TANTANGAN EKSTERNAL…
B. Pengaruh Pakan Terhadap Bobot Badan Kelinci
Pakan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam pemeliharaan ternak, sehingga tingkat keberhasilan usaha peternakan ditentukan oleh pakan yang diberikan.Jenis pakan yang dikonsumsi oleh kelinci dapat berupa hijauan, biji-bijian, umbi-umbian dan konsentrat. Bentuk pakan konsentrat untuk kelinci dapat dapat berupa tepung, crumble dan pelet. Pembentukan pelet melalui suatu proses pengolahan pakan dengan menyatukan bahan menggunakan mesin pelet sehingga menjadi bentuk silinder atau potongan kecil dengan diameter, panjang, dan derajat kekerasan yang berbeda (Albab 2017).
Kelinci Peranakan NZW memiliki potensi sebagai salah satu ternak alternatif untuk menyumbang kebutuhan daging. Komposisi daging kelinci yaitu protein 20.8%; lemak 10.2%; air 67.9%; kalori 7.3 MJ/kg(Odho et al. 2012). Keunggulan yang di peroleh dari pemeliharaan kelinci NZW antara lain tingkat pertumbuhan yang cepat, kualitas karkas, kesuburan, angka kelahiran dan kemampuan pengasuhan yang baik terhadap anaknya. Suhu lingkungan tempat berlangsungnya kehidupan kelinci yang hidup pada iklim subtropis idealnya adalah 18oC dengan kelembapan udara 60–80%. Di suhu 18oC dengan kelembapan antara 60–80% konsumsi pakan pada kelinci akan meningkat karena kelinci tidak memerlukan banyak energi untuk beradaptasi terhadap lingkungan (Priono 2017).
Gambar 3. Grafik pertambahan bobot badan kelinci
100
210 150
0
190
220
300
0 50 100 150 200 250 300 350
Berat Badan Awal 1 2 3
Pengamatan (Per-Minggu)
Pertambahan Bobot Badan Kelinci
PBL (Kontrol) PMB (Perlakuan)
Gram
184
Hasil rata-rata pertambahan bobot badan pada kelinci NZW (Gambar 3) menunjukan hasil perlakuan palatabilitas PB pada pengamatan minggu ke-1 kelinci NZW mengalami penambahan bobot badan sebesar 19g/ekor/hari yang artinya mengalami peningkatan bobot badan jika dibandingkan dengan bobot badan awal kelinci. Pada minggu ke-2 kelinci NZW mengalami penambahan bobot badan dibandingkan dengan minggu sebelumnya yaitu sebesar 22 g/ekor/hari. Pada minggu ke-3 bobot badan kelinci sebesar 30g/ekor/hari yang berarti bobot badan kelinci mengalami penambahan bobot badan pada setiap minggunya. Sedangkan hasil rata-rata yang diperoleh pada pemberian pakan PD pada minggu ke-1 sebesar 10 g/ekor/hari, minggu ke-2 sebesar 21g/ekor/hari namun pada minggu ke-3 mengalami penurunan sebesar 15g/ekor/hari. Hasil menunjukan bahwa jenis pakan (PB) mampu meningkatkan pertambahan bobot kelinci dalam memenuhi kebutuhan nilai gizi kelinci
Aritonang et al (2003) melakukan penelitian pada kelinci Rex, Satin, dan persilangannya, dimana PBBnya berkisar antara 11.66 – 20.05g/ekor/hari. Menurut Prayer et al (2015) bahwa pemberian dedak yang tinggi dalam ransum dapat menurunkan pertambahan bobot badan ternak.
Tinggi PBB ternak yang diberi pakan PB mungkin disebabkan aroma pakan pellet yang berbau biscuit dan kandungan gizi beras lebih tinggi dari dedak. Bau yang biscuit sangat disukai oleh ternak sehingga dapat meningkatkan palatabilitas ternak dan pada akhirnya akanmeningkatkan bobot badan ternak.
KESIMPULAN
Bahwa pakan perlakuan pakan beras afkir (PB) memiliki karakteristik yang lebih disukai oleh ternak dibandingkan pakan dedak. Pakan (PB) juga mampu meningkatkan bobot badan ternak kelinci NZW dibandingkan pakan dedak.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Pengaruh Berbagai Aktivator terhadap C/N Rasio Kompos Kotoran Kelinci. Tesis Jurusan Produksi Ternak - Fakultas Teknologi Pertanian dan Peternakan Universitas Semarang.
Andi Saenab. 2013. Potensi pengembangan kelinci di perkotaan dalam mendukung kawasan rumah pangan lestari (KRPL). Prosiding.
Albab U. "Tingkah laku harian dan Coprophagy Kelinci New Zealand White Betina yang diberi pakan pelet dengan sumber energi yang berbeda [Skripsi]," Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponogoro, Semarang (ID),
Aritonang D, N.A. Tul Roefiah, T. Pasaribu dan Y.C. Raharjo. 2003. Laju pertumbuhan kelinci rex, satin dan persilangannya yang diberilactosym@ dalam system pemeliharaan intensif. JITV 8(3): 164-169.
Bahar S, B. Bakrie, Erna P. Astuti, D. Andayani dan A. Raffandi. 2016. Kajian Pemanfaatan Limbah Sayuran untuk Pakan Kelinci di DKI Jakarta. Buletin Pertanian Perkotaan. 6(1).24-31
Hutasuhut, M. 2011. Strategi pengembangan usaha ternak kelinci mendukung agribisnis peternakan:
Dukungan kebijakan. Prosiding Lokakarya Nasional 24 Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci.Puslitbang Peternakan Bogor. Hal.3-5.
Marhaeniyanto E and S. Susanti, "Penggunaan Konsentrat Hijau Untuk Meningkatkan Produksi Ternak Kelinci New Zealand White," Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, vol. 27, no. 1, pp. 28-29, 2017.
Mariyono, ER. Petunjuk Teknis Teknologi Pakan Murah Untuk Usaha Pembibitan Sapi Potong, Pasuruan:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, 2007.
Mathius IW, B. Haryanto and R. Susana, "Pengaruh Pemberian Protein Dan Energi Terlindungi Terhadap Konsumsi Dan Kecernaan Oleh Domba Muda," Jurnal Jitv, vol. 3, no. 2, pp. 94-100, 2006.
Prianto Y.U, I. W. Nursita and S. Minarti, "Performa Produksi Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan Lepas Sapih Yang Dipelihara Pada Suhu Lingkungan Yang Berbeda," Animal Husbandry Faculty, vol. 2, no. 1, pp. 2-4, 2017.
Raharjo YC. 2012. Agribisnis Kelinci Skala Mikro, Kecil dan Menengah dalam Integrasi dengan Hortikultura untuk Penanggulangan Gizi Buruk/Ketahanan Pangan, Tambahan Pendapatan dan Pemberdayaan Tenaga Kerja. Balai Penelitian Ternak, Ciawi – Bogor.
185
PENANGANAN BIJI PALA UNTUK MENCEGAH CEMARAN AFLATOKSIN Sintha Suhirman
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Email: [email protected]
ABSTRAK
Ekspor biji pala ke negara-negara Eropa sejak tahun 2010 terkendala oleh adanya racun aflatoksin. Aflatoksin tersebut dihasilkan oleh jamur Aspergilus flavus dan A. parasiticus yang tumbuh pada biji pala, disebabkan antara lain oleh umur panen yang belum cukup, cara pemisahan buah, biji dan fuli yang tidak higienis, pengeringan yang belum sempurna, pengemasan yang kurang bersih dan penyimpanan yang tidak dikondisikan secara baik. Suhu pengeringan dan kelembaban udara lingkungan merupakan faktor-faktor yang sangat menentukan dalam mengatasi cemaran aflatoksin pada biji pala. Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari metode penanganan yang terbaik untuk mengatasi cemaran aflatoksin pada biji pala khususnya biji pala utuh dan biji pala kupas (kernel). Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, dari bulan Januari sampai bulan Desember 2014. Metode penelitian yang digunakan Rancangan Acak Lengkap dengan dua faktor dan dua ulangan. Faktor pertama yaitu pengupasan (biji pala dikupas dan biji pala tidak dikupas). Faktor kedua adalah lama penyimpanan (0 bulan, 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan). Parameter pengamatan meliputi: kadar air, kadar aflatoksin, kadar minyak atsiri dan kadar oleoresin.
Selama penyimpanan setiap bulan dilakukan analisis mutu biji pala. Pengeringan menggunakan alat pengering aliran udara panas. Hasil percobaan menunjukkan bahwa kadar air dan kadar aflatoksin pada biji pala yang dikeringkan dengan alat pengering lebih rendah daripada biji pala dari perdagangan. Penyimpanan biji pala kering pada ruangan bersuhu 25-30°C dengan kelembaban udara 70-74% menghasilkan biji pala dengan kandungan aflatoksin terendah, sementara kandungan minyak atsiri dan oleoresin tidak mengalami perubahan.
Kata kunci: biji pala, kadar air, aflatoksin, pengeringan, penyimpanan
PENDAHULUAN
Biji pala merupakan salah satu bahan rempah yang banyak digunakan dalam industri pengolahan makanan. Indonesia merupakan negara penghasil sekaligus pengekspor biji pala terbesar di dunia (Dirjenbun, 2013). Jumlah ekspor biji pala kering dari Indonesia tahun 2018 sebesar 13.706 ton dengan nilai US $ 52.947.275 (BPS, 2018). Ekspor biji pala Indonesia khususnya ke negara-negara Uni Eropa mengalami kendala. Menurut laporan dari Direktorat Jendral Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian, sejak tahun 2010 ekspor biji pala Indonesia ke negara-negara Uni Eropa sering mengalami penolakan, hal ini disebabkan karena adanya cemaran aflatoksin dalam biji pala tersebut, sehingga nilai jualnya dihargai lebih rendah.
Aflatoksin merupakan senyawa metabolit sekunder yang bersifat toksik, diproduksi oleh strain tertentu jamur Aspergilus flavus dan A. parasiticus (Klich, 2007). Aflatoksin adalah suatu kelompok senyawa yang mempunyai daya racun tinggi dan bersifat mutagenik, teratogenik serta karsinogenik (ICAR, 1987). Kontaminasi aflatoksin dapat terjadi sejak di areal pertanaman sebelum panen maupun pada saat komoditas tersebut disimpan pada suhu > 20°C dan kadar air tinggi (>14%) (Richard, 2007).
Jenis aflatoksin yang sudah dapat diidentifikasi hingga saat ini ada 12 jenis, yakni aflatoksin B1, B2, B2a, B3; aflatoksin G1, G2, G2a, GM1, dan aflatoksin M1, M2, serta aflatoksin Ra dan P1. Satu diantaranya yang paling bersifat toksik adalah aflatoksin B1 (Bhatnagar et al., 2006). Racun aflatoksin bila terbawa ke dalam tubuh dapat menyebabkan kanker hati, metabolisme protein terganggu, penurunan kekebalan tubuh, rusaknya bagian reproduktif dan pencernaan (Demaegdt et al., 2016) .
Jamur Aspergilus flavus dan A. parasiticus tersebut mencemari komoditas pangan, khususnya pada komoditi serealia dan biji-bijian yang mengandung minyak lemak (Anderson et al, 1975). Pertumbuhan jamur A. flavus dan produksi aflatoksin di dalam biji dipengaruhi oleh komposisi genetik individu isolat jamur, komposisi substrat, organisme kompetitor, kadar air biji maupun kelembaban relatif lingkungan sekitar biji serta suhu (Keenan and Savage, 1994). A. flavus optimum menghasilkan aflatoksin pada kadar air substrat 15-30%, kondisi suhu 25-30°C dan kelembaban nisbi 85% (ICAR, 1987).
186
Persyaratan kandungan aflatoksin dalam rempah pada setiap negara berbeda-beda. Sementara Standar Nasional Indonesia (SNI) hingga saat ini belum menentukan besaran persyaratan aflatoksin khususnya dalam biji pala. Di negara Amerika, Uni Eropa, Uruguay, Switzerland dan Turkey menentukan aflatoksin berkisar 5-10 ppb (Trumpy, 2012).
Berdasarkan analisis yang dilakukan Negara Uni Eropa, kadar aflatoksin pada biji pala asal Indonesia berkisar 6,4 ug/kg untuk aflatoksin B1 dan 10,1-140 ug/kg untuk aflatoksin total. Ini melampaui batas yang diperbolehkan yaitu 5 ug/kg untuk aflatoksin total. Penelitian aflatoksin di Indonesia pada komoditas lain seperti; kacang tanah, jagung, beras, susu dan lainnya telah banyak dilakukan. Namun penelitian aflatoksin pada biji pala sangat kurang, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian terhadap biji pala dan rempah lainnya.
Tujuan penelitian untuk mencari metode penanganan yang terbaik untuk mengatasi cemaran aflatoksin pada biji pala khususnya biji pala utuh dan biji pala kupas (kernel).
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, dari bulan Januari sampai bulan Desember 2014. Bahan penelitian yang digunakan adalah biji pala kering yang diperoleh dari pedagang, eksportir dan kebun percobaan Cicurug (biji pala basah) dengan umur panen 9 bulan.
Sampel dari pedagang dibeli di pasar bogor dan pasar induk keramat jati. Sampel-sampel tersebut dibawa dengan kantong plastik tebal yang ditutup (sealer) rapat. Untuk sampel original, berasal dari buah pala tua (sebagian sudah terbelah) yang dipetik dari kebun percobaan Cicurug sebanyak 100 kg untuk dikeringkan langsung menggunakan alat pengering aliran udara panas. Alat yang digunakan adalah alat pengering, kromatografi cair (HPLC), alat penentuan kadar air, alat destilasi kadar minyak atsiri, dan alat ekstraksi oleoresin.
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan dua faktor, yaitu pengupasan (A) dan lama penyimpanan (B). Pengupasan dengan dua taraf yaitu biji pala dikupas dan biji pala tidak dikupas.
Penyimpanan dengan empat taraf yaitu 0 bulan, 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan. Perlakuan diulang 2 kali.
Kegiatan penelitian dilakukan dengan 2 tahap, yaitu:
Tahap ke 1 untuk mengetahui karakteristik yang berkaitan dengan aflatoksin pada biji pala. Biji pala kering dari berbagai sumber kemudian dianalisis kadar air dan kadar aflatoksin. Tiap bahan diambil masing- masing 2 sampel, dikondisikan dalam kantong plastik, ditutup (sealer) rapat diletakan di ruang yang bersih, tidak lembab dengan suhu 25-30°C dan RH 60-70% selama 24 jam. Sedangkan biji pala basah dilakukan pengeringan sampai kadar air biji pala mencapai angka 7-8%, selanjutnya dianalisis kadar air dan kadar aflatoksin.
Tahap ke 2 yaitu diperlukan buah pala tua yang masih segar dengan umur panen 9 bulan.
Selanjutnya buah pala dibelah kemudian dipisahkan biji dan fuli. Biji pala dikeringkan dengan menggunakan alat pengering dengan suhu pengeringan 40° - 50°C sampai mencapai kadar air 10%.
Selanjutnya biji pala kering diperlakukan dengan 2 perlakuan yaitu biji dikupas dan biji tidak kupas, masing- masing biji pala tersebut dikemas dalam kantong plastik kemudian disimpan selama 4 bulan dan setiap bulan dianalisis. Ruang penyimpanan harus bersih dan kering atau tidak lembab dengan suhu 25-30°C dan RH 60-70%. Suhu dan kelembaban ruangan dicatat setiap hari.
187
Untuk mengevaluasi hasil pengeringan dan penyimpanan biji pala, selanjutnya analisis kadar air, kadar aflatoksin, kadar minyak atsiri dan kadar oleoresin. Penentuan kadar aflatoksin dilakukan di Laboratorium Toksikologi Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor, sementara penentuan kadar air, kadar minyak atsiri dan kadar oleoresin dilakukan di Laboratorium Pengujian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap 1
Kadar air
Kadar air merupakan salah satu faktor yang paling mempengaruhi daya simpan bahan selama menunggu untuk dilakukan proses pengolahan. Pada tahap pertama, hasil analisis kadar air pada berbagai sampel biji pala dapat dilihat pada Tabel 1 menunjukkan kadar air (8,47%) dan kadar aflatoksin B1 (1,38 ppb) terendah dihasilkan dari biji pala yang dikeringkan dengan alat pengering udara panas. Selama proses pengeringan panas yang dihasilkan kolektor mampu menaikkan suhu udara dalam alat pengering dan udara terus melewati rak-rak tumpukan bahan. Pada saat udara pengering melewati tumpukan bahan kelembaban relatif udara menjadi rendah dan terjadi pindah panas dari udara pengering ke bahan yang dikeringkan, hal ini menyebabkan terjadi perbedaan tekanan uap antara bahan dengan udara pengering.
Proses penurunan kadar air pada awal pengeringan berlangsung dalam jumlah yang besar, hal ini disebabkan oleh air yang menguap adalah air bebas. Setelah itu, penurunan kadar air dan laju pengeringan menurun seiring dengan berkurangnya kadar air bahan.
Pertumbuhan Aspergilus flavus dipengaruhi oleh lingkungan seperti kadar air, cahaya, temperatur, kelembaban dan keberadaan jamur lain. Dari hasil penelitian kadar air pada biji pala dari pedagang rata- rata lebih tinggi (12,65-13,20%) dan kadar aflatoksin B1 (16,65–28,46 ppb). Hal ini dimungkinkan pedagang tidak mempunyai gudang penyimpanan dan alat pengering yang belum memadai hal ini yang menyebabkan terjadi cemaran aflatoksin melebihi batas maksimum. Idealnya kadar air penyimpanan biji- bijian berkisar antara 7-9% untuk disimpan selama 9 bulan. Semakin tinggi kadar air pada bahan maka akan semakin banyak dicemari Aspergilus flavus sehingga bahan akan mudah mengalami kerusakan karena tumbuh aflatoksin.
Pedagang memperoleh biji pala dari petani yang pada umumnya mengeringkan dengan cara dijemur ditempat terbuka dengan kadar air pada umumnya 10-12%, jamur Aspergilus flavus menghasilkan aflatoksin pada kadar air tinggi (ICAR, 1987). Menurut Paramawati et al. (2006) dengan pengeringan sampai kadar air 9% dapat mengurangi tingkat kontaminasi aflatoksin. Di tingkat eksportir, biji pala diperoleh kadar air 10,80-12,10% dan kadar aflatoksin B1 (3,37-4,03 ppb). Biji pala di tingkat eksportir mengandung aflatoksin lebih rendah dibanding biji pala dari pedagang, karena biasanya biji pala yang diperoleh ekportir dikeringkan kembali dan dibersihkan sehingga menjadi lebih baik dan kadar aflatoksinnya lebih rendah. Trumpy (2012) mengemukakan bahwa pertumbuhan jamur Aspergilus sangat dipengaruhi oleh kandungan air dan kelembaban.
188 Tabel 1. Kadar air pada beberapa sampel biji pala
No Sumber biji pala Kadar air (%, v/b) Kadar aflatoksin B1 (ppb) 1.
2.
3.
4.
5.
Biji pala, pedagang - 1 (pasar Bogor) Biji pala, pedagang - 2 (pasar induk Jakarta) Biji pala, eksportir - 1 (asal Sulut)
Biji pala, eksportir - 2
Biji pala, pengeringan aliran udara panas
13,20 12,65 12,10 10,80 8,47
28,46 16,65 4,03 3,37 1,38
Tahap 2