• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANAJEMEN WAKAF DALAM REGULASI WAKAF DI INDONESIA

Dalam dokumen Manajemen Wakaf Produktif - Repository UMJ (Halaman 114-129)

M

anajemen berhubungan dengan upaya mengatur un- sur-unsur manajemen yang terdapat dalam organisasi untuk mencapai tujuan tertentu. (Anoraga, 2004: 114-115).

Terry menjelaskan bahwa manajemen adalah suatu proses yang khas yang terdiri atas tindakan-tindakan berupa peren- canaan (Planning) , pengorganisasian (Organizing), pengara- han (Actuating), dan pengendalian (Control) yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang te- lah ditentukan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya (Hasibuan, 2009: 2-3).

Dengan demikian manajemen dapat dikatakan sebagai ilmu dan seni mengatur, mengorganisir, mengelola, memimpin, dan mengendalikan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu, yang dirinci sebagai berikut:

a. Perencanaan (planning)

Perencanaan ialah menetapkan pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh kelompok untuk mencapai tujuan yang digariskan. Planning mencakup kegiatan pengambilan keputusan, karena termasuk pemilihan alternatif-alternatif keputusan. Diperlukan kemampuan untuk mengadakan

visualisasi dan melihat kedepan guna merumuskan suatu pola dari himpunan tindakan untuk masa mendatang (Terry, 2008: 17). Sementara itu Hasibuan (2009: 91) mendefinisikan perencanaan adalah pekerjaan mental untuk memilih sasaran, kebijakan, prosedur, dan program yang diperlukan untuk mencapai apa yang diinginkan pada masa mendatang.

b. Pengorganisasian (Organizing)

Organizing mencakup: (a). membagi komponen- komponen kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan kedalam kelompok-kelompok, (b). membagi tugas kepada seorang manajer untuk mengadakan pengelompokan tersebut dan (c). menetapkan wewenang di antara kelompok atau unit-unit organisasi.

Pengorganisasian berhubungan erat dengan manusia, sehingga pencaharian dan penugasannya ke dalam unit-unit organisasi dimasukkan sebagai bagian dari unsur organizing.

Ada yang tidak berpendapat demikian, dan lebih condong memasukkan staffing sebagai fungsi utama. Di dalam setiap kejadian, pengorganisasian melahirkan peranan kerja dalam struktur formal dan dirancang untuk memungkinkan manusia bekerja sama secara efektif guna mencapai tujuan bersama (Terry, 2008: 17).

Koontz dan O’Donnel mendefinisikan fungsi pengorganisasian manajer meliputi penentuan penggolongan kegiatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan, pengelompokan kegiatan tersebut ke dalam suatu bagian yang dipimpin oleh seorang manajer, serta melimpahkan wewenang untuk melaksanakannya (Hasibuan, 2009: 119).

c. Koordinasi (Coordinating)

Coordinating merupakan sinkronisasi yang teratur dari usaha individu yang berhubungan dengan jumlah, waktu dan tujuan mereka, sehingga dapat diambil tindakan yang serempak menuju sasaran yang telah ditetapkan. Untuk mencapai koordinasi tersebut setiap anggota perusahaan harus dapat melihat bagaimana kegiatan perseorangan dapat membantu pencapaian tujuan perusahaan (Terry, 2008:19).

d. Pengendalian (Controlling)

Controlling mencakup kelanjutan tugas untuk melihat apakah kegiatan dilaksanakan sesuai rencana. Pelaksanaan kegiatan dievaluasi dan penyimpangan yang tidak diinginkan diperbaiki supaya tujuan dapat tercapai dengan baik. Ada berbagai cara untuk mengadakan perbaikan, termasuk merubah rencana dan bahkan tujuannya, mengatur kembali tugas atau merubah wewenang; tetapi seluruh perubahan tersebut dilakukan melalui manusianya.

Orang yang bertanggung jawab atas penyimpangan yang tidak diinginkan itu harus dicari dan mengambil langkah perbaikan terhadap hal-hal yang sudah atau akan dilaksanakan (Terry, 2008: 18).

Koontz, mendefinisikan pengendalian adalah pengukuran dan perbaikan terhadap pelaksanaan kerja bawahan, agar rencana yang telah dibuat untuk mencapai tujuan perusahaan dapat terselenggara (Hasibuan, 2009:

241).

Skinner (1992) memperkaya, tidak sebatas Planning, Organizing, Actuating dan Controlling (POAC), seperti yang ditawarkan Terry, namun juga ada staffing dan directing. Dengan

demikian fungsi manajemen dalam pandangan skinner adalah (1) Perencanaan (Planing), (2) Pengorganisasian (Organizing), (3) Penempatan orang berdasarkan keahlian serta kebutuhan (Staffing), (4) Pengarahan (Directing), (5). Pengendalian (Controling). Sementara Robbin (1993) menegaskan bahwa fungsi manajemen adalah: (1).

Perencanaan (Planning), (2) Pengorganisasian (Organizing), (3). Memimpin (leading), dan (4) Pengendalian (Controlling) (Anoraga, 2004: 114-115).

Manajemen dalam Islam

Di awal perkembangan Islam, manajemen dianggap sebagai ilmu sekaligus teknik (seni) kepemimpinan.

Sebenarnya tidak ada definisi baku apa yang disebut sebagai manajemen Islami. Kata manajemen dalam bahasa Arab adalah Idara yang berarti ”berkeliling” atau ”Lingkaran”.

Dalam Konteks bisnis bisa dimaknai bahwa ”bisnis berjalan pada siklusnya”, sehingga manajemen bisa diartikan kemampuan manajer yang membuat bisnis berjalan sesuai rencana. Amin (2004: 14) mendifinisikan manajemen dalam perspektif ilahiyah sebagai ”Getting god will done by the people” atau melaksanakan keridaan Tuhan melalui orang.

a. Perbandingan Konsep Manajemen Konvensional dan Islam

Tabel berikut, mengambarkan perbandingan konsep manajemen konvensional dan Islam.

Tabel 1

Perbandingan Konsep Manajemen Konvensional dan Islam

Objek Konvensional Islam

Manusia sebagai

Homo economicus (Makhluk

Ekonomi)

Spritual creatur (Makhluk Spritual)

Motivasi Utama Motivasi Dunia (Laba Jangka Pendek)

Rahmat dan Ridha Allah (profit dan Kebahagiaan di dunia dan akhirat)

Pengelolaannya Good corporate

governance Good corporate governance

Fungsi CEO

Pusat koordinasi yang segala instruksinya harus dilaksanakan bawahan

CEO memfasilitasi lingkungan dengan spirit moral yang dapat dipertangung - jawabkan kepada manusia dan Tuhan.

Kru tidak pada posisi pasif, sebaliknya turut memberikan masukan dan pemikiran

Fokus Bisnis Maksimalisasi

Laba Bisnis yang beretika dan berkelanjutan Sumber: Hamidi, 2000

Dari tabel diatas bisa disimpulkan bahwa manajemen Islami memandang manajemen sebagai objek yang sangat berbeda dibanding konvensional. Dalam manajemen konvensional manusia dipandang sebagai makhluk ekonomi, sedangkan dalam Islam manusia merupakan

makhluk spritual, yang mengakui kebutuhan baik materi (ekonomi) maupun immaterial.

b. Karakteristik Manajemen Islam

Teori manajemen Islami bersifat universal, komprehensif, dan memiliki karakteristik berikut (Amin, 2010: 67-68):

1. Manajemen dan masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat, manajemen merupakan bagian dari sistem sosial yang dipenuhi dengan nilai, etika, akhlak, dan keyakinan yang bersumber dari Islam 2. Teori manajemen Islami menyelesaikan persoalan

kekuasaan dalam manajemen, tidak ada perbedaan antara pemimpin dan kru. Perbedaan level kepemimpinan hanya menunjukkan wewenang dan tangung jawab. Atasan dan bawahan saling bekerja sama tanpa ada perbedaan kepentingan. Tujuan dan harapan mereka adalah sama dan akan diwujudkan bersama.

3. Kru bekerja dengan keikhlasan dan semangat profesionalisme, mereka berkontribusi dalam pengambilan keputusan, dan taat kepada atasan sepanjang mereka berpihak pada nilai-nilai syariah.

4. Kepemimpinan dalam Islam dibangun dengan nilai- nilai syura dan saling menasehati, serta para atasan dapat menerima saran dan kritik demi kebaikan bersama.

c. Prinsip Dasar Manajemen Islami

Menurut Dar (2004), Islamic Management setidaknya dibangun atas 8 prinsip, yaitu (Amin, 2010: 68):

1. Manajer diperlukan untuk identifikasi dan/atau

mendefinisikan fungsi objektif dari perusahaan dan digunakan untuk membuat strategi operasi yang konsisten. Untuk memastikan pemenuhan terhadap aturan syariah, manajemen mengadopsi pernyataan misi yang menegaskan bahwa karakter Islam dari perusahaan tetap dominan.

2. Definisi dari hak-hak yang jelas dan tidak ambigu serta specifikasi tanggung jawab dari masing-masing kelompok pelaku dalam sebuah perusahaan adalah penting demi penggunaan sumber daya yang efektif dan efisien. Tujuannya untuk menghindari moral hazard dan pemenuhan kepentingan pribadi yang terjadi setiap hari dalam realitas bisnis.

3. Pengakuan dan perlindungan hak dari seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholders), dan tidak hanya kepentingan pemegang saham (shareholders), merupakan fundamental menurut cara Islam dalam mengelola bisnis.

4. Manajer harus mengumpulkan, memproses, meng-update dan memperlihatkan, kapanpun hal itu diperlukan, informasi dalam operasional bisnis untuk kebermanfaatan pihak yang berkepentingan (stakeholders) dari perusahaan.

5. Merencanakan mekanisme insentif seperti profit yang berhubungan dengan paket remunerasi dan bonus berhubungan dengan kinerja, dan monitoring yang efektif adalah penting untuk pengelolaan yang sukses.

6. Pembuatan keputusan merupakan proses horizontal dimana hal ini dengan kualifikasi yang benar setelah dikonsultasikan dengan pemimpin

7. Pengembangan kualitas sumber daya manusia melalui persuasi, edukasi, dan penciptaan lingkungan yang tepat dalam sebuah perusahaan merupakan hal yang fundamental dalam manajemen Islami.

8. Minimisasi transaksi dan monitoring biaya penting bagi daya saing perusahaan Islam dalam pasar yang didominasi oleh perusahaan konvensional.

Manajemen Wakaf

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 merupakan langkah maju dalam pengaturan Wakaf di Indonesia, karena pengaturan Wakaf terakhir ada pada tahun 1935 yaitu melalui Bijblad 1935 Nomor 13480 tanggal 27 Mei 1935, ini berarti 42 tahun kemudian baru ada pengaturan kembali tentang Wakaf. Walaupun sebelumnya sedikit dibahas juga dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria di pasal 49 ayat (3).

Walaupun demikian ada beberapa catatan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 ini, seperti (a). Jika dilihat dari sudut pandang hari ini, maka Peraturan Pemerintah ini terkesan tidak komprehensif karena Peraturan Pemerintah ini hanya membahas pewakafan tanah milik, ini menyempitkan arti Wakaf yang sesungguhnya sangat luas, Wakaf bukan hanya tanah, namun Wakaf juga bisa dengan berbagai bentuk lainnya, seperti benda-benda bergerak. (b). Peraturan Pemerintah ini menganut azas Wakaf berlaku selamanya. Padahal diketahui bersama saat

ini regulasi Wakaf di Indonesia sudah berkembang, bahkan Wakaf bisa dilakukan untuk jangka waktu tertentu. (c).

Peraturan Pemerintah ini jauh dari semangat pengelolaan Wakaf secara produktif, hampir semua pasal-pasal dalam Peraturan Pemerintah ini adalah upaya pengaturan dan penertiban administrasi wakaf, namun bisa difahami karena pada masa itu kondisi perwakafan mengalami penyimpangan dalam pengaturan dan administrasi Wakaf, seperti yang terungkap dalam latar belakang munculnya Peraturan Pemerintah ini.

Manajemen Wakaf

dalam Kompilasi Hukum Islam

Aturan yang dimuat dalam Buku III tentang perwakafan ini membawa pembaharuan dalam pengelolaan Wakaf walaupun secara substansi masih berbentuk elaborasi dari aturan yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.

Disisi lain, instruksi presiden yang terdapat dalam buku III ini sebetulnya belum cukup merevitalisasi sektor Wakaf. Kompilasi Hukum Islam (KHI) masih mengadopsi paradigma lama yang literal yang berfokus pada sisi fikih.

Hal ini terlihat dari materi hukum yang dicakup merupakan bentuk Univikasi pendapat mazhab dan Hukum Islam di Indonesia yang terkait dengan Wakaf.

Ada persamaan KHI dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, seperti melembagakan wakaf untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Sementara itu perbedaannya adalah di Peraturan Pemerintah Nomor 28

Tahun 1977 hanya mengatur Wakaf benda milik, sedangkan di KHI mengatur wakaf benda milik secara umum, baik berupa tanah milik atau yang lainnya.

Dengan demikian KHI belum mengatur pengelolaan wakaf seperti wakaf uang, wakaf dengan jangka waktu, disamping itu, sanksi pidana terhadap siapapun yang melakukan pelanggaran di bidang perwakafan masih lemah, karena sanksinya tetap berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 yaitu dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).

Kelihatan lemahnya sanksi hukum jika terjadi pelanggaran, KHI lebih bernuansa penertiban administrasi, dan masih jauh dari semangat pengembangan wakaf secara produktif.

Manajemen Wakaf dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf

Beberapa catatan penting terhadap Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf adalah, Undang- undang ini merupakan payung hukum yang paling tinggi yang mengatur Wakaf semenjak berdirinya Republik Indonesia, bahkan dari sisi regulasi, Undang-undang Wakaf lebih dahulu dari pada Undang-undang ekonomi syariah lainnya seperti Undang-undang Perbankan Syariah dan Undang-undang Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN).

Sangat jelas tersirat semangat pengelolaan dan pengembangan harta benda Wakaf dilandasi semangat pemanfaatan ekonomis dan produktifitas, sebagai contoh pada pasal 42 tentang pengelolaan dan pengembangan harta

Wakaf, dipasal ini dinyatakan bahwa nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda Wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya. Penggunaan kata wajib merupakan bentuk penegasan yang sangat jelas dan tegas, bahwasanya Wakaf harus dikelola, dikembangkan secara produktif.

Dari sisi pengertian Wakaf terjadi perkembangan yang sangat berarti jika dibandingkan dengan regulasi Wakaf sebelumnya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, pada pasal 1 ayat 1

”wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam”.

Sementara itu dalam pasal 215, ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, 10 Juni 1991,

”Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama- lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam”.

Dan lebih maju lagi pengertian Wakaf dalam Undang- undang Nomor 41 tahun 2004, pada pasal 1 ayat 1,

”Wakaf adalah perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu

tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah”.

Hampir saja tidak terjadi perbedaan yang signifikan antara pengertian wakaf pada Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan Kompilasi Hukum Islam, 10 Juni 1991, namun terdapat perbedaan signifikan antara kedua regulasi sebelumnya dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004, perbedaan tersebut terdapat pada munculnya kata ”untuk jangka waktu tertentu” dan kata ”dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah” maka pengertian Wakaf menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf mempunyai pengertian baru yaitu Wakaf bisa dilakukan hanya untuk jangka waktu terbatas, pada regulasi sebelumnya sangat jelas dinyatakan bahwa Wakaf dilakukan untuk selamanya. Kemudian pada pengertian Wakaf dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 juga dinyatakan bahwa distribusi Wakaf bukan hanya untuk ibadah, seperti yang diatur dalam regulasi sebelumnya, juga untuk kepentingan kesejahteraaan umum menurut syariah. Inilah perkembangan pengertian yang sangat maju dan telah dipersiapkan untuk menjadi landasan hukum berkembangnya Wakaf produktif di Indonesia.

Dari sisi fungsi Wakaf juga terjadi perkembangan yang sangat berarti, yaitu dari ”Mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf ”, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 diatur dalam pasal 2, hal yang sama juga terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam, 10 Juni 1991, diatur dalam pasal 216. dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004, ”Wakaf berfungsi

mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum”. Terlihat perbedaan yang mencolok, dan sangat terlihat upaya pemanfaatan wakaf dari sisi ekonomis dan memajukan kesejahteraan umum. Tidak berlebihan dikatakan, jika wakaf belum mampu memberikan kontribusi dalam memajukan kesejahteraan umum, seperti berkontribusi dalam penanggulangan kemiskinan, maka bararti belum benar-benar sesuai dengan amanah Undang- undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Sebagai sarana untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis serta untuk memajukan kesejahteraan umum, maka dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, diperkenalkan nazhir organisasi, dalam regulasi sebelumnya hanya dikenal nazhir perseorangan dan nazhir badan hukum, diperkuat lagi pada Undang- undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, terdapat satu bab khusus yang membahas tentang pengelolaan dan pengembangan harta benda Wakaf, dimana nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda Wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya. Juga diatur pada bab VI tentang Badan Wakaf Indonesia.

Badan Wakaf Indonesia (BWI) merupakan perwujudan amanat yang digariskan dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Kehadiran BWI, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 47 UU Nomor 41 Tahun 2004 adalah untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan di Indonesia. Untuk kali pertama, keanggotaan BWI diangkat oleh Presiden Republik Indonesia, sesuai dengan Keputusan Presiden (Kepres) No. 75/M tahun 2007, yang ditetapkan

di Jakarta, 13 Juli 2007. Dengan demikian, BWI adalah lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, serta bertanggung jawab kepada masyarakat.

Dengan adanya Badan Wakaf Indonesia, maka sangat diyakini akan bisa mengakselerasi pengelolaan dan pengembangan Wakaf dimasa yang akan datang, mengejar ketertinggalan yang sangat jauh dari negara-negara lain yang sudah lebih maju dalam pengembangan wakaf produktif, seperti Mesir, Malaysia, dan negara-negara lainnya.

Dalam dokumen Manajemen Wakaf Produktif - Repository UMJ (Halaman 114-129)