• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Dalam dokumen hasil penelitian (Halaman 185-190)

BAB IV BAB IV

A. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kabupaten Bone dahulu disebut Tanah Bone. Berdasarkan lontarak bahwa nama asli Bone adalah pasir, dalam bahasa bugis dinamakan ―Bone‖ adalah Lise (isi), kessi (pasir). Dari sinilah asal usul sehingga dinamakan Bone. Adapun bukit pasir yang dimaksud kawasan Bone sebenarnya adalah lokasi bangunan Mesjid Raya sekarang ini letaknya persis di jantung Kota Watampone Ibu kota kabupaten Bone tepatnya di kelurahan Bukaka. Kabupaten bone adalah suatu kerajaan besar di Sulawesi Selatan yaitu sejak adanya Manurunge Ri Matajang pada awal abad XIV atau pada tahun 1330. Manurunge Ri Matajang bergelar ―Mata silompo‘e‖ sebagai Raja Bone. Pertama memerintah pada tahun 1330-1365. Selanjutnya digantikan Turunannya secara turun temurun hingga berakhir kepada Andi Pabbenteng sebagai Raja Bone ke-33 di antara ke-33 orang Raja yang telah memerintah sebagai Raja Bone dengan gelar ―Mangkau‖, terdapat 7 (tujuh) orang wanita. Struktur Pemerintah Kerajaan Bone dahulu terdiri dari : Arung Pone (Raja Bone) bergelar Mangkau Makkedangnge Tanah (bertugas dalam Bidang hubungan/urusan dengan kerajaan lain {Menteri Luar Negeri}, Tomarilaleng (bertugas Bidang urusan dalam daerah Kerajaan lain {Menteri dalam Negeri}Ade Pitu Hadat Tujuh, terdiri dari tujuh orang, merupakan Pembantu utama/pemimpin Pemerintah di Kerajaan Bone, masing-masing :

170

Arung Ujung,bertugas mengepalai urusan penerangan Kerajaan Bone. Arung Ponceng,bertugas mengepalai kepolisian/kejaksaan dan pemerintahan. Arung ta‘,bertugas mengepalai urusan pendidikan , dan mengetuai urusan perkara Sipil.

Arung Tibojong,bertugas mengeplai urusan perkara/pengadilan landschap/badat besar dan mengawasi urusan perkara Pengadilan Distrik. Arung Tanete Riattang, bertugas mengepalai memegang kas Kerajaan, mengatur Pajak dan Pengawasan Keuangan.

Arung Tanete Riawang, bertugas mengepalai (Landschap Werken-LW) pajak jalan dan pengawas Opzichter. Arung Macege, bertugas mengepalai urusan pemerintahan umum dan perekonomian. Ponggawa (Panglima Perang), bertugas dibidang Pertanahan Kerajaan Bone dengan membawahi 3 (tiga) perangkat masing- masing :

Anreguru Anakarung,bertugas mengkoordinir para anak bangsawan berjumlah 40 (Empat puluh) orang bertugas sebagai pasukan elit Kerajaan. Pangulu Joa, bertugas mengkoordinir pasukan dari rakyat Tana Bone yang disebut Passiuno artinya : pasuka siap tempur dimedan perang setiap saat rela mengorbankan jiwa raganya demi tegaknya Kerajaan Bone dari gangguan Kerajaan lain. Dulung (Panglima Daerah),bertugas mengkoordinir daerah Kerajaan bawahan, di Kerajaan Bone terdapat 2 (dua) Dulung (panglima Daerah) yakni Dulungna Ajangale dari kawasan Bone Utara dan Dulungan Awang Tangka dari Bone Selatan.

Budaya masyarakat Bone, demikian tinggi mengenai sistem norma atau adat berdasarkan lima unsur pokok masing-masing : Ade, Bicara, Rapang, Wari dan Sara yang terjalin satu sama lain, sebagai sutu kesatuan organis dalam pikiran masyarakat yang memberi rasa harga diri serta martabat dari pribadi masing-masing. Semuanya

itu terkandung dalam suatu konsep yang di sebut ―SIRI‖ merupakan integrasi dari lima unsur pokok di atas yakni pangderen (norma adat), untuk mewujudkan nilai pangadereng maka rakyat Bone memiliki sekaligus mengamalkan semangat/budaya:

Sipakatau yang artinya saling memanusiakan sebagai makhluk ciptaan Allah Swt.

Tanpa membeda-bedakan siapa orangnya harus patuh dan taat terhadap norma adat/hukum yang berlaku. Sipakalebbi artinya: saling memuliakan posisi dan fungsi masing-masing dalam struktur kemasyarakatan dan pemerintahan, senantiasa berperilaku yang baik sesuai dengan adat dan budaya yang berlaku dalam masyarakat. Sipakainge artinya saling mengingatkan satu sama lain, menghargai, nasehat, pendapat orang lain, menerima saran dan kritikan positif dan siapapun atas dasar kesadaran bahwa sebagai manusia biasa tidak luput dari kekhilafan dengan berpegang pada nilai budaya tersebut di atas, maka sistem kerajaan Bone adalah muasyawarah mufakat. Hal ini dibuktikan dimana waktu itu kedudukan ketujuh.

Ketua kaum (Matoa Anang) dalam satu majelis dinamai Manurungge sebagai ketuanya ketujuh itu diikat dalam satu ikatan persekutuan yang disebut KAWERANG, artinya ikatan persekutuan tanah Bone sistem Kawerang ini sejak manurungge sebagai raja Bone pertama hingga raja Bone Ke IX yaitu Lappatawe matinroe ri Butung pada akhir abad ke 16.

Kabupaten Bone berbatas dengan daerah-daerah sebagai berikut : sebelah utara Kabupaten Wajo, sebelah selatan Kabupaten Sinjai, sebelah barat Kabupaten Soppeng, Maros, Pangkep, Barru. Sebelah timur adalah Teluk Bone yang menghubungkan Provinsi Sulawesi Tenggara yang terdiri dari 27 Kecamatan yang

ada di kabupaten Bone, sembilan diantaranya masuk daerah pantai seperti; Cenrana, Tellu SiantingE, Awangpone,Taneteriatang Timur, SibuluE. Mare, Tonra, Salomekko dan Kajuara, yang terhimpung dalam suatu kominitas masyarakat yang sumber mata pencaharianya adalah sebagian besar adalah Petani dan Nelayan. Keadaan jumlah penduduk Kelurahan Lonrae, Kecamatan Taneteriattang Timur Kabupaten Bone.

Jumlah penduduknya terdiri dari delapan ribu empat ratus lima sedang wajib Kartu tanda penduduk adalah tujuh ribu dua ratus enam orang, luas wilayah adalah dua koma tiga kilo meter bujur sangkar potensi wilayah adalah perikanan.

Kabupaten Bone merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Sulawesi Selatan, terletak pada koordinat antara404•43‚ sampai 508•45‚ Lintang Selatan dan 119049•3‚ sampai 112025•9‚ Bujur Timur. . Kondisi pertumbuhan pembangunan daerah Kabupaten Bone saat ini telah tumbuh dengan peningkatan yang positif pada semua sektor, hal ini ditandai dengan laju pertumbuhan pembangunan yang dibarengi peningkatan pendapatan perkapita masyarakat. Kabupaten Bone dengan pertumbuhan yang dicapai telah berada pada fase berkembang.Lokasi penelitian berada di salah satu wilayah Kabupaten Bone letaknya di Kelurahan Lonrae, Kecamatan Taneteriattang Timur Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan. Pelabuhan Bajoe sebagai penghubung propinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara melalui Teluk Bone. Dengan jarak lintasan delapan puluh enam mil laut menuju pelabuhan penyeberangan Kolaka. Masyarakat Bajo adalah salah satu etnik group dari masyarakat Indonesia di Sulawesi Selatan yang berdiam di Desa Bajoe, Kecamatan Tanete Riattang Timur Kabupaten Bone. Pada umumnya menggantungkan sumber

hidupnya di laut (nelayan). Begitu eratnya hubungannya dengan laut sehingga kadangkala mereka disebut juga orang laut. Pada umumnya mereka menganut agama Islam dan dalam kehidupan sehari-hari mereka berbaur dengan masyarakat Bugis yang umumnya juga beragama Islam. Dengan demikian secara sepintas lalu kehidupan sosial ekonomi dan pola pemukiman mereka tidak dapat diidentifikasi sebagai simbol etnisitas mereka disekitarnya.

Menurut sejarah wilayah Bajoe di Kecamatan Taneteriattang Timur dahulu merupakan satu Desa kecamatan Taneteriattang kemudian dimekarkan menjadi Taneteriattang Timur yakni Desa Bajoe wilayah tersebut pada mulanya Suku Bajo di di Bajoe memiliki andil di pelabuhan Bajoe dalam artian aktifitasnya yang nampak dominan tetapi sebagi peneliti dan pemerhati terhadap perempuan rumah tangga yang mencari nafkah bahwa sesungguhnya Suku Bajo di Bajoe memberi motivasi kepada Suku bugis yang berdomisilih di pesisir pantai Bajoe, ditandai dengan banyaknya Suku Bajo yang melakukan aktivitas tersebut.

Dalam kehidupan sosial Suku Bajo dikenal sebagai pelaut-pelaut yang tangguh. Namun, sejarah lebih mengenal suku Makassar, Suku Bugis, atau Suku Mandar, sebagai raja di lautan. Padahal, Suku Bajo pernah disebut-sebut pernah menjadi bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya. Sehingga, ketangguhan dan keterampilannya mengarungi samudera jelas tidak terbantahkan. Suku Bajo dikenal sebagai pelaut ulung yang hidup matinya berada diatas lautan. Bahkan perkampungan merekapun dibangun jauh menjorok kearah lautan bebas, tempat mereka mencari penghidupan. Laut bagi mereka adalah satu-satunya tempat yang dapat diandalkan.

Julukan bagi mereka sudah barang tentu sea nomads, karena pada mulanya mereka memang hidup terapung-apung diatas rumah perahu.

Dalam dokumen hasil penelitian (Halaman 185-190)