TANTANGAN EKSTERNAL…
B. Program Penguatan
4. Bobot Basah Tanaman (g)
Hasil analisis sidik ragam terhadap bobot basah tanaman ditampilkan pada Tabel 4. Dari hasil analisis menunjukan bahwa pada tanaman tanaman bayam hijau dan bayam merah menghasilkan bobot basah tertinggi pada konsentrasi pemberian 40% nutrisi dari limbah tahu. Pada bayam hijau dengan konsentrasi 40% nutrisi dari limbah tahu diperoleh 4,16 g lebih tinggi dari pada bobot basah yang diperoleh pada bayam merah yaitu 3,04 g. Selain itu pula rata-rata berat basah terhadap tingkat konsentrasi nutrisi berpengaruh nyata terhadap bobot basah pada kedua varietas tanaman bayam tersebut. Terlihat bahwa berat basah bayam hijau menghasilkan bobot basah yang lebih tinggi dibandingkan dengan bobot basah yang diperoleh pada bayam merah yaitu 3,56 g dan 1,99 g. Menurut Polii (2009), bahwa dengan meningkatnya jumlah daun tanaman maka akan secara otomatis meningkatkan berat segar/berat basah pada tanaman. Hal ini disebakan karena daun merupakan organ/bagian tanaman yang banyak mengandung air. Dengan jumlah daun yang semakin banyak maka kadar air pada tanaman akan semakin tinggi dan berat segar tanaman juga semakin meningkat.
Tabel 4. Rerata bobot basah tanaman pada dua varietas tanaman bayam (Amaranthus tricolor) pada tingkat konsentrasi nutrisi limbah cair tahu secara hidroponik pada umur 4 MST
Umur Konsentrasi Nutrisi Limbah Tahu (N)
Varietas (V)
Rerata V1 (bayam hijau) V2 (bayam merah)
4 MST N1 (30%) 3,04 1,91 3,04
N2 (40%) 4,16 3,04 3,39
N3 (505) 3,49 1,45 2,47
Rerata 3,56 b 1,99 a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama menunjukan berbeda tidak nyata uji DMRT taraf 5%
Bagus et al (2014) menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan tanaman dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor dalam dan luar tanaman. Faktor dalam adalah genetis yang dimiliki oleh suatu tanaman, sedangkan faktor luar adalah faktor lingkungan. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman erat hubungannya dengan kedua faktor tersebut, apabila salah satu atau semua faktor tidak mendukung maka pertumbuhan dan perkembangan tanaman tidak dapat berjalan dengan baik sehingga menurunkan produksi tanaman. Upaya untuk meningkatkan produksi tanaman sudah banyak dilakukan, seperti pemupukan dan aplikasi zat pengatur tumbuh. Menurut Silisbury et al (1995) dalam Sutrisno et al (2015), penyerapan unsur hara pada akar tanaman, terjadi ketika tanaman menyerap unsur hara dalam bentuk kation (K+, Ca2+, Mg2+, dan NH4+) sehingga akan dikeluarkan kation H+ dalam jumlah yang sama. Setelah itu, ketika akar tanaman menyerap unsur hara dalam bentuk anion (NO3-, H2PO4-, dan SO4-) akan dikeluarkan HCO3- dari akar dengan jumlah yang sama. Begitu juga menurut Sutiyoso (2004), unsur hara Kalsium berpengaruh pada pembentukan meristem atau titik tumbuh di bagian ujung akar, sehingga volume akar menjadi bertambah sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih terpacu.
KESIMPULAN
1. Pada varietas bayam hijau, tinggi tanaman saat 3 dan 4 MST dengan tingkat konsentrasi 50% limbah tahu, memberikan hasil yang maksimal. Sedangkan pada varietas bayam merah, pada taraf
160
konsentrasi 40% limbah tahu, mampu meningkatkan tinggi tanaman saat 2, 3 dan 4 MST. Tinggi tanaman varietas bayam hijau lebih tinggi dibanding varietas bayam merah.
2. Jumlah daun pada varietas bayam hijau saat 3 dan 4 MST dengan tingkat konsentrasi 30% mampu menghasilkan jumlah daun yang lebih banyak. Sedangkan pada varietas bayam merah, secara konsisten dengan pemberian 40% limbah tahu meningkatkan jumlah daun.
3. Diameter batang dan berat basah tanaman, secara konsisten menunjukkan bahwa cukup dengan pemberian konsentrasi 40% limbah tahu, mampu meningkatkan diameter dan berat basah tanaman baik pada varietas bayam hijau maupun bayam merah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2014. Jenis-jenis Tanaman Bayam. http://paktani02.blogspot.co.id/2014/02/jenis-jenis- tanaman-kangkung.html. Diakses pada tanggal 08 Maret 2017, pukul 19.00 WIB.
Bandin, Y dan Nurdin, A. 2002. Bayam. Penebar Swadaya: Jakarta.
Bagus. H. B, Rohlan R dan Sri T, 2014. Pengaruh Takaran Pupuk Kandang dan Intensitas Cahaya Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Temu Putih (Curcuma zedoaria L.). Vegetalika 3(4): 29-39.
Campbell, N., J. B. Reece., Mitchell dan G. Lawrence., 2003. Biologi Jilid 2. Terjemahan Wasmen Manalu.
Erlangga: Jakarta.
Deden Abdurahman., Biologi Kelompok Pertanian dan Kesehatan, (Jakarta: Grafindo Media Pratama, 2008) h. 104.
Hendra , A., dan Agus Andoko. 2014. Bertanam Sayuran Hidroponik Ala Paktani Hydrofarm. Agromedia Pustaka: Jakarta.
Herawati, I. 2010. Standar Oprasional Prosedur Sayuran Daun Dengan Teknologi Hidroponik. Balai Benih Induk Pertanian: Jakarta.
Polii, M. G. M. 2009. Respon Produksi Tanaman Kangkung terhadap Variasi Waktu Pemberian Pupuk Kotoran Ayam. Jurnal Soil Environment, vol 7 no. 1.
Sutiyoso, Y. 2003. Meramu Pupuk Hidroponik. Penebar Swadaya: Jakarta.
Sutiyoso, Y. 2004. Hidroponik alaYos. Penebar Swadaya: Jakarta.
Sutrisno, A.,Evie, R., dan Herlina, F. 2015. Fermentasi Limbah Cair Tahu Menggunakan EM4 Sebagai Alternatif Nutrisi Hidroponik dan Aplikasinya pada Sawi Hijau (Brassica juncea var. Tosakan). Jurnal Lentera Bio, vol 4 (1) : 56 – 63.
Wasonowati, C., Sinar, S., dan Ade, R. 2013. Respons Dua Varietas Tanaman Selada (Lactuca sativa L.) Terhadap Macam Nutrisi Pada Sistem Hidroponik. Jurnal Agrovigor, vol. 6 no.1
Wijaya, K.A. 2008. Nutrisi Tanaman.Prestasi Pustaka Publisher: Jakarta.
Yuliadi A. 2008. Pemanfaatan Limbah Tahu Untuk Peningkatan Hasil Tanaman Petsai (Brassica chinensis), Jurnal Bioteknologi, Vol.5, No.2, November 2008, h. 52.
161
ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI LEATHERLEAF FERN HASIL TEKNOLOGI BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DAN PETANI
Nurmalinda*1, Nur Qomariah Hayati2
1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian DKI. Jakarta
Jl. Raya Ragunan No. 30, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, DKI Jakarta
2Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura Jln. Tentara Pelajar No. 3C, Bogor, Jawa Barat, 16111
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Leather leaf Fern (Rumohra adiantiformis) yang termasuk famili Aspidiceae (Polydiaceae), merupakan sejenis tanaman pakuan-pakuan yang berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Dilihat dari permintaan pasar, daun potong leatherleaf fern memiliki peluang untuk dipasarkan di dalam dan luar negeri, sebagai filler dalam rangkaian bunga, korsase, dsb. Tujuan penelitian adalah: (1) menganalisis usahatani leatherleaf fern yang ditanam berdasarkan teknologi rakitan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) dan yang ditanam berdasarkan teknologi petani; (2) menganalisis kendala-kendala usahatani leatherleaf fern di tingkat petani yang meliputi kendala produksi dan pemasaran di dua wilayah produksi. Untuk menjawab tujuan pertama, digunakan analisis kuantitatif dengan metode Input-output analysis (Price, 1986); dan untuk menjawab tujuan kedua digunakan analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, penerimaan usahatani Leather leaf yang ditanam di lahan petani ialah Rp 21.374.540,-, dengan B/C ratio sebesar 2,44, dan Rp 22.906.620,- untuk teknologi Balitbangtan, dengan B/C ratio sebesar 2,47. Kendala produksi penanaman Leather leaf fern adalah adanya serangan Cylindrocladium sp., yang menyebabkan daun menjadi menguning. Dari sisi pemasaran, permasalahan yang dialami ialah pada saat ekspor, lantai kontainer di kapal basah sehingga kotak tempat daun menjai basah dan menyebabkan kualitas produk menjadi menurun.
Kata-kata kunci: Analisis Perbandingan Usahatani; Leatherleaf Fern; Teknologi
PENDAHULUAN
Leatherleaf Fern (Rumohra adiantiformis) yang termasuk ke dalam famili Aspidiceae (Polydiaceae), merupakan sejenis tanaman pakuan-pakuan yang berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan.
Tanaman ini juga bisa dijumpai di Selandia Baru dan Australia, dengan ciri tanaman berdaun majemuk (setiap tangkai terdiri atas susunan daun kecil sejajar) yang berwarna hijau mengkilap. Tinggi tanaman maksimal satu meter dan yang dipanen dari tanaman ini adalah helaian daun majemuk. Helaian daun yang dipotong bisa mencapai 45 – 50 cm. Leather leaf fern merupakan daun potong yang cukup terkenal dan digunakan sebagai filler dalam sebuah rangkaian (D’Souza et al, 2006).
Dilihat dari permintaan pasar, daun potong leatherleaf fern memiliki peluang untuk dipasarkan di dalam dan luar negeri. Leather leaf fern merupakan komoditas ekspor yang selama ini dikembangkan untuk memasok pasar Asia, khususnya Jepang dan Korea Selatan serta pasar Eropa. Lebih dari 150 juta tangkai daun leather leaf yang dihasilkan petani di dalam negeri diekspor ke Jepang dan lebih dari 100 juta tangkai diekspor ke Eropa). Sebagai daun potong, keunggulan yang dimiliki oleh leatherleaf fern ialah: (1) dapat digunakan sebagai filler dalam rangkaian bunga; (2) vaselifenya cukup lama (>15 hari); (3) bentuknya indah; (4) daunnya dapat termanfaatkan semuanya, (5) bisa digunakan sebagai latar belakang dalam rangkaian; (6) sebagai bahan pengganti daun lainnya untuk membuat korsase; dan (7) sebagai pemanis, finishing dan pemantul warna (Direktorat Budidaya dan Pascapanen Florikultura, 2012).
Sebagai tanaman tropis, leatherleaf fern tumbuh baik pada ketinggian 850 -1800 m di atas permukaan laut (dpl), dengan temperatur: 19 -27°C, kelembaban relatif 80 - 90%, intensitas cahaya 3000- 5000 ft candles, dan pH tanah : 5,5 - 6.5. Tanaman ini menyukai cahaya, tetapi bukan sinar matahari langsung (Helmer & Coleman, 1993). Di Indonesia, leatherleaf fern tumbuh baik di Sukabumi (Jawa Barat) dan Salatiga (Jawa Tengah). Tanaman hias ini terutama diekspor ke Jepang dengan kebutuhan 150 juta tangkai per tahun. Indonesia termasuk negara pemasok leatherleaf fern ke Jepang, yaitu sebanyak satu juta tangkai pada tahun 2007 dan sekitar tiga juta tangkai tahun 2010 (Susetyo, 2014). Kriteria leatherleaf
162
yang disyaratkan pembeli adalah struktur tangkai daun rata, bebas hama dan tekstur daun hijau mengkilap (Anonimous, 2011).
Untuk meningkatkan produksi Leatherleaf fern perlu diterapkan teknologi tertentu yang sesuai dengan kebutuhan tanaman. Teknologi tersebut antara lain: pemupukan, penggunaan naungan, pengendalian hama dan penyakit, dll. Teknologi yang diterapkan juga harus mudah dan murah, sehingga mudah diadopsi oleh pengguna, karena untuk mengadopsi sebuah teknologi, banyak hal yang menjadi pertimbangan pengguna, yang dalam hal ini pelaku usaha atau petani. Salah satunya adalah apakah teknologi yang akan diadopsi tersebut menguntungkan ataukah tidak secara ekonomi. Apabila teknologi tersebut tidak menguntungkan, maka pelaku usaha atau petani tidak akan mengadopsi teknologi tersebut dan sebaliknya. Oleh karena itu, perhitungan usahatani leatherleaf fern yang ditanam dengan teknologi Balitbangtan dan petani sangat penting dilakukan, guna mengetahui teknologi mana yang lebih menguntungkan secara ekonomi.
Tujuan penelitian adalah: (1) untuk menganalisis usahatani leatherleaf fern yang ditanam berdasarkan teknologi rakitan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) dan yang ditanam berdasarkan teknologi petani; dan (2) menganalisis kendala-kendala usahatani leatherleaf fern, terutama kendala produksi dan pemasaran.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini mengkaji teknologi budidaya leatherleaf fern hasil penelitian Balitbangtan dibandingkan dengan teknologi petani. Penelitian dilakukan pada Bulan Januari-Desember 2014 di lahan petani pengusaha Florex Farmindo, Goalpara-Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada ketinggian 1.100 m dpl. Analisis dilakukan terhadap tanaman yang sudah ditanam satu tahun sebelumnya. Biaya yang dimasukkan dalam perhitungan adalah biaya usahatani dalam satu tahun penelitian, yaitu Januari- Desember 2014.
Penelitian ini dilakukan dengan membandingkan budidaya Leather leaf fern dengan menggunakan teknologi Balitbangtan yaitu penerapan inovasi teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dan teknologi petani, sebagaimana terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Uraian perlakuan teknologi Balitbangtan dan petani
No Teknologi Balitbangtan Teknologi Petani
1 Menggunakan naungan 60-70% Penggunaan naungan 50-70%
2 Medium merupakan campuran kompos bambu sebagai mulsa (1 karung/2m2) dan pupuk kandang (2 kg/m2) yang memenuhi persyaratan drainase yang baik
Medium merupakan campuran kompos dan tanah lapangan dengan perbandingan 1 : 1 3 Pemupukan yang optimal menggunakan pupuk urea, SP36,
CaNO3 dan KCl dengan perbandingan 2:1:2 (N:P:K). Dosis yang diberikan 550kg/ha N, 275 kg/ha P2O5, 550 kg/ha K2O, dolomite 1120 kg/ha diberikan 1 bulan sekali, ditambah pupuk mikro 2 minggu/1x
Pemupukan menggunakan pupuk majemuk NPK (15 : 15 : 15) sebagai pupuk dasar dengan dosis 1 ton/ha, dan pupuk susulan Urea.
4 Penyiraman menggunakan sprinkler dengan tensiometer sebagai sensor dan sistem irigasi otomatis
Pengairan dilakukan secara manual tanpa memperhatikan kebutuhan tanaman
5 Pengendalian penyakit yang disebabkan oleh Cylindrocladium dengan penambahan cendawan antagonis (cendawan yang dapat menghambat pertumbuhan cendawan patogen) seperti
Gliocladium sp. yang sudah diformulasi menjadi fungisida biologi dengan nama gliokompost dengan dosis 0.5 kg /m2, diaplikasikan 1 bulan/1x dan Benomil dengan dosis 2g/l atau sesuai anjuran, frekuensi 2 minggu/1x.
Pengendalian menggunakan fungsisida sintetik secara intensif tanpa memperhatikan residu.
163
Selain itu juga digunakan tambahan naungan berupa atap plastik putih untuk menghindari curah hujan langsung pada tanaman. Penggunaan naungan dimaksudkan untuk mengurangi serangan Cylindroladium sp pada tanaman, yang menyebabkan daun menjadi menguning sehingga tidak bagus untuk dipanen.
Untuk menjawab tujuan pertama, yaitu analisis usahatani leatherleaf fern digunakan analisis kuantitatif dengan metode Input-output analysis (Gitinger, 1986). Dalam metode ini perhitungan dilakukan terhadap pendapatan bersih usahatani leatherleaf fern dan kelayakannya dengan menggunakan analisis B dan C Rasio, seperti berikut ini:
Pendapatan bersih usahatani leatherleaf fern dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut:
= − −
Dimana:
= Pendapatan bersih usahatani (Rp/1.000m2/tahun) Y = Total produksi leatherleaf fern (kg/1.000m2/tahun) Py = Harga jual leatherleaf fern (Rp/tangkai)
Xi = Tingkat penggunaan input usahatani ke-i (Rp/1.000m2/tahun) Pxi = Harga input usahatani ke-i (Rp/satuan)
BL = Biaya lainnya (Rp/1.000m2/tahun)
Sementara itu, kelayakan usahatani dihitung dengan menggunakan formula:
(Y x P) B/C = --- TVC Di mana:
B/C = Nisbah penerimaan dan biaya
Y = Total produksi leatherleaf fern (kg/400m2 per tahun) P = Harga jual leatherleaf fern (Rp/tangkai) TVC = Nilai biaya total (Rp/400m2 per tahun)
Dengan keputusan:
B/C > 1, usahatani secara ekonomi menguntungkan
B/C = 1, usahatani secara ekonomi berada pada titik impas (BEP) B/C < 1, usahatani secara ekonomi tidak menguntungkan (rugi)
Sementara itu, untuk menjawab tujuan kedua yaitu analisis kendala-kendala usahatani leatherleaf fern yang mencakup aspek produksi dan pemasaran digunakan analisis deskriptif kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penanaman Leatherleaf fern dengan teknologi petani dan Balitbangtan
Selama satu tahun penanaman, produksi leatherleaf fern cukup baik dengan frekuensi panen dua kali semnggu. Daun dipanen bila telah memenuh kategori mutu yang diinginkan, seperti: panjang dan lebar daun telah sesuai dengan kriteria pasar, warna daun hijau mengkilat, serta daun bersih dari hama dan penyakit. Ukuran daun dapat dibedakan atas empat kategori, yaitu: small (S), medium (M), large (L) dan extra large (XL).
Menurut Baldauf (2010), curah hujan merupakan faktor yang sangat penting dalam meningkatkan muncul dan berkembangnya tunas, sehingga berpengaruh pada peningkatan produksi. Dari hasil panen, kualitas daun yang dihasilkan dengan menggunakan teknologi Balitbangtan sedikit lebih baik dibandingkan dengan teknologi petani pengusaha. Dari total panen, jumlah daun yang dihasilkan dengan menggunakan
164
teknologi Balitbangtan 6,2% lebih tinggi dibandingkan dengan teknologi petani. Daun yang berukuran L dan XL dengan menggunakan teknologi Balitbangtan juga lebih banyak dibandingkan dengan teknologi petani yaitu 11,15 persen untuk ukuran L dan 16,35 untuk ukuran XL (Tabel 2). Menurut petani pengusaha, penggunaan pupuk kandang pada tanaman yang menggunakan teknologi Balitbangtan menghasilkan produksi yang lebih baik, dibandingkan dengan teknologi mereka sendiri.
Tabel 2. Produksi Leatherleaf Fern berdasarkan teknologi petani dan Balitbangtan, 2014 (400 m2) No. Ukuran Daun Teknologi Petani
(Tangkai)
Persentase (%)
Teknologi Balitbangtan (Tangkai)
Persentase (%)
1 S (tangkai) 4.499 17,53 4.268 15,66
2 M (tangkai) 5.932 23,11 5.854 21,48
3 L (tangkai) 11.292 44,00 12.550 46,04
4 XL (tangkai) 3.940 15,35 4.584 16,82
TOTAL 25.663 100,00 27.256 100
Sumber: Data Primer (diolah), 2014
Analisis usahatani leatherleaf fern di Kabupaten Sukabumi (Jabar)
Untuk tahun 2014, bila dilihat dari analisis usahatani Leather leaf fern di tingkat petani, biaya yang dikeluarkan oleh petani ialah sebesar Rp 8.767.280 untuk luasan 400 m2, sedangkan biaya yang dikeluarkan dengan menggunakan teknologi Balitbangtan sedikit lebih tinggi, yaitu sebesar Rp 9.282.480.
Namun demikian, dari hasil perhitungan, penerimaan yang didapatkan dengan menggunakan teknologi petani sebesar adalah Rp 21.374.540, sedangkan dengan menggunakan teknologi Balitbangtan sedikit lebih tinggi, yaitu sebesar Rp 22.906.620 (Tabel 3).
Tabel 3. Analisis usahatani Leather leaf fern di tingkat petani dan Balitbangtan, 2014 (400 m2)
No. ITEM Petani (Rp) Balitbangtan (Rp)
I Biaya Tetap (BT) 3.900.000 3.900.000
II Biaya Variabel (BV) 4.867.280 5.382.480
III BT+BV 8.767.280 9.282.480
IV Penerimaan 21.374.540 22.906.620
Keuntungan 12.607.260 13.624.140
B/C ratio 2,44 2,47
Sumber: Data Primer (diolah), 2014
Bila dilihat dari keuntungan antara teknologi Balitbangtan dan petani pengusaha sama-sama menguntungkan, tetapi keuntungan yang didapatkan dengan menggunakan teknologi Balitbangtan sedikit lebih besar, yaitu sekitar 0,3 persen.
Kendala produksi dan pemasaran pada usahatani Leather leaf fern di tingkat petani Kendala Produksi
Beberapa penyakit yang biasa menyerang tanaman Leathe leaf Fern antara lain Anthracnose atau Colletotrichum Blight, Cylindrocladium Leaf Spot, Pythium Root Rot dan Rhizoctonia Aerial Blight.
Serangan antraknos menyebabkan daun menjadi menghitam, serangan karena Cylindrocladium menyebabkan daun tanaman menjadi menguning, serangan Pythium menyebabkan tanaman berwarna hijau keabu-abuan atau klorosis dan akarnya berwarna coklat dan lunak, sedangkan serangan Rhizoctonia menyebabkan timbulnya bintik-bintik pada seluruh tanaman dan menimbulkan warna coklat gelap dan
165
keabu-abuan pada seluruh daun. Di Costa Rica, Antracnose merupakan penyakit yang banyak menyerang tanaman Leather Leaf Fern (Chase, 2017). Di Hawaii, penyakit yang sering menyerang tanaman Leather Leaf fern ialah Calonectria theae C. A. Loos, Cylindrocladium pteridis F. A. Wolf, Rhizoctonia species, Cercospora species, and Pythium species. Sedangkan di Florida, penyakit yang sering menyerang adalah Cylindrocladium floridanum Sobers & C. P. Seymour, C. heptaseptatum Sobers, Alfieri & J. F. Knauss, C.
pteridis, dan C. scoparium Morg (Uchida et al., 2017).
Di Indonesia, penyakit yang banyak menyerang tanaman Leatherleaf Fern ialah Cylindrocladium sp.
(Gambar 1). Adanya serangan Cylindrocladium menyebabkan daun tanaman menjadi menguning, sehingga kurang bagus ditampilkan dalam rangkaian bunga.
Gambar 1. Daun Leatherleaf fern yang terserang Cylindrocladium sp
Di Sukabumi, untuk mengatasi serangan Cylindrocladium sp. tanaman diberi sungkup/naungan bersamaan dengan penanaman, sehingga pada saat hujan turun, hanya bagian pinggir tanaman saja yang terkena air hujan, sehingga hanya sedikit tanaman yang terkena Cylindrocladium sp (Gambar 2).
Tanaman Leatherleaf fern di Sukabumi cukup subur. Pemupukan dilakukan seminggu sekali, demikian juga halnya dengan penyemprotan juga dilakukan seminggu sekali. Kondisi tanaman di Sukabumi relatif lebih baik. Hanya sedikit tanaman yang terserang Cylindrocladium sp. Hal ini karena penggunaan plastik putih sebagai atap (pelindung tanaman) yang sudah dipasang mulai dari awal penanaman menyebabkan tanaman tidak langsung terkena air hujan yang bisa menimbulkan penyakit pada tanaman.
Gambar 2. Penggunaan naun dalam budidaya Leatherleaf fern
Menurut Susetyo (2014), pengendalian serangan Cylindrocladium sp dapat dilakukan dengan pengaturan jarak tanam, sanitasi, serta waktu dan cara penyiraman. Jarak tanam yang terlalu rapat dan kelembapan yang tinggi sangat mempermudah penularan penyakit Cylindrocladium sp. Selain itu, menjaga sanitasi seperti membuang dan membakar daun sakit, daun tua, daun yang jatuh, rhizoma dan akar yang terserang penyakit, serta rumput atau tanaman lain di sekeliling kebun sangat penting untuk mencegah penyebaran penyakit. Selain itu, pengendalian secara mekanis dilakukan dengan memotong dan
166
memusnahkan spot serangan bercak daun Cylindrocladium sp, dengan cara dibakar sehingga tidak menjadi sumber infeksi yang dapat menyebar ke tanaman lain. Potongan dan serasah sisa tanaman yang tidak digunakan dapat dipakai sebagai bahan kompos. Akan tetapi, apabila tidak ada pilihan lain, aplikasi fungisida biologi atau kimia dapat dilakukan. Hasil penelitian Yusuf (2012) menunjukkan bahwa pemberian kompos yang mengandung Gliocladium (Gliocompost) meningkatkan kualitas dan kuantitas bunga, daun menjadi lebih banyak dengan warna daun lebih gelap dan berkilat.
Kendala Pemasaran
Leatherleaf fern yang dihasilkan di Sukabumi (baik dengan teknologi pengusaha sendiri, maupun teknologi Balithi), sebagian besar diekspor ke Jepang, Malaysia, Australia dan Timur Tengah. Ukuran daun yang diterima, mulai dari S sampai XL, dengan harga US $ 0,6/10 tangkai untuk ukuran S, US$ 0,7/10 tangkai untuk ukuran M, US$ 0,8/10 tangkai untuk ukuran L, dan US$/10 tangkai untuk ukuran XL. Akan tetapi untuk pasar Malaysia dan Australia, ukuran S tidak diterima oleh konsumen. Ekspor dilakukan melalui laut dan udara. Selain PT. Florex (Sukabumi), ekspor Leatherleaf fern juga dilakukan oleh PT.
Tropical di Magelang, PT. Darmawan Greenleaf Ruhmohra (DGR) dan PT. Equator di Cisaat (Sukabumi).
Untuk pasar lokal, Leatherleaf fern mengisi pasar Jakarta sebesar 5% yaitu melalui PT. Bunga Lima Benua, dengan ukuran S harga Rp 5.000/10 tangkai, dan ukuran M dengan harga Rp. 6.000/10 tangkai.
Permasalahan yang dialami selama ekspor adalah adanya kendala teknis yaitu lantai kontainer basah sehingga dus basah, sehingga menyebabkan kualitas produk menjadi menurun. Apabila terjadi hal yang demikian, maka resiko ditanggung oleh pengekspor dan pengimpor.
KESIMPULAN
1. Pengusahaan Leather leaf fern di Sukabumi, cukup menguntungkan dengan penerimaan sebesar Rp 21.374.540 (B/C ratio = 2,44) untuk teknologi petani, dan Rp 22.906.620 (B/C ratio sebesar 2,47) untuk teknologi Balitbangtan.
2. Kendala produksi untuk Leather leaf fern adalah serangan Cylindrocladium sp., yang menyebabkan daun menjadi menguning, Namun penggunaan atap plastik putih, melindungi tanaman dari terkena air hujan langsung, sehingga kondisi tanaman menjadi lebih baik dengan rendahnya serangan Cylindrocladium sp.
3. Permasalah pemasaran terkait ekspor ialah adanya kendala teknis yaitu basahnya lantai container, sehingga dus yang digunakan untuk pengepakan menjadi basah, dan menyebabkan kualitas produk menjadi menurun.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2011. Peluang Usaha Budidaya Pakis Leather Leaf,
http://konsorsiumbudapo.wordpress.com/2011/10/18/peluang-usaha-budidaya-pakis-leather-leaf/, diunduh 18 Maret 2014.
Baldauf, C. and Maurício S. D. R. 2010. Effects of Harvesting on Population Structure of Leatherleaf Fern (Rumohra adiantiformis (G. Forst.) Ching) in Brazilian Atlantic Rainforest. American Fern Journal, 100(3):148-158.
Chase, A. R. 2017. Diseases of Leatherleaf Fern and Their Control. Central Florida Research and
Education Center Research Report, RH-93-18.
http://mrec.ifas.ufl.edu/foliage/resrpts/rh_93_18.htm, diunduh tanggal 5 April 2017.
D’Souza, G. C. Kubo, R. Guimaraes, L. Elisabetsky, E. 2006. An Ethnobiological assessments Rumohra adiantiformis (Samambaia preta) extractivism in Southern Brazil. Biodivers Conserv. 15:2737-2746.
167
Direktorat Budidaya dan Pascapanen Florikultura. 2012. Standar Operasional Prosedur dan Petunjuk Lapangan (Petlap) SL GHP Pascapanen Leatherleaf, Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian, Jakarta.
Gitinger. J. P. 1986. Economic analysis of agricultural project. The economic development institute, Interbational Bank for reconstruction and development, The John Hopkins University Press, Baltimore and London, 221 p.
Helmer & Jane Coleman. 1993. Pictoral Guide to House Plants, Ed. Karla S. Decker Hodge. Kalamazoo, Michigan: Merchants Company.
Susetyo, HP. 2014. Penyakit Bercak Daun pada Leather Leaf fern dan Teknik Pengendalian, Direktorat Perlindungan Hortikultura, Kementerian Pertanian.
Uchida, J. Y. & Chris Y. K. 2017. Diseases of Leatherleaf Fern Caused by Calonectria And Cylindrocladium Species. Department of Plant Pathology, University of Hawaii.
Yusuf, E. S. 2012. Penyakit Bercak Daun pada Leather Leaf, Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Hias. Cianjur.