• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

B. Syad Z|ari>’ah

1. Definisi Z|ari>’ah

Secara bahasa, z\ari>’ah berarti:

َولا ْ ي َل ُة ِس تلا َ ي ي َ ت َو ُل َص

ِب َه ِإ ا َيل َّشلا ْي ِء َس َو ًءا َك َا ِح ن س ِّي َأ ا ْو َم ْع َن ِو ِّيا

Jalan yang membawa kepada sesuatu, secara hissi (nyata) atau ma’nawi (abstrak), baik atau buruk 26

Jadi kata z\ari>’ah secara etimologi berarti was}i>lah atau jalan ke suatu tujuan. Syekh Hashim Jamil mengartikan dengan jalan dan perantara yang dibolehkan dalam batas-batas tertentu akan tetapi bisa menimbulkan keharaman syari’at.27 Must}afa Ibra>him az-Zala>mi mengartikan z\ari>’ah sebagai suatu perantara yang mubah yang dapat membawa kepada sesuatu yang dicegah atas mafsadahnya.28 Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan al-z\ara>i’ (jamak dari al-z\ari>’ah) dengan sesuatu yang menjadi perantara ke arah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan.

Pengertian z\ari>’ah ditinjau dari segi bahasa adalah ‚jalan menuju sesuatu‛. Dengan demikian z\ari>’ah adalah sebuah perantara (was}i>lah).

Secara istilah menurut Abu Zahra, z\ari>’ah adalah sesuatu yang menjadi perantara ke arah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan.

26 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih I, (Jakarta: Kencana, 2008), 398.

27 Hashim Jamil Abdullah, Masa>il Min al-Fiqh al-Muqa>ran, (Bagda>d: Bayt al-H}ikmah, 1989), 55

28 Musthafa Ibra>hi>m al-Zalami>, Asba>b Ikhtila>f al-Fuqaha>’ fi> Ahka>m al-Shar’iyah, Jilid I, (Baghdad: al-Dar al-‘Arabiyah Li al-Taba’ah, 1976), 494.

Imam al-Sya>t}ibi mendefinisikan z\ari>’ah dengan:

َحلصَم َوُى امَب ِ ُلسوَتلا ٍةَدَسفْم َ ىَلِا ٌة

‚Perantara (wasilah) dengan suatu hal yang semula mengandung kemaslahahan, menuju kepada suatu kerusakan‛. Maksudnya, seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahahan, tetapi tujuan yang akan ia capai berakhir pada suatu kemafsadatan‛, dengan kata lain adalah menolak sesuatu yang boleh (ja>iz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu>’).29

Ketentuan hukum z\ari>’ah mengikuti ketentuan hukum yang menjadi tujuan. Jika tujuah mubah, maka perantaranya juga mubah. Jika tujuan itu haram maka hukum perantaranya juga haram. Jika tujuan itu wajib, maja hukum perantaranya juga wajib. Jika tujuan itu sunnah, maka hukum perantaranya juga sunnah. Jika tujuan itu makruh, maka hukum perantaranya juga makruh.30

Dari penjelasan di atas, maka bisa ditarik kesimpulan, bahwa z\ari>’ah itu ada dua, z\ari>’ah yang menuju kepada suatu kepada kebaikan disebut dengan fath al-z\ari>’ah, ini merupakan pendapat Ibn Qayyim al- Jauzi. Z|ari>’ah yang menuju kepada suatu kejelekan disebut dengan Syad al-z\ari>’ah. Menurut Imam Ghazali, z\ari>’ah yang baik pintunya harus

29 Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Sya>t}ibi, al-Muwa>faqa>t, Juz III, 257-258.

30 M. Noor Harisudin, Ilmu Ushul Fiqih I, (Surabaya, Penerbit Buku Salsabila, 2014), 95

dibuka lebar-lebar, serta z\ari>’ah yang jelek pintunya harus ditutup rapat- rapat.31

Dalam memandang z\ari>’ah, ada dua sisi yang dikemukakan oleh para ulama’ us}ul: Motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu.

Contohnya, seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan yang sudah ditalak tiga oleh suaminya dengan tujuan agar perempuan itu bisa kembali pada suaminya yang pertama. Perbuatan ini dilarang karena motivasinya tidak dibenarkan syara’. Dari segi dampaknya (akibat), semisal seorang muslim mencaci maki sesembahan orang, sehingga orang musyrik tersebut akan mencaci Allah. Oleh karena itu, perbuatan seperti itu dilarang.

Karena z\ari>’ah diartikan sebagai sesuatu yang menjadi perantara ke arah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan. Dalam hal ini, ketentuan hukum yang dikenakan pada z\ari>’ah selalu mengikuti ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi sasarannya. Jelasnya, perbuatan yang membawa ke arah mubah, adalah mubah. Perbuatan yang membawa ke arah haram adalah haram. Dan perbuatan yang membawa ke arah wajib adalah wajib. Misalnya zina adalah haram, maka, melihat aurat wanita yang menyebabkan seseorang melakukan zina adalah haram juga, hukum ini adalh hukum, meskipun dalam kasus lain, melihat aurat wanita tidak akan jatuh terhadap zina. Shalat Jum’at adalah fardu (wajib), maka meninggalkan jual beli guna memenuhi kewajiban menjalankan ibadah

31 M. Noor Harisudin, Ilmu Ushul Fiqih I, 96

shalat Jum’at adalah wajib. Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan disini bahwa sumber penetapan hukum ini ada dua32:

a. Maqa>s}id (tujuan/sasaran), yakni perkara-perkara yang mengandung maslah}at atau mafsadat.

b. Wasa>il (perantaraan), jalan atau perantaraan yang membawa kepada maqa>s}id, dimana hukumnya mengikuti hukum dari perbuatan yang menjadi sasarannya (maqa>s}id), baik berupa halal atau haram.

Jadi, yang menjadi sumber pokok hukum Islam di sini adalah tinjauan terhadap suatu perbuatan. Peninjauan terhadap akibat suatu perbuatan, bukannya memperhitungkan kepada niat si pelaku, akan tetapi yang diperhitungkan di sini adalah akibat dan buah dari perbuatannya.

Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.33

Imam Ahmad bin Hambal terbilang sebagai mujtahid yang paling banyak memfungsikan metode z\ari>’ah dalam proses istinbatnya, begitu juga dengan Imam Malik. Sementara yang terlihat jarang memfungsikannya adalah Imam Syafi’i dan Abu Hanifah.34 Teori penetapan z\ari>’ah menurut prespektif Imam Ahmad bin Hambal berbeda dengan teori yang dikembangkan oleh kalangan ulama Malikiyah. Bagi mazhab Hambali, teori yang digunakan ialah dengan tinjauan kesimpulan

32 Muhammad Abu Zahrah, Ushu>l Fiqh, Terj. Saefullah Ma’shum, dkk., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), 439.

33 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muqi’in, juz II (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), 103.

34 Muh}ammad Abu> Zahrah, Ibnu H}anbal H}ayatuhu wa ‘Ashruhu Ara>’uhu wa Fiqhuhu (Kairo: Da>r al-Fikr al-’Araby, 1996), 345.

akhir atas konsekuensi yang akan terjadi. Sedangkan bagi mazhab Maliki dengan tinjauan tingkatan atau kadar kekuatan yang bisa menyebabkan suatu perantara menuju pada kerusakan.35

2. Definisi Syad Z|ari>’ah

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa pengertian syad z\ari>’ah adalah menutup jalan atau perantaraan yang membawa kepada suatu hal yang mafsadah atau keburukan.

Dalam kajian ushul fiqih, syad z\ari>’ah adalah menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan. Imam al-Sya>t}ibi, mendefinisikan syad z|ari>’ah ini dengan ‚melakukan suatu pekerjaan yang semulanya mengandung kemaslahahan menuju kepada suatu kemafsadatan.‛ Maksudnya, seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahahan, tetapi tujuan yang akan dicapai berakhir pada suatu kemafsadatan. Contohnya, dalam masalah zakat. Sebelum waktu haul (batas waktu perhitungan zakat sehingga wajib mengeluarkan zakatnya) datang, seseorang yang mempunyai sejumlah harta yang wajib dizakatkan, menghibahkan sebagian hartanya kepada anaknya, sehingga berkurang nisab harta itu dan terhindar dari kewajiban zakat.36 Pada dasarnya, menghibahkan harta kepada anak atau orang lain, dianjurkan oleh syara’, akan tetapi karena tujuan hibah ini adalah dengan tujuan menghindari kewajiban membayar

35 Azizi Hasbullah (ed.), Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam, (Kediri: PP Lirboyo, 2005), 300.

36 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 161-162.

zakat, maka perbuatan ini dilarang. Atas dasar bahwa, zakat itu hukumnya wajib, sedangkan hibah hukumnya sunah.

Perbuatan yang membawa kepada kemafsadahan yang harus dicegah dan mencegahnya adalah dengan menutup perantara atau jalan tersebut. Hal inilah yang dimaksud dengan syad al-z|ari>’ah. Hal ini juga yang dimaksud oleh Syekh Hashim Jamil mengenai syad al-z|ari>’ah. Maka syad z|ari>’ah dapat diartikan sebagai menutup jalan kepada suatu tujuan.37

Imam al-Sya>t}ibi mengemukakan tiga syarat yang harus dipenuhi, sehingga suatu perbuatan itu dilarang, yaitu:

a. Perbuatan yang boleh dilakukan itu membawa kepada kemafsadatan.

b. Kemafsadatan lebih kuat dari kemaslahahan pekerjaan, dan

c. Dalam melakukan perbuatan yang dibolehkan unsur kemafsadatannya lebih banyak.

C. Kehujjahan Syad Z|ari>’ah 1. Dalil al-Qur’an

a. Al-Qur’an Surat al-An’am ayat 108:

اوُّبُسَت لََو َنيِذَّلا َنوُعْدَي ْنِم

ِنوُد ِوَّللا اوُّبُسَيَ ف َوَّللا ًاوْدَع ِرْيَغِب ٍمْلِع َكِلَذَك اَّنَّ يَز

لُكِل ٍةَّمُأ ْمُهَلَمَع َّمُث ىَلِإ ْمِه بَر ْمُهُعِجْرَم ْمُهُ ئ بَنُ يَ ف

اَمِب اوُناَك وُلَمْعَ ي َن

‚Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan

37 Satria Effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2005), 172.

merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.‛38

Pada dasarnya tidak ada salahnya memaki berhala (sembahan kaum musyrik) bahkan menghancurkannya seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim AS. Akan tetapi karena, hampir dapat dipastikan, mereka akan membalas memaki Allah, bahkan dengan makian yang lebih kasar, maka Allah melarang hal di atas untuk menutup z|ari>’ah yang menyebabkan kaum musyrik memaki-Nya.

b. al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 104

اَي اَهُّ يَأ َنيِذَّلا اوُنَمآ اوُلوُقَ ت لَ

اَنِعاَر اوُلوُقَو اَنْرُظْنا اوُعَمْساَو َنيِرِفاَكْلِلَو

ٌباَذَع ٌميِلَأ

‚Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): Ra>'ina39, tetapi katakanlah: Unz}urna, dan "dengarlah".

Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.‛40

Pada surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata ra>’ina

(

اَنِعاَر

) berarti: ‚Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.‛ Saat

para sahabat menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi

38 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2013), 141

39 Ra>’ina artinya perhatikanlah kami. Tetapi orang Yahudi bersungut mengucapkannya sehingga yang mereka maksud ialah ru’u>nah yang artinya bodoh sekali, sebagai ejekan kepada Rasulullah.

Itulah sebabnya Allah menyuruh sahabat-sahabat menukar Ra>’ina dengan Unz}urna> yang sama artinya

40 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 16

juga memakai kata ini dengan nada mengejek dan menghina Rasulullah SAW.

Mereka menggunakannya dengan maksud kata ra>’ina (

اًنِعَر

)

sebagai bentuk isim fa>’il dari masdar kata ru’u>nah (

ةَنْوُعُر

) yang berarti bodoh atau tolol.41 Karena itulah, Allah menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti kata ra>’ina yang biasa mereka pergunakan dengan unz}urna yang juga berarti sama dengan ra>’ina. Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari syad al-Z|ari>’ah.42

c. Surat an-Nur ayat 31:

لََو ...

َنْبِرْضَي َّنِهِلُجْرَأِب َمَلْعُ يِل

َنيِفْخُي اَم ْنِم َّنِهِتَنيِز اوُبوُتَو ىَلِإ ِوَّللا ًاعيِمَج اَهُّ يَأ

َنوُنِمْؤُمْلا ْمُكَّلَعَل

َنوُحِلْفُ ت

‚…Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.‛43

Sebenarnya menghentakkan kaki itu boleh-boleh saja bagi perempuan, namun karena menyebabkan perhiasan yang tersembunyi dapat diketahui orang sehingga akan menimbulkan rangsangan bagi yang mendengar, maka menghentakkan kaki itu menjadi terlarang.44

41 Abu Abdillah Muh}ammad bin Umar bin al-H}asan bin al-H}usai>n at-Taimi ar-Ra>zy, Mafa>tih} al- Ghaib (Tafsir ar-Razi), juz II, (Maktabah asy-Sya>milah), 261.

42 Muh}ammad bin Ah}mad bin Aby Bakr bin Farh} Al-Qurthuby, al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, (Maktabah asy-Sya>milah), 56.

43 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 353

44 Amir Syarifudin, Ushul Fiqh I, 401.

2. Dalil Hadis

Salah satu hadis Nabi Saw yang dijadikan dasar tentang z|ari>’ah adalah:

ْنَع ِدْبَع ِوَّللا ِنْب وٍرْمَع َيِضَر ُللها اَمُهْ نَع َلاَق َلاَق ُلوُسَر ِللها ىَّلَص ُللها ِوْيَلَع َمَّلَسَو َّنِإ

ْنِم ِرَبْكَأ ِرِئاَبَكْلا ْنَأ َنَعْلَ ي ُلُجَّرلا ِوْيَدِلاَو َليِق َلوُسَر اَي ِللها َفْيَكَو ُنَعْلَ ي ُلُجَّرلا ِوْيَدِلاَو

َلاَق ُّبُسَي ُلُجَّرلا اَبَأ ِلُجَّرلا ُّبُسَيَ ف ُهاَبَأ ُّبُسَيَو ُوَّمُأ

45

Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:

‚Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.‛ Beliau kemudian ditanya, ‚Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?‛ Beliau menjawab, ‚Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu lelaki tersebut.‛

Hadis ini dijadikan oleh Imam al-Sya>t}ibi sebagai salah satu dasar hukum bagi konsep syad al-z|ari>’ah. Berdasarkan hadis tersebut, menurut tokoh ahli fikih dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk penetapan hukum dalam konteks syad al-z|ari>’ah.46

3. Kaidah Us}uliyyah

Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan syad z|ari>’ah adalah:

ُءْرَد ِدِساَفَمْلا ىَلْوَأ

ْنِم ِبْلَج ِحِلاَصَمْلا

47

.

‚Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (maslahah).‛

45 Muh}ammad bin Isma>’il Abu> Abdullah al-Bukha>ry, al-Jami’ al-S}ah}ih} al-Mukhtas}ar, Juz V, (Beirut: Da>r Ibn Katsi>r, 1987), 228.

46 Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Sya>t}ibi, al-Muwa>faqa>t, Juz III, 360.

47 Jalaluddi>n al-Suyu>thi, al-Ashbah wa an-Nad}air, (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.), 176.

Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah- masalah turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah, syad z|ari>’ah pun bisa disandarkan kepadanya.

Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam syad z|ari>’ah terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari.

4. Logika

Syad z|ari>’ah artinya menutup jalan atau perantara menuju perbuatan yang diharamkan. Meskipun jalan atau perantara tersebut pada awalnya tidak haram, namun karena ia mengantarkan kepada perbuatan yang diharamkan, ia menjadi haram juga.

Tidak semua imam mazhab mengakui Syad z|ari>’ah sebagai bagian dari dalil hukum Islam, salah satunya pendapat Syafi’iyah dan Hanafiyah.

Mereka menyatakan bahwa Syad z|ari>’ah bukan merupakan dalil fiqh, karena syad z|ari>’ah adalah perantara, sedangkan perantara hukumnya berubah-ubah, kadang haram, kadang wajib, makruh, mandub, dan terkadang mubah. Dan perantara tersebut pun berbeda-beda terhadap hukum yang jadi tujuannya (al-Maqās}id), sesuai dengan kuat lemahnya maslahah dan mafsadat yang dihasilkan, serta nampak dan tersembunyinya perantara tersebut. Atas dasar ini, tidak memungkinkan untuk menentukan hukum Syad z|ari>’ah ini secara pasti.48

Mereka juga menyatakan bahwa hukum syara’ dibangun atas sesuatu yang nampak (zhahir), sebagaimana yang dilakukan Rasulullah

48 Wahbah al-Zuhaili, Ushulu al-Fiqh, (Syuriah: Dâr al-Fikr, 2001),888.

terhadap kaum yang menampakkan keislaman padahal hatinya ingkar (kalangan munafik), mereka di dunia tidak mendapatkan hukuman atas kekafiran mereka karena yang nampak di luar mereka adalah muslim.

Selain Syafi’iyah dan Hanafiyah, yang juga menolak Syad z|ari>’ah adalah kalangan Z|ahiriyah.

Sementara itu penganut Malikiyah dan Hanabilah condong untuk berpendapat sebaliknya. Bahkan Menurut Wahbah al-Zuhaili, Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa Syad z\ari>’ah merupakan salah satu bagian dari Us}ul al-fiqh. Masih menurut Wahbahal-Zuhaili, Ibn al-Qayyim menyatakan bahwa Syad z|ari>’ah merupakan seperempat agama.49 Kata-kata inilah yang barangkali secara eksplisit menjelaskan kemunculan perdana dari istilah Syad al-z|ari>’ah.

Perbedaan pendapat antara Syafi’iyah dan Hanafiyah disatu pihak dengan Malikiyah dan Hanabilah di pihak lain dalam berhujjah dengan syad al-z\ari>’ah adalah dalam masalah niat dan akad. Menurut ulama’

Syafi’iyah dan Hanafiyah, dalam suatu transaksi yang dilihat adalah akad yang disepakati oleh orang yang bertransaksi. Jika sudah memenuhi syarat dan rukun maka akad transaksi tersebut dianggap sah. Adapun masalah niat diserahkan kepada Allah SWT. Menurut mereka, selama tidak ada indikasi-indikasi yang menunjukkan niat dari perilaku maka berlaku kaidah:

ُملا . ُظْفَّللاَو ُمْسِلأا ِداَبِعْلا ِرْوُمُأ ِيف ُرَ بَتْعُمْلاَو ، َىنْعَملا ِللها ِرِماَوَأ ِيف ُرَ بَتْع

49 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, juz I, 425-427.

Yang diperhitungkan pada perkara-perkara Allah adalah pada maknanya, sedangkan yang diperhitungkan pada perkara-perkara seorang hamba adalah pada nama dan lafadz.

Akan tetapi, jika tujuan orang yang berakad dapat ditangkap dari beberapa indikator yang ada, maka berlaku kaidah:

ِيناَعَمْلاَو ِظاَفْلَلأاِب َلَ ِيناَعَمْلاَو ِدِصاَقَملاِب ِدْوُقُعْلا ِيف ُةَرْ بِعلا .

Yang diperhitungkan pada beberapa akad adalah pada maksud dan makna, buka lafadz dan makna.

Sedangkan menurut ulama’ Malikiyah dan Hanabilah, yang menjadi ukuran adalah niat dan tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan niatnya maka sah. Namun, apabila tidak sesuai dengan tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap dianggap sah, tetapi ada perhitungan antara Allah dan pelaku, karena yang paling mengetahui niat seseorang hanyalah Allah saja. Apabila ada indikator yang menunjukkan niatnya, dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara’, maka akadnya sah. Namun apabila niatnya bertentangan dengan syara’, maka perbuatannya dianggap rusak, namun tidak ada efek hukumnya.

Golongan Z|ahiriyyah tidak mengakui kehujjahan syad z|ari>’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menggunakan nas} secara harfiyah saja dan tidak menerima campur tangan logika dalam masalah hukum.

Salah satu ulama’ modern yang memiliki pemikiran tentang Syad z|ari>’ah adalah Imam al-Sya>t}ibi, pemikiran beliau dalam Syad z|ari>’ah

korelasinya pada masalah maslahah dan mafsadah pada suatu perbuatan.

Banyak dalil syara’ yang telah menunjukkan bahwasanya syari’ telah menetapkan bahwa syariat itu ditegakkan untuk menggapai kemaslahahan dan menolak kemafsadatan.

Bisa diibaratkan bahwa menegakkan kemaslahahan, merupakan menjadi ‘illat dalam pembentukan suatu hukum ataupun menjadi sebab menyingkap suatu dalil hukum, serta Allah telah menetapkan hal itu semua dalam nas}-nas} yang sharih50, beberapa dalil yang menunjukkan bahwa tujuan disyariatkan hukum Islam adalah untuk kemaslahahan;

: ءايبنلأا( َنْيِمَلاَعْلِل ًةَمْحَر َّلَِإ َكَنْلَسْرَأ اَمَو 707

)

Setiap sesuatu yang diturunkan pada kalian merupakan bentuk kasih sayang bagi setiap alam (al-Anbiya’: 107).51

Perumpamaan dalam kasih sayang terhadap setiap orang, untuk memberikan faedah kepada setiap orang itu, yakni kasih di dunia dan kasih sayang di akhirat. Kasih sayang merupakan salah satu alasan diutusnya Nabi Muhammad saw, yang secara hakikat tidak mungkin hal itu terjadi kecuali dengan isi syariat itu sendiri hanya untuk kemaslahahan orang mukallaf secara umum, serta mencegah hal-hal yang memiliki kemafsadatan bagi mereka. Karena bentuk kasih sayang tidak akan bisa tampak tanpa ada pembeda maslahah ataupun mafsadah.52

50 Abdurahman Ibra>him al-Kaila>ni, Qawa>’id al-Maqa>s}id ‘Inda Imam al-Sya>t}ibi, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2000), 132

51 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 331

52 Abdurahman Ibra>him al-Kaila>ni, Qawa>’id al-Maqa>shid ‘Inda Imam asy-Sya>tibi, 132

اَيَحْلا يِف ُوُلْوَ ق َكُبِجْعُ ي ْنَم ِساَّنلا َنِمَو ُّدَلَأ َوُىَو ِوِبْلَ ق يِف اَم ىَلَع َوَّللا ُدِهْشُيَو اَيْ نُّدلا ِة

َلَ ُوَّللاَو َلْسَّنلاَو َثْرَحْلا َكِلْهُ يَو اَهيِف َدِسْفُ يِل ِضْرَْلأا يِف ىَعَس ىَّلَوَ ت اَذِإَو )( ِماَصِخْلا : ةرقبلا( َداَسَفْلا ُّبِحُي 404

- 405 )

Dan diantara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras () Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan53 (QS al-Baqarah: 204-205).54

Ayat ini menunjukkan bahwa syariat pasti berdasarkan kemaslahahan, hal ini terbukti dalam dua bentuk. Pertama, bahwasanya Allah telah melarang kepada kaumnya untuk membuat kerusakan dimuka bumi. Serta melarang berbuat kerusakan dalam mengelola alam ini, hal ini berbanding terbalik dalam mencari kemaslahahan dan hikmah dari diciptakannnya makhluk.

Kedua, bahwa Allah dalam ayat terakhir berfirman, ‚Allah tidak menyukai kemafsadatan‛, mafsadah merupakan lawan dari maslahah.

Maka apabila Allah tidak menyukai mafsadah, tentunya beliau menyukai kemaslahahan, hal ini sesuai dengan mafhum mukholafah. Sehingga syariat itu tegak berdasarkan apa yang dibebani itu sesuai dengan kemaslahahan dan mencegah kemafsadatan.55

Selain dua dalil diatas, masih banyak dalil kulli dan juz’i yang dipakai oleh Imam al-Sya>t}ibi dari berbagai nas} syara’. Hal ini

53 Ungkapan ini adalah ibarat dari orang-orang yang berusaha menggongcangkan iman orang- orang mukmi dan selalu membuat kekacauan.

54 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 32

55 Abdurahman Ibra>him al-Kaila>ni, Qawa>’id al-Maqa>shid ‘Inda Imam asy-Sya>tibi, 133