• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biota Laut a.Plankton

Dalam dokumen UPT PERPUSTAKAAN - Universitas Udayana (Halaman 63-77)

d.Penyu

Keberadaan penyu di sekitar lokasi kegiatan cukup menarik. Hal ini diakui oleh banyak nelayan yang ada di sekitar pantai Benjon dan Grupuk (Gunung Siwak). Perairan Samudra Hindia memang memiliki akses yang sangat luas dengan pulau-pulau kecil, yang kemungkinan digunakan penyu sebagai bagian dari jalur pertumbuhannya. Pegamatan daerah pendaratan penyu di Derawan, Kalimantan Timur (Suwelo, 1988) menunjukkan preferensi penyu terhadap pantai dengan kemiringan landai dan memiliki lebar pantai antara 30-50 m serta pada umumnya ditumbuhi vegetasi pandan (pandanus tectorius).

Pantai di sekitar Bukit Benjon dan Gunung Siwak memiliki bulir pasir yang halus serta memiliki vegetasi yang rimbun. Hal ini cukup dapat dimengerti bagaimana penyu akan memilih loksi di kedua pantai ini sebagai daerah pendaratan dan bertelur. Selain itu, kedua daerah ini juga masih dapat dikatakan sebagai daerah alami yang minim gangguan. Dari semua pantai yang telah dilakukan survey, maka pantai di Gunung Siwak merupakan pantai dengan potensi terbesar sebagai daerah pendaratan penyu. Hal ini juga didukung dengan kondisi pantai yang banyak menyediakan salah satu komposisi pakan penyu, yakni lamun.berdasarkan informasi masyarakat, memang beberapa kali ditemukan penyu yang mendekati pantai pada tengah malam. Kemungkinan penyu tersebut akan mencari tempat untuk bertelur.

3.2.3.Biota Laut

Kelimpahan plankton akan menentukan produktivitas suatu perairan.

Kehidupan plankton dipengaruhi oleh banyak faktor meliputi musim, arus air, kecerahan, daya hantar listrik atau konduktivitas, sumber nitrogen terutama nitrat. Komposisi plankton keseluruhan disajikan pada Tabel 3.19

Tabel 3.19.Hasil Pengamatan Fito-Plankton di Wilayah Studi

No Nama Species Stasiun Pengamatan

I II III IV

I CHLOROPHYTA

1 Microspora 30 15

2 Botryococcus 15

3 Closterium sp 15 30

4 Selenastrum bibraianum 15

5 Cosmarium 15

II CYANOPHYTA

1 Microcystis aeruginosa 15 15

2 Lyngbya confervoides 30

3 Chroococcus giganteus 15

4 Trichodesmium sp 15

5 Gomphosphaeria 30

III BACILLARIOPHYCEAE

1 Lauderia borealis 15

2 Nitzschia lorenziana 15

3 Skeletonema costatum 30

4 Diatoma sp 45 15 45

5 Diatoma vulgare 30

6 Melosira sp 45 60

7 Thalassiosira sp 15 30 30

8 Rhizosolenia sp 75 45 45 90

9 Biddulphia 15 15

IV DINOFLAGELLATA

1 Ceratium sp 15

2 Dinophysis sp 15 15

V MASTIGOPHORA

1 Phacus anomale 15 15

2 Euglena spirogyra 30

3 Euglena oxyurus 15

VI RADIOLARIA

1 Collasphaera 15

Abundance (ind/ltr) 255 210 315 270

Number of species 9 10 11 9

Diversity Index 1.9721 2.2056 2.2685 1.9851

Dominancy Index 0.1696 0.1224 0.1156 0.1728

Sumber; Hasil Survey,2018

Keberadaan fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae cukup banyak yang terdiri atas 9 spesies. Menurut Sachlan (1972), fitoplankton yang hidup pada kisaran salinitas diatas 20‰ sebagian besar merupakan plankton dari kelompok Bacillariophyta. Keadaan demikian menurut Riley (1967), diduga berkaitan dengan kondisi perairan yang mendukung terutama keadaan salinitas dan ketersediaan unsur hara. Yudilasmono (1996) dalam Arsil (1999), menyatakan bahwa Bacillariophyta atau Bacillariophyceae lebih mudah beradaptasi dengan lingkungannya dan merupakan kelompok fitoplankton yang disenangi oleh ikan dan larva udang.

Sedangkan untuk zooplankton, ditemukan sekitar 5-6 spesies yang menyebar di lokasi pengamatan. Copepoda merupakan zooplankton yang mendominasi di semua laut dan samudera, serta merupakan herbivora utama dalam perairan-perairan bahari dan memiliki kemampuan menentukan bentuk kurva populasi fitoplankton. Copepoda berperan sebagai mata rantai yang amat penting antara produksi primer fitoplankton dengan para karnivora besar dan kecil (Nybakken,1992).

Tabel 3.20.Hasil Pengamatan Zoo-Plankton di Wilayah Studi

No Nama Species Stasiun Pengamatan

I II III IV

I ROTIFERA

1 Euchlanis calyciflorus 15

2 Brachionus sp 30

3 Gastropus sp 45

4 Keratella sp 15

II CLADOCERA

1 Bosmina sp 15 15

2 Evadne sp 15

III COPEPODA

1 Microcyclops leuckarti 15

2 Cyclops sp 15 15

3 Calanus finmarchicus 30

4 Calacalanus parvus 30

5 Eucalanus bungii 15 15

6 Macrostella sp 30 30 45

7 Diaptomus sp 15 15

8 Eucyclops sp 15 15

IV MYSIDACEA

1 Mysis sp 15

Abundance (ind/ltr) 105 135 120 105

Number of species 5 6 6 5

Diversity Index 1.5498 1.677 1.7329 1.475

Dominancy Index 0.2245 0.2099 0.1875 0.2853

Sumber; Hasil Survey,2018

Sebagai zooplankton predominan, mengindikasikan bahwa perairan di lokasi studi cukup potensial untuk mendukung kehidupan biota laut pelagis.

Hal ini didukung oleh penelitian para pakar, yang menyatakan bahwa ikan-ikan pelagis seperti teri, kembung, lemuru, tembang dan bahkan cakalang berpreferensi sebagai pemangsa Copepoda dan larva decapoda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wiadnyana [16] bahwa kelompok Copepoda di dalam lingkungan yang kondisinya normal, bergerombolnya biota laut hampir selalu berkaitan erat dengan banyaknya mangsa pakan di suatu perairan.

Copepoda sebagai unsur dominan yang ditemukan pada komunitas zooplankton di perairan lokasi studi.

Keragaman jenis merupakan parameter yang digunakan dalam mengetahui suatu komunitas. Parameter ini mencirikan kekayaan jenis dan keseimbangan dalam suatu komunitas. Ekosistem dengan keragaman rendah adalah tidak stabil dan rentan terhadap pengaruh tekanan dari luar dibandingkan dengan ekosistem yang memiliki keragaman tinggi (Boyd, 1999). Fitoplankton selain berfungsi dalam keseimbangan ekosistem perairan budidaya, juga berfungsi sebagai pakan alami di dalam usaha budidaya.

Romimohtarto dan Juwana (1998) menyatakan bahwa Crustacea merupakan

jenis zooplankton yang terpenting bagi ikan-ikan, baik di perairan tawar maupun di perairan laut.

Berdasarkan hasil penghitungan Indeks Keanekaragaman (Diversity Index) terhadap jenis-jenis plankton yang teramati di tiap lokasi sampling secara umum bahwa indeks keanekaragaman plankton di sungai H’ < 2,3026 sedangkan di pesisir umumnya keanekaragaman plankton H’ > 2,3026.

Menurut klasifikasi Wilhm dan Dorris (1968) dalam Mason (1981) :

 H’ < 2,3026 : keanekaragaman kecil dan kestabilan komunitas rendah

 2,3026<H’> 6,9078: keanekaragaman dan kestabilan komunitas sedang

 H’ > 6,9078 : keanekaragaman tinggi dan kestabilan komunitas tinggi

Keanekaragaman biota perairan di daerah sungai tergolong kecil dan kestabilan komunitas rendah sedangkan keanekargaman di pesisir tergolong keragaman sedang dan kestabilan komunitas sedang. Keanekaragaman di pesisir yang tergolong sedang ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti adanya padang lamun, terumbu karang dan hutan bakau sehingga kondisi perairan di lokasi studi mempunyai kelimpahan lebih padat dengan demikian dapat dikatakan bahwa perairan di lokasi studi cukup subur akan nutrisi.

Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut.

Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengganggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang.

Plankton di kawasan perairan hutan mangrove keadaannya agak berbeda. Menurut Barnes (1974) konsentrasi laut lepas, karena fungsi fitoplankton ini disubtitusi oleh daun-daun mangrove yang telah terurai dan larut terdekomposisi diperairan sekitarnya. Daun-daun yang gugur tersebut menjadi substrat yang baik bagi pertumbuhan bakteri, fungi juga fitoplankton yang nantinya akan menjadi makanan zooplankton,dan akhirnya menjadi makanan larva ikan demikian seterusnya.

Disebutkan oleh Ridd et al. dan Lugo & Snedaker, bahwa perairan di sekitar hutan mangrove memiliki peranan dan memegang kunci dalam perputaran nutrien, sehingga eksistensinya dapat berperan dalam menopang dan memberikan tempat kehidupan biota laut, apabila lingkungannya relatif stabil, kondusif dan tidak terlalu berfluktuatif.

Komunitas mangrove merupakan tempat yang ideal bagi fitoplankton dan larva-larva biota laut untuk hadir dan mengawali kehidupan, karena tersedianya tempat dan pakan yang memadai. Umumnya biota-biota yang ada di daerah terseut adalah larva ikan yang masih planktonik yang sangat tergantung arus untuk datang dan pergi ke komunitas mangrove (Nyabakken, 1992).

Pada jenis-jenis mangrove yang berbeda akan terjadi perbedaan pula pada fungsi mekanik (penahan ombak) dari perakaran hutan mangrove. Hal ini berurut-turut akan berpengaruh trhadap akumulasi sedimen, kandungan bahan organik dan intensitas proses dekomposisi. Selanjutnya juga akan berpengaruh terhadap kelimpahan fitoplankton dan dengan demikian energi yang siap dialihkan pada biota diatasnya

b.Benthos

Benthos adalah organisme yang hidup merayap atau menetap di dasar perairan yang ikut menentukan kualitas perairan. Produksi ikan dari suatu perairan antara lain ditentukan oleh kelimpahan benthos, karena benthos adalah salah satu sumber pakan ikan. Kehidupan benthos ditentukan oleh

faktor-faktor lingkungan termasuk debit dan arus air. Hasil identifikasi diperoleh jenis-jenis benthos seperti yang disajikan pada Tabel 3.21.

Tabel 3.21. Hasil Pengamatan Benthos di Wilayah Studi

No Nama spesies COMMON NAME

FAMILY Stasiun Pengamatan

I II III IV

I PELECYPODA

1 Asaphis sp Sunset shell Psammobiidae 3 3

2 Mytilus sp Mussel Mytetidae 3 2

3 Trachycardium orbita Clam Carditidae 2 2

4 Trapezium oblongum False mussel Trapeziidae 3

II GASTROPODA

1 Strombus sp Stromb Strombidae 4 3 2 2

2 Olivia sp Olive shell Olividae 2

3 Olivia miniacea Olive shell Olividae 2

4 Polinices aurantius Moon shell Naticidae 3

5 Coralliophila radula Coral shell Coralliophilidae 3 3 2 3

6 Conus rattus Cone shell Coniidae 2

7 Conus sulcatus Cone shell Coniidae 4

8 Terebra sp Auger shell Terebridae 3 3 3

9 Architectonia perspectiva

Sundial shell Architectonicidae 3

10 Phos senticocus Whelk Buccinidae 3

11 Cymatium lotorium Trumpet shell Cymatiidae 3 3

12 Casmaria arinaceus Helmet shell Cassidae 2

13 Haliotis asinina Abalone Haliotidae 3

14 Vexillum taeniatum False mitre Costalleridae 3

15 Chicoreus chicoreus Murex shell Muricidae 3

16 Cyprarea mauritiana Cowries Cypraeidae 3 3

17 C. arabica Cowries Cypraeidae 3

18 C. cribaria Cowries Cypraeidae 2

III CRUSTACEA

1 Odontodactylus sp Mantis shrimp Squillidae 2

2 Nennalpheus sp Shrimp Alpheidae 2 4 2 1

3 Alpheus sp Shrimp Alpheidae 2

4 Schizophrys aspera Spider crab Majidae 2

5 S. dama Ornamental crab Majidae 3

6 Huenia heraldica Arrowhead crab Majidae 2

7 Paraetisus sp Reef crab Xanthidae 2

8 Etisus bifrontalis Reef crab Xanthidae 3

9 Liomera cinctimana Reef crab Xanthidae 3

11 Eriphia sebana Red eyed crab Menippidae 2

12 Thalamita prymna Swimmer crab Portunidae 2

13 Thalamita sp Swimmer crab Portunidae 2 2

14 Portunus pelagis Swimmer crab Portunidae 3 1

15 Portunus sp Swimmer crab Portunidae 2 2

16 Calappa hepatica Box crab Calappidae 2

V HOLOTHUROIDEA

1 Labidodemas sempertanum

Holothurian Holothuridae 1

2 Holothuria atra Holothurian Holothuridae 2

3 H. edulis Holothurian Holothuridae 2

4 Euapta godeffroyi Holothurian Synaptidae 2 2

VI ASTEROIDEA

1 Protoreaster sp Sea star Oreasteridae 3 2 2

VII ECHINOIDEA

1 Stomopheustes variolaris

Sea urchin Stomopneustidae 2

2 Mespilla globulus Sea urchin Temnopleuridae 3

3 Tripneustes gratilla Sea urchin Toxopneustidae 1 2

4 Echinometra sp Sea urchin Echinometridae 1

5 Parasalenia gratiosa Sea urchin Parasaleniidae 1

6 Deadema setasum Sea urchin Diadematidae 3

VIII OPHIUROIDEA

1 Ophiarachnia incrassata

Brittle star Ophiodermatidae 1 2 1

IX POLYCHAETA

1 Eunica sp Palalo worm Eunicidae 3 1

2 Eurythoe complanata Bristle worm Amphionidae 2 1

Abundance (ind/m2) 51 52 45 37

Number of species 21 20 21 18

Diversity Index 2.9799 2.9608 2.9975 2.8283

Dominancy Index 0.0534 0.0533 0.0519 0.0621

Sumber: Hasil Survey,2018

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan menunjukkan adanya kemiripan dengan hasil plankton yaitu adanya perbedaan jumlah, jenis, dan keragaman bentos di pesisir lebih tinggi daripada di sungai. Dari hasil penghitungan Indeks Keanekaragaman (Diversity Index) terhadap jenis-jenis bentos yang teramati di tiap lokasi sampling secara umum bahwa indeks keanekaragaman bentos H’ = 2,8-2,9 yang menunjukan kondisi keragaman yang sedang.

Pengamatan kondisi existing ekosistem terumbu karang dilakukan tiga lokasi yaitu Tanjung Aan 1 dan 2 serta Scorpion. Lokasi lain yaitu Medas, Pelawang dan Gerupuk hanya dilakukan pengamatan visual karena kondisi terumbu karang sudah sangat rusak, hampir 80% karang telah mati.

Persentase penutupan terumbu karang di lokasi Tanjung Aan dan Scorpion dapat dilihat pada Tabel 3.22.

Tabel 3.22 Persentase Penutupan Terumbu Karang

BENTUK HIDUP Persentase Penutupan

Tj. Aan 1 Tj. Aan 2 Scorpion

Karang Keras

Acropora Branching (ACB) 0,5 2,5 10,5

Acropora Digitate (ACD) 0,5 2.5 0,5

Acropora Submassive (ACS) 0,5 5,5 25,5

Coral Branching (CB) 0,5 3,5 8,5

Coral Foliose (CF) 0,5 0,5 1,5

Coral Massive (CM) 7,5 3,2 2,2

Millepora (CME) 0.5 1,2 0,5

Coral Submassive (CS) 3,0 2,4 0,5

Jumlah Karang Keras 13,5 20,3 49,7

Dead Coral (DC) 8,5 0,5 0

Dead Coral with Algae (DCA) 25,5 28,5 32,5

Jumlah Karang Mati 34,0 29,0 32,5

Fauna Lain

Soft Coral (SC) 38,5 2,5 4,5

Other (OT) 0.5 0,5 0,5

Jumlah Fauna Lain 39,0 3,0 5,0

Alga

Macroalgae (MA) 4,2 22,5 3,5

Jumlah Alga 4,2 22,5 3,5

Abiotik

Rubbel (RB) 0 1.5 2.0

Sand (S) 8,5 0,5 0,5

Water (W) 0.5 0,5 0,5

Jumlah Abiotik 9,0 2,5 3,0

Sumber: Hasil pengamatan,2018

Pengamatan kondisi existing terumbu karang di lokasi Tanjung Aan 1 menunjukan kondisi perairan sangat keruh dengan jarak pandang 1-2 meter, kontur landai dan substrat dasar didominasi oleh karang mati yang telah diselimuti alga. Terumbu karang yang terdapat di lokasi Tanjung Aan 1 berasosiasi dengan lamun. Ikan karang yang dijumpai antara lain Famili

Chaetodontidae, Ephiphedae, Pomacentridae, Acanthuridae, Apogonidae, Gobiidae, Scaridae dan Labridae.

Komposisi terumbu karang terdiri dari karang keras hidup sebesar 13,5

%; Fauna lain yang terdiri dari Soft Coral dan berbagai biota lain (teripang, bintang laut) sebesar 39,0%; Makroalga sebesar 4,2 % dan biotik sebesar 9,0%. Adanya muara sungai di daerah Tanjung Aan merupakan salah satu penyebab tingginya particle suspended solid yang membawa materi organik ke badan perairan. Kondisi tersebut menyebabkan makroalga tumbuh subur di dasar perairan terutama di permukaan karang yang telah mati. Perairan yang keruh dapat mengakibatkan berkurangnya penetrasi cahaya matahari ke dasar perairan serta terhalangnya polip-polip yang terdapat pada karang sehingga terumbu karang tidak dapat tumbuh dengan optimal. Berdasarkan Kepmen LH No. 400/2004, terumbu karang di lokasi Tanjung Aan 1 termasuk dalam kategori buruk karena hanya memiliki tutupan karang keras yang hidup sebesar 13,5%.

Terumbu karang di lokasi Tanjung Aan 2 terletak di kedalaman 2-3 meter, perairan keruh dengan jarak pandang 1-2 meter. Kontur dasar perairan relatif landai dengan substrat dasar berupa pasir-lumpur. Komposisi terumbu karang di lokasi Tanjung Aan 2 terdiri dari karang keras yang hidup sebesar 20,3 %; Fauna lain yaitu soft coral sebesar 3,0 %; Makroalga sebesar 22,5%;

dan patahan karang sebesar 2,5%. Karang keras yang telah mati dan mati diselimuti alga sebesar 29,0%.

d.Ekosistem Lamun

Lamun merupakan tumbuhan berbunga serupa rerumputan yang tumbuh di areal zona tidal (pasang surut) air laut. Seperti halnya tumbuhan berbunga, lamun memiliki organ daun, batang, dan akar serta bunga yang jelas, dan termasuk ke dalam tumbuhan monokotil (berkeping biji tunggal).

Padang lamun merupakan lansekap yang ditumbuhi komunitas lamun (baik sejenis maupun berbagai jenis) membentuk vegetasi yang khas di zona pasang surut air laut. Padang lamun sendiri menyediakan habitat bagi berbagi

jenis organism laut seperti ikan, echinodermata dan berbagai invertebrate lain membentuk suatu ekosistem padang lamun. Ekosistem padang lamun berfungsi sebagai penyuplai energi, baik pada zona bentik maupun pelagis.

Detritus daun lamun yang tua didekomposisi oleh sekumpulan jasad bentik (seperti teripang, kerang, kepiting, dan bakteri), sehingga dihasilkan bahan organik, baik yang tersuspensi maupun yang terlarut dalam bentuk nutrien.

Nutrien tersebut tidak hanya bermanfaat bagi tumbuhan lamun, tetapi juga bermanfaat untuk pertumbuhan fitoplankton dan selanjutnya zooplankton, dan juvenil ikan/udang.

Seperti padang lamun pada umumnya, di Mandalika,bersama dengan komunitas terumbu karang ekosistem padang lamun menyediakan kehidupan bagi biodiversitas air laut sehingga memiliki nilai penting bagi kawasan tersebut. Pengukuran dan penilaian terhadap kondisi padang lamun perlu dilakukan untuk menilai kondisi kualitas ekosistem lingkungan laut dan terutama dapat membantu memberikan pertimbangan terhadap pembangunan di areal tersebut.

Hasil survey padang lamun pada bulan April 2018 dilakukan di pantai Kuta, Benjon, Serenting, Tanjung Aan dan Gerupuk. Metode yang dilakukan adalah Rapid Assessment dengan melihat jenis lamun dan estimasi tutupan lahannya, substrat, dan kekeruhan. Pelaksaanan pengamatan dilakukan dengan snorkeling. Hasil pengamatan lamun dapat dilihat pada Tabel 3.23.

Tabel 3.23. Total Jenis Lamun yang Dijumpai di Areal Pengamatan

Jenis Lokasi

Kuta Benjon Serenting Tanjung Aan Gerupuk

Cymodocea rotundata

Cymodocea serrulata

Enhalus acoroides

Halodule pinifolia

Halodule uninervis

Halophila ovalis

Halophila spinulosa

Syringodium isoetifolium

Thallasia hemprichii

Thalassodendron ciliatum

total 8 6 5 7 8

Pada umumnya kondisi padang lamun cukup baik, kemungkinan karena adanya kegiatan yang melakukan pembersihan di sekitar lokasi pantai-pantai tempat pengukuran. Kondisi kawasan yang semakin berkembang mengakibatkan banyak program perbaikan pantai yang dilakukan sehingga kondisinya lebih bersih.

Kondisi perairan di pantai Kuta pada saat pengukuran relatif baik.

Didapatkan tingkat kekeruhan sebesar 4,6 NTU dengan jarak pandang bekisar 10-50 cm. Kondisi substrat berupa pasir dengan butiran kasar (diameter 0.5- 2 mm) dan butiran halus (diameter <0.5 cm), kedalaman lamun bekisar 1-3 m dibawah permukaan laut (kondisi pasang). Estimasi persen tutupan lamun tertinggi adalah Cymodocea rotundata (45 %) dan Enhalus acoroides (36%).

Jenis yang dijumpai:Cymodocea rotundata; Enhalus acoroides; Halodule univervis; Halophila ovalis; Syringodium isoetifolium; Thallasia hemprichii

Di lokasi ini, terdapat muara sungai yang cukup besar yang membawa substrat tanah ke laut yang menyebabkan pertumbuhan lamun terhambat. Hal tersebut mengakibatkan luas area padang lamun tidak cukup luas. Hanya ditemui sebanyak 4 jenis lamun dengan persen tutupan lamun terbesar adalah Cymodocea rotundata (46%) dan Syringodium isoetifolium (25%), lainnya adalah Halodule pinifolia (8 %) dan H. uninervis (4 %). saat pengamatan dilakukan jarak pandang hanya sekitar 35 meter, dan kedalaman lamun sekitar 1-2 meter dibawah permukaan laut. Substrat lamun berupa pasir kasar (diam.

0.5-2 mm) dan halus (diam. <0.5 mm). Jenis yang didapatkan meliputi Cymodocea rotundata; Halodule pinifolia, dan Halodule univervis’

c.Bau Nyale

Dongeng tentang Nyalei berkisah seputaran cerita seorang putri cantik jelita dari yang bernama Putri Mandalika yang menjadi rebutan banyak pangeran. Karena berbagai ancaman dan desakan untuk segera memilih calon pasangan, maka putri Mandalika dihadapan rakyat yang diperintah kerajaannya dan kerajaan para pangeran, melakukan pengorbanan dengan

melompat ke laut di pantai Kuta, dan berpesan bahwa dia adalah milik semua rakyat, hingga akhirnya rakyatnya menjumpai cacing-cacing yang keluar dari celah karang tempat putri meloncat ke laut. Sejak itulah masyarakat mencari nyale, yang diyakini sebagai manifestasi kasih sayang putri bagi rakyatnya.

Diluar semua mitos yang sangat melegenda di masyarakat, tradisi nyale setidaknya berperan dalam pengelolaan kawasan pantai disekitar wilayah Lombok Tengah. Nyale yang keluar dari celah coral yang ada di sepanjang pantai berpasir, mengharuskan masyarakat dan pemda untuk senantiasa menjaga ekosistem di sekitar pantai, seperti misalnya kawasan terumbu karang dan padang lamun.

Nyale yang dikatakan oleh masyarakat terdiri atas beberapa warna dan ukuran, sejatinya menunjukkan bahwa nyale adalah sebutan untuk komunitas cacing yang tergolong polychaeta. Cacing laut Polichaeta (filum Annelida) adalah salah satu biota yang keberadaannya cukup dominan pada ekosistem laut maupun estuaria. Kehadiran cacing ini memiliki arti penting pada rantai dan jejaring makanan (Nybakken, 1993). Cacing polychaeta dapat berperan sebagai detritivor dan menyediakan sumber makanan untuk ikan, udang dan organisme besar lainnya di wilayah intertidal.

Uniknya, beberapa spesies dari cacing laut Polikhaeta juga biasa dikonsumsi oleh masyarakat di beberapa kawasan di Indonesia Timur. Jenis cacing laut yang dikonsumsi oleh mereka, umumnya, berasal dari spesies yang menunjukkan fenomena swarming. Swarming ini adalah fenomena kemunculan massal cacing laut untuk melakukan perkawinan secara external.

Monk et al. (1997), dalam penelitiannya di perairan Lombok, Sumba, dan Ambon melaporkan ada 4 jenis cacing laut Polychaeta yang menunjukkan fenomena swarming, yakni Eunice siciliensis, E. viridis, Licydice collaris, dan Dendronereides heteropoda. Sementara di perairan Kyushu, Jepang, Hanafiah et al. (2006) dalam Pamungkas (2009) melaporkan ada 4 jenis cacing laut Polychaeta yang juga memperlihatkan fenomena swarming, yakni Hediste japonica, H. diadroma, Tylorrhynchus osawai, dan Nectoneanthes oxypoda.

Selain di wilayah Lombok, fenomena tradisi nyale juga dikenal di wilayah Sumba dengan nama palolo, dan Maluku dengan nama laor. Jenis cacing polychaeta ini memiliki pola dan preferensi habitat yang sama, yakni swarming di sekitaran bulan Maret dan hidup di antara pantai berkarang.

Perilaku swarming diduga terjadi akibat siklus kematangan gonad dari cacing polychaeta dan faktor alam (tinggi muka air laut pada saat purnama di bulan februari-maret). Cacing Polychaeta nyale ini dapat melakukan reproduksi secara aseksual (tumbuh dari fragmen yang terputus) atau secara seksual, hasil reproduksi sel telur dan sel sperma. Pada saat kegiatan reproduksi eksternal ini akan dilakukan, cacing nyale akan mengalami fenomena perubahan karakteristik morfologi secara terbatas dari organisme bentik menjadi planktonik, diantaranya mengubah setae (rambut halus pada tubuh) menjadi kaki renang.

Dengan serangkaian keunikan dan perilaku yang dihubungkan dengan mitos Legenda Putri Mandalika, keberadaan nyale secara ekologis sangat berperan dalam menjaga kesintasan ekosistem intertidal sekitar pantai di lombok Tengah dan pantai lainnya. Sistem pengambilan nyale dalam tradisi bau nyale ini, secara tradisional tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap populasi cacing polychaeta secara signifikan, hal ini terjadi karena dengan pola pengambilan menjelang fajar, maka proses pemijahan (spwaning) cacing telah terlewati dan generasi baru akan segera tumbuh. Hal ini mirip dengan pola migrasi ikan salmon ke hulu untuk melakukan pemijahan dan setelah itu ikan salmon mati.

Tradisi ini telah menarik perhatian semua pihak, bahkan pemerintah daerah lombok tengah telah menjadikan event ini sebagai event atraksi pariwisata tahunan dalam kalender pariwisatanya. Meskipun dari segi sosial budaya, tradisi bau nyale mulai kehilangan citra diri karena dibeberapa tempat, upacara ini lebih menonjolkan hiburan suguhan musik modern dibandingkan pelestarian budaya kearifan lokal.

3.3.KOMPONEN LINGKUNGAN SOSIAL

Dalam dokumen UPT PERPUSTAKAAN - Universitas Udayana (Halaman 63-77)

Dokumen terkait