S
aat ini dunia sedang berada di era revolusi ke 4 yang di- tandai dengan masifnya internet. Revolusi Industri 1.0 (1750-1830) ditemukannya Mesin uap dan kereta. Revolusi industri 2.0 (1870-1.900) ditandai dengan ditemukannya Telefon dan listrik. Revolusi Industri 3.0 (1960-2000) dite- mukan Pesawat, Komputer dan telefon seluler. Revolusi Industri 4.0 (2000-sekarang) ditandai dengan internet of thing (Chairul Tanjung, 2017).5 Setiap tahapan era ditan- dai dengan penemuan yang pada dasarnya merubah bu- daya manusia. Ketika dibandingkan budaya masing-masing tahapan revolusi, maka kita menemukan perbedaan budaya yang signifikan. Era revolusi 4.0 membuat budaya manusia yang menkoneksi dirinya bahkan semua aktifitasnya dengan internet. Sebagai contoh, dulu di era revolusi 3.0 budaya di- belahan bumi lainnya, tidak serta merta langsung mewabah di negara lain, saat ini bumi benar-benar ibarat kampong kecil, yang hitungan detik bisa terkoneksi, dan melakukan komunikasi diantara warga kampong dunia.5 Slide presentasi, di MUI 2017
Di era revolusi industry 4.0 inilah, kita juga menemukan generasi bari yang dikenal dengan istilah generasi millennial.
Istilah tersebut berasal dari millennials yang diciptakan oleh dua pakar sejarah dan penulis Amerika, William Strauss dan Neil Howe dalam beberapa bukunya. Millennial generation atau generasi Y juga akrab disebut generation me atau echo boomers. Secara harfiah memang tidak ada demografi khusus dalam menentukan kelompok generasi yang satu ini. Namun, para pakar menggolongkannya berdasarkan tahun awal dan akhir. Penggolongan generasi Y terbentuk bagi mereka yang lahir pada 1980 - 1990, atau pada awal 2000, dan seterusnya.6
Yang menarik adalah perilaku generasi milineals ini berbeda jauh dengan generai sebelumnya, salah satunya adalah pola konsumsi, generasi millenials benar-benar terkoneksi dengan internet, bahkan kebutuhan dasar generasi inipun bisa jadi berubah, yang menurut maslow adalah (1). Fisiologis. (2). Keamanan dan perlindungan.
(3). Rasa sayang. (4). Penghargaan. (5). Aktualisasi diri.
Bisa jadi saat ini berubah yang pertama dibutuhkan bisa jadi adalah internet dan variansnya, seperti wi-fi, power bank. Ini menunjukkan tingginya kertergantungan generasi ini dengan internet. Pola belanjapun saat ini berubah, dari dulu ke toko, sekarang cukup melalui handphone generasi ini belanja, dengan cepat dan murah.
Pada era revolusi 4.0 ini pulalah dikenal sharing economy, yang diartikan sebagai sikap partisipasi dalam kegiatan ekonomi yang menciptakan value, kemandirian,
6 http://www.republika.co.id/berita/koran/inovasi/16/12/26/ois64613-mengenal- generasi-millennial, dilihat 2 agustus 2017, pukul 22.08
dan kesejahteraan, Semuanya melakukan peran masing- masing, maka nanti akan terjadi yang namanya bagi hasil.
Jadi sharing di sini adalah, bagi peran dan bagi hasil. Selain welfare, efisiensi juga tercipta,”” (Rhenal Kasali),7 era sharing economy ini, pula melahirkan perubahan yang cepat dan mendasar, dulu orang berfikir untuk mempunyai taxi, maka belilah mobil, cari kantor dengan parkir luas, muncul biaya, di era sharing economy yang punya mobil, bisa dikoneksikan dengan yang punya ide dan sistim, jadilah taxi online, ojek online, dan berbagai financial technology yang menjamur dan berkembang tak terbendung dengan kreatifitas generasi milenial. National Digital Research Centre di Dublin, Irlandia mendefinisikan financial technology atau fintech sebagai: “innovation in financial services” atau “inovasi dalam layanan keuangan”. Definisi tersebut memiliki pengertian yang sangat luas, perusahaan fintech dapat menyasar segmen perusahaan (B2B) maupun ritel (B2C). FinTech Indonesia memiliki banyak jenis, antara lain startup pembayaran, peminjaman (lending), perencanaan keuangan (personal finance), investasi ritel, pembiayaan (crowdfunding), remitansi (transfer uang yang dilakukan pekerja asing ke penerima di negara asalnya), riset keuangan.8
Wakaf dan Perkembangannya
Wakaf secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf ” yang berarti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya
7 https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20160329152224-185-120288/sharing- economy-berbagi-aset-dan-keuntungan/ di lihat 2 agustus 2017, pukul 21.42 8 https://www.finansialku.com/apa-itu-industri-financial-technology-fintech-indonesia/
di lihat 2 agustus 2017, pukul 21.53
berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359).9 Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah) (al- Jurjani: 328). Dalam Undang-Undang Wakaf Nomor 41 tahun 20114, di pasal pasal 1 wakaf adalah perbuatan Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan nya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Agar pengelolaan wakaf saat ini dan kedepan lebih optimal, maka diperlukan kajian pengelolaan wakaf era sharing economy, fintech di generasi milleneals, yang tidak bisa dilepaskan dari peran, tugas dan wewenang lembaga BWI, serta peran optimlisasi leadership para nadzhir.
Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah nabi SAW Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid.
Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata:
9 http://bwi.or.id/index.php/in/tentang-wakaf/mengenal-wakaf/pengertian-wakaf.html, dilihat 2 agustus 2017, pukul 23.37
Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad berkata: “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW.” (Asy-Syaukani: 129).
Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan ketujuh kebun kurma di Madinah; diantaranya ialah kebon A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon lainnya.
Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf adalah Umar bin Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra, ia berkata:
Dari Ibnu Umar ra, berkata: “Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra, menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, Umar berkata: “Hai Rasulullah SAW., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW. bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan.”
Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-rang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR.Muslim).
Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab dususul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan
kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW. lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Mu’ads bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah Isri Rasulullah SAW.
Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah, semua orang berduyun- duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para statnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa.
Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.
Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun setelah masyarakatIslam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.
Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar Al-Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.
Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “shadr al-Wuquuf ” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf.
Demikian perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan pengaturan administrasinya.
Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul mal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyah sebelumnnya, meskipun secara fiqh Islam hukum mewakafkan harta baitulmal masih berbeda pendapat di antara para ulama.
Pertama kali orang yang mewakafkan tanah milik nagara (baitul mal) kepada yayasan dan sosial adalah Raja Nuruddin Asy-Skyahid dengan ketegasan fatwa yang dekeluarkan oleh seorang ulama pada masa itu ialah Ibnu
“Ishrun dan didukung oleh pada ulama lainnya bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi (dalil) memelihara dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang menjadi milik negara pada dasarnya tidak boleh diwakafkan. Shalahuddin Al- Ayyubi banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasah mazhab asy- Syafi’iyah, madrasah al-Malikiyah dan madrasah mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui model mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab Syafi’iy di samping kuburan Imam Syafi’I dengan cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil.
Dalam rangka mensejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab Sunni Shalahuddin al-Ayyuby menetapkan kebijakan (1178 M/572 H) bahwa bagi orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Hasilnya dikumpulkan dan diwakafkan kepada para ahli yurisprudensi (fuqahaa’) dan para keturunannya.
Wakaf telah menjadi sarana bagi dinasti al-Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya ialah mazhab Sunni dan mempertahankan kekuasaannya. Dimana harta milik negara (baitul mal) menjadi modal untuk diwakafkan demi pengembangan mazhab Sunni dan menggusus mazhab Syi’ah yang dibawa oleh dinasti sebelumnya, ialah dinasti Fathimiyah.
Perkembangan wakaf pada masa dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya yang di wakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh pengusa dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya yang mewakafkan budaknya untuk merawat mesjid.
Manfaat wakaf pada masa dinasti Mamluk digunakan sebagaimana tujuan wakaf, seperti wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin. Yang lebih membawa syiar islam adalah wakaf untuk sarana Harmain, ialah Mekkah dan Madinah, seperti kain ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Shaleh bin al-Nasir yang membrli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka’bah setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima tahun sekali.
Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian khusus pada masa itu meski tidak diketahui secara pasti awal mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundang- undangan wakaf pada dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277 M/658-676) H)
di mana dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni.
Pada orde al-Dzahir Bibers perwakafan dapat dibagi menjadi tiga katagori: Pendapat negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yanbg dianggap berjasa, wakaf untuk membantu haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat umum. Sejak abad lima belas, kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk merapkan Syari’at Islam, diantaranya ialah peraturan tentang perwakafan.
Di antara undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-udangan.
Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang- undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan diperaktekkan sampai saat sekarang.
Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti- dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan
dari waktu ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia.
Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Disamping itu suatu kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tak bergerak. Kalau kita perhatikan di negara-negara muslim lain, wakaf mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal sosial yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat banyak.
Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan jaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual (Haki), dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya.
Tugas dan Wewenang
Badan Wakaf Indonesia (BWI)
Badan Wakaf Indonesia berdiri pada 13 Juli 2007 melalui terbitnya Keppres No. 75/M tahun 2017. Badan Wakaf Indinesia (BWI melalui Pasal 49 Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf, dinyatakan secara tegas tugas dan wewenang Badan Wakaf Indonesia, yaitu:
1. Melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf
Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional
2. Memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf
3. Memberhentikan dan mengganti nazhir
4. Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf
5. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan
Kemudian, melalui Peraturan BWI Nomor 1 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Wakaf Indonesia, BWI menjabarkan tugas dan wewenangnya sebagai berikut:
1. Melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf.
2. Membuat pedoman pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf.
3. Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional serta harta benda wakaf terlantar.
4. Memberikan pertimbangan, persetujuan, dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf.
5. Memberikan pertimbangan dan/ atau persetujuan atas penukaran harta benda wakaf.
6. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.
7. Menerima, melakukan penilaian, menerbitkan tanda
bukti pendaftaran nazhir, dan mengangkat kembali nazhir yang telah habis masa baktinya.
8. Memberhentikan dan mengganti nazhir bila dipandang perlu.
9. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Menteri Agama dalam menunjuk Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU).
10. Menerima pendaftaran Akta Ikrar Wakaf (AIW) benda bergerak selain uang dari Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
Tugas mulia para komisioner menekankan pembinaan, pengelolaan, administrasi, memberikan pertimbangan ke pemerintah, administrasi dan pengangkatan nazhir, serta adiministrasi pengelolaan LKS-PWU. Jika fungsi ini dioptimalkan, geliat wakaf di Indonesia tentunya akan semakin terasa. Namun apakah demikian?, maka diperlukan pengelolaan dan penguatan para nadzhir wakaf, karena nadzhir mempunyai peran strategis dalam pengembangan wakaf di Indonesia. Nadzhir yang mempunyai leadership yang baik, akan mengantarkan wakaf yang dikelolanya menjadi berkembang pesat, sesuai harapan dan sebaliknya.
Leadership Pengelolaan Wakaf
Peran nadzhir perlu di perkuat dengan perbaikan leadership para nadzhir. Dalam pasal 11 UU No. 41/2004 dinyatakan ada 4 tugas nadzhir, yaitu: (1). Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf, (2). Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya. (3). Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf. (4). Melaporkan pelaksanaan tugas
kepada BWI. Terutama untuk tugas nomor 2, yaitu mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya, membutuhkan leadership yang handal, kedepan kepemimpinan dalam pengelolaan wakaf, terutama para nadzhir, hendaknya mengedepankan beberapa ciri berikut ini:
1. Mampu melakukan perubahan dan terobosan
Era ini sudah berubah, jika wakaf ingin melakukan Perubahan dan terobosan maka lakukan perubahan dan terobosan, mengawinkan wakaf dengan:
1. Digital economy 2. Financial Technology 3. Agro technology 4. Industrial technology 5. Explore the new method 6. Modelling
7. Vertical and horizontal alighment 8. Collaboration
Nadzhir dimasa depan tidak mampu mengelola wakaf dengan perubahan-perubahan signifikan dan terobosan mendasar. Perubahan dan terobosan yang dibutuhkan saat ini adalah melakukan perkawinan wakaf menjadi digital economy, wakaf dengan perangkat financial technology, memadukan wakaf dengan agro economy, menjadikan wakaf sebagai industrial technology, selalu melakukan eksplorasi metode-metode baru, sesuai dengan zaman dan masyarakat yang sekarang berkembang, melakukan modeling dengan wakaf di negara lain yang mendekati
karakteristik Indonesia, mampu menyelaraskan secara horizontal dan vertical dan kerjasama.
2. Mempunyai semangat nasionalisme 3. Religius
4. Sosial entrepreneur 5. berkelanjutan
Dengan demikian tidak cukup hanya memenuhi standar dasar Syarat menjadi Nadzhir yang dinyatakan dalam pasal 10 UU No. 41/2004 adalah: (1). WNI. (2). Beragama Islam.
(3). Dewasa. (4). Amanah. (5). Mampu secara jasmani dan rohani, dan (6). Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Era telah berubah, cara-cara baru dalam pengelolaan wakaf, harus dilakukan, melibatkan generasi millenials dalam pengembangan wakaf, tak bisa di elakkan, namun pola komunikasi dan budaya setiap generasi harus difahami dengan detil, inilah kunci keberhasilan sosialisasi dan pengembangan wakaf dimasa mendatang.
Mengawinkan wakaf dengan digital economy, financial technology dengan berbagai varian dan kecepatan perubahannya, adalah suatu kemustahilan yang tak bisa dihindarkan, maka secepatnya BWI melakukan kerjasama dengan berbagai pihak, lintas generasi untuk mengembangkan wakaf di Indonesia.
Wakaf mudah ditemukan dimana-mana, di gadget, di ipad, bahkan bisa jadi dalam bnetuk game yang mengasyik kan generasi milleneals, bahkan jika perlu kedepan, komisioner BWI semakin berumur muda, dibawah 40 tahun,
sehingga mereka benar-benar mampu berkomunikasi, berkerjasama dan sharing economy dengan generasinya, dengan demikian perubahan dan terobosan dunia wakaf Indonesia, akan semakin sering kita dengarkan. Semoga.