.
43 Ibid, hlm. 35.
44 Muhammad Idris Al-Marbawi, Qamus Idris Al-Marbawi, (Bandung : Syirkah Al-Ma‟arif, tt), 389.
45 Ahmad Yunus, Kamus Yunus (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1990), 499.
46Muhammad Hanif Muslih, Keshahihan Dalil Tawassul Menurut Petunjuk al- Qur’a>n dan al-Hadis (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2011), 51.
27
mendapatkan apa yang diinginkan dengan sarana yang telah disediakan.
Ar-Raghib al-Ashfahani berkata, hakikat dari wasi>lah kepada Allah SWT adalah memperhatikan jalan-Nya dengan ilmu dan ibadah, serta menapaki kemuliaan syariaat seperti taqarrub,47 sehingga tawassul dipahami sebagai mendekatkan diri dengan suatu perantaraan (wasi>lah) atau menjadikan sesuatu yang menurut Allah SWT mempunyai nilai, derajat dan kedudukan yang tinggi, untuk dijadikan sebagai perantaraan (wasi>lah agar doa dapat dikabulkan).
Wasi>lah berbentuk amalan yang dipersembahkan seorang hamba mukmin saat menyampaikan keinginannya untuk dijadikan perantara sehingga keinginanny tercapai. Wasi>lah adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan amalan saleh demi mendekatkan diri kepada-Nya, meraih derajat disisi-Nya, atau untuk memenuhi hajat, mendapatkan manfaat dan terhindar dari bahaya.48
Perbedaan wasi>lah dengan tawassul adalah menurut bahasa, yaitu berarti permohonan atau permintaan, sedangkan waṣȋlah mempunyai arti perantara atau jalan. Tawassul berasal dari fi‟il Ma>dhi, wassala mempunyai arti sebagai at-Taqarrab dan al- Qurbah adalah mendekatkan diri dengan suatu perantara.
Dalam ajaran Islam, tawassul adalah masalah keagamaan yang sangat penting dan secara tegas telah diperintahkan dalam al- Qur’a>n. Hanya saja dalam pelaksanaannya sekarang tawassul telah mengalami banyak praktik penyimpangan. Di dalam beribadah, pastinya dalam diri manusia ingin agar amaliah-amaliah yang dikerjakan dapat sampai pada keridhaan Allah SWT. Karena itu manusia berusaha untuk sampai kepada-Nya, sedang mereka merasa berat atau bahkan tidak terhormat untuk langsung mencapainya, oleh karena itu mereka mencari jalan dengan
47Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, At-Tawassul Aqsamuhu wa Ahkamuhu, pen. Muhammad Iqbal Amrullah (Jakarta: Darul Haq, 2012), 7.
48Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, „Aqidatul Mukmin, terj. Umar Mujtahid (Solo:
Daar An-Naba, 2014), 132.
28
wasi>lah atau perantara antara Allah SWT dan dirinya itu yang disebut dengan istilah tawassul.49
Wasi>lah menurut bahasa dalam kamus Mu‟jam Al-Ma‟ani Arabi Indonesia adalah alat, media, jalan dan perangkat.
Sedangkan arti wasi>lah menurut istilah dalam kitab al-Ta‟rifat adalah wasi>lah yaitu sesuatu yang mendekatkan pada yang lain.
Wasi>lah dalam konteks ini menyangkut suatu perbuatan seorang hamba terhadap Tuhannya bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan melakukan perbuatan yang dicintai- Nya.50
49Muhammad Chaidar, Hadis-Hadis tentang Tawasul, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010), 2.
7 Sofiya Ramadanti, Konsep Wailah dalam Al-Qur‟an (Studi Komparasi antara Tafsir al-Maraghi dan Tafsir Al-Misbah), (Skripsi, Institut Agama Islam Negeri Salatiga, 2021), hlm. 15-16.
29 BAB III
Penafsiran Abdurrahman Al-Sa’di Dan M. Quraish Shihab terhadap Ayat Wasi>lah dalam Al-Qur’a>n
A. Analisis Penafsiran Ayat Wasi>lah Abdurrahman al-Sa’di dan M.
Quraish Shihab dengan Menggunakan Teori Semantik
Penyebutan kata wasi>lah terdapat pada dua ayat yang berbeda yaiu pada QS al-Maidah [5]:35 dan QS al-Isra [17]:57. Kata wasi>lah itu sendiri adalah sebuah usaha untuk melakukan pendekatan kepada Allah SWT. Secara sosio-kultural tawassul berakar dari kehidupan manusia erat dengan infrastruktur masyarakat yang mengalami perubahan. Pada hakikatnya ber-tawassul menjaga akidah dan mencari keutamaan syariat sebagai jalan atau media untuk lebih dekat dengan Allah SWT.
Dari penafsiran ayat tentang wasi>lah Abdurrahman al-Sa‟di dan M. Quraish Shihab mengkonsepkan kata wasi>lah dengan menggunakan teori Semantik Toshihiko Izutsu, yang menggambarkan pandangan dunia terhadap kosakata al-Qur’a>n yang berhubungan dengan fenomena makna yang lebih luas.
1. Abdurrahman al-Sa‟di berpendapat bahwa kata wasi>lah bermakna sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan segala dimensinya. Kata wasi>lah dinilai sebagai sesuatu yang pasti terjadi sebagaimana rasa cinta, takut, dan ketaatan seseorang.
Pemahman Abdurrahman al-Sa‟di terhadap wasi>lah adalah bentuk kecintaan terhadap Allah SWT apapun yang dikerjaka akan disandarkan kepada Allah SWT baik itu berupa penglihatan, pedengaran maupun perasaan.51 Dalam QS al-Maidah [5]: 35 Allah SWT berfirman:
ٖهِلْيِب َط ْيِف اْو ُدِهاَجَو َتَلْي ِطَىْلا ِهْيَلِا آْىُؼَتْباَو َهّٰللا اىُقاجا اىُىَمٰا ًًَِْرالا اَهُّيَآًٰ
ْم ُنالَع َ ل َنْى ُح ِل ْـُج
51Syakih Abdurrahman Bin Nashir al-Sa‟di, Tafsir al-Qur‟an al-Sa‟d (2) Surah an-Nisa – al-An‟am, (Jakarta: Darul Haq, 2016), hlm. 329-330.
30
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, carilah Wasi>lah (jalan unutk mendekatkan diri) kepada- Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) dijalan-Nya, agar kamu berunutng.52
Kata wasi>lah menurut penafsiran Abdurrahman al-Sa‟di adalah berlomba-lomba dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan orang-orang yang lebih dekat kepada Allah SWT. Pada nabi Muhammad, orang-orang saleh yang mampu mendekatkan diri kepada Allah SWT dan senatiasa melakukan amal-amal saleh.
Sikap Khauf (rasa takut), Raja‟ (pengharapan) dan Mahabbah (kecintaan) kepada Allah SWT disematkan kepada orang-orang yang dekat dengan-Nya ia merupakan asal dasar dalam melakukan kebaikan.53
2. Dengan menggunakan metode ini M. Quraish Shihab menganalisis setiap kosa kata, atau lafal dari aspek bahasa dan makna. Dalam menafsirkan ayat tentang wasi>lah M. Quraish Shihab menjelaskan dalam QS al-Maidah [5]: 35 mengajak untukmendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menyentuh jiwa manusia. Ajakan ini di tunjukan kepada orang-orang yang walaupun baru memiliki sedikit iman. Sebagaimana yang dapat dipahami dari ayat (
ًًَْ ِر الا اَهُّيَااًِ
ْىُى َمَا
) “Wahai orang-orang yang beriman” walaupun hanya sedikitiman, (
ُهلّلاا ْى ُقاج ا
) “Bertakwalah kepada Allah” hindarilah siksa- Nya baik di dunia maupun di akhirat (َتَلْي ِطَى ْلا ِهْيَلِا ْىُؼَتْبَو
)“Bersungguh sungguh mencari jalan” dengan cara yang dibenarkan oleh Allah SWT.. “Yang mendekatkan diri” kamu
52Depertemen Agama RI, (Edisi Penyempurnaan 2019), (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an 2019, hlm. 152.
53Syakih Abdurrahman Bin Nashir al-Sa‟di, Tafsir al-Qur‟an al-Sa‟d (2) Surah an-Nisa – al-An‟am, (Jakarta: Darul Haq, 2016), hlm. 267-268.
31
“Kepada ridho-Nya dan berjihadlah pada jalan-Nya” yakni dengan mengarahkan segala kemampuan secara lahir dan batin untuk menegakkan nilai-nilai ajaran Allah SWT, termasuk jihad melawan hawa nafsu.54
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata wasi>lah dalam QS al-Isra [17]: 57 adalah wasi>lah yang dilakukan oleh orang- orang musyrik yang mengganggap Isa, Uzair, Malaikat itu tidak dapat memberikan manfaat sedikitpun dan menolak bencana, mereka semua itu lemah. Bahwa orang-orang musyrik itu tetap berusaha untuk dapat dekat dengan Tuhan mereka dengan cara berlomba-lomba dalam tawassul yang disepakati.55
Teori Toshihiko Izutsu menggambarkan secara umum bahwa kata wasi>lah dalam al-Qur’a>n mengalami perubahan makna karena suatu kondisi tertentu terhadap masyarakat yang menggunakan perantara dalam melakukan sesuatu yang diinginkan. Beberapa ulama berpendapat yang sama untuk menguatkan.
Ibnu Taimiyah menegaskan bahwasannya di perbolehnya seseorang melakukan tawassul dengan nabi Muhammad SAW tanpa membedakan antara semasa hidup dan sesudah wafat dan antara ditengah-tengah sahabat atau tidak. Ibnu Taimiyah juga berkata “Tawassul kepada Allah SWT dengan selain nabi Muhammad, baik disebut istighosah atau bukan, saya tidak pernah mengetahui salah seorang generasi Salaf melakukannya dan meriwayatkan Atsarnya. Menurut Jalaludin as-Suyuthi dan Jalaludin al-Mahali, wasi>lah dan tawassul adalah jalan sebagai mendekatkan diri kepada Allah SWT mereka berpendapat seharusnya seorang hamba senatiasa mencari jalan unutk mendekatkan diri dan taat kepada Allah SWT. Serta menjunjung tinggi agama Islam agar kelak mendaptkan kemenangan.56
54Sofiya Ramadanti, Konsep Wailah dalam al-Qur’a>n (Studi Komparasi antara Tafsir al-Maraghi dan Tafsir Al-Misbah), (Skripsi, Institut Agama Islam Negeri Salatiga, 2021), hlm. 76-77.
55M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, Keserasian al-Qur’a>n, vol.
3, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 180.
56Jalaluddin Muhamamd Al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Jilid 1, hlm. 448 dan Jilid 2, hlm. 325.
32
Al-Muhaddits as-Salafi as-Syaikh Muhammad ibn „Ali as- Syaukani dalam risalahnya yang berjudul Ad-Dhurr an-Nadhȋd Fȋ Ikhlȧsi Kalimȧti at-Tauhi>d mengatakan, “Adapun tawassul kepada Allah SWT dengan salah satu makhluk-Nya dalam mencapai sesuatu yang diinginkan seorang hamba, maka as-Syaikh „Izzuddin ibn „Abdissalam mengatakan, “Bahwasannya tidak boleh tawassul kepada Allah SWT kecuali dengan nabi Muhammad SAW jika Hadis yang menjelaskan tawassul dengan beliau ini dinilai sahih.57
a. Tawassul yang di Perbolehkan
Wasi>lah yang di bolehkan adalah sesuatu yang dapat mengantarkan kepada tujuan, melalui yamg telah disyariatkan Allah SWT dan dijelaskan dalam kitab-Nya dan Sunnah-Nya mempunyai dalil-dalil yang kuat, bukan semata-mata didasari oleh hawa nafsu. Wasi>lah Syar‟iyah hanya bertujuan untuk mencapai sesuatu dengan cara tidak membawa syirik kepada Allah SWT dan menambah ketaatan kepada-Nya. Contohnya mengucapkan dua kalimat Syahadat dan memahami maknanya merupakan wasi>lah untuk mendapatkan ganjaran Surga dan terhindar dari api Neraka. Menghindari perbuatan yang jelek dengan perbuatan yang baik adalah wasi>lah untuk menghapus kejahatan itu sendiri. Melalukan silaturrahmi juga merupakan wasi>lah untuk memperpanjang umur dan meluaskan rezeki, sebagaimana yang telah dijelaskan nabi Muhammad SAW.
ُه َم ِحَز ْل ِصَي ْلَؿ ِهِسَجَا ْيِف ُهَل َا َظْيٍَُو ِهِقْشِز ْيِف ُهَل َط َظْبًُ ْنَا َبّحَ ًَْم
Artinya: “Barang siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan di perpanjang umurnya hendaklah ia menyambung tali persaudaraannya”
Tawassul yang disepakati Ibnu Taimiyah dan murid- muridnya hanya tawaṣul membenarkan pada tiga keadaan saja sesuai dengan nash-nash dalam al-Qur’a>n, Hadis-hadis nabi
57As-Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki al-Hasani, Mafahim Yajib an Tushohhah, terj. Abdussalam „Ammar dan Moh. Hasib Dawam, ( Surabaya:Yayasan Hai‟ah ash-Shofwah, 2014) hlm. 121-122.